Post on 03-May-2021
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, merupakan sumber daya
alam yang memiliki aneka ragam kandungan kekayaan alam yang bermanfaat
bagi manusia, sebagai bentuk perwujudan rasa syukur terhadap karunia-Nya,
maka hutan harus diurus dan dimanfaatkan secara optimal dengan
mempertimbangkan kecukupan luas kawasan dan kegunaan dalam
memanfaatkannya. Sumberdaya hutan sebagai modal pembangunan mempunyai
manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik
manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi.1
Dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.2
Termasuk didalamnya
hutan adalah suatu kekayaan alam yang harus dimanfaatkan secara baik dan
berkelanjutan demi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia.
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:3 a. Menjamin
keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b.
Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produktif untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya
1 Suryanto et.al., Illegal Loging Sebuah Misteri, Balai Litbang Kehutanan Kalimantan,
Sempaja, 2006, h. 1. 2 Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Pasal 33 ayat (3).
3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 3.
2
dan ekonomi, yang seiring dan lestari; c. Meningkatkan daya dukung daerah
aliran sungai; d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipasif, berkeadilan, dan berwawasan
lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta
ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. Menjamin distribusi
manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Paradigma bahwa sumber daya alam kehutanan harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan (ekonomi) semata-mata sudah tidak
relevan dengan kondisi saat ini, hutan harus dimaknai sebagai pemberi manfaat
bagi lingkungan hidup dan sosial-budaya. Manfaat ekonomi diupayakan untuk
pula sejalan dengan aspek sosial dan lingkungan melalui upaya konservasi sumber
daya alam. Prinsip keadilan antargenerasi meletakkan tiga kewajiban mendasar
bagi generasi sekarang dalam konservasi sumber daya alam, yaitu: (1)
conservation of option, menjaga agar generasi mendatang dapat memilih kuantitas
keanekaragaman sumber daya alam; (2) conservation of quality, menjaga kualitas
lingkungan agar llestari; dan (3) consevation of acces, menjamin generasi
mendatang minimal memiliki akses yang sama dengan generasi sekarang atas
titipan kekayaan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.4
Dalam perjalanannya, selain memberi dampak positif5, pengelolaan dan
pemanfaatan hutan juga memberi dampak negatif yang mengakibatkan
terdegradasinya sumberdaya hutan, baik diakibatkan pelanggaran maupun karena
4 Ahmad Redi, Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Sinar Grafika Jakarta
Timur, 2014, h. 1-2. 5Sumberdaya hutan sebagai peyumbang devisa dan berperan penting dalam pembangunan
ekonomi nasional.
3
akses perubahan atau proses penyempurnaan6 terhadap sistem pengelolaan itu
sendiri. Proses pengerusakan hutan sesungguhnya telah dimualai dari awal
praktek eksploitasi hutan dilakukan, baik pada era banjir kap, era Hak
Pengusahaan Hutan hingga era sekarang. Namun demikian, praktek eskploitasi
secara tidak sah (ilegal) dapat di katakan baru dimulai sejak era pemberian izin
Hak Pengusahaan Hutan pada awal 1970an7. Pada era tersebut, telah terjadi
praktek ilegal seperti praktek tebang “cuci mangkok”, penebangan diluar blok
tebangan, didalam kawasan lindung, melebihi jatah tebangan dan sebagainya serta
sebagian lagi praktek “pencurian” kayu yang dilakukan masyarakat atau oknum
dalam manajemen badan usaha pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan.8
Pengertian tindak pidana kehutanan menurut UU No 41 Tahun 1999
tentang kehutanan adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap
orang atau kelompok orang atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan
perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau memungut Hasil Hutan Kayu
(HHK) yang diduga dipungut secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki
HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)9.
Dalam Inpres RI No. 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan penebangan
Kayu Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Putting, istilah
illegal logging disamakan dengan istilah penebangan kayu illegal. Illegal logging
identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh Forest Watch
Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GWF) (2001 : 36) yaitu untuk
6Dikenal beberapa sistem pengelolaan, seperti TPI, TPII dan sebagainnya.
7Pada era banjir kap belum ada peraturan perundang undangan yang memadai, dengan
demikian berarti juga tidak ada pelanggaran. 8Suryanto, et.al., Op.Cit., h. 2-3.
9Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tantang Kehutanan Pasal 50
ayat 3, huruf e
4
menggambarkan semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan
pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum
Indonesia.10
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa tindak pidana kehutanan adalah rangkaian kegiatan penebangan dan
pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak
mempunytai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah dan bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena itu dipandang sebagai perbuatan
merusak hutan.11
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus
yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe
dalam Hamzah (1991:1), ada dua kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana
khusus itu, yaitu yang pertama, orang-orang atau subjeknya yang khusus, dan
kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Hukum pidana khusus
yang subjeknya khusu maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus
seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer. Dan hukum
pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang
dilalakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk
delik-delik fiskal.12
Kejahatan di bidang kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang
dlam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu delik-delik kehutan
yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu. Pada dasarnya kejahatan bidang
10
Teguh Prasetyo et.al., Korupsi dan Illegal Logging, Puustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 13-
14. 11
Ibid., h. 15 12
Op.cit., h. 119
5
kehutanan, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum
dalam KUHP, dapat dikelompokan menjadi beberapa bentuk kejahatan, yaitu: 13
a) Pengrusakan, diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas
hanya mengatur tentang perusakan barang dalm arti barang-barang yang bisa
dimiliki orang( Pasal 406 KUHP). Ancaman hukuman dalam Pasal 406
sampai dengan 412 KUHP paling lama lima tahun atau denda paling banyak
Rp. 4.500.
b) Pencurian, menurut penjelasan Pasal 363 KUHP mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut :1. Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai,
2.Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil
tidak berada dalam penguasaan pelaku.3. Sebagian atau seluruhnya milik
orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak
yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani
hak.4. dengan ssengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan
hukum. Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut
KUHP adalah Pasal 363 lima tahun, Pasal 363 tujuh sampai sembilan tahun,
Pasal 365 lima belas tahun.
c) Penyelundupan, hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu bahkan dalam
KUHP. Namun demikian, Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun
1999, yang mengatur tentangmembeli, menjual dan atau mengangkut hasil
hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai
perbuatan penyelundupan kayu.
13
Op.cit., h. 120-124
6
d) Pemalsuan, pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276, pemalsuan
materai dan merek diatur dalam pasal 253-262. Pemalsuan dalam hal ini
membuat surat palsu yang isinya tidak semestinya. Ancaman pidananya
menurut Pasal 263 KUHP yaitu penjara paling lama 6 tahun dan Pasal 264
paling lama delapan tahun.
e) Penggelapan, dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377.
Ancaman hukumannya yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-.
f) Penadahan, dalam KUHP pendahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan
lain dari perbuatan persekongkolan atau sekongkol atau pertolongan jahat.
Penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 480 KUHP. Ancaman pidana dalam pasal
480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp. 900,-.
Modus ini telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41
Tahun 1999.
Dari berbagai problematika yang ditimbul sangat diperlukan penegakan
hukum yang serius dan jitu dari tingkat pusat sampai ketingkat daerah agar
pelanggaran mengenai tindak pidana di bidang kehutanan dapat ditekan. Dalam
melaksanakan fungsi penegakan hukum tentunya harus ada sarana dan prasarana
yang memadai, antara lain harus ada personil yang memadai untuk mampu
mengawasi seluruh wilayah hutan yang ada di wilayah Wonogiri terutama
wilayah-wilayah yang rawan terjadi kasus tindak pidana kehutanan serta SDM
yang handal.
Disamping itu pula perangkat hukum terutama peraturan perundang-
undangan yang ada harus pula menjadi prioritas utama yang dapat memberi
7
keleluasaan bertindak apabila para penegak hukum menemukan tindak kejahatan
di hutan.14
Kerjasama antara instansi-instansi ini diharapkan dapat mengurangi
atau bahkan memberantas habis segala macam tindakan yang mengarah pada
kasus tindak pidana bidang kehutanan yang ada diwilayah Wonogiri.
Dalam menjalankan penegakan maupun pencegahan terhadap tindak
pidana bidang kehutanann di wilayah Kabupaten Wonogiri Polres Wonogiri
beserta Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan atau
dalam hal ini Polisi Hutan Wilayah Wonogiri berkerjasama sesuai
kewenangannya masing-masing yang didalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP
menyebutkan bahwa ada dua pejabat yang berkedudukan sebagai Penyidik, yaitu
Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik Polri
memiliki kewenangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1)
KUHAP sedangkan untuk PPNS kewenangannya sesuai dengan undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, untuk PPNS kehutanan
kewenangannya diatur dalam Pasal 77 Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan dan Pasal 39 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAHE.
PPNS kehutanan walaupun telah diberi kewenangan oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan sebagaimana disebut di atas, namun dalam
pelaksanaan tugasnya Kedudukannya berada dibawah kordinasi dan Pengawasan
penyidik POLRI dalam hal ini Polres Wonogiri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP) dengan
kata lain bahwa: 1. Kedudukan Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana
kehutanan adalah; sebagai Koordinator; dan sebagai Pengawas proses penyidikan
14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013, h. 5.
8
oleh PPNS Kehutanan. 2. Kedudukan PPNS Kehutanan sebagai Penyidik tindak
pidana kehutanan.
Seperti yang dilakukan Polres Wonogiri dalam menangani tindak pidana
bidang kehutanan yang semakin meningkat di masa-masa sekarang ini, karena di
wilayah Wonogiri sendiri daerahnya sebagian besar adalah berupa kawasan hutan.
Tidak menutup kemungkinan bila daerah yang sebagian besar hutan di
manfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencuri bahkan
untuk merusak hutan di wilayah Wonogiri. Luas kawasan hutan di daerah
Wonogiri sendiri menurut Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah tahun 2013
bahwa luas kawasan hutan di Wonogiri 20,094.56 ha.
Ada beberapa jenis hutan yang mempunyai fungsi masing-masing
diantarnya: 1) Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah, 2) Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah, 3) Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat, 4) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, 5) Hutan lindung adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, 6) Hutan
konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, 7) Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi
9
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, 8) Kawasan hutan pelestarian alam
adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, 9) Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai
tempat wisata berburu.15
Dan jenis hutan yang membentang luas di wilayah Kabupaten Wonogiri
termasuk dalam kategori hutan lindung karena mengingat fungsi dan
kegunaannya. Jenis tanaman yang membentang luas di kawasan hutan Wonogiri
sebagian besar berupa hutan jati dan hutan pinus. Mengingat pentingnya kawasan
hutan di Wilayah Kabupaten Wonogiri guna mencegah banjir, tanah longsor, dan
pendangkalan Waduk Gajah Mungkur. Polres Wonogiri beserta Kesatuan
Pemangkuan Hutan Wonogiri selaku salah satu satuan kerja Perum Perhutani di
wilayah kabupaten Wonogiri, bersama dengan stake holder terkait yang ada di
wilayah kabupaten Wonogiri, bahu membahu dan bersama-sama menciptakan
situasi keamanan hutan yang kondusif agar tujuan menganai tindak pidana illegal
logging yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri dapat berkurang. Tidak
bertumpu pada penegakan secara represif saja untuk bena-benar mengurangi
tindak pidana kehutanan yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri, Polres
Wonogiri melakukan penegakan secara preventiv dengan tujuan penecegahan
sebelum terjadi tindakan yang dilakukan masyarakat dalam kaitannya tindak
pidana kehutanan. Terbukti dengan adanya tindakan preventif yang dilakukan
Polres Wonogiri dalam hal ini Satbinmas, yang rutin melakukan pembinaan atau
15
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 1
ayat 4-12
10
penyuluhan bersama KPH dan masyarakat disekitar kawasan hutan di wilayah
Wonogiri, setidaknya dapat menekan angka tindak pidana di bidang kehutanan
yang selama tahun 2013 terdapat 3 kasus dan ditahun berikutnya yaitu ditahun
2014 tindak pidana mengenai pencurian kayu dapat dikatan nihil atau tidak ada,
ini sesuai data dari ANEV TINDAK PIDANA BULAN TAHUN 2013 SAT
RESKRIM POLRES WONOGIRI.16
Tetapi dalam kenyataannya yang terjadi
dilapangan menurut data dari Polhut Polres Wonogiri dari Periode Tahun 2013-
2014 ada 8 kasus yang terkait tindak pidana di bidang kehutanan di Wilayah
Kabupaten Wonogiri.17
Kabupaten Wonogiri sendiri terdapat empat KPH yang tersebar
diantaranya ;18
1 KPH Kota Wonogiri, Polsek yang menaungi Polsek Wonokarto,
2 KPH Jatisrono, Polsek yang menaungi Polsek Jatisrono, 3 KPH Baturetno,
Polsek yang menaungi Polsek Baturetno, 4 KPH Purwantoro, Polsek yang
menaungi Polsek Purwantoro. Dari kerjasama yang dibangun antar instansi-
instansi dan penegakan hukum seacara preventif yang dilakukan Polres Wonogiri,
semuanya ini diharapkan dapat mengurangi atau bahkan memberantas habis
segala macam tindak kejahatan kehutanan, terutama mengenai Tindak Pidana di
bidang kehutanan yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hal tersebut, oleh karena itu penulis mengambil
judul skripsi tentang “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN (Studi Kasus di Polres Wonogiri)”.
16
Wawancara dengan KASAT RESKRIM POLRES WONOGIRI, Wonogiri, 14 Juli 2015 17
Wawancara dengan KASAT POLHUT POLRES WONOGIRI, Wonogiri 31 Juli 2015 18
Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS POLRES Wonogiri, Wonogiri, 31 Juli 2015
11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka untuk
membatasi luasnya permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini,
penulis merumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang
kehutanan oleh Polres Wonogiri ?
2. Apa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana di
bidang kehutanan ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini tujuan yang diharapkan yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk penegakan hukum oleh Polres Wonogiri
terhadap tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penindakan
hukum oleh Polres Wonogiri terhadap tindak pidana di bidang kehutanan di
wilayah Kabupaten Wonogiri.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang
positif, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pendalaman kajian
serupa, sehubungan dengan fungsi penegakan hukum sebagai sarana
12
penyesaian sengketa, serta sebagai pembaharuan masyarakat yang
menyangkut perilaku masyarakat untuk mampu memahami norma hukum
yang berlaku guna membangun masyarakat yang sadar terhadap adanya
hukum dan kepatuhan terhadap hukum.
b) Seacara teoretis penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan bidang
hukum khususnya dalam hukum pidana mengenai penegakan hukum
terhadap tindak pidana di bidang kehutanan yang terjadi di Kabupaten
Wonogiri.
2. Kegunaan Praktis
Pembuatan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan
bagi aparatur penegak hukum didalam bidang kehutanan dan bahan tambahan
perpustakaan atau bahan informasi berbagai pihak mengenai penegakan hukum
yang di lakukan oleh Polres Wonogiri terkait dengan tindak pidana di bidang
kehutanan.
E. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu
menggambarkan realitas sosial dari fakta-fakta yang diketemukan dalam
penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan oleh Polres
13
Wonogiri dalam penanggulan tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah
Kabupaten Wonogiri.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
pendekatan secara Sosio Legal. Pendekatan Sosio Legal adalah suatu pendekatan
dalam penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial yang
lebih menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan
hukum19
. Terkait dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang
kehutanan oleh Polres Wonogiri dalam menanggulangi tindak pidana di bidang
kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.
3. Jenis dan Sumber Data, Unit Amatan
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi penggunaan data sebagai
berikut:
a. Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan. Data primer dalam
penulisan ini diperoleh dengan cara interview/wawancara terhadap pihak
Polisi Resort Wonogiri tepatnya dibagian SATBINMAS Kanit Binpolmas
dengan AIPTU Suyoto, SATRESKRIM dengan IPDA Wiyono, POLHUT
Polres Wonogiri yang terkait dengan penegakan hukum terhadap tindak
pidana di bidang kehutanan. Banyak hal yang dapat dikaji melalui penegakan
hukum terhadap tindak pidanan di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri
tersebut, mengingat pentingnya kawasan hutan di Wilayah Kabupaten
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, 2014, h. 128.
14
Wonogiri guna mencegah banjir, tanah longsor, dan pendangkalan Waduk
Gajah Mungkur.
b. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan
cara melakukan study dokumen dan study literatur dalam mempelajari hal-hal
yang bersifat teoritis, konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin hukum
serta isi kaedah hukum yang menyangkut penegakan hukum terhadap tindak
pidana di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri. Jenis data sekunder dalam
penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier.
1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Hayati dan Ekosistemnya;
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
15
Unit amatan terdiri dari:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
4. Penyidik Polres Wonogiri
5. SATBINMAS Polres Wonogiri
6. POLHUT Polres Wonogiri
Unit analisis : Tentunya yang berkaitan dengan penegakan hukum
terhadap tindak pidana di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum perimer yaitu : karya tulis dari para sarjana; hasil-
hasil penelitian dari kalangan hukum; peraturan pelaksanaan undang-
undang; dan sebagainya.
3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari
kamus, dan sebagainya.
16
4. Teknik Pengumpulan Data
Lazimnya suatu penelitian maka dalam penelitian ini digunakan teknik-
teknik pengumpulan data dengan harapan mampu diperoleh data yang benar-benar
valid dan untuk itu digunakan teknik-teknik dalam hal pengumpulan datanya
melalui:
a. Survey awal berupa pengambilan informasi dari instansi dalam hal ini Polisi
Resor Wonogiri tepatnya bagian KASAT RESKRIM SATBINMAS dan
POLHUT untuk mempermudah langkah pengumpulan informasi berikutnya.
b. Wawancara
yang tersusun berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh
informan (informan) yang diterima dijadikan bahan untuk merumuskan
sejumlah daftar pertanyaan yang sebelumnya telah disiapkan atau disusun
lebih dahulu.
c. Studi pustaka (library research) meliputi mempelajari berbagai dokumen dan
bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak
pidana di bidang kehutanan.
17
F. Sistematika Penulisan
Agar penyusunan skripsi ini lebih terarah dan mudah dipahami maka
penulisan ini dibagi menjadi beberapa sub bab yang akan penulis awali terlebih
dahulu dengan :
BAB I Pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Dalam bab ini dikemukakan mengenai kerangka teori, hasil penelitian,
dan analisis.
BAB III Penutup, dalam bab ini dikemukakan mengenai kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran.