Post on 20-Aug-2019
20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Iddah Menurut Pandangan Hukum Islam
1. Definisi Iddah Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam
a. Iddah Menurut Hukum Islam Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari
akar kata adda-yauddu- iddatan,1dan jamaknya adalah idad yang secara arti
kata berarti “menghitung” atau hitungan kata ini digunakan untuk maksud
iddah karena dalam masa itu si perempuan yang beriddah menunggu
berlalunya waktu.2
Dalam fiqh definisi iddah yang yang pendek dan
sederhana adalah atau masa dimana seorang wanita
yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan
menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya.
Dan iddah juga sudah dikenal pada masa jahiliyah. Setelah datangnya Islam
iddah tetap diakui sebagai salah satu dari syari‟at karena banyak
mengandung manfaat. Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang
berbunyi bahwa:
صن ب لات يت ن كن واممطو ف أرحامهن ا ل مهن أن يكتمن ما خوق الل بأهفسهن ثلثة كروء ول ي
صلحا ومن أرادوا ا
ل ا هن ف ذ واميوم الخر وبعوهتن أحق برد ي عوين هن م يؤمن بلل ثل ال
عزيز حكي ن درجة والل (٢٢٢امبلراة: (بممعروف ونورجال عوي
1 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu'jam Mufarras Cet II. (Beirut: Darul Fikri, 1981), 448
2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2007), 303
مدة يتربص فيها المرئة
21
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan
suami- suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Baqara:228).3
b. Iddah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Masa iddah adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari
suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan
pengadilan. Masa iddah tersebut hanya berlaku bagi istri yang sudah
melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan
hubungan suami istri (Qabla Dukhul) maka dia tidak mempunyai masa
iddah.4
Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 11 dan KHI pasal 153 dijelaskan
bahwa:
Pasal 11 UU Perkawinan:
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.
2) Tenggang waktu atau jangka waktu tunggu tersebut ayat 1 akan
diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang
diklasifikasikan menjadi 1. Putus perkawinan karena ditinggal mati
3 Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara),
hlm.55 4 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) , hlm.
87
22
suaminya. 2. putus perkawinan karena perceraian. 3 putus perkawinan
karena khulu‟, fasakh dan li‟an dan 4. istri dithalak raj‟i kemudian ditingal
mati suaminya pada masa iddah.5
Selain itu dijelaskan juga dalam KHI pasal 170 mengenai masa
berkabung dalam masa iddah, sebagaimana yang dijelaskan berikut ini:
1) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan
masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka
cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melaksanakan masa
berkabung menurut kepatutan.
2. Dasar Hukum
Iddah Yang menjalani iddah adalah perempuan yang bercerai dari
suaminya bukan laki-laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari
suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau
tidak, masih berhaid atau tidak wajib menjalani masa iddah. Kewajiban
menjalani masa iddah itu dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur‟an,
diantaranya adalah firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 228.
Diantara hadits Nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut
adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayah Ibnu Majah
dengan sanad yang kuat bunyinya:
Nabi SAW menyuruh Barairah untuk beriddah selama tiga kali haid
3. Macam-Macam Iddah
5 Ibid., hlm. 88
23
Istri yang menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu
berlangsungnya perceraian adalah sebagai berikut:
a. Kematian suami
b. Belum dicampuri
c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.
e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid.
Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam, yaitu:
1) Iddah dengan cara menyelesaikan quru‟ yaitu antara haid dan suci.
2) Iddah dengan kelahiran anak
3) Iddah dengan perhitungan bulan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah
diklasifikasikan menjadi beberapa macam yaitu:
a. Putus perkawinan karena ditinggal mati suaminya.
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
hari hal ini diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan
pasal 153 KHI. Dan ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya dengan istri yang
ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka waktu tunggunya
adalah sampai ia melahirkan.
b. Putus perkawinan karena perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan
mempunyai beberapa waktu tunggu yaitu:
24
1) Dalam keadaan hamil Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya
dalam keadaan hamil iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.
2) Dalam keadaan tidak hamil
a) Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi
hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya masa iddah.
b) Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi
hubungan kelamin (dukhul).
1) Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu
tunggunya berlaku ketentuan 3 kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari.
2) Bagi seorang istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan
atau 90 hari
3) Bagi seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa
iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu
suci.
4) Dalam keadaan yang disebut pasal ayat 5 KHI pasal 153 bukan
karena menyusui maka iddahnya selama satu tahun akan tetapi bila
dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali maka
iddahnya menjadi tiga kali suci.6
c. Putus perkawinan karena khulu‟, fasakh dan li‟an
Masa iddah bagi janda yang putus ikatan perkawinannya karena khulu‟
(cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan
6 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) , 87
25
perkawinan karena salah satu diantara saumi istri atau murtad atau sebab
lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin) atau li‟an maka waktu
tunggu berlaku seperti iddah thalak.7
d. Istri dithalak raj‟i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.
Apabila seorang istri terthalak raj‟i kemudian di dalam menjalani masa
iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6
pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah
menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 yang mulai perhitungannya pada
saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilalui pada
saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat
kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa iddah
dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak
merujuknya selama masih dalam masa iddah.8
Karakteristik masa iddah tersebut merupakan ketentuan hukum
mengenai tenggang waktu hitungan masa iddah dalam hukum perkawinan
islam.
4. Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Masa Iddah
Dalam menjalankan masa iddahnya bagi seorang istri terdapat beberapa
perkara yang harus dilaksanakan dan yang harus diperoleh. Dalam hal ini
peneliti akan menguraikan beberapa hak dan kewajiban seorang istri ketika dia
melaksanakan iddahnya. Dikutip dari Sayyid Sabiq yang mengatakan bahwa
istri yang sedang menjalani masa iddah berkewajiban untuk menetap di rumah
7 Ibid., 89
8 Ibid
26
di mana ia dahulu tingggal bersama sang suami sampai selesai masa iddahnya
dan tidak diperbolehkan baginya keluar dari rumah tersebut. Sedangkan si
suami juga tidak boleh mengeluarkan ia dari rumahnya, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah pada surat Ath-Thalak ayat pertama.
Seandainya terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak
berada di rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga,
maka si istri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya
mengetahuinya dimana ia berada.9
Dan apabila istri yang dithalak itu melakukan perbuatan keji secara
terang-terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga
suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah
tersebut.
Ulama‟ fiqh mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi
perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya adalah:
a. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun
melalui sindiran, akan tetapi untuk wanita yang mnejalani iddah kematian
suami pinangan dapat dilakukan dengan cara sindiran. Alasan ulama' fiqh
menetapkan hukum ini adalah firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 235
9 Imam Syafi‟i, “Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh”, diterjemahkan Muh Yasir Abd
Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 513
27
) :٥٣٢البقراة )
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada
itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun".(Q.S Al-Baqarah:235).10
b. Dilarang keluar rumah.
Jumhur ulama fiqh selain Mazhab Syafi‟i sepakat menyatakan bahwa
perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidka ada
keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan
tetapi Ulama‟ Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa wanita yang dicerai
suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati dilarang keluar rumah.
c. Menurut kesepakatan ulama‟ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat
thalak raj‟i atau dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh
nafkah yang dibutuhkan perempuan tersebut. akan tetapi apabila iddah yang
dijalani adalah iddah karena kematian suami maka perempuan itu tidak
mendapatkan nafkah apa pun karena kematian telah menghapuskan seluruh
akibat perkawinan. Namun demikian ulama' mazhab maliki menyatakan
10
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara),
hlm.57
28
bahwa perempuan tersebut berhak manempati rumah suaminya selama
dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah rumah suaminya.
d. Perempuan tersebut wajib berihdad.11
Mengenai hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat
istri yang dicerai oleh suami dengan thalak raj‟i selama masa iddah berhak
mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal inilah yang biasanya kurang
mendapat perhatian dari suami yang menceraikan istrinya padahal masalah
tersebut menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban) dari seorang
suami. Akan tetapi apabila iddahnya karena suaminya wafat maka istri tidak
mendapat nafkah. Namun Mahdzab Maliki memberi pengecualian dalam
masalah tempat tinggal.12
Istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak
dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa
itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun
hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa dalam
hubungan perkawinan. Bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada
lama masa iddah yang dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian
yang dialaminya. Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak
yang diterimanya dikelompokan ke dalam tiga macam:
1) Istri yang dicerai dalam thalak raj‟i hak yang diterimanya adalah penuh
sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk
11
Dahlan , Abdul Azis, “Iddah, ” Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2 (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), 640 12
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006), 222
29
perbelanjaan untuk pangan, pakaian dan juga tempat tinggal. Dan hal ini
merupakan kesepakatan Ulama‟.
2) Istri yang dicerai dalam bentuk thalak ba‟in, baik ba‟in sughro atau pun
ba‟in kubra dan dia sedang hamil, dalam hal ini ulama‟ sepakat bahwa
dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal. Dasar hukumnya adalah
firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 6:
):٦الطلق) Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya. (Q.S. Athalaq:6)13
3) Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal istri dalam
keadaan hamil ulama‟ sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah
dan tempat tinggal, namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama‟
berbeda pendapat. Sebagian ulama diantaranya Imam Malik, Syafi‟i dan
13
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara),
hlm.946
30
Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas
tempat tinggal . Sebagian ulama‟ diantaranya Imam Ahmad berpendapat
bahwa istri dalam iddah wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah
dan tempat tinggal, karena Allah hanya menentukan untuk yang kematian
suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta warisan.
Dalam menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati
suaminya maka wajib bagi mereka untuk menjalani masa berkabung atau
ihdad dan terdapat perkara-perkara yang dilarang pada saat ihdad, berikut
ini dijelaskan mengenai larangan melakukan perkara tersebut.14
Ummu „Athiyah meriwayatkan “kami diwajibkan berkabung atas
kematian suami yakni empat bulan sepuluh hari. Selama itu kami
dilarang memakai celak, parfum dan pakaian yang dicelup, kecuali
sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila kami suci dari dan mandi
setelah haid, kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit
wewangian. Dan kami dilarang mengiringi pemakaman jenazah”.15
Berdasarkan keterangan hadits di atas dan lainnya dapat
disimpulkan bahwa wanita yang sedang berkabung hendaknya menjauhi
perkara-perkara berikut ini:
a. Memakai celak
Wanita tidak boleh memakai celak ketika berkabung, sekalipun
dengan alasan untuk berobat. Dalam hadits Ummu Salamah ra.
disebutkan bahwa seorang wanita mengalami sakit mata, maka
14
Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah, (Jakarta: I‟tishom Cahaya Umat,
2007), 324 15
Ibid.
31
beberapa kerabatnya minta izin kepada Rasulullah SAW. agar
membolehkannya memakai celak sedangkan pada saat itu dia sedang
berkabung karena kematian suaminya dan Rasulullah menjawab “dia
tidak boleh memakai celak”. Pada dasarnya Allah telah menyediakan
berbagai jalan pengobatan bagi segenap kaum Muslimin dan Muslimat
selain dengan memakai celak, seperti obat tetes dan semisalnya.
Dengan demikian sakit mata tidak dapat dijadikan alasan seseorang
untuk memakai celak apabila dia masih dalam masa berkabung.
b. Memakai parfum
Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama‟ tentang
haramnya memakai parfum bagi wanita yang sedang berkabung.
Dalilnya ketika Ummu Habibah ra.selesai dari masa berkabung atas
kematian ayahnya Abu Sufyan ia meminta diambilkan parfum dan
memakainya Ada pengecualian dalam hal penggunaan parfum bagi
wanita yang sedang berkabung yakni keringanan yang diberikan
kepada wanita guna memakai parfum sebatas yang biasa diapaki oleh
wanita yang mandi setelah haid unutk menghilanngkan bau tidak
sedap pada bekas darah, bukan dengan maksud memakai parfum.
Inilah pengertian pernyataan Ummu Athiyah “kami diberi keringanan
untuk menggunakan sedikit wewangian”.16
c. Memakai pewarna kuku
16
Ibid, hlm.325
32
Ibnu Mundzir berkata, “setahuku, tidak ada perbedaan pendapat
diantara para ulama bahwa memakai pewarna kuku termasuk dalam
pengertian berhias yang dilarang”. Sama halnya dengan pewarna kuku
segala bentuk kosmetik yang digunakan untuk merias diri. Ibnu
Qudamah menyatakan bahwa wanita yang sedang berkabung haram
memakai pewarna kuku, membubuhkan warna merah pada wajahnya
atau warna putih dan meriasnya dengan warna kuning serta melukis
pada wajah dan tangannya, dan dengan apa saja yang mempercantik
dirinya.17
d. Memakai pakaian yang dicelup (berwarna)
e. Memakai perhiasan
Wanita yang sedang berkabung haram memakai cincin, kalung dan
perhiasan lainnya baik yang terbuat dari emas, perak maupun bahan
lainnya. Imam Malik mengatakan bahwa “wanita yang sedang
berkabung atas kematian suaminya tidak boleh memakai perhiasan
apapun baik cincin, kalung, gelang maupun perhiasan yang lainnya”.18
Selain perkara-perkara yang dilarang bagi perempuan yang
sedang menjalankan ihdad dibolehkan untuk melaksanakan perkara-
perkara berikut ini saat berkabung misalnya memotong kuku,
mencabut bulu ketiak dan mandi dengan sabun. Tidak ada dalil yang
melarang perkara-perkara di atas. Wanita yang sedang berkabung
boleh mandi dengan menggunakan sabun selama tidak bermaksud
17
Ibid. 18
Al Muwatha‟ Imam Malik Jilid 2, hlm.599
33
menjadikannya sebagai parfum. Ibnu Qudamah menyatakan “wanita
yang berkabung tidak dilarang membersihkan diri seperti memotong
kuku, mencabut bulu ketiak, memotong rambut yang memang
dianjurkan untuk memotongnya, mandi dengan memakai bahan
pengharum dan menyisir rambut dengannya karena tujuannya adalah
untuk membersihkan diri tidak menjadikannya sebagai parfum”.19
Memakai minyak rambut. Boleh memakai minyak rambut jika bukan
dengan maksud menjadikannya sebagai parfum atau berhias. Imam
Malik mengatakan bahwa “wanita yang berkabung karena ditinggal
mati suaminya boleh memakai minyak rambut selama tidak
mengandung parfum”.20
5. Hikmah Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah
pasti mempunyai rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu
dapat langsung kita rasakan namun seringkali baru dapat kita rasakan setelah
kejadian itu telah lama berlalu. Hikmah atau manfaat dari diwajibkannya iddah
dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya adalah dari sisi social:
a. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.
Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya,
agar menjadi jelas siapa Ayah dari bayi tersebut. Kalau tidak ada syari‟at
tentang iddah maka seorang wanita dapat langsung menikah dengan laki-
19
Abu Malik Kamal, Op. Cit . hlm.327 20
Ibid
34
laki lain sehingga terjadi percampuran dan menghasilkan generasi yang
samar.21
b. Memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada
kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan
di dalam hal itu.22
c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami
keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan
suami hal ini jiak iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami dan masa
iddah ini juga bisa digunakan istri untuk sedikit mengenang kembali
kenangan lama dengan sang suami sangat tidak etis seandainya sang istri
dengna cepat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain sementara
sang suami baru saja meninggalkan dirinya.
d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang akan
menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang
baru dicerai mantan suaminya. Ada kemungkinan wanita tersebut memilki
persoalan mungkin masalah harta ataupun yang lainnya. Dengan adanya
masa iddah ini diharapkan pasangan suami istri yang sudah bercerai ini
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya.23
Sedangkan dari sisi psikologi bahwasanya hikmah dari diwajibkannya
iddah adalah dapat menimbulkan anggapan dari orang lain bahwa kematian
suami tersebut karena adanya keinginan dari pihak si isti sehingga dia
21
Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm.305 22
Ibid 23
Aziz Salim Basyarahi, Fauzil Adhim Janda, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
hlm.135
35
berkeinginan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain sehingga muncul
anggapan dia yang membunuh suaminya. Dampak psikis juga akan timbul
pada diri anak-anak apabila ibu dari mereka menikah lagi dalam jangka
waktu yang tidak lama dari kamatian suami ataupun dari perceraiannya, dan
yang paling dirugikan dalam hal ini adalah anak karena selain harus
beradaptasi dengan datangnya seorang ayah baru, ia juga harus menerima
gunjingan dari orang lain dan lingkungan mereka yang mana perubahan
status istri menjadi seorang janda secara psikis telah menempatkan
perempuan ke dalam posisi tidak nyaman di mata masyarakat lingkungan
karena sebagian besar menganggap bahwa seorang janda adalah perempuan
yang telah gagal mempertahankan keluarganya karena adanya beberapa
hal.24
B. Hukum adat
1. Pengertian Hukum Adat.
Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila
meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal
ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through
the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism
itu mengundang kritik, antara lain:
a. Cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat;
dan
24
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: Uin Press,
2008), 289
36
b. Cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari
penelaahan dan penyusunan kebijakan.25
Catatan penting yang dapat diberikan berkenaan dengan Law and
Development tersebut ialah: ..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu
perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan ekonomi; adanya „the rule of
law‟ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan
pembangunan politik; di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal
penting yang utama. Pusat kegawatan utama adalah pada campuran antara:
sejarah negara yang unik, aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya
alam dan manusia; dan negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat
mengembangkan variannya sendiri mengenai isi dari „the rule of law’
(Tamanaha 1998).26
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh
William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di
Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles.
Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang
pertama kali menggunakan istilah adatrecht (hukum adat), dan ia sebagai
peletak teori Receptie13, ia memandang hukum adat identik dengan hukum
kebiasaan.27
25
Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk MenyambutHari
Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. IhromiANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 26
Ibid 27
Otje Salman
37
Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun
1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan
bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum.28
Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan
positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus
memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2)
kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat), berdasarkan
itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19
lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut
Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti:
masyarakat hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat
atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya Teer Haar; ia dengan mendasarkan analisisnya pada Teori
Keputusan yang dikemukakan oleh John Chipman Grey menyatakan, semua
hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia mengemukakan Teori
Keputusan (beslissingenleer-theorie). Mengkaji hukum adat dari berbagai
sudut pandang, namun tetap menunjukkan apa yang disebut hukum adat, akan
menentukan bagaimana hukum adat dalam perkembangannya, dan hukum adat
akan mampu menyesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat
yang akan terus berubah. Oleh karena itu pemahaman pengertian, pendekatan
metodologis menjadi penting sekali untuk dapat melihat, memahami dan
28
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, (Jakarta:
INIS, 1998), hlm. 38
38
mempelajari perkembangan hukum adat atau hukum adat dalam
perkembangannya.
Hukum adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan paradigma atau
nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter
hukum adat. Kluckhon mengemukakan: nilai merupakan “a conception of
desirable” (suatu konsepsi yang diinginkan). Maka nilai ada beberapa
tingkatan, yaitu: Nilai Primer merupakan nilai pegangan hidup bagi suatu
masyarakat, bersifat abstrak dan tetap seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran
budi, kebersamaan dan lain sebagainya. Nilai subsider berkenaan dengan
kegunaan, karena itu lebih berbicara hal-hal yang bersifat kongkrit. Maka
hukum lebih banyak ditujukan pada nilai-nilai sekunder yaitu nilai-nilai yang
berguna untuk memecahkan persoalan kongkrit yang sedang dihadapi
masyarakat, atau orang-perorang. Timbulnya nilai sekunder tersebut, telah
melalui penyaringan (sannering) oleh nilai-nilai primer. Nilai sekunder bisa
berubah menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dan menjawab
persoalan yang ada dalam masyarakat.
Hukum-termasuk hukum adat-sesungguhnya juga didasarkan pada nilai
primer, namun pendasaran pada nilai sekunder, sifatnya lebih nyata dilihat dan
dipahami. Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan
aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak
39
berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa
pemerintahan.29
Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara
lain sebagai berikut: Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut
hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan
tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu
pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain
berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).30
a. Abdulrahman, SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud
memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht
pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.31
b. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim
dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law),
hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara
(Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai
peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di
kota maupun di desa-desa.32
b. Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan
29
Hilman Hadukusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 2003), hlm. 8 30
Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, , (Jakarta: Jambatan,1983),
hal 14, lihat juga Abdulrahman, SH : Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik
Indonesia, (Cendana Press, 1984), hlm. 17. 31
Abdulrahman, SH, Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia,
(Jakarta: Cendana Press, 1984), hlm.18 32
Soepomo, Kedududkan Hukum Adat di Kemudian Hari, (Jakarta: Pustaka Rayat, 2004),
hlm. 2
40
mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum,
komplek ini disebut Hukum Adat.33
c. Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-
peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang
Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat
dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum
oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/peraturan
itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan
upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).34
d. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum
kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat
dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan
bersifat kekeluargaan.35
e. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma
yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat
hukum (sanksi).36
f. Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat
diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung
33
Abdulrahman, Op. cit, hlm. 18. 34
Ibid, hlm. 19 35
Ibid,hlm.21 36
Ibid, hlm.22
41
unsur agama.37
Hukum adat merupakan species dari hukum tidak tertulis,
yang merupakan genusnya. 38
Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam
masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas
(penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal
hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya
seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti,
padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih
kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka.39
Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan secara
dinamik, dan selaras antara atas-yang memutuskan-dan bawah yang
menggunakan-agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya. Menurut
Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat.
Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law) yang lazim dipergunakan untuk,
menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada
sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk
hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan
37
Ibid 38
Sudjito Sastrodiharjo, Hukum adat Dan Realitas Kehidupan, dimuat dalam : Hukum
Adat dan Modernisasi Hukum, ( Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia,1998), hlm. 107. 39
Op. cit, hlm. 24
42
penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan
dalam hukum tertulis.40
40
Ibid. hlm 22.