Post on 09-Aug-2021
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali yang menjadi pusat
pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan pusat kegiatan lainnya. Luas
wilayah Kota Denpasar 127,78 km2 atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan
Provinsi Bali yaitu 5.632,86 Km2. Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun
2010 sebanyak 788.589 jiwa yang terbagi dalam 4 kecamatan yaitu, Kecamatan
Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan,
Kecamatan Denpasar Utara.1 Hal ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi
Pemerintah Kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas
pelayanan publik.
Pertumbuhan masyarakat dan perkembangan usaha di Kota Denpasar
sangat pesat terjadi, hal ini dikarenakan Denpasar merupakan pusat kegiatan
ekonomi di pulau Bali dan juga merupakan salah satu pusat pariwisata di
Indonesia. Oleh karenanya Kota Denpasar memiliki daya tarik tersendiri bagi
masyarakat luar negeri maupun masyarakat dalam negeri, yang mengakibatkan
menumpuknya masyarakat di Kota Denpasar, entah sebagai wisatawan maupun
ingin mengadu nasib mencari pekerjaan.
1Situs Resmi Pemerintah Kota Denpasar, 2015, "Luas Wilayah, Jumlah Rumahtangga,
dan Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Bali", Badan
Pusat Statistik Kota Denpasar, URL: http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/frontend
/linkTabelStatis/view /id/13,diakses tanggal 18 September 2015.
2
Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya
dalam melaksanakan kepentingan umum, dibekali dengan instrumen wewenang
pemerintah untuk melakukan perbuatan pemerintahan, yang dalam konsep hukum
administrasi di Belanda dikenal dengan istilah “besturhandeling” atau dalam
hukum administrasi di Indonesia dikenal dengan istilah perbuatan pemerintahan
atau tindakan pemerintahan.2 Tindakan pemerintah tersebut kemudian diwujudkan
dalam bentuk pelayanan publik. Pelayanan publik yang merupakan kewajiban dari
pemerintah kepada setiap warga negara dan penduduk sehingga metode dan
prosedur serta senantiasa harus diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan dan
harapan masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang paling sering dijumpai
dalam lalu lintas antara pemerintah dan masyarakat adalam berkaitan dengan
perizinan. Pelayanan perizinan dewasa ini masih dirasakan kurang memuaskan
dalam berbagai sektor perizinan.
Izin merupakan keputusan tata usaha Negara atau dikenal dengan istilah
beschikking. Beschikking memiliki definisi, “Onder „beschikking’ kan in zijn
algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een bestuursorgaan,
dat gericht is op rechtsgevolg”3. Secara umum, beschikking dapat diartikan;
2Kuntjoro Purbopranoto, 1972, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h.44.
3R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding. Kobra, Amsterdam, tt. h.14.
3
keputusan yang dikeluarkan oleh organ pemerintahan yang bertujuan untuk
menimbulkan akibat hukum.4
Menurut L.P. Sinambela menyatakan bahwa masyarakat selalu menuntut
adanya pelayanan publik yang terbaik dan berkualitas dari pemerintah, walaupun
tuntutan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat, karena secara
empiris di masyarakat pelayanan perizinan masih terkesan lambat, berbelit-belit,
mahal dan melelahkan. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang masih
diposisikan sebagai yang melayani bukan yang dilayani.5
Masyarakat umum (termasuk kalangan pengusaha atau swasta) masih
merasakan bahwa proses pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh aparatur
pemerintahan masih terkesan kurang baik di mata masyarakat, seperti proses yang
berbelit-belit, tidak adanya transparansi dan juga melelahkan. Masyarakat yang
mangajukan permohanan izin sering bolak-balik dari satu kantor ke kantor lainnya
hanya untuk mengurus 1 jenis pelayanan perizinan, sehingga masyarakat menjadi
malas untuk mengurus izin mereka, maka pelayanan perizinan yang dilakukan
oleh aparatur pemerintahan di cap buruk oleh masyarakat. Bagi kalangan usaha
permasalahan izin seperti ini tentu saja sangat menghambat, sehingga kepercayaan
dari masyarakat dan kalangan usaha terhadap pemerintah akan menurun.
Merespon permasalahan tersebut sebenarnya pengaturan mengenai
Pelayanan Publik itu sendiri telah diatur dalam Undang-undang Republik
4Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.142.
5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4.
4
Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan
Publik) pada Pasal 1 menyatakan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.” Yang bertujuan untuk memberikan acuan
kepada aparatur pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat.
Keseriusan pemerintah akan pentingnya pelayanan publik khususnya di
bidang perizinan itu sendiri juga di perkuat dengan Pasal 350 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa
kepala daerah diwajibkan untuk memberikan pelayanan perizinan. Pasal ini
menegaskan bahwa pelayanan perizinan juga merupakan tanggung jawab dari
pemerintah daerah, sehingga pelayanan perizinan dapat dilakukan dari lapisan
terdekat yaitu Kepala Daerah.
Kota Denpasar telah mengakomodir aturan dalam UU Pelayanan Publik
kedalam bentuk Peraturan Walikota yang bertujuan agar mempermudah regulasi
pelayanan publik di bidang perizinan yaitu Peraturan Walikota Denpasar Nomor
21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan (Selanjutnya
disebut Perwali Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan), yakni dalam Pasal 2 pada
pokoknya menyatakan bahwa, Walikota Denpasar disini menjadi penyelenggara
pelayanan perizinan yang mencakup verifikasi permohonan, penandatangan,
5
penerbitan,pengawasan, pembatalan dan pencabutan izin. Selain itu Walikota
Denpasar juga menyelenggarakan pelayanan perizinan yang meliputi 75 jenis izin.
Salah satu dari 75 jenis izin yang diselenggarakan oleh Kota Denpasar
adalah ijin penyelenggaraan balai pengobatan / klinik. Dengan jumlah penduduk
yang padat tentu saja permasalahan kesehatan juga tinggi di Kota Denpasar, hal
ini mendorong banyak bermunculannya Klinik di Kota Denpasar.
Klinik merupakan pilihan tempat pengobatan bagi masyarakat di Kota
Denpasar. Hal tersebut menyebabkan banyaknya jumlah klinik yang tersebar di
Kota Denpasar yang mempermudah masyarakat dalam menerima pelayanan
kesehatan tanpa harus pergi ke Rumah Sakit Daerah, yang mungkin bagi beberapa
orang jaraknya cukup jauh.
Begitu pesatnya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar tentu saja harus
didasarkan Izin penyelenggaraan dari klinik tersebut. Secara khusus pengaturan
mengenai perizinan klinik diatur melalui Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor
4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan (Selanjutnya
disebut Perda Denpasar Nomor 4 Tahun 2003) dan diuraikan lebih rinci dalam
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar (Selanjutya disebut
Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003).
Pada tahun 2014 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik (Permenkes tentang Klinik), dan
6
dalam aturan ini mengatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan izin
mendirikan klinik. Dalam beberapa persyaratan yang diatur oleh Peraturan
Menteri Kesehatan ini tidak diatur dalam Keputusan Walikota tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar.
Dalam Permenkes tentang Klinik terdapat persyaratan izin mendirikan
Klinik yang terdapat dalam Pasal 26. Begitu pula dalam Keputusan Walikota
Nomor 339 Tahun 2003, dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Permohonan
ijin kegiatan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
keputusan ini wajib memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam
lampiran keputusan ini”. Namun dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar
ini terdapat perbedaan mengenai persyaratan Izin mendirikan klinik yaitu dalam
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik mempersyaratkan adanya dokumen
SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) untuk Klinik Rawat Jalan atau
dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan
Lingkungan) untuk Klinik Rawat Inap, sedangkan di dalam Keputusan Walikota
ini tidak mengharuskan adanya dokumen SPPL atau UKL-UPL. Pengurusan izin
mendirikan Klinik di Kota Denpasar sebelum dikeluarkannya Permenkes tentang
Klinik, beracuan kepada Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003, yang
menjadi dasar hukum dalam pengurusan izin mendirikan Klinik.
Dari perbedaan persyaratan perizinan mengenai klinik tersebut tentu saja
menimbulkan permasalahan di masyarakat. Adapun permasalahan tersebut seperti
bingungnya masyarakat yang hendak mengajukan izin mendirikan Klinik di Kota
7
Denpasar mengenai aturan hukum mana yang digunakan, bagaimana mekanisme
dalam permohonan perizinan pendirian klinik. Kebingungan lain para pengelola
Klinik adalah untuk memperpanjang izin kliniknya dikarenakan adanya
persyaratan-persyaratan baru yang menyebabkan beberapa klinik tidak dapat
melengkapi persyaratan tersebut.
Dari latar belakang tersebut timbul keinginan untuk membahas dan
menulis tugas akhir atau Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Perizinan
Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Klinik”
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar
setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?
2. Hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan perizinan pendirian
klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?
8
1.3.Ruang Lingkup Masalah
Dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan
dan juga untuk mendapatkan gambaran umum mengenai apa yang penulis uraikan
dalam skripsi ini, maka perlu untuk ditentukannya ruang lingkup pemasalahan,
yaitu :
a. Dalam permasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana
mekanisme perizinan klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014
tentang Klinik. Mekanisme tersebut meliputi aturan hukum yang
digunakan, proses permohonan izin dan pengawasan yang dilakukan
setelah diterbitkannya izin.
b. Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai hambatan dan upaya
pemerintah dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota
Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia
pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan
orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa
judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun
dalam penelitian ini, peneliti tidak menemukan skripsi atau disertasi yang
pembahasannya berkaitan dengan Pelaksanaan Perizinan Pendirian Klinik Di Kota
9
Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
1.5.Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dalam penelitian skripsi ini terdapat dua jenis yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus adalah sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dan
informasi kepada masyarakat mengenai perizinan pendirian klinik dan
pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik di Kota Denpasar.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme perizinan pendirian
klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik.
2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang terjadi dalam
pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah
dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
10
1.6. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khusunya Hukum Administrasi Negara.
Selain itu juga diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah Kota
Denpasar dalam melaksanakan pelayanan publik khususnya dalam bidang
perizinan dan memberikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah mengenai pelayanan perizinan.
b. Manfaat Praktis
Untuk memberikan sumbangsih kepada yang membutuhkan
informasi mengenai bagaimana aturan mengenai pelayanan publik di Kota
Denpasar khususnya dibidang Perizinan Mendirikan Klinik.
Selain itu juga untuk mengetahui pelaksanaan perizinan
mendirikan klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik.
1.7.Landasan Teoritis
a. Teori Negara Hukum
Konsep mengenai Negara Hukum merupakan konsep yang dianggap
universal oleh beberapa orang namun dalam implementasinya konsep Negara
Hukum memiliki karakteristik yang beragam. Jika di perhatikan secara historis
dan praktis, konsep Negara hukum ini dapat dilihat dalam beberapa model
seperti Negara hukum menurut Sunnah atau namokrasi Islam dan Al-Qur‟an,
11
Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang lebih dikenal dengan
Rechtsstaat, Negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (Rule Of Law),
konsep Sosialist legality, dan konsep Negara hukum Pancasila.6
Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum, hal ini dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Pengertian Negara hukum menurut D.Mutiara‟as adalah sebagai berikut:
“Negara hukum ialah Negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya
dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya
didasarkan hukum. rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut
semaunya yang bertentangan dengan hukum.” 7
Prinsip-prinsip Negara hukum yang dikemukakan oleh J.B.J.M. ten Berge
adalah sebagai berikut :8
1) Asas Legalitas.
2) Perlindungan Hak-hak asasi.
3) Pemerintah terikat pada hukum
4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.
5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.
Dalam Negara Hukum harus memenuhi dua syarat, syarat pertama adalah
supremacy before the law yaitu hukum diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa
6 Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h.63 7 D.Mutiara‟as, 1955, Ilmu Tata Negara Umum,Pustaka Islam, Jakarta, h.20.
8 Ridwan HR, op.cit, h.9.
12
penuh dalam suatu negara dan rakyat. Syarat kedua adalah equality before the
law yaitu semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah
sama statusnya atau kedudukannya didalam hukum.9
b. Teori Penegakan Hukum
Indonesia merupakan Negara hukum sehingga dalam penyelenggaraan
Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai kedaulatan hukum
(supremasi hukum) dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dan Pancasila.
Secara konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran
nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.10
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.11
9 C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
h.88. 10 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempegaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 5.
13
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan
tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang
berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan
pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.12
c. Good Governance
Pengertian Good Governance menurut Bintoro Tjokroamidjojo, dalam
bukunya yang berjudul “Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good
Governance dan Perwujudan Masyarakat Mandiri” adalah sebagai
sharing/partnership pengelolaan Negara antara sektor publik yaitu pemerintah
dengan sektor swasta/ usaha dan sektor organisasi masyarakat.13
United Nations Development Program tahun 1997 mengemukakan bahwa
karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam
praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah meliputi14
:
a. Partisipasi (Participation): setiap orang atau setiap warga masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama
dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
11Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” tersedia dalam URL:
http://jimly.com/makalah/ namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2015.
12 Soerjono Soekanto, op. cit, h.7.
13 I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, “Good Governance (Kepemerintahan yang Baik)
Dalam PenyelenggaraanPemerintahan Daerah di Bali”, Desertasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.12.
14 Srijanti, A. Rahman H.I., dan Purwanto S.K, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Mahasiswa, Graha Ilmu Yogyakarta, h.220.
14
melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan
aspirasinya masing-masing.
b. Aturan Hukum (Rule of Low): kerangka aturan hukum dan perundang-
undangan harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh,
terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.
c. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam
kerangka kebebasan aliran informasi.
d. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus
diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang
berkepentingan (Stakeholders).
e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang
baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator)
bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus
atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak,
dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai
kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
f. Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan
kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan
dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas
hidupnya.
g. Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses
kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang
benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang
sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
h. Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan dalam
organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat
umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik kepentingan
(stakeholders).
i. Visi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat
memiliki persepktif yang luas dan jangka panjang tentang
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan
pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Keseluruhan prinsip-prinsip Good Governance diatas memiliki keterkaitan
yang sangat erat dan memiliki hubungan antara prinsip satu dengan yang
lainnya. Seperti halnya partisipasi masyarakat akan sangat berpengaruh dengan
efektivitas dan efesiensi dari tindakan pemerintah, dengan baiknya partisipasi
masyarakat maka semakin efektif pula suatu tindakan pemerintah karena
15
mempermudah pemerintah dalam mengambil keputusan untuk mencapai Good
Governance.
d. Teori Hukum Perizinan
Menurut Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti
menghilangkan halangan di mana hal yang dilarang menjadi diperbolehkan15
.
Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa izin sebagai suatu instrumen Pemerintah
yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum
administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat16
. Juniarso Ridwan
mengutip buku Ateng Syafrudin membedakan perizinan menjadi empat
macam:17
a) Izin, bertujuan dan berarti menghilangkan halangan; hal dilarang
menjadi boleh penolakan atas permohonan izin memerlukan
perumusan yang limitatif.
b) Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya
secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus.
c) Lisensi, adalah izin yang memberikan hal untuk menyelenggarakan
suatu perusahaan.
d) Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar
berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi
15 Ridwan HR, op.cit, h.198.
16Juniarso Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Nuansa, Bandung, h. 31.
17Ibid.
16
tugas Pemerintah, namun oleh Pemerintah diberikan hak
penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat
Pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk
kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak
dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.
Izin dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan yang positif terhadap
aktivitas pembangunan. Suatu izin yang dikeluarkan Pemerintah dimaksudkan
untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi
tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula. Juniarso
Ridwan memberi pengertian tentang izin yaitu:18
”Izin adalah perbuatan hukum
administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal kontrol
berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.” Dapat dikatakan, bahwa izin adalah
perangkat hukum administrasi yang digunakan Pemerintah untuk
mengendalikan warga agar berjalan dengan teratur dan untuk tujuan ini
digunakan perangkat administrasi.
e. Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan
efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Dalam
suatu istansi tujuan yang dimaksud berupa keberhasilan dalam melaksanakan
program atau kegiatan menurut tugas, wewenang dan fungsi instansi tersebut.
18Ibid.
17
Melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali berpendapat bahwa
ketika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal pertama
yang dapat dilakukan adalah harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum
itu ditaati atau tidak ditaati.19
Selanjutnya Achmad Ali juga berpendapat bahwa
pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-
undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan
fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang
dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-
undangan tersebut.
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum dapat ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.20
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
19Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, h.375.
20
Soerjono Soekanto I, op.cit, h.8.
18
efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
dari aturan hukum itu sendiri.
Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif,
pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah
perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan
persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur
paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun
merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan
sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan
efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan
hukum tidak efektif dapat dikarenakan ancaman paksaan dari hukum tersebut
yang kurang berat, atau karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara
memadai pada warga masyarakat.21
Berbicara mengenai efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja
hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum
tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku
masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif
apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau
21Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone,
Jakarta, h.186.
19
dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan
yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan
tersebut telah dicapai.
1.8. Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini, tidak terlepas dari adanya suatu
metodelogi yang bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan
ilmiah yang bertujuan untuk menggungkap kebenaran secara sistematis,
metodelogis, dan konsisten.22
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian hukum dibedakan dalam dua macam yaitu penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris. Maka jenis penelitian hukum yang
digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum sosiologis atau empiris
merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan
penelitian terhadap efektifitas hukum.23
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam suatu karya tulis agar karya tersebut lebih baik nilainya atau lebih
akuratnya penelitian tersebut haruslah menggunakan pendekatan masalah yang
tepat, sehingga penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Pendekatan
masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-
22 H.Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.17.
23 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h.51.
20
undangan (Statue Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach),
Pendekatan Fakta (The Fact Approach), hal tersebut dikarenakan dalam
menyelesaikan suatu permasalahan hukum tidak terlepas dari pendekatan
perundang-undangan, memperhatikan pendapat-pendapat para sarjana dan juga
memperhatikan fakta yang ada.24
1.8.3 Sifat Penelitian
Dalam penelitian hukum empiris, penulis menggunakan penelitian yang
sifatnya deskriptif, yaitu berusaha untuk mengembangkan lebih luas mengenai hal
yang akan diteliti. Penelitian deskriptif merupakan penelitian secara umum, yang
termasuk pula didalamnya mengenai penelitian ilmu hukum, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebab dari suatu gejala dalam
masyarakat, atau untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat. Selain itu penelitian deskriptif
juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat juga memperkuat teori yang
sudah ada.
1.8.4 Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu
24 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta,
h.184.
21
baik dari responden maupun dari informan25
dari Badan Pelayanan Perijinan
Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar dan
dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber
dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari
sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang terdokumenkan
dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang dipergunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik;
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor
028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik;
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2014 tentang Klinik;
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan;
Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan;
25 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, h. 69.
22
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4
Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan.
Data sekunder yang juga digunakan adalah buku-buku tentang Negara
hukum, buku-buku tentang administrasi Negara, buku-buku tentang perizinan,
kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, dan sumber-sumber lain yang dapat
menunjang penelitian ini.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik–teknik untuk
mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran
quisioner/angket. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Teknik studi dokumen
Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik
normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari
premis normatif.
b. Teknik wawancara (interview)
Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode
memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan
Tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan
responden.26
Selain dengan cara tatap muka wawancara juga akan dilakukan
26M Mochtar, 1998, Pengantar Metodologi Penelitian, Sinar Karya Dharma IIP, Jakarta,
h.78.
23
secara tidak langsung dengan telepon atau surat dengan para responden.
Informasi yang diperoleh dalam penulisan Skripsi ini adalah melalui
wawancara dengan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si, selaku
Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota
Denpasar dan Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes, selaku Kepala Dinas
Kesehatan Kota Denpasar. Responden dipilih dikarenakan mereka yang
terjun langsung dan memahami mengenai Pelaksanaan perizinan pendirian
Klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.
c. Teknik observasi/pengamatan
Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi
langsung dan teknik observasi tidak langsung. Sedangkan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam
pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau
tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan
dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.
1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data
Dalam penelitian hukum empiris, teknik pengolahan data yang digunakan
adalah dengan cara melakukan seleksi dan pengklasifikasian terhadap informasi-
informasi yang telah didapatkan baik dari wawancara, angket atau kuesioner dan
observasi. Sehingga mempermudah peneliti untuk mengaitkan hubungan antara
24
data primer dengan data sekunder dan juga bahan-bahan hukum yang telah
berhasil dikumpulkan.
Setelah melakukan pengolahan data barulah peneliti melakukan analisis
data yaitu proses pengkajian atau pentelaahan informasi yang dibantu oleh teori-
teori yang telah diperoleh sebelumnya. Pengkajian yang dilakukan dapat berupa
mengkritik, mendukung, dan memberikan kesimpulan terhadap hasil dari pada
penelitian dengan dukungan dari teori yang telah dikuasai oleh peneliti.