Post on 04-Dec-2020
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Sasaran tinjauan pustaka adalah menjelaskan temuan-temuan peneliti
sebelumnya berkaitan dengan konstruksi klausa verbal BC. Selain itu, tinjauan
pustaka digunakan untuk membandingkan perbedaan serta relevansi hasil penelitian
yang telah dilakukan dengan penelitian ini.
Penelitian tentang Struktur Bahasa Ciacia oleh Abdullah dkk. (1985) dengan
pendekatan struktural menunjukkan bahwa pada tataran fonologi, BC memiliki
sejumlah vokal dan konsonan serta sejumlah pola suku kata. Pada tataran morfologi,
BC memiliki proses morfologis yang meliputi afiksasi berupa prefiks pi-, po-, no- a-,
ci-, ka-, pika-, cipo-; infiks -um-, -in-; sufiks -e, -no, -isie; dan konfiks no-e, poko-e,
pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan.
Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur dasar klausa berupa S-P dan P-S
dan klausa verba. Klausa verba dibagi atas klausa verba yang adjektif, klausa verba
intransitif, aktif, pasif, refleksif, dan resiprokal. Pada aspek kalimat meliputi kalimat
berklausa dan tidak berklausa, kalimat berita, tanya, dan perintah, kalimat sederhana
dan kalimat luas.
Hasil penelitian tentang Konstruksi Verba Aktif-Pasif Bahasa CiaI:Kajian
Morfosintaksis oleh Konisi (1999) (Tesis) dengan pendekatan dan teori struktural.
14
menunjukkan bahwa BC memiliki konstruksi aktif-pasif dan konstruksi pasif
pengedepanan pelaku, dan persesuaian subjek-predikat. Dalam (1) Konstruksi aktif
BC memiliki pola S-P/V-O. Verba pengisi fungsi predikat dapat berupa verba dasar
dan verba turunan. Verba turunan diisi oleh verba berafiks {pi-} { po-}, {piko-}, {-
aso}, {pi-aso}, {po-aso}, {piko-aso}.(2) Konstruksi verba pasif dalam BC diisi oleh
verba bersufiks {–e} dan {–isie}; (2) konstruksi pasif pengedepanan pelaku dengan
tetap mempertahankan verba bersufiks (pasif) {–e} dan {–isie}, baik dengan tanpa
perubahan fonem (verba dasar diawali dengan konsosnan /b/, /m/, dan /w/), dengan
perubahan fonem (verba diawali dengan konsonan /p/ menjadi /m/) maupun dengan
penambahan konsonan –m- dan sisipan –um- yang diawali dengan vokal dan
konsonan /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /s/, dan /t/; (3) konstruksi persesuaian subjek-
predikat/verba dalam BC dibagi berdasarkan pemarkah formal nonfuturum dan
futurum, seperti tampak pada tabel berikut.
15
Tabel 2.1
Promomina Persona dan Afiks Peresuaian dalam BC
No Pronomina Persona
sebagai Subjek
Afiks Persesuaian /
Pemarkah Aspek
Nonfuturum
Afiks Persesuaian /
Pemarkah Futurum
1 PP 1tg, indau ‘saya’ o- a-
2 PP 1 jk, isami ‘kami’ to- ta-
3 PP 2tg, isoo ‘kamu’ mu- cu-
4 PP 2 jk, isimiu ‘kalian’ ka- cuka-
5 PP 3tg, Ia ‘dia’ no- na-
6 PP 3 jk, moia ‘mereka’ noka- naka-
7 BPPtg no- na-
8 BPPjk noka- naka-
Walaupun hasil penelitian tersebut telah dibahas beberapa aspek yang berkaitan
dengan rencana penelitian ini, penelitian tersebut belum dikaji secara tipologi.
Penelitian tersebut hanya membahas konstruksi verbal aktif-pasif, sementara
penelitian ini membahas jauh lebih luas dan mendalam berkaiotan dengan konstruksi
klausa verbal BC. Aspek-aspek berkaitan dengan struktur argumen, predikat
sederhana dan kompleks, valensi dan sistem perubahan valensi, kalimat kompleks,
serta aliansi gramatikal BC menjadi topik bahasan dalam penelitian ini. Walaupun
demikian, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengkaji konstruksi
klausa verbal BC secara tipologis.
16
Beberapa hasil penelitian lainnya telah pula dilakukan oleh Konisi dan
Hidayat (2000, 2003, 2005, dan 2007). Pendekatan dan teori yang digunakan dalam
penelitian tersebut menggunakan pendekatan dan teori struktural. Penelitian tentang
Analisis Kategori Kata BC (2000) menunjukkan bahwa BC memiliki sejumlah
kategori kata dalam BC yang dianalisis berdasarkan ciri sintaksis, morfologis, dan
semantik. Penelitian tentang Struktur Morfologi BC (2003) dengan fokus kajian pada
proses pembentukan kata melalui afiksasi, baik berupa prefiks, infiks, sufiks, maupun
gabungan afiks; reduplikasi, dan kompositum. Hasil penelitian tentang Analisis
Katagori Kata BC (2000) dan Struktur Morfologi BC (2003) berkaitan dengan proses
morfemis verba menunjukkan verba BC dapat dibentuk melalui afiksasi berupa
prefiks {ci-}, {ka-}, {pi-}, {po-}; prefiks rangkap {pika-}, {piko}, dan {cipo-}; infiks
{–um-}; sufiks {–po}, {-mo}, {-no}, {-ci} {-e/isie}, {-aso}, {-ka}; sufiks rangkap –
{epo}; gabungan afiks {pi-a}, {po-e/isie}, {pi-e/isie}, {po-ci}, {po-ki}, {po-pi}, {ci-
pi}, {ni-no}, {ka-no}, {pika-e/-isie}, dan {pi-aso}. Secara sintaktis, verba BC dapat
menduduki fungsi sintaksis dan dapat disandingkan dengan kata cia ‘tidak’. Secara
semantic, verba BC memiliki makna inhenren perbuatan, inhenren berada dalam
keadaan seperti yang disebut pada kata dasar, dan inheren pengalaman.
Hasil penelitian tentang Struktur Frasa BC (2005) difokuskan pada (1) jenis
frasa BC berdasarkan distribusi konstituen dan kelas/kategori kata, dan (2) struktur
frasa BC berdasarkan pola urutan (D-M atau M-D). Hasil penelitian tentang Struktur
Kalimat BC (2007) menunjukkan bahwa kalimat dalam BC memiliki struktur atau
pola (1) kalimat tunggal: S – P – (O – Pel - K) ; (2) kalimat majemuk setara BC
17
memiliki pola atau struktur S – P – konj – P, S – P – K - konj – S – P – (O- K) ; dan
(3) kalimat majemuk bertingkat BC memiliki pola konj - S – P – S – P - (O – K), konj
– S – P – P – S, konj - P – S – S – P.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Konisi dan Hidayat tersebut
menunjukkan bahwa walaupun tidak berkaitan langsung dengan penelitian ini, tetapi
dapat menjadi informasi awal tentang BC. Hasil penelitian tentang morfologi,
misalnya terutama tentang afiks dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis
sejumlah pemarkah dalam konstruksi klausa verbal BC. Demikian pula hasil
penelitian tentang struktur kalimat BC dapat menjadi informasi tentang tipe/pola BC,
yaitu S-P/V-O.
Penelitian ini juga menggunakan hasil penelitian lain yang relevan dengan
objek penelitian. Penelitian terdahulu seperti yang telah dilakukan oleh Artawa
(1994), Arka (2000), Kosmas (2000), Jufrizal (2004), Budiarta (2009), Satyawati
(2009), Yudha (2011), dan Sukendra (2012). Untuk lebih jelasnya, pustaka-pustaka
dimaksud secara terperinci dipaparkan berikut ini.
Penelitian tentang Ergativity and Balinese Syntax oleh Artawa (1994)
(disertasi) dengan pendekatan dan teori tata bahasa relasional dan tipologi bahasa.
Ada empat permasalahan pokok yang dibahas dalam disertasi tersebut berkenaan
dengan keergatifan dan sintaksis bahasa Bali. Keempat permasalahan pokok
tersebut meliputi relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi
pragmatik, dan tipologi sintaksis. Penjelasan tentang relasi gramatikal diawali
18
dengan penentuan konstituen SUBJ yang dilakukan dengan cara pengujian sintaksis,
yaitu perelatifan, kontrol, penaikan, serta pivot. Penjelasan tentang mekanisme
perubahan valensi menggambarkan penurunan dan penaikan valensi verba
sehingga ditemukan adanya proses pengaplikatifan dan pengausatifan verba dasar
bahasa Bali melalui proses morfosintaksis sufiks (-ang) dan (-in). Pengkajian
terhadap tipe pemarkahan sintaksis bahasa Bali menghasilkan suatu simpulan bahwa
bahasa Bali digolongkan ke dalam tipe bahasa yang memiliki tipologi bahasa
ergatif. Hasil ini sangat berbeda karena secara umum bahasa Bali sering dianalisis
sebagai bahasa akusatif. Artawa menambahkan bahwa pada prinsipnya bahasa Bali
memperlakukan argumen pasien (P) dari verba transitif yang tak bermarkah secara
morfologis, seperti argumen (S) dari klausa intransitif. Hasil penelitian Artawa
(1994) sangat erat kaitannya dengan rencana penelitian ini, terutama mekanisme
perubahan valensi dan tipologi sintaksis. Karena itu, hasil penelitian tersebut
dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Penelitian tentang Beberapa Aspek Intransitif Terbelah pada Bahasa
Nusantara oleh Arka (2000) menyimpulkan bahwa secara tipologis bahasa-bahasa
Nusantara memperlihatkan keterpilahan S, dengan strategi pemarkahan pada
poros verbanya (head marking), seperti bahasa Bali, Lamaholot, Tetun, dan
Dawan atau pemarkahan argumennya (dependent marking), seperti bahasa Kolana
atau keduanya, seperti bahasa Aceh. Pemarkahan verbal biasanya berupa afiks,
dengan memiliki tingkat keterperincian yang bervariasi. Sementara itu, bahasa-
bahasa isolasi seperti bahasa Sikka, yang memang miskin proses morfologis
19
khususnya afiksasi, keterpilahan S diperlihatkan melalui tata urutan antara S dan
poros verbanya. Hasil penelitian tersebut telah menemukan tipologis bahasa-bahasa
nusantara. Karena itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan acuan dalam
penelitian ini, apakah bahasa Ciacia secara tipologis termasuk kelompok bahasa
akusatif, ergatif, atau s-terpilah.
Penelitian tentang Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan
Fungsinya oleh Kosmas (2000) menunjukkan bahwa bahasa Manggarai tidak
memiliki pemarkah morfologis. Ketiadaan pemarkah morfologis disebabkan oleh
ketiadaan proses morfoleksikal karena minimnya afiks (sufiks, infiks,
prefiks). Argumen inti (core argument) bahasa Manggarai tidak dimarkahi, baik
secara morfologis maupun sintaksis. Sebaliknya, argumen noninti (non-core
argument) dimarkahi secara sintaksis dengan preposisi le ‘oleh’. Preposisi ini
digunakan sebagai pemarkah sintaktis, terutama dalam konstruksi pasif atau
dengan kata lain preposisi le ‘oleh’ merupakan pemarkah konstruksi pasif
dalam bahasa Manggarai. Dengan demikian, pasif dalam bahasa Manggarai
merupakan pasif secara sintaksis, bukan pasif secara morfologis. Terkait dengan
tipologi bahasa, Kosmas (2000) menyatakan bahwa secara tipologis bahasa
Manggarai merupakan bahasa yang dikelompokkan ke dalam bahasa yang bertipe
akusatif. Keakusatifan bahasa Manggarai ini ditunjukkan dengan pengetesan
pemetaan peran semantis dan fungsi gramatikal serta tes kepivotan, yakni S/A pivot
dan S/O pivot. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kosmas (2000) dapat dijadikan
20
acuan sekaligus sebagai bahan perbandingan dengan penelitian ini, terutama
penentuan tiopologis BC.
Penelitian tentang Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa
Minangkabau oleh Jufrizal (2004) menunjukkan bahwa berdasarkan sistem
koreferensi relasi-relasi gramatikal dalam kalimat kompleks dan penelahaan secara
tipologis terhadap sifat-perilaku gramatikal klausa dan klausa majemuk, baik
kalimat majemuk setara maupun bertingkat, diketahui bahwa secara sintaktis bahasa
Minangkabau mempunyai sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan S sebagai
satu-satunya argumen dalam klausa intransitif sama dengan argumen A dalam klausa
transitif dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Karena itu, secara tipologis
bahasa Minangkabau dapat dikelompokkan ke dalam bahasa yang bertipe nominatif-
akusatif secara sintaksis. Penelitian tersebut juga menemukan tipe bahasa
Minangkabau tergolong bahasa dengan tipe S-terpilah. Berdasarkan pengujian
kepivotan, secara gramatikal bahasa Minangkabau mempunyai S/A pivot. Hasil
penelitian Jufrizal (2004) dijadikan acuan penelitian ini, terutama berkaitan
dengan struktur klausa dasar dan tipologi bahasa.
Penelitian tetang Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan oleh Budiarta (2009)
menunjukkan bahwa secara sintaksis bahasa Dawan tergolong bahasa yang
memiliki tipologi nominatif-akusatif karena memperlakukan S sama dengan
A dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Berdasarkan pengkajian
sistem rujuk-silang (koreferensial) relasi-relasi gramatikal yang terdapat dalam
21
kalimat kompleks bahasa Dawan, dapat dikatakan bahwa bahasa Dawan
memperlakukan subjek (S) sama dengan agen (A) pada tataran sintaksis. Hasil
penelitian tersebut juga dijadikan acuan dalam mengkaji klausa verbal bahasa Ciacia
yang dikaji secara tipologis.
Peneilitian tentang Valensi dan Relasi Gramatikal Bahasa Bima oleh
Satyawati (2009) menunjukkan bahwa proses penaikan valensi verba dilakukan
melalui proses pengausatifan dan pangaplikatifan. Sebaliknya, proses penurunan
valensi dapat dilakukan dengan peresultatifan. Berdasarkan relasi sintaksis, bahasa
Bima memiliki pola urutan klausa SVO. Klausa bahasa Bima terdiri atas PRED dan
argumen-argumennya yang menduduki fungsi SUBJ, OL, dan OTL. Hasil penelitian
ini juga mengungkapkan bahwa bahasa Bima memiliki tiga bentuk kausatif, yaitu
kausatif leksikal, morfologis, dan analitik. Kausatif leksikal terjadi karena konstituen
yang membangun PRED berupa verba yang bermakna kausatif, tanpa melalui
proses pengausatifan, seperti penambahan pemarkah. Tanpa pemarkah PRED
sudah dinyatakan oleh verba bermakna kausatif. Kausatif morfologis dilakukan
dengan cara menambahkan pemarkah kausatif {ka-} pada verba. Pemarkah jenis ini,
selain dapat dilekatkan pada verba dapat pula dilekatkan pada adjektiva, nomina, dan
numeralia. Kausatif analitik dilakukan dengan menambahkan verba ndawi, baik
dalam konstruksi intransitif maupun transitif.
Satyawati (2009) juga mengungkapkan bahwa pengaplikatifan bahasa Bima
dilakukan dengan preposisi {-labo} dan {-kai}. Penempatan kedua preposisi
22
tersebut berada di belakang verba dan dapat dimarkahi pemarkah perujuk silang
dapat pula tidak. Di samping kedua preposisi tersebut, proses pengaplikatifan bahasa
Bima dapat dilakukan dengan menggunakan pemarkah {-wea} dengan
meletakkannya di belakang verba. Peresultatifan bahasa Bima dilakukan dengan
menambahkan pemarkah {ra-} pada verba. Pada konstruksi resultatif bahasa
Bima, agen tidak disebutkan. Walaupun penelitian yang dilakukan Satyawati
(2009) tidak secara eksplisit membahas tipologi bahasa, tetapi penelitian tersebut
sangat penting untuk dicermati. Hasil penelitian yang berkaitan dengan perubahan
valensi verba bahasa Bima dapat dijadikan bahan perbandingan sekaligus
menjadi acuan dalam mengkaji klausa verbal bahasa Ciacia
Penelitian tentang Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa Lio oleh Yudha
(2011) menunjukkan bahwa struktur klausa bahasa Lio (BL) memiliki struktur
kanonis SVO, VOS, dan OSV. Struktur kanonis OVS ini terjadi karena bahasa Lio
tidak memiliki diatesis pasif. SUBJ bahasa Lio selalu muncul pada posisi
preverbal dan OBJ muncul pada posisi postverbal. Yudha juga mengungkapkan
bahwa tipologi pemarkahan BL tergolong bahasa akusatif yang memperlakukan A
sama dengan S (S/A) dan berbeda dengan P. Kalau dikaji secara sintaksis, BL
termasuk kelompok bahasa ergatif analitik karena tidak ada bahasa yang sepenuhnya
akusatif ataupun ergatif. Bahasa Lio merupakan bahasa yang bersifat ergatif analitik,
argumen P verba transitif tak bermarkah dan diperlakukan dengan cara yang
sama dengan satu-satunya argumen pada klausa intransitif sesuai dengan urutan
23
konstituennya. Keterbatasan BL terletak pada argumen P dan S yang dapat
direlatifkan dan dimodifikasi dengan pemarkah emfatik. Hanya P dan S yang
berfungsi sebagai pivot untuk memungkinkan proses pelesapan nomina yang
berkoreferensi dengan struktur klausa koordinasi dan klausa subordinasi. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yudha (2011) sangat relevan dengan rencana
penelitian ini, terutama berkaitan dengan struktur klausa dan tipologis
pemarkahan. Karena itu, hasil penelitian tersebut dijadikan acuan dalam rencana
penelitian ini.
Penelitian tentang Struktur Klausa Bahasa Sabu: Kajian Tipologi Sintaksis
oleh .Sukendra (2012) mengungkapkan bahwa struktur klausa bahasa Sabu (BS)
terdiri atas klausa berpredikat verbal dan nonverbal. Klausa berpredikat nonverbal
dipredikati oleh nomina, adjektiva, numeralia dan frasa preposisional. Tata urutan
kata yang lazim pada klausa dasar BS adalah SVO atau AVP. Predikasi BS terdiri
atas predikat verbal dengan satu argumen pada klausa intransitif, dengan dua
argumen pada klausa ekatransitif, dan dengan tiga argumen pada klausa dwitransitif.
Terkait dengan struktur informasi, BS diidentifikasi sebagai bahasa yang
menonjolkan subjek.
Terkait dengan penggabungan klausa secara koordinatif dan subordinatif,
Sukendra (2012) mengungkapkan bahwa BS memiliki pivot S/A. Hal tersebut
mengacu kepada konstruksi verba tak terbatas dan konstruksi kalimat tanya.
Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi kalimat tanya memperlihatkan
24
bahwa S diperlakukan sama dengan A dan berbeda dengan P Hal ini dibuktikan
dengan diperkenankannya pelesapan secara langsung jika S bekoreferensi dengan A.
Sementara, jika S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunan
(derivasi) sintaksis melalui mekanisme pemasifan dan penopikan.
Walaupun dengan objek bahasa yang berbeda, penelitian-penelitian yang
dilakukan sebelumnya, baik yang dilakukan oleh Artawa (1994), Arka (2000)
Kosmas (2000), Jufrizal (2004), Budiarta (2009), Satyawati (2009), Yudha (2011),
maupun Sukendra (2012) sangat relevan dan sangat bermanfaat untuk penelitian ini.
Temuan dan simpulan dari hasil penelitian tersebut dapat dijadikan acuan dan bahan
perbandingan dalam penelitian ini.
2.2 Konsep
Bagian ini akan dikemukakan sejumlah konsep berkaitan dengan aspek-aspek
yang dikaji dalam penelitian ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan
pemahaman terhadap berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian. Sejumlah
pandangan para ahli yang dikemukakan dalam bagian ini menjadi acuan atau
pedoman dalam menganalisis atau mengkaji sejumlah masalah dalam penelitian ini.
2.2.1 Klausa
Secara konsep, klausa disamakan dengan konsep kalimat sederhana, yaitu
kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat (Elson dan Pickett, 1983:120).
Pandangan yang sepadan juga dikemukakan Dixon (2010:93) bahwa pembicaraan
25
tentang klausa selalu terkait dengan kalimat, baik kalimat sederhana maupun kalimat
kompleks. Sebuah kalimat sederhana terdiri atas satu klausa, sementara dalam
kalimat kompleks terdiri atas beberapa klausa; klausa yang satu menjadi klausa bebas
sementara yang lainnya dapat menjadi klausa terikat. Sebuah klausa memiliki elemen
predikat yang secara umum diisi oleh verba (walaupun ada kemungkinan dapat diisi
kelas kata yang lainnya) dan sejumlah argumen inti.
2.2.2 Verba
Verba adalah kelas kata yang secara sintaksis dapat menduduki fungsi
predikat dalam sebuah klausa/kalimat dan secara semantik dapat menggambarkan
sebuah perbuatan, proses, atau keadaan (Alwi et al., 2000:87). Berdasarkan jenis
klausanya, verba dapat dibagi atas verba intransitif yang terjadi pada predikat dalam
klausa intransitif, verba transitif yang terjadi pada predikat dalam klausa transitif.
Selain itu, dalam beberapa bahasa, dikenal pula verba ambitransitif (verba labil)
dengan tipe S = A dan tipe S = O (Dixon, 2010: 103).
Pandangan yang sepadan juga dikemukakan Lobner (2013: 111-113) bahwa
terdapat tiga tipe utama verba yakni verba intransitif, verba transitif, dan verba
ditransitif. Verba intransitif yaitu verba yang tidak memiliki objek atau hanya
memiliki satu istilah tempat predikat/satu argumen (hanya subjek). Verba transitif
yaitu verba yang memiliki objek atau memiliki dua istilah tempat predikat dengan
dua argumen (subjek dan objek langsung). Verba ditransitif yaitu verba yang
memiliki tiga argumen (subjek, objek langsung, dan objek tidak langsung).
26
Sementara itu, Artawa (2015) mengemukakan bahwa verba diklasifikasi
menjadi verba utama (primary verbs) dan verba tambahan (secondary verbs). Verba
utama adalah sekelompok verba yang dapat berdiri sendiri sebagai pengisi predikat,
sedangkan verba tambahan adalah sekelompok verba yang kehadirannya memberikan
modifikasi semantik terhadap verba utama. Selanjutnya, verba utama dibedakan
menjadi dua kelompok yakni kelompok verba yang hanya mengizinkan argumennya
berupa frasa nominal, baik berupa S, A, atau O dan kelompok verba yang
mengizinkan argumennya dengan dua pilihan, yakni berupa frasa nominal atau
berupa klausa komplemen.
2.2.3 Valensi
Valensi merupakan kategori gramatikal yang menjelaskan sejumlah argumen
yang dikandung atau dimiliki oleh verba (van Valin Jr dan Lapolla (1997:147). Lebih
lanjut dikemukakan bahwa ada dua jenis valensi, yakni valensi sintaktis dan valensi
semantik. Valensi sintaksis adalah jumlah argumen sintaksis yang dibutuhkan oleh
verba, sedangkan valensi semantik adalah jumlah argumen semantik yang dimiliki
atau yang dikandung oleh verba. Valensi sintaksis juga berkaitan dengan
ketransitifan verba yang meliputi verba intransitif (satu valensi/argumen), verba
transitif (dengan dua valensi/argumen), dan verba ditransitif (tiga valensi/argumen)
(van Valin Jr dan Lapolla, 1997:147).
Selanjutnya, Van Valin Jr dan Lapolla (1997:148) menambahkan bahwa
melalui proses gramatikal akan terjadi perubahan valensi verba, baik berupa
27
penambahan jumlah argumen maupun pengurangan jumlah argumen. Bentuk pasif
terjadi akibat adanya kaidah pengurangan valensi seperti dalam kalimat Buku itu
dibaca merupakan perubahan dari John membaca buku itu). Sementara itu, Dixon
(2010:167) menggunakan konsep perubahan valensi melalui konsep
pendentransitivan dan pentarnsitivan. Pendentransitivan dilakukan melalui derivasi
pasif dan antipasif, sementara pentransitivan dilakukan melalui proses pengausatifan
dan pengaplikatifan.
2.2.4 Argumen
Argumen merupakan nomina atau frasa nominal yang bersama-sama
predikator membentuk sebuah proposisi (Kridalaksana, 1994:16). Keberadaan
argumen dalam sebuah klausa/kalimat sangat bergantung pada valensi-valensi verba
dalam klausa/kalimat tersebut. Ada verba yang memiliki satu argumen (bervalensi
satu). Ada pula verba yang memiliki lebih dari satu argumen (bervalensi lebih dari
satu) (Verhaar, 2010:199). Verhaar pun menambahkan bahwa di dalam klausa,
dikenal istilah konstituen yang menduduki konstituen inti dan konstituen bukan inti.
Konstituen intilah yang dapat disebut argumen (pada verba). Sementara konstituen
bukan inti, yang biasa disebut periferal tidak dapat berstatus sebagai argumen.
2.2.5 Fungsi Gramatikal
Salah satu cara untuk menganalisis klausa secara sintaksis adalah dengan
menekankan pada fungsi-fungsi sintaksis (Verhaar, 2012:162-163). Fungsi-fungsi
28
itu meliputi subjek dan predikat, dan objek. Selain itu, ada satu fungsi gramatikal
yang dikenal dalam tata bahasa relasional, yaitu fungsi oblik. Uraian fungsi-fungsi
tersebut dapat dilihat berikut ini.
2.2.5.1 Subjek dan Predikat
Subjek merupakan fungsi gramatikal yang biasa diisi oleh nomina atau frasa
nominal. Subjek merupakan satu-satunya argumen inti dalam klausa atau kalimat
intransitif, sedangkan dalam klausa/kalimat transitif, subjek merupakan nomina atau
frasa nominal yang menduduki posisi tertinggi pada hierarki fungsi gramatikal
(Blake, 1990:35).
Sementara itu, Dixon (2010: 78) mengemukakan bahwa subjek merupakan
salah satu fungsi gramatikal (selain predikat) yang selalu hadir dalam sebuah
klausa/kalimat. Subjek berkaitan dengan sesuatu yang sedang dinyatakan atau
diingkari. Satu-satunya argumen yang selalu hadir dalam klausa verbal intransitif
berupa Subjek. Sementara dalam klausa verbal transitif, selain menghadirkan subjek
transitif berupa agen/actor (A) dan turut pula hadir objek transitif (O). Kedua fungsi
gramatikal ini dikelempokkan sebagai argumen inti. Dalam bahasa akusatif seperti
bahasa Inggris, argumen S dan A bersifat wajib dalam setiap klausa dan itu sangat
cocok diambil sebagai subjek. Akan tetapi, dalam bahasa ergatif, cenderung argumen
S bersifat wajib dalam intransitif tetapi argumen O bersifat wajib dalam transitif
dengan argumen A dapat dihilangkan (Dixon, 1994, 2010:79).
29
Selain fungsi subjek, terdapat pula fungsi predikat yang selalu hadir dalam
sebuah klausa. Jika subjek berkaitan dengan apa yang sedang dikatakan, sementara
predikat berkaitan dengan apa yang dikatakan tentangnya (Dixon, 2010: 78). Predikat
dalam sebuah konstruksi umumnya diisi oleh verba (walaupun ada kemungkinan
untuk kelas kata lainnya). Setiap predikat membutuhkan argumen yang direalisasikan
dengan sebuah frasa nominal atau sebuah klausa komplemen.
Lobner (2013:108) mendefinisikan predikat sebagai kata-kata yang memiliki
kontribusi dalam sebuah predikasi. Kata-kata tersebut bisa berupa verba, nomina,
ajektiva, atau adverbia/keterangan. Selain itu, predikat digunakan sebagai satu
kesatuan dengan argumen-argumennya. Predikat dengan satu argumen disebut
dengan satu tempat predikat, predikat dengan dua argumen disebut dengan dua
tempat predikat, dan predikat dengan tiga argumen disebut dengan tiga tempat
predikat.
2.2.5.2 Objek
Objek merupakan fungsi gramatikal utama selain subjek yang diisi oleh
nomina atau frasa nominal. Objek adalah relasi gramatikal yang merujuk ke setiap
argumen inti yang bukan subjek. Dalam konstruksi transitif, objek merupakan fungsi
atau relasi gramatikal yang harus hadir dalam sebuah klausa/kalimat dan merupakan
argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba yang bervalensi dua
(Dixon, 1994:140, Jufrizal, 2007:50; Verhaar, 2008:166). Dalam tata bahasa
30
relasional, dikenal pula objek langsung dan objek tak langsung atau objek primer dan
objek sekunder (Blake, 1994; Crof, 2009).
2.2.5.3 Oblik
Oblik merupakan salah satu relasi gramatikal selain relasi utama (subjek,
objek langsung, dan objek tak langsung). Oblik merupakan relasi gramatikal yang
bersifat semantik, yaitu berupa lokatif, benefaktif, dan instrumental (Blake, 1994;
Artawa, 2000, 2015; Jufrizal, 2007).
2.2.6 Keaspekan
Keaspekan merupakan salah satu proses gramatikal terkait dengan situasi
dalam pemakaian bahasa. Menurut Smith (1991:3-6) ada dua unsur yang berkaitan
dengan keaspekan, yakni sudut pandang dan situasi. Unsur sudut pandang
diungkapkan melalui morfem gramatikal sedangkan unsur situasi diungkapkan
melalui verba dan argumen-argumennya. Keaspekan sudut pandang dapat dilihat
secara perfektif dan imperfektif. Keaspekan situasi didasarkan pada ciri semantik
kewaktuan yang dibagi menjadi tiga hal pokok yaitu statis, duratif, dan telis.
Sementara itu, Tadjuddin (2005) menjelaskan bahwa kategori keaspekan
menempatkan suatu situasi menjadi lokasi tempat hadirnya waktu. Hal ini
berimplikasi bahwa waktu mengacu pada ukuran panjang/lama tak terbatas, panjang
terbatas, sebentar, atau tak terputus-putus. Karena itu, keaspekan berhubungan
dengan bagaimana cara situasi dihadirkan/diungkapkan, seperti suatu kejadian yang
31
belum selesai atau sedang berlangsung (imperfektif) dan kejadian yang telah lengkap/
selesai (perfektif).
Djadjasudarma (2013:29) yang mengembangkan pandangan Comrie (1976)
menjelaskan bahwa aspek menyatakan hubungan individual pembicara dengan suatu
proses. Aspek merupakan cara memandang struktur temporal intern suatu situasi.
Suatu situasi dapat berupa keadaan (bersifat statis), peristiwa dan proses (bersifat
dinamis). Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang secara keseluruhan atau sudah
lengkap dari awal, tengah, hingga akhir (aspek perfektif; telah, sudah). Proses
dikatakan dinamis jika peristiwa itu sedang berlangsung (aspek imperfektif; sedang,
lagi, tengah, masih). Lalu, Djadjasudarma menambahkan aspek prospektif berupa
akan seperti pada Ia akan makan (akan, aspek dengan situasi prospektif; boleh
terjadi atau tidak). Samsuri (1987) menambahkan bahwa dalam praktiknya, aspek
dapat dinyatakan secara morfemis dan secara leksikal.
2.2.7 Peran Gramatikal (Argumen Semantis)
Peran gramatikal berkaitan dengan peran-peran kasus yang didasarkan atas
perilaku semantik. Peran agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang
utama (van Valin dan La Polla Jr, 2002: 141-143; Jufrizal, 2007:28-31). Selain itu,
terdapat tiga peran lainnya yang mengikuti peran agen dan pasien, yakni benefaktif,
instrumental, dan lokatif. Peran gramatikal agen dan pasien merupakan peran
makrosemantik (semantic macrorole). Peran agen diistilahkan dengan ACTOR dan
peran pasien diistilahkalam dengan UNDERGOR (van Valin dan La Polla Jr, 2002).
32
Sementara itu, Dixon (2010:116) menggunakan prinsip sintaksis dan semantik dalam
menentukan peran-peran gramatikal sebuah klausa, baik klausa intransitif maupun
klausa transitif. Dijelaskan bahwa dalam klausa intransitif, satu-satunya argumen
yang wajib hadir berupa subjek (S), sementara dalam klausa transitif ada dua
argumen inti yang hadir, yakni agen (A) dan objek (O). Argumen yang memiliki
referensi sebagai sesuatu yang bernyawa dan yang dapat memprakarsai atau
mengontrol aktivitas diidentifikasi sebagai fungsi A. Argumen yang referensinya
lebih menonjol dipengaruhi oleh aktivitas diidentifikasi sebagai fungsi O.
2.2.8 Relasi Gramatikal
Istilah relasi gramatikal merupakan sebuah teori yang dikembangkan oleh
Perlmuter dan Postal di awal tahun 1970-an. Relasi gramatikal merupakan
keseluruhan relasi yang terjadi atau yang terdapat dalam sebuah bahasa. Relasi
gramatikal pada prinsipnya meliputi seluruh proses sintagmatik terutama yang
berkaitan dengan valensi verba. Oleh karena itu, relasi gramatikal meliputi relasi
sintaktik, relasi semantik, dan relasi pragmatik (van Valin dan La Polla, 1997;
Matthews, 1997; Artawa, 2000). Dalam tata bahasa Relasional, ada tiga relasi
gramatikal yang murni bersifat sintaktis, yaitu subjek (S), objek langsung (OL), dan
objek tak langsung (OTL). Relasi gramatikal antara S, OL, dan OTL secara
bersama/berurut dikenal dengan terms (istilah). Selain itu, ada relasi yang bersifat
semantis yang secara kolektif disebut relasi oblik (OBL), seperti lokatif, benefaktif,
instrumental dan sebagainya (Blake, 1994; Artawa, 2000; Djunaedi, 2000). Dengan
33
menggunakan penomoran 1, 2, 3 hubungan-hubungan gramatikal tersebut
membentuk sebuah hierarki seperti tampak berikut ini.
Subjek Objek Langsung Objek tak Langsung Oblik
1 2 3
Blake (1994) memberikan contoh (dalam bahasa Inggris) seperti berikut ini.
Eva gave the apple to adam
1 2 3
Sebuah AGEN atau PENGALAM akan menjadi subjek (S) berupa Eva (1), PASIEN
akan menjadi objek langsung (OL) berupa the apple (2), PENERIMA sebagai objek
tak langsung (OTL) berupa to Adam (3), dan peran-peran yang lainnya seperti lokatif,
benefaktif, instrumental akan dikodekan dalam hubungan oblik (OBL).
2.2.9 Aliansi Gramatikal
Aliansi gramatikal merupakan sebuah sistem atau persekutuan gramatikal di
dalam atau antarklausa dalam sebuah bahasa secara tipologis, apakah berupa S = A, S
= O, So = O atau yang lainnya (Dixon, 1994; 2010). Artawa (2005:11) yang
mengembangkan pandangan Dixon menjelaskan bahwa sistem aliansi gramatikal
menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal bahasa-bahasa di dunia
yang mungkin terdiri atas tiga, yakni sistem akusatif, sistem ergatif, dan s-terpilah
(bahasa aktif). Dixon (1994:72) menggambarkan secara visual ketiga tipologi
gramatikal tersebut seperti tampak berikut ini.
34
Gambar 2.1
Tiga Tipologi Gramatikal
Sistem Akuastif Sistem Ergatif
Sistem S-Terpilah (aktif)
2.2.10 Pivot
Pivot merupakan nomina atau frasa nominal yang paling sentral secara
gramatikal. Pivot adalah sebuah kategori yang mengaitkan S dan A , S dan O, atau S,
A, dan O. Dalam bahasa yang bertipe akusatif, pivot berupa nomina atau frasa
nominal yang berfungsi sebagai subjek gramatikal, sedangkan pada bahasa yang
bertipe ergatif, pivot berupa nomina atau frasa nominal yang merupakan objek atau
pasien. Beberapa bahasa memiliki pivot S/A dan beberapa bahasa lainnya memiliki
A
S
O A
O
S
A
Sa
O
So
35
pivot S/O dan beberapa bahasa lainnya menggabungkan kedua variasi pivot tersebut
pada area gramatikal yang berbeda (Dixon, 1994; 2010).
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan pandangan sejumlah ahli untuk dijadikan
landasan pijak/teori untuk memahami dan menganalisis/mengkaji konstruksi klausa
verbal BC. Pendekatan dan teori tipologi yang dikembangkan Malinson dan Blake
(1981), Comrie (1981, 1983) dan Dixon (1994, 2010) digunakan untuk
menelaah/mengkaji konstruksi klausa verbal BC. Selain itu, pandangan Greembarg
dalam Malinson dan Blake (1981), Payne (2002), Song (2001), Artawa (2005, 2015)
juga dijadikan dasar pembahasan tipologi BC. Pembahasan tentang transitivitas oleh
Dixon (2010, 2012). Pembahasan tentang valensi oleh Van Vallin Jr. et al. (1980),
Van Vallin Jr dan La polla (1997, 2002), Dixon (2010), Goddard (1988); struktur
argumen oleh Alsina (1992), Wongt dan Peter (1998); Uraian tentang pandangan para
ahli tersebut dikemukakan berikut ini.
2.3.1 Tipologi dan Kesemestaan Bahasa
Secara etimologis, tipologi berarti pengelompokan ranah (classificasion of
domain). Secara teknis, tipologi merujuk ke pengelompokkan sebuah bahasa
berdasarkan ciri khas tata kata dan tata kalimat (Mallinson dan Blake, 1981:3;
Artawa, 2015:19). Bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan ciri khas
strukturalnya. Bahasa yang coraknya sama atau setidak-tidaknya mirip
36
dikelompokkan ke dalam golongan atau kelompok yang sama. Setiap unsur dalam
suatu bahasa dapat diperlakukan sebagai sebuah tipe atau sebuah tanda. Sebuah unsur
yang berperilaku sebagai tipe merupakan objek yang bentuknya secara terus-menerus
tetap dan berulang yang terdapat dalam sebuah bahasa.
Kajian tipologi linguistik pada periode awal hanya difokuskan pada tipologi
tata urut kata (word order typology) yang dilakukan oleh Greenberg (dalam
Mallinson dan Blake, 1981). Hasil kajian tipologi Greenberg menunjukkan bahwa
bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut urutan dasar subjek, objek, dan verba
(SOV) dengan tata urutan yang lazim, seperti S-V-O, V-S-O, dan O-V-S atau lainnya.
Kajian awal ini memprakrsai peneliti dan ahli tipologi linguistik untuk mencermati
kemungkinan penipologian bahasa berdasarkan ciri khas tata bahasa. Kajian yang
berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia,
kemudian membuat pengelompokan berdasarkan persamaan atau kemiripan fitur-
fitur tata bahasa tersebut. Cara kerja seperti ini dikenal dalam dunia linguistik
sebagai kajian tipologi linguistik (linguistic typology) yang menghasilkan tipologi
bahasa (language typology) (Artawa, 2005,2015; Jufrizal, 2012).
Comrie (1983) lebih lanjut menyatakan bahwa tujuan tipologi linguistik
adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat-perilaku struktural
bahasa-bahasa tersebut. Tujuan pokok kajian tipologi adalah untuk menjawab
pertanyaan: seperti apakah bahasa x itu? Menurut Comrie, ada dua asumsi pokok
tipologi linguistik, yaitu: (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan
strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Bahasa-bahasa
37
dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (tipologi), seperti bahasa
bertipologi akusatif, bertipologi ergatif, bertipologi aktif, dan sebagainya.
Penipologian bahasa diperlukan untuk pembuatan asumsi-asumsi tentang
kesemestaan bahasa (Artawa, 2015:19). Kesemestaan dan kekhasan tata bahasa
secara lintas bahasa menjadi hal yang menarik dan penting untuk ditelaah. Menurut
Van Valin Jr. dan Lapolla (2002:2–3) pendeskripsian fenomena kebahasaan
merupakan salah satu tujuan penting dalam linguistik. Para ahli bahasa berasumsi
bahwa pendeskripsian fenomena kebahasaan tersebut merupakan tujuan utama dalam
linguistik. Pendeskripsian itu dapat meliputi deskripsi bahasa-bahasa secara sendiri-
sendiri, mendeskripsikan apa yang umum dimiliki oleh seluruh bahasa (kesemestaan
bahasa), atau mendeskripsikan bagaimana bahasa-bahasa berbeda satu sama lain
(secara tipologi bahasa). Mallinson dan Blake (1981: 6-7) menyatakan bahwa
penelitian semesta lintas bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal)
dikenal luas sebagai bentuk kajian tipologi skala besar. Penelitian kesemestaan
bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara lintas bahasa seluas
mungkin. Kajian tipologi dan kajian kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan
dan saling memperkuat.
Mallinson dan Blake (1981:3-5) mengungkapkan bahwa untuk sampai pada
penentuan tipologi bahasa, banyak aspek kebahasaan yang perlu dikaji lebih dahulu,
baik secara gramatikal (morfosintaksis) maupun secara semantis. Tipologi yang baik
menurut Mallinson dan Blake adalah tipologi yang mampu mengelompokkan bahasa-
bahasa secara luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling berhubungan. Pengkajian
38
aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) pada dasarnya didasari dan dicermati
melalui kajian tipologi bahasa yang bersangkutan.
Comrie (1983: 30-32) mengungkapkan bahwa kajian kesemestaan bahasa dan
kajian tipologi merupkan dua hal yang saling terkait. Kajian kesemestaan bahasa
bertujuan untuk mencari dan menemukan (i) perilaku dan sifat-sifat umum semua
bahasa manusia, (ii) kemiripan secara lintas bahasa, dan (iii) batas-batas variasi
bahasa manusia. Sementara itu, kajian tipologi bahasa bertujuan untuk (i)
mengelompokkan bahasa-bahasa di dunia sesuai karakteristiknya, (ii) mengkaji
perbedaan antara bahasa-bahasa, dan (iii) mempelajari variasi-variasi bahasa
manusia. Walaupun berbeda, keduanya memiliki keterkaitan sehingga dapat berjalan
bergandengan. Untuk menetapkan tipologi bahasa diperlukan penetapan parameter
tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Penetapan tipologi suatu bahasa
membutuhkan pembuatan asumsi tentang kesemestaan bahasa.
Penipologian bahasa dapat dilakukan secara morfologis dan secara sintaktis.
Berdasarkan tipologis morfologisnya, bahasa-bahasa di dunia dapat dikelompokkan
menjadi empat kelompok bahasa, yaitu (1) bahasa isolative; bahasa yang tidak
memiliki proses morfologis, seperti bahasa Cina, bahasa Vietnam dan sebagainya; (2)
bahasa aglutinatif; bahasa yang memiliki proses morfologis; kata dapat terdiri atas
beberapa morfem; batas antara kata dan morfem dapat dengan mudah
diurai/dipisahkan, seperti bahasa Indonesia, bahasa Hungaria dan sebagainya; (3)
bahasa infleksi atau fusional; bahasa yang morfem-morfemnya diwujudkan dengan
sejumlah afiks tetapi tidak mudah untuk memisahkan/menentukan afiks-afiks yang
39
membentuk kata atau morfem tersebut, misalnya bahasa Arab, bahasa Latin dan
sebagainya; (4) bahasa inkorporasi atau polisintetik; bahasa yang menggambungkan
sejumlah morfem leksikal menjadi kata tunggal, seperti bahasa Greenlandic Eskimo,
bahasa Inggris dan sebagainya (Comrie, 1983; Mallinson dan Blake, 1981).
Sementara itu, kajian tipologi sintaksis merupakan kajian bahasa yang
bertujuan untuk mengelompokkan bahasa berdasarkan struktur frasa, klausa, dan
kalimat. Secara tipologi, pengelompokan bahasa secara sintaksis dikembangkan
menjadi pengelompokan berdasarkan tata urut (word order) (tata urut kata dan tata
urut kalimat) yang menghasilkan bahasa yang bertipe VO dan OV (Greembarg
dalam Mallinson dan Blake, 1981). Pengelompokan lainnya berupa pengelompokan
berdasarkan pemarkah sintaksis. Pengelompokan ini menghasilkan bahasa dengan
tipologi akusatif, ergatif, dan s-terpilah (s-split) (Dixon, 1994; Comrie, 1981; Arka,
1998; Indrawaty, 2012).
Terkait dengan hal tersebut, Dixon (1994:157-158) mengemukakan bahwa
penentuan tipologi sintaksis sebuah bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan atau
pengujian kepivotannya. Teknik pengetesan atau pengujian kepivotan seperti tampak
berikut ini.
1. Kedua Klausa Intransitif
(a) S1 = S2 seperti Bill entered and sit down ‘Bill masuk dan duduk’
2. Klausa Pertama Intransitif dan Klausa Kedua Transitif
(b) S1 = O2 seperti Bill entered and (Bill) was seen by Fred ‘Bill masuk dan
dilihat oleh Fred’
40
(c) S1 = A2, seperti Bill entered and saw Fred ‘Bill masuk dan melihat Fred’
3. Klausa Pertama Transitif dan Klausa Kedua Intransitif
O1 = S2 seperti Bill was seen by Fred and laughed ‘Bill dilihat oleh Fred dan
tertawa’
(d) A1 = S2, seperti Fred saw Bill and laughed ‘Fred melihat Bill dan tertawa’
4. Kedua Klausanya transitif dan Satu Frasa Nominal Umum
(e) O1 = O2, seperti Bill was kicked by Tom and punched by Bob ‘ Bill ditendang
oleh Tom dan dipukul oleh Bob’
(f) A1 = A2, seperti Bob kicked Jim and punched Bill ‘Bob menendang Jim dan
memukul Bill’
(g) O1 = A2, seperti Bop was kicked by Tom and punched Bill ’Bop ditendang oleh
Tom dan memukul Bill’
(h) A1 = O2, seperti Bob punched Bill and was kicked by Tom ‘Bob memukul Bill
dan (Bob) ditendang oleh Tom’
5. Kedua Klausanya Transitif dan Dua Frasa Nominal Umum
(i) O1 = A2 dan A1 = A2, seperti Fred punched his self and Fred kicked Bill ‘Fred
memukul dirinya dan (Fred) menendang Bill’
(j) O1 = A2 dan A1 = O2, seperti Fred punched Bill and was kicked by him ‘Fred
memukul Bill dan (Fred) ditendang oleh Bill’
2.3.2 Tipologi Bahasa dan Sistem Aliansi Gramatikal
Kajian tipologi bahasa pada umumnya dimaksudkan untuk mengelompokkan
bahasa melalui perilaku struktural yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang
41
bersangkutan. Kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap bahasa dengan
mempertimbangkan ciri yang paling dominan dalam bahasa tersebut. Greenberg
(dalam Mallinson dan Blake, 1981:3) menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat
dikelompokkan menurut tata urut dasar (basic order) subjek, objek, dan verba (SOV)
dengan tata urutan yang lazim, seperti S-V-O, V-O-S, O-V-S, atau yang lainnya.
Tipologi urutan dasar ini ditentukan oleh tiga kriteria berikut.
(1) Urutan relatif antara Subjek-Verba-Objek dalam sebuah kalimat berita, yang
dilambangkan dengan S (subject) V (verb), O (object).
(2) Adanya adposisi yaitu preposisi lawan postposisi dalam suatu bahasa yang
dilambangkan dengan Pr/Po (Preposition/Postpreposition).
(3) Posisi adjektif atributif terhadap nomina. Bila adjektif mendahului nomina maka
urutan ini dilambangkan dengan A, dan bila nomina mendahului adjektif maka
urutan ini dilambangkan dengan N.
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, Greenberg menyimpulkan ada enam pola
kalimat bahasa-bahasa di dunia, yaitu (1) SVO, (2) SOV, (3) VSO, (4) VOS, (5)
OSV, dan (6) OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia memiliki keenam pola tersebut.
Kedua bahasa ini memiliki keberterimaan fungsi verba yang leluasa menduduki
keenam pola kalimat tersebut. Hal ini ditandai dengan adposisi dan pengaruh FN
pembentuknya. Bahasa yang hanya memiliki satu pola dominan (SVO) misalnya
bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO
dan VSO. Akan tetapi, dari keenam pola urutan dasar, Greenberg menyebutkan ada
tiga pola urutan dasar yang dominan, yaitu SVO, SOV, dan VSO.
Sementara itu, penipologian bahasa pada tataran sintaksis (tipologi sintaksis)
berkaitan erat dengan penentuan relasi-relasi gramatikal dan sistem pengelompokan
42
peran sintaktis-semantis S, A, dan P klausa bahasa yang bersangkutan. Secara umum,
relasi-relasi gramatikal adalah hubungan antara argumen-argumen dengan predikat
pada tataran struktur yang bebas (lepas) dari pengaruh-pengaruh semantis dan
pragmatis (Payne, 2002:129). Perilaku gramatikal yang paling banyak secara
langsung menentukan relasi-relasi gramatikal tersebut adalah: (i) pemarkah kasus; (ii)
pemarkah partisipan pada verba; dan (iii) tata urutan konstituen.
Song (2001: 40-41) menyatakan bahwa tipologi sintaksis sebuah bahasa pada
dasarnya dibentuk oleh tiga parameter gramatikal, Dixon (1994) menyebutnya
dengan tiga relasi inti dasar. Ketiga parameter tersebut menurut Song (2001:40-41)
meliputi (1) subjek (S) klausa intransitif, (2) agen (A) atau subjek logis klausa
transitif, dan (3) pasien (P) atau objek logis (O) klausa transitif. Ketiga parameter ini
berguna dalam pemarkah kasus, terutama untuk penentuan tipologi sebuah bahasa.
Song (2001:40-41) mengusulkan bahwa keberadaan S, A, dan P dapat menghasilkan
lima kemungkinan logis dalam pengelompokan bahasa-bahasa di dunia yaitu,
nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, tripartite, AP/S, dan netral.
Sistem pengelompokan peran-peran sintaktis-semantis S, A, dan P, yang biasa
disebut sistem aliansi gramatikal, penting diketahui untuk menetapkan tipologi suatu
bahasa pada tataran gramatikal (terutama pada tataran sintaksis). Aliansi gramatikal
merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau
antarklausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah bahasa itu bertipe S = A, S =
P, Sa = A, dan So = O (Dixon, 1994; Palmer, 1994; Payne, 2002, Jufrizal. 2004).
Dixon (1994) dalam Artawa (2005:11) mengemukakan bahwa sistem aliansi
43
gramatikal menjadi titik perhatian untuk menentukan yang mungkin untuk bahasa-
bahasa di dunia, yaitu bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa aktif, dan sebagainya.
Dixon (1994, 2010) pun menambahkan bahwa selain sistem aliansi gramatikal
tersebut, terdapat pula sistem bahasa lainnya, yakni S yang secara semantik mirip
dengan O dilambangkan dengan So yang dimarkahi seperti O dan S yang mirip
dengan A dilambangkan dengan Sa dan dimarkahi seperti A. Bahasa yang
membedakan So dan Sa sebagai bagian dari subtipe dari S memiliki jenis sistem S-
terpilah (split-S) dan sistem A-alir (fluid-S). Setiap verba ditunjukan oleh
serangkaian kerangka sintaksis dengan pemarkah kasus atau rujuk silang yang
dilakukan selalu dengan cara yang sama. Sistem A-alir juga memperlakukan secara
sintakstis pemarkahan dasar untuk verba transitif tetapi memperlakukan secara
semantik untuk verba intransitif. Sebuah subjek intransitif dapat dimarkahi sebagai So
(seperti O) atau Sa (seperti A) tergantung unsur semantik yang dikandung bahasa
yang bersangkutan. Keempat sistem aliansi gramatikal secara tipologis tersebut
digambarkan seperti berikut ini.
44
Gambar 2.2 Empat Sistem Aliansi Gramatikal
Sistem Akusatif Sistem Ergatif
Sistem S-Terpilah Sistem S-Alir/Fluid/Labil
Bahasa dengan tipologi akusatif menurut Dixon merupakan sistem umum
yang paling banyak dimiliki bahasa-bahasa di dunia. Bahasa dengan tipe ini terjadi
apabila argumen pasien (P) atau objek (O) dari predikat transitif diperlakukan sama
dengan argumen predikat intransitif (S) dan berbeda dengan argumen agen (A) dari
predikat transitif. Hal ini (perlakuan yang sama) dapat terjadi pada tataran morfologis
dan sintaksis. Bahasa Inggris misalnya termasuk ke dalam kelompok bahasa yang
bertipe akusatif, seperti contoh yang dikembangkan oleh Artawa (2015) berikut ini.
(1) He (S) runs
(2) He (A) hits her (P)
Tampak pada contoh tersebut memperlakukan A he (2) sama dengan argumen S he
(1). Hal ini dapat ditunjukkan melalui pemarkahan kasus, persesuaian, dan urutan
A
O
S
A O
S
A O
Sa
So
A O
Sa So
45
kata. Argumen S dalam klausa intransitif (1) dan argumen A dalam klausa transitif
(2) muncul pada kasus nominatif, sementara argumen P/O her pada klausa transitif
muncul pada kasus akusatif.
Bahasa dengan sistem ergatif menurut Dixon (2010) dipandang kurang umum
terjadi dan hanya ditemukan sekitar 15 bahasa di dunia. Bahasa dengan sistem ini
memperlakukan S dan O dimarkahi dengan cara yang sama yaitu (kasus absolutif)
dan A dimarkahi dengan cara yang berbeda (ergatif). Bahasa bertipe ergatif
memperlakukan argumen O sama dengan argumen S berbeda dengan argumen A.
Artawa (2015) yang mengembangkan pandangan Dixon (2010) memberikan contoh
dalam bahasa Kalkatungu, Aborigin Australia seperti tampak berikut ini.
(3) Kalpin (S) ingka
Lelaki pergi
‘Lelaki itu pergi’
(4) Marapa-thu (A) nanya kalpin (P/O)
Wanita-ERG melihat lelaki
‘Wanita itu melihat lelaki itu’
Contoh tersebut menunjukkan bahwa argumen P/O berupa kalpin (4) dan argumen S
berupa kalpin (3) diperlakukan sama secara morfologis, yakni sama-sama tidak
bermarkah. Sementara argumen A pada konstruksi (4) diperlakukan berbeda dengan
P/O dan S pada konstruksi (3) yang dimarkahi dengan sufiks thu- (marapha-thu).
Sementara itu, sistem S-terpilah memperlakukan S yang dimarkahi seperti A
(Sa) untuk beberapa verba dalam klausa intransitif dan S dimarkahi seperti O (So)
untuk yang lainnya. Sebuah verba intransitif dengan argumen S yang melakukan
46
tindakan akan dimarkahi seperti A (Sa), sedangkan argumen S yang referennya
kurang mengontrol aktivitas dimarkahi seperti O (So). Dalam bahasa-bahasa Bats,
pronomina persona pertama tunggal mempunyai bentuk as untuk fungsi A dan bentuk
so untuk fungsi S dalam sebuah klausa transitif. Baik as maupun so dapat digunakan
untuk S pada verba intransitif woze ‘jatuh’ tergantung apakah ada atau tidaknya
aktivitas dari referen argumen S seperti contoh berikut ini.
(1) As woze
‘Saya (Sa) jatuh’ (terjadi karena kesalahanku sendiri sehingga saya jatuh)
(2) So woze
‘Saya (So) jatuh’ (bukan karena kesalahanku).
Dalam kajian tipologis, analisis secara morfologis dan sintaksis sangat penting, sebab
terdapat bahasa pada tataran morfologi bertipe ergatif, tetapi pada tataran sintaksis
berperilaku sebagai bahasa akusatif (Comrie, 1983:104-107). Hal ini mengisyaratkan
bahwa posisi S (subjek) sebagai patokan penentuan tipologi bahasa dapat digunakan
dalam pengetesan morfologis dan sintaksis. Pengetesan ini memperlihatkan apakah
kedudukan agen atau pasien yang diperlakukan dengan cara yang sama dengan subjek
ataukah berbeda.
2.3.3 Transitivitas
Transitivitas merupakan sebuah fenomena bahasa yang menjelaskan bahwa
(1) setiap klausa memiliki nilai ketransitivan yang menentukan jumlah argumen inti,
(2) terdapat beberapa kaidah untuk menandai argumen inti, (3) setiap verba dapat
dibagi menjadi beberapa jenis ketransitivan tergantung dari jenis klausa verba suatu
47
bahasa. Setiap klausa memiliki sebuah predikat dan sejumlah argumen inti (Dixon,
2010:115-116). Setiap bahasa di dunia memiliki dua struktur klausa utama, yakni
klausa intransitif dengan satu argumen inti dan klausa transitif dengan dua argumen
inti, seperti tampak berikut ini.
Tipe Klausa Predikat Argumen Inti
Intransitif intransitif S (subjek intransitif)
Transitif transitif A (subjek trans.) dan O (objek trans.)
Dalam klausa intransitif, argumen S merupakan satu-satunya argumen yang wajib
hadir, sementara dalam klausa transitif argumen A dan O merupakan dua argumen
inti yang wajib hadir. Argumen-argumen ini diperikan berdasarkan prinsp-prinsip
semantik. Argumen yang memiliki referensi berkaitan dengan aktivitas, diidentifikasi
sebagai argumern A. Argumen ini memiliki referensi sesuatu yang bernyawa dan
dapat memprakarsai atau mengontrol aktivitas, sementara argumen yang referensinya
dipengaruhi atau dikontrol oleh aktivitas diidentifikasi sebagai argumen O. Selain itu,
dikenal pula argumen noninti berupa argumen periferal yang kehadirannya bersifat
opsional. Argumen tersebut meliputi instrumen/alat, seperti dengan tongkat,
benefaktif/penerima, seperti untuk anak, temporal/waktu, seperti pada sore hari,
dan lokatif/tempat, seperti di bawah pohon.
Selain tipe transitivitas tersebut, dalam beberapa bahasa, dikenal pula dua tipe
transitivitas, yakni intransitif ekstended (yang meluas/berkembang) yaitu intransitif
yang melibatkan dua argumen S dan E (pengembangan dari inti), dan transitif
ekstended yaitu transitif dengan tiga argumen inti, yaitu A, O, dan E (Hal ini biasa
48
juga disebut ditransitif) (Dixon, 2010:117), seperti struktur kalimat yang dimiliki
bahasa Tongan berikut ini.
(1) Intransitif:
Na’e ‘alu [‘a e fefine’]S
PAST went [ABS ART woman]
the women (S) went
‘Wanita itu (S) pergi (lampau)’
(2) Intransitif Esktended
na’e sio [‘a e fefine’]S [ki he tangata]E
PAST saw [ABS ART woman] [DAT ART man]
The women (S) saw the man (E)
‘Wanita itu (S) melihat laki-laki itu’ (E)
(3) Transitif
na’e taa‘i [‘a e tangata]O [‘e he fefine]A
PAST hit [ABS ART man] [ERG ART woman]
The women (A) hit the man (O)
‘Wanita itu (A) memukul laki-laki itu (O)
(4) Transitif Esktended
na’e ‘oange [‘a e tohi’]O [‘e he fefine]A [ki he tangata]E
PAST memberi [ABS ART buku] [ERG ART wanita] [DAT ART laki-laki]
The women (A) gave the book (O) to the man (E)
‘Wanita itu (A) memberikan sebuah buku (O) kepada laki-laki itu (E)’
Konstruksi (1) s.d. (4) tersebut menunjukkan bahwa bahasa Tongan memiliki sistem
kasus ergatif-absolutif. Fungsi S dan O dimarkahi oleh kasus absolutif (partikel ‘a
berupa tanda ‘ bunyi stop glotal dan fungsi A dimarkahi oleh kasus ergatif (partikel
e’). Datif ditunjukkan dengan ki. Frasa nominal selalu terletak setelah predikat dan
49
fungsinya ditunjukkan oleh partikel. Transitif dan intransitf ekstended melibatkan dua
argumen inti berupa S dan E dalam kalimat (2) dan sebagai O dan A dalam kalimat
(3). Konstituen wanita dalam kalimat (2) menunjukkan bentuk gramatikal yang sama
dengan argumen S (wanita itu) dalam bentuk intransitif (kalimat 1) dan berbeda
dengan argumen A (wanita itu) dalam bentuk transitif (kalimat 3). Selain itu, wanita
itu dalam kalimat 2 dimarkahi dengan preposisi absolutif ‘a, sebagaimana argumen S
wanita itu dalam kalimat 1 (dan seperti argumen O dalam kalimat 3 dan 4). Argumen
E dalam kalimat 2 dan 4 dimarkahi dengan cara yang sama, yakni dengan preposisi
datif ki. Gambaran argumen untuk empat tipe klausa dengan studi kasus pada bahasa
Tongan tampak seperti berikut ini.
Tipe Klausa/Predikat Argumen Inti
Intransitif S (absolutif)
Intransitif ekstended S (absolutif) E (datif)
Transitif A (ergatif) O (absolutif)
Transitif ekstended A (ergatif) O (absolutif) E (datif).
Selanjutnya, Dixon (2010:124) menambahkan bahwa verba dapat diklasifikasi
berdasarkan tipe transitivitas, seperti tampak berikut ini.
(1) Verba intransitif (tetap/stabil), yakni verba yang terjadi pada klausa intransitif.
Misalnya go ‘pergi’ dan chat ‘berbicara’ dalam bahasa Inggris.
(2) Verba transitif (tetap/stabil), yakni verba yang terjadi pada klausa transitif.
Misalnya recognize ‘mengenal’ dan promote ‘mempromosikan’ dalam bahasa
Inggris.
(3) Ambitranstif dengan tipe S = A. Verba-verba ini dapat terjadi, baik pada klausa
transitif maupun intransitif dengan S yang intransitif berkorespondensi dengan A
50
yang transitif. Misalnya knit ‘merajut’ dalam bahasa Inggris, seseorang dapat
mengatakan sheS is knitting ‘dia sedang merajut’ atau sheA is knitting a scarfO
‘Dia sedang merajut selendang’.
(4) Ambitranstif dengan tipe S = O. Verba-verba ini dapat terjadi baik pada klausa
transitif maupun intransitif dengan S berkorespondensi dengan O. Misalnya
dalam bahasa Inggris seseorang dapat mengatakan HeS tripped ‘Dia tersandung’
atau SheA tripped himO ‘Dia menyandung dia’.
2.3.4 Peran-peran Semantik Argumen
Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam analisis klausa
digunakan dua parameter, yakni parameter sintaksis dan parameter semantik. Kedua
parameter tersebut dipakai untuk mengkaji peran-peran argumen yang terdapat dalam
sebuah klausa, baik klausa intransitif maupun intransitif. Van Valin dan Lapolla
(1997:139-141) menjelaskan bahwa peran semantis argumen dipandang sebagai
peran umum karena beberapa tipe argumen dimasukkan ke dalam satu
pengelompokan. Misalnya kelompok peran tipe agen berada dalam kelompok
ACTOR (ACT), sementara peran tipe pasien berada dalam kelompok
UNDERGOERI(UND). Istilah ACTOR dalam bahasa Inggris disebut SUBJ, di
dalamnya termasuk agen, pengalami atau yang lainnya, sedangkan istilah
UNDERGOR merupakan OL yang dalam bahasa Inggris berupa pasien, misalnya
dalam verba kill dalam verba putt, penerima dalam verba present, seperti dalam
konstruksi Mary with the aword. Selanjutnya, dalam teori RRG yang dikemukakan
oleh Van Valin dkk. (1980) dijelaskan bahwa peran argumen dipilah menjadi dua
tipe, yakni yaitu ACTOR dan UNDERGOER disertai perannya masing-masing. Peran
51
agen dan pengalami dikelompokkan ke dalam peran ACTOR, sementara pasien dan
penerima dikelompokkan ke dalam UNDERGOER. Peran khusus dan peran umum
ACTOR dan UNDERGOER secara rinci dapat dilihat pada bagian berikut ini.
1. Agen, yaitu pada umumnya berupa entitas yang bernyawa yang berperan sebagai
inisiator tindakan atau keadaan yang dilakukan dengan sengaja atau dengan
maksud tertentu, misalnya dalam konstruksi John membuka pintu.
2. Efektor, yaitu entitas yang malakukan tindakan, baik disengaja atau dengan
maksud tertentu ataupun melakukan tindakan yang tidak disengaja atau dengan
maksud tertentu dan tindakan yang dilakukannya tersebut menimbulkan pengaruh
atau efek, misalnya dalam konstruksi John menjatuhkan pot bunga itu (dengan
tidak sengaja).
3. Pengalami, yaitu entitas yang mengalami keadaan atau perasaan tertentu. misalnya
dalam konstruksi John menyukai buku itu.
4. Alat, yaitu berupa entitas yang tidak bernyawa yang digunakan oleh agen untuk
melakukan tindakan, misalnya dalam konstruksi John memukul binatang itu
dengan sepotong kayu.
5. Force, yaitu entitas termasuk alat tetapi tidak dapat digunakan, misalnya angin
ribut, badai, banjir dalam konstruksi Banjir melanda pemukiman warga.
6. Pasien, yaitu entitas, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa yang
berada dalam suatu keadaan atau mengalami perubahan keadaan, misalnya dalam
konstruksi John sakit.
7. Tema, yaitu entitas yang berada atau mengalami perubahan keadaan (mosi),
misalnya dalam konstruksi John meletakkan buku di atas meja.
8. Benefaktif, yaitu entitas yang menjadi acuan dari keuntungan sebuah tindakan,
misalnya dalam konstruksi John membeli buku untuk Marry.
9. Penerima, yaitu entitas yang memperoleh sesuatu. Penerima berupa entitas
bernyawa, misalnya dalam konstruksi John mengirim buku kepada Marry.
52
10. Sasaran, yaitu tujuan yang hampir sama dengan penerima, namun sasaran
lebih sering berwujud entitas yang tidak bernyawa, misalnya dalam konstruksi
Marry mengirim sebuah paket kepada Baltimore.
11. Asal (source), yaitu titik awal dari state of affairs. Peran ini digunakan untuk
menjelaskan antara penerima dan sasaran.
Transfer penerima
x asal y z
motion sasaran
x= posisi awal, y= O, dan z = posisi akhir
Jika terjadi transfer untuk y, z adalah penerima. Jika y adalah motion (gerakan),
maka z adalah sasaran. Dalam kasus tersebut, x adalah asal dan y adalah tema.
Dalam konstruksi David memberi buku kepada Cristin, David adalah agen
sekaligus sebagai asal. Agen dan penerima dapat juga berupa partisipan yang
sama, seperti pada konstruksi Yolanda membeli anjing itu dari Bill.
12. Lokatif, yaitu lokasi dari state of affairs, misalnya Buku itu di atas meja.
13. Path, yaitu rute, misalnya dalam konstruksi John berlari menuju taman.
Sementara itu, Dixon (2010) mengemukakan bahwa peran-peran semantik
argumen dilihat berdasarkan tipe-tipe klausa. Berdasarkan tipenya, klausa dibedakan
atas klausa intransitif dengan predikat intransitif dan tipe klausa transitif dengan
predikat transitif. Klausa intransitive memiliki argumen inti berupa subjek intransitive
(S), sedangkan klausa transitif memiliki argumen inti berupa A (subjek transitif) dan
O (objek transitif). Fungsi argumen A dan O dalam klausa transitif diperikan
berdasarkan prinsp-prinsip dasar semantik. Argumen A memiliki referensi sebagai
sesuatu yang bernyawa dan menjadi argumen yang dapat memprakarsai atau
mengontrol aktivitas. Argumen yang referensinya lebih menonjol dipengaruhi oleh
53
aktivitas akan menduduki fungsi O. Selain argumen inti, dikenakl pula argumen
noninti berupa argumen periferal yang kehadirannya bersifat opsional. Argumen
tersebut meliputi instrumen/alat, seperti dengan tongkat, benefaktif/penerima, seperti
untuk anak, temporal/waktu, seperti pada sore hari, dan lokatif/tempat, seperti di
bawah pohon
2.3.5 Valensi
Secara umum dapat dikemukakan bahwa istilah valensi dalam linguistik
berhubungan dengan verba sebagai PRED. Valensi mengacu pada kemampuan atau
kebutuhan verba yang menempati unsur PRED kalimat dalam mengikat
argumen.Valensi verba dipandang sebagai jumlah maksimal elemen yang dibutuhkan
verba untuk melengkapi maknanya. Valensi verba dapat didefinisikan sebagai
kemampuan menghubungkan sejumlah variabel dengan verba yang saling terikat
dengan elemen gramatika lainnya (Budai, 1997).
Valensi mengacu pada jumlah tipe yang berbeda yang berkaitan dengan verba
(Shopen, 1985:96). Valensi mengacu pada jumlah argumen nominal klausa. Valensi
dibedakan atas valensi semantik dan valensi sintaktik. Valensi semantik mengacu
pada jumlah partisipan yang harus muncul yang diungkapkan oleh verba. Sementara
valensi sintaktik atau biasa disebut valensi gramatikal mengacu pada jumlah argumen
pada klausa (Payne, 1977:169-170. Valensi merupakan hubungan verba dengan unsur
di sekitarnya. Konsep valensi, terutama valensi sintaksis sangat erat hubungan dengan
54
ketransitifan. Valensi berhubungan pula dengan penguasaan verba terhadap argumen
di sekitarnya.
Sejalan dengan pandangan-pandangan tersebut, Van Valin Jr dan La Polla
(1997:147) juga membagi valesi atas (1) valensi sintaktik, yaitu jumlah argumen
sintaktis yang diikat oleh verba PRED (SUBJ dan OBJ); (2) valensi semantik, yaitu
jumlah argumen semantik yang diikat oleh verba PRED (AC dan UND). Dalam
proses gramatika, valensi berhubungan pula dengan penambahan dan penurunan
jumlah argumen. Penambahan jumlah argumen dapat terjadi melalui pengausatifan
dan pengaplikatifan, sementara penurunan jumlah argumen dapat terjadi melalui
pemasifan, persultatifan, dan pengintransitifan. Perubahan valensi verba dikaji dari
tipe-tipe konstruksi verba sebagai konstituen inti klausa yang menentukan jumlah
argumen yang hadir dalam sebuah klausa.
Dixon (2010:165-167) berpandangan bahwa derivasi dapat mengubah
konstruksi sebuah verba, dari konstruksi intransitif ke transitif atau sebaliknya, dari
konstruksi transitif ke intransitif. Klausa transitif memiliki dua argumen sehingga ada
dua cara yang digunakan untuk melihat perubahan valensi, yaitu melalui (1)
pendetransitivan, baik O => S (pasif) atau A => S (antipasif) dan (2) pentransitivan,
baik S => O (kausatif) atau S => A (aplikatif).
Melalui pedentransitivan, menurut Dixon (2010:166) terdapat empat
karakteristik dasar untuk derivasi pasif ke antipasif, seperti berikut ini.
a. Diaplikasikan pada klausa transitif dan membentuk klausa intransitif
b. O dasar menjadi S dari bentuk pasif
55
c. A dasar menuju ke fungsi periferal yang dimarkahi dengan sebuah kasus non-
inti, adposisi, dan lain-lain; argumen ini dapat dihilangkan walaupun selalu
ada pilihan untuk memasukannya.
d. Ada beberapa pemarkahan formal dari konstruksi pasif berupa proses
morfologi yang diaplikasikan pada verba, atau konstruksi verba perifrastik
(sebagamana dalam bahasa Inggris, di mana hal itu melibatkan kata kerja
bantu be, tambah sufiks –en atau –ed pada verba).
Sementara itu, derivasi antipasif juga memiliki empat karakteristik dasar, seperti
berikut ini.
a. Diaplikasikan pada klausa transitif dan membentuk klausa intransitif
b. A dasar menjadi S dari bentuk pasif
c. O dasar menuju ke fungsi periferal yang dimarkahi dengan sebuah kasus non-
inti, adposisi, dan lain-lain; argumen ini dapat dihilangkan walaupun selalu
ada pilihan untuk memasukannya.
d. Ada beberapa pemarkahan formal eksplisit dari konstruksi antipasif
(penjelasannya kemungkinan sama dengan bentuk pasif di atas).
Pada dasarnya, bentuk pasif dan antipasif memiliki perbedaan makna dan fungsi.
Bentuk antipasif berlawanan dengan bentuk pasif. Dalam konstruksi pasif, argumen
A konstruksi dasar diturunkan fungsinya dan argumen O dibawa ke dalam titik yang
lebih besar. Bentuk pasif sering digunakan ketika argumen O adalah orang pertama
atau kedua menduduki fungsi subjek. Kalimat pasif I was arrested by a policeman
‘Saya ditahan oleh seorang polisi’ beroposisi dengan bentuk aktif a policeman
arrested me ‘Seorang polisi menahan saya’.
Melalui pentransitivan, Dixon (2010:169-170) berpandangan bahwa
perubahan valensi dapat dengan cara pengausatifan dan pengaplikatifan. Derivasi
kausatif memiliki karakteristik:
a. Diaplikasikan pada klausa intransitif dan membentuk klausa transitif
56
b. Argumen dalam fungsi S dasar menjadi fungsi O dalam kausatif.
c. Sebuah argumen baru (penyebab) diperkenalkan dalam fungsi A.
d. Ada beberapa pemarkahan formal eksplisit dari konstruksi kausatif; hal ini
dapat berupa proses morfologis yang diaplikasikan kepada verba yang
merupakan kepala predikat, atau bahasa itu mungkin menyatakan makna
perifrastik (sebagamana dalam bahasa Inggris, konstruksi make ‘membuat’
seperti dalam kalimat she made him run ‘Dia (perempuan) membuat dia (laki-
laki) berlari’.
Sementara melalui pengaplikatifan yang diaplikasikan pada klausa intransitif,
juga memiliki karakter seperti berikut ini.
a. Diaplikasikan pada klausa intransitif dan membentuk klausa transitif
b. Argumen dalam fungsi S menjadi fungsi O dalam aplikatif.
c. Sebuah argumen periferal (yang dapat dinyatakan secara eksplisit dalam
intransitif dasar) diperkenalkan/diambil dalam inti, yakni dalam fungsi O.
d. Ada beberapa pemarkahan formal eksplisit dari konstruksi aplikatif; hal ini
dapat berupa proses morfologi yang diaplikasikan ke verba yang merupakan
kepala predikat.
Ketika sebuah derivasi aplikatif diaplikasikan ke klausa intransitf, S dasar menjadi A
dan beberapa argumen periferal dipromosikan untuk memiliki status inti sebagaimana
O. Ada sejumlah tipe derivasi aplikatif berhubungan dengan jenis-jenis yang berbeda
dari argumen periferal yang dipromosikan ke dalam inti.
INTRANSITIF APLIKATIF
Lokatif diaS duduk (di sebuah kursi) diaA duduk di [sebuah kursi]O
Komunikatif diaS berbicara (kepada anak itu) diaA berbicara kepada [anak itu] O
Aversif diaS takut (karena ular itu) diaA takut karena [ular itu] O
Derivasi aplikatif dapat juga diaplikasikan kepada klausa-klausa transitif. Sebuah
aplikatif khusus yang diaplikasikan ke sebuah klausa transitif adalah aplikatif berjenis
instrumental, seperti contoh berikut:
57
TRANSITIF APLIKATIF
Instrumtal DiaA menutup [tas itu]O (dengan kertas). DiaA menutup dengan kertasO
(pada tas itu)
2.3.6 Konstruksi Kausatif, Aplikatif, dan Resultatif
Goddard (1988) menyatakan kausatif merupakan sebuah peristiwa dalam satu
ungkapan yang dapat terjadi disebabkan oleh seseorang melakukan sesuatu atau
karena sesuatu hal tersebut terjadi. Setiap konstruksi kausatif selalu melibatkan dua
komponen yang saling berkaitan, yaitu komponen situasi, yaitu sebab (course) dan
akibat (effect/result). Situasi sebab dan akibat ini disebut situasi mikro (mikro
situation). Kedua situasi mikro ini sama-sama membentuk situasi makro (makro
situation), yakni sutuasi kausatif (Comrie, 1981, Artawa, 2004). Comrie
mengemukakan dua kriteria dalam pengausatifan, yaitu kriteria formal dan kriteria
semantis. Kriteria formal dibedakan atas tiga tipe, yaitu: (1) kausatif analitik, yaitu
kausatif yang dibentuk dengan menggunakan verba kausatif, (2) kausatif morfologis,
yaitu kausatif yang dibentuk melalui afikasasi dan (3) kausatif leksikal, yaitu kausatif
yang dinyatakan oleh leksikon tanpa afiksasi. Contoh Kausatif analitik dalam bahasa
Bali
Ia tusing teka ibi sawireh ia gelem
3T Neg. Intr. datang kemarin karena 3T sakit
‘Dia tidak datang kemarin karena ia sakit’
(Indrawati, 2012:108)
Data tersebut terbentuk dengan dua verba yang berbeda, yakni teka ‘datang’ dan
gelem ‘sakit’dalam klausa kompleks yang dihubungkan dengan kata penghubung
58
sawireh ‘karena’. Klausa sawireh ia gelem ‘karena dia sakit’ menggungkapkan sebab,
sementara klausa ia tusing teka ‘ia tidak datang’ menggungkapkan akibat. Contoh
Kausatif leksikal dalam Bahasa Bali
I Bapa n-tanpah siap
ART ayah trans.sembelih ayam
‘Ayah menyembelih ayam’
(Indrawati, 2012:108)
Verba {N-}tanpah ‘sembelih/nyembelih’ secara leksikal bermakna menyebabkan
sesuatu mati. Verba ini secara semnatik menutnt kehadiran peenyebab berupa
nomina Subj. I bapa ‘ayah’. Sementara tersebab dalam klausa tersebut berupa
nomina berupa OBJ. yakni siap ‘ayam’. Contoh Kausatif morfologis dalam Bahasa
Bali.
I Karta n-tegak-ang pianak-ne di korsi-ne
ART Karta duduk-Kaus anak-3T POS Prep. Kursi-Def
‘Si Karta mendudukan anaknya di kursi itu’
(Indrawati, 2012:108)
Konstruksi tersebut tergolong kausatif morfologis dengan pembubuhan afiks {-ang}
pada verba intransitif tegak ‘duduk’ yang menuntut kehadiran satu argumen SUBJ
menjadi negakang ‘mendudukan’ dan satu argumen berupa OBJ pianak-ne
‘anaknya’. Secara semantik, penambahan sufiks {-ang} menuntut dua partisipan yang
berperan, yakni penyebab berupa I Karta ‘Si Karta” dan tersebab berupa pianakne
‘anaknya’
Shibatani (1976:171) memperkenalkan konstruksi resultatif dalam kausatif
dengan menyatakan bahwa resultatif dapat memberikan hasil atau akibat dari
59
kausatif. Aplikatif erat kaitannya dengan kausatif dan resultatif. Perbedaan ketiganya
adalah dari kehadiran argumen dalam sebuah klausa. Argumen selalu muncul
eksplisit dalam kausatif dan aplikatif, sementara dalam resultatif, argumen muncul
secara implisit. Matthews (1997:320) menambahkan bahwa resultatif adalah elemen-
elemen di dalam klausa yang mengacu pada hasil dari tindakan atau proses. Istilah
resultatif dipakai untuk mengacu pada bentuk-bentuk verba yang mengungkapkan
suatu keadaan atau situasi yang tersirat pada kejadian atau persitiwa yang terjadi
sebelumnya (Artawa, 1998:55; Jufrizal, 2004:248). Matthews (1997:320)
mengenmukakan bahwa resultatif (resutative) adalah elemen-elemen dalam klausa
yang mengacu pada hasil dari suatu tindakan atau suatu proses.
Artawa (1998:56; 2004:84) mengidentikan resultatif dengan istilah
antikausatif. Konstruksi resultatif dan antikausatif mirip dengan konstruksi pasif.
Perbedaannya (i) agen pada konstruksi pasif kehadirannya bersifat manasuka,
sementara agen pada konstruksi antikausatif agen tidak pernah muncul secara
eksplisit, (ii) konstruksi pasif bisa dimodifikasi dengan adverbial yang berorientasi ke
agen, sementara resultatif tidak bisa. Contoh Konstruksi resultatif dalam Bahasa Bali
a. Punyan poh-e ebah-a [teken i bapa]
Pohon mangga-Def Pas.tebang-3T [prep. ART ayah]
‘Pohon mangga itu ditebang oleh ayah’
b. Punyan poh-e m-ebah
Pohin mangga-Def Res-tebang
‘Pohon mangga itu ditebang’
(Indrawati, 2012:122)
60
Konstruksi tersebut tergolong konstruksi pasif dengan verba transitif ebah ‘tebang’
yang menuntut kehadiran dua argumen inti yang berperan sebagi pasien berupa
punyan poh-e dan agen berupa klitika {a}(ketiga tunggal) yang melekat pada verba
ebah ‘tebang’. Kehadiran teken i bapa ‘oleh ayah’ (sebagai agen yang eksplisit)
bersifat manasuka dan berterima. Sementara itu konstruksi (b) adalah konstruksi
resultatif dengan pemarkah {ma-} pada bentuk dasar ebah yang menunjukkan
keadaan yang menyiratkan ada proses sebelum kondisi ebah itu terjadi
Konstruksi aplikatif lebih menekankan pada penambahaan jumlah argumen
(Shibatani, 1996:159). Pembicaraan mengenai aplikatif berkaitan dengan ketransitifan
verba. Sementara itu, Haspelmath (2002) mengemukakan bahwa aplikatif adalah
suatu proses penciptaan objek. Ada pemajuan suatu argumen ke posisi objek. Objek
langsung adalah argumen yang menempati fungsi objek pada konstruksi sebelumnya.
(1) Saya duduk di kursi
(2) Saya menduduki kursi
Verba duduk merupakan verba yang bervalensi satu yang hanya membutuhkan satu
argumen inti yang secara semantis berperan sebagai agen, yakni saya yang berfungsi
sebagai SUBJ. Sementara kursi bukan argumen inti, tetapi berupa OBLIK atau
Adjung. Hal ini berbeda dengan konstruksi saya menduduki kursi. Penanmbahan
sufiks APL {-i} pada verba duduk menjadi duduki menyebabkan perubahan valensi
menjadi dua argumen inti, yaitu agen berupa saya dan pasien berupa kursi
2.3.7 Struktur Argumen
61
Struktur argumen mengandung informasi semantik tentang item-item leksikan
yang relevan dengan sintaksis. Struktur semantik dengan struktur argumen
berkorepondensi dengan struktur sintaksis (Alsina, 1992:520). Hasil penggabungan
keduanya akan memiliki pengaruh pada ekspresi sintaksis mengenai argumen.
Peristiwa-peristiwa yang disebabkan oleh sesuatu mengandung struktur argumen dari
predikat pada kalimat kausatif. Perubahan sintaksis dalam kalimat kausatif dikaitkan
dengan perbedaan semantik karena perbedaan semantik/struktur argumen
berkorepondensi dengan struktur sintaksis yang berbeda (Alsina, 1992:524). Contoh
dalam kasus ini seperti berikut ini.
a. Penghapusan objek tak khusus
Beberapa verba mengizinkan objeknya untuk dihilangkan. Dalam kasus ini,
verba diinterprestasikan memiliki objek tak khusus atau objek umum, seperti
verba makan.
b. Verba-Corak khas objek
Struktur argumen verba-corak khas objek seperti kalimat Kelinci mati. Kalimat
tersebut dapat dimaknai sebagai subjek pasif. Kalimat tersebut pada dasarnya
dapat dibuat seperti seseorang membunuh kelinci.
Menurut Bresnan dan Kanerva (dalam Alsina (1992:524), kasus kausatif
membutuhkan penggabungan struktur argumen. Pengausatifan sangat membutuhkan
struktur argumen yang kompleks bukan hanya faktor-faktor sintaksis sehingga fakta-
fakta kekausatifan tersebut dapat diketahui. Aspek yang sangat penting bagi
pengorganisasian/ penyusunan struktur argumen adalah urutan dari argumen-
argumen tersebut yang ditentukan oleh peran-peran semantik. Setiap struktur
62
argumen, sebuah agen ditempatkan sebelum tujuan dan tujuan ditempatkan sebelum
pasien/penderita. Hal ini mereflesikan skala utama dari hierarki tematik. Fungsi
umum dari hierarki tersebut untuk mengidentifikasi argumen yang paling utama dari
sebuah predikat atau disebut subjek logika. Karena itu, subjek dari verba memasak
adalah agen dan subjek dari verba jatuh adalah pasien/penderita.
Wongt dan Peter (1998:335) mengemukakan bahwa struktur argumen
menggambarkan informasi semantik pada kalimat. Informasi semantik yang
digambarkan dapat disatukan dalam struktur fungsional tradisional menurut teori
pemetaan leksikal. Partisipan dalam sebuah peristiwa membentuk struktur dari
peristiwa tersebut. Bagian tersebut diambil oleh setiap partisipan dalam sebuah
peristiwa yang digambarkan sebagai peran semantik. Struktur argumen menunjukkan
peran semantik yang dimainkan oleh setiap partisipan dari persitiwa itu dalam setiap
struktur peristiwa.
Misalnya, John menceritakan sebuah cerita
Konstruksi tersebut dibentuk dari struktur argumen berikut:
menceritakan (tema-agen). Tema agen ini merupakan peran semantik yang
dimainkan oleh NP John dan sebuah cerita secara berturut-turut. Peran tematik agen
dan tema minimal dibutuhkan partisipan untuk mengarekterisasikan peristiwa itu.
Jika NP dalam sebuah kalimat tidak dapat dipetakan peran semantiknya, hal tersebut
menggambarkan sebuah struktur peristiwa yang berbeda atau kalimatnya kurang
tepat. Urutan peran semantik dispesifikasikan dalam sebuah struktur argumen yang
berkorespondeni dengan hierarki tematik:
63
Agen < benefaktif < penerima/pengalam < instrumen < pasien/tema < lokatif
dengan mereflesikan keutamaan relatif dari peran semantik yang dikarakterisasikan
oleh sebuah verba. Walaupun urutan dari peran semantik dalam sebuah struktur
argumen tidak selamanya mereflesikan urutan korespondensi NP dalam sebuah
kalimat, urutan-urutan tersebut bersesuaian satu sama lain. Oleh karena itu, dalam
beberapa kasus, hierarki semantik membantu pemetaan peran semantik dalam sebuah
struktur argumen terhadap korespondensi NP dalam sebuah kalimat.
Lebih lanjut, Wongt dan Peter (1998:336) menjelaskan bahwa pemahaman
struktur argumen sangat membantu untuk membedakan makna-makna verba. Struktur
argumen dapat menjelaskan partisipan dari setiap peristiwa. Struktur argumen dapat
pula menjelaskan atau menggambarkan verba yang sama tetapi peristiwanya berbeda.
Struktur argumen menggambarkan informasi semantik dalam kalimat-kalimat yang
dapat digunakan untuk membentuk sebuah penghubung/hubungan antara semantik
leksikal dan struktur sintaksis. Teori pemetaan leksikal mendefinisikan bagaimana
hubungan ini dapat digunakan oleh pemetaan setiap peran semantik dalam sebuah
struktur argumen terhadap yang lainnya, fungsi sintaksis dalam sebuah kalimat. Tiap-
tiap peran semantik dalam sebuah struktur argumen dapat dihubungkan dengan
korespondensi fungsi sintaksis dalam sebuah kalimat dengan memasangkan fitur-fitur
peran semantik dengan fungsi sintaksisnya yang paling sesuai.
64
2.4 Model Penelitian
Model penelitian ini berupa bagan abstraksi antara teori, masalah penelitian,
prosedur penelitian, dan temuan penelitian. Secara rinci, model penelitian dalam
penelitian digambarkan seperti berikut ini.
MODEL PENELITIAN
Valensi
Aliansi
Gramatikal
Transitivitas
Teori
Tipologi Prosedur
Penelitian
Masalah
Konstruksi Klausa Verbal Bahasa Ciacia:
Kajian Tipologi Sintaksis
Data (Lisan dan Tulis)
Klausa/Kalimat
Hasil dan Temuan
Penelitian
Pengumpulan Data
(Meotde: Simak,
Catat; Teknik:
Sadap, Rekam,
Catat)
Analisis Data
(Distribusional
dan Padan
Penyajian Data
(Formal dan
Informal)
Bagaimanakah konstruksi dasar klausa
verbal BC?
Bagaimanakah konstruksi predikasi dan
struktur argumen BC?
Bagaimanakah konstruksi predikat
sederhana dan predikat kompleks BC?
Bagaimanakah valensi dan mekanisme
perubahan valensi BC?
Bagaimanakah konstruksi kalimat kompleks
dan sistem alinsi gramatikal BCBC?
65
Penjelasan Model penelitian:
: menunjuk arah kerja penelitian
Model atau kerangka kerja dalam penelitian ini diawali dari sebuah topik
atau judul disertasi Konstruksi klausa verbal BC sebuah kajian tipologi
sintaksis. Dari topik atau judul disertasi tersebut, peneliti
mempertimbangkan data bahasa sebagai bahan penelitian, baik berupa data
lisan maupun maupun tulis. Setelah itu dipertimbangkan seperti apa rumusan
masalah penelitian dan sejumah teori yang dibutuhkan untuk mengkaji data
dan menjawab masalah penelitian. Lalu dipertimbangkan bagaimana
prosedur penelitian (pengumpulan, analisis, dan penyajian data). Setelah data
tersedia, dilakukanlah analisis data dengan menggunakan teori tipologis dan
metode kajian distribusional dan teknik ganti atau lesap. Lalu disajikanlah
data dengan metode formal hingga menemukan jawaban dari masalah
penelitian yang tergambar melalui hasil penelitian.