Bph Lapsus Stase Urologi

65
Laporan Kasus Individu Benign Prostatic Hyperplasia Oleh: Reni Rifanti Pembimbing Dr. Rahmad Yasin Spesialis Bedah Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Lamongan 1

Transcript of Bph Lapsus Stase Urologi

Page 1: Bph Lapsus Stase Urologi

Laporan Kasus Individu

“ Benign Prostatic Hyperplasia “

Oleh:

Reni Rifanti

Pembimbing

Dr. Rahmad Yasin

Spesialis Bedah Urologi

Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Lamongan

RSML

2013

1

Page 2: Bph Lapsus Stase Urologi

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL................................................................................................. 1

DAFTAR ISI......................................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………. 5

BAB 3 LAPORAN KASUS.................................................................................. 35

Daftar Pustaka .............................................................................................. 44

2

Page 3: Bph Lapsus Stase Urologi

BAB 1

PENDAHULUAN

Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior bulibuli

dan membungkus uretra posterior. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak

maupun ganas. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika

dan menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

merupakan Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin dari buli-buli.

Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hyperplasia stroma dan sel epitelial mulai

dari zona periurethra.

Gambar 1.

Perbedaan aliran urin dari buli-buli pada prostat normal dan prostat yang mengalami

pembesaran

Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang

dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,

antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan

3

Page 4: Bph Lapsus Stase Urologi

zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,

sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

Pada laporan kasus ini akan dibahas tentang bagaimana penatalaksaan BPH secara

umum serta macam-macam bentuk terapi konserfativ maupun operatiff pada penderita

BPH di RS Muhammadiyah Lamongan.

4

Page 5: Bph Lapsus Stase Urologi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana

kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat

yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah

2.2 Anatomi

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul

fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian

proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum.

Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20

gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm

dengan tebal 2,5 cm.

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

2. lobus lateralis (2 lobus)

3. lobus anterior

4. lobus posterior 8,12

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan

menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-

kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna

abuabu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.

5

Page 6: Bph Lapsus Stase Urologi

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain

adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan

zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang

letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona

periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.

Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari

verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan

didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare

inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers

terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis,

sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan

memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya

dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :

1. Kapsul anatomi

2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler

3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,

a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.

b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai

adenomatous zone

c. Disekitar uretra disebut periurethral gland

6

Page 7: Bph Lapsus Stase Urologi

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :

1. kapsul anatomis

2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat

yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul

3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian

dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung

banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior

daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya

perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami

hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar

2.3 Epidemiologi

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan

sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang

lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang

kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami

perubahan hiperplasi

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan

kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan

memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat

tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya

pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan

mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar

7

Page 8: Bph Lapsus Stase Urologi

membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat

ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang

akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya

sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas

akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.

2.4 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat

erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging

(menjadi tua). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya

hiperplasia prostat adalah:

1. Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka

tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain

androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.

Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu

antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron

menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa

di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan

merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa

testosterone diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian

estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah

8

Page 9: Bph Lapsus Stase Urologi

perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan

produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan

terjadinya pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis

dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin

hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan

mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi

penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan

penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon

gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormone estrogen oleh sel sertoli.

Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral

sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak

bereaksi terhadap estrogen.

2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma

kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming

growth factor, transforming growth factor b 1, transforming growth factor b 2,

dan epidermal growth factor.

3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang

Mati

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada

seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara

pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar

9

Page 10: Bph Lapsus Stase Urologi

testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem

sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat

bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi

abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma

dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian

dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat

oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%

dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke

dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk

kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha

eductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor

sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor

complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang

masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan

transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan

terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran

stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme

“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli

pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular

10

Page 11: Bph Lapsus Stase Urologi

morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini,

menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti

perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat

tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan

nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma

during adult hood. Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang

menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori

rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang

berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn

yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya

2.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan

akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat

guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan

anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,

sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase

kompensasi.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada

saluran bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan

gejala-gejala prostatismus.

11

Page 12: Bph Lapsus Stase Urologi

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam

fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi

retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian

buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini

dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks

vesicoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,

hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal Pada BPH terdapat

dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan

komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran

kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan

aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot

12

Page 13: Bph Lapsus Stase Urologi

polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada

alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun

kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang

juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

2.6 Gejala Klinis

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas

gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena

penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan

kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga

kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung

tiga faktor yaitu :

1. Volume kelenjar periuretral

2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,

sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher

vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih

13

Page 14: Bph Lapsus Stase Urologi

dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi

belum dirasakan.Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan

dengan cara mengukur :

a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini

dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan

kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi

setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu

membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi

urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc

biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita

prostat hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan

menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau

dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk

dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal

di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average

flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada

obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik,

sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow

rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal

ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk

14

Page 15: Bph Lapsus Stase Urologi

menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan

penyulit harus dilakukan secara teratur.

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak

sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor

karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica

sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2. Nokturia

3. Miksi sulit ditahan (Urgency)

4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis

derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :

Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas +

sisa urin > 150 ml 7

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan

derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya

volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi

yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut

nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga

15

Page 16: Bph Lapsus Stase Urologi

menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan

oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka

akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam

vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini

berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu

lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica

tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan

apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi

inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan

terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises

ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal

akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada

infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat

menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid.

Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan

didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.

Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi

sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.

2.7 Tanda

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter

16

Page 17: Bph Lapsus Stase Urologi

ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada

di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal), Adakah asimetris,

Adakah nodul pada prostate, Apakah batas atas dapat diraba, Sulcus medianus prostate,

Adakah krepitasi.

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal

seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.

Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan

diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas

kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai

sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila

sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui

adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya

kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di

fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di

daerah meatus. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi

penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang

terdapat nyeri tekan supra simfisis.

2. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah : - Ureum dan Kreatinin

- Elektrolit

- Blood urea nitrogen

17

Page 18: Bph Lapsus Stase Urologi

- Prostate Specific Antigen (PSA)

- Gula darah

b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test

- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

- Sedimen

3. Pemeriksaan pencitraan

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan

misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga

dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)

pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling

defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter

membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). mengetahui adanya

kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta

penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi

buli – buli. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

c. Sistogram retrograd

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin,

maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

- deteksi pembesaran prostat

- mengukur volume residu urin

18

Page 19: Bph Lapsus Stase Urologi

e. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –

macam potongan.

4. Pemeriksaan lain

a. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan

oleh :

- daya kontraksi otot detrusor tekanan intravesica

- resistensi uretra

Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju

pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah

menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat

derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan

uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau

daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal

tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-

Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju

pancaran urin dapat diukur.

c. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara

sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume

19

Page 20: Bph Lapsus Stase Urologi

urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun

kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG

2.8 Diagnosis

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif

2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat

yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam

rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.

3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.

4. Pemeriksaan pencitraan : Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian

kontras pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas

berbentuk seperti mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat

terlihat prostat yang membesar.

5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.

6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume

residu urin yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml

dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).

2.9. Diagnosis Banding

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

a. kelainan medula spinalis

b. neuropatia diabetes mellitus

c. pasca bedah radikal di pelvis

d. farmakologik

20

Page 21: Bph Lapsus Stase Urologi

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik

b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus

d. alkoholisme

e.farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor

dengan relaksasi sfingter

b. ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih :

a. fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas

b. kelainan yang menyumbatkan uretra

c. uretralitiasis

d. uretritis akut atau kronik

e. striktur uretra

6. Prostatitis akut atau kronis

2.10 Kriteria Pembesaran Prostat

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan

beberapa cara, diantaranya adalah :

1. Rektal grading

21

Page 22: Bph Lapsus Stase Urologi

Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :

- derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum

- derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum

- derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum

- derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2. Berdasarkan jumlah residual urine

- derajat 1 : < 50 ml

- derajat 2 : 50-100 ml

- derajat 3 : >100 ml

- derajat 4 : retensi urin total

3. Intra vesikal grading

- derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

- derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter

- derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter

- derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :

- derajat 1 : kissing 1 cm

- derajat 2 : kissing 2 cm

- derajat 3 : kissing 3 cm

- derajat 4 : kissing >3 cm

2.11 Komplikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat

menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

22

Page 23: Bph Lapsus Stase Urologi

1. Inkontinensia Paradoks

2. Batu Kandung Kemih

3. Hematuria

4. Sistitis

5. Pielonefritis

6. Retensi Urin Akut Atau Kronik

7. Refluks Vesiko-Ureter

8. Hidroureter

9. Hidronefrosis

10. Gagal Ginjal

2.12. Penatalaksanaan

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan

menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi

empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat

satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan

prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila

ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas

atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat

tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari

100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi

kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan

miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan

23

Page 24: Bph Lapsus Stase Urologi

jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan

bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan

menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila

timbul obstruksi.

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV

digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu

biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan

secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada

indikasiuntuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap

sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua

penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa

dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan

oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada

derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah

cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya

dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang

harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan

memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan

lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P

atau operasi terbuka.

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan

kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan.

Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90%

24

Page 25: Bph Lapsus Stase Urologi

kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi

non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi

bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu

pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya

kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat

2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia

prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)

2. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik a

b. Fitoterapi

c. Hormonal

3. Operatif

a. Prostatektomi terbuka

- Retropubic infravesika (Terence millin)

- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)

- Transperineal

b. Endourologi

- Trans urethral resection (TUR)

- Trans urethral incision of prostate (TUIP)

25

Page 26: Bph Lapsus Stase Urologi

- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)

Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)

Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)

Teknik koagulasi

4. Invasif minimal

- Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)

- Trans urethral ballon dilatation (TUBD)

- Trans urethral needle ablation (TUNA)

- Stent urethra dengan prostacath

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi

pada leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau

tindakan endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non

operatif akan dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang

penatalaksanaan secara operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan

prostatektomi endourologi.

1. Prostatektomi terbuka

a. Retropubic infravesica (Terence Millin)

Keuntungan :

- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal

- Mortaliti rate rendah

- Langsung melihat fossa prostat

- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli

- Perdarahan lebih mudah dirawat

26

Page 27: Bph Lapsus Stase Urologi

- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila

membuka vesika

Kerugian :

- Dapat memotong pleksus santorini

- Mudah berdarah

- Dapat terjadi osteitis pubis

- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal

- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari

dalam vesika

Komplikasi :

- Perdarahan

- Infeksi

- Osteitis pubis

- Trombosis

b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)

Keuntungan :

- Baik untuk kelenjar besar

- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :

1. Batu buli

2. Batu ureter distal

3. Divertikel

4. Uretrokel

27

Page 28: Bph Lapsus Stase Urologi

5. Adanya sistsostomi

6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis

- Kerusakan spingter eksterna minimal

Kerugian :

- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica

sembuh

- Sulit pada orang gemuk

- Sulit untuk kontrol perdarahan

- Merusak mukosa kulit

- Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :

- Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)

- Inkontinensia (<1%)

- Perdarahan

- Epididimo orchitis

- Recurent (10 – 20%)

- Carcinoma

- Ejakulasi retrograde

- Impotensi

- Fimosis

- Deep venous trombosis

c. Transperineal

Keuntungan :

28

Page 29: Bph Lapsus Stase Urologi

- Dapat langssung pada fossa prostat

- Pembuluh darah tampak lebih jelas

- Mudah untuk pinggul sempit

- Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :

- Impotensi

- Inkontinensia

- Bisa terkena rektum

- Perdarahan hebat

- Merusak diagframa urogenital

2 Prostatektomi Endourologi

a. Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hamper

seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama

kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi

retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh

pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi

urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien

nonobstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan

TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72%

menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah

dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat ini tindakan

TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi

29

Page 30: Bph Lapsus Stase Urologi

kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas)

agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan

yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi

hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah

adalah H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang

hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah

vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya

hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P.

Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan

darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan

mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka

mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi

timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih

mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu

operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi

tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :

- Luka incisi tidak ada

- Lama perawatan lebih pendek

- Morbiditas dan mortalitas rendah

- Prostat fibrous mudah diangkat

- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :

30

Page 31: Bph Lapsus Stase Urologi

- Tehnik sulit

- Resiko merusak uretra

- Intoksikasi cairan

- Trauma spingter eksterna dan trigonum

- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar

- Alat mahal

- Ketrampilan khusus

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran

prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada

pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher

buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan

secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR

P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari

dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai

tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan

menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.

c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat

yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT

dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara

operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan. Penggunaan laser untuk operasi

prostat pertama kali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk mengobati ca prostat yang

31

Page 32: Bph Lapsus Stase Urologi

masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid

state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru

dicoba dibidang urologi untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee

menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa

buli. YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat

oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk prostat

ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca prostat, yang

biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas 1990).

Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada

penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan

Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound Guided Laser

Induced Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat

menembak prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor)

sinar laser dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar

prostat yang membesar. Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga

gelombang ini tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat

divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd

YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang

dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai

efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat

mencapai 100°C sehingga pada kekuatan 40 – 60 watts akan menyebabkan koagulasi

pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut “pop corn effect”.

Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah yang agakbesar

32

Page 33: Bph Lapsus Stase Urologi

dan pembuluh darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan panas (heat sink)

sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar dari prostat. Tahun 1989 Johnson

menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser tersebut dapat dibelokkan 90°

dengan menggunakan pembelok dari emas yang ditempelkan diujung serat laser,

sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat

pembelok ini 92% dari energy laser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello

(1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak

menggunakan laser yang dibelokkan 90° melalui sistoskopi. Waktu yang diperlukan

untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat

(lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn

effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga

uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan

diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-

24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai

rongga yang terjadi sehabis TUR.

Keuntungan bedah laser ialah :

1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi

akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi

2. Teknik lebih sederhana

3. Waktu operasi lebih cepat

4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat

5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan

6. Resiko impotensi tidak ada

33

Page 34: Bph Lapsus Stase Urologi

7. Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :

Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional)

34

Page 35: Bph Lapsus Stase Urologi

BAB 3

LAPORAN KASUS

a. Identitas Pasien

Nama : Tn. R

Umur : 63 tahun

Jenis kelamin : Laki – Laki

Alamat : Pilang RT2 RW2 Tejosari Laren Lamongan

Status perkawinan : Kawin

Datang ke Poli Urologi : 28 Januari 2013

Bangsa : Indonesia

Suku : Jawa

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

b. Anamnesis

Keluhan Utama : Buang air kecil tidak lancar

Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh sulit buang air kecil sejak sekitar 1

minggu SMRS. Setiap kali kencing pasien memerlukan waktu lama untuk mulai

kencing, harus mengedan untuk kencing, kencing menetes dan sete lah

kencing masih terasa ada sisa. Pasien juga mengeluh nyeri saat kencing. Nyeri dirasakan

seperti ditusuk-tusuk di bawah perut sampai selangkangan. Nyeri menghilang setelah selesai kencing. Riwayat

kencing berwarna merah (-), kencing nanah (-), kencing batu (-), nyeri pinggang (-).

35

Page 36: Bph Lapsus Stase Urologi

Riwayat penyakit dahulu : Hari jumat smrs, pasien menjelaskan bahwa sempat ke

PKM setempat, karena nyeri di bagian perut bawah, dan tidak bisa BAK, kemudian di

PKM tersebut, pasien dipasang selang kateter dan langsung pulang. Ketika di pasang

kateter, pasien dapat mengeluarkan air kencingnya, volumenya banyak, namun pasien

tidak bisa menjelaskan secara mendetail seberapa banyak air kecingnya. Warna air

kencing kuning biasa, tidak ada batu, tidak ada darah. Pasien dipasang selang kateter

selama 1 minggu, kemudian pasien dibawa ke poli urologi RSML, dan di sana pasien

dijelaskan untuk kontrol kembali. Setelah control, kateter pasien di lepas, dan pasien

melakukan pemeriksaan USG dan dinyatakan bahwa terdapat pembesaran pada bagian

prostat, sehingga dokter spesialis urologi yang bersangkutan menyarankan agar pasien

MRS untuk ditindak lanjuti.

Riwayat penyakit keluarga : Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami hal

serupa

Riwayat Alergi : Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau

makanan tertentu.

Riwayat Sosial : Pasien sering mengkonsumsi kopi, sering mengkonsumsi

jamu-jamuan tradisional bila badan terasa pegal, dan pasien kadang- kadang juga

menjelaskan sering menahan untuk BAK bila sedang bekerja.

c. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum

a. Status Generalis

36

Page 37: Bph Lapsus Stase Urologi

Keadaan umum : Cukup

Kesadaran : Composmentis

Tanda vital : Tekanan darah : 123/64 mmHg

Nadi : 76 x/menit

RR : 29 x/menit

T : 36,20C

Kepala : Bentuk normal dan simetris

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada edema

palpebrae.

Telinga : Bentuk normal dan simetris, tidak ada deformitas.

Hidung : Bentuk normal dan simetris, pernapasan cuping hidung tidak ada,

tidak ada deformitas, epistaksis tidak ada.

Mulut : Mukosa bibir merah, sianosis (-)

Leher : Pulsasi vena jugularis tidak tampak, JVP tidak meningkat, tidak

ada pembesaran KGB, deviasi trakea dan pembesaran tiroid

tidak ada.

Thoraks : Paru I : Simetris

P : Fremitus raba simetris

37

Page 38: Bph Lapsus Stase Urologi

P : Sonor

A : SN vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)

Jantung I : Iktus tidak tampak

P : Thrill (-)

P : Batas jantung normal

A : S1 dan S2 tunggal, murmur (-)

Abdomen : I : Simetris

A : Bising usus normal

P : Hepar/Lien/Massa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas : Atas : Hangat, Edem (-/-), Parese (-/-)

Bawah : Hangat, Edem (-/-), Parese (-/-)

b.Status Neurologis

GCS : E4 V5 M6

Pupil : Isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)

Sensorik : (+)

Motorik : 5

38

Page 39: Bph Lapsus Stase Urologi

c. Status lokalis : Urogenital

1. Regio Costovertebralis

Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tanda radang tidak ada, hematom

tidak ada, alignment tulang belakang normal, gibbus tidak ada, tidak tampak

massa tumor.

Palpasi : Tidak teraba massa tumor, ballotemen ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : Nyeri ketok (-)

2. Regio Suprapubic

Inspeksi : Kesan normal, warna kulit sama dengan sekitar, tidak tampak massa ,

hematom tidak ada, edema tidak ada

Palpasi : Nyeri tekan (-) , buli-buli teraba, massa tumor tidak teraba.

3. Regio Genitalia Eksterna

Inspeksi : Tampak penis tersirkumsisi, OUE pada gland penis, tanda radang (-),

skrotum tampak normal, hematom (-), edema (-)

Palpasi : Pada penis tidak teraba massa tumor, tidak nyeri tekan. Pada skrotum

teraba dua buah testis, kesan normal, massa tumor tidak ada, nyeri tekan tidak ada

d. Pemeriksaan fisik tambahan

39

Page 40: Bph Lapsus Stase Urologi

Digital Rectal Examination:

1. Sekitar anus: tidak tampak skin tag/ hemorrhoid

2. Fisura anus: tidak tampak

3. Mukosa rectum : licin

4. Tonus sfingter ani: normal

5. Prostat teraba besar grade.II sebesar 20-30 gr

6. Konsistensi kenyal

7. Sulkus medianus menghilang,Pole atas teraba Nodul (-)

8. BCR normal

9. Handscoen : darah (-), tinja (+) sedikit

40

Page 41: Bph Lapsus Stase Urologi

Initial Diagnosis : Suspect BPH

Diagnosis Banding : 1. Ca Prostat

2. Prostatitis41

Page 42: Bph Lapsus Stase Urologi

Planning Diagnosis : - DL

- Thorax

- USG prostat

- UL

- PSA (Prostate spesific Agent)

Hasil DL :

Diffcount 4/0/58/30/8

Hct 40,8

Hb 13,8

LED 22/47

Lekosit 8600

Trombosit 209000

Bill Direct 0,27

Bill Total 0,64

SGOT 24

SGPT 14

Albumin 2,8

Globulin 3,9

Kal serum 3,7

Nat Serum 137

Clorida serum 106

42

Page 43: Bph Lapsus Stase Urologi

Foto Thorax dan USG prostat

Assesment : BPH

Penatalaksanaan : - MRS

- IVFD RL 20 tpm

- Inj Ceftriaxon 2x1

- Inj Gentamicyn 2x80

- Inj Metamizole 1 amp k/p

- Rencana TURP

Prognosis : Dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

43

Page 44: Bph Lapsus Stase Urologi

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.

2. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.

3. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,1994.

4. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – EfekSampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.

5. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.

6. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.

7. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

8. Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.

9. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.

10. Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.

11. Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th

edition, Gadjah Mada iversity Press, 1992.

44