Post on 05-Aug-2015
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Keperawatan Jiwa pada Geropsikiatrik
1. Pengertian
Geriatric psychiatry atau kedokteran jiwa usia lanjut (geropsikiatri) merupakan
bagian ilmu kedokteran jiwa yang mencurahkan perhatian kepada segala gangguan
jiwa yang terdapat pada orang yang sudah lanjut usia. Hal ini sangat penting karena
orang yang sudah lanjut usia merupakan individu dengan ciri serta masalahnya
tersendiri.
Keperawatan geriatrik adalah cabang keperawatan yang memperhatikan
pencegahan,diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis pada lanjut usia dan
dengan meningkatkan umur panjang. Pelayanan/ asuhan keperawatan gangguan
mental pada lanjut usia memerlukanpengetahuan khusus karena kemungkinan
perbedaan dalam manifestasi klinis, patogenesis, danpatofisiologi gangguan mental
antara dewasa muda dan lanjut usia.
WHO (1989) telah mencapai konsensus bahwa yang dimaksud dengan lanjut
usia (elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih. Menurut
Departemen Kesehatan RI, batasan lanjut usia adalah seseorang dengan usia 60-69
tahun. Sedangkan usia lebih dari 70 tahun dan lanjut usia berumur 60 tahun atau
lebih dengan masalah kesehatan seperti kecacatan akibat sakit disebut lanjut usia
resiko tinggi.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun
2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3
tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70
tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih
atau sekitar 9,77 % dari total penduduk. Diperkirakan pada akhir tahun 2030,
populasi penduduk lanjut usia keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun
2050 mencapai 82 juta.
2. Proses Penuaan
Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Walaupun proses penuaan
benar adanya dan merupakan sesuatu yang normal, tetapi pada kenyataannya proses
ini menjadi bebanbagi orang lain dibadingkan dengan proses lain yang terjadi.
Perawat yang akan merawat lansiaharus mengerti sesuatu tentang aspek penuaan
yang normal dan tidak normal.
a. Penuaan Primer :
Perubahan pada tingkat sel (dimana sel yang mempunyai inti DNA/RNA pada
prosespenuaan DNA tidak mampu membuat protein dan RNA tidak lagi mampu
mengambil oksigen, sehingga membran sel menjadi kisut dan akibat kurang
mampunya membuat protein maka akanterjadi penurunan imunologi dan mudah
terjadi infeksi.
b. Penuaan Skunder :
Proses penuaan akibat dari faktor lingkungan, fisik, psikis dan sosial.
Secara umum perubahan proses fisiologis proses menua adalah:terjadi dalam sel
seperti:
1) Perubahan Mikro
a) Berkurangnya cairan dalam sel
b) Berkurangnya besarnya sel
c) Bekurangnya jumlah sel
2) Perubahan Makro adalah perubahan yang jelas terlihat seperti :
a) Mengecilnya mandibula
b) Menipisnya discus intervertebralis
c) Erosi permukaan sendi-sendi
d) Osteoporosis
e) Atropi otot (otot semakin mengecil, bila besar berarti ditutupi oleh lemak
tetapi kemampuannya menurun)
f) Arterosklerosis
g) Manopause pada wanita
h) Kulit tidak elastic
i) Rambut memutih
3. Teori Penuaan
Gerontologis tidak setuju tentang adaptasi penuaan. Tidak ada satu teoripun dapat
memasukan semua variable yang menyebabkan penuaan dan respon individu
terhadap hal itu. Secara garis besar teori penuaan dibagi menjadi teori biologis, teori
psikologis, dan teorisosiokultural.
a. Teori Biologis
1) Biological Programming Theory
Teori program biologis merupakan suatu proses sepanjang kehidupan sel
yang terjadi sesuaidengan sel itu sendiri. Teori waktu kehiduan makhluk
memperlihatkan adanya kemunduran biologis, kognitif, dan fungsi
psikomotor yang tidak dapat dihindari dan diperbaiki, walaupunperubahan
diet atau hipotermi dalam waktu yang lama dapat menunda proses tersebut.
2) Wear and Tear Theory
Teori wear and tear ini menyatakan bahwa perubahan struktur dan fungsi
dapat dipercepatoleh perlakuan kejam dan diprlambat oleh perawatan.
Masalah-masalah yang berkaitan denganpenuaan merupakan hasil dari
akumulasi stres, trauma, luka, infeksi, nutrisi yang tidak adekuat, gangguan
metabolik dan imunologi, dan perlakuan kasar yang lama.Konsep penuaan
inimemperlihatkan penerimaan terhadap mitos dan stereotif penuaan.
3) Stress-Adaptasi Theory
Teori adaptasi stres ini menegaskan efek positif dan negatif dari stres pada
perkembanganbiopsikososial. Sebagai efek positif, stres menstimulasi
seseorang untuk melakukan sesuatu yangbaru, jalan adaptasi yang lebih
efektif. Efek negatif dari stres bisa menjadi ketidakmampuan fungsi karena
perasaan yang terlalu berlebihan. Stres sering di asumsikan dapat
mempercepatproses penuaan. Stres dapat mempengaruhi kemampuan
penerimaan seseorang, baik secarafisiologi, psikologis, sosial dan ekonomi.
Hal ini dapat berakibat sakit atau injuri.
b. Teori psikologis
1) Erikson’s Stage of Ego Integrity
Teori Erikson tentang perkembangan manusia mengidentifikasi tugas yang
harus dicapai pada setiap tahap kehidupan. Tugas terakhir, berhubungan
dengan refleksi tentang kehidupanseseorang dan pencapaiannya, ini
diidentifikasi sebagai integritas ego. Jika ini tidak tercapaimaka akan
mengakibatkan terjadinya gangguan.
2) Life Review Theory
Pada lansia, melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan proses yang
normal berkaitan dengan pendekatan terhadap kematian. Reintegrasi yang
sukses dapat memberikan arti dalam kehidupan dan mempersiapkan
seseorang untuk mati tanpa disertai dengan kecemasan danrasa takut. Hasil
diskusi terakhir tentang proses ini menemukan bahwa melihat kembali
kehidupan sebelumnya merupakan salah satu strategi untuk merawat masalah
kesehatan jiwa pada lansia.
3) Stability of Personality
Perubahan kepribadian secara radikal pada lansia dapat mengakibatkan
penyakit otak. Para peneliti menemukan bahwa periode krisis psikologis pada
saat dewasa tidak akan terjadi padainterval regular. Perubahan peran, perilaku
dan situasi membutuhkan respon tingkah laku yangbaru. Mayoritas lansia
pada studi ini memperlihatkan adaptasi yang efektif terhadap kebutuhanini
c. Teori Sosiokultural
1) Disengagement Theory
Postulat pada teori ini menyatakan bahwa lansia dan penarikan diri dari
lingkungan sosialmerupakan bagian dari proses penuaan yang normal.
Terdapat stereotype yang kuat dari teori initermasuk ide bahwa lansia merasa
nyaman bila berhubungan dengan orang lain seusianya.
2) Activity Theory
Teori aktivitas berpendapat bahwa penuaan harus disertai dengan keaktifan
beraktifitas sebisa mungkin. Teori ini memperlihatkan efek positif dari
aktivitas terhadap kepribadian lansia, kesehatan jiwa, dan kepuasan dalam
hidup.
3) The Family in Later Life
Teori keluarga berfokus pada keluarga sebagai unti dasar perkembangan
emosi seseorang. Teori ini berpendapat bahwa pusat proses siklus kehidupan
adalah perubahan sistem hubungandengan orang lain untuk medukung fungsi
masuk, keluar dan perkembangan anggota keluarga. Gejala fisik, emosi, dan
sosial dipercaya merupakan repleksi dari masalah negosiasi dan transisi pada
siklus kehidupan keluarga.
4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia
Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi
kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
a. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi
fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga
berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin
rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa
lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat
menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial,
yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada
orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang
sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi
psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk
mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus
mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat
dan bekerja secara seimbang.
b. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti :
1) Gangguan jantung
2) Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
3) Vaginitis
4) Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
5) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan
sangat kurang
6) Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,
tranquilizer, serta
7) Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia
b) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya
c) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
d) Pasangan hidup telah meninggal
e) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan
jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
c. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti
gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang
cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personality), biasanya tipe ini
tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.\
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personality), pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi
jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personality), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain
atau cenderung membuat susah dirinya.
d. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari
tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun
lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada
point tiga di atas.
e. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan.
Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas,
selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku
regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang
tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain
sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang
memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara
bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau
sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak
punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan
sendiri, seringkali menjadi terlantar.
Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan
dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation yang tetap
memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi
kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti
Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai
seorang lansia.
5. Jenis Gangguan Jiwa pada Lanjut Usia
Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola perilaku, atau psikologik seseorang,
yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau
lebih fungsi yang penting dari manusia.
a. Gangguan Demensia
Demensia, suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif dan ireversibel,
meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia. Dari orang Amerika yang
berusia lebih dari 65 tahun, kira-kira 5 persen mengalami demensia parah, dan 15
persen mengalami demensia ringan. Dari orang Amerika yang berusia lebih dari
80 tahun, kira-kira 20 persennya menderita demensia parah.
Berbeda dengan retardasi mental, gangguan intelektual pada demensia terjadi
dengan berjalannya waktu yaitu fungsi mental yang sebelumnya telah tercapai
secara bertahap akan hilang. Perubahan karakteristik dari demensia melibatkan
fungsi kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, tetapi gangguan
perilaku adalah sering. Gangguan perilaku adalah berupa agitasi, kegelisahan,
berkelana, penyerangan, kekerasan, berteriak, disinhibisi social dan seksual,
impulsivitas, gangguan tidur dan waham. Waham dan demensia terjadi selama
perjalanan demensia pada hampir 75 % dari semua pasien.
Walaupun demensia yang berhubungan dengan lanjut usia biasanya disebabkan
oleh penyakit degenerative primer sistem saraf pusat dan penyakit vascular,
banyak faktor berperan dalam gangguan kognitif, pada lanjut usia, penyebab
campuran dari demensia sering ditemukan.
Demensia telah diklasifikasikan sebagai kortikal dan subkortikal, tergantung pada
letak lesi serebral. Suatu demensia subkortikal adalah ditemukan pada penyakit
Huntington, penyakit Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, demensia multi-
infark, dan penyakit Wilson. Demensia subkortikal adalah disertai dengan
gangguan pergerakan, apraksia gaya berjalan, retardasi psikomotor, apati dan
mutisme akinetik yang dapat dikacaukan dengan katatonia. Demensia kortikal
adalah ditemukan pada demensia tipe Alzheimer dan penyakit Pick, yang sering
menunjukkan afasia, agnosia, dan apraksia. Dalam praktek klinis, dua jenis
demensia ini tumpang tindih, dan diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan
otopsi.
b. Demensia tipe Alzheimer
Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen-nya memiliki
demensia tipe Alzheimer, yang merupakan tipe demensia tersering. Prevalensi
demensia tipe Alzheimer adalah lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Demensia tipe Alzheimer ditandai oleh penurunan fungsi kognitif dengan onset
yang bertahap dan progresif. Daya ingat mengalami gangguan dan sekurangnya
ditemukan satu seperti afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif.
Urutan umum defisit adalah daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial. Awalnya,
pasien mungkin memiliki suatu ketidakmampuan mempelajari dan mengingat
informasi baru, selanjutnya gangguan penamaan, selanjutnya ketidakmampuan
untuk mencontoh gambar.
Penyebab penyakit Alzheimer adalah tidak diketahui, walaupun pemeriksaan
neuropatologi dan biokimiawi postmortem telah menemukan kehilangan selektif
neuron kolinergik. Temuan anatomik makroskopis adalah penurunan volume
girus pada lobus frontalis dan temporalis, dengan relatif terjaganya korteks
motorik dan sensorik primer.
Demensia tipe Alzheimer tidak memiliki pencegahan atau penyembuhan yang
tidak diketahui. Terapi adalah paliatif, terdiri dari nutrisi yang tepat, latihan dan
pengawasan aktifitas sehari-hari. Medikasi mungkin berguna dalam menangani
agitasi dan gangguan perilaku. Propanolol, pindolol, buspirone dan valproate
semuanya telah dilaporkan membantu menurunkan agitasi dan agresi.
Haloperidol berguna untuk mengendalikan gangguan perilaku akut.
c. Gangguan Depresif
Gejala depresif ditemukan pada kira-kira 25 persen dari semua penduduk
komunitas lanjut usia dan pasien rumah perawatan. Tanda dan gejala yang sering
dari gangguan depresif adalah penurunan energi dan konsentrasi, gangguan tidur
(terutama terbangun dini hari dan sering terbangun di malam hari), penurunan
nafsu makan, penurunan berat badan, dan keluhan somatik. Gejala yang tampak
mungkin berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, pada pasien lanjut
usia terdapat peningkatan pada keluhan somatik.
Lanjut usia rentan terhadap episode depresif berat dengan ciri melankolik,
ditandai oleh depresi, hipokondriasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak
berharga, dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri, dengan ide paranoid dan
bunuh diri. Hampir 75 persen dari semua korban bunuh diri menderita depresi
dan penyalahgunaan alkohol. Resiko bunuh diri yang tinggi bila diapatkan
perasaan kesepian, tidak berguna, tidak berdaya, putus asa terutama bila hidup
sendirian, kematian pasangan yang belum lama terjadi dan nyeri somatik.
Pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi, kadang terdapat gangguan
kognitif yang dinamakan sindroma pseudodemensia. Sindrom ini harus
dibedakan dengan demensia yang sebenarnya. Pada pseudodemensia, ada defisit
konsentrasi dan atensi dan jarang disertai dengan gangguan berbahasa. Depresi
juga kemungkinan berhubungan dengan penyakit fisik yang dialami dan medikasi
yang digunakan untuk mengobati penyakit tersebut.
d. Gangguan Bipolar I
Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan, walaupun
prevalensi seumur hidup sebesar 1 persen adalah stabil sepanjang hidup.
Kerentanan akan rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan
bipolar I mungkin datang dengan periode manik di kemudian hari.
Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan gejala
pada orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi, ekspansif,
atau mudah tersinggung; penurunan kebutuhan akan tidur; distraktibilitas;
impulsivitas; dan, sering kali, asupan alkohol yang berlebihan. Perilaku
bermusuhan atau paranoid biasanya ditemukan. Adanya gangguan kognitif,
disorientasi, atau tingkat kesadaran yang berfluktuasi harus menyebabkan klinisi
curiga akan penyebab organik.
Lithium tetap merupakan terapi terpilih untuk mania; tetapi, pemakaiannya pada
pasien lanjut usia harus dimonitor dengan cermat, karena penurunan klirens pada
lanjut usia menyebabkan toksisitas lithium adalah resiko yang bermakna. Efek
neurotoksik juga lebih sering pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa yang
lebih muda.
e. Skizofrenia
Skizofrenia biasanya mulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa muda dan
menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia onset lambat
dibandingkan laki-laki. Prevalensi skizofrenia paranoid tinggi pada tipe onset
lambat.
Kira-kira 20 persen orang skizofrenia tidak menunjukkan gejala aktif pada usia
65 tahun, 80 persen menunjukkan gangguan dengan berbagai tingkatan.
Psikopatologi menjadi kurang jelas saat pasien bertambah tua. Skizofrenia tipe
residual terjadi pada kira-kira 30 persen. Pasien yang tidak mampu merawat
dirinya sendiri, dianjurkan dirawat di rumah sakit dalam waktu jangka panjang.
Orang lanjut usia dengan skizofrenik adalah berespon baik terhadap obat
antipsikotik. Medikasi harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah
dari biasanya sering efektif pada lanjut usia.
f. Gangguan Delusional
Usia onset gangguan delusional biasanya antara usia 40 dan 55 tahun; tetapi,
gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode geriatrik. Gangguan
delusional terjadi dibawah stress fisik dan psikologis pada orang yang rentan dan
mungkin dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan, pensiun,
isolasi sosial, keadaan finansial yang tidak baik, penyakit medis atau pembedahan
yang menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan, dan ketulian.
Waham yang tersering adalah waham kejar dan gangguan delusional dengan
onset lambat yang ditandai dengan waham kejar, disebut parafrenia. Gangguan
ini timbul selama beberapa tahun dan tidak disertai dengan demensia. Pasien
dengan riwayat keluarga skizofrenia menunjukkan peningkatan parafrenia. Tidak
jarang, waham somatik juga dapat ditemukan. Sindroma delusional mungkin juga
diakibatkan oleh medikasi atau merupakan tanda awal tumor otak.
Prognosis cukup baik pada sebagian besar kasus, dengan hasil terbaik dicapai
melalui kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi.
g. Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan berupa gangguan panic, fobia, gangguan obsesif
kompulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, dan gangguan
stress pascatraumatik. Menurut ECA, gangguan paling sering adalah fobia
sebanyak 4 persen dan gangguan panik sebanyak 1 persen. Onset awal gangguan
panik adalah jarang tetapi dapat terjadi.
Orang lanjut usia telah harus menyiapkan diri menghadapi kematian dan
kecemasan dapat timbul akibat pikiran mengenai kematian, bukan dengan
ketenangan hati dan rasa integritas menurut Erik Erikson. Tanda dan gejala fobia
pada lanjut usia kurang parah dibandingkan pada orang yang lebih muda tetapi
efeknya sama. Gangguan pascatraumatik sering lebih parah pada lanjut usia
dibandingkan pada orang muda karena adanya kecacatan fisik yang menyertai
pada lanjut usia.
h. Gangguan Somatoform
Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang menyerupai penyakit
medis, adalah relevan dengan psikiatri geriatrik karena keluhan somatic sering
ditemukan pada lanjut usia.
Hipokondriasis sering ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun, walaupun
insiden puncak adalah pada kelompok usia 40 sampai 50 tahun. Gangguan
biasanya kronis dan pemeriksaan fisik ulang berguna untuk menenteramkan
pasien bahwa mereka tidak memiliki penyakit yang mematikan. Tetapi prosedur
invasif yang memiliki resiko tinggi, harus dihindari.
i. Gangguan Tidur
Fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang usia
lanjut adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang hari
dan pemakaian obat hipnotik.
Disamping perubahan fisiologis dan sistem regulasi, penyebab gangguan tidur
pada lanjut usia adalah gangguan tidur primer, gangguan mental lain, kondisi
medis umum, dan faktor sosial dan lingkungan. Di anatara gangguan tidur primer,
disomnia adalah yang paling sering, terutama insomnia primer, mioklonus
nocturnal, sindroma kaki gelisah (restless leg syndrome) dan apnea tidur. Kondisi
yang sering menggangu tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia, sesak nafas,
dan nyeri perut.
Alkohol dengan jumlah yang kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur,
yang menyebabkan fragmentasi tidur dan terbangun di dini hari. Alkohol juga
dapat mencetuskan atau memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak pasien lanjut
usia menggunakan alkohol, hipnotik, dan depresan sistem saraf pusat lain unutk
membantu mereka tertidur. Tetapi, data menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien lanjut usia lebih banyak mengalami terbangun dini hari dibandingkan
gangguan dalam tertidur.
Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur gerakan mata cepat
(rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode
REM, penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur
gerakan mata lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan
amplitude gelombang delta. Di samping pada lanjut usia juga mengalami
bertambahnya terjaga setelah onset tidur.
j. Post power Syndrome
Adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup Dallam bayang-bayang
kebesaran masa lalunya (kariernya, kecantikannya, ketampanannya,
kecerdasannya, atau hal lain) dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang
ada saat ini. Seperti yang terjadi pada kebanyakan orang pada usia mendekati
pension. Selalu ingin mengungkapkan betapa begitu bangga akan masa lalunya
dengan jerih payah yang luar biasa.
Ada banyak factor yang menyebabkan terjadinya post power syndrome. Pension
dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang mendapatkan
pension dini tidak bisa menerimaa keadaan banhwa tenaganya sudah tidak
dipakai lagi; walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi konstribusi yang
siknifikan kepada perusahaan, post power sindrom akan dengan mudah
menyerang.
Kejadian traumatic juga menjadi salah satu penyebab terjadinya post power
syndrome. Misalnya, kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari yang
menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima
keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post power syndrome.
Post power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut
usia dan pension dari pekerjaannya.beberapa kasus post power syndrome yang
berat diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berfikir rasional dalam jangka
waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introfert.
6. Pemeriksaan pada keperawatan jiwa lansia
a. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan mengingat banyaknya perubahan
fisiologis yang terjadi pada proses penuaan. Pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis dan mendeteksi kondisi yang
dapat diobati. Tomografi komputer, pencitraan resonansi magnetik, atau
pemeriksaan penunjang lainnya dapat diindikasikan bilamana ditemukan
perubahan status mental yang belum jelas. Termasuk medikasi yang saat ini
sedang digunakan untuk mengatasi penyakit fisiknya, untuk mengetahui apakah
ada efek samping psikiatriknya.
b. Pemeriksaan status mental
Pada pasien lanjut usia, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan status mental
berulang-ulang karena adanya perubahan yang berfluktuasi dalam status mental
pasien. Riwayat longitudinal dari pasien atau keluarga penting nilainya.
1) Deskripsi Umum
Termasuk di dalam bagian ini adalah penampilan pasien, aktivitas
psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktivitas bicara. Gangguan
motorik seperti gaya berjalan yang menyeret, postur bungkuk, gerakan jari
memilin pil, tremor harus dicatat. Gerakan involunter pada mulut atau lidah
mungkin merupakan efek samping fenotiazine.
Wajah seperti topeng pada penyakit Parkinson. Air mata atau menangis dapat
ditemukan pada gangguan depresif dan gangguan kognitif, terutama jika
pasien merasa frustasi tidak bisa menjawab pertanyaan pemeriksa.
2) Penilaian fungsi
Tanyakan mengenai kemampuan mereka mempertahankan kemandirian dan
melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yaitu toilet, menyiapkan
makanan, berpakaian, berdandan.
3) Alam perasaan
Gangguan pada keadaan mood, terutama adalah depresi dan kecemasan dapat
mengganggu fungsi daya ingat. Tanyakan mengenai pikiran bunuh diri, apakah
pasien merasa tidak lagi berharga, merasa lebih baik mati dan jika mati, tidak
membebani orang lain lagi. Suatu mood yang meluas atau euforik mungkin
menyatakan suatu episode manik atau mungkin merupakan bagian dari
gangguan demensia. Afek yang datar, tumpul, terbatas, dangkal atau tidak
sesuai, dapat merujuk ke gangguan depresif, skizofrenia atau disfungsi otak.
4) Gangguan persepsi
Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia mungkin merupakan fenomena transien
yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus
mencatat dengan teliti kelainan yang terjadi apakah berhubungan dengan suatu
kondisi organik. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak dan patologi
lokal.
5) Kemampuan berbahasa
Mencakup afasia, yang merupakan gangguan pengeluaran bahasa yang
berhubungan dengan lesi organik otak. Pada afasia Broca, pengertian pasien
tetap utuh tetapi kemampuan untuk berbicara terganggu, salah diucapkan. Pada
afasia Wernicke, pasien diminta menunjukkan beberapa benda sederhana yang
umum (kunci, pensil, tombol lampu). Pasien mungkin tidak dapat
menunjukkan kegunaan benda sederhana tersebut (apraksia ideomotorik).
6) Fungsi visuospasial
Suatu penurunan kapasitas fungsi visuospasial adalah normal dengan
bertambahnya usia. Pemeriksaan neuropsikologi harus dilakukan jika fungsi
visuospasial sangat terganggu.
7) Alam pikiran
Hilangnya kemampuan untuk berpikir abstrak merupakan tanda awal dari
demensia. Isi pikiran harus diperiksa mengenai fobia, obsesi, preokupasi
somatik dan kompulsi. Gagasan bunuh diri pun harus diperiksa dengan teliti.
8) Sensorium dan kognisi
Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indera tertentu dan kognisi
mempermasalah proses informasi dan intelektual.
9) Pertimbangan
Adalah kapasitas umtuk bertindak sesuai dalam berbagai situasi. Sebagai
contoh, apakah yang akan pasien lakukan bila menemukan sebuah amplop di
jalan dengan perangko dan alamat sudah tertulis? Apa yang akan dilakukan
bila mencium bau asap di dalam bioskop? Dapatkah pasien membedakan?
c. Pemeriksaan Neuropsiklogi
Mini Mental State Examination (MMSE) adalah tes fungsi kognitif yang paling
sering digunakan. Menilai orientasi, atensi, berhitung, daya ingat segera dan
jangka pendek, bahasa dan kemampuan untuk mengikuti perintah sederhana.
MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana, perjalanan penyakit
dan untuk monitor respon pasien terhadap terapi. Tes ini tidak digunakan untuk
membuat suatu diagnosis resmi.
Weschler Adult Intelligence Scale – Revised (WAIS-R) dapat memeriksa
kemampuan intelektual yang memberikan skor verbal, skor intelegensia (IQ) dan
kinerja. Bagian kinerja dari WAIS-R adalah indikator yang lebih peka dari
kerusakan otak dibandingkan bagian verbalnya.
Geriatric Depression Scale adalah instrumen penyaring yang berguna untuk
memeriksaan depresi pada pasien lanjut usia, walaupun tanpa adanya demensia,
sering mengganggu kinerja psikomotorik.
Langkah lain yang dapat diambil guna mendukung program deteksi dini
gangguan jiwa di pusat layanan primer ini adalah dengan melakukan edukasi
kepada masyarakat. Penting bagi masyarakat untuk lebih mengenal tanda-tanda
awal dari gangguan jiwa dan tingkah laku. Dengan demikian masyarakat, dalam
lingkup yang lebih kecil, keluarga atau bahkan pasien sendiri dapat mencari
pertolongan kesehatan sedari dini.
Edukasi yang dapat diberikan misalnya dengan memperkenalkan tanda dari
masalah psikososial seperti rasa cemas, khawatir yang berlebihan, ketakutan,
mudah tersinggung, sulit konsentrasi, bersifat ragu-ragu/merasa rendah diri,
kecewa, pemarah dan agresif, adanya reaksi fisik: jantung berdebar, otot tegang,
sakit kepala, atau adanya masalah gangguan jiwa, misalnya marah tanpa sebab,
mengurung diri, tidak mengenali orang, bicara kacau, bicara sendiri, tidak mampu
merawat diri, berusaha bunuh diri, dll. Apabila ditemukan tanda-tanda seperti
yang telah disebutkan sebelumnya pasien dianjurkan untuk segera dibawa ke
Puskesmas.
B. Asuhan Keperawatan Jiwa pada Geropsikiatrik
1. Pengkajian Pasien Lansia
Pengkajian pasien lansia menyangkut beberapa aspek yaitu biologis, psikologis, dan
sosiokultural yang beruhubungan dengan proses penuaan yang terkadang membuat
kesulitan dalam mengidentifikasi masalah keperawatan. Pengkajian perawatan total
dapat mengidentifikasi gangguan primer. Diagnosa keperawatan didasarkan pada
hasil observasi pada perilaku pasien dan berhubungan dengan kebutuhan.
a. Wawancara
Hubungan yang penuh dengan dukungan dan rasa percaya sangat penting untuk
wawancara yang positif kepada pasien lansia. Lansia mungkin merasa kesulitan,
merasa terancam dan bingung di tempat yang baru atau dengan tekanan.
Lingkungan yang nyaman akan membantu pasien tenang dan focus terhadap
pembicaraan.
b. Keterampilan Komunikasi Terapeutik
Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan
tujuan dan lama wawancara. Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk
menjawab, berkaitan dengan pemunduran kemampuan untuk merespon verbal.
Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang
sosiokulturalnya. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia
kesulitan dalam berfikir abstrak. Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan
perhatian dengan memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara
langsung, duduk dan menyentuk pasien.
Melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan sumber data yang baik untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan sumber dukungan. Perawat harus
cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian pasien dan distress yang
ada. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan atau protocol
wawancara pengkajian. Hal ini dapat meningkatkan kecemasan dan stres pasien
karena kekurangan informasi. Perawat harus memperhatikan respon pasien
dengan mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi.
c. Setting wawancara
Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas dan takut.
Lingkungan harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat senyaman mungkin.
Lingkuangan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang sensitif
terhadap suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan.
Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian harus dievaluasi dengan cermat.
Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada keluarga pasien atau
orang lain yang sangat mengenal pasien. Perawat harus memperhatikan kondisi
fisik pasien pada waktu wawancara dan faktor lain yang dapat mempengaruhi
status, seperti pengobatan media, nutrisi atau tingkat cemas.
d. Fungsi Kognitif
Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa lansia karena
beberapa hal termasuk :
1) Peningkatan prevalensi demensia dengan usia.
2) Adanya gejala klinik confusion dan depresi.
3) Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion.
4) Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan keterbatasan
kognitif .
e. Status Afektif
Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting. Kebutuhan
termasuk skala depresi. Seseorang yang sedang sakit, khususnya pada leher,
kepala, punggung atau perut dengan sejarah penyebab fisik. Gejala lain pada
lansia termasuk kehilangan berat badan, paranoia, kelelahan, distress
gastrointestinal dan menolak untuk makan atau minum dengan konsekuensi
perawatan selama kehidupan.
Sakit fisik dapat menyebabkan depresi sekunder. Beberapa penyakit yang
berhubungan dengan depresi diantaranya gangguan tiroid, kanker, khususnya
kanker lambung, pancreas, dan otak, penyakit Parkinson, dan stroke. Beberapa
pengobatan dapat meningkatkan angka kejadian depresi, termasuk steroid,
Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive. Skala Depresi Lansia
merupakan ukuran yang sangat reliable dan valid untuk mengukur depresi.
f. Respon Perilaku
Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam perencanaan
keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku merupakan gejala pertama dalam
beberapa gangguan fisik dan mental. Jika mungkin, pengkajian harus dilengkapi
dengan kondisi lingkungan rumah. Hal ini menjadi modal pada faktor lingkungan
yang dapat mengurangi kecemasan pada lansia.
Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah laku,
frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers. Ketika terjadi perubahan
perilaku, ini sangat penting untuk dianalisis.
g. Kemampuan fungsional
Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator dalam
kesehatan jiwa. Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam pengkajian
fungsional yang memiliki dampak kuat pada status jiwa dan emosi.
h. Mobilisasi
Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi kesehatan pribadi lansia.
Hal yang harus dikaji adalah kemampuan lansia untuk berpindah di lingkungan,
partisipasi dalam aktifitas penting, dan mamalihara hubungan dengan orang lain.
Dalam mengkaji ambulasi , perawat harus mengidentifikasi adanya kehilangan
fungsi motorik, adaptasi yang dilakukan, serta jumlah dan tipe pertolongan yang
dibutuhkan.
i. Activities of Daily Living
Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat penting dalam
menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL ( mandi, berpakaian, makan,
hubungan seksual, dan aktifitas toilet) merupakan tugas dasar. Hal ini sangat
penting dalam untuk membantu pasien untuk mandiri sebagaimana penampilan
pasien dalam menjalankan ADL.
j. The Katz Indeks
Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen untuk setiap
ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat , dan makan. Salah
satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk mengukur perubahan
fungsi ADL setiap waktu, yang diakhiri evaluasi dan aktivitas rehabilisasi.
k. Fungsi Fisiologis
Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia karena interaksi dari
beberapa kondisi kronis, adanya deficit sensori, dan frekuensi tingkah laku dalam
masalah kesehatan jiwa. Prosedur diagnostic yang dilakukan diantaranya EEG,
lumbal; funksi, nilai kimia darah, CT Scan dan MRI. Selain itu, nutrisi dan
pengobatan medis juga harus dikaji.
l. Nutrisi
Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan atau rencana nutrisi
diet. Pasien lansia yang memiliki masalah psikososial memiliki kebutuhan
pertolongan dalam makan dan monitor makan. Perawat harus secara rutin
mengevaluasi kebutuhan diet pasien. Pengkajian nutrisi harus dikaji lebih dalam
secara perseorangan termasuk pola makan rutin, waktu dalam sehari untuk
makan, ukuran porsi, makanan kesukaan dan yang tidak disukai.
m. Pengobatan Medis
Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan harus dikaji yaitu
usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan, komorbiditas.
n. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya
Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol dan zat-zat
berbahaya beresiko mengalami peningkatan kecemasan dan gangguan kesehatan
lainnya apabila mengalami kehilangan dan perubahan peran yang signifikan.
Penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya lainnya oleh seseorang akan
menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti kehilangan dan kesepian.
o. Dukungan Sosial
Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan sejahtera sepanjang
kehidupan, khususnya untuk pasien lansia. Latar belakang budaya pasien
merupakan faktor yang sangat penting dalam mengidentifikasi support system.
Perawat harus mengkaji dukungan sosial pasien yang ada di lingkungan rumah,
rumah sakit, atau di tempat pelayanan kesehatan lainnya. Keluarga dan teman
dapat membantu dalam mengurangi shock dan stres di rumah sakit.
p. Interaksi Pasien- Keluarga
Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan tingginya harapan
hidup untuk semua wanita yang berakibat pada kemampuan keluarga untuk
berpartisipasi dalam pemberian perawatan dan dukungan kepada lansia.
Kebanyakan lansia memiliki waktu yang terbatas untuk berhubungan dengn
anaknya. Masalah perilaku pada lansia kemungkinan hasil dari ketiakmampuan
keluarga untuk menerima kehilangan dan peningkatan kemandirian pada anggota
keluarga yang sudah dewasa.
2. Diagnosa
a. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan
keterampilan mengenai cara dalam meningkatkan kualitas hubungan dan
perubahan proses pikir.
b. Resiko jatuh berhubungan dengan faktor-faktor fisiologis (usia, osteoarthitis,
gangguan penglihatan, pendengaran dan gerak) serta kondisi lingkungan yang
menunjang keamanan kurang memadai.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor-faktor fisiologis (sering BAK)
d. Resiko bunuh diri b/d harga diri rendah,ditandai dengan isolasi sosial, penurunan
kekuatan dan ketahanan.
3. Perencanaan dan intervensi
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Intervensi
1. Kerusakan interaksi
sosial berhubungan
dengan kurangnya
pengetahuan dan
keterampilan mengenai
cara dalam meningkatkan
kualitas hubungan dan
perubahan proses pikir
Tujuan Instruksional
Umum :
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 1
bulan klien dapat
menampilkan perilaku
berkumpul bersama
minimal 1 kali dalam 1
bulan.
Tujuan Instruksional
Khusus :
a. Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 7 hari klien
dapat menampilkan
perilaku interaksi
terhadap seluruh
penghuni wisma
minimal 1 kali dalam
1 hari.
b. Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 7 hari klien
dapat menyediakan
waktu minimal 10
menit untuk
berkumpul bersama
dalam 1 macam
1. Fasilitasi peningkatan kemampuan klien
untuk berinteraksi dengan yang lainnya
(NIC)
a. Dorong untuk meningkatkan
keterlibatan dalam pola hubungan
yang telah ada.
b. Dorong keterlibatan dalam aktifitas
sosial dalam kelompok.
c. Dorong untuk berbagi masalah yang
dialami secara umum dengan klien
lain
d. Gunakan teknik bermain peran untuk
mempraktekkan keterampilan dan
teknik komunikasi yang diinginkan
e. Dorong untuk merencanakan
aktifitas yang bermakna
2. Fasilitasi klien untuk merasakan,
mengapresiasikan dan mengekspresikan
hal-hal yang menyenangkan dalam
berhubungan dengan orang lain. (NIC)
a. Tentukan tipe humor yang
diapresiasi oleh klien
b. Tentukan respon klien terhadap
humor
c. Tampilkan pilihan-pilihan humor
yang dapat digunakan dalam
interaksi
d. Berikan respon positif terhadap
kegiatan minimal 2
kali dalam 1 minggu.
c. Setelah diberikan
pendidikan kesehatan
selama 40 menit
klien mengatakan
bahwa interaksi
sosial yang terjadi
bermanfaat bagi
dirinya
humor yang ditampilkan oleh klien
3. Bantu klien mengambangkan
keterampilan-keterampilan interaksi
sosial (NIC)
a. Berikan pendidikan kepada klien
tentang tujuan dan proses pelatihan
keterampilan-keterampilan sosial.
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Intervensi
2. Resiko jatuh
berhubungan dengan
faktor-faktor fisiologis
(usia, osteoarthitis,
gangguan penglihatan,
pendengaran dan gerak)
serta kondisi lingkungan
yang menunjang
keamanan kurang
memadai
Tujuan Instruksional
Umum :
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 1
bulan diharapkan klien
dapat menyebutkan
faktor resiko jatuh dan
melakukan tindakan
pencegahan.
Tujuan Instruksional
Khusus :
a. Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 7 hari klien
dapat menyebutkan
minimal 50 % dari
faktor resiko jatuh
b. Setelah diberikan
pendidikan kesehatan
tentang interaksi
sosial selama 40
menit klien lansia
1. Identifikasi faktor resiko yang dihadapi
oleh klien (NIC)
a. Kaji faktor-faktor resiko secara rutin
b. Review riwayat perawatan dan
pengobatan yang lalu yang
membuktikan adanya resiko
c. Identifikasi klien dengan kondisi
sosial yang unik, yang dapat
mempersulit antisifasi faktor resiko
secara efisien
2. Manajemen lingkungan kelompok (NIC)
a. Lakukan pendidikan kesehatan
tentang penanganan faktor resiko
yang direncanakan.
mengungkapkan
bersedia untuk saling
mengingatkan dan
saling menjaga satu
sama lain.
c. Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 7 hari klien
lansia menampilkan
perilaku
perlindungan
terhadap kelayan lain
yang memiliki resiko
jatuh.
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Intervensi
3. Gangguan pola tidur
berhubungan dengan
faktor-faktor fisiologis
(sering BAK)
Tujuan Instruksional
Umum :
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 14
hari klien menampilkan
perilaku adaptif terhadap
perubahan pola tidur.
Tujuan Instruksional
Khusus :
a. Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 7 hari klien
mampu menyebutkan
bahwa perubahan
pola tidur adalah
situasi yang
1. Fasilitasi siklus tidur/bangun yang
teratur (NIC)
a. Ajarkn untuk melupakan situasi yang
tidak menyenangkan saat menjelang
tidur
2. Pertahankan pola eliminasi yang optimal
(NIC)
a. Instruksikan klien untuk
mengosongkan kandung kemih
sebelum tidur.
b. Batasi asupan cairan menjelang tidur
bila diperlukan
fisiologis pada lanjut
usia.
b. Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 7 hari klien
dapat menampilkan
perilaku manipulasi
untuk memenuhi
kebutuhan tidur
secara adekuat
c. Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 7 hari
minimal klien
menampilkan
perilaku membatasi
minum minimal 1
gelas ketika akan
tidur malam
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Intervensi
4. Resiko bunuh diri b/d
harga diri rendah,ditandai
dengan isolasi sosial,
penurunan kekuatan dan
ketahanan.
Tujuan Instruksional
Umum :
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama
1x24 jam klien
menampilkan perilaku
baik,sehingga resiko
bunuh diri dapat
dihindari.
Tujuan Instruksional
Khusus :
a. Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
1. Motivasi klien untuk
mempertahankan kemampuannya.
2. Jauhkan dari barang yang
membahayakan.
3. Lakukan pendekatan pada pasien.
4. Beri support pada pasien untuk
pendekatan religius.
selama 1x24 jam
klien menyampaikan
penerimaan terhadap
keadaan,tidak
menarik diri.
b. Harga diri rendah
dapat teratasi.
4. Theurapheutic Milleu
a. Stimulasi kognitif
Aktivitas yang dilakukan harus direncanakan untuk menjaga atau meningkatkan
kemampuan kognitif pasien. Diskusi kelompok dapat membantu pasien fokus
pada topik.Meningkatkan rasa aman dan nyaman.
Lansia sering melakukan yang terbaik pada situasi yang direncanakan untuk
perawatan mereka. Setting jiwa lansia harus dirancang dengan warna yang
lembut. Jika ada musik harus yang menenangkan dan disukai oleh lansia. Cahaya
yang menyilaukan harus dihindari. Bagi lansia yang tidak tinggal dirumah
mereka barang-barang seperti foto-foto keluarga, objek religius, afghan, atau
benda-benda yang menenangkan. Kemananan harus dipertimbangkan karena
lansia sering terjatuh, lantai tidak boleh licin dan tidak ada rintangan.
b. Consisten physical layout
Perubahan ruangan harus dihindari, barang-barang yang ada harus tetap, hal ini
membantu lansia yang disorientasi dan menjaga keselamatan lansia.
c. Structured routine
Jadwal sehari-hari harus direncanakan dengan pasti. Waktu tidur, waktu bangun,
tidur siang dan waktu makan tidak boleh berubah-ubah.
d. Fokus pada kelebihan dan kemampuan
Sebagain besar lansia memiliki prestasi pada masa lalunya. Jika lansia tidak
mampu berkomunikasi, anggota keluarga dapat memberikan informasi mengenai
kehidupan mereka dan memberi kegiatan yang dsukai lansia.
e. Minimize disruptive behavior
Memahami perilaku pasien dapat mengurangi agitasi dan krisis perilaku.
f. Minimal demand for compliant behavior
Lansia yang mengalami kerusakan kognitif sering menentang permintaan dari
orang lain. Mereka tidak mengerti apa yang ditanyakan pada mereka atau mereka
menjadi takut pada perubahan aktivitas yang tidak dapat diprediksi.
5. Terapi somatic
a. Terapi elektro konfulsif
Terapi ini efektif untuk intevensi pada lansia yang mengalami depresi. Kontra
indikasi pada lansia yang memiliki lesi intracranial dengan peningkatan tekanan
intracranial, aritmia, dan infark miokard lebih dari 3 bulan.
b. Pengobatan psikotropika
Obat pada lansia harus hati-hati, karena obat dapat berpengaruh pada perilaku
lansia dan system saraf pusat.
6. Evaluasi
Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan beberapa kondisi dan perilaku perawat yang
diperlukan pada saat melakukan evaluasi dalam proses keperawatan, yaitu:
a. Kondisi perawat :
Supervisi, analisis diri, peer review, partisipasi pasien dan keluarga
b. Perilaku perawat :
Membandingkan respon pasien dan hasil yang diharapkan, mereview proses
keperawatan, memodifikasi proses keperawatan sesuai yang dibutuhkan,
berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dari aktifitas yang dilakukan.