BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali,...

53
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Sasaran tinjauan pustaka adalah menjelaskan temuan-temuan peneliti sebelumnya berkaitan dengan konstruksi klausa verbal BC. Selain itu, tinjauan pustaka digunakan untuk membandingkan perbedaan serta relevansi hasil penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian ini. Penelitian tentang Struktur Bahasa Ciacia oleh Abdullah dkk. (1985) dengan pendekatan struktural menunjukkan bahwa pada tataran fonologi, BC memiliki sejumlah vokal dan konsonan serta sejumlah pola suku kata. Pada tataran morfologi, BC memiliki proses morfologis yang meliputi afiksasi berupa prefiks pi-, po-, no- a-, ci-, ka-, pika-, cipo-; infiks -um-, -in-; sufiks -e, -no, -isie; dan konfiks no-e, poko-e, pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur dasar klausa berupa S-P dan P-S dan klausa verba. Klausa verba dibagi atas klausa verba yang adjektif, klausa verba intransitif, aktif, pasif, refleksif, dan resiprokal. Pada aspek kalimat meliputi kalimat berklausa dan tidak berklausa, kalimat berita, tanya, dan perintah, kalimat sederhana dan kalimat luas. Hasil penelitian tentang Konstruksi Verba Aktif-Pasif Bahasa CiaI:Kajian Morfosintaksis oleh Konisi (1999) (Tesis) dengan pendekatan dan teori struktural.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali,...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Sasaran tinjauan pustaka adalah menjelaskan temuan-temuan peneliti

sebelumnya berkaitan dengan konstruksi klausa verbal BC. Selain itu, tinjauan

pustaka digunakan untuk membandingkan perbedaan serta relevansi hasil penelitian

yang telah dilakukan dengan penelitian ini.

Penelitian tentang Struktur Bahasa Ciacia oleh Abdullah dkk. (1985) dengan

pendekatan struktural menunjukkan bahwa pada tataran fonologi, BC memiliki

sejumlah vokal dan konsonan serta sejumlah pola suku kata. Pada tataran morfologi,

BC memiliki proses morfologis yang meliputi afiksasi berupa prefiks pi-, po-, no- a-,

ci-, ka-, pika-, cipo-; infiks -um-, -in-; sufiks -e, -no, -isie; dan konfiks no-e, poko-e,

pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan.

Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur dasar klausa berupa S-P dan P-S

dan klausa verba. Klausa verba dibagi atas klausa verba yang adjektif, klausa verba

intransitif, aktif, pasif, refleksif, dan resiprokal. Pada aspek kalimat meliputi kalimat

berklausa dan tidak berklausa, kalimat berita, tanya, dan perintah, kalimat sederhana

dan kalimat luas.

Hasil penelitian tentang Konstruksi Verba Aktif-Pasif Bahasa CiaI:Kajian

Morfosintaksis oleh Konisi (1999) (Tesis) dengan pendekatan dan teori struktural.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

14

menunjukkan bahwa BC memiliki konstruksi aktif-pasif dan konstruksi pasif

pengedepanan pelaku, dan persesuaian subjek-predikat. Dalam (1) Konstruksi aktif

BC memiliki pola S-P/V-O. Verba pengisi fungsi predikat dapat berupa verba dasar

dan verba turunan. Verba turunan diisi oleh verba berafiks {pi-} { po-}, {piko-}, {-

aso}, {pi-aso}, {po-aso}, {piko-aso}.(2) Konstruksi verba pasif dalam BC diisi oleh

verba bersufiks {–e} dan {–isie}; (2) konstruksi pasif pengedepanan pelaku dengan

tetap mempertahankan verba bersufiks (pasif) {–e} dan {–isie}, baik dengan tanpa

perubahan fonem (verba dasar diawali dengan konsosnan /b/, /m/, dan /w/), dengan

perubahan fonem (verba diawali dengan konsonan /p/ menjadi /m/) maupun dengan

penambahan konsonan –m- dan sisipan –um- yang diawali dengan vokal dan

konsonan /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /s/, dan /t/; (3) konstruksi persesuaian subjek-

predikat/verba dalam BC dibagi berdasarkan pemarkah formal nonfuturum dan

futurum, seperti tampak pada tabel berikut.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

15

Tabel 2.1

Promomina Persona dan Afiks Peresuaian dalam BC

No Pronomina Persona

sebagai Subjek

Afiks Persesuaian /

Pemarkah Aspek

Nonfuturum

Afiks Persesuaian /

Pemarkah Futurum

1 PP 1tg, indau ‘saya’ o- a-

2 PP 1 jk, isami ‘kami’ to- ta-

3 PP 2tg, isoo ‘kamu’ mu- cu-

4 PP 2 jk, isimiu ‘kalian’ ka- cuka-

5 PP 3tg, Ia ‘dia’ no- na-

6 PP 3 jk, moia ‘mereka’ noka- naka-

7 BPPtg no- na-

8 BPPjk noka- naka-

Walaupun hasil penelitian tersebut telah dibahas beberapa aspek yang berkaitan

dengan rencana penelitian ini, penelitian tersebut belum dikaji secara tipologi.

Penelitian tersebut hanya membahas konstruksi verbal aktif-pasif, sementara

penelitian ini membahas jauh lebih luas dan mendalam berkaiotan dengan konstruksi

klausa verbal BC. Aspek-aspek berkaitan dengan struktur argumen, predikat

sederhana dan kompleks, valensi dan sistem perubahan valensi, kalimat kompleks,

serta aliansi gramatikal BC menjadi topik bahasan dalam penelitian ini. Walaupun

demikian, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengkaji konstruksi

klausa verbal BC secara tipologis.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

16

Beberapa hasil penelitian lainnya telah pula dilakukan oleh Konisi dan

Hidayat (2000, 2003, 2005, dan 2007). Pendekatan dan teori yang digunakan dalam

penelitian tersebut menggunakan pendekatan dan teori struktural. Penelitian tentang

Analisis Kategori Kata BC (2000) menunjukkan bahwa BC memiliki sejumlah

kategori kata dalam BC yang dianalisis berdasarkan ciri sintaksis, morfologis, dan

semantik. Penelitian tentang Struktur Morfologi BC (2003) dengan fokus kajian pada

proses pembentukan kata melalui afiksasi, baik berupa prefiks, infiks, sufiks, maupun

gabungan afiks; reduplikasi, dan kompositum. Hasil penelitian tentang Analisis

Katagori Kata BC (2000) dan Struktur Morfologi BC (2003) berkaitan dengan proses

morfemis verba menunjukkan verba BC dapat dibentuk melalui afiksasi berupa

prefiks {ci-}, {ka-}, {pi-}, {po-}; prefiks rangkap {pika-}, {piko}, dan {cipo-}; infiks

{–um-}; sufiks {–po}, {-mo}, {-no}, {-ci} {-e/isie}, {-aso}, {-ka}; sufiks rangkap –

{epo}; gabungan afiks {pi-a}, {po-e/isie}, {pi-e/isie}, {po-ci}, {po-ki}, {po-pi}, {ci-

pi}, {ni-no}, {ka-no}, {pika-e/-isie}, dan {pi-aso}. Secara sintaktis, verba BC dapat

menduduki fungsi sintaksis dan dapat disandingkan dengan kata cia ‘tidak’. Secara

semantic, verba BC memiliki makna inhenren perbuatan, inhenren berada dalam

keadaan seperti yang disebut pada kata dasar, dan inheren pengalaman.

Hasil penelitian tentang Struktur Frasa BC (2005) difokuskan pada (1) jenis

frasa BC berdasarkan distribusi konstituen dan kelas/kategori kata, dan (2) struktur

frasa BC berdasarkan pola urutan (D-M atau M-D). Hasil penelitian tentang Struktur

Kalimat BC (2007) menunjukkan bahwa kalimat dalam BC memiliki struktur atau

pola (1) kalimat tunggal: S – P – (O – Pel - K) ; (2) kalimat majemuk setara BC

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

17

memiliki pola atau struktur S – P – konj – P, S – P – K - konj – S – P – (O- K) ; dan

(3) kalimat majemuk bertingkat BC memiliki pola konj - S – P – S – P - (O – K), konj

– S – P – P – S, konj - P – S – S – P.

Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Konisi dan Hidayat tersebut

menunjukkan bahwa walaupun tidak berkaitan langsung dengan penelitian ini, tetapi

dapat menjadi informasi awal tentang BC. Hasil penelitian tentang morfologi,

misalnya terutama tentang afiks dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis

sejumlah pemarkah dalam konstruksi klausa verbal BC. Demikian pula hasil

penelitian tentang struktur kalimat BC dapat menjadi informasi tentang tipe/pola BC,

yaitu S-P/V-O.

Penelitian ini juga menggunakan hasil penelitian lain yang relevan dengan

objek penelitian. Penelitian terdahulu seperti yang telah dilakukan oleh Artawa

(1994), Arka (2000), Kosmas (2000), Jufrizal (2004), Budiarta (2009), Satyawati

(2009), Yudha (2011), dan Sukendra (2012). Untuk lebih jelasnya, pustaka-pustaka

dimaksud secara terperinci dipaparkan berikut ini.

Penelitian tentang Ergativity and Balinese Syntax oleh Artawa (1994)

(disertasi) dengan pendekatan dan teori tata bahasa relasional dan tipologi bahasa.

Ada empat permasalahan pokok yang dibahas dalam disertasi tersebut berkenaan

dengan keergatifan dan sintaksis bahasa Bali. Keempat permasalahan pokok

tersebut meliputi relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi

pragmatik, dan tipologi sintaksis. Penjelasan tentang relasi gramatikal diawali

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

18

dengan penentuan konstituen SUBJ yang dilakukan dengan cara pengujian sintaksis,

yaitu perelatifan, kontrol, penaikan, serta pivot. Penjelasan tentang mekanisme

perubahan valensi menggambarkan penurunan dan penaikan valensi verba

sehingga ditemukan adanya proses pengaplikatifan dan pengausatifan verba dasar

bahasa Bali melalui proses morfosintaksis sufiks (-ang) dan (-in). Pengkajian

terhadap tipe pemarkahan sintaksis bahasa Bali menghasilkan suatu simpulan bahwa

bahasa Bali digolongkan ke dalam tipe bahasa yang memiliki tipologi bahasa

ergatif. Hasil ini sangat berbeda karena secara umum bahasa Bali sering dianalisis

sebagai bahasa akusatif. Artawa menambahkan bahwa pada prinsipnya bahasa Bali

memperlakukan argumen pasien (P) dari verba transitif yang tak bermarkah secara

morfologis, seperti argumen (S) dari klausa intransitif. Hasil penelitian Artawa

(1994) sangat erat kaitannya dengan rencana penelitian ini, terutama mekanisme

perubahan valensi dan tipologi sintaksis. Karena itu, hasil penelitian tersebut

dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Penelitian tentang Beberapa Aspek Intransitif Terbelah pada Bahasa

Nusantara oleh Arka (2000) menyimpulkan bahwa secara tipologis bahasa-bahasa

Nusantara memperlihatkan keterpilahan S, dengan strategi pemarkahan pada

poros verbanya (head marking), seperti bahasa Bali, Lamaholot, Tetun, dan

Dawan atau pemarkahan argumennya (dependent marking), seperti bahasa Kolana

atau keduanya, seperti bahasa Aceh. Pemarkahan verbal biasanya berupa afiks,

dengan memiliki tingkat keterperincian yang bervariasi. Sementara itu, bahasa-

bahasa isolasi seperti bahasa Sikka, yang memang miskin proses morfologis

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

19

khususnya afiksasi, keterpilahan S diperlihatkan melalui tata urutan antara S dan

poros verbanya. Hasil penelitian tersebut telah menemukan tipologis bahasa-bahasa

nusantara. Karena itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan acuan dalam

penelitian ini, apakah bahasa Ciacia secara tipologis termasuk kelompok bahasa

akusatif, ergatif, atau s-terpilah.

Penelitian tentang Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan

Fungsinya oleh Kosmas (2000) menunjukkan bahwa bahasa Manggarai tidak

memiliki pemarkah morfologis. Ketiadaan pemarkah morfologis disebabkan oleh

ketiadaan proses morfoleksikal karena minimnya afiks (sufiks, infiks,

prefiks). Argumen inti (core argument) bahasa Manggarai tidak dimarkahi, baik

secara morfologis maupun sintaksis. Sebaliknya, argumen noninti (non-core

argument) dimarkahi secara sintaksis dengan preposisi le ‘oleh’. Preposisi ini

digunakan sebagai pemarkah sintaktis, terutama dalam konstruksi pasif atau

dengan kata lain preposisi le ‘oleh’ merupakan pemarkah konstruksi pasif

dalam bahasa Manggarai. Dengan demikian, pasif dalam bahasa Manggarai

merupakan pasif secara sintaksis, bukan pasif secara morfologis. Terkait dengan

tipologi bahasa, Kosmas (2000) menyatakan bahwa secara tipologis bahasa

Manggarai merupakan bahasa yang dikelompokkan ke dalam bahasa yang bertipe

akusatif. Keakusatifan bahasa Manggarai ini ditunjukkan dengan pengetesan

pemetaan peran semantis dan fungsi gramatikal serta tes kepivotan, yakni S/A pivot

dan S/O pivot. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kosmas (2000) dapat dijadikan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

20

acuan sekaligus sebagai bahan perbandingan dengan penelitian ini, terutama

penentuan tiopologis BC.

Penelitian tentang Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa

Minangkabau oleh Jufrizal (2004) menunjukkan bahwa berdasarkan sistem

koreferensi relasi-relasi gramatikal dalam kalimat kompleks dan penelahaan secara

tipologis terhadap sifat-perilaku gramatikal klausa dan klausa majemuk, baik

kalimat majemuk setara maupun bertingkat, diketahui bahwa secara sintaktis bahasa

Minangkabau mempunyai sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan S sebagai

satu-satunya argumen dalam klausa intransitif sama dengan argumen A dalam klausa

transitif dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Karena itu, secara tipologis

bahasa Minangkabau dapat dikelompokkan ke dalam bahasa yang bertipe nominatif-

akusatif secara sintaksis. Penelitian tersebut juga menemukan tipe bahasa

Minangkabau tergolong bahasa dengan tipe S-terpilah. Berdasarkan pengujian

kepivotan, secara gramatikal bahasa Minangkabau mempunyai S/A pivot. Hasil

penelitian Jufrizal (2004) dijadikan acuan penelitian ini, terutama berkaitan

dengan struktur klausa dasar dan tipologi bahasa.

Penelitian tetang Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan oleh Budiarta (2009)

menunjukkan bahwa secara sintaksis bahasa Dawan tergolong bahasa yang

memiliki tipologi nominatif-akusatif karena memperlakukan S sama dengan

A dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Berdasarkan pengkajian

sistem rujuk-silang (koreferensial) relasi-relasi gramatikal yang terdapat dalam

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

21

kalimat kompleks bahasa Dawan, dapat dikatakan bahwa bahasa Dawan

memperlakukan subjek (S) sama dengan agen (A) pada tataran sintaksis. Hasil

penelitian tersebut juga dijadikan acuan dalam mengkaji klausa verbal bahasa Ciacia

yang dikaji secara tipologis.

Peneilitian tentang Valensi dan Relasi Gramatikal Bahasa Bima oleh

Satyawati (2009) menunjukkan bahwa proses penaikan valensi verba dilakukan

melalui proses pengausatifan dan pangaplikatifan. Sebaliknya, proses penurunan

valensi dapat dilakukan dengan peresultatifan. Berdasarkan relasi sintaksis, bahasa

Bima memiliki pola urutan klausa SVO. Klausa bahasa Bima terdiri atas PRED dan

argumen-argumennya yang menduduki fungsi SUBJ, OL, dan OTL. Hasil penelitian

ini juga mengungkapkan bahwa bahasa Bima memiliki tiga bentuk kausatif, yaitu

kausatif leksikal, morfologis, dan analitik. Kausatif leksikal terjadi karena konstituen

yang membangun PRED berupa verba yang bermakna kausatif, tanpa melalui

proses pengausatifan, seperti penambahan pemarkah. Tanpa pemarkah PRED

sudah dinyatakan oleh verba bermakna kausatif. Kausatif morfologis dilakukan

dengan cara menambahkan pemarkah kausatif {ka-} pada verba. Pemarkah jenis ini,

selain dapat dilekatkan pada verba dapat pula dilekatkan pada adjektiva, nomina, dan

numeralia. Kausatif analitik dilakukan dengan menambahkan verba ndawi, baik

dalam konstruksi intransitif maupun transitif.

Satyawati (2009) juga mengungkapkan bahwa pengaplikatifan bahasa Bima

dilakukan dengan preposisi {-labo} dan {-kai}. Penempatan kedua preposisi

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

22

tersebut berada di belakang verba dan dapat dimarkahi pemarkah perujuk silang

dapat pula tidak. Di samping kedua preposisi tersebut, proses pengaplikatifan bahasa

Bima dapat dilakukan dengan menggunakan pemarkah {-wea} dengan

meletakkannya di belakang verba. Peresultatifan bahasa Bima dilakukan dengan

menambahkan pemarkah {ra-} pada verba. Pada konstruksi resultatif bahasa

Bima, agen tidak disebutkan. Walaupun penelitian yang dilakukan Satyawati

(2009) tidak secara eksplisit membahas tipologi bahasa, tetapi penelitian tersebut

sangat penting untuk dicermati. Hasil penelitian yang berkaitan dengan perubahan

valensi verba bahasa Bima dapat dijadikan bahan perbandingan sekaligus

menjadi acuan dalam mengkaji klausa verbal bahasa Ciacia

Penelitian tentang Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa Lio oleh Yudha

(2011) menunjukkan bahwa struktur klausa bahasa Lio (BL) memiliki struktur

kanonis SVO, VOS, dan OSV. Struktur kanonis OVS ini terjadi karena bahasa Lio

tidak memiliki diatesis pasif. SUBJ bahasa Lio selalu muncul pada posisi

preverbal dan OBJ muncul pada posisi postverbal. Yudha juga mengungkapkan

bahwa tipologi pemarkahan BL tergolong bahasa akusatif yang memperlakukan A

sama dengan S (S/A) dan berbeda dengan P. Kalau dikaji secara sintaksis, BL

termasuk kelompok bahasa ergatif analitik karena tidak ada bahasa yang sepenuhnya

akusatif ataupun ergatif. Bahasa Lio merupakan bahasa yang bersifat ergatif analitik,

argumen P verba transitif tak bermarkah dan diperlakukan dengan cara yang

sama dengan satu-satunya argumen pada klausa intransitif sesuai dengan urutan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

23

konstituennya. Keterbatasan BL terletak pada argumen P dan S yang dapat

direlatifkan dan dimodifikasi dengan pemarkah emfatik. Hanya P dan S yang

berfungsi sebagai pivot untuk memungkinkan proses pelesapan nomina yang

berkoreferensi dengan struktur klausa koordinasi dan klausa subordinasi. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Yudha (2011) sangat relevan dengan rencana

penelitian ini, terutama berkaitan dengan struktur klausa dan tipologis

pemarkahan. Karena itu, hasil penelitian tersebut dijadikan acuan dalam rencana

penelitian ini.

Penelitian tentang Struktur Klausa Bahasa Sabu: Kajian Tipologi Sintaksis

oleh .Sukendra (2012) mengungkapkan bahwa struktur klausa bahasa Sabu (BS)

terdiri atas klausa berpredikat verbal dan nonverbal. Klausa berpredikat nonverbal

dipredikati oleh nomina, adjektiva, numeralia dan frasa preposisional. Tata urutan

kata yang lazim pada klausa dasar BS adalah SVO atau AVP. Predikasi BS terdiri

atas predikat verbal dengan satu argumen pada klausa intransitif, dengan dua

argumen pada klausa ekatransitif, dan dengan tiga argumen pada klausa dwitransitif.

Terkait dengan struktur informasi, BS diidentifikasi sebagai bahasa yang

menonjolkan subjek.

Terkait dengan penggabungan klausa secara koordinatif dan subordinatif,

Sukendra (2012) mengungkapkan bahwa BS memiliki pivot S/A. Hal tersebut

mengacu kepada konstruksi verba tak terbatas dan konstruksi kalimat tanya.

Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi kalimat tanya memperlihatkan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

24

bahwa S diperlakukan sama dengan A dan berbeda dengan P Hal ini dibuktikan

dengan diperkenankannya pelesapan secara langsung jika S bekoreferensi dengan A.

Sementara, jika S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunan

(derivasi) sintaksis melalui mekanisme pemasifan dan penopikan.

Walaupun dengan objek bahasa yang berbeda, penelitian-penelitian yang

dilakukan sebelumnya, baik yang dilakukan oleh Artawa (1994), Arka (2000)

Kosmas (2000), Jufrizal (2004), Budiarta (2009), Satyawati (2009), Yudha (2011),

maupun Sukendra (2012) sangat relevan dan sangat bermanfaat untuk penelitian ini.

Temuan dan simpulan dari hasil penelitian tersebut dapat dijadikan acuan dan bahan

perbandingan dalam penelitian ini.

2.2 Konsep

Bagian ini akan dikemukakan sejumlah konsep berkaitan dengan aspek-aspek

yang dikaji dalam penelitian ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan

pemahaman terhadap berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian. Sejumlah

pandangan para ahli yang dikemukakan dalam bagian ini menjadi acuan atau

pedoman dalam menganalisis atau mengkaji sejumlah masalah dalam penelitian ini.

2.2.1 Klausa

Secara konsep, klausa disamakan dengan konsep kalimat sederhana, yaitu

kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat (Elson dan Pickett, 1983:120).

Pandangan yang sepadan juga dikemukakan Dixon (2010:93) bahwa pembicaraan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

25

tentang klausa selalu terkait dengan kalimat, baik kalimat sederhana maupun kalimat

kompleks. Sebuah kalimat sederhana terdiri atas satu klausa, sementara dalam

kalimat kompleks terdiri atas beberapa klausa; klausa yang satu menjadi klausa bebas

sementara yang lainnya dapat menjadi klausa terikat. Sebuah klausa memiliki elemen

predikat yang secara umum diisi oleh verba (walaupun ada kemungkinan dapat diisi

kelas kata yang lainnya) dan sejumlah argumen inti.

2.2.2 Verba

Verba adalah kelas kata yang secara sintaksis dapat menduduki fungsi

predikat dalam sebuah klausa/kalimat dan secara semantik dapat menggambarkan

sebuah perbuatan, proses, atau keadaan (Alwi et al., 2000:87). Berdasarkan jenis

klausanya, verba dapat dibagi atas verba intransitif yang terjadi pada predikat dalam

klausa intransitif, verba transitif yang terjadi pada predikat dalam klausa transitif.

Selain itu, dalam beberapa bahasa, dikenal pula verba ambitransitif (verba labil)

dengan tipe S = A dan tipe S = O (Dixon, 2010: 103).

Pandangan yang sepadan juga dikemukakan Lobner (2013: 111-113) bahwa

terdapat tiga tipe utama verba yakni verba intransitif, verba transitif, dan verba

ditransitif. Verba intransitif yaitu verba yang tidak memiliki objek atau hanya

memiliki satu istilah tempat predikat/satu argumen (hanya subjek). Verba transitif

yaitu verba yang memiliki objek atau memiliki dua istilah tempat predikat dengan

dua argumen (subjek dan objek langsung). Verba ditransitif yaitu verba yang

memiliki tiga argumen (subjek, objek langsung, dan objek tidak langsung).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

26

Sementara itu, Artawa (2015) mengemukakan bahwa verba diklasifikasi

menjadi verba utama (primary verbs) dan verba tambahan (secondary verbs). Verba

utama adalah sekelompok verba yang dapat berdiri sendiri sebagai pengisi predikat,

sedangkan verba tambahan adalah sekelompok verba yang kehadirannya memberikan

modifikasi semantik terhadap verba utama. Selanjutnya, verba utama dibedakan

menjadi dua kelompok yakni kelompok verba yang hanya mengizinkan argumennya

berupa frasa nominal, baik berupa S, A, atau O dan kelompok verba yang

mengizinkan argumennya dengan dua pilihan, yakni berupa frasa nominal atau

berupa klausa komplemen.

2.2.3 Valensi

Valensi merupakan kategori gramatikal yang menjelaskan sejumlah argumen

yang dikandung atau dimiliki oleh verba (van Valin Jr dan Lapolla (1997:147). Lebih

lanjut dikemukakan bahwa ada dua jenis valensi, yakni valensi sintaktis dan valensi

semantik. Valensi sintaksis adalah jumlah argumen sintaksis yang dibutuhkan oleh

verba, sedangkan valensi semantik adalah jumlah argumen semantik yang dimiliki

atau yang dikandung oleh verba. Valensi sintaksis juga berkaitan dengan

ketransitifan verba yang meliputi verba intransitif (satu valensi/argumen), verba

transitif (dengan dua valensi/argumen), dan verba ditransitif (tiga valensi/argumen)

(van Valin Jr dan Lapolla, 1997:147).

Selanjutnya, Van Valin Jr dan Lapolla (1997:148) menambahkan bahwa

melalui proses gramatikal akan terjadi perubahan valensi verba, baik berupa

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

27

penambahan jumlah argumen maupun pengurangan jumlah argumen. Bentuk pasif

terjadi akibat adanya kaidah pengurangan valensi seperti dalam kalimat Buku itu

dibaca merupakan perubahan dari John membaca buku itu). Sementara itu, Dixon

(2010:167) menggunakan konsep perubahan valensi melalui konsep

pendentransitivan dan pentarnsitivan. Pendentransitivan dilakukan melalui derivasi

pasif dan antipasif, sementara pentransitivan dilakukan melalui proses pengausatifan

dan pengaplikatifan.

2.2.4 Argumen

Argumen merupakan nomina atau frasa nominal yang bersama-sama

predikator membentuk sebuah proposisi (Kridalaksana, 1994:16). Keberadaan

argumen dalam sebuah klausa/kalimat sangat bergantung pada valensi-valensi verba

dalam klausa/kalimat tersebut. Ada verba yang memiliki satu argumen (bervalensi

satu). Ada pula verba yang memiliki lebih dari satu argumen (bervalensi lebih dari

satu) (Verhaar, 2010:199). Verhaar pun menambahkan bahwa di dalam klausa,

dikenal istilah konstituen yang menduduki konstituen inti dan konstituen bukan inti.

Konstituen intilah yang dapat disebut argumen (pada verba). Sementara konstituen

bukan inti, yang biasa disebut periferal tidak dapat berstatus sebagai argumen.

2.2.5 Fungsi Gramatikal

Salah satu cara untuk menganalisis klausa secara sintaksis adalah dengan

menekankan pada fungsi-fungsi sintaksis (Verhaar, 2012:162-163). Fungsi-fungsi

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

28

itu meliputi subjek dan predikat, dan objek. Selain itu, ada satu fungsi gramatikal

yang dikenal dalam tata bahasa relasional, yaitu fungsi oblik. Uraian fungsi-fungsi

tersebut dapat dilihat berikut ini.

2.2.5.1 Subjek dan Predikat

Subjek merupakan fungsi gramatikal yang biasa diisi oleh nomina atau frasa

nominal. Subjek merupakan satu-satunya argumen inti dalam klausa atau kalimat

intransitif, sedangkan dalam klausa/kalimat transitif, subjek merupakan nomina atau

frasa nominal yang menduduki posisi tertinggi pada hierarki fungsi gramatikal

(Blake, 1990:35).

Sementara itu, Dixon (2010: 78) mengemukakan bahwa subjek merupakan

salah satu fungsi gramatikal (selain predikat) yang selalu hadir dalam sebuah

klausa/kalimat. Subjek berkaitan dengan sesuatu yang sedang dinyatakan atau

diingkari. Satu-satunya argumen yang selalu hadir dalam klausa verbal intransitif

berupa Subjek. Sementara dalam klausa verbal transitif, selain menghadirkan subjek

transitif berupa agen/actor (A) dan turut pula hadir objek transitif (O). Kedua fungsi

gramatikal ini dikelempokkan sebagai argumen inti. Dalam bahasa akusatif seperti

bahasa Inggris, argumen S dan A bersifat wajib dalam setiap klausa dan itu sangat

cocok diambil sebagai subjek. Akan tetapi, dalam bahasa ergatif, cenderung argumen

S bersifat wajib dalam intransitif tetapi argumen O bersifat wajib dalam transitif

dengan argumen A dapat dihilangkan (Dixon, 1994, 2010:79).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

29

Selain fungsi subjek, terdapat pula fungsi predikat yang selalu hadir dalam

sebuah klausa. Jika subjek berkaitan dengan apa yang sedang dikatakan, sementara

predikat berkaitan dengan apa yang dikatakan tentangnya (Dixon, 2010: 78). Predikat

dalam sebuah konstruksi umumnya diisi oleh verba (walaupun ada kemungkinan

untuk kelas kata lainnya). Setiap predikat membutuhkan argumen yang direalisasikan

dengan sebuah frasa nominal atau sebuah klausa komplemen.

Lobner (2013:108) mendefinisikan predikat sebagai kata-kata yang memiliki

kontribusi dalam sebuah predikasi. Kata-kata tersebut bisa berupa verba, nomina,

ajektiva, atau adverbia/keterangan. Selain itu, predikat digunakan sebagai satu

kesatuan dengan argumen-argumennya. Predikat dengan satu argumen disebut

dengan satu tempat predikat, predikat dengan dua argumen disebut dengan dua

tempat predikat, dan predikat dengan tiga argumen disebut dengan tiga tempat

predikat.

2.2.5.2 Objek

Objek merupakan fungsi gramatikal utama selain subjek yang diisi oleh

nomina atau frasa nominal. Objek adalah relasi gramatikal yang merujuk ke setiap

argumen inti yang bukan subjek. Dalam konstruksi transitif, objek merupakan fungsi

atau relasi gramatikal yang harus hadir dalam sebuah klausa/kalimat dan merupakan

argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba yang bervalensi dua

(Dixon, 1994:140, Jufrizal, 2007:50; Verhaar, 2008:166). Dalam tata bahasa

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

30

relasional, dikenal pula objek langsung dan objek tak langsung atau objek primer dan

objek sekunder (Blake, 1994; Crof, 2009).

2.2.5.3 Oblik

Oblik merupakan salah satu relasi gramatikal selain relasi utama (subjek,

objek langsung, dan objek tak langsung). Oblik merupakan relasi gramatikal yang

bersifat semantik, yaitu berupa lokatif, benefaktif, dan instrumental (Blake, 1994;

Artawa, 2000, 2015; Jufrizal, 2007).

2.2.6 Keaspekan

Keaspekan merupakan salah satu proses gramatikal terkait dengan situasi

dalam pemakaian bahasa. Menurut Smith (1991:3-6) ada dua unsur yang berkaitan

dengan keaspekan, yakni sudut pandang dan situasi. Unsur sudut pandang

diungkapkan melalui morfem gramatikal sedangkan unsur situasi diungkapkan

melalui verba dan argumen-argumennya. Keaspekan sudut pandang dapat dilihat

secara perfektif dan imperfektif. Keaspekan situasi didasarkan pada ciri semantik

kewaktuan yang dibagi menjadi tiga hal pokok yaitu statis, duratif, dan telis.

Sementara itu, Tadjuddin (2005) menjelaskan bahwa kategori keaspekan

menempatkan suatu situasi menjadi lokasi tempat hadirnya waktu. Hal ini

berimplikasi bahwa waktu mengacu pada ukuran panjang/lama tak terbatas, panjang

terbatas, sebentar, atau tak terputus-putus. Karena itu, keaspekan berhubungan

dengan bagaimana cara situasi dihadirkan/diungkapkan, seperti suatu kejadian yang

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

31

belum selesai atau sedang berlangsung (imperfektif) dan kejadian yang telah lengkap/

selesai (perfektif).

Djadjasudarma (2013:29) yang mengembangkan pandangan Comrie (1976)

menjelaskan bahwa aspek menyatakan hubungan individual pembicara dengan suatu

proses. Aspek merupakan cara memandang struktur temporal intern suatu situasi.

Suatu situasi dapat berupa keadaan (bersifat statis), peristiwa dan proses (bersifat

dinamis). Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang secara keseluruhan atau sudah

lengkap dari awal, tengah, hingga akhir (aspek perfektif; telah, sudah). Proses

dikatakan dinamis jika peristiwa itu sedang berlangsung (aspek imperfektif; sedang,

lagi, tengah, masih). Lalu, Djadjasudarma menambahkan aspek prospektif berupa

akan seperti pada Ia akan makan (akan, aspek dengan situasi prospektif; boleh

terjadi atau tidak). Samsuri (1987) menambahkan bahwa dalam praktiknya, aspek

dapat dinyatakan secara morfemis dan secara leksikal.

2.2.7 Peran Gramatikal (Argumen Semantis)

Peran gramatikal berkaitan dengan peran-peran kasus yang didasarkan atas

perilaku semantik. Peran agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang

utama (van Valin dan La Polla Jr, 2002: 141-143; Jufrizal, 2007:28-31). Selain itu,

terdapat tiga peran lainnya yang mengikuti peran agen dan pasien, yakni benefaktif,

instrumental, dan lokatif. Peran gramatikal agen dan pasien merupakan peran

makrosemantik (semantic macrorole). Peran agen diistilahkan dengan ACTOR dan

peran pasien diistilahkalam dengan UNDERGOR (van Valin dan La Polla Jr, 2002).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

32

Sementara itu, Dixon (2010:116) menggunakan prinsip sintaksis dan semantik dalam

menentukan peran-peran gramatikal sebuah klausa, baik klausa intransitif maupun

klausa transitif. Dijelaskan bahwa dalam klausa intransitif, satu-satunya argumen

yang wajib hadir berupa subjek (S), sementara dalam klausa transitif ada dua

argumen inti yang hadir, yakni agen (A) dan objek (O). Argumen yang memiliki

referensi sebagai sesuatu yang bernyawa dan yang dapat memprakarsai atau

mengontrol aktivitas diidentifikasi sebagai fungsi A. Argumen yang referensinya

lebih menonjol dipengaruhi oleh aktivitas diidentifikasi sebagai fungsi O.

2.2.8 Relasi Gramatikal

Istilah relasi gramatikal merupakan sebuah teori yang dikembangkan oleh

Perlmuter dan Postal di awal tahun 1970-an. Relasi gramatikal merupakan

keseluruhan relasi yang terjadi atau yang terdapat dalam sebuah bahasa. Relasi

gramatikal pada prinsipnya meliputi seluruh proses sintagmatik terutama yang

berkaitan dengan valensi verba. Oleh karena itu, relasi gramatikal meliputi relasi

sintaktik, relasi semantik, dan relasi pragmatik (van Valin dan La Polla, 1997;

Matthews, 1997; Artawa, 2000). Dalam tata bahasa Relasional, ada tiga relasi

gramatikal yang murni bersifat sintaktis, yaitu subjek (S), objek langsung (OL), dan

objek tak langsung (OTL). Relasi gramatikal antara S, OL, dan OTL secara

bersama/berurut dikenal dengan terms (istilah). Selain itu, ada relasi yang bersifat

semantis yang secara kolektif disebut relasi oblik (OBL), seperti lokatif, benefaktif,

instrumental dan sebagainya (Blake, 1994; Artawa, 2000; Djunaedi, 2000). Dengan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

33

menggunakan penomoran 1, 2, 3 hubungan-hubungan gramatikal tersebut

membentuk sebuah hierarki seperti tampak berikut ini.

Subjek Objek Langsung Objek tak Langsung Oblik

1 2 3

Blake (1994) memberikan contoh (dalam bahasa Inggris) seperti berikut ini.

Eva gave the apple to adam

1 2 3

Sebuah AGEN atau PENGALAM akan menjadi subjek (S) berupa Eva (1), PASIEN

akan menjadi objek langsung (OL) berupa the apple (2), PENERIMA sebagai objek

tak langsung (OTL) berupa to Adam (3), dan peran-peran yang lainnya seperti lokatif,

benefaktif, instrumental akan dikodekan dalam hubungan oblik (OBL).

2.2.9 Aliansi Gramatikal

Aliansi gramatikal merupakan sebuah sistem atau persekutuan gramatikal di

dalam atau antarklausa dalam sebuah bahasa secara tipologis, apakah berupa S = A, S

= O, So = O atau yang lainnya (Dixon, 1994; 2010). Artawa (2005:11) yang

mengembangkan pandangan Dixon menjelaskan bahwa sistem aliansi gramatikal

menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal bahasa-bahasa di dunia

yang mungkin terdiri atas tiga, yakni sistem akusatif, sistem ergatif, dan s-terpilah

(bahasa aktif). Dixon (1994:72) menggambarkan secara visual ketiga tipologi

gramatikal tersebut seperti tampak berikut ini.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

34

Gambar 2.1

Tiga Tipologi Gramatikal

Sistem Akuastif Sistem Ergatif

Sistem S-Terpilah (aktif)

2.2.10 Pivot

Pivot merupakan nomina atau frasa nominal yang paling sentral secara

gramatikal. Pivot adalah sebuah kategori yang mengaitkan S dan A , S dan O, atau S,

A, dan O. Dalam bahasa yang bertipe akusatif, pivot berupa nomina atau frasa

nominal yang berfungsi sebagai subjek gramatikal, sedangkan pada bahasa yang

bertipe ergatif, pivot berupa nomina atau frasa nominal yang merupakan objek atau

pasien. Beberapa bahasa memiliki pivot S/A dan beberapa bahasa lainnya memiliki

A

S

O A

O

S

A

Sa

O

So

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

35

pivot S/O dan beberapa bahasa lainnya menggabungkan kedua variasi pivot tersebut

pada area gramatikal yang berbeda (Dixon, 1994; 2010).

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan pandangan sejumlah ahli untuk dijadikan

landasan pijak/teori untuk memahami dan menganalisis/mengkaji konstruksi klausa

verbal BC. Pendekatan dan teori tipologi yang dikembangkan Malinson dan Blake

(1981), Comrie (1981, 1983) dan Dixon (1994, 2010) digunakan untuk

menelaah/mengkaji konstruksi klausa verbal BC. Selain itu, pandangan Greembarg

dalam Malinson dan Blake (1981), Payne (2002), Song (2001), Artawa (2005, 2015)

juga dijadikan dasar pembahasan tipologi BC. Pembahasan tentang transitivitas oleh

Dixon (2010, 2012). Pembahasan tentang valensi oleh Van Vallin Jr. et al. (1980),

Van Vallin Jr dan La polla (1997, 2002), Dixon (2010), Goddard (1988); struktur

argumen oleh Alsina (1992), Wongt dan Peter (1998); Uraian tentang pandangan para

ahli tersebut dikemukakan berikut ini.

2.3.1 Tipologi dan Kesemestaan Bahasa

Secara etimologis, tipologi berarti pengelompokan ranah (classificasion of

domain). Secara teknis, tipologi merujuk ke pengelompokkan sebuah bahasa

berdasarkan ciri khas tata kata dan tata kalimat (Mallinson dan Blake, 1981:3;

Artawa, 2015:19). Bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan ciri khas

strukturalnya. Bahasa yang coraknya sama atau setidak-tidaknya mirip

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

36

dikelompokkan ke dalam golongan atau kelompok yang sama. Setiap unsur dalam

suatu bahasa dapat diperlakukan sebagai sebuah tipe atau sebuah tanda. Sebuah unsur

yang berperilaku sebagai tipe merupakan objek yang bentuknya secara terus-menerus

tetap dan berulang yang terdapat dalam sebuah bahasa.

Kajian tipologi linguistik pada periode awal hanya difokuskan pada tipologi

tata urut kata (word order typology) yang dilakukan oleh Greenberg (dalam

Mallinson dan Blake, 1981). Hasil kajian tipologi Greenberg menunjukkan bahwa

bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut urutan dasar subjek, objek, dan verba

(SOV) dengan tata urutan yang lazim, seperti S-V-O, V-S-O, dan O-V-S atau lainnya.

Kajian awal ini memprakrsai peneliti dan ahli tipologi linguistik untuk mencermati

kemungkinan penipologian bahasa berdasarkan ciri khas tata bahasa. Kajian yang

berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia,

kemudian membuat pengelompokan berdasarkan persamaan atau kemiripan fitur-

fitur tata bahasa tersebut. Cara kerja seperti ini dikenal dalam dunia linguistik

sebagai kajian tipologi linguistik (linguistic typology) yang menghasilkan tipologi

bahasa (language typology) (Artawa, 2005,2015; Jufrizal, 2012).

Comrie (1983) lebih lanjut menyatakan bahwa tujuan tipologi linguistik

adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat-perilaku struktural

bahasa-bahasa tersebut. Tujuan pokok kajian tipologi adalah untuk menjawab

pertanyaan: seperti apakah bahasa x itu? Menurut Comrie, ada dua asumsi pokok

tipologi linguistik, yaitu: (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan

strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Bahasa-bahasa

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

37

dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (tipologi), seperti bahasa

bertipologi akusatif, bertipologi ergatif, bertipologi aktif, dan sebagainya.

Penipologian bahasa diperlukan untuk pembuatan asumsi-asumsi tentang

kesemestaan bahasa (Artawa, 2015:19). Kesemestaan dan kekhasan tata bahasa

secara lintas bahasa menjadi hal yang menarik dan penting untuk ditelaah. Menurut

Van Valin Jr. dan Lapolla (2002:2–3) pendeskripsian fenomena kebahasaan

merupakan salah satu tujuan penting dalam linguistik. Para ahli bahasa berasumsi

bahwa pendeskripsian fenomena kebahasaan tersebut merupakan tujuan utama dalam

linguistik. Pendeskripsian itu dapat meliputi deskripsi bahasa-bahasa secara sendiri-

sendiri, mendeskripsikan apa yang umum dimiliki oleh seluruh bahasa (kesemestaan

bahasa), atau mendeskripsikan bagaimana bahasa-bahasa berbeda satu sama lain

(secara tipologi bahasa). Mallinson dan Blake (1981: 6-7) menyatakan bahwa

penelitian semesta lintas bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal)

dikenal luas sebagai bentuk kajian tipologi skala besar. Penelitian kesemestaan

bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara lintas bahasa seluas

mungkin. Kajian tipologi dan kajian kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan

dan saling memperkuat.

Mallinson dan Blake (1981:3-5) mengungkapkan bahwa untuk sampai pada

penentuan tipologi bahasa, banyak aspek kebahasaan yang perlu dikaji lebih dahulu,

baik secara gramatikal (morfosintaksis) maupun secara semantis. Tipologi yang baik

menurut Mallinson dan Blake adalah tipologi yang mampu mengelompokkan bahasa-

bahasa secara luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling berhubungan. Pengkajian

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

38

aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) pada dasarnya didasari dan dicermati

melalui kajian tipologi bahasa yang bersangkutan.

Comrie (1983: 30-32) mengungkapkan bahwa kajian kesemestaan bahasa dan

kajian tipologi merupkan dua hal yang saling terkait. Kajian kesemestaan bahasa

bertujuan untuk mencari dan menemukan (i) perilaku dan sifat-sifat umum semua

bahasa manusia, (ii) kemiripan secara lintas bahasa, dan (iii) batas-batas variasi

bahasa manusia. Sementara itu, kajian tipologi bahasa bertujuan untuk (i)

mengelompokkan bahasa-bahasa di dunia sesuai karakteristiknya, (ii) mengkaji

perbedaan antara bahasa-bahasa, dan (iii) mempelajari variasi-variasi bahasa

manusia. Walaupun berbeda, keduanya memiliki keterkaitan sehingga dapat berjalan

bergandengan. Untuk menetapkan tipologi bahasa diperlukan penetapan parameter

tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Penetapan tipologi suatu bahasa

membutuhkan pembuatan asumsi tentang kesemestaan bahasa.

Penipologian bahasa dapat dilakukan secara morfologis dan secara sintaktis.

Berdasarkan tipologis morfologisnya, bahasa-bahasa di dunia dapat dikelompokkan

menjadi empat kelompok bahasa, yaitu (1) bahasa isolative; bahasa yang tidak

memiliki proses morfologis, seperti bahasa Cina, bahasa Vietnam dan sebagainya; (2)

bahasa aglutinatif; bahasa yang memiliki proses morfologis; kata dapat terdiri atas

beberapa morfem; batas antara kata dan morfem dapat dengan mudah

diurai/dipisahkan, seperti bahasa Indonesia, bahasa Hungaria dan sebagainya; (3)

bahasa infleksi atau fusional; bahasa yang morfem-morfemnya diwujudkan dengan

sejumlah afiks tetapi tidak mudah untuk memisahkan/menentukan afiks-afiks yang

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

39

membentuk kata atau morfem tersebut, misalnya bahasa Arab, bahasa Latin dan

sebagainya; (4) bahasa inkorporasi atau polisintetik; bahasa yang menggambungkan

sejumlah morfem leksikal menjadi kata tunggal, seperti bahasa Greenlandic Eskimo,

bahasa Inggris dan sebagainya (Comrie, 1983; Mallinson dan Blake, 1981).

Sementara itu, kajian tipologi sintaksis merupakan kajian bahasa yang

bertujuan untuk mengelompokkan bahasa berdasarkan struktur frasa, klausa, dan

kalimat. Secara tipologi, pengelompokan bahasa secara sintaksis dikembangkan

menjadi pengelompokan berdasarkan tata urut (word order) (tata urut kata dan tata

urut kalimat) yang menghasilkan bahasa yang bertipe VO dan OV (Greembarg

dalam Mallinson dan Blake, 1981). Pengelompokan lainnya berupa pengelompokan

berdasarkan pemarkah sintaksis. Pengelompokan ini menghasilkan bahasa dengan

tipologi akusatif, ergatif, dan s-terpilah (s-split) (Dixon, 1994; Comrie, 1981; Arka,

1998; Indrawaty, 2012).

Terkait dengan hal tersebut, Dixon (1994:157-158) mengemukakan bahwa

penentuan tipologi sintaksis sebuah bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan atau

pengujian kepivotannya. Teknik pengetesan atau pengujian kepivotan seperti tampak

berikut ini.

1. Kedua Klausa Intransitif

(a) S1 = S2 seperti Bill entered and sit down ‘Bill masuk dan duduk’

2. Klausa Pertama Intransitif dan Klausa Kedua Transitif

(b) S1 = O2 seperti Bill entered and (Bill) was seen by Fred ‘Bill masuk dan

dilihat oleh Fred’

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

40

(c) S1 = A2, seperti Bill entered and saw Fred ‘Bill masuk dan melihat Fred’

3. Klausa Pertama Transitif dan Klausa Kedua Intransitif

O1 = S2 seperti Bill was seen by Fred and laughed ‘Bill dilihat oleh Fred dan

tertawa’

(d) A1 = S2, seperti Fred saw Bill and laughed ‘Fred melihat Bill dan tertawa’

4. Kedua Klausanya transitif dan Satu Frasa Nominal Umum

(e) O1 = O2, seperti Bill was kicked by Tom and punched by Bob ‘ Bill ditendang

oleh Tom dan dipukul oleh Bob’

(f) A1 = A2, seperti Bob kicked Jim and punched Bill ‘Bob menendang Jim dan

memukul Bill’

(g) O1 = A2, seperti Bop was kicked by Tom and punched Bill ’Bop ditendang oleh

Tom dan memukul Bill’

(h) A1 = O2, seperti Bob punched Bill and was kicked by Tom ‘Bob memukul Bill

dan (Bob) ditendang oleh Tom’

5. Kedua Klausanya Transitif dan Dua Frasa Nominal Umum

(i) O1 = A2 dan A1 = A2, seperti Fred punched his self and Fred kicked Bill ‘Fred

memukul dirinya dan (Fred) menendang Bill’

(j) O1 = A2 dan A1 = O2, seperti Fred punched Bill and was kicked by him ‘Fred

memukul Bill dan (Fred) ditendang oleh Bill’

2.3.2 Tipologi Bahasa dan Sistem Aliansi Gramatikal

Kajian tipologi bahasa pada umumnya dimaksudkan untuk mengelompokkan

bahasa melalui perilaku struktural yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

41

bersangkutan. Kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap bahasa dengan

mempertimbangkan ciri yang paling dominan dalam bahasa tersebut. Greenberg

(dalam Mallinson dan Blake, 1981:3) menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat

dikelompokkan menurut tata urut dasar (basic order) subjek, objek, dan verba (SOV)

dengan tata urutan yang lazim, seperti S-V-O, V-O-S, O-V-S, atau yang lainnya.

Tipologi urutan dasar ini ditentukan oleh tiga kriteria berikut.

(1) Urutan relatif antara Subjek-Verba-Objek dalam sebuah kalimat berita, yang

dilambangkan dengan S (subject) V (verb), O (object).

(2) Adanya adposisi yaitu preposisi lawan postposisi dalam suatu bahasa yang

dilambangkan dengan Pr/Po (Preposition/Postpreposition).

(3) Posisi adjektif atributif terhadap nomina. Bila adjektif mendahului nomina maka

urutan ini dilambangkan dengan A, dan bila nomina mendahului adjektif maka

urutan ini dilambangkan dengan N.

Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, Greenberg menyimpulkan ada enam pola

kalimat bahasa-bahasa di dunia, yaitu (1) SVO, (2) SOV, (3) VSO, (4) VOS, (5)

OSV, dan (6) OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia memiliki keenam pola tersebut.

Kedua bahasa ini memiliki keberterimaan fungsi verba yang leluasa menduduki

keenam pola kalimat tersebut. Hal ini ditandai dengan adposisi dan pengaruh FN

pembentuknya. Bahasa yang hanya memiliki satu pola dominan (SVO) misalnya

bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO

dan VSO. Akan tetapi, dari keenam pola urutan dasar, Greenberg menyebutkan ada

tiga pola urutan dasar yang dominan, yaitu SVO, SOV, dan VSO.

Sementara itu, penipologian bahasa pada tataran sintaksis (tipologi sintaksis)

berkaitan erat dengan penentuan relasi-relasi gramatikal dan sistem pengelompokan

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

42

peran sintaktis-semantis S, A, dan P klausa bahasa yang bersangkutan. Secara umum,

relasi-relasi gramatikal adalah hubungan antara argumen-argumen dengan predikat

pada tataran struktur yang bebas (lepas) dari pengaruh-pengaruh semantis dan

pragmatis (Payne, 2002:129). Perilaku gramatikal yang paling banyak secara

langsung menentukan relasi-relasi gramatikal tersebut adalah: (i) pemarkah kasus; (ii)

pemarkah partisipan pada verba; dan (iii) tata urutan konstituen.

Song (2001: 40-41) menyatakan bahwa tipologi sintaksis sebuah bahasa pada

dasarnya dibentuk oleh tiga parameter gramatikal, Dixon (1994) menyebutnya

dengan tiga relasi inti dasar. Ketiga parameter tersebut menurut Song (2001:40-41)

meliputi (1) subjek (S) klausa intransitif, (2) agen (A) atau subjek logis klausa

transitif, dan (3) pasien (P) atau objek logis (O) klausa transitif. Ketiga parameter ini

berguna dalam pemarkah kasus, terutama untuk penentuan tipologi sebuah bahasa.

Song (2001:40-41) mengusulkan bahwa keberadaan S, A, dan P dapat menghasilkan

lima kemungkinan logis dalam pengelompokan bahasa-bahasa di dunia yaitu,

nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, tripartite, AP/S, dan netral.

Sistem pengelompokan peran-peran sintaktis-semantis S, A, dan P, yang biasa

disebut sistem aliansi gramatikal, penting diketahui untuk menetapkan tipologi suatu

bahasa pada tataran gramatikal (terutama pada tataran sintaksis). Aliansi gramatikal

merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau

antarklausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah bahasa itu bertipe S = A, S =

P, Sa = A, dan So = O (Dixon, 1994; Palmer, 1994; Payne, 2002, Jufrizal. 2004).

Dixon (1994) dalam Artawa (2005:11) mengemukakan bahwa sistem aliansi

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

43

gramatikal menjadi titik perhatian untuk menentukan yang mungkin untuk bahasa-

bahasa di dunia, yaitu bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa aktif, dan sebagainya.

Dixon (1994, 2010) pun menambahkan bahwa selain sistem aliansi gramatikal

tersebut, terdapat pula sistem bahasa lainnya, yakni S yang secara semantik mirip

dengan O dilambangkan dengan So yang dimarkahi seperti O dan S yang mirip

dengan A dilambangkan dengan Sa dan dimarkahi seperti A. Bahasa yang

membedakan So dan Sa sebagai bagian dari subtipe dari S memiliki jenis sistem S-

terpilah (split-S) dan sistem A-alir (fluid-S). Setiap verba ditunjukan oleh

serangkaian kerangka sintaksis dengan pemarkah kasus atau rujuk silang yang

dilakukan selalu dengan cara yang sama. Sistem A-alir juga memperlakukan secara

sintakstis pemarkahan dasar untuk verba transitif tetapi memperlakukan secara

semantik untuk verba intransitif. Sebuah subjek intransitif dapat dimarkahi sebagai So

(seperti O) atau Sa (seperti A) tergantung unsur semantik yang dikandung bahasa

yang bersangkutan. Keempat sistem aliansi gramatikal secara tipologis tersebut

digambarkan seperti berikut ini.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

44

Gambar 2.2 Empat Sistem Aliansi Gramatikal

Sistem Akusatif Sistem Ergatif

Sistem S-Terpilah Sistem S-Alir/Fluid/Labil

Bahasa dengan tipologi akusatif menurut Dixon merupakan sistem umum

yang paling banyak dimiliki bahasa-bahasa di dunia. Bahasa dengan tipe ini terjadi

apabila argumen pasien (P) atau objek (O) dari predikat transitif diperlakukan sama

dengan argumen predikat intransitif (S) dan berbeda dengan argumen agen (A) dari

predikat transitif. Hal ini (perlakuan yang sama) dapat terjadi pada tataran morfologis

dan sintaksis. Bahasa Inggris misalnya termasuk ke dalam kelompok bahasa yang

bertipe akusatif, seperti contoh yang dikembangkan oleh Artawa (2015) berikut ini.

(1) He (S) runs

(2) He (A) hits her (P)

Tampak pada contoh tersebut memperlakukan A he (2) sama dengan argumen S he

(1). Hal ini dapat ditunjukkan melalui pemarkahan kasus, persesuaian, dan urutan

A

O

S

A O

S

A O

Sa

So

A O

Sa So

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

45

kata. Argumen S dalam klausa intransitif (1) dan argumen A dalam klausa transitif

(2) muncul pada kasus nominatif, sementara argumen P/O her pada klausa transitif

muncul pada kasus akusatif.

Bahasa dengan sistem ergatif menurut Dixon (2010) dipandang kurang umum

terjadi dan hanya ditemukan sekitar 15 bahasa di dunia. Bahasa dengan sistem ini

memperlakukan S dan O dimarkahi dengan cara yang sama yaitu (kasus absolutif)

dan A dimarkahi dengan cara yang berbeda (ergatif). Bahasa bertipe ergatif

memperlakukan argumen O sama dengan argumen S berbeda dengan argumen A.

Artawa (2015) yang mengembangkan pandangan Dixon (2010) memberikan contoh

dalam bahasa Kalkatungu, Aborigin Australia seperti tampak berikut ini.

(3) Kalpin (S) ingka

Lelaki pergi

‘Lelaki itu pergi’

(4) Marapa-thu (A) nanya kalpin (P/O)

Wanita-ERG melihat lelaki

‘Wanita itu melihat lelaki itu’

Contoh tersebut menunjukkan bahwa argumen P/O berupa kalpin (4) dan argumen S

berupa kalpin (3) diperlakukan sama secara morfologis, yakni sama-sama tidak

bermarkah. Sementara argumen A pada konstruksi (4) diperlakukan berbeda dengan

P/O dan S pada konstruksi (3) yang dimarkahi dengan sufiks thu- (marapha-thu).

Sementara itu, sistem S-terpilah memperlakukan S yang dimarkahi seperti A

(Sa) untuk beberapa verba dalam klausa intransitif dan S dimarkahi seperti O (So)

untuk yang lainnya. Sebuah verba intransitif dengan argumen S yang melakukan

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

46

tindakan akan dimarkahi seperti A (Sa), sedangkan argumen S yang referennya

kurang mengontrol aktivitas dimarkahi seperti O (So). Dalam bahasa-bahasa Bats,

pronomina persona pertama tunggal mempunyai bentuk as untuk fungsi A dan bentuk

so untuk fungsi S dalam sebuah klausa transitif. Baik as maupun so dapat digunakan

untuk S pada verba intransitif woze ‘jatuh’ tergantung apakah ada atau tidaknya

aktivitas dari referen argumen S seperti contoh berikut ini.

(1) As woze

‘Saya (Sa) jatuh’ (terjadi karena kesalahanku sendiri sehingga saya jatuh)

(2) So woze

‘Saya (So) jatuh’ (bukan karena kesalahanku).

Dalam kajian tipologis, analisis secara morfologis dan sintaksis sangat penting, sebab

terdapat bahasa pada tataran morfologi bertipe ergatif, tetapi pada tataran sintaksis

berperilaku sebagai bahasa akusatif (Comrie, 1983:104-107). Hal ini mengisyaratkan

bahwa posisi S (subjek) sebagai patokan penentuan tipologi bahasa dapat digunakan

dalam pengetesan morfologis dan sintaksis. Pengetesan ini memperlihatkan apakah

kedudukan agen atau pasien yang diperlakukan dengan cara yang sama dengan subjek

ataukah berbeda.

2.3.3 Transitivitas

Transitivitas merupakan sebuah fenomena bahasa yang menjelaskan bahwa

(1) setiap klausa memiliki nilai ketransitivan yang menentukan jumlah argumen inti,

(2) terdapat beberapa kaidah untuk menandai argumen inti, (3) setiap verba dapat

dibagi menjadi beberapa jenis ketransitivan tergantung dari jenis klausa verba suatu

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

47

bahasa. Setiap klausa memiliki sebuah predikat dan sejumlah argumen inti (Dixon,

2010:115-116). Setiap bahasa di dunia memiliki dua struktur klausa utama, yakni

klausa intransitif dengan satu argumen inti dan klausa transitif dengan dua argumen

inti, seperti tampak berikut ini.

Tipe Klausa Predikat Argumen Inti

Intransitif intransitif S (subjek intransitif)

Transitif transitif A (subjek trans.) dan O (objek trans.)

Dalam klausa intransitif, argumen S merupakan satu-satunya argumen yang wajib

hadir, sementara dalam klausa transitif argumen A dan O merupakan dua argumen

inti yang wajib hadir. Argumen-argumen ini diperikan berdasarkan prinsp-prinsip

semantik. Argumen yang memiliki referensi berkaitan dengan aktivitas, diidentifikasi

sebagai argumern A. Argumen ini memiliki referensi sesuatu yang bernyawa dan

dapat memprakarsai atau mengontrol aktivitas, sementara argumen yang referensinya

dipengaruhi atau dikontrol oleh aktivitas diidentifikasi sebagai argumen O. Selain itu,

dikenal pula argumen noninti berupa argumen periferal yang kehadirannya bersifat

opsional. Argumen tersebut meliputi instrumen/alat, seperti dengan tongkat,

benefaktif/penerima, seperti untuk anak, temporal/waktu, seperti pada sore hari,

dan lokatif/tempat, seperti di bawah pohon.

Selain tipe transitivitas tersebut, dalam beberapa bahasa, dikenal pula dua tipe

transitivitas, yakni intransitif ekstended (yang meluas/berkembang) yaitu intransitif

yang melibatkan dua argumen S dan E (pengembangan dari inti), dan transitif

ekstended yaitu transitif dengan tiga argumen inti, yaitu A, O, dan E (Hal ini biasa

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

48

juga disebut ditransitif) (Dixon, 2010:117), seperti struktur kalimat yang dimiliki

bahasa Tongan berikut ini.

(1) Intransitif:

Na’e ‘alu [‘a e fefine’]S

PAST went [ABS ART woman]

the women (S) went

‘Wanita itu (S) pergi (lampau)’

(2) Intransitif Esktended

na’e sio [‘a e fefine’]S [ki he tangata]E

PAST saw [ABS ART woman] [DAT ART man]

The women (S) saw the man (E)

‘Wanita itu (S) melihat laki-laki itu’ (E)

(3) Transitif

na’e taa‘i [‘a e tangata]O [‘e he fefine]A

PAST hit [ABS ART man] [ERG ART woman]

The women (A) hit the man (O)

‘Wanita itu (A) memukul laki-laki itu (O)

(4) Transitif Esktended

na’e ‘oange [‘a e tohi’]O [‘e he fefine]A [ki he tangata]E

PAST memberi [ABS ART buku] [ERG ART wanita] [DAT ART laki-laki]

The women (A) gave the book (O) to the man (E)

‘Wanita itu (A) memberikan sebuah buku (O) kepada laki-laki itu (E)’

Konstruksi (1) s.d. (4) tersebut menunjukkan bahwa bahasa Tongan memiliki sistem

kasus ergatif-absolutif. Fungsi S dan O dimarkahi oleh kasus absolutif (partikel ‘a

berupa tanda ‘ bunyi stop glotal dan fungsi A dimarkahi oleh kasus ergatif (partikel

e’). Datif ditunjukkan dengan ki. Frasa nominal selalu terletak setelah predikat dan

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

49

fungsinya ditunjukkan oleh partikel. Transitif dan intransitf ekstended melibatkan dua

argumen inti berupa S dan E dalam kalimat (2) dan sebagai O dan A dalam kalimat

(3). Konstituen wanita dalam kalimat (2) menunjukkan bentuk gramatikal yang sama

dengan argumen S (wanita itu) dalam bentuk intransitif (kalimat 1) dan berbeda

dengan argumen A (wanita itu) dalam bentuk transitif (kalimat 3). Selain itu, wanita

itu dalam kalimat 2 dimarkahi dengan preposisi absolutif ‘a, sebagaimana argumen S

wanita itu dalam kalimat 1 (dan seperti argumen O dalam kalimat 3 dan 4). Argumen

E dalam kalimat 2 dan 4 dimarkahi dengan cara yang sama, yakni dengan preposisi

datif ki. Gambaran argumen untuk empat tipe klausa dengan studi kasus pada bahasa

Tongan tampak seperti berikut ini.

Tipe Klausa/Predikat Argumen Inti

Intransitif S (absolutif)

Intransitif ekstended S (absolutif) E (datif)

Transitif A (ergatif) O (absolutif)

Transitif ekstended A (ergatif) O (absolutif) E (datif).

Selanjutnya, Dixon (2010:124) menambahkan bahwa verba dapat diklasifikasi

berdasarkan tipe transitivitas, seperti tampak berikut ini.

(1) Verba intransitif (tetap/stabil), yakni verba yang terjadi pada klausa intransitif.

Misalnya go ‘pergi’ dan chat ‘berbicara’ dalam bahasa Inggris.

(2) Verba transitif (tetap/stabil), yakni verba yang terjadi pada klausa transitif.

Misalnya recognize ‘mengenal’ dan promote ‘mempromosikan’ dalam bahasa

Inggris.

(3) Ambitranstif dengan tipe S = A. Verba-verba ini dapat terjadi, baik pada klausa

transitif maupun intransitif dengan S yang intransitif berkorespondensi dengan A

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

50

yang transitif. Misalnya knit ‘merajut’ dalam bahasa Inggris, seseorang dapat

mengatakan sheS is knitting ‘dia sedang merajut’ atau sheA is knitting a scarfO

‘Dia sedang merajut selendang’.

(4) Ambitranstif dengan tipe S = O. Verba-verba ini dapat terjadi baik pada klausa

transitif maupun intransitif dengan S berkorespondensi dengan O. Misalnya

dalam bahasa Inggris seseorang dapat mengatakan HeS tripped ‘Dia tersandung’

atau SheA tripped himO ‘Dia menyandung dia’.

2.3.4 Peran-peran Semantik Argumen

Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam analisis klausa

digunakan dua parameter, yakni parameter sintaksis dan parameter semantik. Kedua

parameter tersebut dipakai untuk mengkaji peran-peran argumen yang terdapat dalam

sebuah klausa, baik klausa intransitif maupun intransitif. Van Valin dan Lapolla

(1997:139-141) menjelaskan bahwa peran semantis argumen dipandang sebagai

peran umum karena beberapa tipe argumen dimasukkan ke dalam satu

pengelompokan. Misalnya kelompok peran tipe agen berada dalam kelompok

ACTOR (ACT), sementara peran tipe pasien berada dalam kelompok

UNDERGOERI(UND). Istilah ACTOR dalam bahasa Inggris disebut SUBJ, di

dalamnya termasuk agen, pengalami atau yang lainnya, sedangkan istilah

UNDERGOR merupakan OL yang dalam bahasa Inggris berupa pasien, misalnya

dalam verba kill dalam verba putt, penerima dalam verba present, seperti dalam

konstruksi Mary with the aword. Selanjutnya, dalam teori RRG yang dikemukakan

oleh Van Valin dkk. (1980) dijelaskan bahwa peran argumen dipilah menjadi dua

tipe, yakni yaitu ACTOR dan UNDERGOER disertai perannya masing-masing. Peran

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

51

agen dan pengalami dikelompokkan ke dalam peran ACTOR, sementara pasien dan

penerima dikelompokkan ke dalam UNDERGOER. Peran khusus dan peran umum

ACTOR dan UNDERGOER secara rinci dapat dilihat pada bagian berikut ini.

1. Agen, yaitu pada umumnya berupa entitas yang bernyawa yang berperan sebagai

inisiator tindakan atau keadaan yang dilakukan dengan sengaja atau dengan

maksud tertentu, misalnya dalam konstruksi John membuka pintu.

2. Efektor, yaitu entitas yang malakukan tindakan, baik disengaja atau dengan

maksud tertentu ataupun melakukan tindakan yang tidak disengaja atau dengan

maksud tertentu dan tindakan yang dilakukannya tersebut menimbulkan pengaruh

atau efek, misalnya dalam konstruksi John menjatuhkan pot bunga itu (dengan

tidak sengaja).

3. Pengalami, yaitu entitas yang mengalami keadaan atau perasaan tertentu. misalnya

dalam konstruksi John menyukai buku itu.

4. Alat, yaitu berupa entitas yang tidak bernyawa yang digunakan oleh agen untuk

melakukan tindakan, misalnya dalam konstruksi John memukul binatang itu

dengan sepotong kayu.

5. Force, yaitu entitas termasuk alat tetapi tidak dapat digunakan, misalnya angin

ribut, badai, banjir dalam konstruksi Banjir melanda pemukiman warga.

6. Pasien, yaitu entitas, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa yang

berada dalam suatu keadaan atau mengalami perubahan keadaan, misalnya dalam

konstruksi John sakit.

7. Tema, yaitu entitas yang berada atau mengalami perubahan keadaan (mosi),

misalnya dalam konstruksi John meletakkan buku di atas meja.

8. Benefaktif, yaitu entitas yang menjadi acuan dari keuntungan sebuah tindakan,

misalnya dalam konstruksi John membeli buku untuk Marry.

9. Penerima, yaitu entitas yang memperoleh sesuatu. Penerima berupa entitas

bernyawa, misalnya dalam konstruksi John mengirim buku kepada Marry.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

52

10. Sasaran, yaitu tujuan yang hampir sama dengan penerima, namun sasaran

lebih sering berwujud entitas yang tidak bernyawa, misalnya dalam konstruksi

Marry mengirim sebuah paket kepada Baltimore.

11. Asal (source), yaitu titik awal dari state of affairs. Peran ini digunakan untuk

menjelaskan antara penerima dan sasaran.

Transfer penerima

x asal y z

motion sasaran

x= posisi awal, y= O, dan z = posisi akhir

Jika terjadi transfer untuk y, z adalah penerima. Jika y adalah motion (gerakan),

maka z adalah sasaran. Dalam kasus tersebut, x adalah asal dan y adalah tema.

Dalam konstruksi David memberi buku kepada Cristin, David adalah agen

sekaligus sebagai asal. Agen dan penerima dapat juga berupa partisipan yang

sama, seperti pada konstruksi Yolanda membeli anjing itu dari Bill.

12. Lokatif, yaitu lokasi dari state of affairs, misalnya Buku itu di atas meja.

13. Path, yaitu rute, misalnya dalam konstruksi John berlari menuju taman.

Sementara itu, Dixon (2010) mengemukakan bahwa peran-peran semantik

argumen dilihat berdasarkan tipe-tipe klausa. Berdasarkan tipenya, klausa dibedakan

atas klausa intransitif dengan predikat intransitif dan tipe klausa transitif dengan

predikat transitif. Klausa intransitive memiliki argumen inti berupa subjek intransitive

(S), sedangkan klausa transitif memiliki argumen inti berupa A (subjek transitif) dan

O (objek transitif). Fungsi argumen A dan O dalam klausa transitif diperikan

berdasarkan prinsp-prinsip dasar semantik. Argumen A memiliki referensi sebagai

sesuatu yang bernyawa dan menjadi argumen yang dapat memprakarsai atau

mengontrol aktivitas. Argumen yang referensinya lebih menonjol dipengaruhi oleh

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

53

aktivitas akan menduduki fungsi O. Selain argumen inti, dikenakl pula argumen

noninti berupa argumen periferal yang kehadirannya bersifat opsional. Argumen

tersebut meliputi instrumen/alat, seperti dengan tongkat, benefaktif/penerima, seperti

untuk anak, temporal/waktu, seperti pada sore hari, dan lokatif/tempat, seperti di

bawah pohon

2.3.5 Valensi

Secara umum dapat dikemukakan bahwa istilah valensi dalam linguistik

berhubungan dengan verba sebagai PRED. Valensi mengacu pada kemampuan atau

kebutuhan verba yang menempati unsur PRED kalimat dalam mengikat

argumen.Valensi verba dipandang sebagai jumlah maksimal elemen yang dibutuhkan

verba untuk melengkapi maknanya. Valensi verba dapat didefinisikan sebagai

kemampuan menghubungkan sejumlah variabel dengan verba yang saling terikat

dengan elemen gramatika lainnya (Budai, 1997).

Valensi mengacu pada jumlah tipe yang berbeda yang berkaitan dengan verba

(Shopen, 1985:96). Valensi mengacu pada jumlah argumen nominal klausa. Valensi

dibedakan atas valensi semantik dan valensi sintaktik. Valensi semantik mengacu

pada jumlah partisipan yang harus muncul yang diungkapkan oleh verba. Sementara

valensi sintaktik atau biasa disebut valensi gramatikal mengacu pada jumlah argumen

pada klausa (Payne, 1977:169-170. Valensi merupakan hubungan verba dengan unsur

di sekitarnya. Konsep valensi, terutama valensi sintaksis sangat erat hubungan dengan

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

54

ketransitifan. Valensi berhubungan pula dengan penguasaan verba terhadap argumen

di sekitarnya.

Sejalan dengan pandangan-pandangan tersebut, Van Valin Jr dan La Polla

(1997:147) juga membagi valesi atas (1) valensi sintaktik, yaitu jumlah argumen

sintaktis yang diikat oleh verba PRED (SUBJ dan OBJ); (2) valensi semantik, yaitu

jumlah argumen semantik yang diikat oleh verba PRED (AC dan UND). Dalam

proses gramatika, valensi berhubungan pula dengan penambahan dan penurunan

jumlah argumen. Penambahan jumlah argumen dapat terjadi melalui pengausatifan

dan pengaplikatifan, sementara penurunan jumlah argumen dapat terjadi melalui

pemasifan, persultatifan, dan pengintransitifan. Perubahan valensi verba dikaji dari

tipe-tipe konstruksi verba sebagai konstituen inti klausa yang menentukan jumlah

argumen yang hadir dalam sebuah klausa.

Dixon (2010:165-167) berpandangan bahwa derivasi dapat mengubah

konstruksi sebuah verba, dari konstruksi intransitif ke transitif atau sebaliknya, dari

konstruksi transitif ke intransitif. Klausa transitif memiliki dua argumen sehingga ada

dua cara yang digunakan untuk melihat perubahan valensi, yaitu melalui (1)

pendetransitivan, baik O => S (pasif) atau A => S (antipasif) dan (2) pentransitivan,

baik S => O (kausatif) atau S => A (aplikatif).

Melalui pedentransitivan, menurut Dixon (2010:166) terdapat empat

karakteristik dasar untuk derivasi pasif ke antipasif, seperti berikut ini.

a. Diaplikasikan pada klausa transitif dan membentuk klausa intransitif

b. O dasar menjadi S dari bentuk pasif

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

55

c. A dasar menuju ke fungsi periferal yang dimarkahi dengan sebuah kasus non-

inti, adposisi, dan lain-lain; argumen ini dapat dihilangkan walaupun selalu

ada pilihan untuk memasukannya.

d. Ada beberapa pemarkahan formal dari konstruksi pasif berupa proses

morfologi yang diaplikasikan pada verba, atau konstruksi verba perifrastik

(sebagamana dalam bahasa Inggris, di mana hal itu melibatkan kata kerja

bantu be, tambah sufiks –en atau –ed pada verba).

Sementara itu, derivasi antipasif juga memiliki empat karakteristik dasar, seperti

berikut ini.

a. Diaplikasikan pada klausa transitif dan membentuk klausa intransitif

b. A dasar menjadi S dari bentuk pasif

c. O dasar menuju ke fungsi periferal yang dimarkahi dengan sebuah kasus non-

inti, adposisi, dan lain-lain; argumen ini dapat dihilangkan walaupun selalu

ada pilihan untuk memasukannya.

d. Ada beberapa pemarkahan formal eksplisit dari konstruksi antipasif

(penjelasannya kemungkinan sama dengan bentuk pasif di atas).

Pada dasarnya, bentuk pasif dan antipasif memiliki perbedaan makna dan fungsi.

Bentuk antipasif berlawanan dengan bentuk pasif. Dalam konstruksi pasif, argumen

A konstruksi dasar diturunkan fungsinya dan argumen O dibawa ke dalam titik yang

lebih besar. Bentuk pasif sering digunakan ketika argumen O adalah orang pertama

atau kedua menduduki fungsi subjek. Kalimat pasif I was arrested by a policeman

‘Saya ditahan oleh seorang polisi’ beroposisi dengan bentuk aktif a policeman

arrested me ‘Seorang polisi menahan saya’.

Melalui pentransitivan, Dixon (2010:169-170) berpandangan bahwa

perubahan valensi dapat dengan cara pengausatifan dan pengaplikatifan. Derivasi

kausatif memiliki karakteristik:

a. Diaplikasikan pada klausa intransitif dan membentuk klausa transitif

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

56

b. Argumen dalam fungsi S dasar menjadi fungsi O dalam kausatif.

c. Sebuah argumen baru (penyebab) diperkenalkan dalam fungsi A.

d. Ada beberapa pemarkahan formal eksplisit dari konstruksi kausatif; hal ini

dapat berupa proses morfologis yang diaplikasikan kepada verba yang

merupakan kepala predikat, atau bahasa itu mungkin menyatakan makna

perifrastik (sebagamana dalam bahasa Inggris, konstruksi make ‘membuat’

seperti dalam kalimat she made him run ‘Dia (perempuan) membuat dia (laki-

laki) berlari’.

Sementara melalui pengaplikatifan yang diaplikasikan pada klausa intransitif,

juga memiliki karakter seperti berikut ini.

a. Diaplikasikan pada klausa intransitif dan membentuk klausa transitif

b. Argumen dalam fungsi S menjadi fungsi O dalam aplikatif.

c. Sebuah argumen periferal (yang dapat dinyatakan secara eksplisit dalam

intransitif dasar) diperkenalkan/diambil dalam inti, yakni dalam fungsi O.

d. Ada beberapa pemarkahan formal eksplisit dari konstruksi aplikatif; hal ini

dapat berupa proses morfologi yang diaplikasikan ke verba yang merupakan

kepala predikat.

Ketika sebuah derivasi aplikatif diaplikasikan ke klausa intransitf, S dasar menjadi A

dan beberapa argumen periferal dipromosikan untuk memiliki status inti sebagaimana

O. Ada sejumlah tipe derivasi aplikatif berhubungan dengan jenis-jenis yang berbeda

dari argumen periferal yang dipromosikan ke dalam inti.

INTRANSITIF APLIKATIF

Lokatif diaS duduk (di sebuah kursi) diaA duduk di [sebuah kursi]O

Komunikatif diaS berbicara (kepada anak itu) diaA berbicara kepada [anak itu] O

Aversif diaS takut (karena ular itu) diaA takut karena [ular itu] O

Derivasi aplikatif dapat juga diaplikasikan kepada klausa-klausa transitif. Sebuah

aplikatif khusus yang diaplikasikan ke sebuah klausa transitif adalah aplikatif berjenis

instrumental, seperti contoh berikut:

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

57

TRANSITIF APLIKATIF

Instrumtal DiaA menutup [tas itu]O (dengan kertas). DiaA menutup dengan kertasO

(pada tas itu)

2.3.6 Konstruksi Kausatif, Aplikatif, dan Resultatif

Goddard (1988) menyatakan kausatif merupakan sebuah peristiwa dalam satu

ungkapan yang dapat terjadi disebabkan oleh seseorang melakukan sesuatu atau

karena sesuatu hal tersebut terjadi. Setiap konstruksi kausatif selalu melibatkan dua

komponen yang saling berkaitan, yaitu komponen situasi, yaitu sebab (course) dan

akibat (effect/result). Situasi sebab dan akibat ini disebut situasi mikro (mikro

situation). Kedua situasi mikro ini sama-sama membentuk situasi makro (makro

situation), yakni sutuasi kausatif (Comrie, 1981, Artawa, 2004). Comrie

mengemukakan dua kriteria dalam pengausatifan, yaitu kriteria formal dan kriteria

semantis. Kriteria formal dibedakan atas tiga tipe, yaitu: (1) kausatif analitik, yaitu

kausatif yang dibentuk dengan menggunakan verba kausatif, (2) kausatif morfologis,

yaitu kausatif yang dibentuk melalui afikasasi dan (3) kausatif leksikal, yaitu kausatif

yang dinyatakan oleh leksikon tanpa afiksasi. Contoh Kausatif analitik dalam bahasa

Bali

Ia tusing teka ibi sawireh ia gelem

3T Neg. Intr. datang kemarin karena 3T sakit

‘Dia tidak datang kemarin karena ia sakit’

(Indrawati, 2012:108)

Data tersebut terbentuk dengan dua verba yang berbeda, yakni teka ‘datang’ dan

gelem ‘sakit’dalam klausa kompleks yang dihubungkan dengan kata penghubung

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

58

sawireh ‘karena’. Klausa sawireh ia gelem ‘karena dia sakit’ menggungkapkan sebab,

sementara klausa ia tusing teka ‘ia tidak datang’ menggungkapkan akibat. Contoh

Kausatif leksikal dalam Bahasa Bali

I Bapa n-tanpah siap

ART ayah trans.sembelih ayam

‘Ayah menyembelih ayam’

(Indrawati, 2012:108)

Verba {N-}tanpah ‘sembelih/nyembelih’ secara leksikal bermakna menyebabkan

sesuatu mati. Verba ini secara semnatik menutnt kehadiran peenyebab berupa

nomina Subj. I bapa ‘ayah’. Sementara tersebab dalam klausa tersebut berupa

nomina berupa OBJ. yakni siap ‘ayam’. Contoh Kausatif morfologis dalam Bahasa

Bali.

I Karta n-tegak-ang pianak-ne di korsi-ne

ART Karta duduk-Kaus anak-3T POS Prep. Kursi-Def

‘Si Karta mendudukan anaknya di kursi itu’

(Indrawati, 2012:108)

Konstruksi tersebut tergolong kausatif morfologis dengan pembubuhan afiks {-ang}

pada verba intransitif tegak ‘duduk’ yang menuntut kehadiran satu argumen SUBJ

menjadi negakang ‘mendudukan’ dan satu argumen berupa OBJ pianak-ne

‘anaknya’. Secara semantik, penambahan sufiks {-ang} menuntut dua partisipan yang

berperan, yakni penyebab berupa I Karta ‘Si Karta” dan tersebab berupa pianakne

‘anaknya’

Shibatani (1976:171) memperkenalkan konstruksi resultatif dalam kausatif

dengan menyatakan bahwa resultatif dapat memberikan hasil atau akibat dari

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

59

kausatif. Aplikatif erat kaitannya dengan kausatif dan resultatif. Perbedaan ketiganya

adalah dari kehadiran argumen dalam sebuah klausa. Argumen selalu muncul

eksplisit dalam kausatif dan aplikatif, sementara dalam resultatif, argumen muncul

secara implisit. Matthews (1997:320) menambahkan bahwa resultatif adalah elemen-

elemen di dalam klausa yang mengacu pada hasil dari tindakan atau proses. Istilah

resultatif dipakai untuk mengacu pada bentuk-bentuk verba yang mengungkapkan

suatu keadaan atau situasi yang tersirat pada kejadian atau persitiwa yang terjadi

sebelumnya (Artawa, 1998:55; Jufrizal, 2004:248). Matthews (1997:320)

mengenmukakan bahwa resultatif (resutative) adalah elemen-elemen dalam klausa

yang mengacu pada hasil dari suatu tindakan atau suatu proses.

Artawa (1998:56; 2004:84) mengidentikan resultatif dengan istilah

antikausatif. Konstruksi resultatif dan antikausatif mirip dengan konstruksi pasif.

Perbedaannya (i) agen pada konstruksi pasif kehadirannya bersifat manasuka,

sementara agen pada konstruksi antikausatif agen tidak pernah muncul secara

eksplisit, (ii) konstruksi pasif bisa dimodifikasi dengan adverbial yang berorientasi ke

agen, sementara resultatif tidak bisa. Contoh Konstruksi resultatif dalam Bahasa Bali

a. Punyan poh-e ebah-a [teken i bapa]

Pohon mangga-Def Pas.tebang-3T [prep. ART ayah]

‘Pohon mangga itu ditebang oleh ayah’

b. Punyan poh-e m-ebah

Pohin mangga-Def Res-tebang

‘Pohon mangga itu ditebang’

(Indrawati, 2012:122)

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

60

Konstruksi tersebut tergolong konstruksi pasif dengan verba transitif ebah ‘tebang’

yang menuntut kehadiran dua argumen inti yang berperan sebagi pasien berupa

punyan poh-e dan agen berupa klitika {a}(ketiga tunggal) yang melekat pada verba

ebah ‘tebang’. Kehadiran teken i bapa ‘oleh ayah’ (sebagai agen yang eksplisit)

bersifat manasuka dan berterima. Sementara itu konstruksi (b) adalah konstruksi

resultatif dengan pemarkah {ma-} pada bentuk dasar ebah yang menunjukkan

keadaan yang menyiratkan ada proses sebelum kondisi ebah itu terjadi

Konstruksi aplikatif lebih menekankan pada penambahaan jumlah argumen

(Shibatani, 1996:159). Pembicaraan mengenai aplikatif berkaitan dengan ketransitifan

verba. Sementara itu, Haspelmath (2002) mengemukakan bahwa aplikatif adalah

suatu proses penciptaan objek. Ada pemajuan suatu argumen ke posisi objek. Objek

langsung adalah argumen yang menempati fungsi objek pada konstruksi sebelumnya.

(1) Saya duduk di kursi

(2) Saya menduduki kursi

Verba duduk merupakan verba yang bervalensi satu yang hanya membutuhkan satu

argumen inti yang secara semantis berperan sebagai agen, yakni saya yang berfungsi

sebagai SUBJ. Sementara kursi bukan argumen inti, tetapi berupa OBLIK atau

Adjung. Hal ini berbeda dengan konstruksi saya menduduki kursi. Penanmbahan

sufiks APL {-i} pada verba duduk menjadi duduki menyebabkan perubahan valensi

menjadi dua argumen inti, yaitu agen berupa saya dan pasien berupa kursi

2.3.7 Struktur Argumen

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

61

Struktur argumen mengandung informasi semantik tentang item-item leksikan

yang relevan dengan sintaksis. Struktur semantik dengan struktur argumen

berkorepondensi dengan struktur sintaksis (Alsina, 1992:520). Hasil penggabungan

keduanya akan memiliki pengaruh pada ekspresi sintaksis mengenai argumen.

Peristiwa-peristiwa yang disebabkan oleh sesuatu mengandung struktur argumen dari

predikat pada kalimat kausatif. Perubahan sintaksis dalam kalimat kausatif dikaitkan

dengan perbedaan semantik karena perbedaan semantik/struktur argumen

berkorepondensi dengan struktur sintaksis yang berbeda (Alsina, 1992:524). Contoh

dalam kasus ini seperti berikut ini.

a. Penghapusan objek tak khusus

Beberapa verba mengizinkan objeknya untuk dihilangkan. Dalam kasus ini,

verba diinterprestasikan memiliki objek tak khusus atau objek umum, seperti

verba makan.

b. Verba-Corak khas objek

Struktur argumen verba-corak khas objek seperti kalimat Kelinci mati. Kalimat

tersebut dapat dimaknai sebagai subjek pasif. Kalimat tersebut pada dasarnya

dapat dibuat seperti seseorang membunuh kelinci.

Menurut Bresnan dan Kanerva (dalam Alsina (1992:524), kasus kausatif

membutuhkan penggabungan struktur argumen. Pengausatifan sangat membutuhkan

struktur argumen yang kompleks bukan hanya faktor-faktor sintaksis sehingga fakta-

fakta kekausatifan tersebut dapat diketahui. Aspek yang sangat penting bagi

pengorganisasian/ penyusunan struktur argumen adalah urutan dari argumen-

argumen tersebut yang ditentukan oleh peran-peran semantik. Setiap struktur

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

62

argumen, sebuah agen ditempatkan sebelum tujuan dan tujuan ditempatkan sebelum

pasien/penderita. Hal ini mereflesikan skala utama dari hierarki tematik. Fungsi

umum dari hierarki tersebut untuk mengidentifikasi argumen yang paling utama dari

sebuah predikat atau disebut subjek logika. Karena itu, subjek dari verba memasak

adalah agen dan subjek dari verba jatuh adalah pasien/penderita.

Wongt dan Peter (1998:335) mengemukakan bahwa struktur argumen

menggambarkan informasi semantik pada kalimat. Informasi semantik yang

digambarkan dapat disatukan dalam struktur fungsional tradisional menurut teori

pemetaan leksikal. Partisipan dalam sebuah peristiwa membentuk struktur dari

peristiwa tersebut. Bagian tersebut diambil oleh setiap partisipan dalam sebuah

peristiwa yang digambarkan sebagai peran semantik. Struktur argumen menunjukkan

peran semantik yang dimainkan oleh setiap partisipan dari persitiwa itu dalam setiap

struktur peristiwa.

Misalnya, John menceritakan sebuah cerita

Konstruksi tersebut dibentuk dari struktur argumen berikut:

menceritakan (tema-agen). Tema agen ini merupakan peran semantik yang

dimainkan oleh NP John dan sebuah cerita secara berturut-turut. Peran tematik agen

dan tema minimal dibutuhkan partisipan untuk mengarekterisasikan peristiwa itu.

Jika NP dalam sebuah kalimat tidak dapat dipetakan peran semantiknya, hal tersebut

menggambarkan sebuah struktur peristiwa yang berbeda atau kalimatnya kurang

tepat. Urutan peran semantik dispesifikasikan dalam sebuah struktur argumen yang

berkorespondeni dengan hierarki tematik:

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

63

Agen < benefaktif < penerima/pengalam < instrumen < pasien/tema < lokatif

dengan mereflesikan keutamaan relatif dari peran semantik yang dikarakterisasikan

oleh sebuah verba. Walaupun urutan dari peran semantik dalam sebuah struktur

argumen tidak selamanya mereflesikan urutan korespondensi NP dalam sebuah

kalimat, urutan-urutan tersebut bersesuaian satu sama lain. Oleh karena itu, dalam

beberapa kasus, hierarki semantik membantu pemetaan peran semantik dalam sebuah

struktur argumen terhadap korespondensi NP dalam sebuah kalimat.

Lebih lanjut, Wongt dan Peter (1998:336) menjelaskan bahwa pemahaman

struktur argumen sangat membantu untuk membedakan makna-makna verba. Struktur

argumen dapat menjelaskan partisipan dari setiap peristiwa. Struktur argumen dapat

pula menjelaskan atau menggambarkan verba yang sama tetapi peristiwanya berbeda.

Struktur argumen menggambarkan informasi semantik dalam kalimat-kalimat yang

dapat digunakan untuk membentuk sebuah penghubung/hubungan antara semantik

leksikal dan struktur sintaksis. Teori pemetaan leksikal mendefinisikan bagaimana

hubungan ini dapat digunakan oleh pemetaan setiap peran semantik dalam sebuah

struktur argumen terhadap yang lainnya, fungsi sintaksis dalam sebuah kalimat. Tiap-

tiap peran semantik dalam sebuah struktur argumen dapat dihubungkan dengan

korespondensi fungsi sintaksis dalam sebuah kalimat dengan memasangkan fitur-fitur

peran semantik dengan fungsi sintaksisnya yang paling sesuai.

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

64

2.4 Model Penelitian

Model penelitian ini berupa bagan abstraksi antara teori, masalah penelitian,

prosedur penelitian, dan temuan penelitian. Secara rinci, model penelitian dalam

penelitian digambarkan seperti berikut ini.

MODEL PENELITIAN

Valensi

Aliansi

Gramatikal

Transitivitas

Teori

Tipologi Prosedur

Penelitian

Masalah

Konstruksi Klausa Verbal Bahasa Ciacia:

Kajian Tipologi Sintaksis

Data (Lisan dan Tulis)

Klausa/Kalimat

Hasil dan Temuan

Penelitian

Pengumpulan Data

(Meotde: Simak,

Catat; Teknik:

Sadap, Rekam,

Catat)

Analisis Data

(Distribusional

dan Padan

Penyajian Data

(Formal dan

Informal)

Bagaimanakah konstruksi dasar klausa

verbal BC?

Bagaimanakah konstruksi predikasi dan

struktur argumen BC?

Bagaimanakah konstruksi predikat

sederhana dan predikat kompleks BC?

Bagaimanakah valensi dan mekanisme

perubahan valensi BC?

Bagaimanakah konstruksi kalimat kompleks

dan sistem alinsi gramatikal BCBC?

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......pi-a, pi-e, pi-ci, nopi-e, ci-ci, no-aso, no-pali, serta reduplikasi, dan pemajemukan. Sementara pada aspek klausa dikemukakan struktur

65

Penjelasan Model penelitian:

: menunjuk arah kerja penelitian

Model atau kerangka kerja dalam penelitian ini diawali dari sebuah topik

atau judul disertasi Konstruksi klausa verbal BC sebuah kajian tipologi

sintaksis. Dari topik atau judul disertasi tersebut, peneliti

mempertimbangkan data bahasa sebagai bahan penelitian, baik berupa data

lisan maupun maupun tulis. Setelah itu dipertimbangkan seperti apa rumusan

masalah penelitian dan sejumah teori yang dibutuhkan untuk mengkaji data

dan menjawab masalah penelitian. Lalu dipertimbangkan bagaimana

prosedur penelitian (pengumpulan, analisis, dan penyajian data). Setelah data

tersedia, dilakukanlah analisis data dengan menggunakan teori tipologis dan

metode kajian distribusional dan teknik ganti atau lesap. Lalu disajikanlah

data dengan metode formal hingga menemukan jawaban dari masalah

penelitian yang tergambar melalui hasil penelitian.