Post on 02-Feb-2018
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Jalan, Klasifikasi Jalan Raya dan Kecelakaan Lalu Lintas di
Jalan Raya
2.1.1 Pengertian Jalan
Jalan adalah. prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh
manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat
digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang
mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat
(Clarkson H.Oglesby,1999).
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus
ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan
pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan
akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang aman,
efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan
biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
2.1.2 Klasifikasi Jalan
Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu:
klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifkasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut
medan jalan dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (Bina Marga 1997).
2.1.2.1 Klasifikasi menurut fungsi jalan
Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu:
1) Jalan arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.
2) Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan lokal yaitu Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
2.1.2.2 Klasifikasi menurut kelas jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton.
Tabel 2.1. Klasifikasi jalan raya menurut kelas jalan
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga, 1997.
2.1.2.3 Klasifikasi menurut medan jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan
yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus
mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan
mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
Tabel 2..2. Klasifikasi Menurut Medan Jalan:
No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Datar D < 3 2 Berbukit B 3-25
3 Pegunungan G >25
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat/MST (ton)
Arteri
I
II
IIIA
>10
10
8
Kolektor III A
III B
8
2.1.2.4 Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan
Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan
Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Desa.
2.1.3 Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya
Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak di
sangka – sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan yang sedang
bergerak dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban
manusia atau kerugian harta benda ( Peraturan Pemerintah No 43 Tahun
1993).
Faktor - faktor penyebab kecelakaan terdiri dari : faktor manusia, faktor
kendaraan, faktor jalan, faktor lingkungan (Elly T.P 2006).
1. Faktor manusia (Pengemudi dan Pejalan kaki)
a) Pengemudi
Beberapa kriteria pengemudi sebagai penyebab kecelakaan antara lain:
• Pengemudi mabuk (Drunk Driver)
• Pengemudi ngantuk atau lelah (Fatigu or Overly Tired Driver)
• Pengemudi lengah (Emotional or Distracted driver)
• Pengemudi kurang antisipasi atau kurang terampil (Unskilled Driver)
b) Pejalan Kaki
Penyebab kecelakaan dapat ditimpakan pada pejalan kaki pada berbagai
kemungkinan antara lain seperti menyeberang jalan pada tempat dan waktu
yang tidak tepat (aman), berjalan terlalu ketengah dan tidak berhati – hati.
2. Faktor kendaraan: Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan
apabila tidak dapat dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat
kondisi teknis yang tidak layak jalan ataupun penggunaannya tidak sesuai
ketentuan antara lain:
• Rem blong, kerusakan mesin, ban pecah adalah merupakan kondisi
kendaraan yang tidak layak jalan. Kemudi tidak baik, as atau kopel
lepas, lampu mati khususnya pada malam hari, slip dan sebagainya.
• Over load atau kelebihan muatan adalah merupakan penggunaan
kendaraan yang tidak sesuai ketentuan tertib muatan.
• Design kendaraan dapat merupakan faktor penyebab beratnya
ringannya kecelakaan, tombol – tombol di dashboard kendaraan dapat
mencederai orang terdorong kedepan akibat benturan, kolom kemudi
dapat menembus dada pengemudi pada saat tabrakan. Demikian
design bagian depan kendaraan dapat mencederai pejalan kaki yang
terbentur oleh kendaraan. Perbaikan design kendaraan terutama
tergantung pembuat kendaraan namun peraturan atau rekomendasi
pemerintah dapat memberikan pengaruh kepada perancang.
• Sistem lampu kendaraan yang mempunyai dua tujuan yaitu agar
pengemudi dapat melihat kondisi jalan didepannya konsisten dengan
kecepatannya dan dapat membedakan / menunjukkkan kendaraan
kepada pengamat dari segala penjuru tanpa menyilaukan.
3. Faktor jalan
Jalan dapat menjadi penyebab kecelakaan antar lain untuk hal – hal sebagai
berikut:
• Kontruksi pada permukaan jalan (misalnya terdapat lubang yang sulit
dikenal oleh pengemudi)
• Kontruksi jalan yang rusak atau tidak sempurna (misalnya bila posisi
permukaan bahu jalan terlalu randah terhadap permukaan jalan)
• Geomrtik jalan yang kurang sempurna misalnya derajat kemiringan
(superelevasi) yang terlalu kecil atau terlalu besar pada tikungan,
terlalu sempitnya pandangan bebas pengemudi dan kurangnya
perlengkapan jalan.
4. Lingkungan
Lingkungan juga dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan misalnya
pada saat adanya kabut, asap tebal, penyeberang, hewan, genangan air,
material di jalan atau hujan lebat menyebabkan daya pandang pengemudi
sangat berkurang untuk dapat mengemudikan kendaraannya secara aman.
PT Jasa Marga mengelompokkan jenis tabrakan yang melatarbelakangi terjadinya
kecelakaan lalu lintas menjadi :
1. Tabrakan depan – depan
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana
keduanya saling beradu muka dari arah yang berlawanan, yaitu bagian depan
kendaraan yang satu dengan bagian depan kendaraan lainnya.
2. Tabrakan depan – samping
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan
kendaran yang satu menabrak bagian samping kendaraan lainnya.
3. Tabrakan samping – samping
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian
samping kendaraan yang satu menabrak bagian yang lain.
4. Tabrakan depan – belakang
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan
kendaraan yang satu menabrak bagian belakang kendaraan di depannya dan
kendaraan tersebut berada pada arah yang sama.
5. Menabrak penyeberang jalan
Adalah jenis tabrakan antara kendaraan yang tengah melaju dan pejalan kaki yang
sedang menyeberang jalan.
6. Tabrakan sendiri
Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju mengalami kecelakaan
sendiri atau tunggal.
7. Tabrakan beruntun
Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak
mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang melibatkan lebih dari dua kendaraan
secara beruntun.
8. Menabrak obyek tetap
Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak obyek tetap
dijalan
2.2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya
2.2.1 Standar Perencanaan
Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-batasan dan
metode perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi persyaratan. Standar
perencanaan geometrik untuk ruas jalan di Indonesia biasanya menggunakan
peraturan resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang
perencanaan geometrik jalan raya. Peraturan yang dipakai dalam studi ini adalah
“Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota” yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Marga dengan terbitan resmi No. 038 T/BM/1997 dan
American Association of State Highway and Transportation Officials. 2001
(AASHTO 2001).
2.2.2 Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran dan
daya dari kendaraan – kendaraan yang menggunakan jalan, kendaraan - kendaraan
tersebut dapat dikelompokkan (Bina Marga, 1997).
Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik
disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan
jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga tentu ikut menentukan kendaraan yang dipilih
sebagai perencanaan.
Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori antara lain:
1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.
2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as.
3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi-trailer.
Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana
KATEGORI
KENDARAAN
RENCANA
DIMENSI
KENDARAAN
(cm)
TONJOLAN
(cm)
RADIUS PUTAR
(cm)
RADIUS
TONJOL
AN
(cm) Ting
gi
Leba
r
Panja
ng
Depa
n
Belaka
ng
Minimum Maksim
um
Kendaraan
Kecil
130 210 580 90 150 420 730 780
Kendaraan
Sedang
410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Kendaraan
Besar
410 260 2100 1200 900 2900 14000 1370
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.2.3 Volume Lalu – Lintas Rencana
Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu
titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas
yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan lebih besar sehingga tercipta
kenyamanan dan keamanan dalam berlalu lintas. Sebaliknya jalan yang terlalu
lebar untuk volume lalu lintas rendah cenderung membahayakan karena
pengemudi cenderung mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih
tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Disamping itu juga
mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang tidak pada tempatnya/
tidak ekonomis (Sukirman, 1994).
Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan
penentuan jumlah dan lebar jalur adalah:
1. Lalu lintas harian rata-rata
2. Volume jam perencanaan
2.2.3.1 Lalu Lintas Harian Rata-Rata
Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu
hari (Sukirman,1994). Cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas
harian rata-rata, yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas
harian rata-rata.
LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu
jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahunan penuh..
LHRT = 365
int TahunSatudalamasLLaluJumlah ………...………..........2.1
Sedangkan LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama
pengamatan dengan lamanya pengamatan,
LHR = tan
tanintPengamaLamanya
PengamaSelamaasLLaluJumlah ……………………….2.2
Data LHR ini cukup teliti jika :
1. Pengamatan dilakukan pada interval-interval waktu yang cukup
menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas selama satu tahun.
2. Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari perhitungan LHR
beberapa kali
2.2.3.2 Volume Jam Perencanaan (VJR)
Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam yang
dipergunakan sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono, 2001). Volume ini
harus mencerminkan keadaan lalu lintas sebenarnya tetapi biasanya tidak sama
dengan volume terbesar atau arus tersibuk yang akan melewatinya, perencanaan
berdasarkan volume terbesar ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang
hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun waktu
singkat dalam sehari.
Volume lalu lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan
dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) sehingga masing – masing jenis
kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana harus
dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai ekivalensi mobil
penumpang (emp). Besarnya faktor ekivalensi tersebut, dalam perencanaan
geometrik jalan antar kota ditentukan pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.4 Ekivalen Mobil Penumpang (emp)
NO JENIS KENDARAAN DATAR/
PERBUKITAN
PEGUNUNGAN
1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0
2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2-2,4 1,9-3,5
3 Bus dan Truck Besar 1,2-5,0 2,2-6,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Besarnya volume jam perencanaan ditentukan dengan persamaan:
VJR = VLRH x FK ……………………………………………...…2.3
Dimana : VJR = Volume Jam Perencanaan (smp/jam)
VLRH = Volume Lintas Harian Rata – rata Tahunan (smp/jam)
K = Faktor K, faktor volume lalu lintas jam tersibuk dalam
setahun
F = Faktor variasi volume lalu lintas dalam satu jam tersibuk
(Peak Hour Faktor / PHF)
Faktor K dan F untuk jalan perkotaan biasanya mengambil nilai 0,1 dan 0,9
sedangkan untuk jalan antar kota disesuaikan dengan besarnya VLHR seperti pada
tabel di bawah ini:
Tabel 2.5 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-rata
VLHR FAKTOR K
(%)
FAKTOR F
(%)
> 50.000 4 - 6 0,9 - 1
30.000 – 50.000 6 - 8 0,8 - 1
10.000 – 30.000 6 - 8 0,8- 1
5.000 – 10.000 8 - 10 0,6 – 0,8
1.000 – 5.000 10 - 12 0,6 – 0,8
< 1.000 12 - 16 < 0,6
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.2.4 Kecepatan Rencana
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan
dibagi waktu tempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam.
Kecepatan Rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak
pandang dan lain- lain (Sukirman, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana adalah
keadaan terrain apakah datar, berbukit atau gunung. Untuk menghemat biaya tentu
saja perencanaan jalan sepantasnya disesuaikan dengan keadaan medan. Suatu jalan
yang ada di daerah datar tentu saja memiliki design speed yang lebih tinggi
dibandingkan pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.
Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana antara lain:
a) Topografi ( Medan )
Untuk perencanaan geometrik jalan raya, keadaan medan memberikan batasan
kecepatan terhadap kecepatan rencana sesuai dengan medan perencanaan
( datar, berbukit, dan gunung ).
b) Sifat dan tingkat penggunaan daerah
Kecepatan rencana untuk jalan - jalan arteri lebih tinggi dibandingkan jalan
kolektor.Untuk kondisi medan yang sulit, kecepatan rencana suatu segmen jalan
dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam
(Bina marga 1997).
Tabel 2.6 Kecepatan Rencana, VR, Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kiasifikasi
Medan Jalan
Fungsi Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70
Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.3 Elemen Perencanaan Geometrik Jalan
2.3.1 Penampang Melintang Jalan
Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan secara melintang
tegak lurus sumbu jalan (Sukirman, 1994). Bagian-bagian penampang melintang
jalan yang terpenting dapat dibagi menjadi :
1. Jalur lalu lintas
2. Lajur
3. Bahu jalan
4. Selokan
5. Median
6. Fasilitas pejalan kaki
7. Lereng
Bagian-bagian penampang melintang jalan ini dan kedudukannya pada
penampang melintang terlihat seperti pada gambar 2.1
Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
a) DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan)
DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh batas
ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan, tinggi 5 meter di atas
permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan kedalaman ruang bebas 1,5 meter di
bawah muka jalan.
b) DAMIJA (Daerah Milik Jalan)
DAMIJA (Daerah Milik Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh lebar yang
sama dengan Damaja ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5
meter dan kedalaman 1.5 meter.
c) DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan)
DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan) adalah ruang sepanjang jalan
di luar DAMAJA yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan
sebagai berikut:
a) jalan Arteri minimum 20 meter
b) jalan Kolektor minimum 15 meter
c) jalan Lokal minimum 10 meter
Untuk keselamatan pemakai jalan, DAWASJA di daerah tikungan ditentukan
oleh jarak pandang bebas.
Gambar 2.2 Penampang Melintang Jalan Dengan Median
Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman
Gambar 2.3. Penampang Melintang Jalan Tanpa Median
Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman
2.3.1.1 Jalur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan
untuk lalu lintas kendaraan (Sukirman ,1994).
Lebar jalur lalu lintas (travelled way = carriage way) adalah saluran
perkerasan jalan yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan yang terdiri dari
beberapa jalur yaitu jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk di lewati oleh
kendaraan dalam satu arah. Pada jalur lalu lintas di jalan lurus dibuat miring, hal ini
diperuntukkan terutama untuk kebutuhan drainase jalan dimana air yang jatuh di atas
permukaan jalan akan cepat mengalir ke saluran-saluran pembuangan. Selain itu,
kegunaan kemiringan melintang jalur lalu lintas adalah untuk kebutuhan
keseimbangan gaya sentrifugal yang bekerja terutama pada tikungan.
Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau jalan, dan
Separator.
Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan type anatara lain:
a) 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB)
b) 1 jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB)
c) 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B)
d) 2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B)
Keterangan: TB = tidak terbagi.
B = terbagi
Gambar 2.4 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-2 Arah (2/2 TB)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.5 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-l Arah (2/1 TB)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.6 Jalan 2 Jalur-4 Lajur-2 Arah (4/2 B)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Tabel 2.7 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan
VLHR
(smp/jam)
ARTERI KOLEKTOR LOKAL
Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
< 3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000 –
10.000
7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10.001–
25.000
7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -
>25.000 2n x
3,5*)
2,5 2 x
7,0*)
2,0 2n x
3,5*)
2,0 **) **) - - - -
Keterangan: **) = Mengacu pada persyaratan
*) = 2 jalur terbagi, masing – masing n × 3, 5m, dimana n
jumlah lajur per jalur
- = Tidak ditentukan
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.3.1.2 Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka
lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor
sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan
rencana (Jotin Khisty, 2003).
2.3.1.2.1 Lebar Lajur Lalu Lintas
Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling menentukan lebar
melintang jalan secara keseluruhan (Sukirman, 1994). Besarnya lebar lajur lalu lintas
hanya dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan karena :
a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan dapat diikuti oleh lintasan
kendaraan lain dengan tepat.
b. Lajur lalu lintas mungkin tepat sama degan lebar kendaraan maksimum.
Untuk keamanan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang
gerak antara kendaraan.
c. Lintasan kendaraan tidak mengkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalu lintas,
karena selama bergerak akan mengalami gaya – gaya samping seperti tidak
ratanya permukaan, gaya sentritugal ditikungan, dan gaya angin akibat
kendaraan lain yang menyiap.
Lebar lajur lalu lintas merupakan lebar kendaraan ditambah dengan ruang
bebas antara kendaraan yang besarnya sangat ditentukan oleh keamanan dan
kenyamanan yang diharapkan. Pada jalan lokal (kecepatan rendah) lebar jalan
minimum 5,50 m (2 x 2,75) cukup memadai untuk jalan 2 jalur dengan 2 arah.
Dengan pertimbangan biaya yang tersedia, lebar 5 m pun masih
diperkenankan.Jalan arteri yang direncanakan untuk kecepatan tinggi, mempunyai
lebar lajur lalu lintas lebih besar dari 3,25 m sebaiknya 3,50 m.
Tabel 2.8 Lebar Lajur Jalan Ideal
FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR
IDEAL (m)
Arteri I
II, III A
3,75
3,50
Kolektor III A, III B 3,00
Lokal III C 3,00
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.3.1.2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas
Banyak lajur yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume lalu lintas yang
akan memakai jalan tersebut dan tingkat pelayanan jalan yang diharapkan.Empat lajur
untuk satu arah untuk pada jalan tunggal adalah patokan maksimum yang diterima
secara umum.Tetapi AASHTO 2001 memberikan sebuah kemungkinan terdapatnya
16 lajur pada jalan 2 arah terpisah.Kemiringan melintang jalur lalu lintas jalan lurus
diperuntukkan untuk kebutuhan drainase jalan (Jotin Khisty, 2003). Air yang jatuh di
atas permukaan jalan supaya cepat dialirkan ke saluran – saluran pembuangan.
Kemiringan melintang jalan normal dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.7 Kemiringan melintang jalan normal
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.3.1.3 Bahu Jalan
Bahu jalan atau tepian jalan adalah bagian jalan yang terletak di antara tepi
jalan lalu lintas dengan tepi saluran, parit, kreb atau lereng tepi (Clarkson
H.Oglesby,1999). AASHTO menetapkan agar bahu jalan yang dapat digunakan harus
dilapisi perkerasan atau permukaan lainyang cukup kuat untuk dilalui kendaraan dan
menyarankan bahwa apabila jalur jalan dan bahu jalan dilapisi dengan bahan aspal,
warna dan teksturnya harus dibedakan.
Bahu jalan berfungsi sebagai :
1. Tempat berhenti sementara kendaraan
2. Menghindarkan diri dari saat-saat darurat sehingga dapat mencegah terjadinya
kecelakaan
3. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping
agar tidak mudah terkikis
4. Ruang pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan parbaikan atau
pemeliharaan jalan (Bina Marga, 1997).
2.3.1.3.1 Jenis Bahu Jalan
Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan atas :
a) Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material
perkerasan jalan tanpa bahan pengikat, bahu ini dipergunakan untuk daerah –
daerah yang tidak begitu penting, dimana kendaraan yang berhenti dan
mempergunakan bahu tidak begitu banyak jumlahnya.
b) Bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan mempergunakan bahan
pengikat sehingga lapisan tersebut lebih kedap air dari pada bahu yang tidak
diperkeras. Bahu dipergunakan untuk jalan – jalan dimana kendaraan yang
akan berhenti dan memakai bagian tersebut besar jumlahnya
2.3.1.3.2 Lebar Bahu Jalan
Besarnya lebar bahu jalan dipengaruhi oleh :
a) Fungsi jalan; jalan arteri direncanakan untuk kecepatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jalan lokal. Dengan demikian jalan arteri membutuhkan
kebebasan samping, keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar, atau
menuntut lebar bahu yang lebih besar dari jalan lokal.
b) Volume lalu lintas; volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar bahu
yang lebih besar dibandingkan dengan volume lalu lintas yang lebih rendah.
c) Kegiatan disekitar jalan.; Jalan yang melintasi daerah perkotaan, pasar,
sekolah, membutuhkan lebat bahu jalan yang lebih besar dari pada jalan yang
melintasi daerah rural.
d) Ada atau tidaknya trotoar
e) Biaya yang tersedia; sehubungan dengan biaya pembebasan tanah, dan biaya
untuk konstruksi (Jotin Kisty, 2003).
2.3.1.3.3 Lereng Melintang Bahu Jalan
Fungsi lereng melintang perkerasan jalan untuk mengalirkan air hujan
sangat ditentukan oleh kemiringan melintang bagian samping jalur perkerasan itu
sediri, yaitu kemiringan melintang bahu jalan (Sukirman, 1994). Kemiringan
melintang bahu yang tidak baik ditambah pula dengan bahu dari jenis tidak
diperkeras akan menyebabkan turunnya daya dukung lapisan perkerasan, lepasnya
ikatan antara agregat dan aspal yang akhirnya dapat memperpendek umur pelayanan
jalan. Untuk itu, haruslah dibuat kemiringan bahu jalan yang sebesar – besarnya
tetapi aman dan nyaman bagi pengemudi kendaraan. Kemiringan melintang jalur
perkerasan jalan, yang dapat bervariasi sampai 6 % tergantung dari jenis permukaan
bahu, intensitas hujan, dan kemungkinan penggunaan bahu jalan. Kemiringan bahu
jalan normal antara 3 - 5%. dengan ketentuan seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.8 Bahu Jalan
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.9 Kombinasi Bahu Dengan Trotoar
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.3.1.4 Median
Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu
lintas yang berlawanan arah (Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004).
Fungsi median adalah untuk:
a) Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah
b) Ruang lapak tunggu penyeberang jalan
c) Penempatan fasilitas jalan
d) Tempat prasarana kerja sementara
e) Penghijauan
f) Tempat berhenti darurat (jika cukup luas)
g) Cadangan lajur (jika cukup luas)
h) Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan
Median dapat dibedakan atas :
a) Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur
yang direndahkan.
b) Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur
yang ditinggikan.
Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25-0,50 meter dan bangunan
pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.9 Lebar Minimum Median
Bentuk Median Lebar Minimum
Median Ditinggikan 2,0
Median Direndahkan 7,0
Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah.2004
Gambar 2.10 Median Direndahkan
Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah.2004
Gambar 2.11 Median Ditinggikan
Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah.2004
2.3.1.5 Fasilitas Pejalan Kaki
Pejalan kaki adalah istilah dalam transportasi yang digunakan untuk
menjelaskan orang yang berjalan di lintasan pejalan kaki baik dipinggir jalan, trotoar,
lintasan khusus bagi pejalan kaki ataupun menyeberang jalan. Untuk melindungi
pejalan kaki dalam berlalu lintas, pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan
menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
Fasilitas pejalan kaki berfungsi memisahkan pejalan kaki dari jalur lalu lintas
kendaraan guna menjamin keselamatan pejalan kaki dan kelancaran lalu
lintas.Perlengkapan bagi para pejalan kaki sebagaimana pada kendaraan bermotor
sangat penting terutama di daerah perkotaan dan untuk jalan masuk ke atau keluar
dari tempat tinggal (Clarkson H.Oglesby,1999).
2.3.2 Segmen/ Ruas Jalan
2.3.2.1 Panjang Bagian Lurus
Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari
segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus
ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit sesuai dengan tabel di bawah ini:
Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum
Fungsi Panjang Bagian Lurus Maximum
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
2.3.2.2 Jarak Pandang
Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat benda
yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dalam batas
mana pengemudi dapat melihat dan menguasai kendaraan pada satu jalur lalu lintas.
Jarak pandang bebas ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : jarak pandang henti
dan jarak pandang mendahului (Sony Sulaksono, 2001).
2.3.2.2.1 Jarak Pandang Henti ( JPH )
Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan
kendaraan bila ada suatu halangan di tengah jalan (Sony Sulaksono, 2001).
Tabel 2.11 Persyaratan Jarak Pandangan Henti
VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.3.2.2.2 Jarak Pandang Mendahului (JPM)
Jarak pandang mendahului (JPM) adalah jarak yang memungkinkan suatu
kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan
tersebut kembali ke lajur semula (Bina Marga,1997).
Tabel 2.12 Persyaratan Jarak Pandangan Mendahului
VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
2.3.2.2.3 Daerah Bebas Samping di Tikungan
Pada saat mengemudikan kendaraan pada kecepatan tertentu, ketersediaan
jarak pandang yang baik sangat dibutuhkan apalagi sewaktu kendaraan menikung
atau berbelok. Keadaan ini seringkali terganggu oleh gedung-gedung (perumahan
penduduk), pepohonan, hutan-hutan kayu maupun perkebunan, tebing galian dan lain
sebagainya.Oleh karena itu perlu adanya daerah bebas samping di tikungan untuk
menjaga keamanan pemakai jalan (Jotin Khisty,2003).
Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan
pandang di tikungan sehingga jarak pandangan henti (Jh) dipenuhi. Daerah bebas
samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan
membebaskan objek-objek penghalang sejauh E (m) diukur dari garis tengah lajur
dalam sampai objek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi ( Bina
Marga 1997).
Jarak ini diperlukan untuk memenuhi syarat jarak pandang yang besarnya
tergantung jari-jari (R), kecepatam rencana (V) dan keadaan lapangan. Terdapat dua
kemungkinan keadaan, yaitu :
a) Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)
E = R ( 1 – cos (RJh
π
090 ) )......................................................................2.4
Dimana : R = Jari – jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
Gambar 2.12. Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
Grafik 2.1 Jarak Penghalang (E), Dari Sumbu Lajur Sebelah Dalam
Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc
Tabel 2.13 berisi nilai E (m) untuk Jh<Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
b) Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)
E = R ( 1 – cos (RJh
π
090 ) ) + 21 ( Jh – Lt ) sin (
RJh
π
090 )..............................2.5
Dimana : R = Jari – jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
Gambar 2.13. Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Tabel 2.14 Berisi Nilai E (m) Untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
Tabel 2.15 Berisi nilai E (m) Untuk Jh>L, VR (km/jam) dan Jh (m), Dimana
Jh - Lt = 50 m.
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
2.4 Persyaratan Alinemen
2.4.1 Alinemen Vertikal
2.4.1.1 Pengertian
Alinemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang
vertikal yang melalui sumbu jalan tersebut.Alinemen vertikal terdiri atas bagian
landai vertikal dan bagian lengkung vertikal (Sukirman, 1994). Ditinjau dari titik
awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau
landai negatif (turunan), atau landai nol (datar).
2.4.1.2 Landai Maksimum
Landai Maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk dengan
muatan penuh masih mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari
setengah kecepatan awal tanpa penurunan gigi rendah ( Sony Sulaksono, 2001)
seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.16 Kelandaian maksimum yang diizinkan
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Kelandaian Maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
2.4.1.3 Panjang Kritis
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (Sony Sulaksono,
2001).Lama perjalanan tersebut tidak boleh lebih dari satu menit.
Tabel 2.17 Panjang Kritis
Kecepatan pada awal tanjakan (km/jam)
Kelandaian
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
2.4.1.4 Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan
kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. Lengkung vertikal terdiri atas
lengkung vertikal cembung dan lengkung vertikal cekung (Sony Sulaksono, 2001).
Panjang lengkung vertikal (LV) ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
a. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung.
LV = 405
2SA …………………………………………….……………2.6
b. Jika jarak pandang henti lebih bear dari panjang lengkung vertikal cekung.
LV = 2 S - A
405 …………………………………………..…………2.7
Panjang minimum lengkung vertikal dapat ditentukan dengan rumus:
LV = A Y……………..……………………………………………..2.8
LV = 405S …………………………………………………………..2.9
Dimana:
LV = Panjang lengkung vertikal (m)
A = Perbedaan grade (m)
S = Jarak pandang henti (m)
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm
dan tinggi mata 120 cm.Nilai Y ini dapat diperoleh sesuai tabel berikut:
Tabel 2.18 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
Kecepatan Rencana ( km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
< 40 1,5
40 - 60 3
>60 8
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai tabel berikut
didasarkan pada penampilan,kenyamanan dan jarak pandang.
Tabel 2.19 Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana
(km/jam)
Perbedaan Kelandaian
Memanjang (%)
Panjang Lengkung (m)
< 40 1 20 - 30
40 - 60 0,6 40 - 80
> 60 0,4 80 - 150
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
2.4.2 Alinemen Horizontal
2.4.2.1 Pengertian
Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.
Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”, yang
terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis
lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur
peralihan saja atau busur lingkaran saja (Sukirman, 1994). Alinemen horizontal
terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan). Perencanaan
geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal
yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR.
2.4.2.2 Jari - Jari Tikungan
Jari - jari tikungan adalah nilai yang membatasi besar kelengkungan untuk
kecepatan rencana tertentu dan ditentukan dari besar superelevasi maksimum dan
faktor gesekan samping maksimum yanag dipilih untuk desain ( AASHTO 2001).
Bagian yang sangat kritis pada alinemen horizontal adalah bagian tikungan
karena terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan keluar dari tikungan (gaya
sentrifugal), hal tersebut harus diimbangi oleh komponen berat kendaraan yang
diakibatkan oleh superelevasi dari jalan dan oleh gesekan samping (side friction)
antara ban dan permukaan jalan. Hubungan antara kecepatan (V), jari-jari tikungan
(R), kemiringan melintang/ superelevasi (e) dan gaya gesek samping antara ban dan
permukaan jalan (f) didapat dari hukum mekanika F = m.a (Hukum Newton II).Gaya
sentrifugal saat kendaraan bergerak di tikungan dengan persamaan gRVG 2
, dimana G
= berat kendaraan dan g = percepatan gravitasi. Dalam hal ini terdapat tiga keadaan
keseimbangan, yaitu:
1. Stadium I : Gaya sentrifugal diimbangi gesekan ban Vs perkerasan..
K
Gambar 2.14 Gaya Sentrifugal Diimbangi Gesekan Ban Vs Perkerasan
F max
G
FL FR
NL NR
Penurunan Rumus:
K = F max
FL + FR = K
( NR + NL ) f = m . a
G . f = gG .
RV 2
f = Rg
V.
2
, g = 9,8 2sm
g = 3600
11000
98 2jamkm
g = 127.000 2jamkm
f = R
V.12700
2
, R dalam satuan meter maka:
f = R
V.012700
2
. 10001
f = R
V.127
2
Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.
2. Stadium II : Gaya sentrifugal diimbangi hanya dengan kemiringan
melintang jalan
Gambar 2.15 Gaya Sentrifugal Diimbangi Hanya Dengan Kemiringan
Melintang Jalan
Penurunan Rumus:
F max = K
G sin α = K cos α
G sin α = m. a cos α
G sin α = gG .
RV 2
cos α : G cos α
tg α = gRV 2
, g = 9,8 2sm
G sin α
K cos α
G
K
α
g = 3600
11000
98 2jamkm
g = 127.000 jamkm
e = R
V000.127
2
. 10001
e = R
V.127
2
Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.
3. Stadium III : Gaya sentrifugal diimbangi dengan gaya gesek dan
kemiringan melintang jalan
FR
FL
G sin α
G
K
α
K cosα
G cos α
NL
NR
Gambar 2.16 Gaya Sentrifugal Diimbangi Dengan Gaya Gesek Dan Kemiringan
Melintang Jalan
Penurunan Rumus:
F max = K
( FL + FR ) + G sin α = K cos α
( NL + NR ) f + G sin α = K cos α
G cos α . f + G sin α = m . g cos α
G cos α . f + G sin α = gG .
Rv2
cos α : G cos α .
f + αα
cossin =
RgV
.
2
, g = 9,8 2sm
g = 3600
11000
98 2jamkm
g = 127.000 jamkm
f + tg α = R
V000127
2
. 10001
f + tg α = R
V127
2
f + e = R
V127
2
Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.
Dari ketiga keseimbangan di atas diperoleh kesimpulan yaitu:
Pada stadium I : Rmin = fm
V127
2
.............................................................................2.10
Pada stadium II : Rmin =me
V127
2
.............................................................................2.11
Pada stadium III : Rmin = )(127
2
mm feV
+……………………..………………..…2.12
Rumus dasar dari kendaraan yang melintasai tikungan menurut bina marga
adalah sbb:
e + f =R
V127
2
.............................................................................2.13
Dengan :
e = Superelevasi
f = Faktor gesekan samping
V = Kecepatan rencana (km/jam)
R = Jari-jari tikungan (m )
Grafik 2.2 Koefisien Gesekan Melintang Maksimum Untuk Desain
Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.
Tabel 2.20 Rekomendasi AASHTO Untuk Koefisien Gesekan Samping
Kecepatan Rencana
(mph)
20 30 40 50 60 70 80
Kecepatan Rencana
(km/jam)
32 48 64 80 97 113 129
Koefisien 0,17 0,16 0,15 0,14 0,12 0,10 0,08
Sumber: Teknik Jalan Raya, Clarkson H.Oglesby
AASHTO 2001 memberikan rumusan untuk batasan basar jari jari minimum
tersebut yaitu:
Rmin = )01,0(127 maxmax
2
feV
+.................................................................2.14
Dengan :
e = superelevasi
f = faktor gesekan samping
V = kecepatan rencana (km/jam)
R = jari-jari tikungan (m)
Tabel 2.21 Panjang Jari-jari Minimum
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jari-jari Minimum Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15
Jari-jari Minimum Tanpa
Lengkung Peralihan (m)
2500 1500 900 500 350 250 130 60
Jari-jari Minimum Tanpa
Superelevasi (m)
5000 2000 1250 700 - - - -
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Tabel 2.22 Jari-Jari Minimum Untuk Jalan Luar Kota, Jalan Tol, Jalan
Perkotaan Berdasarkan Nilai e dan f Kecepatan
Rencana
(Km/Jam)
Superelevasi
maximum (%)
Koefisien Gesek
(f)
Total
(e/100+f)
Radius
(m)
Radius
(Pembulatan)
(m)
20 4,0 0,18 0,22 14,5 15
30 4,0 0,17 0,21 33,7 35
40 4,0 0,17 0,21 60,0 60
50 4,0 0,15 0,20 98,4 100
60 4,0 0,15 0,19 149,1 150
70 4,0 0,14 0,18 214,2 215
80 4,0 0,14 0,18 279,8 280
90 4,0 0,13 0,17 375,0 375
100 4,0 0,12 0,16 491,9 490
20 6,0 0,18 0,24 13,1 15
30 6,0 0,17 0,23 30,8 30
40 6,0 0,17 0,23 54,7 55
50 6,0 0,16 0,22 89,4 90
60 6,0 0,15 0,21 134,9 135
70 6,0 0,14 0,20 192,8 195
80 6,0 0,14 0,20 251,8 250
90 6,0 0,13 0,19 335,5 335
100 6,0 0,12 0,18 437,2 435
110 6,0 0,11 0,17 560,2 560
120 6,0 0,09 0,15 755,5 755
130 6,0 0,08 0,14 950,0 950
20 8,0 0,18 0,28 12,1 10
30 8,0 0,17 0,25 28,3 30
40 8,0 0,17 0,25 50,4 50
50 8,0 0,16 0,24 82,0 80
60 8,0 0,15 0,23 123,2 125
70 8,0 0,14 0,22 175,3 175
80 8,0 0,14 0,22 228,9 230
90 8,0 0,13 0,21 303,6 305
100 8,0 0,12 0,20 393,5 395
110 8,0 0,11 0,19 501,2 500
120 8,0 0,09 0,17 666,6 665
130 8,0 0,08 0,18 831,3 830
20 10,0 0,18 0,28 11,2 10
30 10,0 0,17 0,27 26,2 25
40 10,0 0,17 0,27 46,6 45
50 10,0 0,16 0,26 75,7 75
60 10,0 0,15 0,25 113,3 115
70 10,0 0,14 0,24 160,7 160
80 10,0 0,14 0,24 209,9 210
90 10,0 0,13 0,23 277,2 275
100 10,0 0,12 0,22 357,7 360
110 10,0 0,11 0,21 453,5 455
120 10,0 0,09 0,19 596,5 595
130 10,0 0,08 0,18 738,9 740
20 12,0 0,18 0,30 19,5 10
30 12,0 0,17 0,29 24,4 25
40 12,0 0,17 0,29 43,4 45
50 12,0 0,16 0,28 70,3 70
60 12,0 0,15 0,27 104,9 105
70 12,0 0,14 0,26 148,3 150
80 12,0 0,14 0,26 193,7 195
90 12,0 0,13 0,25 255,0 255
100 12,0 0,12 0,24 327,9 330
110 12,0 0,11 0,23 414,0 415
120 12,0 0,09 0,21 539,7 540
130 12,0 0,08 0,20 665,0 665
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
2.4.2.3 Menentukan Bentuk Tikungan
Berdasarkan jari-jari tikungan, maka tikungan atau disebut juga lengkung
horizontal dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:
1. Bentuk Tikungan Full Circle (FC)
2. Bentuk Tikungan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)
3. Bentuk Tikungan Spiral-Spiral (S-S)
2.4.2.3.1 Bentuk Tikungan Full Circle (FC)
Bentuk tikungan full circle disebut juga bentuk busur lingkaran
sederhana. Bentuk ini dipergunakan hanya pada lengkung yang mempunyai radius
besar dan besar sudut tangent yang kecil. Adapun lengkung tikungan full circle
seperti gambar 2.17 dibawah ini. Di Indonesia penggunaan bentuk full circle
mempunyai batasan-batasan tertentu seperti pada tabel 2.23 di bawah ini.
Gambar 2.17 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)
Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.
Tabel 2.23 Batasan-Batasan Dalam Bentuk Full Circle
Kecepatan Rencana (km/jam) Jari – Jari Lengkung Minimum (m)
120 2500
100 1500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil daripada harga-harga di atas
bentuk tikungan harus dipakai spiral - circle – spiral atau spiral – spiral.
Rumus-rumus untuk full circle menentukan T,L dan E adalah sebagai berikut:
tg 21 ∆=
RT ………………………………………………………..…….2.15
Sehingga diperoleh:
T = Rtg 21 ∆…………………………………………………………..2.16
E = T tg 41 Δ ............................................................................................2.17
E = ∆2
1cosR - R …………………………………………….…….….2.18
L = 0360∆ .2π.R……………………………………………………..…2.19
L = 0,01745.∆ .R………………………………………………...........2.20
Dengan:
P.I = Point of intersection
V = Kecepatan rencana (km/jam)
R = Jari-jari (m)
∆ = Sudut tangent (derajat)
TC = Tangent circle
CT = Circle tangent
T = Jarak antara TC dan PI (m)
L = Panjang bagian tikungan (m)
E = Jarak PI ke bentuk lengkung (m)
2.4.2.3.2 Bentuk Tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S)
Ketika kendraan memasuki atau meninggalkan lengkungan horizontal
melingkar, maka penambahan atau pengurangan gaya sentrifugal tidak dapat
tercapai langsung karena faktor keselamatan dan kenyamanan.Dalam hal ini
menyisipkan lengkungan transisi antara tangen dan lengkungan melingkar
memerlukan pertimbangan (Jotin Khisty,2003).Lengkungan transisi yang dirancang
dengan baik mempunyai keuntungan antara lain:
1. Sebuah rute alamiah dan mudah diikuti oleh pengemudi sehingga gaya
sentrifugal meningkat atau berkurang secara bertahap seiiring kendaraan
memasuki dan meninggalkan lengkungan melingkar.
2. Superelevasi dapat diatur sesuai keinginan dan lebih mudah.
3. Fleksibilitas dalam pelebaran lengkungan tajam.
4. Tampilan jalan raya yang lebih baik.
Lengkungan spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke bagian circle.
Panjang lengkung peralihan (spiral) diperhitungkan dengan mempertimbangkan
bahwa perubahan gaya sentripugal dari nol (pada bagian lurus) sampai sebesar :
K = LsRVM.. 2
……………………………………..…………...…2.21
Menurut Bina Marga 1997 lengkungan spiral dapat ditentukan dengan 3 rumus:
1. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
Ls min = 0,022.CR
V 3
- 2,727.CKV . …..……………….…….…2.22
Dimana:
Ls = Panjang spiral (m)
V = Kecepatan rencana (km/jam)
R = Jari-jari (m)
C = Perubahan kecepatan
K = Superelevasi
2. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan
Ls = 6,3
V .T…………………………………………..………2.23
Dimana: T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3
detik.
V = kecepatan rencana (km/jam).
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
Ls = e
nm
rVee
6,3).( −
………………………………………..……2.24
Dimana: V = kecepatan rencana (km/jam)
em = superelevasi maximum
en = superelevasi normal
re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang
jalan (%/detik)
Untuk VR ≤ 70 km/jam, re-max = 0.035 %/detik
Untuk VR ≥ 80km/jam, re-max = 0.025 %/detik
Selain ketiga rumus diatas, untuk tujuan praktis Ls dapat ditetapkan dengan
menggunakan tabel 2.24
Tabel 2.24 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian
Superelevasi (Le) Untuk Jalan l Jalur-2 Lajur-2 Arah.
VR (km/jam) Superelevasi (%)
2 4 6 8 10
Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le
20
30
40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40
50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50
60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60
70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70
80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120
90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130
100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145
110 40 75 50 85 60 100 90 120 - -
120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Menurut AASHTO 2001 lengkung spiral dapat ditentukan dengan rumus:
Ls = CR
V 30214,0 …………………………………………………………..2.25
Dimana: Ls = Panjang minimum lengkung spiral (m)
R = Jari – jari tikungan (m)
V = Kecepatan Rencana (km/jam)
C = Perubahan Percepatan (1,2 m/s2)
Bentuk tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S) dapat dilihat pada gambar
di bawah ini:
Gambar 2.18. Bentuk Tikungan Spiral - Circle – Spiral ( S – C – S )
Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.
Jari-jari circle yang diambil harus sesuai dengan kecepatan rencana yang
ditentukan serta tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi
harga maksimum. Kemiringan tikungan maksimum menurut bina marga dibedakan
menjadi 2 (dua) bagian yaitu:
1. Untuk jalan antar kota, kemiringan tikungan maksimumnya 10 %
2. Untuk jalan kota, kemiringan tikungan maksimumnya 8 %
Rumusan-rumusan untuk Spiral - Circle – Spiral (lihat gambar 2.18)
Ts = (R+P) tg 21 ∆ + K……………………………………………….....…2.26
Es =∆
+
.21cos
)( PR -
R…………………………………....………………….……2.27
∆= 2−∆ θs………………………………………...……….….........………2.28
Lc = 0360∆ .2π.R………………………………………….....………...……2.29
Yc = Rc
Ls6
2
………………………………………...……………………….2.30
Y = LsRc
L6
3
…………………………………………………………….….2.31
Xc = Ls - 2
3
40 RcLs ……………………………...…………………………..2.32
X = L - 22
5
40 LsRcL ……………………………………...…………….…..2.33
P = Yc – Rc ( 1 – cos Sθ )………………………………………………….2.34
K = Xc – Rc sin θ ………………………………………………………....2.35
L = Lc + 2.Ls...............................................................................................2.36
Dimana:
P.I = Point of intersection
d = Jarak PI ke PI yang lain (m)
V = Kecepatan rencana (km/jam)
∆ = Sudut tangent (derajat)
R = Jari-jari (m)
θЅ = Sudut lengkung spiral (derajat)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
e = Kemiringan melintang (%)
Dari R hitung:
D=R
04,1432 .............................................................................................. 2.37
R atau D yang telah ditetapkan, lihat tabel emax
R atau V didapat : e = …………………… (%)
Ls = …………………… (m)
Selanjutnya lihat tabel untuk lengkung spiral :
Ls = …………………… (m) : didapat harga : θЅ = ……………........…(derajat)
R = …………………… (m) P = …………...………...… (m)
K =………………………… (m)
Apabila Lc < 20 m, maka bentuk tikungannya adalah spiral-spiral (S-S).
Tabel 2.25 Perhitungan e, b dan Ls mínimum
R dalam meter
Vr = 20 km/jam Vr = 30km/jam Vr = 40km/jam
e ( %) b’ (m) Ls min
e ( %) b’ (m) Ls min
e ( %) b’ (m) Ls min
400 2.0 0.50 25
360 2.7 0.50 25
320 2.5 0.50 25
300 2.7 0.50 25
280 2.9 0.50 25
240 3.4 0.50 25
200 2.2 0.50 20 4.0 0.75 25
180 2.5 0.50 20 4.4 0.75 30
160 2.8 0.75 20 4.9 0.75 30
140 3.2 0.75 20 5.5 0.75 30
130 3.4 0.75 20 5.8 0.87 30
120 3.7 0.75 20 6.2 1.00 40
100 4.5 1.00 25 7.2 1.00 40
90 5.0 1.00 25 7.6 1.00 40
85 2.0
80 2.1 5.6 1.00 25 8.8 1.25 40
75 2.2
70 2.4 6.3 1.25 30 9.4 1.25 50
65 2.5
60 2.6 1.000 15 7.1 1.25 30 9.9 1.50 50
55 2.8 1.000 15
50 2.9 1.000 15 8.0 1.50 40 1.50 50
45 3.0 1.000 15 8.4 1.50 40
40 3.1 1.500 15 8.9 1.75 40
35 3.2 1.500 20 9.4 2.00 40
30 3.4 1.500 20 9.8 2.25
25 3.5 1.500 20
20 3.6 1.500 20
15 4.0 3.700 20
5 4.0 3.700 20
Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono K
Tabel 2.26 Perhitungan e dan Ls minimum (Untuk Rural Highway,2 jalur, emax =10%)
R (m) V = 60 Km/Jam V = 80 Km/Jam V = 100 Km/Jam
V = 120 Km/Jam
e Ls e Ls e Ls e Ls
5730 LN 0 LN 0 LP 60 LN 0
2864 LN 0 LP 50 LP 60 0,022 80
1910 LP 40 LP 50 0,023 60 0,033 80
1432 LP 40 0,022 50 0,030 60 0,044 80
1150 LP 40 0,028 50 0,038 60 0,055 80
956 0,021 40 0,034 50 0,045 60 0,065 80
840 0,025 40 0,039 50 0,050 60 0,074 90
717 0,028 40 0,045 50 0,060 70 0,082 100
560 0,035 40 0,057 50 0,075 80 0,100 110
478 0,040 40 0,064 60 0,087 90
410 0,047 40 0,074 60 0.096 100
350 0,053 40 0,081 70 0,100 100
319 0,057 50 0,087 70
287 0,062 50 0,091 70
239 0,071 50 0,098 80
210 0,079 60 0,100 80
180 0,086 60
160 0,091 60
143 0,096 70
130 0,097 70
120 0,099 70
115 0,100 70
Keterangan : Ln = Lereng normal
Lp = Lereng luar diputar sehingga perkerasan mendapat kemiringan melintang sebesar lereng normal
Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono K
2.4.2.3.3 Bentuk Tikungan Spiral – Spiral ( S-S)
Bentuk tikungan spiral-spiral disebut juga lengkung horizontal berbentuk
spiral adalah lengkung busur lingkaran (circle) sehingga titik SC berimpit dengan. titik
CS. Panjang besar lingkaran Lc = 0, dan θЅ = ∆21 yang dipilih harus sesuai sehingga
Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yang dihasilkan landai relatif minimum yang
diisyaratkan.
Gambar 2.19 Lengkung Spiral – Spiral ( S-S)
Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH
Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-spiral sama dengan
rumus-rumus untuk tikungan spiral - circle – spiral hanya perlu diingat bahwa:
∆C=0 ∆ = 2 θs
Lc = 0
Lc = 0 L = 2 Ls
L= 03602 R∆π Ls =
648,28.Rsθ …………………...........................………..2..38
Dengan mengambil harga P* dan K* dari tabel J.Barnett untuk Ls = 1 diperoleh harga :
P = P* . Ls……………………………………………………………....……2.39
K= K* . Ls……………………………...………………………...…….……2.40
Selanjutnya :
Ts = (R+P) 21 ∆+K………..……………………………..….....…...2.41
Es =∆
+
.21cos
)( PR - R…………………..……………………………..........…...2.42
2.4.2.4 Superelevasi
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi
untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan
melalui tikungan pada kecepatan rencana (Clarkson H.Oglesby,1999).
Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang dimaksudkan sebagai cara
untuk menggambarkan pencapaian kemiringan melintang penuh (superelevasi).
Superelevasi maksimum yanag digunakan pada jalan raya dipengaruhi oleh empat
faktor antara lain :kondisi iklim (yaitu: frekuensi dan jumlah salju dan es), kondisi
medan (misalnya: datar, bukit, atau pegunungan),jenis wilayah (yaitu:pedesaan atau
perkotaan), dan frekuensi kendaraan yang bergerak sangat lambat (AASHTO 2001).
Pada diagram superelevasi dapat kita bedakan antara diagram kemiringan melintang
untuk jalan raya tanpa median dan jalan raya yang median.
Pada jalan raya tanpa median, perubahan profil melintang (superelevasi) dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Mengambil sumbu jalan sebagai sumbu putar.
2. Mengambil tepi perkerasan sebelah dalam sebagai sumbu putar.
3. Mengambil tepi perkerasan sebelah luar sebagai sumbu putar
Dari ketiga cara tersebut, yang sering dipakai di Indonesia adalah cara
pertama.
Gambar 2.20 As atau Sumbu Jalan Sebagai Sumbu Putar
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.21 Tepi Perkerasan Sebelah Dalam Sebagai Sumbu Putar
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.22 Tepi Perkerasan Sebelah Luar Sebagai Sumbu Putar
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Untuk jalan raya dengan median (jalan raya terpisah) dalam mencapai
kemiringan tergantung dari lebar dan bentuk penampang melintang median serta
dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :
1. Dengan mengambil sisi – sisi sebelah dalam perkerasan sebagai sebagai sumbu
putar ( median tetap dibuat datar ).
2. Dengan mengambil sisi – sisi sebelah luar dari jalur jalan sebagai sumbu putar
( median ikut berputar)..
3. Dengan mengambil sumbu putar masing – masing jalur sendiri – sendiri ( sumbu
putar tersebut bisa as atau tepi perkerasan tanpa memperhatikan median).
Dari ketiga cara tersebut yang sering digunakan adalah cara ketiga.
Gambar 2.23 Mengambil Sisi – Sisi Sebelah Dalam Perkerasan Sebagai
Sumbu Putar
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.24 Mengambil Sisi – Sisi Sebelah Luar dari Jalur Jalan Sebagai
Sumbu Putar
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.25 Mengambil Sumbu Putar Masing – Masing Jalur Sendiri – Sendiri
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
AASHTO 2001 memberikan batasan superelevasi maksimum pada jalan luar
kota adalah 0,10.Bila kemungkinan terjadi hujan es dan salju, harga maksimum ini
berkurang menjadi 0,08. Pada daerah perkotaan harga maksimumnya hanya 0,06 atau
bahkan 0,04 sedangkan bina marga memberikan batasan superelevasi maksimum
untuk jalan luar kota sebesar 10 % dan jalan kota sebesar 8 %.
Tabel 2.27 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 4 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Tabel 2.28 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 6 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Tabel 2.29 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 8 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Tabel 2.30 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 10 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Tabel 2.31 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 12 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Grafik 2.3 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 4 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Grafik 2.4 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 6 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Grafik 2.5 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 8 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001).
Grafik 2.6 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 10 %
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO ,
2001)
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
Pada tikungan dengan bentuk circle (full circle) perubahan kemiringan
melintang dilakukan diluar lengkung lingkaran. Di tikungan ini kita kenal lengkung
Grafik 2.7 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi maksimum 12 %
peralihan fiktif (Ls’) dimana perubahan kemiringan dilakukan sejauh 32 Ls’ dari
titik awal TC pada garis (jalan) lurus dan kemiringan melintang maksimum dimulai
sejauh 31 Ls’ dari titik awal CT ke dalam lingkaran.
Lengkung peralihan dapat dihitung besarnya dengan rumus sebagai berikut:
'Lsb <
m1 ........................................................................................................2.43
Dengan :
b = b (en + e max relatif )
1/m = landai ralatif antara tepi perkerasan
Ls’ = panjang lengkung peralihan relatif
b = lebar jalur 1 arah (m)
Tabel 2.32 Landai Relatif Berdasarkan Kecepatan Rencana
Kecepatan Rencana
(km/jam)
Landai Relatif Maksimum (Bina Marga Luar Kota)
20 1/50
30 1/75
40 1/100
50 1/115
60 1/125
80 1/150
100 -
Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman
Gambar diagram superelevasi dari masing – masing bentuk tikungan dapat
dlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.26 Diagram Superelevasi Untuk Full Circle
Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc
.
Gambar 2.27 Diagram Superelevasi Untuk Spiral – Circle – Spiral
Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc
Gambar 2.28 Diagram Superelevasi Untuk Spiral –Spiral
Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc
2.4.2.5 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
Pelebaran perkerasan pada tikungan direncanakan untuk menghindari
kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan tidak mengalami off
tracking (keluar jalur) tepatnya lintasan roda belakang pada saat membelok (Clarkson
H.Oglesby,1999).
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi
geometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan dibagian
lurus. Pada jalan dua lajur sebaiknya terdapat pelebaran jalan,terutama pada tikungan
tajam karena hal-hal sebaga berikut:
1. Kecenderungan pengemudi terlempar keluar dari tepi perkerasan.
2. Meningkatnya lebar efektif kendaraan karena ban depan dan belakang tidak
melintasi satu garis.
3. Pertambahan lebar karena posisi kendaraan yang miring terhadap as jalan
( Mannering, 1990).
Pelebaran jalan di tikungan menurut bina marga mempertimbangkan:
1. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.
2. Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan
gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi
gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan
tetap pada lajurnya.
3. Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana dan
besarnya ditetapkan sesuai Tabel 2.33
4. Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan.
5. Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.33 harus dikalikan 1,5.
6. Untuk jalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.33 harus dikalikan 2.
2.33 Lebar Jalur 2 x 3.50m, 2 Arah Atau 1 Arah.
R
(m)
Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)
50 60 70 80 90 100 110 120
1500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1
1000 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2
750 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,2 0,3 0,3
500 0,2 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5
400 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5
300 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5
250 0,4 0,5 0,5 0,6
200 0,6 0,7 0,8
150 0,7 0,8
140 0,7 0,8
130 0,7 0,8
120 0,7 0,8
110 0,7
100 0,8
90 0,8
80 1,0
70 1,0
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
(Lanjutan) Pelebaran di tikungan per Lajur (m)
Tabel 2.33 Lebar Jalur 2 x 3.00m, 2 Arah Atau 1 Arah
R
(m)
Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)
50 60 70 80 90 100 110
1500 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,5 0,6
1000 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6
750 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8
500 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1
400 0,9 1,0 1,0 1,0 1,1 1,1
300 0,9 1,1 1,0 1,1
250 1,0 1,3 1,1 1,2
200 1,2 1,4 1,3 1,3
150 1,3 1,4
140 1,3 1,4
130 1,3 1,4
120 1,3 1,4
110 1,3
100 1,4
90 1,4
80 1,6
70 1,7
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
R
(m)
Lebar Jalan = 7,2 m Lebar Jalan = 6,6 m Lebar Jalan = 6,0 m
Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana
50 60 70 80 90 100 50 60 70 80 90 100 50 60 70 80 90 100
3000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6
2500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6
2000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7
1500 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,3 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7
1000 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8
900 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8 0,8
800 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9
700 0,2 0,2 0,2 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0
600 0,2 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0 1,0
500 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1
400 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1 1,2 1,2
Tabel 2.34 Pelebaran Perkerasan Menurut AASHTO 2001 (2 Jalur 1 Arah
Atau 2 Arah)
Catatan : Jalan 3 lajur nilai diatas dikalikan 1,5
Jalan 4 lajur nilai diatas dikalikan 2
Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)
300 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,1 1,1 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4 1,4
250 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,1 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4 1,4 1,5
200 0,8 0,9 1,0 1,0 1,1 1,2 1,3 1,3 1,4 1,5 1,6 1,6
150 1,1 1,2 1,3 1,3 1,4 1,5 1,6 1,6 1,7 1,8 1,9 1,9
140 1,2 1,3 1,5 1,6 1,8 1,9
130 1,3 1,4 1,6 1,7 1,9 2,0
120 1,4 1,5 1,7 1,8 2,0 2,1
110 1,5 1,6 1,8 1,9 2,1 2,2
100 1,6 1,7 1,9 2,0 2,2 2,3
90 1,8 2,1 2,4
80 2,0 2,2 2,6
70 2,3 2,6 2,9
2.4.2.6 Tikungan Gabungan
Tikungan Gabungan adalah dua atau lebih tikungan yang bersebelahan yang
dapat dibedakan atas dua macam tikungan sebagai berikut:
a) tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan
arah putaran yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda.
b) tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran yang berbeda (Bina Marga,1997).
Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2:
21
RR >
32 Tikungan gabungan searah harus dihindarkan
21
RR <
32 Tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau Clothoide
sepanjang paling tidak 20 m
Menurut Bina Marga, setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi
dengan bagian lurus di antara kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 m.
Menurut AASHTO 2001 pada tikungan gabungan untuk jalan luar kota jari – jari
kelengkungan sebuah tikungan maksimal 50 % lebih besar dari tikungan berikutnya
yang lebih tajam.Tetapi lengkung gabungan dapat digunakan apabila dilengkapi
dengan lengkung spiral sehingga memungkinkan perubahan jari-jari tikungan secara
berangsur-angsur. Gambar dari tikungan gabungan tersebut dapat dilihat pada gambar
di bawah ini:
Gambar 2.29 Tikungan Gabungan Searah
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
Gambar 2.30 Tikungan Gabungan Searah Dengan Sisipan Bagian Lurus 20 m
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.31 Tikungan Balik Arah
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.
Gambar 2.31 Tikungan Balik Arah Dengan Sisipan Bagian Lurus 20 m
Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997
2.4.3 Koordinasi Alinemen
Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah
elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian
rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan
pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan
ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk
kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga
pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1. Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal dan secara
ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertikal.
2. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.
3. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan.
4. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan.
5. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan (Sony Sulaksono, 2001).