Post on 10-Apr-2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal ini terdapat dalam UUD 1945
pasal (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.1Oleh karena itu, negara
hukum dan hak asasi manusia memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat erat serta tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Menurut Julius Stahl, konsep Negara
Hukum yang disebutnya dengan istilah rechsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia
2. Pembagian Kekuasaan
3. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang
4. Peradilan Tata Usaha Negara2
Dalam negara hukum (rechtsstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi
manusia setiap individu, sehingga semua orang yang memiliki hak untuk diperlakukan sama
dihadapan hukum (equality before the law). Persamaan dihadapan hukum harus diartikan
secara dinamis dan tidak statis, artinya kalau ada persamaan dihadapan hukum maka harus
diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment). Kalau seorang yang mampu
(the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk
membela kepentingannya, sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu (the have not)
juga dapat meminta pembelaan datri seorang atau lebih pembela hukum (public defender)
sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum untuk membela kepentingannya dalam suatu
perkara hukum. Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam
1Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat 3.
2Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, (Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Ketua Asosiasi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, hlm. 2
menghadapi masalah hukum, sedangkjan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan karena
tidak sangggup membayar uang jasa seorang advokat.3
Karakteristik negara hukum terlihat jelas karena adanya ketegasan pemisahan
kekuasaan sehingga terlihat bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan oleh
perorangan penguasa.4 Negara berkewajiban untuk dapat mewujudkan terselenggaranya
peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya suatu keadaan dimana setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for all).5
Bantuan hukum merupakan suatu media yang dapat digunakan oleh semua orang
dalam rangka menuntut haknya atas adanya perlakuan yang tidak sesuai dengan kaedah
hukum yang berlaku. Hal ini didasari oleh arti pentingnya perlindungan hukum bagi setiap
insan manusia sebagai subyek hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Bantuan
hukum itu bersifat membela masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal usul,
keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya miskin, agama, dan kelompok orang
yang dibelanya. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak mampu
untuk membayar jasa penasihat hukum dalam mendampingi perkaranya. Meskipun ia
mempunyai fakta dan bukti yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau menunjukkan
kebenarannya dalam perkara itu, sehingga perkara mereka pun tidak sampai ke pengadilan.
Padahal bantuan hukum merupakan hak orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar
(probono publico).
Adanya ketidak mampuan masyarakat secara finansial untuk menuntut haknya sesuai
dengan prosedur hukum, menuntut untuk diadakannya suatu kebijaksanaan sehingga dapat
mengajukan suatu perkara perdata dengan tidak terbentur oleh biaya, khususnya dalam
3Arief sidharta, Butiran-butiran pemikiran dalam hukum memperingati 70 tahun. hal 238
4Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), hal. 21. 5FransHendraWinarta, Pro Bono Publico: HakKonstitusional Fakir Miskinuntuk Memperoleh Bantuan Hukum,
(Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 2.
berperkara perdata, oleh karena itu diperlukan suatu prosedur untuk mengajukan perkara
secara cuma-cuma / tidak perlu membayar panjer perkara (prodeo). Sehingga bagi pihak
yang kurang mampu, dapat mengajukan gugatan secara cuma-cuma yang disebut dengan
berperkara secara prodeo. Hal tersebut sesuai dengan asas trilogi peradilan yaitu peradilan
cepat, sederhana dan murah.6
Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar dalam
penyelenggaraan negara Republik Indonesia di bidang bantuan hukum, namun sulit untuk
menyajikan suatu sistem penyelenggaraan negara khususnya sistem perundang-undangan
bidang bantuan hukum secara tepat guna. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa
peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum, selain itu tidak semua kondisi telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan juga sering terdapat kebutuhan untuk mengatur
hal-hal yang bersifat teknis. Kendati pengaturan hal teknis dalam suatu peraturan menjadi
kebutuhan terkadang tidak mampu diakomodasi dari pendelegasian wewenang tentang
bantuan hukum sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum beserta peraturan pelaksanaannya. Bantuan hukum merupakan tugas dan hak
konstitusional bagi setiap warga negara. Jaminan dan perlindungan tersebut pencerminan
asas equality before the law yang telah dijamin dalam Pasal 5, 6, dan 7 Universal Declaration
of Human Right.7International Convernant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal
16 dan Pasal 26 dapat dirujuk sebagai dasar normatif perlindungan atas hak memperoleh
perlindungan hukum dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi, kemudian dipertajam
dengan Pasal 13 ayat (3) ICCPR mengenai syarat pemberian bantuan hukum, yaitu harus
berorientasi kepada keadilan dan ketidak mampuan membayar Advokat,8Basic Principles on
6Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Edisi kelima, Liberty Yogyakarta,
hal 16 7 Universal Declaration of Human Right (1948)
8 Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya, dan Anton F. Susanto,
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Semarang: Thafa Media, 2013), hal. 728.
the Role of Lawyers,9 dan juga terdapat pada UUD 1945. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala
warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dasar pertimbangan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen terakhir, menyatakan segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya didepan hukum, fakir miskin memiliki hak
konstitusi untuk diwakili dan dibela oleh Advokat atau pembela umum secara litigasi dan
non-litigasi (bantuan hukum) sama seperti orang yang mampu mendapatkan jasa hukum
Advokat (legal service).10
Setiap orang memiliki hak-hak untuk mendapat perlakuan dan
perlindungan yang adil dengan persamaan dihadapan hukum, maka oleh karenanya untuk
setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta pembelakangan yang diderita
olehnya, ia berhak pula mendapatkan hukum, Kebenaran dan Keadilan, sesuai dengan asas
Negara Hukum.11
Jaminan setiap orang untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagai pencerminan asas equality protection the law,12
dan asas equal justice under the law13
yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28d ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
Negara menjamin pula hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
9Frans Hendra Winarta, Op.Cit.,hal. 4
10Syafruddin Kalo, Kuliah Hukum Pidana Pascasarjana USU, Rabu, 23 Oktober 2013.
11Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan (Jakarta: PTElex
Media Komputindo, 2000), hal. 29. 12
Equality protection the law adalah perlindungan yang sama oleh hukum. 13
Equal justice under the law adalah perlakuan sama oleh hukum
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28i ayat (1).
Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya prinsip ini
berarti negara mengakui adanya hak-hak dalam ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik
bagi para fakir miskin, maka secara konstitusional orang miskin berhak untuk diwakili dan
dibela baik didalam maupun diluar pengadilan (acces to legal counsel) sama seperti orang
yang mampu membayar atau yang mendapat jasa hukum. Bantuan hukum bagi si miskin
termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Jadi bantuan hukum adalah hak dari orang yang
tidak mampu yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran
persamaan hak di hadapan hukum.14
Pendelegasian wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi juga
harus jelas karena pendelegasian wewenang mengenai bantuan hukum tersebut tidak dapat
hanya berupa delegasi blanko yang memungkinkan eksekutif membuat berbagai peraturan
dengan dalih sebagai peraturan pelaksana.15
Jaminan terhadap hak dan kewajiban ditegaskan dan dijadikan landasan bagi
pembentukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang
kemudian disebut dengan UU Bantuan Hukum. UU BanKum ini menjadi salah satu bentuk
pelaksanaan hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama
dihadapan hukum, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan
bantuan hukum bagi orang miskin.16
Selain itu, jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum
telah diatur pula dalam UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal
17,18,19,dan 34. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak
14
Syafruddin Kalo, Op. Cit. 15
Victor Imanuel W. Nalle, 2013, Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, hal.
5. 16
Uli Parulian Sihombing, dkk, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education) dalam Implementasi UU
Bantuan Hukum, Jakarta, ILRC, 2014, hlm.2.
Sipil dan Politik (Kovenan Hak-hak Sipol - International Covenant on Civil and Political
Right).Pasal 16 dan Pasal 26 Konvensi itu menjamin akan persamaan kedudukan di depan
hukum (equity before the law) dimana semua orang berhak untuk perlindungan dari hukum
serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pandangan politik berbeda, nasional atau asal muasal kebangsaan, kekayaan,
kelahiran atau status yang lain-lainnya.17
Negara dalam pemberian perlindungan hukum kepada warganya dapat dilihat dalam
penjelasannya yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada
warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara
hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan
kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum
(equality before the law). Adapun aturan pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia
diantaranya adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2013 tentang syarat tata
cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum.
4. Permenkumham Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013.
5. Permen No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi Dan Akreditasi Lembaga
Bantuan Hukum Atau Organisasi Kemasyarakatan.
Lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum menambah daftar peraturan perundang-
undangan yang memuat tentang bantuan hukum, meskipun memang peraturan perundang-
undangan yang bersifat lex speciali baru ada setelah hadirnya Undang-Undang ini. Kendala
17
YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan
Masalah Hukum, Jakarta: YLBHI, 2006, hlm.47.
atas implementasi perundang-undangan yang terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang
Bantuan Hukum adalah tidak adanya jaminan di dalam UUD 1945 dan di dalam KUHAP
bagi orang mampu maupun bagi orang yang tidak mampu untuk membayar atau memperoleh
pembelaan. Meskipun Undang-Undang Advokat mengakui konsep bantuan hukum, namun
tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum secara
mendalam.18
Terdapat berbagai penafsiran dalam beberapa Undang-Undang. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menyebutkan bahwa Advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Secara lebih spesifik aturan ini termuat juga dalam Kode Etik Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI) Pasal 7 point h menyatakan bahwa Advokat mempunyai kewajiban
untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak
mampu. PERADI sendiri membentuk satu unit layanan bernama PBH PERADI, yang
menerapkan kewajiban 50 jam per-tahun untuk setiap Advokat memberikan bantuan hukum
pro bono. Terkait dengan bantuan hukum pro bono, negara menjadikan Pos Bantuan Hukum
sebagai wadah untuk bantuan hukum bagi orang tidak mampu.
Pelaksanaan bantuan hukum juga terdapat perbedaan pendapat tentang Sistem Pro
bono maupun Sistem bantuan hukum, sekalipun sama-sama merupakan strategi untuk
memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan rentan. Sistem
probono bukanlah penganti dari sistem bantuan hukum, tetapi ikut mendukungnya dengan
keterlibatan para Advokat sebagai salah satu pemberi layanan. Sistem bantuan hukum tidak
meniadakan kewajiban pro bono Advokat. Hal ini telah menjadi isu hukum di sebagian
kalangan Advokat karena eksistensi Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi
18
Frans Hendra Winarta, Pro Bono Publico..., Op. Cit, hal. 12.
Kemasyarakatan yang memenuhi standar Pelaksana Bantuan Hukum dapat merekrut
paralegal, dosen, mahasiswa Fakultas Hukum dalam memberikan nasihat atau Bantuan
Hukum kepada masyarakat secara litigasi maupun non-litigasi yang diakui dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dimana ketentuan Pasal 4
ayat (3) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. Advokat sebagian
besar memandang bahwa seharusnya Undang-Undang Advokat tidak boleh dimaksudkan
sebagai sarana legalisasi dan legitimasi, yang boleh tampil di depan pengadilan hanya
Advokat karena hal demikian telah diatur dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Namun hukum
acara yang berlaku mencantumkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan
menggunakan istilah penasihat hukum. Ketentuan hanya Advokat sebagai penasihat litigasi
telah mengalami perubahan.
Secara konsepsional, bantuan hukum dalam sistem peradilan terbatas pada charity
(undangan kegiatan amal/gratis sebagai wujud kepedulian) dalam kerangka pemerataan
keadilan. Konsep yang demikian menjadikan besarnya alokasi anggaran menjadi indikator
utama apakah bantuan hukum telah berhasil atau tidak. Anggaran tersebut dikelola oleh
pemerintah dan merupakan kebijaksanaan sosial. Kebijaksanaan yang diharapkan agar
pemerintah mampu melindungi dan sekaligus bahwa hak asasi manusia telah dilaksanakan
yakni melalui bantuan pembiayaan keuangan kepada orang miskin untuk membayar jasa
Pemberi Bantuan Hukum. Penetapan besaran anggaran bantuan hukum yang dialokasikan
dikhawatirkan menimbulkan kepentingan tertentu dimana anggaran untuk proses nonlitigasi
lebih kecil dari pada proses litigasi, hal ini bisa memancing Pemberi Bantuan Hukum yang
nakal untuk menyerap secara maksimal anggaran dengan mengesampingkan proses
nonlitigasi.
Sebagai turunan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
adalah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bantuan hukum ini tidak mengatur
secara jelas apakah bantuan tersebut dapat diterima oleh kasus yang ancaman atau dendanya
kecil yaitu kurang dari satu juta rupiah, sedangkan jika merujuk pada KUHAP seharusnya
diberikan pada orang tidak mampu dengan ancaman 5 tahun atau lebih. Perlindungan hukum
terhadap orang miskin juga dikhawatirkan tertanamnya sikap perlindungan negatif, yaitu
dalam arti Penerima Bantuan Hukum akan melakukan tindakan semaunya karena merasa
dilindungi jika nanti terlibat kasus hukum.
Bantuan hukum sering diartikan masyarakat sebagai suatu tindakan belas kasihan di
bidang hukum kepada fakir miskin sebagaimana diungkap dalam Konferensi yang ke-3 dari
Law Asia di Jakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Juli 1973 bahwa ada kecenderungan
umum yang melihat bantuan hukum kepada orang miskin hanya merupakan belas kasihan
tetapi bukan sebagai hak asasi manusia, dimana orang miskin dapat membela dirinya secara
hukum dan menyampaikan semua keluhannya untuk kemudian mendapatkan ganti rugi
bantuan hukum janganlah dilihat dari sudut yang sempit.19
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penulis dapat merumuskan
permasalahan yaitu :
1. Bagaimana Sistim Bantuan Hukum Di Indonesia ?
2. Bagaimana Sistim Bantuan Hukum Kedepannya Dan Bantuan Hukum Mana Yang Harus
Diperbaiki ?
C. Tujuan Penelitian
19
Fran Hendra Winarta, Pro Bono Publico..., Op. Cit, hal.34.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penulis telah kemukakan diatas,
maka tujuan yang akan dicapai bagi perkembangan ilmu hukum ialah :
1. Untuk mengetahui sistim bantuan hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui sistim bantuan hukum kedepannya, yang dimaksud adalah tantangan
dan hambatan apa saja yang terjadi pada poses pemberian bantuan hukum di indonesia
dan untuk mengetahui kebijakan hukum mana saja yang harus diperbaiki.
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat akedemis
Hasil penelitian hukum in semoga dapat memberikan manfaat bagi dunia
akedemis yang berkaitan tentang pemberian perlindungan bantuan hukum bagi
masyarakat miskin di indonesia.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya, serta memberikan kontribusi pemikiran bagi praktis hokum
dan pembuat kebijakan terkait, khususnya sebagai tambahan referensi bagi
masyarakat yang ingin memperoleh perlindungan bantuan hukum di Indonesia dalam
menghadapi suatu perkara hukum.
E. Metode peneelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam upaya pengumpulan data atau bahan
dalam rencana penelitian ini adalah metode penelitian normative yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari bahan pustaka.
1. Pendekatan Penelitian
Berdasrarkan penelitian yang bersifat normatif diatas, penelitian yang digunakan
dalam tulisan ini yaitu Pendekatan dalam aspek hukum di indonesia dalam menangani
bantuan hukum bagi masyarakat miskin di indonesia yang tercantum dalam Undang –
undang Tentang Bantuan Hukum.
Menggunakan pendekatan Komparatif yang dimana pendekatan ini dilakukan
dengan melihat peraturan hukum ataupun putusan pengadilan di suatu Negara dengan
peraturan hukum di Negara lain, namun haruslah mengenai hal yang sama, dilakukan
agar memeperoleh kesesuaian di antara peraturan hukum atau putusan pengadilan
tersebut.
2. Jenis dan sumber data
Di dalam penelitian ini, Jenis data yang diperlukan adalah :
Data sekunder yaitu data yang telah diolah dan merupakan data yang diperoleh
dari bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan masalah penelitian, antara lain
mencakup dokumen-dokumen, buku-buku, dan sebagainya. Data sekunder tersebut
berbentuk bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier yang akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yaitu badan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat, yang mengatur pelaksanaan bantuan hukum yang beracara secara Cuma-
Cuma (prodeo) oleh lembaga-lembaga bantuan hukum.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan pada dasarnya memberikan penjelasan secara teoritis
terhadap rumusan – rumusan peraturan yang dijadikan dasar hukumnya dan atau
menjelaskan secara teoritis bahan hukum primer, seperti pendapat para ahli yang
terdapat dalam literatur yang digunakan serta dokumen yang diperlukan.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier ini pada dasarnya memberikan penjelasan atas berbagai
istilah yang digunakan, baik yang terdapat dalam peraturan-peraturan sebagaimana
dikemukakan, maupun istilah asing yang digunakan oleh para ahli. Bahan hukum
tersier ini dapat berupa kamus umum, baik kamus bahasa indonesia, bahasa inggris,
bahasa belanda maupun bahasa hukum.
Adapun sumber data yang dalam penelitian ini :
1) Penelitian kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan (Library Research) merupakan penelitian yang
dilakukan terhadap buku-buku karya ilmiah, undang-undang, dan peraturan-
peraturan terkait lainnya. Bahan penelitian kepustakaan ini diperoleh penulis dari
:
- Perpustakaan Fakultas ukum Universitas Kristen Satya Wacana.
- Perpustakaan Pusat Universitas Kristen Satya Wacana.
- Buku – buku serta bahan kuliah yang penulis miliki.
A. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam skripsi ini terbagi ke dalam 3 bab, antara lain :
BAB I : Bab ini akan diuraikan mengenai
A. Latarbelakang masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penelitian
D. Manfaat penelitian
E. Metode penelitian
F. sistematika penulisan dan daftar bacaan.
BAB II : Bab ini akan dijabarkan mengenai pelaksanaan dan penerapan bantuan
hukum bagi masyarakat miskin di indonesia dengan undang – undang yang
berlaku di Negara Republik Indonesia mengenai bantuan hukum
BAB III : Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu kesimpulan penulis berdasarkan
rumusan permasalahan dan analisis data serta saran.