BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan...

24
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali yang menjadi pusat pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan pusat kegiatan lainnya. Luas wilayah Kota Denpasar 127,78 km2 atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan Provinsi Bali yaitu 5.632,86 Km2. Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun 2010 sebanyak 788.589 jiwa yang terbagi dalam 4 kecamatan yaitu, Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Utara. 1 Hal ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas pelayanan publik. Pertumbuhan masyarakat dan perkembangan usaha di Kota Denpasar sangat pesat terjadi, hal ini dikarenakan Denpasar merupakan pusat kegiatan ekonomi di pulau Bali dan juga merupakan salah satu pusat pariwisata di Indonesia. Oleh karenanya Kota Denpasar memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar negeri maupun masyarakat dalam negeri, yang mengakibatkan menumpuknya masyarakat di Kota Denpasar, entah sebagai wisatawan maupun ingin mengadu nasib mencari pekerjaan. 1 Situs Resmi Pemerintah Kota Denpasar, 2015, "Luas Wilayah, Jumlah Rumahtangga, dan Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Bali", Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, URL: http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/frontend /linkTabelStatis/view /id/13 ,diakses tanggal 18 September 2015.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali yang menjadi pusat

pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan pusat kegiatan lainnya. Luas

wilayah Kota Denpasar 127,78 km2 atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan

Provinsi Bali yaitu 5.632,86 Km2. Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun

2010 sebanyak 788.589 jiwa yang terbagi dalam 4 kecamatan yaitu, Kecamatan

Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan,

Kecamatan Denpasar Utara.1 Hal ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi

Pemerintah Kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas

pelayanan publik.

Pertumbuhan masyarakat dan perkembangan usaha di Kota Denpasar

sangat pesat terjadi, hal ini dikarenakan Denpasar merupakan pusat kegiatan

ekonomi di pulau Bali dan juga merupakan salah satu pusat pariwisata di

Indonesia. Oleh karenanya Kota Denpasar memiliki daya tarik tersendiri bagi

masyarakat luar negeri maupun masyarakat dalam negeri, yang mengakibatkan

menumpuknya masyarakat di Kota Denpasar, entah sebagai wisatawan maupun

ingin mengadu nasib mencari pekerjaan.

1Situs Resmi Pemerintah Kota Denpasar, 2015, "Luas Wilayah, Jumlah Rumahtangga,

dan Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Bali", Badan

Pusat Statistik Kota Denpasar, URL: http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/frontend

/linkTabelStatis/view /id/13,diakses tanggal 18 September 2015.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

2

Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya

dalam melaksanakan kepentingan umum, dibekali dengan instrumen wewenang

pemerintah untuk melakukan perbuatan pemerintahan, yang dalam konsep hukum

administrasi di Belanda dikenal dengan istilah “besturhandeling” atau dalam

hukum administrasi di Indonesia dikenal dengan istilah perbuatan pemerintahan

atau tindakan pemerintahan.2 Tindakan pemerintah tersebut kemudian diwujudkan

dalam bentuk pelayanan publik. Pelayanan publik yang merupakan kewajiban dari

pemerintah kepada setiap warga negara dan penduduk sehingga metode dan

prosedur serta senantiasa harus diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan dan

harapan masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang paling sering dijumpai

dalam lalu lintas antara pemerintah dan masyarakat adalam berkaitan dengan

perizinan. Pelayanan perizinan dewasa ini masih dirasakan kurang memuaskan

dalam berbagai sektor perizinan.

Izin merupakan keputusan tata usaha Negara atau dikenal dengan istilah

beschikking. Beschikking memiliki definisi, “Onder „beschikking’ kan in zijn

algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een bestuursorgaan,

dat gericht is op rechtsgevolg”3. Secara umum, beschikking dapat diartikan;

2Kuntjoro Purbopranoto, 1972, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h.44.

3R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding. Kobra, Amsterdam, tt. h.14.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

3

keputusan yang dikeluarkan oleh organ pemerintahan yang bertujuan untuk

menimbulkan akibat hukum.4

Menurut L.P. Sinambela menyatakan bahwa masyarakat selalu menuntut

adanya pelayanan publik yang terbaik dan berkualitas dari pemerintah, walaupun

tuntutan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat, karena secara

empiris di masyarakat pelayanan perizinan masih terkesan lambat, berbelit-belit,

mahal dan melelahkan. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang masih

diposisikan sebagai yang melayani bukan yang dilayani.5

Masyarakat umum (termasuk kalangan pengusaha atau swasta) masih

merasakan bahwa proses pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh aparatur

pemerintahan masih terkesan kurang baik di mata masyarakat, seperti proses yang

berbelit-belit, tidak adanya transparansi dan juga melelahkan. Masyarakat yang

mangajukan permohanan izin sering bolak-balik dari satu kantor ke kantor lainnya

hanya untuk mengurus 1 jenis pelayanan perizinan, sehingga masyarakat menjadi

malas untuk mengurus izin mereka, maka pelayanan perizinan yang dilakukan

oleh aparatur pemerintahan di cap buruk oleh masyarakat. Bagi kalangan usaha

permasalahan izin seperti ini tentu saja sangat menghambat, sehingga kepercayaan

dari masyarakat dan kalangan usaha terhadap pemerintah akan menurun.

Merespon permasalahan tersebut sebenarnya pengaturan mengenai

Pelayanan Publik itu sendiri telah diatur dalam Undang-undang Republik

4Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

h.142.

5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

4

Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan

Publik) pada Pasal 1 menyatakan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau

rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas

barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan publik.” Yang bertujuan untuk memberikan acuan

kepada aparatur pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik kepada

masyarakat.

Keseriusan pemerintah akan pentingnya pelayanan publik khususnya di

bidang perizinan itu sendiri juga di perkuat dengan Pasal 350 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa

kepala daerah diwajibkan untuk memberikan pelayanan perizinan. Pasal ini

menegaskan bahwa pelayanan perizinan juga merupakan tanggung jawab dari

pemerintah daerah, sehingga pelayanan perizinan dapat dilakukan dari lapisan

terdekat yaitu Kepala Daerah.

Kota Denpasar telah mengakomodir aturan dalam UU Pelayanan Publik

kedalam bentuk Peraturan Walikota yang bertujuan agar mempermudah regulasi

pelayanan publik di bidang perizinan yaitu Peraturan Walikota Denpasar Nomor

21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan (Selanjutnya

disebut Perwali Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan), yakni dalam Pasal 2 pada

pokoknya menyatakan bahwa, Walikota Denpasar disini menjadi penyelenggara

pelayanan perizinan yang mencakup verifikasi permohonan, penandatangan,

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

5

penerbitan,pengawasan, pembatalan dan pencabutan izin. Selain itu Walikota

Denpasar juga menyelenggarakan pelayanan perizinan yang meliputi 75 jenis izin.

Salah satu dari 75 jenis izin yang diselenggarakan oleh Kota Denpasar

adalah ijin penyelenggaraan balai pengobatan / klinik. Dengan jumlah penduduk

yang padat tentu saja permasalahan kesehatan juga tinggi di Kota Denpasar, hal

ini mendorong banyak bermunculannya Klinik di Kota Denpasar.

Klinik merupakan pilihan tempat pengobatan bagi masyarakat di Kota

Denpasar. Hal tersebut menyebabkan banyaknya jumlah klinik yang tersebar di

Kota Denpasar yang mempermudah masyarakat dalam menerima pelayanan

kesehatan tanpa harus pergi ke Rumah Sakit Daerah, yang mungkin bagi beberapa

orang jaraknya cukup jauh.

Begitu pesatnya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar tentu saja harus

didasarkan Izin penyelenggaraan dari klinik tersebut. Secara khusus pengaturan

mengenai perizinan klinik diatur melalui Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor

4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan (Selanjutnya

disebut Perda Denpasar Nomor 4 Tahun 2003) dan diuraikan lebih rinci dalam

Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar (Selanjutya disebut

Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003).

Pada tahun 2014 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik (Permenkes tentang Klinik), dan

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

6

dalam aturan ini mengatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan izin

mendirikan klinik. Dalam beberapa persyaratan yang diatur oleh Peraturan

Menteri Kesehatan ini tidak diatur dalam Keputusan Walikota tentang Petunjuk

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar.

Dalam Permenkes tentang Klinik terdapat persyaratan izin mendirikan

Klinik yang terdapat dalam Pasal 26. Begitu pula dalam Keputusan Walikota

Nomor 339 Tahun 2003, dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Permohonan

ijin kegiatan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)

keputusan ini wajib memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam

lampiran keputusan ini”. Namun dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar

ini terdapat perbedaan mengenai persyaratan Izin mendirikan klinik yaitu dalam

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik mempersyaratkan adanya dokumen

SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) untuk Klinik Rawat Jalan atau

dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan

Lingkungan) untuk Klinik Rawat Inap, sedangkan di dalam Keputusan Walikota

ini tidak mengharuskan adanya dokumen SPPL atau UKL-UPL. Pengurusan izin

mendirikan Klinik di Kota Denpasar sebelum dikeluarkannya Permenkes tentang

Klinik, beracuan kepada Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003, yang

menjadi dasar hukum dalam pengurusan izin mendirikan Klinik.

Dari perbedaan persyaratan perizinan mengenai klinik tersebut tentu saja

menimbulkan permasalahan di masyarakat. Adapun permasalahan tersebut seperti

bingungnya masyarakat yang hendak mengajukan izin mendirikan Klinik di Kota

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

7

Denpasar mengenai aturan hukum mana yang digunakan, bagaimana mekanisme

dalam permohonan perizinan pendirian klinik. Kebingungan lain para pengelola

Klinik adalah untuk memperpanjang izin kliniknya dikarenakan adanya

persyaratan-persyaratan baru yang menyebabkan beberapa klinik tidak dapat

melengkapi persyaratan tersebut.

Dari latar belakang tersebut timbul keinginan untuk membahas dan

menulis tugas akhir atau Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Perizinan

Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang

Klinik”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah mekanisme perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar

setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?

2. Hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan perizinan pendirian

klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

8

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan

dan juga untuk mendapatkan gambaran umum mengenai apa yang penulis uraikan

dalam skripsi ini, maka perlu untuk ditentukannya ruang lingkup pemasalahan,

yaitu :

a. Dalam permasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana

mekanisme perizinan klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014

tentang Klinik. Mekanisme tersebut meliputi aturan hukum yang

digunakan, proses permohonan izin dan pengawasan yang dilakukan

setelah diterbitkannya izin.

b. Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai hambatan dan upaya

pemerintah dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota

Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia

pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan

orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa

judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun

dalam penelitian ini, peneliti tidak menemukan skripsi atau disertasi yang

pembahasannya berkaitan dengan Pelaksanaan Perizinan Pendirian Klinik Di Kota

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

9

Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

1.5.Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dalam penelitian skripsi ini terdapat dua jenis yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus adalah sebagai berikut :

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dan

informasi kepada masyarakat mengenai perizinan pendirian klinik dan

pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Klinik di Kota Denpasar.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme perizinan pendirian

klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Klinik.

2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang terjadi dalam

pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah

dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

10

1.6. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, khusunya Hukum Administrasi Negara.

Selain itu juga diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah Kota

Denpasar dalam melaksanakan pelayanan publik khususnya dalam bidang

perizinan dan memberikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah mengenai pelayanan perizinan.

b. Manfaat Praktis

Untuk memberikan sumbangsih kepada yang membutuhkan

informasi mengenai bagaimana aturan mengenai pelayanan publik di Kota

Denpasar khususnya dibidang Perizinan Mendirikan Klinik.

Selain itu juga untuk mengetahui pelaksanaan perizinan

mendirikan klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Klinik.

1.7.Landasan Teoritis

a. Teori Negara Hukum

Konsep mengenai Negara Hukum merupakan konsep yang dianggap

universal oleh beberapa orang namun dalam implementasinya konsep Negara

Hukum memiliki karakteristik yang beragam. Jika di perhatikan secara historis

dan praktis, konsep Negara hukum ini dapat dilihat dalam beberapa model

seperti Negara hukum menurut Sunnah atau namokrasi Islam dan Al-Qur‟an,

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

11

Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang lebih dikenal dengan

Rechtsstaat, Negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (Rule Of Law),

konsep Sosialist legality, dan konsep Negara hukum Pancasila.6

Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum, hal ini dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Pengertian Negara hukum menurut D.Mutiara‟as adalah sebagai berikut:

“Negara hukum ialah Negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya

dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya

didasarkan hukum. rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut

semaunya yang bertentangan dengan hukum.” 7

Prinsip-prinsip Negara hukum yang dikemukakan oleh J.B.J.M. ten Berge

adalah sebagai berikut :8

1) Asas Legalitas.

2) Perlindungan Hak-hak asasi.

3) Pemerintah terikat pada hukum

4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.

5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Dalam Negara Hukum harus memenuhi dua syarat, syarat pertama adalah

supremacy before the law yaitu hukum diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa

6 Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h.63 7 D.Mutiara‟as, 1955, Ilmu Tata Negara Umum,Pustaka Islam, Jakarta, h.20.

8 Ridwan HR, op.cit, h.9.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

12

penuh dalam suatu negara dan rakyat. Syarat kedua adalah equality before the

law yaitu semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah

sama statusnya atau kedudukannya didalam hukum.9

b. Teori Penegakan Hukum

Indonesia merupakan Negara hukum sehingga dalam penyelenggaraan

Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai kedaulatan hukum

(supremasi hukum) dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak

boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 dan Pancasila.

Secara konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-

kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran

nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.10

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.11

9 C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,

h.88. 10 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempegaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 5.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

13

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan

tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang

berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan

pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.12

c. Good Governance

Pengertian Good Governance menurut Bintoro Tjokroamidjojo, dalam

bukunya yang berjudul “Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good

Governance dan Perwujudan Masyarakat Mandiri” adalah sebagai

sharing/partnership pengelolaan Negara antara sektor publik yaitu pemerintah

dengan sektor swasta/ usaha dan sektor organisasi masyarakat.13

United Nations Development Program tahun 1997 mengemukakan bahwa

karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam

praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah meliputi14

:

a. Partisipasi (Participation): setiap orang atau setiap warga masyarakat,

baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama

dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun

11Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” tersedia dalam URL:

http://jimly.com/makalah/ namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2015.

12 Soerjono Soekanto, op. cit, h.7.

13 I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, “Good Governance (Kepemerintahan yang Baik)

Dalam PenyelenggaraanPemerintahan Daerah di Bali”, Desertasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.12.

14 Srijanti, A. Rahman H.I., dan Purwanto S.K, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan

untuk Mahasiswa, Graha Ilmu Yogyakarta, h.220.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

14

melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan

aspirasinya masing-masing.

b. Aturan Hukum (Rule of Low): kerangka aturan hukum dan perundang-

undangan harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh,

terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.

c. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam

kerangka kebebasan aliran informasi.

d. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus

diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang

berkepentingan (Stakeholders).

e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang

baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator)

bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus

atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak,

dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai

kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

f. Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan

kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan

dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas

hidupnya.

g. Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses

kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang

benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang

sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.

h. Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan dalam

organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki

pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat

umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik kepentingan

(stakeholders).

i. Visi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat

memiliki persepktif yang luas dan jangka panjang tentang

penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan

pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan

dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Keseluruhan prinsip-prinsip Good Governance diatas memiliki keterkaitan

yang sangat erat dan memiliki hubungan antara prinsip satu dengan yang

lainnya. Seperti halnya partisipasi masyarakat akan sangat berpengaruh dengan

efektivitas dan efesiensi dari tindakan pemerintah, dengan baiknya partisipasi

masyarakat maka semakin efektif pula suatu tindakan pemerintah karena

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

15

mempermudah pemerintah dalam mengambil keputusan untuk mencapai Good

Governance.

d. Teori Hukum Perizinan

Menurut Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti

menghilangkan halangan di mana hal yang dilarang menjadi diperbolehkan15

.

Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa izin sebagai suatu instrumen Pemerintah

yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum

administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat16

. Juniarso Ridwan

mengutip buku Ateng Syafrudin membedakan perizinan menjadi empat

macam:17

a) Izin, bertujuan dan berarti menghilangkan halangan; hal dilarang

menjadi boleh penolakan atas permohonan izin memerlukan

perumusan yang limitatif.

b) Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya

secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus.

c) Lisensi, adalah izin yang memberikan hal untuk menyelenggarakan

suatu perusahaan.

d) Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar

berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi

15 Ridwan HR, op.cit, h.198.

16Juniarso Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,

Nuansa, Bandung, h. 31.

17Ibid.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

16

tugas Pemerintah, namun oleh Pemerintah diberikan hak

penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat

Pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk

kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak

dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.

Izin dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan yang positif terhadap

aktivitas pembangunan. Suatu izin yang dikeluarkan Pemerintah dimaksudkan

untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi

tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula. Juniarso

Ridwan memberi pengertian tentang izin yaitu:18

”Izin adalah perbuatan hukum

administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal kontrol

berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.” Dapat dikatakan, bahwa izin adalah

perangkat hukum administrasi yang digunakan Pemerintah untuk

mengendalikan warga agar berjalan dengan teratur dan untuk tujuan ini

digunakan perangkat administrasi.

e. Teori Efektivitas Hukum

Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan

efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Dalam

suatu istansi tujuan yang dimaksud berupa keberhasilan dalam melaksanakan

program atau kegiatan menurut tugas, wewenang dan fungsi instansi tersebut.

18Ibid.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

17

Melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali berpendapat bahwa

ketika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal pertama

yang dapat dilakukan adalah harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum

itu ditaati atau tidak ditaati.19

Selanjutnya Achmad Ali juga berpendapat bahwa

pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-

undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan

fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang

dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-

undangan tersebut.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif

atau tidaknya suatu hukum dapat ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.20

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

19Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, h.375.

20

Soerjono Soekanto I, op.cit, h.8.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

18

efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat

berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung

dari aturan hukum itu sendiri.

Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif,

pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah

perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan

persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur

paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun

merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan

sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan

efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan

hukum tidak efektif dapat dikarenakan ancaman paksaan dari hukum tersebut

yang kurang berat, atau karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara

memadai pada warga masyarakat.21

Berbicara mengenai efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja

hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap

hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum

tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya

suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku

masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif

apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau

21Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone,

Jakarta, h.186.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

19

dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan

yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan

tersebut telah dicapai.

1.8. Metode Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah ini, tidak terlepas dari adanya suatu

metodelogi yang bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan

ilmiah yang bertujuan untuk menggungkap kebenaran secara sistematis,

metodelogis, dan konsisten.22

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum dibedakan dalam dua macam yaitu penelitian hukum

normatif dan penelitian hukum empiris. Maka jenis penelitian hukum yang

digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum sosiologis atau empiris

merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan

penelitian terhadap efektifitas hukum.23

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam suatu karya tulis agar karya tersebut lebih baik nilainya atau lebih

akuratnya penelitian tersebut haruslah menggunakan pendekatan masalah yang

tepat, sehingga penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Pendekatan

masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-

22 H.Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.17.

23 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h.51.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

20

undangan (Statue Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach),

Pendekatan Fakta (The Fact Approach), hal tersebut dikarenakan dalam

menyelesaikan suatu permasalahan hukum tidak terlepas dari pendekatan

perundang-undangan, memperhatikan pendapat-pendapat para sarjana dan juga

memperhatikan fakta yang ada.24

1.8.3 Sifat Penelitian

Dalam penelitian hukum empiris, penulis menggunakan penelitian yang

sifatnya deskriptif, yaitu berusaha untuk mengembangkan lebih luas mengenai hal

yang akan diteliti. Penelitian deskriptif merupakan penelitian secara umum, yang

termasuk pula didalamnya mengenai penelitian ilmu hukum, keadaan, gejala atau

kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebab dari suatu gejala dalam

masyarakat, atau untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu

gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat. Selain itu penelitian deskriptif

juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat juga memperkuat teori yang

sudah ada.

1.8.4 Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu

24 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta,

h.184.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

21

baik dari responden maupun dari informan25

dari Badan Pelayanan Perijinan

Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar dan

dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber

dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari

sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang terdokumenkan

dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang dipergunakan

dalam penulisan skripsi ini adalah:

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik;

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik;

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

2014 tentang Klinik;

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan;

Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan;

25 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, h. 69.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

22

Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4

Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan.

Data sekunder yang juga digunakan adalah buku-buku tentang Negara

hukum, buku-buku tentang administrasi Negara, buku-buku tentang perizinan,

kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, dan sumber-sumber lain yang dapat

menunjang penelitian ini.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik–teknik untuk

mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran

quisioner/angket. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Teknik studi dokumen

Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik

normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari

premis normatif.

b. Teknik wawancara (interview)

Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode

memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan

Tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan

responden.26

Selain dengan cara tatap muka wawancara juga akan dilakukan

26M Mochtar, 1998, Pengantar Metodologi Penelitian, Sinar Karya Dharma IIP, Jakarta,

h.78.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

23

secara tidak langsung dengan telepon atau surat dengan para responden.

Informasi yang diperoleh dalam penulisan Skripsi ini adalah melalui

wawancara dengan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si, selaku

Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan

Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota

Denpasar dan Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes, selaku Kepala Dinas

Kesehatan Kota Denpasar. Responden dipilih dikarenakan mereka yang

terjun langsung dan memahami mengenai Pelaksanaan perizinan pendirian

Klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

c. Teknik observasi/pengamatan

Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi

langsung dan teknik observasi tidak langsung. Sedangkan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam

pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau

tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan

dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.

1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

Dalam penelitian hukum empiris, teknik pengolahan data yang digunakan

adalah dengan cara melakukan seleksi dan pengklasifikasian terhadap informasi-

informasi yang telah didapatkan baik dari wawancara, angket atau kuesioner dan

observasi. Sehingga mempermudah peneliti untuk mengaitkan hubungan antara

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · 5L.P. Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, h.4. 4 Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

24

data primer dengan data sekunder dan juga bahan-bahan hukum yang telah

berhasil dikumpulkan.

Setelah melakukan pengolahan data barulah peneliti melakukan analisis

data yaitu proses pengkajian atau pentelaahan informasi yang dibantu oleh teori-

teori yang telah diperoleh sebelumnya. Pengkajian yang dilakukan dapat berupa

mengkritik, mendukung, dan memberikan kesimpulan terhadap hasil dari pada

penelitian dengan dukungan dari teori yang telah dikuasai oleh peneliti.