Post on 07-Jul-2019
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru-paru merupakan
organ yang seringkali terserang kuman TB namun terdapat beberapa bagian tubuh
lain yang juga dapat diserang seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. Menurut
Centers for Disease Control and Preventive (CDC) dan WHO, penularan TB dari
orang ke orang dapat melalui udara yang terkontaminasi kuman TB oleh penderita
TB dengan cara bersin, batuk, berbicara atau bernyanyi. Orang yang berdekatan
dengan kondisi tersebut berpotensi menghirup kuman TB sehingga terinfeksi
kuman TB hanya saja tidak setiap orang yang terinfeksi kuman TB menjadi sakit
TB. Akibat hal tersebut dikenal dua macam kondisi terkait TB yaitu infeksi TB
laten dan penyakit TB. Sedangkan berdasarkan Kemenkes RI (2011) penularan
TB tergantung dari kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB,
lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak penderita, dan konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya
menghirup udara. Di sisi lain TB tidak ditularkan melalui bersalaman, berbagi
makanan atau minuman, menyentuh seprai atau kursi toilet, berbagi sikat gigi, dan
berciuman (CDC, 2014).
2.1.1 Diagnosa tuberkulosis (TB)
Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan
10
letak penyakit TB. Beberapa kriteria diagnosa penyakit TB adalah sebagai berikut.
a. Diagnosa TB paru
1. Seluruh suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam kurun waktu 2 hari
yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
2. Diagnosa TB paru pada orang dewasa ditetapkan dengan penemuan kuman
TB. Menurut program TB nasional, pemeriksaan dahak mikroskopis untuk
penemuan BTA adalah diagnosa utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosa sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3. Diagnosa TB tidak diperbolehkan hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran khas
keberadaan TB paru sehingga sering terjadi overdiagnosa.
b. Diagnosa TB ekstra paru
1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, seperti kaku
kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformatis tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis atau
histopatologis yang diambil dari jaringan tubuh.
c. Diagnosa TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Pada ODHA kriteria diagnosa TB paru dan TB ekstra ditegakkan sebagai
berikut:
11
1. TB paru BTA positif ditegakkan apabila minimal satu hasil pemeriksaan
dahak positif
2. TB paru BTA negatif ditegakkan apabila hasil pemeriksaan dahak negatif
dan gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA negatif dari
hasil kultur TB positif.
3. TB ekstra paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena.
Gambar 2.1
Alur Diagnosa TB Paru (Kemenkes, 2011)
12
2.1.2 Pengobatan TB
Secara umum tujuan pengobatan Tuberkulosis (TB) antara lain
penyembuhan pasien serta mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas,
pencegahan kematian, pencegahan kekambuhan, pemutusan rantai penularan,
serta pencegahan timbulnya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis
(OAT) dan penularannya (Kemenkes RI, 2011; TB Fact.org, 2014). Panduan
pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini disebut dengan
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy). DOTS
merupakan strategi yang ditetapkan oleh WHO yang bertujuan untuk mencapai
angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping
OAT, serta mencegah resistensi kuman akibat ketidakpatuhan.
Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pengobatan TB menurut Kemenkes
dan TB Facts yaitu: 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah yang cukup serta dosis yang sesuai dengan kategori
pengobatan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat; 2) jangan
menambahkan OAT tunggal (monoterapi); 3) pengobatan dilakukan di bawah
pengawasan langsung dengan pemilihan seorang Pengawas Minum Obat (PMO)
untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat; 4) kepatuhan terhadap
pengobatan TB menjadi tanggung jawab dokter yang merawat serta pasien; 5)
pengobatan dilakukan dalam dua fase yaitu intensif dan lanjutan.
1. Fase intensif
Pengobatan fase intensif merupakan bagian awal dari prosedur pengobatan
TB. Pengobatan fase intensif berlangsung dua bulan untuk pasien dengan OAT
13
kategori satu dan tiga bulan untuk pasien dengan OAT kategori dua. Pengobatan
dua bulan pertama pada pasien dengan kategori satu pada fase intensif bertujuan
untuk mencapai angka konversi pada fase awal, mencegah terjadinya resistensi
obat, dan membuat pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
(Kemenkes RI, 2011). Pengobatan fase intensif perlu diperhatikan agar berjalan
sesuai dengan prosedur karena ketidaktepatan pelaksanaan pengobatan fase
intensif termasuk ketidakteraturan minum obat dapat berdampak pada kegagalan
konversi di akhir pengobatan fase intensif serta timbulnya masalah TB-MDR.
2. Fase lanjutan
Pasien yang telah menyelesaikan fase intensif akan diberikan pengobatan
fase lanjutan selama empat bulan. Pada fase lanjutan pasien akan mendapat obat
yang lebih sedikit dibandingkan dengan fase intensif namun dalam jangka waktu
pengobatan yang lebih panjang. Pada fase ini pemberian isoniasid dan rifampisin
tetap diberikan selama empat bulan. Pengobatan pada fase lanjutan bertujuan
untuk membunuh kuman persister dengan maksud mencegah kekambuhan
(Kemenkes RI, 2011).
2.1.3 Ketidakteraturan minum obat
Secara program TB ketidakteraturan minum obat didefinisikan sebagai
ketidaksesuaian seorang pasien dalam mengikuti jadwal pengobatan yang telah
ditentukan. Pasien TB seharusnya mengikuti ketentuan tersebut agar mendapat
hasil pengobatan yang optimal. Ketidakteraturan minum obat pada pasien TB
seharusnya tidak terjadi apabila keberadaan pengawas minum obat (PMO) dan
pemegang program TB membimbing secara penuh. Perilaku minum obat yang
14
tidak teratur akan mempersulit kesembuhan terhadap suatu penyakit (Hapsari,
2010).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai ketidakteraturan
minum obat TB memiliki definisi yang berbeda-beda dan memakai istilah lain
seperti kepatuhan. Definisi pada penelitian tersebut yaitu sebagai berikut.
Tabel 2.1
Definisi Ketidakteraturan Minum Obat Beberapa Penelitian
No Penelitian Nama Variabel Definisi
1 2 3 4
1 Simamoro (2004) Tidak teratur Penderita dikatakan tidak teratur
jika penderita pernah terlambat/lalai
mengambil obat/minum obat lebih
dari 2 hari pada masa pengobatan
intensif dan lebih dari 1 minggu
pada masa fase lanjutan serta tidak
melakukan pemeriksaan sputum
ulang pada akhir bulan ke-2 dan ke-
5.
2 Hapsari (2010) Ketidakteraturan
berobat
Pasien yang selama periode
pengobatan terlambat mengambil
OAT 14 hari/lebih (jika
diakumulasikan) atau pasien yang
tidak menyelesaikan pengobatan
(Drop Out). Selain itu pasien
dikatakan tidak teratur jika pasien
tidak minum obat sesuai dengan
dosis yang dianjurkan.
3 Zuliana (2010) Tidak patuh Responden tidak menelan obat
sesuai dengan ketentuan petugas
kesehatan atau responden tidak
menelan obat lebih dari 8 minggu
selama tahap pengobatan lanjutan
dan tidak mengambil obat serta
tidak memeriksakan dahak sesuai
jadwal yang telah ditetapkan dan
tidak menaati nasihat dari petugas
kesehatan.
15
1 2 3 4
4 Jakubowiak et al.
(2009)
Treatment
interruption
Penghentian pengobatan sementara
didefinisikan sebagai segala jenis
penghentian pengobatan paling
sedikit 1 hari namun tidak melebihi
2 bulan berturut-turut.
5 Ibrahim et al.
(2014)
Treatment
interruption
Penghentian pengobatan TB
sementara yaitu setiap pasien yang
kehilangan pengobatan selama 2
hari berturut-turut pada fase intensif.
Hal tersebut juga berlaku untuk
pasien kategori 1 yang kehilangan
pengobatan 14 hari berturut-turut
dan pasien kategori 2 yang
kehilangan pengobatan 2 hari
berturut-turut pada fase lanjutan
pengobatan.
Beberapa penelitian menunjukkan variasi waktu terjadinya
ketidakteraturan minum obat TB yaitu: 1) kebanyakan ketidakteraturan minum
obat terjadi antara bulan kedua dan ketiga masa pengobatan, hal ini bertepatan
dengan perbaikan kondisi klinis pada awal pengobatan (Gupta et.al., 2011); 2)
Penelitian pada pasien TB paru di Rusia menemukan median kejadian
ketidakteraturan minum obat setiap pasien yaitu 2 kali (interval = 2-6 kali). 20%
pasien mengalami ketidakteraturan minum obat pada fase intensif, 67% pada fase
lanjutan, dan 13% pada kedua fase tersebut. Sementara median lama
ketidakteraturan minum obat yaitu 3 minggu (Oblast, 2001); 3)Penelitian yang
dilakukan di Rusia menemukan ketidakteraturan minum obat pada fase intensif
berkisar antara 1–125 hari dan pada fase lanjutan berkisar antara 1-127 hari
(Jakubowiak et al., 2009); 4) Penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menemukan
16
kejadian ketidakteraturan minum obat sebesar 19%; dan 5) Penelitian oleh
Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat sebesar 33%.
2.2 Teori Lawrence Green
Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor predisposisi (predisposing
factor), faktor yang mendukung (enabling factor), dan faktor yang memperkuat
atau mendorong (reinforcing factor) (Notoatmodjo, 2007). Faktor predisposisi
dapat mencakup pengetahuan, sikap, pendidikan, kepercayaan, keyakinana, dan
nilai-nilai lainnya yang dianut oleh seseorang. Sedangkan faktor pendukung dapat
mencakup sarana, fasilitas, dan akses agar seseorang mau mengubah
perilakunya. Sementara ini faktor penguat dapat berupa sikap dan perilaku petugas
yang menyebabkan seseorang mengadopsi lebih lama suatu perilaku. Perilaku
seseorang terhadap suatu respon atau stimulus dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: 1)
Faktor internal yang mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,
motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar; 2)
Faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non-fisik seperti
iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Berikut merupakan
gambaran bagan teori perilaku Lawrence Green.
17
Gambar 2.2
Bagan Model PRECEDE Green (1980)
(Sumber: Lawrence W. Green Health Education Planning. A Diagnostic Approach
(1980) dalam (Rahmansyah, 2012)
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Ketidakteraturan Minum
Obat Tuberkulosis (TB)
Beberapa penelitian terkait faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan
minum obat TB dilakuakan di luar negeri dan beberapa telah dilakukan di
Indonesia. Terdapat faktor yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum
obat TB dan tidak berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Berikut
adalah hasil analisis penelitian terkait ketidakteraturan minum obat TB.
Predisposing Factor:
Pengetahuan
Sikap
Nilai
Persepsi
Variabel demografi
Enabling Factor:
Ketersediaan fasilitas
Keterjangkauan fasilitas
kesehatan
Keterampilan petugas
kesehatan
Reinforcing Factor :
Sikap dan perilaku petugas
kesehatan, keluarga,
teman,guru, tokoh
masyarakat
PERILAKU
18
2.3.1 Faktor Sosiodemografi
1. Umur
Penyakit paru lebih sering ditemukan pada golongan usia produktif. Hal
ini menyebabkan tingginya kejadian TB pada kelompok produktif dapat
menurunkan kualitas kehidupan seseorang yang seharusnya berada pada masa
produktif. Beberapa penelitian mendapatkan hasil peningkatan umur memiliki
kecenderungan untuk mengalami ketidakteraturan minum obat. Hal ini
dikarenakan umur yang lebih tua membutuhkan dukungan tambahan untuk
mengakses pengobatan TB (Wu et.al., 2009). Hal tersebut tentu membatasi
kemampuan pasien untuk datang mengambil obat secara teratur di Puskesmas.
Beberapa penelitian mendapatkan kelompok umur beragam untuk
cenderung mengalami ketidakteraturan minum obat diantaranya yaitu : 1)
Simamoro (2004) menunjukkan ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari)
pengobatan lebih banyak terjadi pada umur 41-60 tahun dengan persentase
mencapai 41,3%; 2) Gupta et al. (2011) menemukan ketidakteraturan terbanyak
terjadi pada kelompok umur 25-44 tahun (57%); 3) penelitian di Rusia
menemukan umur 25-50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat
pasien TB rawat inap yaitu dengan ORs=1,5–1,7 (Belilovsky et al., 2010); 4)
kelompok umur <50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat
dengan RR=1,20 95%CI:1,00-1,04 yang menyertakan pasien default sebagai
outcome (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Ibrahim et al. (2014) menemukan tidak ada hubungan signifikan antara kelompok
19
umur > 35 tahun terhadap ketidakteraturan minum obat (AOR = 0,79 dan 95%
CI: 0,34–1,44).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin secara tidak langsung berpengaruh terhadap peran sosial
seseorang. Wanita lebih cenderung mencari pelayanan kesehatan dan cenderung
lebih patuh terhadap pengobatan dengan DOTS dibandingkan dengan laki-laki
(Wu et al., 2009). Pendapat berbeda diperoleh dari penelitian di Afrika,
Bangladesh, dan Syria menyatakan bahwa wanita yang telah menikah cenderung
harus meminta ijin kepada suami untuk datang ke layanan kesehatan untuk
berobat TB (Ibrahim et al., 2014).
Hasil penelitian tentang hubungan antara jenis kelamin dengan
ketidakteraturan minum obat TB menunjukkan hal yang berbeda. Beberapa
penelitian mendapatkan hasil sebagai berikut: 1) pada penelitian oleh Gupta et al.
(2011), 77,61% yang mengalami ketidakteraturan minum obat berjenis kelamin
laki-laki; 2) penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menunjukkan jenis kelamin
wanita tidak berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat (AOR = 1,4 dan
95% CI: 0,55–3,47); 3) jenis kelamin laki-laki pada pasien TB rawat inap berisiko
mengalami ketidakteraturan dengan ORs = 1,5–2,3 (Belilovsky et al., 2010); dan
4) jenis kelamin laki-laki berisiko 1,3 kali mengalami ketidakteraturan minum
obat dibandingkan dengan wanita (95% CI: 1,1–1,6) (Connolly et al., 1999); 5)
jenis kelamin laki-laki berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dengan
RR=1,28 95%CI:1,02-1,59 dan p=0,02 (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Simamoro (2004) menunjukkan bahwa perempuan
20
cenderung mengalami ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari) pengobatan
dibandingkan laki-laki dengan persentase 62,3%.
3. Pekerjaan
Beberapa penelitian ketidakteraturan minum obat TB meneliti tentang
pekerjaan pasien hanya saja belum diperoleh penjelasan yang jelas mengenai
pengaruhnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang
berbeda.
Jenis pekerjaan pasien ditemukan tidak berhubungan dengan kepatuhan
minum obat yang rendah (p=0,56) pada penelitian oleh Kayigamba et al. (2013)
dengan hasil pelajar dengan OR=0,38 (95% CI: 0,09-1,68) dan wiraswasta dengan
OR=0,92 (95% CI: 0,43-2). Status bekerja pasien TB ditemukan tidak
berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=1,6 (95%
CI:0,66-3,70) (Ibrahim et al., 2014). Sedangkan status pasien TB rawat inap yang
tidak bekerja berhubungan signifikan terhadap ketidakteraturan minum obat
(ORs=1,1-2,8) (Belilovsky et al., 2010).
4. Pengetahuan pasien
Pengetahuan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam mengambil
suatu keputusan. Menurut Notoatmodjo dalam Zuliana (2010), perilaku seseorang
terkait masalah kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan orang tersebut
terhadap masalah kesehatan yang dihadapi. Beberapa penelitian terkait
pengetahuan pasien yaitu: 1) kurangnya pengetahuan pasien tentang durasi minum
obat TB berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=6,1
(95% CI: 2,8-11,2) (Ibrahim et al., 2014); 2) 61% dari pasien yang tidak teratur
21
berobat memiliki pengetahuan yang kurang mengenai pentingnya melanjutkan
pengobatan (Gupta et al., 2011); 3) Pengetahuan berhubungan dengan
ketidakteraturan minum obat (p=0,004) (Zuliana, 2010).
5. Status pernikahan
Status pernikahan pasien TB berkaitan dengan dukungan sosial yang
diperoleh dari pasangan. Pada beberapa penilitian yang menyertakan status
pernikahan pasien TB tidak melakukan analisis mengenai pengaruh pernikahan
terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Penelitian di India menemukan bahwa
72,14% pasien yang mengalami ketidakteraturan memiliki status menikah (Gupta
et al., 2011). Sama halnya dengan penelitian di Indonesia yang menemukan
pasien TB paru yang tidak teratur berobat, 76,67% diantaranya memiliki status
menikah (Hapsari, 2010).
6. Pengalaman berobat pasien
Pengalaman berobat pasien yaitu pengalaman pasien dalam berobat TB
sebelum memulai pengobatan yang ditentukan pada periode penelitian ini
berdasarkan riwayat dan hasil pengobatan seorang pasien TB sebelumnya. Pada
data sekunder pengalaman berobat pasien yang dimaksud tercatat dengan nama
tipe pasien. Tipe pasien yang dikategorikan dalam program tuberkulosis di Bali
yaitu sebagai berikut.
a. Kasus baru
Kasus baru didefinisikan sebagai pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB dengan OAT atau pernah diobati dengan OAT dalam
22
kurun waktu kurang dari empat bulan. Pasien yang dimaksud dapat
memiliki hasil pemeriksaan BTA positif maupun negatif.
b. Kasus yang sebelumnya diobati
Pada tipe pasien yang pernah diobati terdapat beberapa kategori yaitu:
1) Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan TB serta telah dinyatakan berstatus sembuh
atau pengobatan lengkap kemudian terdiagnosa kembali dengan
kondisi BTA positif (apusan atau kultur)
2) Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah mengikuti
pengobatan TB namun mengalami putus obat selama dua bulan atau
lebih dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
3) Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien yang pada pengobatan
sebelumnya memiliki hasil pemeriksaan dahak tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa
pengobatan.
c. Kasus pindahan (transfer in)
Kasus pindahan didefinisikan sebagai pasien yang dipindahkan pencatatan
pengobatannya ke register lain untuk melanjutkan pengobatan.
d. Kasus lain
Kasus lain pada program TB yaitu kasus-kasus yang tidak memenuhi
kategori di atas misalnya beberapa kondisi berikut.
1) Pasien dengan tidak diketahui dengan jelas riwayat pengobatan
sebelumnya
23
2) Pasien yang pernah mengikuti pengobatan TB namun hasil
pengobatannya tidak diketahui
3) Pasien yang kembali diobati namun dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif
Pengalaman pengobatan TB yang tergolong buruk dapat menurunkan
motivasi pasien untuk sembuh ditambah mereka kembali mengalami infeksi TB.
Beberapa penelitian menemukan hasil yang berbeda yaitu: 1) Penderita dengan
tipe pasien kambuh memiliki risiko 18 kali lebih besar mengalami
ketidakteraturan minum obat dengan dibandingkan tipe pasien lainnya (OR =
18,18 dan 95% CI: 2,1–157,4) (Ubaidillah 2001); 2) pasien TB rawat inap yang
mengulang pengobatan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan
ORs = 1,3–2,5 (Belilovsky et al., 2010) dengan kejadian ketidakteraturan minum
obat 51,2%; 3) proporsi pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat
tertinggi pada pasien baru (66,6%) (Kandel et al., 2014).
2.3.2 Faktor Pelayanan Kesehatan
1. Akses ke pelayanan kesehatan
Seorang pasien TB harus mengikuti berobat ke palayanan kesehatan
minimal selama enam bulan. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menjalani
delapan bulan pengobatan menyebabkan pasien cenderung tidak teratur minum
obat (Ibrahim et al., 2014). Ketersediaan dan akses menjadi hal yang
mempengaruhi seorang pasien TB untuk berobat dalam jangka waktu yang cukup
lama. Beberapa penelitian terkait jarak dan ketersediaan sarana transportasi
terhadap ketidakteraturan minum obat telah dilakukan.
24
Penelitian mengenai jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan
yaitu: 1) Jarak tempat tinggal pasien > 5 km (AOR=11,3 95% CI: 5,7-22,2)
membatasi akses pasien TB ke layanan kesehatan terutama saat menjalani
pengobatan TB fase intensif sehingga pasien harus mengeluarkan biaya perjalanan
(Ibrahim et al., 2014); 2) jarak berhubungan dengan keteraturan minum obat
dengan OR=3,26 (95% CI:1,8-5,89 dan p=0,00001) (Senewe, 2002); 3) Jarak
berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pada penelitian yang dilakukan
oleh Raharno (2005) di Kabupaten Pekalongan.
Selain jarak, ketersediaan sarana transportasi juga diteliti sebagai salah
satu faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat dengan OR=3,12
(95%CI;1,19-8,14 dan p=0,015) (Senewe, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh
Raharno (2005) juga menemukan bahwa transportasi berpengaruh secara
signifikan terhadap ketidakteraturan berobat pasien TB.
2. Status tempat berobat
Pengobatan TB tergolong pengobatan dengan jangka panjang dimana
pengambilan obat yang teratur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengobatan TB. Sarana dan jenis fasilitas kesehatan tempat pasien
berobat juga berperan dalam mencegah ketidakteraturan minum obat. Pengobatan
TB di Denpasar kini dapat diperoleh di puskesmas, rumah sakit, klinik, maupun di
dokter praktik swasta. Puskesmas di Kota Denpasar berdasarkan penggolangan
dalam program TB dibedakan menjadi dua jenis.
a. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) merupakan puskesmas yang
memiliki laboratorium yang bertugas membuat sediaan, pewarnaan, serta
25
pemeriksaan dahak. Selain itu puskesmas ini juga menerima rujukan dan
melaksanakan bimbingan kepada puskesmas satelit. Setiap PRM
diharuskan untuk mengikuti uji silang secara berkala di laboratorium
rujukan uji silang di wilayahnya dengan tujuan menjaga mutu eksternal.
b. Puskesmas Satelit (PS) merupakan puskesmas yang memiliki laboratorium
dengan kapasitas pengumpulan dahak, pembuatan sediaan, dan fiksasi
yang kemudian dikirim ke PRM.
Belum banyak penelitian tentang perbedaan ketidakteraturan minum obat
pasien TB pada kedua jenis puskesmas tersebut namun beberapa hasil terkait
fasilitas pelayanan kesehatan dalam penelitian mendapatkan hasil yang bervariasi
yaitu: 1) 184 (56,27%) ketidakteraturan minum obat terjadi dari pasien yang
resepnya bersumber dari praktisi swasta (Gupta et al., 2011); 2) 121 (47,5%)
ketidakteraturan pasien TB berobat terjadi di puskemas pada penelitian di sebuah
distrik di Afrika Selatan (Kandel et al., 2014); 3) 34,25% ketidakteraturan minum
obat terjadi pada pengobatan dengan DOTS (Gupta et al., 2011).
3. Kualitas obat
Kualitas obat TB yang meningkat menyebabkan gejala umum TB akan
menghilang hanya dalam beberapa minggu pengobatan sehingga pasien yang
memiliki pengetahuan yang kurang akan durasi pengobatan TB cenderung
mengalami ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et al., 2014). Mutu obat TB
ditemukan signifikan berhubungan dengan keteraturan minum obat dengan OR=2
(95% CI:1,02-3,9 dan p=0,039) (Senewe, 2002).
26
4. Petugas kesehatan
Aspek petugas kesehatan juga berperan dalam keberhasilan pasien minum
obat TB secara teratur. Baik dari segi kemampuan maupun sikap petugas terhadap
pasien. Pengobatan TB melibatkan interaksi antara pasien dan petugas kesehatan
sehingga sikap petugas kesehatan kepada pasien menjadi salah satu faktor penentu
keberhasilan ataupun kegagalan pengobatan TB (Ibrahim et al., 2014). Petugas
kesehatan yang melayani pasien dengan tidak ramah dan tidak bersahabat
berpotensi menimbulkan ketidakteraturan minum obat pada pasien sebaliknya
pasien yang dirawat dengan penuh cinta dan empati dari petugas kesehatan akan
memberikan keyakinan pada pasien untuk patuh dan setia mengikuti pengobatan
(Ibrahim et al., 2014).
2.3.3 Perilaku berisiko
1. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan menjadi salah satu kebiasaan yang dapat
merusak kesehatan. Hal serupa juga ditemukan pada pasien TB yang tidak teratur
minum obat TB. Konsumsi alkohol dapat menekan respon imun selain itu orang
yang mengonsumsi alkohol seringkali lupa akan janji mereka untuk berobat ke
rumah sakit (Ibrahim et al., 2014). Beberapa penelitian menemukan hasil yaitu: 1)
49,25% pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat memiliki riwayat
konsumsi alkohol (Gupta et al., 2011); 2) Pasien TB rawat inap yang memiliki
kebiasaan buruk terkait alkohol yang ditemukan berhubungan signifikan dengan
ketikdakteraturan pengobatan (ORs=1,8-4,0) (Belilovsky et al., 2010).
27
2. Merokok
Merokok menjadi kebiasaan buruk yang berdampak terhadap orang yang
merokok dan orang disekitarnya. Merokok dapat merusak paru dan menurunkan
imun adaptif tubuh terhadap pengobatan TB hanya saja mekanisme tersebut
belum diketahui meskipun penelitian di Turki dan Rusia menemukan hubungan
signifikan antara merokok dan dengan ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et
al., 2014). Sebuah penelitian di India menemukan 57,71% pasien yang mengalami
ketidakteraturan minum obat merupakan perokok (Gupta et al., 2011). Pada
penelitian oleh Ibrahim et al., (2014) ditemukan hubungan bermakna antara
kebiasaan merokok dengan ketidakteraturan minum obat (AOR=3,4 dan 95% CI:
1,5-8,0).
2.3.4 Kondisi Klinis Pasien
1. Jenis infeksi tuberkulosis (TB)
Pada program TB, klasifikasi penyakit TB dibedakan menjadi dua yaitu
TB paru dan TB ekstra paru yang disesuaikan dengan organ tubuh yang terserang
kuman TB. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB yaitu: 1) TB
paru didefinisikan sebagai tuberkulosis yang menginfeksi jaringan (parenkim)
paru tidak termasuk selaput paru dan kelenjar pada hilus; 2) TB ekstra paru
didefinisikan sebagai TB yang menginfeksi organ tubuh selain paru seperti selaput
otak, pleura, kelenjar lymfe, selaput jantung, persendian, kulit, tulang, usus,
saluran kencing, dan lain-lain. Khusus untuk pasien dengan kedua infeksi di atas
maka secara pencatatan akan diklasifikasikan sebagai TB paru.
28
Tidak banyak penelitian mengenai hubungan antara jenis infeksi TB
terhadap ketidakteraturan minum obat namun penelitian yang pernah dilakukan
memperoleh hasil yaitu: 1) penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim et al (2014)
menemukan kejadian ketidakteraturan pada pasien TB paru sebesar 71 (19%); 2)
Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat TB pada pasien TB paru
lebih besar yaitu 33%; 3) tidak ada perbedaan kepatuhan minum obat TB
berdasarkan klasifikasi infeksi TB (p=0,16) (Kayigamba et al., 2013); 4) jenis
infeksi TB paru pada analisis bivariat ditemukan sebagai faktor risiko
ketidakteraturan minum obat dengan ORs=2,8-5,1 namun tidak terbukti dalam
analisis multivariat (Belilovsky et al., 2010).
2. Hasil Pemeriksaan Dahak
Hasil pemeriksaan dahak sebelum pasien memutuskan untuk mengikuti
pengobatan penting untuk mengetahui tingkat potensi penularan TB oleh pasien
tersebut dan menggolongkan jenis infeksi TB yang diperiksa. Pasien BTA positif
yang tidak teratur atau gagal dalam menjalani pengobatannya berpotensi untuk
menimbulkan resistensi obat dan berisiko tinggi menularkan hal tersebut ke orang
lain. Definisi tentang klasifikasi pasien TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
awal secara program TB yaitu.
a. TB paru BTA positif dinyatakan apabila memenuhi kriteria yaitu; 1)
minimal dua dari tiga spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS)
menunjukkan hasil BTA positif; 2) satu spesimen dahak SPS
menunjukkan hasil BTA positif dengan foto toraks dada disertai gambaran
tuberkulosis; 3) satu spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA positif
29
yang disertai biakan kuman positif; 4) satu atau lebih spesimen dahak SPS
menunjukkan hasil positif setelah tiga spesimen pada pemeriksaan BTA
sebelumnya menunjukkan hasil negatif tanpa ada perbaikan setelah
diberikan antibiotik non-OAT.
b. TB paru BTA negatif dinyatakan apabila kasus tidak memenuhi kriteria
TB paru BTA positif namun memenuhi kriteria berikut: 1) paling tidak
tiga spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA negatif; 2) foto toraks
abnormal dengan menunjukkan gambaran tuberkulosis; 3) bagi pasien
dengan HIV negatif tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian
antibiotik non-OAT; 4) dipertimbangkan oleh dokter untuk diberikan
pengobatan.
Tidak banyak penelitian tentang hubungan antara hasil pemeriksaan dahak
terhadap ketidakteraturan pengobatan. Namun penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad dan Velhal (2014) menunjukkan ketidakteraturan minum obat TB pada
pasien TB baru BTA positif sebesar 71% (199 kasus).
3. Jenis Rejimen Obat
Pengobatan TB dilakukan dengan pemberian obat sedemikian rupa pada
dosis dan waktu tertentu untuk dapat mencapai tujuan pengobatan. Sampai saat ini
lebih dari dua puluh jenis obat digunakan untuk pengobatan TB yang hampir
semuanya dikembangkan beberapa tahun lalu (TB Facts.org, 2014). Obat TB
digunakan dengan dalam berbagai kombinasi dalam berbagai kondisi berbeda. Hal
ini terlihat dari kombinasi obat yang digunakan pada pasien TB baru yang besar
kemungkinan tidak memiliki resistensi terhadap obat TB. Kombinasi-kombinasi
30
dari obat TB yang digunakan dalam pengobatan disebut dengan rejimen atau
panduan OAT.
Secara umum panduan OAT dibedakan menjadi dua yaitu kategori 1 dan
kategori 2. Rejimen kategori 1 diberikan kepada pasien dengan kriteria yaitu: 1)
pasien baru TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif; 2) pasien TB paru BTA
negatif foro toraks positif; 3) pasien TB ekstrak paru; dan 4) pasien dengan
pengobatan TB kurang dari 1 bulan. Lima obat dasar yang digunakan pada
kategori 1 yaitu izoniasid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, dan
streptomycin. Sedangkan rejimen kategori 2 diberikan kepada pasien yang
merupakan kasus kambuh, pasien gagal pada pengobatan sebelumnya, dan pasien
dengan status pengobatan default (putus obat). Jenis obat yang digunakan pada
kategori 2 sama degan kategori 1, hanya saja terdapat perbedaan pada kombinasi
dan dosis obat. Kombinasi dan dosis obat berdasarkan jenis rejimen dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.2
Kombinasi dan Dosis OAT KDT Berdasarkan Jenis Rejimen
Jenis
Rejimen
Berat Badan
(kg)
Tahap Intensif
RHZE(150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
RH (150/150)
1 2 3 4
Kategori 1 30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
>71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
31
Tabel 2.3
Kombinasi dan Dosis OAT Kombipak Berdasarkan Jenis Rejimen
Jenis
Rejimen/Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari/kali Jumlah
hari
menelan
obat
H
300mg
R
450mg
Z
500mg
E
250mg
E
400mg
S
injeksi
Kategori 1
- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - - 56 kali
- Lanjutan 4 bulan
2 1 - - - - 48 kali
Kategori 2
- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56 kali
1 bulan 1 1 3 3 - - 28 kali
- Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60 kali
Banyaknya jenis dan kombinasi obat TB yang digunakan menyebabkan
pengobatan TB lebih berat sebagai akibat efek samping dari masing-masing obat.
Berikut adalah efek samping OAT yang digunakan dalam pengobatan TB di
Indonesia beserta penatalaksanaannya.
1 2 3 4
Jenis
Rejimen
Berat Badan
(kg)
Tahap Intensif
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
RH (150/150)+E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari
Kategori 2 30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg
streptomisin injeksi
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT+2 tablet
etambutol
38-54 3 tablet 4KDT+750 mg
streptomisin injeksi
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT+3 tablet
etambutol
55-70 4 tablet 4KDT+1.000
mg streptomisin injeksi
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT+4 tablet
etambutol
>71 5 tablet 4KDT+ 1.000
mg streptomisin injeksi
5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT+5 tablet
etambutol
32
Tabel 2.4
Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya
Efek Samping Kategori Efek
Samping
Penyebab Penatalaksanaan
1. Tidak ada nafsu makan, mual, sakit
perut
Ringan Rifampicin Semua OAT diminum malam
hari sebelum tidur
2. Nyeri sendi Ringan Pyrazinamide Beri aspirin
3. Kesemutan sampai dengan rasa terbakar
pada kaki
Ringan Izoniasid Beli vitamin B6 (piridoxin) 100
mg per hari
4. Warna kemerahan
pada air seni (urin)
Ringan Rifampicin Tidak perlu diberi apa-apa namun perlu penjelasan kepada
pasien
5. Gatal dan kemerahan
pada kulit
Berat Semua jenis
OAT
Singkirkan kemungkinan lain dapat dilakukan dengan
pemberian anti histamine sambil
diberikan OAT dengan
pengawasan ketat. Apabila tidak hilang maka hentikan OAT dan
lakukan rujukan
6. Tuli Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti
dengan ethambutol
7. Gangguan
keseimbangan
Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti
dengan ethambutol
8. Ikterus tanpa
penyebab lain
Berat Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT sampai
ikterus hilang
9. Bingung dan muntah-muntah (permulaan
pada ikterus karena
obat)
Berat Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT dan segera
lakukan tes fungsi hati
10. Gangguan
pengelihatan
Berat Ethambutol Hentikan ethambutol
11. Purpura dan renjatan
(syok)
Berat Rifampicin Hentikan rifampicin
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Hanya sedikit penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara
jenis rejimen terhadap ketidakteraturan minum obat pasien TB namun beberapa
penelitian menemukan beberapa hal terkait dengan rejimen obat yang diberikan
terhadap ketidakteraturan.
33
Penelitian yang dilakukan oleh Raharno (2005) menunjukkan hubungan
antara efek samping obat terhadap ketidakteraturan minum obat. Beberapa
penelitian serupa mendapatkan hasil yaitu: 1) efek samping obat berpengaruh
terhadap ketidakteraturan minum obat TB dengan OR=6,105, 95% CI:1,503–
24,796, dan p = 0,011 (Simamoro, 2004); 2) 6,9% pasien mengutarakan efek
samping menjadi alasan ketidakteraturan minum obat TB (Kandel et al., 2014).
4. Status HIV
Status HIV sekarang menjadi perhatian pula pada program penanganan TB
secara nasional sehingga dibentuklah program kolaborasi TB-HIV. Adanya
penyakit HIV pada pasien TB akan memberikan beban yang semakin besar
terhadap efek samping dari kedua pengobatan yang diterima sehingga
menyebabkan pasien untuk tidak teratur dalam mengikuti pengobatan TB.
Beberapa penelitian menemukan hasil yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Sardar et al. (2010) memperoleh prevalensi ketidakpatuhan
berobat TB pada pasien TB-HIV sebesar 40,5% (95% CI:30,5–50,5). Penelitian
lain di Rwandan menemukan bahwa ada hubungan antara infeksi HIV dengan
buruknya kepatuhan pasien TB dalam berobat dengan OR = 1,7 namun hasil ini
tidak bermakna secara statistik (95% CI : 0,97–3,0 dan p=0,06) (Kayigamba et al.,
2013). Sedangkan pasien TB dengan HIV yang tidak dalam program ART
cenderung memiliki kepatuhan yang rendah dalam menjalankan pengobatan TB
(OR = 2,4 dan 95% CI: 1,2–4,6) (Kayigamba et al., 2013). Hal serupa juga
didapat pada penelitian oleh Connolly et al. (1999) di mana status HIV positif
berisiko 1,8 kali mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan status
34
HIV negatif dengan 95% CI: 1,4–2,4. Tidak adanya konseling pada pasien TB-
HIV menjadi salah satu faktor ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan TB
(AOR=47,12, 95% CI: 7,99–195,27) (Sardar et al., 2010). Ketidakpatuhan pasien
TB-HIV tersebut berpotensi menimbulkan ketidakteraturan pada pengobatan TB.
2.3.5 Hubungan Pasien dengan Pengawas Minum Obat (PMO)
Pengawas Minum Obat (PMO) adalah salah satu upaya dalam strategi
DOTS untuk menjamin keberhasilan seorang pasien mengikuti pengobatan TB.
PMO bertugas untuk mengawasi pasien TB menum obat sesuai dengan jadwal.
Adanya PMO seharusnya dapat memberikan dukungan bagi pasien TB untuk
menjalani pengobatan yang tegolong jangka panjang. Penelitian terkait PMO
dengan keberhasilan pengobatan TB ataupun ketidakteraturan minum obat.
Hubungan pasien dengan PMO menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan
dalam menentukan PMO. PMO yang dipilih dari anggota keluarga memiliki
beberapa keuntungan yaitu kondisi dekat dengan pasien sehingga dapat setiap saat
memantau pasien minum obat, tedapat ikatan emosional sehingga penderita
merasa mendapatkan perhatian dari keluarga, dan dapat dipercaya oleh pasien
(Hapsari, 2010).
Beberapa penelitian terkait PMO yang telah dilakukan yaitu: 1) 40,9%
pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat menyatakan bahwa PMO
mereka berasal dari keluarga atau kader desa; 2) penderita yang memiliki PMO
anggota keluarga merupakan faktor protektif dengan OR=0,34 namun tidak
terbukti secara statistik (p=0,13) (Ubaidillah, 2001); 3) penderita dengan PMO