Post on 12-Dec-2015
description
Difteria Tonsil Faring Pada Anak
Marlina Putri Purnamasari Pekpekai
102013041
F2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
Telp : (021) 5694-2061
Marlina.2013fk041@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Seorang anak laki – laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RD karena sesak nafas
sejak 1 hari yang lalu . Keluhan didahului batuk –pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang
lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat
imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Diduga anak tersebut menderita penyakit infeksi
pernapasan akibat bakteri yaitu Difteria.
Difteri adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi
oleh Corynebacterium diphtheria. C.diphtheriae biasanya terlokalisasi pada saluran pernapasan
bagian atas, mengakibatkan ulserasi pada mukosa, dan menginduksi pembentukan
pseudomembran. Biasanya menyerang pada anak –anak dengan imunitas lemah ataupun dengan
gizi buruk. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi . lesu, pucat , nyeri
kepala, anoreksia, penderita tampak lemah , biasa disertai dengan pilek , nyeri menelan ,sesak
napas, serak dan stridor. 1,2
Pada makalah ini akan dibahas mengenai Difteri meliputi Anamnesis , Pemeriksaan fisik
, pemeriksaan penunjang , working diagnosis dan differential diagnosis , etiologic ,
epidemiologi , patofisiologi , gejala klinis , penatalaksanaan ,dan prognosis terkait dugaan
diagnosis pasien.
Anamnesis
Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termasuk
alasan berobat. Terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada semua pasien,
misalnya pertanyaan tentang identitas ( nama , umur , alamat dan pekerjaan ) , keluhan utama,
Riwayat penyakit sekarang ,riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit menahun, riwayat
penyakit sekarang yang spesifik terhadap diagnosa sementara, riwayat pengobatan , riwayat
pribadi dan riwayat social.
Pada anamnesis perlu ditanyakan : 3
Identitas Pasien
Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi: 3
- Nama lengkap pasien
- Umur pasien
- Tanggal lahir
- Jenis kelamin
- Alamat
- Pendidikan dan pekerjaan (orang tua)
Keluhan Utama
Menanyakan keluhan utama pasien : anak tampak sesak nafas sejak 1 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Menanyakan perjalanan penyakit pasien, diketahui keluhan didahului batuk pilek sejak 1
minggu yang lalu, demam tinggi, nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu , diketahui pasien
juga tidak mau makan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelumnya anak pernah mengalami hal seperti ini? Jika ya, Kapan? sering
berulang atau tidak ?
Riwayat Imunisasi
Menanyakan pada orang tua riwayat imunisasi anak lengkap , Sudah di imunisasi apa
saja , kapan terakhir di imunisasi , terutama imunisasi DPT , terkait dengan kasus.
Diketahui bahwa riwayat imunisasi pasien tidak lengkap.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga.
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini?
Riwayat Status Sosial Ekonomi
Keluarga ini termasuk berkecukupan atau tidak. Apakah pasien tinggal ditempat yang
cukup memadai dan kondisi lingkungan rumah yang cukup higienis. Bagaimana pola
makan dan kebersihan diri anak.
Riwayat Pengobatan
Apakah pasien sudah berobat sebelumnya atau meminum obat tertentu terkait dengan
gejala pasien , Batuk-pilek , sesak napas ? Jika ya. Apakah obatnya ? dan bagaimana
hasilnya?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda- tanda vital
( Suhu , Tekanan Darah , Nadi, Frekuensi pernapasan ) dan Antropometri . Dilakukan juga
inspeksi memperhatikan keadaan umum pasien, palpasi, perkusi dan auskultasi pada Toraks paru
pasien. 1,3
Pada pemeriksaan fisik , Hal yang harus diperhatikan adalah menilai keadaan umum
pasien setelah itu melakukan Inspeksi dimulai dari bagian kepala , lihat adakah sianosis , adakah
tanda – tanda anemia dengan menyelidiki konjungtiva. Lalu periksa bagian mulut dan faring
pasien , melihat sekilas keadaan faring posterior serta tonsilnya. Inspeksi dan palpasi bagian
leher pasien , dan lakukan pemeriksaan toraks paru.1,4,5
Pemeriksaan mulut dan faring
Pada pemeriksaan ini, inspeksi ukuran, posisi, kesimetrisan dan penampakan tonsil.
Lakukan juga inspeksi pada palatum molle, uvula, dan daerah faring. Perhatikan warna
serta kesimetrisannya dan cari eksudat, pembengkakan, ulserasi, dan pembesaran tonsil.
Hasil pemeriksaan fisik daerah faring pada penderita difteria menunjukkan daerah
tenggorok berwarna merah gelap dan pada uvula, faring, serta lidah terdapat eksudat
(pseudomembran) yang berwarna kelabu. Jalan napas pada penyakit difteria dapat
tersumbat karena adanya udem pada faring, tonsil, atau laring.1,4,5
Pemeriksaan leher
Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau
jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan
perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat. Lakukan palpasi nodus limfatikus. Pada
kasus ini, pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan nodus limfatikus submandibular
dan servikal karena pada difteria, kedua kelenjar limfe ini seringkali membesar.
Limfonodi yang membesar dan nyeri tekan memberi kesan adanya peradangan oleh
karena infeksi virus atau bakteri, sedangkan limfonodi yang teraba keras memberi kesan
adanya keganasan. Pembesaran limfonodus dapat terjadi bilateral maupun unilateral.
Kelenjar getah bening pada kasus lanjutan membesar dan mungkin tampak kehitaman-
merah dan menjadi hemoragik. Kelenjar Regional merespon, sehingga terjadi
limfadenitis akut non spesifik, khususnya di daerah leher.Saluran pernapasan menyempit,
adenitis parah, dan adanya edema jaringan lunak. Tampak adanya "bull neck" pada
kasus lanjut.1,4,5
Pemeriksaan Toraks
Lakukan inspeksi dengan melaporkan bentuk toraks anterior apakah normal , pectus
excavatum , pectus carinatum , barrel chest. Amati pergerakan dada saat keadaan statis
dan dinamis ( saat bernapas. Laporkan keadaan sela iga adakah bentuknya mencekung
atau adanya retraksi atau mencembung atau normal. Pada palpasi lakukan secara acak
atau terstruktur pada daerah toraks , lihat atau tanyakan ada nyeri atau tidak. Pada
Auskultasi , minta pasien menarik napas dalam , atau bila pada anak biarkan dia bernapas
seperti biasa. Dengarkan apakah ada bunyi patolgis selain dari pada bunyi normal seperti
bunyi tracheal , bronkovesikuler dan vesikuler.1, 4,5 Pada keadaan terdapatnya obstruksi
saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan disertai tanda lain seperti stridor, batuk,
serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan yang khas pada penderita difteria.
Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher daripada pada dinding dada. Stridor
menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan memerlukan tindakan segera.1,4
Dari hasil pemeriksaan didapati bahwa anak datang dengan kesadaran kompos mentis ,
sakit sedang , terdapat agitasi dan sesak . frekuensi pernapasan so x/ menit , nadi 130 x/ menit
dan suhu 40 derajat Celsius. Konjungtiva tidak anemis , pada inspeksi mulut didapati tonsil
terlihat membesar , ditutupi selaput putih ke abu- abuan, ketika selaputnya diangkat terlihat
adanya darah . Leher terlihat membesar teraba keras dikarenakan adanya pembesaran pada
kelenjar getah bening . Pemeriksaan toraks normal, namun didapati stridor positif.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan.6 Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah
satu tempat lesi mukokutan lain.1
Pemeriksaan Mikroskopik diambul dari apusan tenggorok terdapat kuman
Corynebacterium difteriae. Menggunakan pewarnaan khusus Neisser ( granula baber – Ernst),
dan Albert. Kultur bakteri dengan mengambil bahan dari membrane atau bahan di bawah
membrane, dibiakan dalam media non selective yaitu agar serum Loffler (walaupun tidak
selektif, media tersebut menghasilkan pertumbuhan basil difteri yang berlimpah setelah inkubasi
1 malam) , ataupun media selective Tellurite ( menghambat pertumbuhan flora normal traktus
respiratorius )dan Tinsdale ( terlihat koloni hitam atau kecoklatan yang berhalo) .1,6
Schick Tes yaitu tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, untuk mengetahui
apakah seseorang telah mengandung antitoksin difteri .Pada setiap anak disuntikan 0,1 m toksin
difteri secara intrakutan dengan mengunakan jarum suntik 1 cc pada lengan bawah kiri bagian
volar . Reaksi dianggap positif apabila sesudah 24-36 jam timbul indurasi berwarna merah
kecoklatan atau sama dengan 10 mm. Negatif apabila indurasi tidak terjadi atau < 10 mm yang
berarti anak tersebut kebal terhadap penyakit difteri .7
Working Diagnosis
Harus secepatnya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, di dukung dengan hasil
dari identifikasi bakteri laboratorium, dan juga perhatikan riwayat imunisasi dari anak
tersebut . Dari hasil pemeriksaan klinis Pasien menderita Difteri
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi .
Pembagian berat ringanya penyakit adalah sebagai berikut : 1
o Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala
hanya nyeri menelan .
o Infeksi sedang : pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
o Infeksi berat : Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi
dengan trakeostomi . Juga gejala komplikasi miokarditis , paralisis atau penefritis dapat
menyertainya.
Penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :1,6,8
Difteria hidung : Gejala paling ringan dan jarang terdapat ( Hanya 2 % ). Mula – mula
hanya tampak pilek ( commond cold) , tetapi kemudian secret yang keluar tercampur
darah sedikit yang berasal dari pseudomembran . penyebaran pseudomembran dapat pula
mencapai faring dan laring. Penderita diobati sperti penderita difteri lainnya.
Difteri faring dan tonsil ( diferia fausial ) : Paling sering dijumpai ( 75 %) . gejala
mungkin ringan hanya berupa radang pada selaput lendir dan tidak membentuk
pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif.
Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang
lebih berat , mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu
tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula- mula hanya berupa bercak putih
keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Nafas berbau dan timbul
pembengkakan kelenjar regional yaitu servvikal dan submandibular sehingga leher
tampak seperti leher sapi ( bull neck ) . Dapat terjadi susah menelan , dan suara serak
serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan pada laring . Hal ini disebabkan
oleh paresis palatum mole . Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar
haemoglobin dan leukositosis polimorfonuklear , penurunan jumlah eritrosit dan kadar
albumin , sedangkan pada urin dapat ditemukan albuminuria ringan. Psedomembran
yang terbentuk dapat menyebabkan obstruksi saluran napas sehingga anak bias merasa
sesak.
Difteria laring dan trakea : Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3
kali lebih banyak ) . sifat toksik tidak berat oleh karena mukosa laring daya serap toksin
rendah Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila
berat dapat timbul sesak napas hebat , sianosis dan tampak retraksi suprasternal ,
intercostal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull-
neck . Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan , sembab , banyak secret dan
permukaan ditutupi oleh pseudomembran , apabila pseudomembran terlepas dapat terjadi
obstruksi saluran napas hingga menyebabkan kematian . Bila anak terlihat sesak dan
payah sekali maka harus segera di tolong dengan tindakan trakeostomi sebagai
pertolongan pertama.
Difteri kutaneus dan vaginal : Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan
vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang
sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula
timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.
Differential Diagnosis
Tonsilitis Folikularis
Terutama bila membrane masih berupa bintik – bintik putih . Anak harus dianggap difteri
bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membrane putih
kelabu yang mudah berdarah . Tonsilitis formikularis biasanya disertai panas tinggi
sedangkan ank tampak tidak terlalu lemah , faringdan tonsil tampak hiperemis dengan
membrane putih kekuningan , rapuh dan lembek , tidak mudah berdarah dan hanya
terdapat pada tonsil saja . 1
Abses retrofaring
Abses retrofaring yang berasal dari faringitis dan disebabkan oleh pecahnya limfadenitis
purulen retrofaring jarang ditemukan pada anak usia di atas 10 tahun. Infeksi terletak
antara m.konstriktor faring dan fasia prevertebralis. Tanda yang mencolok pada abses
retrofaring ialah stridor dengan sikap leher anak yang hiperekstensi. Gejala lain berupa
hipersalivasi dan regurgitasi. Pada inspeksi seluruh dinding posterior faring menonjol ke
depan, mungkin tanpa reaksi radang pada mukosa, sedangkan pada pemeriksaan abses
menunjukkan fluktuasi dan korpus vertebra servikal tak dapat diraba. Jika penderita
adalah bayi, sebaiknya bayi diletakkan dalam posisi tengkurap dengan kepala lebih
rendah agar bila abses pecah pada waktu pemeriksaan, nanah keluar lewat mulut dan
tidak terjadi aspirasi. Abses cukup diinsisi dan tidak perlu dipasang penyalir.9
Abses peritonsiler
Abses peritonsiler yang biasanya disebabkan oleh staphylococcus atau sterptococcus,
merupakan kelanjutan tonsillitis akut atau kronik melalui selulitis peritonsilar. Penderita
biasanya demam, mungkin sakit berat dan merasa sangat nyeri terutama saat menelan dan
membuka mulut disertai trismus. Pada inspeksi tampak arkus palatines anterior terdorong
ke luar dan uvula terdesak melewati garis tengah. Membedakan abses peritonsiler dari
selulitis peritonsiler mungkin sulit. Kira-kira 48 jam setelah mulainya selulitis
peritonsiler akan terbentuk abses peritonsiler. Abses ini perlu diinsisi, disalir (drainage),
dan diberi antibiotik. 9
Epidemiologi
Distribusi penyakit ini tersebar di seluruh dunia , terutama dinegara – negara miskin ,
yang penduduknya tinggal rapat , kurang hygenis , kurangnya edukasi tentang imunisasi .
Orang – orang yang beresiko tinggi terkena difteri adalah :1,6,8
Orang dengan social-ekonomi rendah ( populasi anak jalanan ) , anak dengan gizi buruk ,
imun yang lemah.
Orang yang tinggal dipenampungan
Pemakai obat – obatan
Pada awal tahun 1990 WHO menetapkan Indonesia sebagai salah satu endemic Difteri.
Angka kematian karena difteri berkisar antara 5- 10 % , lebih tinggi sampai 20 % pada anak –
anak dengan usia < 5 tahun dan dewsa dengan usia > 40 tahun. Pada laki- laki dan perempuan ,
lebih sering terkena pada wanita , dikarenakan imunitas yang lebih rendah . Merupakan penyakit
terutama pada anak- anak usia < 12 tahun .6
Etiologi
Difteria disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, termasuk dalam kelompok bakteri
batang gram positif , tidak berspora, fakultatif anaerob , berkembang pada kisaran suhu 15-40
derajat Celsius. Meragi glukosa dan maltose tanpa gas . dapat memproduksi eksotoksin .
Bentuknya sepertin palu ( pembesaran pada salah satu ujungnya) , diameter 0,1 – 1 mm dan
panjangnya beberapa mm . basil ini hanya tumbuh pada media tertentu seperti medium loeffler ,
medium tellurite , medium fermentasi glukosa dan agar tindale. Pada medium loeffler , basil ini
tumbuh dengan cepat membentuk koloni – koloni kecil , granular berwarna hitam dan lingkari
warna abu abu coklat. 6,8
Menurut bentuk , besar dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan 3 jenis basil
yang dapat memproduksi toksin , yaitu gravis : koloninya besar , kasar , irregule, berwarna abu –
abu dan tidak menimbulkan hemolysis eritrosit; mitis : koloninya kecil , halus berwarna hitam ,
konveks dan dapat menimbulkan hemolysis eritrosit ; intermediated : koloni halus , kecil
mempunyai bitnik hitam ditengahnya dapat menimbulkan hemolysis eritrosit. Strain gravis lebih
virulen karena terbentuk toksin lebih cepat.6,8
Faktor virulensi nya adalah toksin , yang diproduksi oleh strain C. diphtheria yang
diinfeksi oleh bekteriofaga yang membawa gen toksin diphtheria ( tox) , C. diphtheria yang
menghasilkan toksinlah yang dapat menimbulkan manifestasi klinis. dosis letal bagi manusia 130
ng /KgBB, toksin menghambat sistesi protein sel eukariota , toksin dikeluarkan oleh sel bakteri
lau terpapar dengan tripsin sehingga akan membentuk fragmen A ( toksin ) dan B ( yang
berikatan pada sel eukariota) , lalu akan mediasi fragmen A untuk masuk ke sitoplasma sel
sehingga akan mengganggu sintesa protein . 8
Patogenesis
Basil ini hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih –
lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil , sinus dan lain – lain . Tetapi walaupun jarang
basil dapat pula hidup pada daerah vulva , teliga dan kulit. Hospes alaminya adalah manusia ,
transmisi penularan dapat melalui droplet , secret nasofaring ataupun kontak tangan kemulut.
Masa inkubasi 2-5 hari , bakterinya yang masuk dalam hidung atau mulut , berkembang biak
pada sel epitel mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil , kemudian menghasilkan
eksotoksin , yang dilepaskan oleh edosom , sehingga menyebabkan reaksi inflamasi local ,
selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis serta membentuk eksudat. 6,8
Toksin terdiri dari dua fragmen protein , fragmen B akan berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel pejamu yang rentan , dan sifat proteolitiknya memotong lapisan membrane lipid ,
sehingga membantu fragmen A masuk kedalam pejamu. Selanjutnya akan terjadi peradangan
dan destruksi sel – sel epitel diiuti nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin , yang
kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih , akibatnya terbentuk patchy exudat yanv pada awalnya
dapat terkelupas.pada keadaan lanjut , produksi toksin meningkat sehingga daerah nekrosis
makin luas , dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa (pesudomembran) yang terdiri atas
jaringan nekrotik , fibrin , sel epitel , sel leukosit , sel eritrosit yang berwarna abu – abu sampai
hitam . membrane ini sulit dilepas , kalau di paksa terkelupas akan menimbulkan perdarahan.
Membrane melekat pada dasar mukosa . membrane dapat menyebar ke bronkial , menyebabkan
obstruksi saluran pernapasan dan dispneu. 1,6,8
Manisfestasi Klinis
Masa tunas difteri singkat, umunya 2-5 hari, tapi kadang-kadang 1 minggu. Gejala klinis
tergantung pada tempat infeksi primer dalam hal tanda dan gejala lokal, tetapi manifestasi
toksiknya sama tanpa memandang tempat primer proliferasi organisme. Tonsil adalah tempat
infeksi yang paling umum. Keluhan-keluhan pertama yang muncul tidak spesifik, seperti 1)
Demam yang tidak terlalu tinggi, sekitar 38⁰C, 2) Kerongkongan sakit dan suara parau, 3)
Perasaan tidak enak, mual, muntah, dan lesu, 4) Nyeri kepala, Anoreksia, anak tampak lelah 5)
Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur dara biasa disertai dengan pilek , nyeri
menelan ,sesak napas, serak dan stridor.1,6,8
Penatalaksaanan Medika Mentosa
Antitoksin spesifik merupakan terapi utama dan harus diberikan atas dasar diagnosis
klinis, karena ia hanya menetralisasi toksin bebas. Antitoksin difteri yang sekarang ini tersedia
adalah preparat dari serum kuda. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris didasarkan
pada derajat toksisitas, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit . 6
Antitoksin bakteri adalah serum yang diambil dari kuda, sehingga tes kepekaan
harus dilakukan dengan memberikan larutan 1:10 ke dalam kantung konjungtiva atau melakukan
tes intradermal dengan larutan antiserum 1:100. Bila pasien mengalami reaksi akut, prosedur
desensitisasi harus dilakukan.
Dosis antitoksin bersifat empirik dan didasarkan pada luasnya penyakit. Dosis tidak
berdasarkan berat badan, tetapi berdasarkan jumlah perkiraan toksin. Dosis yang dianjurkan
diberikan dalam Tabel 1. Antiserum diberikan secara intravena. Kegunaan pemberian antitoksin
diragukan pada pasien yang menderita difteri kulit, tetapi beberapa ahli menganjurkannya karena
manifestasi toksik kadang-kadang juga ditemukan. Pada difteri nasal atau fausial ringan :
20.000-40.000 U , i.v waktu 60 menit , Difteri fausial sedang berikan 40.000-60.000 U i.v ,
Difteri berat diberikan 80.000-120.000 U. iv.
Table 1. Dosis pemberian Antitoksin difteri .6
Anti Diphtheria Serum ( ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/ hari selama 2 hari berturut
– turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata peka , maka haru
Dasar Dosis Dosis Antitoksin (U)
Hanya lesi kulit
Penyakit faring/laring, lamanya ≤ 48 jam
Lesi nasofaring
Penyakit meluas lama ≥ 72 jam
Pembengkakan leher difus
20.000 – 40.000
20.000 – 40.000
40.000 – 60.000
80.000 – 100.000
80.000 – 100.000
dilakukan desensitisasi dengan interval 20 menit. Hasil uji kepekaan harus negative,
pemberian dapat secara intamuskular atau intravena.
Antibioik yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat
adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau parenteral (40-50 mg/kg/24 jam;
maksimum 2 g/24 jam), penisilin G Kristal aqua diberikan secara intramuskuler atau
intravena (100.000 – 150.000 U/kg/24 jam; dibagi dalam 4 dosis), atau penisilin prokain
(25.000 – 50.000 U/kg/24 jam; dibagi dua dosis) diberikan secara intramuskuler. Terapi
antibiotik bukan pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama 14 hari. Terapi
diberikan selama 14 hari. Hilangnya organism harus dipantau sekurang-kurangnya 2
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil dengan
interval 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulangi jika hasil
biakan positif. .Pada penderita yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75 mg/KgBB / hari , dibagi 4 dosis. eg.
Antibiotika penisilin prokain 25.000- 50.000 U/ Kg BB / hari sampai 3 hari bebas panas.
Bila ada hipersensitivitas pilih antibiotic lain seperti Eritromisin 50 mg/kgbb selama 5
hari / 14 hari (maksimal 2g/hari)
Kortikosteroid . Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi
miokarditis yang sangat berbahaya . Dapat diberikan prednisolone 2 mg /KgBB/hari
selama 3 minggu yang kemuda dihentikan bertahap.
Non – medika mentosa
Terdiri dari perawatan yang baik Bed rest 2-3 minggu , Isolasi penderita pada fase akut
sampai biakan hapus tengorokan (-) 2 kali berturut turut dan pengawan yang ketat atas
kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. 1,6,10
Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila keadaan
membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi, maka dianjurkan pemberian
makanan cair melalui selang lambung. Pasien difteri dalam keadaan berat, dianjurkan dirawat di
ruang rawat intensif. Bila terjadi obstruksi laring, secepat mungkin dilakukan trakeostomi.
Penderita difteri dirawat selama 3-4 minggu . Bila terdapat sumbatan jalan napas harus
dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteria laring dengan sumbatan
jalan nafas akan menyelamatkan jiwa pasien.1,6,10
Komplikasi
Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya diserap masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa
degenerasi, infiltrasi lemak, dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenal
dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis, disosiasi AV,
sampai blok AV total, dan payah jantung.1,6,8
Kerusakan jaringan saraf perifer yang ditimbulkan adalah berupa demielinasi saraf, yang
dapat menimbulkan paralisis, terutama pada palatum mole, otot mata, dan ekstremitas inferior
serta apabila terjadi paralisis otot diafragma dapat menyebabkan kematian. Akibat lain dari C.
dyphteriae adalah terjadinya trombositopenia dan proteinuria. Kematian biasanya disebabkan
oleh gagal jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran pernafasan. Pada daerah tropis, C.
dyphteriae dapat menimbulkan infeksi sekunder pada kulit (difteri kutan), yang dapat
menimbulkan epidemi pada populasi yang menerima imunisasi yang tidak sempurna serta pada
pasien immunocompromise. 1,6,8
Pencegahan
Cara yang paling baik untuk pencegahan penyakit difteri adalah pemberian imunisasi
aktif pada masa anak-anak secara komplit. Antigen difteri secara tunggal belum ada, biasanya
pemberian vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria-
acellular-pertussis vaccine (DTaP) untuk anak-anak dan tetanus-diphtheria vaccine (Td) untuk
dewasa. DTaP adalah pilihan vaksin yang tepat untuk anak-anak dari usia 6 minggu hingga 6
tahun. Jadwal rutinnya adalah 4 dosis pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan. Interval dosis DTaP
pertama, kedua, dan ketiga minimal 4 minggu. Dosis vaksin keempat mengikuti dosis ketiga
tidak lebih dari 6 bulan, dan sebaiknya tidak diberikan sebelum usia 12 bulan.10 Imunisasi pasif
dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1.000 - 3.000 unit dapat diberikan kepada orang
tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman-kuman virulen. Oleh karena proteksi
semacam ini berlangsung sebentar dan pemberian antitoksin ini dapat menimbulkan
hipersensitivitas atau timbul reaksi anafilaktik pada orang yang sebelumnya pernah kontak
dengan protein asing, maka penggunaannya harus dibatasi pada keadaan-keadaan yang memang
sangat gawat.1,6,8
Prognosis
Kematian penderita difteri sebesar 3 – 5% dan sangat bergantung kepada Umur
penderita , karena makin muda umur anak , prognosis makin buruk ; Perjalanan penyakit , karena
makin lanjut makin buruk; Letak lesi difteria ; Keadaan umum penderita , misalnya prognosis
kurang baik pada penderita kurang gizi; Pengobatan , makin lambat pemberian anti toksin ,
prognosis akan makin buruk.1
Lebih dari separuh pasien dengan difter leher lembu meninggal meskipun diberikan
perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis atau gagal ginjal pada
perjalanan penyakit yang dini.1,6,8
Bila pasien ditangani dengan fasilitas perawatan intensif, kematian akibat sumbatan
saluran napas kecil kemungkinannya, kecuali bila pseudomembran meluas ke bronkus.1
Kesimpulan
Jadi diagnose kerjanya adalah tonsilitis difteri ec Corynebacterium diphteriae strain toksin
dengan derajat infeksi sedang. Hipotesis diterima.
Pertusis
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di
Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang
intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang
rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1-
3. Pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14
tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75
persen adalah anak kurang dari 5 tahun , lebih banyak dialami oleh anak laki – laki dari pada
wanita. Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. 1,11
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. B. pertussis cirinya, tidak bergerak,
cocobacillus gram (-).Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertussis,
dan biasanya tumbuh baik pada “glycerin-potato-blood agar media (border-gengou)”.
ditemukan pada manusia. Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein
virulen utama. 1,11
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,11 Filamentous
Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein
69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,
Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel
saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama
pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan
penyakit yang dikenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan
penyakit disebabkan karena pertusis toxin. 1,11
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan
plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.1,11
Gejala klinis dibagi menjadi stadium kataral, paroksimal, dan konvalesensi . Stadium
kataralis , lamanya 1-2 minggu ( ada batuk ringan terutama malam hari , gejala lain seperti
hidung tersumbat,pilek,bersin bersin ,sesak ,anoreksia, demam ringan atau tidak demam.
Stadium ini menyerupai influenza ,sangat infeksius. Stadium spasmodic selama 2-4 minggu
batuk makin berat, khas , Pasien tampak gelisah wajah kemerahan ,sianosis,lakrimasi , petechiae
tertutama konjungtiva, serangan batuk panjang dan keras, diakhiri dengan whoop, disertai
muntah dan banyak sputum kental. Pada Bayi dapat terjadi apnoe,sianosis hingga kejang.
Stadium konvalensensi , 2 minggu sampai sembuh. Pada minggu ke empat jumlah dan berat
serangan batuk berkurang , muntah berkurang. Serangan paroksismal bisa berulang oleh karena
Infeksi sekunder. 1.11
Penatalaksaannya dapat diberikan Antibiotik Pilihan utama Kelompok makrolide
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari oral , 4 dosis (maksimal 2 gram) , selama 14 hari. Azithromisin
10 mg/kg BB/ hari dosis tunggal selama 5 hari . Pemberian ampisilin dengan dosis 100
mg/KgBB/hari , dibagi dalam 4 dosis . Dapat juga diberikan Ekspektoran dan mukolitik ,
ataupun kodein bila terdapat batuk yanhg hebat sekali dan luminal sebagai sedative . Suportif
dengan cairan, oksigen, dan nutrisi yang baik .1,11
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertussis yang didapat dari ibu, namun
kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu, sebaiknya anak usia kurang
dari 1 tahun diberikan vaksin.7 Vaksin pertussis diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau
DTaP) dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar
diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6 – 8 minggu (usia 2 - 4 - 6 bulan). Ulangan
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah
ulangan yang pertama (usia 4 – 6 tahun).1,11
Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi
karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya. 11
Daftar Pustaka
1. Hasan R, Alatas H . Buku kuliah ilmu kesehatan anak . Volume 2 . Jakarta . Infomedika :
2007 .h. 551-6, 564-7
2. Hadfield TL , McEvoy P , Polotsky Y, Tzinserling VA, Yakovlev AA. The pathology of
diphtheria. Oxford J Infection Deaseas 2008 ; 181 (1) :116-9
3. Supartondo, Setiyohadi B : Anamnesis . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata
M , Setiati S ( Editors). Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing ;2009.h.25-8
4. Baldwin D. Sistem pernapasan .Dalam : Houghton AR , Gray D . Chamberlain’s gejala
dan tanda dalam kedokteran klinis pengantar diagnosis medis. Edisi 13. Jakarta :Indeks ;
2012.h.106-9.
5. Amin Z : Manisfestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan kelainan system
pernapasan . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M , Setiati S ( Editors). Buku
ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 2 .Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing ;2014.h.1583-3
6. Long SS. Difteri . Dalam : Behrman RE, Kliegman RM , Arvin AM. Ilmu kesehatan anak
nelson . Volume 2 . edisi 15 . Jakarta : EGC ; 2000. h.955-9
7. Lubis B . Penelitian status imunitas terhadap penyakit difteri dengan schick test pada
murid sekolah taman kanak-kanak di kotamadya medan . Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas kedokteran Universitas Sumatra Utara. Di publikasikan pada : 2005 , diunduh
dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2036/1/anak-bidasari3.pdf , 6 Juli
2015.
8. Ahmad A : Difteri . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M , Setiati S
( Editors). Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing ;2014.h.643-6
9. Nelson JD. Esensi pediatri nelson. Jakarta: EGC; 2010. h.635-8.
10. Acang N. Difteri. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.1856-7
11. Long SS. Pertusis. Croup. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson
textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 960-5, 1111-2.