Bab II Pembahasan

Post on 21-Dec-2015

27 views 0 download

description

pleno

Transcript of Bab II Pembahasan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tetanus, dikenal juga dengan lockjaw, adalah penyakit akut, spastik paralitik

yang disebabkan oleh toksin tetanus, neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium

tetani, bakteri motil, Gram positif, berspora, anaerob obligat yang mempunyai habitat

alami di mana-mana yaitu tanah dan dapat diisolasi dari kotoran binatang dan

manusia. Bakteri memproduksi spora, yang terlihat sebagai stik drum atau raket tenis

pada mikroskop. Spora tetanus dapat bertahan pada perebusan namun mati pada

autoklaf, sedangkan bentuk vegetatif mati dengan antibiotik, panas, dan disinfektan

standar. Toksin tetanus (tetanospasmin) adalah substansi paling beracun kedua yang

diketahui, hanya dikalahkan potensinya oleh toksin botulinum, dosis letal tetanus

toxin diperkirakan 10-6 mg/kg.4

B. Tujuan

1. Agar mahasiswa mampu memahami klafisikasi dari kejang.

2. Agar mahasiswa mampu mengetahui etiologi dari tetanus.

3. Agar mahasiswa mampu memahami patofisologi dari tetanus.

4. Agar mahasiswa mampu mengetahui manifestasi kliniks tetanus

5. Agar mahasiswa mampu memahami diagnosis banding untuk tetanus.

6. agar mahasiswa mampu memahami prodiagnosis untuk tetanus.

7. Agar mahasiswa mampu memahami dari komplikasi tetanus

8. Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan dari dari tetanus.

9. Agar mahasiswa mampu mengetahui farmakologi obat-obatan yang bisa dipakai

pada tetanus.

1

C. Terminologi

Kejang

D. Rumusan masalah

1. klafisikasi dari kejang !

2. Etiologi dari tetanus ?

3. Bagaiman Patofisiologi dari tetanus ?

4. Bagaiman manifestasi klinis dari tetanus ?

5. Bagaimana Diagnosis banding dari tetanus ?

6. Bagaiman prognosis dari tetanus ?

7. Bagaiman komplikasi tetanus ?

8. Bagaimana Penatalaksanaan dari tetanus ?

9. Farmakologi Obat-Obatan yang Biasa Dipakai pada Tetanus ?

2

BAB II

PEMBAHASAN

1. Skenario

Mulutku Sulit Dibuka

Seoranglaki-lakiberusia18tahundibawa keluarganyake UGD RS dengan keluhan

mulutsulit dibuka sejak 2 hari yang lalu. Awalnya mulut masih bisa dibuka walaupun

terasa kaku kemudian 1 hari yang lalu mulut semakin susah untuk dibuka yang membuat

pasien sulit untuk makan dan minum. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada tungkai bawah

sebelah kanan dan pasien mengeluhkan demam. Menurut keterangan keluarga pasien, 2

minggu yang lalu mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengalami luka robek pada

tungkai bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh seorang petugas kesehatan di

puskesmas pembantu didesanya. Pada inspeksi dan palpasi kulit tungkai bawah kanan

tampak kemerahan, teraba panas dan bengkak, dari sela-sela luka yang dijahit keluar

nanah dan darah. Pada perut dirasakan mengeras seperti papan. Tubuh terlihat melenting

sesekali terlihat kejang otot seluruh tubuh dan keempt anggota gerak terutama apabila

pasien disentuh. Pasien juga tidak diberikan antibiotik dan anti tetanus oleh petugas

kesehatan setelah menjahit lukanya. Tekanan darah110/80 mmHg, suhu tubuh 39,5 ˚C,

RR 26 x/mnt, denyut nadi 125 x/mnt.

2. Terminologi

Kejang

Merupakan manifestasi kliniks terlepasnya muatan listrik yang berlebihan dari

neuron – neuron di korteks serebri yang terganggu fungsinya.

Eksitatori yang tidak seimbang.

3

3. Rumusan masalah

3.1 KLAFISIKASI DARI KEJANG

Kejang parsial

Karakteristik : kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; focus di satu bagan tetapi

dapat menyebar ke bagian lain.3

Parsial sederhana

Karakteristik : Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik

(merasakan, mencium, mendengar sesuatu yang abnormal), automik (takikardia,

bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak diepigastrium), psikik (disfagia,

gangguan daya ingat). Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.3

Parsial kompleks

Karakteristik : Dimulai sebagai kejang parsial sederhana; berkembang menjadi

perubahan kesadaran yang diserati oleh :

a. Gejala motorik, gejala sensorik otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir,

mengunyah dan menarik-narik baju)3

b. Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang

generalisata.3

c. Biasanya berlangsung 1-3 menit.

Kejang generalisata

Hilangnya kesadaran, yang melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensphalon

serta ditandai tidak ada awian fokal; bilateral dan sistemik; tidak ada aura yang terjadi

dikedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. 3

Tonik-klonik

Karakteristik: Spasme tonik-klonik otot; inkontinensia urin dan alvi;

menggit lidah; fase pascaiktus.3

Kejang ini biasa disebut dengan kejang grand mal dan merupakan

epilepsin yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali hilangnya kesadaran denagn

cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang

disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi

berdirinya, mengalami gerak tonik kemudian klonik, dan inkon tinensia urin atau

alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot

berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah, dengan fase yang berlangsung

4

beberapa detik. Fase klonik memperkihatkan kelompok-kelompok otot yang

berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-

gerakan menyentak.3

Absence

Karakteristik : sering salah diagnosis sebagai melamun. Menatap kosong,

kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secra cepat; tonus

postural tidak hilang. Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran secara

singkat, dan berlangsung beberapa detik.3

Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak ; awitan jarang dijumpai

setelah usia 20 tahun. Serangan ini mungkin menghilang setelah usia pubertas

atau diganti oleh kejang tonik-konik.3

Mioklonik

Karakteristik : kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot dan

tungkai; cenderung singkat.3

Atonik

Karakteristik : hilangnya secara mendadak tonus otot diserta lenyapnya postur

tubuh (drop attacks).3

Klonik

Gerakan menyentak, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan tungkai atau

torso.3

Tonik

Karakteristik : peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kau, kontraksi) wajah

dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai.3

a. Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi.3

b. Dapat menyebabkan henti napas.3

3.2 BAGAIMANA ETIOLOGI TETANUS ?

Tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang merupakan bakteri

batang gram positif berukuran 0,5µm – 1,7µm x 2,1µm – 18,1µm dan bersifat obligat

anaerob. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya, spora

tidak berwarna dan berbentuk oval sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh

drum (drum stick) atau raket tenis (squash racket). Mikroorganisme ini dapat

ditemukan dalam dua bentuk yaitu dalam bentuk spora (dormani) dan dalam bentuk

vegetatif (aktif) yang dapat memperbanyak diri. Spora Clostridium tetani sangan

5

tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan.2

Spora hanya dapat mati dengan proses autoclave pada tekanan 1 atm dan 1200C

selama 15 menit Clostridium tetani banyak ditemukan di dalam tanah dan 10% - 40%

kotoran binatang serta sangat menyukai lingkungan yang lembab. Kuman ini dapat

pula ditemukan pada tanah yang kering, debu, kotoran kuda, sapi, babi, domba,

kambing, anjing, tikus, ayam dan manusia. Kuman biasanya langsung masuk ke

jaringan host (manusia) melalui luka, trauma, jaringan nekrosis, dan jaringan yang

kurang vaskularisasi. Pada 15% - 25% kasus tetanus, tidak didapatkan riwayat adanya

luka.2

Gejala klinis yang terjadi pada tetanus berasal dari efek toksin yang dihasilkan

oleh kuman ini ketika berubah bentuk menjadi endospora. Bakteri yang aktif

menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin

mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber

infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.

Tetanospasmin adalah neurotoksin yang berperan terhadap timbulnya sindroma klinis

tetanus.2

Tetanospasmin dihasilkan dalam sel – sel yang berinfeksi dibawah kendali

spasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolysis,

toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang

terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatnya dengan reseptor sel

saraf dan masuknya ke dalam sel sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk

memblokade pelepasan neurotransmitter.2

6

3.3 BAGAIMAN PATOFISIOLOGI DARI TETANUS ?

Mekanisme masuknya kuman sehingga menimbulkan kekakuan otot

kuman tetanus seperti tetanospamin masuk melalui luka dengan lingkungan

yang anaerobic, lalu berkembangbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan

yang anaerobit, eksotosin inilah yang di hasilkan bakteri clostridium tetani berupa

tetanospamin yang nantinya akan menyebar lewat aliran darh sistemik, serabut saraf

perifer dan system limfe. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang

memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum

terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul

dalam sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower

motorneuron keluksinaps dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin

menimbulkan gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.1

7

Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan

berbagai cara, sebagai berikut :

a. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian

ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam

susunan saraf pusat.4

b. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus

limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah

sistemik.4

c. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,

namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui

pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan

beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam

pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan

dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara

intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran

darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat

penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain

melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan

transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.4

d. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf,

secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik

dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau

nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik

dan saraf inhibitor.4

8

3.4 MANIFESTASI KLINIS DARI TETANUS

Tetanus biasanya terjadi setelah seatu trauma.Kontaminasi luka dengan tanah,

kotoran binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus.Tetanus dapat

terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangrene, luka gigitan ular yang

mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi

intramuscular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan tetanus dapat hanyalah

trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di dalam gedung yang tidak

dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan medis.Pada 15-25% pasien,tidak

terdapat bukti adanya perlukaan baru.6

Tetanus Generalisata

Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus,

yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spesma generalisata. Masa

inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus

berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari, 15% kasus terjadi dalam 3 hari

dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari.6

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat

disfungsi otonomik.Kaku kuduk, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk

membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus.Spasme otot masseter

menyebabkan trismus atau ‘rahang terkunci’. Spasme secara progresif meluas ke

oto-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, ‘risus sardonicus’

dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini

dipacu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa

menit dan dirasakan nyeri rigiditas otot leher menyebabkan retraksi

kepala.Rigiditas tubuh menyebabakan opistotonus dan gangguan respirasi dengan

menurunnya kelenturan dinding dada.Refleks tendon dapat meningkat, pasien

dapat demam, walaupun bamyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak

terpengaruh.6

9

Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat

episodik.Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulasi yang terjadi pada kelompok

otot agonis dan antagonis secara bersamaan.Kontraksi ini dapat bersifat spontan

atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditoria tau

emosional.Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan

frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur

tendon.Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat

generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas.Spasme ini dapat

terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan.Spasme faringel

sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi

dan obstruksi jalan nafas yang akut mengancam nyawa.6

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata otot-

otot diseluruh tubuh terpengaruh.Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya

pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk

mempengaruhi seluruh tubuh.Diferensial diagnosisnya mencakup infeksi

orofaringeal, reaksi obat distonik hipokalsemia, keracunan striknin dan

histeria.Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus local

dijumpai.Spasme dan rigelitas terbatas pada area tubuh tertentu.Mortalitas

sangatlah berkurang.Pengecualian untuk ini adalah tetanus sefalik dimana tetanus

lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralis lebih

mendominasi gambaran klinisnya, dari pada spasme.Tetapi progresi ke tetanus

10

genelalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi.6

Tetanus neonatorum menyebabkan lebih dari 50% kematian akibat tetanus

di seluruh dunia, tetapi sangat jarang terjadi di Negara-negara maju. Neonates,

usia dibawah 1 minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan

tidak dapat menerima minuman. Kejang, meniptis dan sepsis merupakan

diagnosis diferensialnya.Spasme bersifat generalisata dan mortalitasnya

tinggi.Higiena umbilical yang buruk merupakan penyebabnya, namun

kesemuanya dapat dicegah dengan vaksinasi material, bahkan selama kehamilan.6

Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat yang

meninggal akibat gagal nafas akut.Dengan perkembangan perawatan intensif,

menjadi jelas bahwa tetanus berat yang berkaitan dengan instabilitas otonomik

yang nyata.System saraf yang simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi.Secara

klinis, peningkatan totus simatik menyebabkan tarkikardia persisten dan

hipertensi.Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat

berlebihan.6

Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskuler yang

tampak nyata.Hipertensi berat dan takikardia dapat tejadi bergantian dengan

hipotrnsi berat, bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini merupakan

akibat perubahan resistensi vaskular sistematik dari pada perubahan pengisian

jantung dan kekuatan jantung selama ‘badai’ ini, kadar katekolamin plasma

meningkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang dijumpai

pada feokromositoma. Norepinefrin lebih terpengaruh dari pada

epinefria.Hiperaktivitas neuronal lebih mendominasi dari pada hiperaktiivitas

nedula adrenal.Henti jantung mendadak kadang-kadang terjadi, tapi mekanisme

yang mendasarinya belumlah jelas.6

Disamping sistem kardiovaskuler, efek otonomik lain yang mencakup

salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial, statis gaster, ileus, diare dan

gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan

gangguan otonomik.6

Telah jelas adanya keterlibatan sistem saraf simpatis.Peranan sistem saraf

parasimpatis kurang jelas.Tetanus telah dilaporkan menginduksilesi pada nukleus

vagus, dimana pada saat yang bersamaan terpapar taksin sehingga menyebabkan

aktivitas vagal yang berlebihan.Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul

akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal.6

11

Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa prieunomi aspirasi, fraktur,

reptur otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan

rabdomiolisis.6

Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk genelarisata dan

biasanya fatal apabila tidak diterapi.Tetanus neonatorum terjadi pada anak-

anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama

setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril.Resiko infeksi

tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat

mengikat dan memotong umbilicus.Onsen biasanya dalam 2 minggu pertama

kehidupan, regiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan

gambaran khas tetanus neonatorum.Diantara neonatus yang terinfeksi, 90%

meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.6

(Bayi dari ibu non-diimunisasi)

12

(Infeksi sembuh puntung tali pusat)

Tetanus Lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi

klinisnya terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka.Kelemahan otot dapat

terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler.Gejala-

gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan.Progresi

ke tetanus generalisata dapat terjadi, namun demikian secara umum

prognosisnya baik.6

Tetanus Sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local, yang

terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga.Masa inkubasinya 1-2 hari,

dijumpai trismus dan disfungsi 1 atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah

saraf ke-7.Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi.Mortalitasnya

tinggi.6

Perjalanan Klinis

Periode inkubasi (rentan waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-

rata antara 7-10 hari dengan rentan 1-60 hari.Onset (rentan waktu antara gejala

pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari.Inkubasi dan onset

yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih

13

berat.Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin

parah.Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan

bertahan sampai 1-2 minggu.Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi

kekakuan tetap bertahan lebih lama.Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi

akson terminal dan karena penghancuran teksin.Pemulihan bisa memerlukan

waktu sampai 4 minggu.6

Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar,

Udwadia) yang dilaporkan.Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem

yang paling sering dipakai.6

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett :

Derajat I (ringan):Trismus ringan sampai sedang, spastisitas, generalisata,

tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme

singkat sedang sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan

frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.6

Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex

berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea,

disfagia berat dan takikardia lebih dari 120. 6

Derajat IV (sangat berat):Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat

melibatkan sistem kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardia terjadi

berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat

menetap.6

Perubahan Fisiologi Kardiovaskular

Terdapat relatif sedikit penelitian tentang efek tetanus pada system

kardiovaskular.Suatu problem adalah bahwa efek hemodinamik dari komplikasi

dan terapi dapat menutup efek sesungguhnya dari tetanus itu sendiri.Udwadia

meneliti 27 pasien dengan Ablett derajat III/IV yaitu stabil dan tanpa terapi yang

mempengaruhi hemodinamik. 19 pasien diantanya dengan tetanus tanpa

komplikasi, sedangkat 8 pasien yang lain dengan komplikasi (dengan pneumonia,

sepsis).6

14

Gejala kliniks tetanus,dimana masa tunas biasanya 5 – 14 hari , tetapi

kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi

modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak

dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.

Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :

1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.6

2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot – otot erector

trunki).6

3. Ketegangan otot dinding perut.6

4. Kejang tonik terutama bila dirangsang ( karena toksin yang terdapat di kornu

anterior).6

5. Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut

tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada bibir.6

6. Kesukaran menalan, gelisah , mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota

badan.6

7. Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior

dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tanga mengepal kuat. Anak tetap

sadar, spasme mula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak

jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi

perdarahan intramuskulus karena kontraksi yang kuat.6

8. Aspiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring.

Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna

vertebrali dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.6

9. Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.6

3.5 DIAGNOSIS BANDING DARI TETANUS

Bilagambaranklinis tetanus sudahjelas, biasanya diagnosis pastimudah

ditegakkan. Pada fase awal kadang keraguan dapat timbul. Infeksi local daerah mulut

juga sering disertai dengan trismus. Kemungkinan lainnya adalah meningitis atau

ensefalitis.1

Spasme yang disebabkan oleh striknin jarang menyebabkan spasmeotot

rahang. Tetani didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan fosfat). Kejang

pada meningitis dapat dibedakan dengan kelainan cairan serebro spinalis. Pada

rabies terdapat anamnesis gigitan anjing atau kucing disertai gejala spasme laring dan

15

faring yang terus – menerus dengan pleiositosiste tapi tanpa trismus.Trismus dapat

pula terjadi pada angina yang berat, absesretro faringeal, abses gigi yang hebat,

pembesaran kelenjar getah bening leher. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada

meningitis (pada tetanus kesadaran tidak menurun), mastoiditis pneumonia

lobarisatas, miositisleher, spondilitisleher.1

3.6 PROGNOSIS DARI TETANUS

Dipengaruhiolehbeberapafaktordanakanburukpadamasa tunas yang pendek

(kurangdari 7 hari), usia yang sangatmuda (neonatus) danusialanjut,

biladisertaifrekuensikejang yang tinggi, kenaikansuhutubuh yang tinggi, pengobatan

yang terlambat, period of onset yang pendek (jarakantaratrismusdantimbulnyakejang)

danadanyakomplikasiterutamaspasmeototpernafasandanobstruksisaluranpernafasan.1

Faktor yang mempengaruhimortalitaspasien tetanus adalahmasainkubasi,

periodeawalpengobatab, imunisasi, lokasifokusinfeksi, penyakit lain yang menyertai,

beratnyapenyakit, danpenyulit yang timbul.1

Masa inkubasi dan periode onset* merupakan factor yang menentukan

prognosis dalam klasifikasi coledanspooner (lihatbagan 2-11).1

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka

kematian lebih tinggi dari pada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan

angika kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu,

pemberian nutrisi yang cuku ternyata juga menurunkan angka kematian.1

Klasifikasiprognostikmenurut Cole – Spooner

Kelompokprognosti

k

Periodeawal Masainkubasi

I

II

III

< 36 jam?

>36 jam?

tidakdiketahui??

±6 hari

>6 hari

Tidakdiketahui

* onset, I : periodeawal,

masadaritimbulnyagejalaklinispertamasampaitimbulkejang

16

3.7 BAGAIMANA KOMPLIKASI TETANUS ?

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyaakitnya, seperti laringospasme

atau sebagai konsekuensi dari terapisederhana seperti sedasi yang mengarah pada

koma, aspirasi atau apneu atau konsekuensi dari perawatan intensif seperti

pneumonia berkaitan dengan ventilator.1

Tabel 1. Komplikasi-komplikasi tetanus

Sistem Komplikasi

Jalan nafas Aspirasi

Laringospasme

Obstruksi berkaitan dengan

sedative

Respirasi Apneu

Hipoksia

Gagal nafas tipe 1

Gagal nafas tipe 2

Komplikasi bantuan ventilasi

berkepanjangan (seperti

pneumonia)

Komplikasi trakeostomi

(seperti stenosis trakea)

Kardiovaskuler Takikardia, hipertensi, iskemia,

hipotensi, bradikardi,

takiaritmia, bradiaritmia,

asistol

Gagal jantung

Ginjal Gagal ginjal curah tinggi

Gagal ginjal origuria

Stasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Stasis gaster

Ileus

Diare

Perdarahan

Lain-lain Penurunan berat badan

17

Tromboembolus

Sepsis dengan gagal organ

multipel

Fraktur vertebra selama

spasme

Ruptur tendon akibat spasme

3.8 BAGAIMAN PENATALAKSANAAN TETANUS ?

a. Penataksanaan Umum

Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana

observasi dan pemantauan kardiopulmoner bisa dilakukan secara terus-menerus,

sedangkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat

vital. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati idan dilakukan

debridemen secara menyeluruh.6

Netralisasi dari Toksin yang Bebas

Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetraalisasi toksin yang

beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin

yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpangaruh. Immunoglobulin

tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan

segera dengan dosis 3000-6000 unit intramuskular, biasanya dengan dosis

terbagi karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun

demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit

sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Immunoglobulin intravena

merupakan alternatif lain daripada TIG Tpi konsentrasi antitoksin spesifik

dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik memberikan anti toksin

sebelum memanipulasi luka. Manfaat memberikan antitoksin pada sisi

proksimal luka atau dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. Dosis

tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang panjang.

Antibodi tidak dapat menembus sawar darah otak. Pemberian antibodi

intratekal masih merupakan aksperimen. 6

18

Menyingkirkan Sumber Infeksi

Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didbridemen secara bedah.

Antibiotik diperikan pda tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai

sumber toksin. Penggunaan penisilin telah direkomendasikan dan secara luas

dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan

berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol digunakan oleh beberapa ahli

brdasarkan aktivitas antimikrobial metronidazol yang bagus. Metronidazol

aman dan pada penelitian yang membandingkan dengan penicilin

menunjukkan angka antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh

penisilin. Eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin dapat

diterima sebagai alternatif jikan pasien alergi terhadap penisilin. 6

Pengendalian Rigiditas dan Spasme

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun

kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat

mengancam respirasi karena menyebabkkan laringospasme atau kontraksi

secara terus menerus otot-otot pernapasan. Regimen yang ideal adalah regimen

yang dapat menekan aktifitas spasmodik tanpa menybebkan sedasi berlebihan

dan hipoventilasi. Haris dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi

utamanya adalah sedasi dengan menggunkan benzidiapezin. Benzodiapezin

memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada

reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi,

murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya dap[at

terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan. Pilihan yang lain adalah

lorazepam dengan durasi aksi yang lebih lama dan midazoloam dengan waktu

paruh yang lebih singkat. Midazolam telah dipakai dengan akumulasi yang

lebih ringan. Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama

fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas GABA Aergik dan

fenothiazin, biasanya klopromazin. Barbiturat dan klopromazin ini merupakan

obat lini kedua. Propozol telah dipergunakan sebagai sedasi dengan pemulihan

yang cepat setelah infus distop. 6

Apabila sedasi saja tidak adekuat, para;isis terapeutik dengan agen

pemblokade neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten

mungkin dibutuhkan untuk jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi

paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan dan kebutuhan pasien akan

19

paralisis berkesinambungan dan terjadinya komlikasi hendaknya dinilai terus-

menerus tiap hari. Secara tradisional agen kerja panjang, pankuronium telah

dipergunakan. Namun demikian pankuronium menghambat pengambilan

kembali katekolamin dan dapat memperberat instabilitas otonomik pada

tetanus berat. Terdapat laporan terbatas tentang bertambah parahnya hipertensi

dan takikadia yang berkaitan dengan penggunaannya. Tetapi Dnace

melaporkan tidak terdapat perbedaan dalam hal komplikasi pada mereka yag

diterapi dengan pankuronium apabila dibandingkan dengan obat penghambat

neuromuskular yang lain. Vekuronium bebas dari efek samping kardiovaskular

dan pelepasan histamin tetapi secara relatif bersifat kerja singkat. Telah

dilaporkan penggunaan infus atrakurium pada tetanus selama 71 hari. Pada

pasien ini, dengan fungsi ginjal dan liver yang normal, tida terdapat akumulasi

laudanosin, metabolit apileptogenik dari atrakurium. Obat-obatan kerja

panjang dipilih karena penggunaannya mungkin dengan cara bolus intermitten

daripada pemberian infus. Penggunaan jangka panjang obat pemblokade

neuromuskular aminosteroid terutama melalui infus berkaitan dengan

neuropati dan myopati kondisi kritis, tetapi hal ini belum dilaporkan terjadi

pada pasien tetanus. Diantara obat-obat baru, pipekuronium dan rokuronium

merupakan obat kerja panjang yang ‘bersih’ tapi mahal. Masing-masing obat

ini belum dibandingkan dalam uji klinis random. 6

Penggunaan dantrolen untuk mengontrol spasme yang refrakter telah

dilaporkan pada satu kasus. Obat-obat penghambat neuromuskular tidak

siperlukan setelah pemberian dan trolenn, spasme paroksismal berhenti dan

kondisi pasien membaik. 6

Sebagai alternatif lain adalah propofol yang mahal dan baklofen

intratekal, yang sedang diteliti dengan harapan dapat memperpendek periode

paralisis terputik. Sedasi dengan propafol telah diperbolehkan untuk

mengontrol spasme rigiditas tanpa penggunaan obat-obatan panghambat

neuromuskular. Pemeriksaan EMG dan fungsi neuromuskular selama bolus

propofol menunjukkan penurunan sebesar 80% dalam aktivitas EMG tanpa

perubahan fungsi pada hubungan neuromuskular. Namun demikian, kadar

obat lebih dekat ke konsentrasi sedatif dan ventilasi mekanik mungkin

dibutuhkan. 6

Baklofen intratekal telah dilaporkan pada sedikit kasus dengan tingkat

20

keberhasilan yang bervariasi. Dosisnya berkisar 500-200- ug per hari,

diberikan sebagai bolus atau infus. Dosis dan bolus yang lebih besar berkaitan

dengan efek samping yang lebih banyak. Pada semua laporan, sejumlah

bermakna pasien mengalami koma dan depresi pernapasan yang membutuhkan

ventilasi. Pada beberapa kasus, efek samping bersifat reversibel dengan

antagonis GABAA flumazenil, tapi tidak reliabel untuk diterapkan. Teknik

penerapannya bersifat invasif, mahal dan fasilitas untuk ventilasi buatan harus

tersedia segera. 6

Suksinilkolin merupakan alternatif, namun berkaitan dengan

hiperkaliemia. Pemberian magnesium sulfat membutuhkan pemantauan

neurologis dan fungsi pernapasan serta pengukuran kadar magnesium serum

tiap hari. 6

b. Penatalaksanaan Respirasi

Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin

dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau

laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,

gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini

harus diantisipasi dan diterapkan secara efektif dan secara dini.6

c. Penatalaksanaan Intensif Suportif

Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut

menjadi penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan,

meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia dana ktivitas muskular dan masa

kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi hendaknya diberikan seawal

mungkin. Nutrisi enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dan

lebih murah dari pada nutrisi parenteral. Gastrostomi perkutaneus dapat

menghindari komplikasi berkaitan dengan pemberian makanan melalui tube

nasogastrik, dan mudah sekali dilakukan di ICU di bawah sedasi. 6

Komplikasi onfeksi akibat masa kritis berkepanjangan mencakup

pneumonia berkaitan dengan ventilator umum terjadi pada tetanus. Melindungi

jalan nafas pada tahap awal penyakit dan mencegah aspirasi dan sepsis

merupakan langkah logis untuk mengurangi resiko ini. Ventilasi buatan sering

diperlukan selama beberapa minggu, trakeostomi biasanya dilakukan setelah

intubasi. Metode dilatasi perkutaneus tampanya sesuai pada pasien tetanus.

Prosedur yang dapat dilakukan langsung di bed pasien ini menghindari transfer

21

pasien ke dan dari kamar operasi dengan resiko memicu instabilitas otonomik.

Pencegahan komplikasi respirasi mencakup perawatan mulut secara cermat,

fisioterapi dada, penghisapan trakheal secara teratur, terutama karena salivsi dan

ekskresi bronkhial sangat meningkat. Sedasi yang adekuat penting sebelum

melakukan intervensi pada pasien dengan resiko spasme yang tidak terkontrol

dan gangguan otonomik dan keseimbangan antara fisioterapi dan sedasi

mungkin sulit dicapai. 6

Tindakan penting dalam penatalaksanaan rutin pasien dengan tetanus,

seperti halnya pasien kritis jangka panjang lain adalah dengan profilaksis

terhadap tromboembolisme, perdarahan gastrointestinal dan dekubitus.

Pentingnya bantuan psikologis hendaknya tidak diabaikan. 6

4. Penatalaksanaan Lain

Penatalakansanaan lain meliputi, untuk mengontrol kehilangan cairan

yang tak nampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;

kecukupan kebutuhan gizi yang meningkat dengan pemberian enteral maupun

parenteral; fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan

antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung

kemih dan saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus

dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. 6

5. Vaksinasi

Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi

karena imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang

menyebabkan tetanus.6

22

3.9 FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN YANG BIASA DIPAKAI PADA TETANUS

1. Diazepam

Dipergunakan sebagai terapi spasme tetani, dan kejang tetanik. Mendepresi

semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan retikular,

mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter inhibitor

utama. 6

Dosis dewasa:

- Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu. 6

- Spasme sedang : 5-10 mg i.v apabila perlu. 6

- Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg

perjam. 6

Dosis pediatrik:

- Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga kali atau

empat kali sehari. 6

- Spasme sedang sampai berat: 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam. 6

- Kontraindikasi : Hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit. 6

- Interaksi : Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat

meningkat apabila dipergunakan bersamaan denga

alkohol, fenethiazin, barbiturat, dan MAOI; cisapride

dapat meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.6

- Kehamilan : Kriteria D-tidak aman pada kehamilan. 6

- Perhatian : Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan

sistem saraf pusat yang lain, pasien dengan kadar

albumin yang rendah atau gagal hati karena, toksisitas

diazepam dapat meningkat. 6

2. Fenobarbital

Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabakan depresi

pernapasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi

diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. 6

Dosis dewasa : 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari. 6

Dosis pediatrik : 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari. 6

- Kontradikasi : Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati,

penyakit paru-paru berat, dan pasien nefritis. 6

- Interaksi : Dapat menurunkan efek kloranfenikol,

23

digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin, teofilin,

veramapil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang

telah mendapatkan antikoagulan harus ada penyesuaian

dosis; pemberian bersamaan dengan alkohol dapat

menyebabkan efek aditif ke sistem saraf pusat dan

kematian; kloramfenikol, asam valporat, dan MAOi

dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas

fenobarbital : rifampisin dapat menurunkan efek

fenobarbital; induksi enzim mikrosomal dapat

menurunkan efek kontrasepsi oral pada wanita. 6

- Kehamilan : Kriteria D-tidak aman pada kehamilan. 6

- Perhatian : Pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal,

dan sistem hematopoitik; hati-hati pada demam,

diabetes melitus, anemia berat, karena efek samping

dapat terjadi; hati-hati pada miastenia gravis dan

miksedema. 6

3. Baklofen

Baklofen intratekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara

eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan

infus diazepam. Baklofen intrathekal 600 kali lebih poten dari pada Baklofen per

oral. Injeksi intratekal berulang bermanfaat untuk mengurangi durasi ventilasi

buatan dan mencegah intubasi. Mungkin berperan dengan menginduksi

hiperpolarisasi dari ujing aferen dan menghambat refleks monosinaptik dan

polisinaptik pada tingkat spinal. Keseluruhan dosis Baklofen diberikan sebagai

bolus injeksi. dosis sapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme

paroksimal kembali terjadi. Pemberian Baklofen secara terus-menerus telah

dilaporkan pada sejumlah kecil pasien tetanus. 6

Dosis dewasa: <55 th: 100 mcg IT dan >55 th: 800 mcg IT. 6

Dosis pe diatrik: <16 th: 500 mcg IT dan >16 th: seperti dosis dewasa. 6

- Kontraindikasi : Hipersensitifitas. 6

- Interaksi : Analgesik opiat, benzodiazepin, alkohol, TCAs,

guanabens, maoi, klindamisin, dan obat anti hipertensj

dapat meningkatkan efek Baklofen. 6

24

- Kehamilan : C-Keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum

diketahui. 6

- Perhatian : Hati-hati pada pasien dengan disrefleksia otonomik. 6

4. Dantrolen

Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi kontraksi otot

pada derah setelah hubungan myoneural dan dengan aksi langsungnya pada otot.

Belum disetujui oleh FDA untuk dipergunakan pada tetanus tetapi telah

dilaporkan pada sejumlah kecil kasus. 6

Dosis dewasa : 1 mg/kg i.v selama 3 jam, diulang tiap 4-6 jam apabila perlu.

Dosis pediatrik : 0,5 mb/kg i.v dua kali sehari pada permulaan, dapat

ditingkatkan sampai 0,5 mg/kg i.v 2 atau 4 kali sehari, dengan

tidak melebihi 100 mg 4 kali sehari. 6

- Kontraindikasi : Hipersensitifitas, penyakit hati aktif (hepatitis,

sirosis). 6

- Interaksi : Toksisitas meningkat apabila diberikan bersamaan

dengan klofibrat dan warfarin; pemberian bersama

dengan estrogen dapat meningkatkan hepatotoksisitas;

hati-hati pada gangguan fungsi paru dan insufisiensi

kardiak berat,d apat menyebabkan fotosensitifitas

terhadap paparan sinar matahari. 6

5. Penisilin G

Berperan dengan mengganggu pembentukkn polipeptida dinding otot

selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bekterisidial terhadap

mikroorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selam 10-14 hari. Dosis besar

penisilin i.v dapat menyebabkan anemia hemolitik, dan neurotoksisitas. Henti

jantung telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan dosis masif penisilin G.

Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis. 6

Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari. 6

- Kontraindikasi : Hipersensitifitas. 6

- Kehamiln : Kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila

manfaatnya melebihi resiko yang mungkin terjadi. 6

- Perhatian : Hati-hati pad gangguan fungsi ginjal. 6

25

6. Metronizadol

Metronizadol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat

diabsorpsike dalam sel dan senyawa termetabolsime sebagian yang terbentuk

mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian

sel. Direkomendasikan terapi selam 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan

metronizadol sebagi antibiotika pada terpai tetanus karen penisilin G juga

merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. 6

Dosis dewasa : 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g i.v tiap 12 jam, tidak lebih

dari 4 g/hari. 6

Dosis pediatrik : 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih dari

2 g/hari. 6

- Kontraindikasi : Hipersensitifitas, trimester pertama kehamilan. 6

- Kehamilan : Kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila

manfaatnya melebihi resiko yang mungkin terjadi. 6

- Perhatian : Penyesuaian dosis pada penyakit hati, pemantauan

kejang dan neuropati perifer. 6

7. Doksisiklin

Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan pengikatan

pada sub unit 30s atau 50s ribosomal dari bakteri yang rentan. Direkomendasikan

terapi selama 10-14 hari. 6

Dosis dewasa : 100 mb per oral/i.v tiap 12 jam. 6

Dosis pediatrik : <8 tahun: tidak direkomendasikan. 6

<45 kg: 4,4 mg/kg/hr oral/i.v dosis terbagi. 6

>45kg: sama seperti dosis dewasa. 6

- Kontraindikasi : Hipersensitivitas, disfungsi hati berat. 6

- Interaksi : Bioavailabilitas menurun dengan antasida yang

mengandung alumunium, kalsium, besi, atau

subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat meningkatkan

efek hipoprotrombinemik dari antikoagulan. 6

- Kehamilan : Kriteria D-rptidak aman dipergunakan pada

kehamilan. 6

- Perhatian : Fotosensitifitas dapat terjadi pada paparan jangak lama

terhadap sinar matahari, dosis hendaknya dikurangi

pada gangguan ginjal, perlu dipertimbangkan untuk

26

memeriksa kadar obat dalam serum pada pemakaian

jangka panjang, penggunaan selama masa

pembentukkan gigi (separuh masa kehamilan terakhir

sampai usia 8 tahun dapat menyebabkan perubahan

warna gigi secara permanen. 6

8. Vekuronium

Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan

terjadinya paralisis muskuler. Untuk mempertahankan paralsis, infus secara terus-

menerus dapat diterapkan, Bayi lebih bersifat yang sama dipergunakan, pemulihan

lebih lama pada 50% kasus. Tidak direkomendasikan pada neonatus,

Dosis dewasa : 0,08-0,1 mg/kg i,v, daoat dikurangi menjadi 0,05 mg/kg

apabila pasien telah diterapi dengan suksinilkolin, Dosis

pemeliharaan untuk paralisis: 0,025-0,1 mg/kg/hari i.v, dapat

dititrasi. 6

Dosis pediatrik : 7 minggu sampai 1 tahun:0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan

dosis pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila

perlu 1-10 tahun: mungkin membutuhkan dosis awal yang

besar dan suplementasi yang lebih sering. >10 tahun: seperti

dosis dewasa. 6

- Kontraindikasi : Hipersensitifitas, miastenia gravis, dan sindroma yang

berkaitan. 6

- Interaksi : Apabila vekuronium dipergunakan bersama dengan

anastesi inhalasi, blokade neuromuskuler diperkuat,

gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan steroid

secara bersamaan dapat menyebabkan blokade

berkepanjangan walaupun obat telah distop. 6

- Kehamilan : Kriteria C-keamanan penggunaan pada kehamilan

belum diketahui. 6

Perhatian : pada miastenia gravis atau sindroma miastemik, dosis

kecil vekuronium mungkin akan memberikan efek yang

kuat. 6

27

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Tetanus ini disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri cloridotorium

tetani yang Gram-positif, 4-8μm × 0.5μm bacillus, Memiliki sumbu lurus, sisi sejajar &

ujung bulat dan sensitif terhadap panas dan tidak dapat bertahan hidup dengan adanya

oksigen. tetanus juga akan menghasilkan tetanospamin yaitu kuman yang berkembang biak

dalam keadaan anaerobic sehinnga menyebabkan tetanus. Dimana tetanospamin masuk

melalui luka dan berspora serta beredar pada peredaran darah perifer, system limfe dan

serabut sarafperifer. Tetanospamin terbagi menjadi 3 yaitu tetanus local, tetanus cheptik, serta

tetanus geralised.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. 15th Ed. Jakarta: EGC,

2000.h. 2059

2. Hendarwanto: Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1987.

3. Price, A sylvia dan lorrainae M. Wilson 2012 patofisiologi: Konsepkliniks Proses -

Proses penyakit, edisi 6 volume 2, jakarta: EGC.

4. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical

Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871

5. R. Sjamsuhidajat and Wim de Jong. 2005. BukuAjarI lmuBedah. Jakarta: EGC.

Hlm 22, 23, 24

6. W. Sudoyo, Aru et al. 2009. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V.

Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit dalam.

29