Post on 07-Nov-2020
39
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Putusan Pengadilan TUN Yang Tidak Dilaksanakan Oleh
Pejabat TUN
Ada beberapa putusan Pengadilan TUN yang penulis temukan, dimana
putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh Pejabat TUN yang dinyatakan kalah
dalam persidangan. Berikut adalah putusan yang dimaksud penulis:
A. Putusan PTUN Nomor: 41/G/2008/PTUN-BDG
1) Subjek
Nugroho dkk yang bertindak untuk dan atas nama Gereja Kristen
Indonesia (lanjutnya disebut GKI) Jl . Pengadilan No. 35 Bogor
sebagai Penggugat melawan Kepala Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor sebagai Tergugat.
2) Objek
Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No :
503 /208–DTKP Perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari
2008.
3) Duduk Perkara
a) GKI tersebut telah memperoleh Surat Keputusan Walikota
Bogor Nomor: 645.8-372 tahun 2006 tertanggal 30 Juli 2006
tentang Izin Mendirikan Bangunan dan telah mendapat
dukungan dari penduduk sekitar GKI tersebut sebanyak 170
40
surat pernyataan tidak keberatan padatanggal 10 Maret 2002,
127 surat pernyataan yang sama pada tanggal 1 Maret 2003, 42
surat pernyataan yang sama pada tanggal 8 Januari 2006, 71
surat pernyataan yang sama pada tanggal 12 Januari 2006, 25
surat pernyataan yang sama pada tanggal 14 Januari 2006 dan
40 surat pernyataan yang sama pada tanggal 15 Januari 2006;
b) Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan tanggal 3 Maret
2006 , Kantor Pertanahan tanggal 14 Maret 2006, Dinas Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan tanggal 15 Maret 2006, Dinas Bina
Marga dan Perairan tanggal 17 April 2006 serta Dinas Tata
Kota dan Pertanahan Kota Bogor tanggal 30 Mei 2006 telah
menerbitkan saran teknis pembangunan dan pengesahan sit
plan pembangunan gereja tersebut. Oleh karena sudah
terpenuhinya semua persyaratan untuk melakukan
pembangunan, maka Walikota Bogor memberikan IMB
kepada GKI dengan dikeluarkannya Keputusan Walikota
Bogor Nomor: 645.8-372 tahun 2006 tertanggal 30 Juli 2006 ;
c) GKI tersebut melalui Pdt. Sumantoro telah menerima surat
Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan No: 503/208-DTKP
perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari 2008;
d) Menanggapi diterbitkannya surat Kepala Dinas Tata Kota dan
Pertamanan tersebut, Majelis Jemaat GKI tersebut telah
mengirim surat kepada Walikota Bogor Nomor 64/MJ - GKI
Bgr / I I / 2 0 0 8, perihal Keberatan dan Penolakan atas Surat
41
Pembekuan IMB Gereja yang Diterbitkan Kepala Dinas Tata
Kota dan Pertamanan Kota Bogor, tertanggal 28 Pebruari 2008
yang juga ditembuskan kepada Kepala Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor, Kepala Badan Pengawasan Daerah
Kota Bogor, Kepala Bagian Hukum Setdakot Bogor, Kepala
Kantor Sat. Pol P.P . Kota Bogor dan Forum Ulama dan Ormas
Islam seKota Bogor;
e) Bahwa, dengan diterbitkannya Objek Gugatan tersebut, maka
Penggugat merasa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Untuk itu, Penggugat telah mengadukan secara
langsung perihal ini kepada Komnas HAM di Jakarta pada
tanggal 10 Maret 2008. Sebagai respon terhadap materi
pengaduan tersebut, Komnas HAM telah mengirim surat
kepada Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 592
/K/PMT/ IV/08 perihal Penolakan Pembekuan IMB Gereja
Taman Yasmin tertanggal 7 April 2008. Pada intinya Komnas
HAM meminta klarifikasi dan perkembangan mengenai
permasalahan ini kepada Menteri Agama dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Surat Komnas HAM tersebut juga
ditembuskan antara lain kepada Menteri Dalam Negeri,
Walikota Bogor dan Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan
Kota Bogor;
42
f) Adanya pihak ketiga yaitu Forum Ulama dan Ormas Islam se-
Kota Bogor yang keberatan diterbitkannya IMB Gereja
tersebut.
4) Isi Gugatan
a) Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
b) Menyatakan batal atau tidak sah Surat Nomor : 503 /208 –
DTKP perihal Pembekuan Iz in tertanggal 14 Pebruari 2008;
c) Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat
Keputusan Nomor: 503/208 – DTKP perihal Pembekuan Izin
tertanggal 14 Pebruari 2008;
d) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang
timbul dalam perkara ini.
5) Pertimbangan Hakim
a) Para Penggugat berdasarkan ketentuan Pasal 94 ayat (1) Tata
Gereja (Tager) Badan Pekerja Majelis Gereja Kristen
Indonesia Tahun 2003 dan Keputusan Persidangan Majelis
Jemaat (PMJ) Gereja Kristen Indonesia Pengadilan, Para
Penggugat berhak untuk mewakili kepentingan hukum Gereja
Kristen Indonesia Pengadilan untuk beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara Bandung dengan diwakili oleh Penerima
Kuasa. Dengan demikian, pihak yang mengajukan gugatan
dalam sengketa Tata Usaha Negara dengan Register Perkara
Nomor: 41/G/2008 /PTUN- BDG adalah telah jelas Subyek
Hukumnya.
43
b) Dalam pokok sengketa.
(1) Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang
terungkap dipersidangan ternyata Para Penggugat tidak
diberikan kesempatan memberikan penjelasan sebelum
terbitnya obyek sengketa a quo;
(2) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T- 3, T- 4, T- 6, T-7,
T- 8, T- 9 dan T- 10, Majelis Hakim memperoleh fakta
bahwa sebelum diterbitkan Surat Keputusan obyek
sengketa a quo memang ada pernyataan keberatan yang
diajukan Forum Umat Islam dan Ormas - ormas Islam se-
Bogor tentang Pembubaran Ahmadiyah dan Penolakan
Pembangunan Gereja (bukti T- 3), Permohonan Audiensi
dari Forum Umat Islam Kota Bogor (bukti T- 4),
Pernyataan Penolakan dari warga (bukti T- 6 sampai
dengan bukti T- 10). Setelah Majelis Hakim mencermati
surat - surat tersebut tidak dijadikan alasan untuk
membekukan izin;
(3) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P- 7 sampai dengan
bukti P- 19, terungkap fakta hukum Para Penggugat telah
melakukan upaya untuk melengkapi persyaratan pengajuan
permohonan IMB Gereja dan persyaratan tersebut telah
dapat dipenuhi oleh Para Penggugat, dengan bukti
diterbitkan IMB;
44
(4) Menimbang, bahwa ternyata kemudian dalam tahap
pembangunan Gereja Kristen Indonesia Pengadilan yang
pada pokoknya karena ada keresahan masyarakat, ada
penolakan atas pembangunan Gereja Kristen Indonesia
Pengadilan tersebut akhirnya diterbitkanlah oleh Tergugat
Pembekuan Izin;
(5) Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan
diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa surat keputusan
obyek sengketa a quo penerbitannya bertentangan dengan
ketentuan Pasal 15 ayat (2 ) Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2006 tentang Bangunan, dengan pertimbangan
bahwa Para Penggugat tidak pernah didengar
keterangannya atau diberi kesempatan untuk memberikan
penjelasan sebelum diterbitkannya obyek sengketa a quo
(Asas Audiet Alteram Partem), (Vide Pasal 15 ayat (2 )
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2006);
(6) Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim
berpendapat bahwa dalam menyikapi Surat Pengaduan dari
Forum Ulama dan Ormas Islam se - Kota Bogor Nomor
Istimewa tanggal 1 Oktober 2006, Hal Permohonan
Pembatalan Pembangunan Gereja di Jalan KH. Abdullah
bin Nuh No. 31 Kelurahan Curug Mekar Kecamatan Bogor
Barat tersebut, Tergugat seharusnya memperhatikan
ketentuan Pasal 21 Peraturan Bersama Menteri Agama dan
45
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 / Nomor 8
Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah / Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pembentukan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah;
(7) Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim
berpendapat bahwa dalam menyikapi Surat Pengaduan dari
Forum Ulama dan Ormas Islam se-Kota Bogor Nomor
Istimewa tanggal 1 Oktober 2006, Hal Permohonan
Pembatalan Pembangunan Gereja diJalan KH. Abdullah
bin Nuh No. 31 Kelurahan Curug Mekar Kecamatan Bogor
Barat tersebut, Tergugat seharusnya memperhatikan
ketentuan Pasal 21 Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 / Nomor 8
Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah / Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pembentukan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah;
(8) Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang
terungkap dipersidangan berupa keterangan Para Pihak,
Bukti Surat dan Keterangan Saksi ketentuan Pasal 21
tersebut belum pernah dilaksanakan, walaupun pernah
dilaksanakan Audiensi (lihat bukti T- 4), tetapi tidak
mengikut sertakan Para Penggugat. Berdasarkan bukti P-
46
23 Para Penggugat pernah minta bantuan Forum
Komunikasi Umat Beragama Kota Bogor untuk
menyelesaikan permasalahan Pembekuan IMB Gereja
Kristen Indonesia Pengadilan, namun permohonan
diajukan setelah terbit obyek sengketa a quo dan diajukan
sendiri oleh Para Penggugat tanpa melalui musyawarah
untuk menyelesaikan perselisihan yang dilakukan oleh
Walikota dibantu Kantor Departemen Agama Kabupaten
/Kota;
(9) Menimbang, bahwa Tergugat dalam menerbitkan obyek
sengketa a quo mengacu kepada Peraturan Daerah Kota
Bogor Nomor 7 Tahun 2006 dan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006 / Nomor 8 Tahun 2006, maka Tergugat harus
memperhatikan dan mempertimbangkan secara
komprehensif mengenai prosedur dan tata cara
penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat
dan tata cara dan prosedur pembekuan izin, demi
tercapainya kerukunan umat beragama sebagaimana
diamanatkan oleh Pancasila dan Undang- Undang Dasar
1945;
(10) Menimbang, bahwa berdasarkan uraian
pertimbangan di atas dalil gugatan Para Penggugat yang
menyebutkan tindakan Tergugat dalam menerbitkan Surat
47
Keputusan obyek sengketa a quo bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku
terbukti kebenarannya oleh karena itu gugatan Para
Penggugat haruslah dikabulkan dan Surat Kepala Dinas
Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor: 503/208 –
DTKP Perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari 2008
harus dinyatakan batal;
(11) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 110 jo. Pasal
112 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tergugat
dihukum membayar biaya perkara yang jumlahnya akan
ditentukan dalam Amar Putusan ini.
6) Putusan Hakim
a) Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
b) Menyatakan batal Surat Kepala Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor Nomor : 503/208 – DTKP Perihal
Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari 2008;
c) Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Kepala
Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor : 503 /208
– DTKP Perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari 2008;
d) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang
timbul dalam perkara ini sejumlah Rp. 59.000, 00 (lima puluh
sembilan ribu rupiah).
7) Pelaksanaannya
48
Setelah Putusan Pengadilan TUN Bandung Nomor:
41/G/2008/PTUN-BDG dibacakan pada tanggal 4 September 2008
yang memenangkan pengugat maka tergugat mengajukan banding
yang menghasilkan Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta
Nomor: 241/B/2008/PT.PTUN.JKT pada tanggal 11 Pebruari 2009
yang menguatkan Putusan Pengadilan TUN Bandung. Tak puas
dengan hasil tersebut tergugat mengajukan permohonan peninjauan
kembali, dan menghasilkan Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Nomor: 127 PK/TUN/2009 pada tanggal 9
Desember 2010 yang mengungatkan Putusan Pengadilan TUN
Bandung. Tergugat tetap tidak melaksanakan Putusan Pengadilan
Bandung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan
menghukum, sehingga Walikota Bogor menerbitkan SK Nomor:
503.43-135 pada tangal 8 Maret 2011 yang berisi mencabut surat
pembekuan IMB GKI Yasmin. Hal ini tidak sesuai dengan UU
PTUN, karena yang dapat mencabut objek sengketa TUN adalah
Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN tersebut.
B. Putusan PTUN Nomor: 58/G-TUN/2010/PTUN.Mks
1) Subjek
Muh. Arsad, MM sebagai Penggugat melawan Bupati Kepulauan
Selayar sebagai Tergugat.
2) Objek
Keputusan Bupati Kepulauan Selayar Nomor: 821.2
/16O/X/BKD/2010 tanggal 05 Oktober 2010 tentang
49
Pemberhentian Sdr . Drs. MUH. ARSYAD, MM NIP.19650805
198603 1 022 Pangkat Pembina Tk. I Golongan Ruang IV/b
Jabatan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan
Selayar;
3) Duduk Perkara
a) Bahwa PENGGUGAT adalah Pegawai Negeri Sipil pada
instansi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dengan
nama Iengkap Drs. MUH. ARSAD, MM NIP 19650805
198603 1 022 pangkat Pembina Tk. I golongan ruang IV/b
jabatan Kepala Badan Kepegawaian Daerah berdasarkan
Keputusan Bupati Kepulauan Selayar Nomor : 821.22/01 / l
/BKD/2009 tanggal 3 Januari 2009;
b) Bahwa sesuai dengan usia dan masa kerja Penggugat
dibandingkan dengan jenjang pangkat/golongan dan jabatannya
sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu usia 45 tahun dengan
pangkat Pembina Tk. I golongan ruang IV/b dan jabatan
struktural eselon I l – b sebagai Kepala Badan Kepegawaian
Daerah, maka Penggugat termasuk dalam kategori Pegawai
Negeri Sipil dengan perjalanan karier cemerlang bila
dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil lainnya, tidak
pernah dijatuhi hukuman disiplin, baik hukuman disiplin
ringan, sedang maupun berat karena suatu pelanggaran
administrasi maupun pelanggaran yang bersifat pidana, bahkan
selama menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah
50
Kabupaten Selayar, telah melakukan pembenahan administrasi
kepegawaian secara tertib, akuntabel dan transparan;
c) Bahwa pada tanggal 6 Oktober 2010 sekitar pukul 13.00 wita,
Penggugat menerima surat keputusan pemberhentian/
pencopotan sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor:
821.2/160D/X/BKD/2010 tanggal 05 Oktober 2010 yang kini
menjadi objek sengketa dengan alasan yang mengada-ada,
karena PENGGUGAT dianggap tidak mampu mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Kepulauan Selayar. Keputusan mana, selain
memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 3, yang sangat merugikan
kepentingan Penggugat, juga pengajuan gugatan Penggugat
masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah
gugatan diterima sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal
55 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara;
d) Bahwa Keputusan Bupati Kepulauan Selayar Nomor : 821.2
/16O/X/BKD/2010 tanggal 05 Oktober 2010 tentang
Pemberhentian Penggugat sebagai Kepala Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar adalah suatu keputusan
Tata Usaha Negara yang cacat hukum, oleh karena
TERGUGAT dalam menerbitkan keputusan tersebut tidak
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku di
51
bidang kepegawaian yang mengatur tentang pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil dari jabatan struktural sebagaimana
tersebut dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 100
Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam
Jabatan Struktral yang berbunyi “Pegawai Negeri Sipil
diberhentikan dari jabatan struktural karena:
(1) Mengundurkan diri dari jabatan yang didudukinya;
(2) Mencapai batas usia pensiun;
(3) Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil;
(4) Diangkat dalam jabatan struktural lain atau jabatan
fungsional;
(5) Cuti di luar tanggungan negara, kecuali cuti di luar
tanggungan negara karena persalinan;
(6) Tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;
(7) Adanya perampingan organisasi pemerintah;
(8) Tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani dan rohani,
atau;
(9) Hal - hal lain yang di tentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dari persyaratan tersebut huruf a s/d i di atas terlihat bahwa
tidak satupun diantaranya yang dipenuhi oleh Penggugat untuk
dijadikan dasar dalam pemberhentian Penggugat sebagai
Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan
Selayar.
52
4) Isi Gugatan
a) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk keseluruhannya;
b) Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Bupati Kepulauan
Selayar Nomor: 821.2 /160 /X/BKD/2010 tanggal 05 Oktober
2010 tentang Pemberhentian Sdr. Drs. MUH. ARSYAD, MM
NIP: 19650805 198603 1 022 Pangkat Pembina Tk. I Golongan
Ruang IV/b Jabatan Kepala Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Kepulauan Selayar;
c) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Bupati
Kepulauan Selayar Nomor: 821.2 /160 /X/BKD/2010 tanggal
05 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Sdr. Drs. MUH.
ARSYAD, MM NIP: 19650805 198603 1 022.
5) Pertimbangan Hakim
a) Menimbang, bahwa Penggugat pada pokoknya berkeberatan
dengan diterbitkannya objek sengketa a- quo oleh Tergugat
dalam hal ini Bupati Kepulauan Selayar karena mengandung
unsur pelanggaran terhadap undang - undang maupun Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), atas dasar
alasan sebagai-mana telah diuraikan dan dipertimbangkan
dalam pertimbangan tentang duduknya sengketa diatas;
b) Menimbang, bahwa Penggugat merasa kepentingannya telah
dirugikan oleh karena terbitnya objek sengketa a- quo, dimana
selama menjalankan tugas baik sebagai pegawai negeri sipil
maupun dalam jabatan, Penggugat telah bekerja dengan baik
53
dan tanggung jawab serta Penggugat juga tidak pernah dijatuhi
hukuman disiplin oleh karenannya Tergugat dalam menerbit
kan objek sengketa a- quo bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan serta Asas- Asas Umum Pemerintahan
yang baik (AAUPB);
c) Menimbang, bahwa memperhatikan keseluruhan alat bukti
yang diajukan dalam persidangan untuk mendukung dalil-dalil
Tergugat mengenai alasan-alasan pemberhentian berkait
dengan tindak lanjut penjatuhan hukuman disiplin berat kepada
Penggugat berupa pembebasan dari jabatan, tidak di temukan
adanya bukti terhadap pemanggilan Penggugat yang dijatuhi
hukuman disiplin berat maupun bukti telah dilakukan
pemeriksaan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal
23,24,25 dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor: 53 tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil tersebut;
d) Menimbang, bahwa memperhatikan secara cermat keseluruhan
alat bukti yang diajukan pada persidangan tidak terdapat
undangan rapat maupun Berita Acara Sidang Mutasi
/Pengisian Jabatan, yang menerangkan adanya rapat
Baperjakat pada hari Sabtu tanggal 2 Oktober 2010
sebagaimana tercantum dalam Simpulan Rapat Baperjakat
(Bukti T- 14.e), melainkan diadakan pada hari Senin tanggal 4
Oktober 2010 (vide Bukti T- 14.a , T- 14.c , dan T-14.d);
Menimbang, bahwa memperhatikan lebih lanjut Daftar Nama-
54
Nama PNS yang akan di BPJKT lingkungan Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Selayar tanggal 4 Oktober 2010 (Bukti
T- 14.d), tertangga l3 Oktober 2010 tercatat khususnya nama
Penggugat pada kolom jabatan lama sebagai Kepala Badan
Kepegawaian Daerah Kebupaten Keplauan Selyar dan jabatan
baru telah tercatat sebagai Staf Sekretaris Daerah Kabupaten
Kepulauan Selayar, artinya bahwa sebelum diadakan rapat
baperjakat tangga l4 Oktober 2010 (v ide Bukti T- 14.a , T-
14.c ), Sekretaris Baperjakat telah memposisikan Penggugat
dalam jabatan baru sebagaimana tercantum dalam daftar nama
dimaksud (Buk t i T-14.d);
e) Menimbang, bahwa dari seluruh alasan dan pertimbangan
hukum sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut diatas,
Majelis Hakim berkeyakinan bahwa baik rumusan Keputusan
objek sengketa a- quo, maupun prosedur , dan substansi
materiil dari keputusan tersebut telah ternyata tidak sesuai
dengan norma- norma materiil atau landasan yuridis yang
semestinya harus diterapkan, dan oleh karenannya Keputusan
objek sengketa a- quo mengandung cacat yuridis dalam
penerbitannya maka harus dinyatakan batal, oleh karenanya
gugatan Penggugat adalah beralasan hukum dan patut
dikabulkan;
f) Menimbang, bahwa oleh karena Objek sengketa Surat
Keputusan Bupati Kepulauan Selayar Nomor: 821.2/160
55
/X/BKD/2010 tentang Pemberhentian Sdr .Drs .Muh.Arsyad
,MM. NIP 19650805 198603 1 022 Pangkat Pembina Tk. I
Golongan Ruang IV/b Jabatan Kepala Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, tanggal 5 Oktober 2010
(Bukti T-1) dinyatakan batal, maka oleh karenanya hak dan
kedudukan Penggugat pulih sebagaimana Surat Keputusan
Bupati Kepulauan Selayar Nomor : 821.22/01 / I /BKD/2009,
tanggal 3 Januar i 2009 (BuktiP- 2 ) hingga adanya putusan
yang berkekuatan hukum tetap, tanpa memerlukan mekanisme
penerbitan Surat Keputusan yang baru terhadap Pengangkatan
kembali Penggugat sebagai Kepala Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, dan atau setidak-
tidaknya menempatkan yang bersangkutan pada kedudukan
dan jabatan yang sederajat, dengan tentunya menyesuaikan
pada perubahan struktur jabatan sebagaimana ditentukan pada
pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor : 41 tahun 2007, hal
mana adalah bertujuan untuk menjamin pembinaan pola karier
yang sehat, yang pada prinsipnya tidak diperbolehkan
perpindahan jabatan struktural dari eselon yang lebih tinggi ke
dalam eselon yang lebih rendah;
g) Menimbang, bahwa terhadap permohonan penundaan yang dia
jukan Penggugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh
karena tidak terdapat keadaan yang sangat mendesak dan akan
tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepentingan
56
yang lebih besar untuk dilindungi oleh pelaksana Keputusan
Tata Usaha Negara tersebut, sebagaimana ketentuan pasal 67
Undang- Undang Nomor 9 tahun 2004, Tentang Perubahan
atas Undang- Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, oleh karenannya peromohonan penundaan
berlakunya Surat Keputusan Objek sengketa dimaksud tidak
beralasan hukum, dan oleh karenanya haruslah dinyatakan
ditolak;
6) Putusan Hakim
a) Mengabulkan Gugatan Penggugat;
b) Menyatakan Batal Surat Keputusan Bupati Kepulauan Selayar
Nomor : 821.2 /160 /X/BKD/2010 tentang Pemberhentian
SDR.Drs .Muh.Arsyad ,MM. NIP: 19650805 198603 1 022
Pangkat Pembina Tk. I Golongan Ruang IV/b Jabatan Kepala
Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar ,
tanggal 5 Oktober 2010;
c) Mewajibkan kepada Tergugat Mencabut Surat Keputusan
Bupati Kepulauan Selayar Nomor: 821.2 /160 /X/BKD/2010
tentang Pemberhentian Sdr. Drs. Muh. Arsyad ,MM. NIP:
19650805 198603 1 022 Pangkat Pembina Tk. I Golongan
Ruang IV/b Jabatan Kepala Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Kepulauan Selayar, tanggal 5 Oktober 2010;
d) Mewajibkan kepada Tergugat untuk merehabilitasi hak- hak
dan kedudukan harkat dan martabat Penggugat seperti semula;
57
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.55 .000 (lima puluh lima ribu rupiah).
7) Pelaksanaannya72
a) Tanggal 13 Januari 2011 Bupati Kepulauan Selayar
menyatakan Banding atas Putusan PTUN Makassar Nomor :
58/G.TUN/2010/P.TUN.Mks;
b) Tanggal 23 Mei 2011 Majelis Hakim Banding Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Makassar memutus Perkara
Banding Nomor : 28/B.TUN/2011/PT.TUN.MKs tanggal 4
April 2011 dengan amar putusan sebagai berikut :
(1) Menerima secara formil permohonan banding dari
Tergugat/Pembanding;
(2) Menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Makassar Nomor : 58/G.TUN/2010/P.TUN.Mks, tanggal
10 Januari 2011;
(3) Menghukum Tergugat/Pembanding membayar biaya pada
kedua tingkat pengadilan yang dalam tingkat banding
sebesar Rp.250.000.-(dua ratus lima puluh ribu rupiah).
c) Tanggal 20 Juni 2011 Bupati Kepulauan Selayar selaku
Tergugat/Pembanding mengajukan Kasasi atas Putusan
Banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN)
Makassar;
72 http://www.kompasiana.com/aca/kronologis-perkara-tun-antara-muh-arsad-vs-bupati-kepulauan-selayar_551b7142813311c87f9de694. Dilihat pada tanggal 15 Agustus 2016, pukul15.28 WIB.
58
d) Tanggal 22 Nopember 2011 Majelis Hakim Agung Mahkamah
Agung RI memutuskan Perkara Kasasi Nomor : 293
K/TUN/2011 dengan amar putusan sebagai berikut:
(1) Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi :
BUPATI KEPULAUAN SELAYAR tersebut;
(2) Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.500.000,-(lima
ratus ribu rupiah);
e) Tanggal 9 Oktober 2012 batas waktu 2 (dua) bulan setelah
putusan diterima oleh Tergugat dan Tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya maka Keputusan Pemberhentian
Drs. MUH. ARSAD, MM sebagai Kepala BKD dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
f) Tanggal 3 September 2012, Drs. MUH. ARSAD, MM
mengajukan Surat Permintaan Eksekusi Putusan PTUN Yang
Telah Berkekuatan Hukum Tetap kepada Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara. Tanggal 20 September 2012 Ketua PTUN
Makassar menetapkan Perintah Eksekusi Nomor:
14/PEN.EKS/G.TUN/2012/P.TUN.Mks;
g) Tanggal 3 September 2012, Drs. MUH. ARSAD, MM
meminta kepada Kepala BKN untuk memberikan Tindakan
Aministratif kepada Bupati Kepulauan Selayar yang telah
melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang kepegawaian dan tidak mematuhi Putusan
59
PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap dengan tembusan
Presiden RI, Mendagri dan sebagainya termasuk Gubernur
Sulawesi Selatan (12 lembaga);
h) Tanggal 16 Oktober 2012, Menteri Dalam Negeri
memerintahkan Bupati Kepulauan Selayar melaksanakan
Putusan PTUN Makassar dengan mencabut Keputusan Bupati
Kepulauan Selayar Nomor : 821.2/160/X/BKD/2012 tanggal 5
Oktober 2010 sebagaimana Surat Mendagri Nomor:
800/4520/Biro Kepeg tanggal 16 Oktober 2012 perihal
Permintaan Eksekusi Putusan Perkara Nomor :
58/G.TUN/2010/P.TUN.Mks, Nomor :
28/B.TUN/2011/PT.TUN.Mks, Nomor : 293 K/TUN/2011;
i) Tanggal 9 Nopember 2012, Drs. MUH. ARSAD, MM
mengirim surat permintaan Upaya Paksa dan Pengumuman di
Media Cetak kepada Ketua PTUN Makassar agar memaksa
Bupati Kepulauan Selayar melaksanakan Putusan PTUN.
Tanggal 27 Nopember 2012 Panitera PTUN Makassar
mengeluarkan Pengumuman Resmi bahwa Bupati Kepulauan
Selayar tidak melaksanakan Putusan PTUN Yang Telah
Berkekuatan Hukum Tetap dan dimuat melalui Harian Berita
Kota Makassar (BKM) pada tanggal 28 Nopember 2012
dengan berita berjudul “PTUN Perintahkan Cabut SK Bupati
Selayar” yang disebar pada saat Upacara Peringatan Hari Jadi
Selayar ke-407 tanggal 29 Nopember 2012 di Lapangan
60
Pemuda Benteng dan Pengumuman Utuh pada tanggal 29
Desember 2012 dengan kolom berita seperempat halaman pada
halaman 5;
j) Tanggal 19 Nopember 2012, Drs. MUH. ARSAD, MM
mengajukan Permintaan Perintah Presiden agar Bupati
Kepulauan Selayar mematuhi Putusan PTUN sebagai Upaya
Paksa terakhir kepada Bupati agar mematuhi dan
melaksanakan Putusan PTUN;
k) Tanggal 28 Nopember 2012, Menteri Dalam Negeri kembali
memerintahkan Bupati Kepulauan Selayar agar melaksanakan
Putusan PTUN Makassar dengan mengembalikan Drs. MUH.
ARSAD, MM ke jabatan semula sebagai Kepala BKD
Kepulauan Selayar atau minimal jabatan yang setara
sebagaimana surat Mendagri Nomor : 800/7296/Biro Kepeg
tanggal 28 Nopember 2012;
l) Tanggal 2 Januari 2013, Drs. MUH. ARSAD, MM menghadap
kepada Panitera PTUN Makassar dengan membawa
Pengumuan PTUN di Harian BKM halaman 5 tertanggal 29
Desember 2012 sebagai lampiran surat permintaan Perintah
Presiden sebagai Pimpinan Pemerintahan Tertinggi untuk
memerintahkan Bupati Kepulauan Selayar melaksanakan
Putusan PTUN Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap.
61
C. Putusan PTUN Nomor: 20/G/2013/PTUN-KPG73
1) Subjek
Silvester Wangur, S.Pd sebagai Penggugat melawan Bupati Rote
Ndao sebagai Tergugat I dan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga Rote Ndao sebagai Tergugat II.
2) Objek
Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No.
KU.900/87/IV/2009.
3) Isi Gugatan
a) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
b) Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan
batal atau tidak sah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran
gaji No. KU.900/87/IV/2009;
c) Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan
tentang membayar gaji selama 75 bulan mulai dari bulan
Pebruari 2003 sampai dengan bulan April 2009;
d) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar
segala biaya yang timbul dalam perkara ini.
4) Putusan Hakim
a) Mengabulkan gugatan Penggugat sebagain;
b) Menyatakan batal sikap diam Tergugat I dan Tergugat II yang
disamakan dengan keputusan penolakan Tergugat I dan
Tergugat II terhadap surat permohonan Penggugat No:
73 Rydo Nickylens Manafe, Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan HakimPeradilan Tata Usaha Negara (Studi Terhadap Putusan PPTUN Nomor: 20/G/2013/PTUN-KPG),Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 15 Pebruari 2016, h. 85.
62
13/SW/V/2003 tertanggal 20 Mei 2013, perihal: Mohon
pembayaran gaji;
c) Mewajibkan Tergugat untuk memproses permohonan
Penggugat dan menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha
Negara tentang Pembayaran Gaji Penggugat terhitung bulan
Oktober 2004 sampai dengan Januari 2009;
d) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung
renteng untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 141.000,-
(Seratus Empat Puluh Satu Ribu Rupiah).
D. Putusan PTUN Nomor 20/G/1994/PTUN-PDG74
1) Subjek
Drs. Mawardi, AKT. Sebagai Penggugat melawan Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan Indonesia Provinsi Sumatra Barat
sebagai Tergugat I dan Direktur RSUP. Dr. M. Djamil Padang
sebagai Tergugat II.
2) Objek
Surat Keputusan Tergugat I Nomor: KP.04.04.147 tertanggal 4 Juli
Tahun 1994 tentang Pengangkatan dalam jabatan Struktural Eselon
IV.b pada RSUP. Dr. M. Djamil Padang dan Surat Keputusan
Tergugat II Nomor: 04.04.02.50 tanggal 13 Agustus 1994 tentang
Penunjukan Kepala Seksi Pengelolaan Dana Intern RSUP. Dr. M.
Djamil Padang.
3) Duduk Perkara
74 Umar Dani, Putusan Pengadilan Non-Executable Proses dan Dinamika DalamKonteks PTUN, Penerbit Genta Press, Yogyakarta, 2015, h. 108-111.
63
Penggugat memohon kepada Pengadilan TUN Padang untuk
membatalkan atau menyatakan tidak sah:
a) Surat Keputusan Tergugat I Nomor: KP.04.04.147 tertanggal 4
Juli Tahun 1994 tentang Pengangkatan dalam jabatan Struktural
Eselon IV.b pada RSUP. Dr. M. Djamil Padang;
b) Surat Keputusan Tergugat II Nomor: 04.04.02.50 tanggal 13
Agustus 1994 tentang Penunjukan Kepala Seksi Pengelolaan
Dana Intern RSUP. Dr. M. Djamil Padang;
c) Memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II untuk
mengembalikan lagi kedudukan Penggugat sebagai Kepala Seksi
Pengelolaan Dana Intern RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
4) Pelaksanaannya
a) Setelah melakukan pemeriksaan, PTUN Padang memberikan
putusan dengan mengabulkan gugatan Penggugat, putusan
tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Medan No. 43/BDG-G/PD/PT.TUN-MDN/1995 dan Putusan
Kasasi Mahkamah Agung RI No. 22/K/TUN/1996 putusan
tersebut diputus pada tanggal 25 September 1998.
b) Penggugat telah mengajukan permohonan eksekusi yaitu pada
tanggal 1 Nopember 1998, kemudian pada tanggal 22 Desember
1998 dan kembali mengajukan permohonan pada tanggal 6
Januari 2000, atas permohonan tersebut Pengadilan telah
memanggil pihak tergugat buntuk melaksanakan putusan namun
tergugat menyatakan bahwa posisi yang dimohonkan penggugat
64
telah tidak ada lagi, dengan demikian putusan tersebut tidak
dapat dilaksanakan.
c) Penggugat berupaya untuk meminta tergugat dapat
melaksanakan putusan tersebut melalui peran pengadilan, namun
pengadilan hanya bisa menghimbau kepada tergugat agar
mengganti posisi penggugat pada jabatan lain atau dengan
memberikan kompensasi.
3.2 Penyebab Pejabat TUN Tidak Melaksanakan Putusan
Pengadilan TUN Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap dan
Mengikat
Banyaknya kasus Putusan Pengadilan TUN yang tidak dapat dilaksanakan
telah membuktikan adanya suatu kesalahan dalam sistem peradilan administrasi.
Kondisi ini sangatlah memprihatinkan karena keberadaan PTUN diharapkan dapat
memberi keadilan sepenuhnya bagi masyarakat dalam lingkup administrasi
pemerintah.
Beberapa penyebab Putusan Pengadilan TUN yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap dan mengikat tidak dijalankan oleh Pejabat TUN adalah sebagai
berikut:
a. Belum ada kaidah hukum positif yang dapat membentuk budaya hukum
Pejabat TUN untuk patuh dan taat terhadap Putusan Pengadilan TUN.
Eksekusi atau dengan peneguran berjenjang secara hirarki
(floating norm) sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU PTUN ternyata
tidak cukup efektif dapat memaksa Pejabat TUN melaksanakan Putusan
65
Pengadilan TUN.75 Permasalahan eksekusi adalah menyangkut harapan
pencari keadilan, tujuan pihak-pihak yang bersengketa menyerahkan
perkaranya ke pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara mereka
secara tuntas. Tetapi dengan adanya putusan pengadilan bukan berarti
sudah menyelesaikan pokok permasalahan akan tetapi perkara akan
dianggap selesai apabila pelaksanaan putusan atau eksekusi. Dengan
kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala
hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan, pemulihan
tersebut akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan. Putusan
pengadilan yang dilaksanakan adalah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).76
b. Rendahnya Kesadaran Hukum Pejabat TUN
Ketentuan dalam Undang-Undang tidak mengatur secara tegas
mengenai paksaan terhadap Pejabat TUN yang tidak melaksanakan
Putusan Pengadilan TUN. Indroharto berpendapat bahwa tuntas atau
tidaknya, efektif atau tidaknya pelaksanaan putusan pengadilan ini pada
dasarnya masih digantungkan kepada kesadaran, kesukarelaan, tanggung
jawab, sikap dan perilaku dari seluruh jajaran pemerintah sendiri. 77
Sistem eksekusi yang diatur dalam Pasal 116 menggunakan model
floating execution, artinya pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN
diserahkan sepenuhnya kepada Pejabat TUN dengan kesadaran hukum
sendiri bersedia melaksanakan putusan pengadilan, model putusan ini
75Ibid, h. 4. Dikutip dari Supandi, Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Menaati PutusanPengadilan Tata Usaha Negara di Medan, Ringkasan Penelitian (Disertasi) pada UniversitasSumatra Utara, Medan, 2005, h. 2.,
76 Ibid.77 Ibid, h. 5.
66
disebut juga model eksekusi mengambang, karena tidak ada upaya paksa
dari pengadilan untuk melaksanakan putusannya.
c. Faktor teknis mempengaruhi pelaksanan Putusan Pengadilan TUN78
Putusan Pengadilan TUN memang tidak dapat dilaksanakan
secara sempurna akibat dari perubahan keadaan, perubahan peraturan,
perubahan posisi hukum tertentu pada saat perkara masih berjalan.
Karena gugatan diajukan dalam suasana fakta-fakta, posisi hukum dan
kepentingan yang ada pada saat itu, sedangkan putusan pengadilan akan
terjadi setelah selang beberapa waktu, dengan kata lain rentang waktu
antara keluarnya putusan hakim bisa memakan waktu satu tahun atau
lebih, biasanya Pejabat TUN selalu menggunakan upaya hukum
terhadap putusan pengadilan yang memenangkan warga masyarakat.
d. Faktor Perintah Putusan
Bila ditinjau dari perintah putusan maka tidak terlaksana Putusan
Pengadilan TUN disebabkan oleh faktor; pertama, putusan tersebut pada
dasarnya dapat dilaksanakan tetapi pejabat pemerintah memang tidak
ada niat untuk melaksanakannya, faktor inilah yang paling banyak
diperdebatkan, terutama terlihat dari perubahan pola eksekusi yang
mengarah kepada adanya upaya paksa terhadap Pejabat TUN yang tidak
bersedia melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116. Kedua; putusan pengadilan memang tidak dapat
dilaksanakan secara sempurna (putusan non executable), sehingga
putusan tersebut sering diabaikan. Permasalahan yang kedua ini dapat di
78 Ibid, h. 93-104.
67
selesaikan dengan mempedomani Pasal 117 ayat (1) UU PTUN yang
pada intinya apabila pejabat pemerintah tidak dapat dengan sempurna
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah
putusan pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan hukum
tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan dan
Penggugat.
Jika penggugat mengetahui bahwa putusan yang dijatuhkan
pengadilan tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka penggugat
dapat meminta kepada Ketua Pengadilan agar membebani pejabat
pemerintah tersebut untuk membayar uang atau kompensasi lain yang
diinginkan. Ketua Pengadilan agar memanggil kedua belah pihak untuk
mengusahakan persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain
yang harus dibebankan kepada penggugat, apabila tidak tercapai
persetujuan maka Ketua Pengadilan harus membuat penetapan untuk
penyelesaiannya, dapat mengajukan ke Mahkamah agung, Putusan
Mahkamah Agung wajib ditaati kedua belah pihak.
e. Perbuatan Faktual Yang Terjadi79
Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN yang tidak dapat
dilaksanakan dengan sempurna dapat terjadi ketika perbuatan faktual
telah dilaksanakan. Sebagai contoh surat perintah bongkar terhadap
Gedung A, pada saat diajukan gugatan ke Pengadilan TUN
kemungkinan gedung tersebut telah terlanjur dibongkar, maka putusan
79 Ibid, h. 104.
68
pengadilan sudah jelas tidak dapat dilaksanakan secara sempurna,
apalagi hakim dalam putusannya tidak dapat memerintahkan tergugat
untuk membangun kembali.
f. Tidak Sinkronnya antara Hukum Acara dengan Hukum Materiil80
Tidak sinkronnya antara hukum acara dengan hukum materiil
juga menjadi sebab yang sangat fatal. Sebagai contoh dengan keluarnya
Surat Edaran MA No. 08 Tahun 2005 yang pada prinsipnya menyatakan
bahwa semua keputusan yang dikeluarkan oleh KPU/D bukan termasuk
keputusan yang dapat digugat di Pengadilan TUN. Sedangkan pada
Pasal 2 huruf g UU PTUN yang menetapkan bahwa yang bukan
termasuk KTUN adalah keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di
pusat maupun daerah mengenai “hasil pemilihan umum”. Dari norma
tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa yang bukan kewenangan
Pengadilan TUN adalah “hasil pemilihan umum”.
g. Hakim Pengadilan TUN yang Tidak Berperan Aktif
Salah satu asas yang terdapat dalam PTUN adalah Hakim PTUN
bertindak aktif dalam menyelesaikan sengketa TUN. Namun pada
pelaksanaannya berdasarkan Pasal 116 ayat (3), (4), (5), (6) UU PTUN
Hakim PTUN tidak bertindak aktif dalam melakukan pengawasan
terhadap Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan
TUN yang telah berkekuatan hukum tetap dan menghukum. Pada Pasal
116 ayat (3) menjelaskan bahwa “Dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
80 Ibid, h. 104-107.
69
(9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari
kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan tersebut”. Berdasarkan ayat ini menjelaskan
bahwa Pengadilan menunggu penggugat mengajukan permohonan untuk
memaksa tergugat melaksanakan Putusan Pengadilan TUN, tidak
bertindak aktif untuk mengawasi tergugat dalam melaksanakan Putusan
Pengadilan TUN.
3.3 Akibat Hukum Bagi Pejabat TUN Yang Tidak
Melaksanakan Putusan Pengadilan TUN Menurut UU PTUN
Dalam UU PTUN Perubahan Kedua memberikan penjelasan mengenai
akibat hukum yang akan diberikan kepada Pejabat TUN yang tidak melaksanakan
Putusan Pengadilan TUN, yaitu pada Pasal 116 ayat (4) menegaskan bahwa
“Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif”. Dan pada Pasal 116 ayat (7) UU PTUN Perubahan Kedua
menegaskan bahwa “Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi
administrasi, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi
administrasif diatur dengan peraturan perundang-undangan”.
1. Ganti Rugi
70
Secara teoretis, ganti rugi berasal dari bidang hukum perdata,
tentang konsep “onrechtmatige daad”. prinsip bahwa setiap tindakan
onrechtmatig subjek hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain
mengharuskan adanya pertanggung jawaban bagi subjek hukum yang
bersangkutan merupakan prinsip yang telah diakui dan diterima secara
umum.81 Konsep ini secara yuridis formal di atur dalam Pasal 136, 1365,
dan 1367 KUH Perdata.82
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud oleh Pasal 116
ayat (7) UU PTUN Perubahan Kedua adalah Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi Dan
Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Ganti Rugi yang dimaksud adalah pembayaran sejumlah uang
(secara paksa), kepada orang atau badan hukum perdata atas beban
Badan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut sebagai Pejabat TUN)
berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya
kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.83
Besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling
sedikit Rp.250.000,-(dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan paling
81 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2013, h. 71.
82Pasal 1365 berbunyi; “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugiankepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1366; “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untukkerugian yang di sebabkan karena kelalian atau perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Pasal 1367; “Seseorang tidak sajabertanggung jawab untuk kerugian yang di sebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi jugauntuk kerugian yang di sebabkan karena perbuatan orang-orang yang tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”
83 Pasal 1 ayat (1), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991Tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
71
banyak Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah), dengan memperhatikan
keadaan yang nyata.84
2. Sanksi Administratif
Sanksi administrasi ini secara tegas di atur dalam UU AP.
Sanksi administrasi terbagi dalam tiga (3) golongan yaitu sanksi
administrasi ringan berupa; teguran lisan, teguran tertulis, serta
penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan.
Sanksi andministrasi sedang berupa; pembayaran uang paksa dan/atau
ganti rugi, pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak
jabatan. Sanksi administrasi berat berupa; pemberhentian tetap dengan
memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitasnya, pemberhentian tetap
tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta di
publikasikan di media massa. Setiap sanksi administrasi ini di sesuaikan
dengan pelanggaran yang di lakukan oleh pejabat pemerintah.
Selain UU AP, sanksi administrasi ini juga di atur dalam UU
ASN, yang secara khusus mengatur tentang profesi pegawai negeri sipil.
Secara eksplisit UU ASN ini mengatur tentang kode etik bagi aparatur
sipil negara (ASN) untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Akan ada sanksi administrasi berupa pemberhentian tidak
hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD
1945, di hukum penjara atau kurungan karena melakukan tindak pidana
kejahatan dan menjadi anggota dan/ atau pengurus partai politik.
84Pasal 3 ayat (1), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991Tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
72
Dari penjelasan sanksi administrasi berdasarkan UU AP dan UU
ASN ini maka apabila Pejabat TUN tidak melaksanakan Putusan
Pengadilan TUN yang berkekuatan hukum tetap maka dapat di kenai
sanksi administrasi tersebut berdasarkan golongan sanksi yang di atur.
Akibat hukum baik ganti rugi dan/atau sanksi administrasi bagi
pejabat TUN ini tidak secara serta merta dapat di laksanakan karena ada
proses dan tahapan yang harus dilewati. Di samping diumumkan pada
media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 116 ayat
(5) UU PTUN, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan
kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi
pengawasan.
3.4 Analisis
Dari beberapa Putusan Pengadilan TUN yang tidak dilaksanakan oleh
Pejabat TUN dan penyebab Pejabat TUN tidak melaksanakan Putusan Pengadilan
TUN yang telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat serta penjelasan akibat
hukum bagi Pejabat TUN maka dapat katakan bahwa Pengadilan TUN menemui
kendala yang cukup besar, lemahnya pelaksanaan putusan oleh Pejabat TUN
merupakan masalah mendasar yang bagi Pengadilan TUN.
Sebelum menjelaskan akibat hukum bagi Pejabat TUN yang tidak
melaksanakan Putusan Pengadilan TUN penulis hendak menjelaskan bahwa
dalam tulisan ini Putusan Pengadilan TUN yang dimaksudkan adalah Putusan
73
Condemnatoir yang berarti bahwa putusan bersifat akhir yang menghukum pihak
yang di kalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi : memberi, berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Dalam putusan ini diharapkan bagi pihak yang kalah atau Pejabat
TUN memberi ganti rugi, atau berbuat sesuatu misalnya mencabut kembali
KTUN tersebut.
Fakta di Indonesia menyebutkan bahwa ada beberapa Putusan Pengadilan
TUN yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat TUN, sebagaimana telah dijelaskan di
atas. Keadaan ini menggambarkan bahwa belum adanya peraturan yang memaksa
Pejabat TUN untuk melaksanakan Putusan Pengadilan TUN. Sehingga akibatnya
para Pejabat TUN merasa tidak harus melaksanakan atau dapat mengabaikan
Putusan Pengadilan TUN tersebut.
Beberapa faktor yang telah dijelaskan di atas kemudian menjadi alasan
sebuah Putusan Pengadilan TUN tidak dilaksanakan oleh Pejabat TUN. Menurut
pendapat penulis ada faktor dominan yang mengakibatkan Pejabat TUN tidak
melaksanakan Putusan Pengadilan TUN yaitu rendahnya kesadaran hukum
Pejabat TUN. Bagi para Pejabat TUN hal yang perlu diketahui adalah bahwa
jabatan hanyalah fiksi yang dilaksanakan oleh pejabat sebagai pelaksanaan jabatan
pemerintah. Oleh karena itu sebagai pemangku jabatan diperlukan kesadaran
hukum Pejabat TUN dalam melaksanakan Putusan Pengadilan TUN. Karena
setiap tindakan yang dilakukan oleh pejabat ada akibat hukumnya. Demikian juga
bagi pejabat yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN maka akan ada
sanksi yang diberikan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian di Indoesia yaitu UU ASN
dan UU AP.
74
Adapun sanksi yang diberikan bagi Pejabat TUN yang tidak melaksanakan
Putusan Pengadilan TUN adalah Sanksi Ganti Rugi dan Sanksi Administratif.
Ganti Rugi dan Sanksi Administratif akan di berikan kepada Pejabat TUN apabila
telah melewati proses sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 116 ayat (6) UU
PTUN. Oleh karena itu menurut penulis proses yang harus dilalui dalam
menerapkan ganti rugi dan sanksi administratif bagi Pejabat TUN tersebut
membutuhkan waktu yang terlalu lama yaitu 90 hari, sehingga seharusnya ganti
rugi harus diterapkan setelah ada Putusan Pengadilan TUN yang berkekuatan
hukum tetap, karena kerugian yang diderita oleh tergugat akibat diterbitkannya
KTUN harus segera diganti berdasarkan Putusan Pengadilan TUN tersebut.
Penerapan sanksi administratif bagi Pejabat TUN secara langsung dapat
diterapkan karena sanksi administrasi terbagi atas sanksi administrasi ringan,
sedang dan berat berdasarkan pelanggaran yang dilakukan oleh Pejabat TUN
dengan prosesnya masing-masing. Sanksi administrtif ringan, sedang atau berat
akan dijatuhkan dengan pertimbangan unsur proporsional dan keadilan.
Penerapan sanksi ganti rugi dan sanksi administratif akan diberikan setelah
jangka waktu 90 hari kerja sejak Putusan Pengadilan TUN bersifat tetap. Untuk
KTUN sebagai objek sengketa tidak memiliki kekuatan hukum lagi setelah 60
hari kerja sejak Putusan Pengadilan bersifat tetap. Oleh karena setelah 90 hari
kerja Pejabat TUN tidak melaksanakan kewajibannya untuk melaksanakan
Putusan TUN maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
yang berwenang untuk memerintahkan tergugat melaksanakan Putusan
Pengadilan TUN tersebut. dalam hal tergugat tidak melaksanakan Putusan
75
Pengadilan tersebut maka Pejabat TUN dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa (Ganti Rugi) dan atau sanksi administratif.
Oleh karena itu akibat hukum bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan
Putusan Pengadilan TUN yaitu dikenai sanksi Ganti Rugi dan sanksi
Administratif.