Post on 05-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi Penyakit Asma
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat
reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul)
artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi
dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian.
(Depkes RI. 2008)
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang
melibatkan peran banyak sel dan komponennya (The National Asthma Education and
Prevention Program, NAEPP). Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan
episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada, dan batuk. Episode ini
biasanya terkait dengan obstruksi jalan udara yang sering reversibel baik secara
spontan maupun setelah pemberian penanganan. Inflamasi juga menyebabkan
peningkatan hiperresponsifitas bronkus terhadap berbagai stimulus
(Sukandar dkk, 2008).
1.2 Etiologi Penyakit Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel.
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus
inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat
asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat
dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan
dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan/
(Muchdid, dkk., 2007)
1
Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi
yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan
dengan hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)
maka akan terjadi serangan asma (mengi) Faktor-faktor pemicu antara lain:
Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing,
tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok; pemacu:
Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu
dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.
(Depkes RI. 2008)
Gambar 1. Etiologi asma (Depkes RI. 2008)
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik
dan faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
a. Hipereaktivitas
b. Atopi/alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
b. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
2
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
f. Ekpresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktifitas tertentu
j. Perubahan cuaca
(Depkes RI. 2008)
1.3 Patofisologi Penyakit Asma
Gejala asma, yaitu batuk seseak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.
Gambar 2. Patofisiologi penyakit asma. (Depkes RI. 2008)
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter
objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang
pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara
lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun
inhalasi zat nonspesifik. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi
akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma
lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik.
3
Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan se-kitarnya, berupa infiltrasi sel-sel
inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen
bronkus.
(Depkes RI. 2008)
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran
basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain
yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel
epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga
epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
(Depkes RI. 2008)
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
lekotriens. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas
bronkus.
(Depkes RI. 2008)
1.4 Gejala Klinis Penyakit Asma
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa
pengobatan. Gejala awal berupa :
a. batuk terutama pada malam atau dini hari
b. sesak napas
c. napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
d. rasa berat di dada
e. dahak sulit keluar.
4
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang
termasuk gejala yang berat adalah:
a. Serangan batuk yang hebat
b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
c. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
e. Kesadaran menurun
(Muchdid, dkk., 2007)
Berdasarkan beratnya penyakit, maka penyakit asma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
APE = arus puncak ekspirasi
VEP1 = volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
Tabel 1. Klasifikasi Asma.
(Muchdid, dkk., 2007)
5
1.5 Indikator kesembuhan Penyakit Asma
Indikator kesembuhan Penyakit Asma yaitu :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
(Muchdid, dkk., 2007)
1.6 Pengobatan Penyakit Asma
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). Tujuan :
− Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
− Mencegah eksaserbasi akut;
− Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
− Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
− Menghindari efek samping obat;
− Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel;
− Mencegah kematian karena asma.
− Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
(Muchdid, dkk., 2007)
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter
dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya
komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan
pasien, ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.
6
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma,
yaitu:
− KIE dan hubungan dokter-pasien
− Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
− Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
− Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
− Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll
(Muchdid, dkk., 2007)
1.6.1 Terapi Non-Farmakologi
A. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
meningkatkan kepuasan
meningkatkan rasa percaya diri
meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma
Bentuk pemberian edukasi dapat berupa :
Komunikasi/nasehat saat berobat
Ceramah
Latihan/training
Supervisi
Diskusi
Tukar menukar informasi (sharing of information group)
Film/video presentasi
Leaflet, brosur, buku bacaan
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya
meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan dengan :
7
Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap
tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan
tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan
yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin
kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).
Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien
sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama
dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
Mengajak keterlibatan keluarga.
Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status
sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma
B. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini
dianjurkan pada :
1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan
oleh pasien di rumah.
2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma
persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan
di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui
gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang
mengancam jiwa.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti :
Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan
baik
Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau
penghentian obat
8
Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
C. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
D. Pemberian oksigen
E. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
F. Kontrol secara teratur
G. Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
Penghentian merokok
Menghindari kegemukan
Kegiatan fisik misalnya senam asma
(Muchdid, dkk., 2007)
1.5.3 Terapi Farmakologi
1. Agonis β2
Contoh obat agonis β-adrenergik beserta selektivitas relatif, potensi
dan durasi aksi dapat dilihat pada tabel berikut.
Agen Selektivitas Potensi
β2
Durasi aksi Aktivitas
Oralβ1 β2 Bronkodilatasi
(jam)
Proteksi
(jam)
Isoproterenol ++++ ++++ 1 0,5-2 0,5-1 Tidak
Metaproterenol +++ +++ 15 3-4 1-2 Ya
Isoetarin ++ +++ 6 0,5-2 0,5-1 Tidak
Albuterol + ++++ 2 4-8 2-4 Ya
Bitolterol + ++++ 5 4-8 2-4 Tidak
Pirbuterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya
Terbutalin + ++++ 4 4-8 2-4 Ya
Formoterol + ++++ 0,24 ≥12 6-12 Ya
Salmenterol + ++++ 0,5 ≥12 6 - >12 Tidak
Tabel 2. Selektivitas Relatif, Potensi, dan Durasi Aksi agonis β-adrenergik
(Sukandar dkk, 2008 )
2. Kortikosteroid
9
Kortikosteroid hirup merupakan terapi kontrol jangka panjang paling
efektif untuk asma persisten, tanpa memperhitungkan keparahan, dan
merupakan satu-satunya terapi yang menunjukkan penurunan risiko kematian
yang disebabkan asma meski dalam dosis yang relatif kecil. Kebanyakan
pasien dengan dengan tingkat keparahan menengah dapat dikontrol dengan
dosis dua kali sehari. Pasien dengan sakit yang lebih parah memerlukan dosis
pemberian berulang dalam sehari. Karena respon inflamasi pada asma
menginhibisi ikatan reseptor steroid, pemberian obat harus dimulai dari dosis
tinggi dan pemberian yang sering, lalu diturunkan ketika kontrol telah dicapai
( Sukandar dkk, 2008 ).
Kortikosteroid sistemik juga direkomendasikan untuk penanganan
pasien dengan asma parah akut yang sepenuhnya tidak merespon dengan
pemberian agonis β2 inhales secara agresif (setiap 20 menit untuk tiga atau
empat dosis) dan juga untuk episode asma akut yang tidak dapat diobati
dengan terapi bronkodilator. Paad pasien yang memerlukan kontrol asma
dengan kortikosteroid sistemik kronik, harus digunakan dosis terendah yang
paling berefek. Toksisitas dapat dikurangi dengan terapi berselang atau
kortikosteroid hirup dosis tinggi .
(Sukandar dkk, 2008).
Contoh kortikosteroid inhalasi adalah Beklometason dipropionat,
Budesonide, Flunisolide, Flutikason propionat, Momentason furoat, dan
Triamsinolon asetonida. Sedangkan kortikostroid sistemik yaitu
Hidrokostison, Prednison, Metilprednisolon, dan Deksametason
(Sukandar dkk, 2008).
3. Metilxantin
Metilxantin tidak efektif dalam bentuk aerosol dan harus diberikan
secara sitemik (oral atau intravena). Teofilin lepas lambat lebih disukai untuk
pemberian oral, sedangkan bentuk kompleksnya dengan etilendiamin
(aminofilin) lebih disukai untuk sediaan parenteral karena peningkatan
kelarutannya. Karena tingginya risiko untung-ruginya, teofilin dianggap agen
lapis kedua atau tiga dalam penanganan asma
(Sukandar dkk, 2008).
4. Antikolinergik
10
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif
kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema
(Muchdid, dkk., 2007).
5. Kromolin Sodium dan Nedokromil
A. Kromolin Natrium
Kromolon natrium digunakan pada asma bronkial (inhalasi, larutan dan
aerosol) sebagai pengobatan profilaksis pada asma bronkial. Kromolin
diberikan teratur, harian pada pasien dengan gejala berulang yang memerlukan
pengobatan secara reguler.
B. Nedokromil Natrium
Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi
pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma
ringan sampai sedang.
(Muchdid, dkk., 2007)
6. Antagonis Reseptor Leukotrien
A. Zafirlukast
Zafirlukast digunakan sebagai profilaksis dan perawatan asma kronik pada
dewasa dan anak di atas 5 tahun
B. Montelukast Sodium
Montelukast sodium digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik
pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan
C. Zilueton
Zilueton digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa
dan anak > 12 tahun
(Muchdid, dkk., 2007)
7. Kombinasi Terapi Pengontrol
Guidline NAEPP 2002 merekomendasikan kombinasi kortikosteroid
hirup dan agonis β2 hirup kerja lama untuk tahap 3 asma persisten sedang.
Kombinasi ini lebih kuat daripada menduplikasi dosis kortikosteroid hirup
atau menambahkan antagonis leukotrien ke kortikosteroid hirup. Contoh dari
11
sediaan ini adalah Advair yang merupakan sediaan kombinasi flutikason
dengan salmenterol. Kombinasi ini memiliki onset yang cepat (dalam satu
minggu), dan salmenterol dapat mengurangi dosis kortikosteroid hirup hingga
50% pada pasien dengan asma persisten
(Sukandar dkk, 2008).
Bagan 1. Algoritma Penatalaksanaan serangan Asma dirumah. (Depkes RI. 2008)
12
Bagan 2. Pelangi Asma, Monitoring Asma secara Mandiri (Depkes RI. 2008)
13
Bagan 3. Algoritma penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit.
14
1.7 Mekanisme Kerja Obat Asma
1. Simpatomimetik
Mekanisme Kerja :
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
1. Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
2. Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas dan irama jantung.
3. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan
klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama
penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum.
Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator
yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma.
Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas,
memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih
besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan
bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik. Pada tabel 2 dapat
dilihat perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat
simpatomometik yang digunakan pada terapi asma.
(Muchdid, dkk., 2007)
2. Xantin
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.
Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin empunyai efek
kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan
penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
(Muchdid, dkk., 2007)
15
3. Antikolinergik
A. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan
tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus
mukosa hidung.
(Muchdid, dkk., 2007)
B. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat
sangat spesifik pada lokasi tertentu.
(Muchdid, dkk., 2007)
4. Kromolin Sodium dan Nedokromil
A. Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas
intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
(Muchdid, dkk., 2007)
16
B. Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini
akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai
tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel
mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon
bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
(Muchdid, dkk., 2007)
5. Kortikosteroid
Mekanisme Kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja
dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan
jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta
adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan
inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal.
(Muchdid, dkk., 2007)
6. Antagonis Reseptor Leukotrien
A. Zafirlukast
Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan
kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting
substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
(Muchdid, dkk., 2007)
17
B. Montelukast Sodium
Mekanisme Kerja
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada
penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1).
Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel
mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan
edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular
yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala
asma.
(Muchdid, dkk., 2007)
C. Zilueton
Mekanisme Kerja
Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya menghambat
pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, Lte1).
(Muchdid, dkk., 2007)
7. Obat-Obat Penunjang
A. Ketotifen Fumarat
Mekanisme Kerja
Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara nonkompetitif
dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan menghambat
penglepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.
(Muchdid, dkk., 2007)
B. N-Asetilsistein
Mekanisme Kerja
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada
molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida antara ikatan
molekular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas
mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan
peningkatan pH.
(Muchdid, dkk., 2007)
18
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Review Jurnal I (Jurnal Berbahasa Indonesia): The Efficacy of Combination of
Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compare with Budesonide Inhalation to
Control Moderate Persistent Asthma by The Use of Asthma Control Test as
Evaluation Tool.
2.1.1 Judul
The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone
Compare with Budesonide Inhalation to Control Moderate Persistent Asthma
by The Use of Asthma Control Test as Evaluation Tool.
2.1.2 Pengarang
Nur Ahmad Tabri, Megantara Supriyadi, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono
Department of Pulmonology and Respiratory Medicine Faculty of Medicine
Indonesian University / Persahabatan Hospital
2.1.3 Jurnal
2.1.4 Latar Belakang
Penelitian di Asia Pasifik mendapatkan bahwa pasien asma yang
menganggap penyakitnya terkontrol, ternyata yang betul-betul terkontrol
secara total sebanyak 5% dan yang terkontrol baik sebanyak 35% dan hanya
10% menggunakan inhalasi steroid untuk mengontrol asmanya sedangkan
yang menggunakan bronkodilator sebanyak 68%.5 Salah satu metode yang
dapat di gunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan pasien asma
adalah Asthma Control Test atau ACT terdiri dari 5 pertanyaan yang disusun
19
Jurnal Respirologi Indonesia, Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Official Journals of The Indonesian Society of Respirology, Vol. 30, No.3, Juli 2010.
sebagai metode yang mudah untuk pasien dan dokter dalam menilai gejala,
kebutuhan obat – obatan dan gangguan aktivitas harian.
Penelitian Batemen dan kawan - kawan selama satu tahun dengan
menggunakan inhalasi kombinasi flutikason dan salmeterol dapat mengontrol
asma lebih lama dibandingkan dengan menggunakan flutikason saja. Perlu
dilakukaan penelitian dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan , adakah
perbedaan respons terapi pemberian inhalasi kombinasi steroid (flutikason)
250 ug dan agonis β2 kerja lama (salmeterol) 50 ug pada pasien asma
persisten sedang dibandingkan dengan yang mendapat obat inhalasi budesonid
dosis tinggi (800 ug) pada waktu tertentu sehingga asma dapat menjadi
terkontrol baik dengan menggunakan kuesioner Asthma Control Test (ACT)
sebagai alat evaluasi. Hipotesis penelitian adalah pemberian inhalasi
kombinasi flutikason/salmeterol akan memberikan nilai skor ACT lebih baik
dibandingkan bahwa dengan inhalasi budesonid pada pasien asma persisten
sedang sehingga asma dapat terkontrol dengan baik
2.1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada atau
tidaknya perbedaan respons terapi pemberian inhalasi kombinasi steroid
(flutikason) 250 ug dan agonis β2 kerja lama (salmeterol) 50 ug pada pasien
asma persisten sedang dibandingkan dengan yang mendapat obat inhalasi
budesonid dosis tinggi (800 ug) pada waktu tertentu sehingga asma dapat
menjadi terkontrol baik dengan menggunakan kuesioner Asthma Control Test
(ACT) sebagai alat evaluasi. Tujuan lain adalah untuk mengetahui perbedaan
kenaikan nilai faal paru sebelum dan sesudah pemberian kombinasi steroid
(flutikason) dan agonis β2 kerja lama (salmeterol) dengan inhalasi budesonid
pada penderita asma persisten sedang.
2.1.6 Metode
Penelitian ini merupakan uji klinis dengan rancangan Randomized
Pretest-Posttest Comparative Group Design. Subjek diambil dengan cara
consecutive sampling. Metode randomisasi dalam menentukan subjek mana
yang akan mendapat perlakuan digunakan cara randomisasi sederhana
menggunakan tabel random Subjek dibagi dua kelompok Kelompok 1
20
mendapat inhalasi budesonid dengan dosis 400 ug diberi 2 x sehari dan
Kelompok 2 mendapat inhalasi salmeterol/flutikason dengan dosis 125/25 ug
diberi 2 X sehari.
Cara pengolahan dan analisis data:
Dilakukan analisis deskriptif pada masing – masing variabel. Untuk
mengetahui kenaikan fungsi paru (VEP1) dan nilai ACT sesudah perlakuan
digunakan paired sample t test pada masing-masing kelompok, sedangkan
untuk melihat perbedaan kenaikan fungsi paru dan nilai ACT antara kedua
kelompok perlakuan digunakan independent sample t test, pada setiap
kunjungan. Untuk menilai perbedaan kedua kelompok perlakuan terhadap
pasien asma yang telah terkontrol digunakan uji X2 (Chi-square test). Batas
kemaknaan yang digunakan adalah 0,05. Bila p<0,05 dinyatakan bermakna.
2.1.7 Parameter
Parameter yang diujikan dalam penelitian ini yaitu :
1. Nilai VEP1 sebelum perlakuan.
2. Nilai ACT sebelum perlakuan.
3. Nilai VEP1 sesudah perlakuan.
4. Nilai ACT sesudah perlakuan.
5. Perbedaan kenaikan fungsi paru (VEP1) dan nilai ACT antara kedua
kelompok perlakuan, yang dihitung dengan menggunakan independent
sample t test, pada setiap kunjungan.
6. Perbedaan kedua kelompok perlakuan terhadap pasien asma yang telah
terkontrol, digunakan uji X2 (Chi-square test), dimana batas kemaknaan
yang digunakan adalah 0,05. Bila p<0,05 dinyatakan bermakna.
2.1.8 Jumlah Populasi Target
Jumlah Populasi Target yaitu Secara keseluruhan diperoleh 71 subjek
penelitian yang terdiri dari 38 subjek yang mendapat budesonid (kelompok 1)
dan 33 dengan gabungan flutikason dan salmeterol (kelompok 2). Kelompok 1
terdiri dari 9 orang laki -laki ( 12,7 %) dan 29 orang perempuan (40,8%)
sedangkan kelompok 2 terdiri dari 6 orang laki-laki (7 %) dan perempuan 27
( 39,4 %).
21
2.1.9 Kriteria Inklusi
Sebelumnya subjek telah ditapis untuk memenuhi kriteria penerimaan
dan penolakan. Kriteria penerimaan ; pasien asma persisten sedang, laki – laki
atau perempuan, umur 12 – 65 tahun, subjek masih dapat melakukan
pemeriksaan faal paru dan bersedia mengikuti penelitian secara suka rela dan
memberikan persetujuan tertulis, hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas
normal. Kriteria penolakan; perokok, pasien penyakit jantung, hati, diabetes
mellitus, ginjal, hipertiroid, penyakit kronik lain selain asma, hamil, terdapat
tanda-tanda infeksi berat, menolak meneruskan penelitian Subjek akan
dikeluarkan (Drop Out) apabila pasien pindah domisili ke luar Jakarta atau
pada saat penelitian pasien menolak meneruskan dengan memberikan alasan
ataupun akibat terjadinya efek yang tidak diinginkan yang parah dan atas
pertimbangan peneliti
2.1.10 Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan nilai VEP1 dan skor
ACT sebelum dan sesudah pemberian budesonid maupun
flutikason/salmeterol pada asma persisten sedang. Terdapat 71 subjek
penelitian yang terdiri dari 38 subjek menggunakan budesonid dan 33 subjek
dengan flutikason/salmeterol secara inhalasi, mayoritas berjenis kelamin
perempuan yakni sebanyak 83,3%. Pada penelitian ini umur rerata 43 tahun.
Pada awal penelitian nilai rerata VEP1 dan skor ACT tidak bermakna
secara statistik dengan nilai p > 0,05 Pada kelompok budesonid nilai VEP1
awal penelitian mempunyai rerata 62,21%, terdapat peningkatan pada
kunjungan bulan pertama sebesar 6,11%. Peningkatan tidak bermakna secara
statistik ini disebabkan penderita asma persisten sedang datang sebelum obat
inhalasi yang digunakan habis dan penderita secara teratur dilakukan
pemantauan terhadap fungsi paru. Hal ini juga di dapatkan peningkatan VEP1
sebesar 1,88% setelah pemberian budesonid inhalasi selama 2 bulan, tetapi
tidak bermakna secara statistik. Pada kelompok flutikason/salmeterol nilai
rerata VEP1 60,43% juga meningkat pada kunjungan bulan pertama sebasar
12,4% dan peningkatan ini bermakna secara statistik.
22
Tabel 3. Karakteristik Subjek.
Pada kelompok budesonid skor ACT awal penelitian mempunyai rerata
13,89, setelah kunjungan bulan pertama skor ACT meningkat sebesar 38,4%
dan bermakna secara statistik. Peningkatan ini belum mencapai kriteria
terkontrol yakni hanya mempunyai skor 17,42 sedangkan untuk nilai
terkontrol adalah lebih dari 19. Pada kelompok flutikason/salmeterol skor
ACT pada awal penelitian mempunyai rerata 12,24, setelah kunjungan bulan
pertama meningkat 80,7% dan bermakna secara statistik serta mencapai nilai
terkontrol yakni sebesar 19,27.
Tabel 4. Distribusi penderita dengan asma terkontrol pada kelompok 1 dan 2
setelah kunjungan bulan pertama
Tabel 5. Distribusi penderita dengan asma terkontol pada kelompok 1 dan 2
setelah kunjungan bulan kedua
23
Tabel 6. Distribusi penderita dengan asma terkontrol pada kelompok 1 dan 2
setelah kunjungan bulan ketiga
Pada penelitian ini perbaikan dengan menggunakan kombinasi
flutikason/salmeterol ternyata lebih baik dibandingkan pemberian budesonid
yang dosisnya dilipat duakan. Pada kunjungan bulan kedua nilai rerata VEP1
pada kelompok budesonid 65,12% cenderung menurun bila dibandingkan
dengan nilai rerata pada kunjungan bulan pertama yaitu dari nilai rerata
66,52% tetapi tetap lebih baik dari nilai awal kunjungan dan peningkatan ini
juga tidak bermakna secara statistik. Pada kelompok flutikason/salmeterol
nilai rerata VEP1 pada kunjungan bulan kedua mengalami peningkatan dari
68,13% menjadi 71,10% dan peningkatan ini bermakna secara statistik Ini
menunjukkan bahwa kombinasi flutikason/salmeterol akan memberikan nilai
faal paru yang semakin meningkat bila diberikan secara teratur dalam kurun
waktu tertentu dibandingkan hanya menggunakan kortikosteroid tunggal
dalam hal ini budesonid.
Pada penelitian ini faal paru belum mencapai normal tetapi selama 2
bulan pemberian sudah terjadi peningkatan yang bermakna. Pada kunjungan
bulan kedua nilai rerata ACT pada kelompok budesonid 17,74 cenderung
menetap bila dibandingkan dengan nilai rerata pada kunjungan bulan pertama,
tetapi masih lebih baik dari nilai rerata pada awal kunjungan. Sedangkan pada
kelompok flutikason/salmeterol nilai rerata ACT pada kunjungan bulan kedua
terjadi peningkatan dari nilai rerata pada kunjungan bulan pertama yakni dari
19,27 menjadi 21,18. Peningkatan ini bermakna secara statistik dan nilai ACT
sudah mencapai kriteria terkontrol baik. Jika dilihat dari hasil ini maka
kelompok flutikason/salmeterol akan menjadi lebih terkontrol baik
dibandingkan dengan kelompok budesonid walaupun dosis dari kombinasi
24
inhalasi ini lebih kecil. Jumlah kelompok flutikason/salmeterol yang terkontrol
sejak bulan pertama hingga kunjungan bulan kedua mencapai 81,8%
sedangkan kelompok budesonid hanya 36,8% dan peningkatan ini bermakna
secara statistik (p= 0,0001).
Pada akhir kunjungan bulan kedua kelompok dilakukan wash out
dengan menggunakan budesonid dosis 800 ug. Pada kelompok budesonid nilai
rerata VEP1 pada akhir kunjungan bulan ketiga yaitu 63,60% menurun 2,82%
dan tidak bermakna secara statistik (p=0,395) dari nilai rerata pada akhir
kunjungan bulan kedua. Pada kelompok flutikason/salmeterol nilai rerata pada
akhir kunjungan bulan ketiga yaitu 66,35 menurun sebesar 6,68% dan
penurunan ini bermakna secara statistik (p=0,024) dari nilai rerata pada akhir
kunjungan bulan kedua. Kalau kita melihat hasil ini maka kelompok
flutikason/salmeterol setelah dilakukan wash out nilai VEP1 kembali menurun
tajam dibandingkan dengan kelompok budesonid. Begitu pula terhadap nilai
ACT setelah dilakukan wash out nilai rerata kelompok budesonid menurun
sebesar 2,33% tetapi penurunan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,460).
Sedangkan pada kelompok flutikason/salmeterol juga terjadi penurunan nilai
rerata ACT sebesar 18,46% penurunan ini bermakna secara statistik (p=0,001).
Dari kenyataan ini terlihat bahwa apabila kortikosteroid hanya diberikan
tunggal tanpa penambahan agonis β 2 kerja lama maka nilai VEP1 dan ACT
menurun. Ini disebabkan karena salmeterol mempunyai efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator sel mast dan basofil.
2.1.11 Kesimpulan
1. Terdapat perubahan yang bermakna skor ACT pada kedua kelompok tetapi
nilai rerata kelompok budesonid tidak mencapai kriteria terkontrol baik
pada bulan pertama kunjungan sampai akhir kunjungan, sedangkan nilai
rerata kelompok flutikason/salmeterol baik pada kunjungan bulan pertama
maupun pada akhir bulan kedua mencapai kriteria terkontrol. Dengan
demikian kelompok flutikason/salmeterol lebih baik dalam mengontrol
asma dibandingkan dengan kelompok budesonid.
25
2. Terdapat perubahan nilai rerata VEP1 baik pada kelompok budesonid
maupun pada kelompok flutikason/salmeterol, tetapi hanya kelompok
flutikason/salmeterol yang memperlihatkan kenaikkan nilai yang bermakna.
Dengan demikian kelompok ini lebih baik dalam hal meningkatkan faal
paru.
3. Asthma Control Test dapat direkomendasikan untuk digunakan sebagai alat
evaluasi yang mudah bagi pasien asma persisten sedang dan dokter apakah
sudah terkontrol baik atau tidak setelah menggunakan obat pengontrol.
2.1.12 Sudut pandang
1. Bagi petugas kesehatan :
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan petugas kesehatan
dalam melakukan pemilihan terapi untuk pengobatan penyakit asma yang
berefikasi dan memiliki tingkat keamanan yang baik, sehingga dapat
memberikan terapi yang lebih baik bagi pasien dan tujuan terapi penyakit
asma dapat terpenuhi.
2. Bagi penderita Asma :
Pasien akan mendapatkan pemilihan terapi yang lebih baik dan terjamin
efikasi dan keamanannya, sehingga terapi akan berjalan lebih baik dan
menunjang kesembuhan pasien.
26
2.2 Review Jurnal II (Jurnal Berbahasa Inggris) : Long-Term Safety of Mometasone
Furoate/Formoterol Combination for Treatment of Patients with Persistent
Asthma.
2.2.1 Judul
Long-Term Safety of Mometasone Furoate/Formoterol Combination for
Treatment of Patients with Persistent Asthma.
2.2.2 Pengarang
Jorge F. Maspero, M.D.,1, Hendrik Nolte, M.D., Ph.D.,2 And Iván Chérrez-
Ojeda, M.D.3 On Behalf Of The P04139 Study Group
1Fundacion CIDEA, Allergy/Respiratory Research, Buenos Aires, Argentina.2Merck Research Laboratories, Kenilworth, New Jersey, USA.3RESPIRALAB Allergy, Respiratory & Sleep Center, Guayaquil, Ecuador.
2.2.3 Jurnal
2.2.4 Latar Belakang
Beberapa percobaan klinis telah menunjukkan efikasi dari MF
terhadap fungsi paru – paru, gejala asma, dan kualitas hidup pasien, begitu
pula dengan keamanan dan tolerabilitasnya pada kekuatan multipel (100–800
μg) dan regimen dosis. Formoterol (F), suatu LABA, saat diberikan sebagai
monoterapi, secara cepat memperbaiki otot polos saluran nafas dan
mempertahankan kontrol selama 24 jam, sehingga meningkatkan fungsi paru –
paru dan meringankan gejala asma. Karena komponen individual MF/F
memiliki efikasi yang baik dalam hal farmakologis dan profil keamanannya
saat diberikan terpisah pada dosis rekomendasi, kombinasi baru MF/F yang
27
Journal of Asthma, 47:1106–1115, 2010Copyright © 2010 Informa Healthcare USA, Inc.ISSN: 0277-0903 print / 1532-4303 onlineDOI: 10.3109/02770903.2010.514634
diadministrasikan melalui MDI diharapkan dapat memberikan karakteristik
yang sama.
2.2.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi keamanan jangka panjang
dari mometasone furoate / formoterol (MF / F) yang diadministrasikan MDI
pada pasien dengan asma persisten yang sebelumnya diberikan ICS dosis
medium sampai dosis tinggi.
2.2.6 Metode
Penelitian ini merupakan penelitian selama 52 minggu, dengan metode
randomized, multicenter, parallel-group, open-label, evaluator-blinded study.
Pada awalnya, 404 pasien (berumur ≥12 tahun) dikelompokkan pada suatu
strata berdasarkan dosis ICS mereka yang sebelumnya (medium atau tinggi),
kemudian dirandomisasi 2:1 untuk menerima perawatan 2 kali sehari MF/F
(200/10 atau 400/10 μg) atau fluticasone propionate/salmeterol (FP/S; 250/50
atau 500/50 μg). Endpoint primer adalah jumlah dan persentase pasien yang
melaporkan adanya kejadian sampingan atau adverse event (AE). Evaluasi
keamanan tambahan termasuk area dibawah kurva dari cortisol plasma
(AUC0−24 h) dan perubahan okular. Fungsi pernafasan, gejala asma , dan
penggunaan medikasi lain dimonitor.
2.2.7 Parameter
Parameter dalam penelitian ini yaitu :
1. Kejadian sampingan atau adverse event (AE) yang timbul setelah
administrasi MF/F
2. Kejadian sampingan atau adverse event (AE) yang timbul setelah
administrasi FP/S
3. (AUC0−24 h) cortisol plasma.
4. Fungsi pernafasan, gejala asma dan penggunaan medikasi lain.
2.2.8 Jumlah Populasi Target
Jumlah Populasi target yaitu sebanyak 404 orang pasien asma.
28
2.2.9 Kriteria Inklusi
Pasien yang dimasukkan dalam studi ini berumur 12 tahun atau lebih
tua, didiagnosa dengan asma persisten selama ≥ 12 bulan, dengan nilai
prediksi FEV1 ≥ 50%, menerima ICS dosis medium atau dosis tinggi dengan
atau tanpa LABA selama ≥ 12 minggu sebelum skrining, dan berada pada
regimen stabil selama ≥ 2 minggu sebelum skrining. Kriteria inklusi tambahan
berupa petunjuk β2-reversibility (peningkatan FEV1 of ≥12% and ≥200 mL.
Dengan pemakaian SABA 10–15 menit); electrocardiogram (ECG) normal,
clinical laboratory tests, dan radiograph dada; serta kontrasepsi pencegahan
yang cukup bagi wanita pada masa subur.
Pasien tidak diikutsertakan bila memperlihatkan perubahan >20%
dalam FEV1; memerlukan penggunaan >12 inhalasi SABA atau dua
nebulized treatments dengan 2.5 mg salbutamol pada 2 hari berturut – turut
pada waktu antara skrining dan kunjungan baseline; pernah mengalami vonis
kemerosotan klinis (kemerosotan menyebabkan kegawatdaruratan pada
perawatan, hospitalisasi, atau perawatan dengan tambahan medikasi asma
selain SABA); memiliki tekanan intraokular ≥ 22 mmHg pada kedua mata,
glukoma, atau terbukti katarak saat skrining; seorang perokok (telah merokok
selama setahun belakangan) atau mantan perokok (>10 Pak/tahun); menerima
penanganan gawat daurat untuk obstruksi saluran nafas pada 3 bulan
kebelakang, atau menderita infeksi selama 2 minggu sebelum skrining.
2.2.10 Hasil Penelitian
Kejadian ≥ 1 AE yang membutuhkan penanganan gawat darurat mirip
antara grup perlakuan (MF/F 200/10 μg, 77.3% [n = 109]; FP/S 250/50 μg,
82.4% [n = 56]; MF/F 400/10 μg, 79.2% [n = 103]; FP/S 500/50 μg, 76.9% [n
= 50]). Rasio AE juga mirip antara grup perlakuan (MF/F 200/10 μg, 28.4%;
FP/S 250/50 μg, 23.5%; MF/F 400/10 μg, 23.1%; FP/S 500/50 μg, 20.0%).
Sakit kepala (3.7%) dan dysphonia (2.7%) adalah AE paling umum antara
keseluruhan AE yang terkait pada perawatan. Sifat dan frekuensi AE dan
penurunan AUC0−24 h cortisol plasma diobservasi dengan perawatan MF/F
mirip dengan yang diobservasi dengan perawatan FP/S. Kejadian okuler
bersifat langka (2–6% dari keseluruhan insiden diantara grup
perawatan);terlebih dari yang lain, tidak ada katarak posterior subcapsular
29
yang dilaporkan. Hanya tiga pasien yang tidak melanjutkan penelitian karena
AE okular terkait dengan pengobatan (dua untuk kelainan lensa dalam grup
MF/F 400/10 μg; satu untuk penurunan visual dalam grup FP/S 250/50 μg)
dan tidak terjadi kematian yang terkait asma. Terlebih lagi, MF/F
menunjukkan peningkatan secara numerik pada fungsi paru – paru dan
keuntungan klinis dengan menurunkan gejala asma.
Tabel 7.Adverse Event terkait perawatan yang paling umum dilaporkan oleh ≥2.0% opasien
pada semua grup.
Gambar 3. AUC0 – 24h plasma cortisol pada baseline, minggu ke 26, dan minggu
ke 52
30
2.2.11 Kesimpulan
Perawatan dengan MF/F-MDI jangka panjang (52 minggu) 200/10 and
400/10 μg BID ditoleransi dengan baik dengan profil keamanan mirip dengan
profil komponen MF dan F secara individual dan terhadap FP/Spada dosis
equivalent. Terlebih lagi tidak ada temuan keamanan baru yang terdeteksi
selama treatment MF/F.
Perawatan jangka panjang MF/F juga diasosiasikan dengan
peningkatan cepat dari fungsi respiratory dan penurunan gejala asma. Hasil ini
menunjukkan bahwa kombinasi terapi MF/F 200/10 dan 400/10 μg BID
melalui MDI bersifat aman dan dapat ditoleransi dengan baik, dan
memberikan pilihan yang baru dan sesuai untuk perawatan asma pada remaja
dan dewasa.
2.2.12 Sudut pandang
1. Bagi petugas kesehatan :
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan petugas
kesehatan dalam melakukan pemilihan terapi untuk pengobatan penyakit
asma yang berefikasi dan memiliki tingkat keamanan yang baik,
sehingga dapat memberikan terapi yang lebih baik bagi pasien dan
tujuan terapi penyakit asma dapat terpenuhi.
2. Bagi penderita Asma :
Pasien akan mendapatkan pemilihan terapi yang lebih baik dan terjamin
efikasi dan keamanannya, sehingga terapi akan berjalan lebih baik dan
menunjang kesembuhan pasien.
31
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1023/Menkes/Sk/Xi/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Depkes RI. Jakarta
Maspero, Jorge F., M.D., Hendrik Nolte, M.D., Ph.D., And Iván Chérrez-Ojeda, M.D.
2010. Long-Term Safety of Mometasone Furoate/Formoterol Combination for
Treatment of Patients with Persistent Asthma. Journal of Asthma, 47:1106–
1115, 2010 Copyright © 2010 Informa Healthcare USA, Inc. ISSN: 0277-0903
print / 1532-4303 online DOI: 10.3109/02770903.2010.514634
Muchdid, Abdul dkk. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta :
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2007.
Nur Ahmad Tabri, Megantara Supriyadi, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono. 2010.
The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone
Compare with Budesonide Inhalation to Control Moderate Persistent Asthma
by The Use of Asthma Control Test as Evaluation Tool. Jurnal Respirologi
Indonesia, Vol. 30, No.3, Juli 2010.
Sukandar, E. R., Retnosari A., Sigit J.I., Adnyana K., Setiadi A.A.P., Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan. Jakarta
32