Post on 11-Aug-2015
Laporan Kasus Individu
“ Benign Prostatic Hyperplasia “
Oleh:
Reni Rifanti
Pembimbing
Dr. Rahmad Yasin
Spesialis Bedah Urologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Lamongan
RSML
2013
1
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL................................................................................................. 1
DAFTAR ISI......................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………. 5
BAB 3 LAPORAN KASUS.................................................................................. 35
Daftar Pustaka .............................................................................................. 44
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior bulibuli
dan membungkus uretra posterior. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak
maupun ganas. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika
dan menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
merupakan Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin dari buli-buli.
Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hyperplasia stroma dan sel epitelial mulai
dari zona periurethra.
Gambar 1.
Perbedaan aliran urin dari buli-buli pada prostat normal dan prostat yang mengalami
pembesaran
Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
3
zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pada laporan kasus ini akan dibahas tentang bagaimana penatalaksaan BPH secara
umum serta macam-macam bentuk terapi konserfativ maupun operatiff pada penderita
BPH di RS Muhammadiyah Lamongan.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana
kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah
2.2 Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20
gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm
dengan tebal 2,5 cm.
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior 8,12
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan
menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-
kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna
abuabu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.
5
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan
zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona
periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers
terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis,
sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan
memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya
dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,
a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone
c. Disekitar uretra disebut periurethral gland
6
Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :
1. kapsul anatomis
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat
yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian
dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior
daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar
2.3 Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang
lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang
kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami
perubahan hiperplasi
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan
kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan
memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat
tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya
pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan
mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar
7
membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang
akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya
sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas
akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
2.4 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka
tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain
androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu
antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa
di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosterone diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
8
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan
produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan
terjadinya pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis
dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin
hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan
mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon
gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormone estrogen oleh sel sertoli.
Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral
sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak
bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming
growth factor, transforming growth factor b 1, transforming growth factor b 2,
dan epidermal growth factor.
3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang
Mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar
9
testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem
sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat
bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi
abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma
dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat
oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%
dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke
dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk
kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha
eductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang
masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan
transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran
stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme
“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli
pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular
10
morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini,
menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat
tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan
nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma
during adult hood. Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang
menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori
rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang
berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn
yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya
2.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala-gejala prostatismus.
11
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesicoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal Pada BPH terdapat
dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan
komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran
kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan
aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot
12
polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada
alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang
juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
2.6 Gejala Klinis
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan
kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga
kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung
tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
13
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi
belum dirasakan.Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan
dengan cara mengukur :
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini
dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan
kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi
setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu
membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi
urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc
biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita
prostat hipertrofi.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk
dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal
di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average
flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik,
sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow
rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal
ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk
14
menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan
penyulit harus dilakukan secara teratur.
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor
karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica
sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis
derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas +
sisa urin > 150 ml 7
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan
derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya
volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi
yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut
nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga
15
menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan
oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka
akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam
vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu
lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan
apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi
inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan
terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises
ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada
infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat
menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid.
Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan
didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.
Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi
sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.
2.7 Tanda
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter
16
ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada
di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal), Adakah asimetris,
Adakah nodul pada prostate, Apakah batas atas dapat diraba, Sulcus medianus prostate,
Adakah krepitasi.
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan
diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila
sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui
adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya
kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di
fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di
daerah meatus. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi
penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang
terdapat nyeri tekan supra simfisis.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah : - Ureum dan Kreatinin
- Elektrolit
- Blood urea nitrogen
17
- Prostate Specific Antigen (PSA)
- Gula darah
b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test
- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
- Sedimen
3. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan
misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga
dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
b. Pielografi Intravena (IVP)
pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter
membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). mengetahui adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta
penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi
buli – buli. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
c. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin,
maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
- deteksi pembesaran prostat
- mengukur volume residu urin
18
e. MRI atau CT jarang dilakukan
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –
macam potongan.
4. Pemeriksaan lain
a. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan
oleh :
- daya kontraksi otot detrusor tekanan intravesica
- resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju
pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah
menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat
derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau
daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal
tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-
Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju
pancaran urin dapat diukur.
c. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara
sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume
19
urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun
kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG
2.8 Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :
1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat
yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam
rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
4. Pemeriksaan pencitraan : Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian
kontras pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas
berbentuk seperti mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat
terlihat prostat yang membesar.
5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.
6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume
residu urin yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml
dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).
2.9. Diagnosis Banding
1. Kelemahan detrusor kandung kemih
a. kelainan medula spinalis
b. neuropatia diabetes mellitus
c. pasca bedah radikal di pelvis
d. farmakologik
20
2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
a. kelainan neurologik
b. neuropati perifer
c. diabetes mellitus
d. alkoholisme
e.farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
3. Obstruksi fungsional :
a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor
dengan relaksasi sfingter
b. ketidakstabilan detrusor
4. Kekakuan leher kandung kemih :
a. fibrosis
5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
a. hiperplasia prostat jinak atau ganas
b. kelainan yang menyumbatkan uretra
c. uretralitiasis
d. uretritis akut atau kronik
e. striktur uretra
6. Prostatitis akut atau kronis
2.10 Kriteria Pembesaran Prostat
Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya adalah :
1. Rektal grading
21
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
- derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
- derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
- derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
- derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2. Berdasarkan jumlah residual urine
- derajat 1 : < 50 ml
- derajat 2 : 50-100 ml
- derajat 3 : >100 ml
- derajat 4 : retensi urin total
3. Intra vesikal grading
- derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
- derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
- derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
- derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :
- derajat 1 : kissing 1 cm
- derajat 2 : kissing 2 cm
- derajat 3 : kissing 3 cm
- derajat 4 : kissing >3 cm
2.11 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
22
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematuria
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut Atau Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter
8. Hidroureter
9. Hidronefrosis
10. Gagal Ginjal
2.12. Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi
empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat
satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan
prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila
ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas
atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat
tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari
100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan
23
jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan
bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan
menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila
timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV
digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu
biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan
secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada
indikasiuntuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap
sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua
penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa
dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan
oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada
derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya
dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang
harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan
memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P
atau operasi terbuka.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan.
Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90%
24
kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi
non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi
bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya
kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia
prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :
1. Observasi (Watchful waiting)
2. Medikamentosa
a. Penghambat adrenergik a
b. Fitoterapi
c. Hormonal
3. Operatif
a. Prostatektomi terbuka
- Retropubic infravesika (Terence millin)
- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)
- Transperineal
b. Endourologi
- Trans urethral resection (TUR)
- Trans urethral incision of prostate (TUIP)
25
- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)
Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)
Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)
Teknik koagulasi
4. Invasif minimal
- Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)
- Trans urethral ballon dilatation (TUBD)
- Trans urethral needle ablation (TUNA)
- Stent urethra dengan prostacath
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi
pada leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau
tindakan endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non
operatif akan dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang
penatalaksanaan secara operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan
prostatektomi endourologi.
1. Prostatektomi terbuka
a. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal
- Mortaliti rate rendah
- Langsung melihat fossa prostat
- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
- Perdarahan lebih mudah dirawat
26
- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila
membuka vesika
Kerugian :
- Dapat memotong pleksus santorini
- Mudah berdarah
- Dapat terjadi osteitis pubis
- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari
dalam vesika
Komplikasi :
- Perdarahan
- Infeksi
- Osteitis pubis
- Trombosis
b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
Keuntungan :
- Baik untuk kelenjar besar
- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :
1. Batu buli
2. Batu ureter distal
3. Divertikel
4. Uretrokel
27
5. Adanya sistsostomi
6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis
- Kerusakan spingter eksterna minimal
Kerugian :
- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica
sembuh
- Sulit pada orang gemuk
- Sulit untuk kontrol perdarahan
- Merusak mukosa kulit
- Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
- Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)
- Inkontinensia (<1%)
- Perdarahan
- Epididimo orchitis
- Recurent (10 – 20%)
- Carcinoma
- Ejakulasi retrograde
- Impotensi
- Fimosis
- Deep venous trombosis
c. Transperineal
Keuntungan :
28
- Dapat langssung pada fossa prostat
- Pembuluh darah tampak lebih jelas
- Mudah untuk pinggul sempit
- Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
- Impotensi
- Inkontinensia
- Bisa terkena rektum
- Perdarahan hebat
- Merusak diagframa urogenital
2 Prostatektomi Endourologi
a. Trans urethral resection (TUR)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hamper
seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama
kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi
retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh
pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi
urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien
nonobstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan
TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72%
menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah
dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat ini tindakan
TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi
29
kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas)
agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan
yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi
hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah
adalah H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang
hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah
vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P.
Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan
darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan
mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka
mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi
timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih
mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu
operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi
tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.
Keuntungan :
- Luka incisi tidak ada
- Lama perawatan lebih pendek
- Morbiditas dan mortalitas rendah
- Prostat fibrous mudah diangkat
- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
30
- Tehnik sulit
- Resiko merusak uretra
- Intoksikasi cairan
- Trauma spingter eksterna dan trigonum
- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
- Alat mahal
- Ketrampilan khusus
b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada
pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher
buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan
secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR
P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari
dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai
tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan
menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.
c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat
yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT
dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara
operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan. Penggunaan laser untuk operasi
prostat pertama kali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk mengobati ca prostat yang
31
masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid
state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru
dicoba dibidang urologi untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee
menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa
buli. YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat
oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk prostat
ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca prostat, yang
biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas 1990).
Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada
penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan
Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound Guided Laser
Induced Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat
menembak prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor)
sinar laser dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar
prostat yang membesar. Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga
gelombang ini tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat
divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd
YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang
dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai
efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat
mencapai 100°C sehingga pada kekuatan 40 – 60 watts akan menyebabkan koagulasi
pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut “pop corn effect”.
Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah yang agakbesar
32
dan pembuluh darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan panas (heat sink)
sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar dari prostat. Tahun 1989 Johnson
menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser tersebut dapat dibelokkan 90°
dengan menggunakan pembelok dari emas yang ditempelkan diujung serat laser,
sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat
pembelok ini 92% dari energy laser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello
(1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak
menggunakan laser yang dibelokkan 90° melalui sistoskopi. Waktu yang diperlukan
untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat
(lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn
effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga
uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan
diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-
24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai
rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi
akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
2. Teknik lebih sederhana
3. Waktu operasi lebih cepat
4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan
6. Resiko impotensi tidak ada
33
7. Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional)
34
BAB 3
LAPORAN KASUS
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki – Laki
Alamat : Pilang RT2 RW2 Tejosari Laren Lamongan
Status perkawinan : Kawin
Datang ke Poli Urologi : 28 Januari 2013
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
b. Anamnesis
Keluhan Utama : Buang air kecil tidak lancar
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh sulit buang air kecil sejak sekitar 1
minggu SMRS. Setiap kali kencing pasien memerlukan waktu lama untuk mulai
kencing, harus mengedan untuk kencing, kencing menetes dan sete lah
kencing masih terasa ada sisa. Pasien juga mengeluh nyeri saat kencing. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk-tusuk di bawah perut sampai selangkangan. Nyeri menghilang setelah selesai kencing. Riwayat
kencing berwarna merah (-), kencing nanah (-), kencing batu (-), nyeri pinggang (-).
35
Riwayat penyakit dahulu : Hari jumat smrs, pasien menjelaskan bahwa sempat ke
PKM setempat, karena nyeri di bagian perut bawah, dan tidak bisa BAK, kemudian di
PKM tersebut, pasien dipasang selang kateter dan langsung pulang. Ketika di pasang
kateter, pasien dapat mengeluarkan air kencingnya, volumenya banyak, namun pasien
tidak bisa menjelaskan secara mendetail seberapa banyak air kecingnya. Warna air
kencing kuning biasa, tidak ada batu, tidak ada darah. Pasien dipasang selang kateter
selama 1 minggu, kemudian pasien dibawa ke poli urologi RSML, dan di sana pasien
dijelaskan untuk kontrol kembali. Setelah control, kateter pasien di lepas, dan pasien
melakukan pemeriksaan USG dan dinyatakan bahwa terdapat pembesaran pada bagian
prostat, sehingga dokter spesialis urologi yang bersangkutan menyarankan agar pasien
MRS untuk ditindak lanjuti.
Riwayat penyakit keluarga : Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami hal
serupa
Riwayat Alergi : Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau
makanan tertentu.
Riwayat Sosial : Pasien sering mengkonsumsi kopi, sering mengkonsumsi
jamu-jamuan tradisional bila badan terasa pegal, dan pasien kadang- kadang juga
menjelaskan sering menahan untuk BAK bila sedang bekerja.
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum
a. Status Generalis
36
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : Tekanan darah : 123/64 mmHg
Nadi : 76 x/menit
RR : 29 x/menit
T : 36,20C
Kepala : Bentuk normal dan simetris
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada edema
palpebrae.
Telinga : Bentuk normal dan simetris, tidak ada deformitas.
Hidung : Bentuk normal dan simetris, pernapasan cuping hidung tidak ada,
tidak ada deformitas, epistaksis tidak ada.
Mulut : Mukosa bibir merah, sianosis (-)
Leher : Pulsasi vena jugularis tidak tampak, JVP tidak meningkat, tidak
ada pembesaran KGB, deviasi trakea dan pembesaran tiroid
tidak ada.
Thoraks : Paru I : Simetris
P : Fremitus raba simetris
37
P : Sonor
A : SN vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung I : Iktus tidak tampak
P : Thrill (-)
P : Batas jantung normal
A : S1 dan S2 tunggal, murmur (-)
Abdomen : I : Simetris
A : Bising usus normal
P : Hepar/Lien/Massa tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas : Atas : Hangat, Edem (-/-), Parese (-/-)
Bawah : Hangat, Edem (-/-), Parese (-/-)
b.Status Neurologis
GCS : E4 V5 M6
Pupil : Isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
Sensorik : (+)
Motorik : 5
38
c. Status lokalis : Urogenital
1. Regio Costovertebralis
Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tanda radang tidak ada, hematom
tidak ada, alignment tulang belakang normal, gibbus tidak ada, tidak tampak
massa tumor.
Palpasi : Tidak teraba massa tumor, ballotemen ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-)
2. Regio Suprapubic
Inspeksi : Kesan normal, warna kulit sama dengan sekitar, tidak tampak massa ,
hematom tidak ada, edema tidak ada
Palpasi : Nyeri tekan (-) , buli-buli teraba, massa tumor tidak teraba.
3. Regio Genitalia Eksterna
Inspeksi : Tampak penis tersirkumsisi, OUE pada gland penis, tanda radang (-),
skrotum tampak normal, hematom (-), edema (-)
Palpasi : Pada penis tidak teraba massa tumor, tidak nyeri tekan. Pada skrotum
teraba dua buah testis, kesan normal, massa tumor tidak ada, nyeri tekan tidak ada
d. Pemeriksaan fisik tambahan
39
Digital Rectal Examination:
1. Sekitar anus: tidak tampak skin tag/ hemorrhoid
2. Fisura anus: tidak tampak
3. Mukosa rectum : licin
4. Tonus sfingter ani: normal
5. Prostat teraba besar grade.II sebesar 20-30 gr
6. Konsistensi kenyal
7. Sulkus medianus menghilang,Pole atas teraba Nodul (-)
8. BCR normal
9. Handscoen : darah (-), tinja (+) sedikit
40
Initial Diagnosis : Suspect BPH
Diagnosis Banding : 1. Ca Prostat
2. Prostatitis41
Planning Diagnosis : - DL
- Thorax
- USG prostat
- UL
- PSA (Prostate spesific Agent)
Hasil DL :
Diffcount 4/0/58/30/8
Hct 40,8
Hb 13,8
LED 22/47
Lekosit 8600
Trombosit 209000
Bill Direct 0,27
Bill Total 0,64
SGOT 24
SGPT 14
Albumin 2,8
Globulin 3,9
Kal serum 3,7
Nat Serum 137
Clorida serum 106
42
Foto Thorax dan USG prostat
Assesment : BPH
Penatalaksanaan : - MRS
- IVFD RL 20 tpm
- Inj Ceftriaxon 2x1
- Inj Gentamicyn 2x80
- Inj Metamizole 1 amp k/p
- Rencana TURP
Prognosis : Dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
43
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
2. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
3. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,1994.
4. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – EfekSampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
5. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.
6. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.
7. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
8. Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.
9. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
10. Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
11. Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th
edition, Gadjah Mada iversity Press, 1992.
44