BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma ...

8
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Penyakit asma menjadi masalah yang sangat dekat dengan masyarakat karena jumlah populasi penderita asma semakin bertambah. Hal tersebut dinyatakan dalam survey the Global Initiative for Asthma (GINA, 2007). Ditemukan bahwa kasus asma diseluruh duniamencapai 400 juta jiwa. WHO pun mendukung pernyataan tersebut dengan hasil penelitiannya yang memperkirakan bahwa 235 juta orang saat ini menderita asma. Sebagian besar asma terkait dengan kematian, hal ini terjadidi negaraberpenghasilan rendah kebawah (WHO, 2011). Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, dimana banyak pembangunan di segala bidang. Salah satu dari pembangunan yang sangat berkembang yaitu dalam bidang perindustrian. Perkembangan dari pembangunan perindustrian tersebut dapat menyebabkan dampak bagi masyarakat. Dampak positif dari pembangunan perindustrian tersebut dapat memberikan kesejahteraan. Tetapi disamping itu dapat merugikan masyarakat, kerugian yang didapat masyarakat salah satunya berupa kesehatan yang dimiliki terganggu yang diakibatkan oleh pencemaran. Pencemaran lingkungan meningkat seiring berkembangnya perindustrian, yang berakibat meningkatnya alergen yang merupakan faktor pencetus asma. Di Indonesia penyakit asma menduduki urutan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian(Depkes RI, 2009). Hal ini sesuai dengan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT tahun 1986 menunjukan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkhitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkhitis kronik dan emfisema sebagi penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma diseluruh Indonesia sebesar 13/1000, di bandingkan bronkhitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Selain itu, penelitian yang dilakukan di 37 puskesmas di Jawa Barat

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma ...

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di

negara maju tetapi juga di negara berkembang. Penyakit asma menjadi masalah

yang sangat dekat dengan masyarakat karena jumlah populasi penderita asma

semakin bertambah. Hal tersebut dinyatakan dalam survey the Global Initiative

for Asthma (GINA, 2007). Ditemukan bahwa kasus asma diseluruh

duniamencapai 400 juta jiwa. WHO pun mendukung pernyataan tersebut dengan

hasil penelitiannya yang memperkirakan bahwa 235 juta orang saat ini menderita

asma. Sebagian besar asma terkait dengan kematian, hal ini terjadidi

negaraberpenghasilan rendah kebawah (WHO, 2011).

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, dimana banyak

pembangunan di segala bidang. Salah satu dari pembangunan yang sangat

berkembang yaitu dalam bidang perindustrian. Perkembangan dari pembangunan

perindustrian tersebut dapat menyebabkan dampak bagi masyarakat. Dampak

positif dari pembangunan perindustrian tersebut dapat memberikan kesejahteraan.

Tetapi disamping itu dapat merugikan masyarakat, kerugian yang didapat

masyarakat salah satunya berupa kesehatan yang dimiliki terganggu yang

diakibatkan oleh pencemaran. Pencemaran lingkungan meningkat seiring

berkembangnya perindustrian, yang berakibat meningkatnya alergen yang

merupakan faktor pencetus asma.

Di Indonesia penyakit asma menduduki urutan sepuluh besar penyebab

kesakitan dan kematian(Depkes RI, 2009). Hal ini sesuai dengan Survey

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT tahun

1986 menunjukan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan

(morbiditas) bersama-sama dengan bronkhitis kronik dan emfisema. Pada SKRT

1992, asma, bronkhitis kronik dan emfisema sebagi penyebab kematian ke-4 di

Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma diseluruh Indonesia

sebesar 13/1000, di bandingkan bronkhitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru

2/1000. Selain itu, penelitian yang dilakukan di 37 puskesmas di Jawa Barat

2  

   

terhadap 6,662 responden usia 13-70 tahun menunjukan prevalensi asma sebesar

7,7% dengan rincian laki-laki 9,2% dan perempuan 6,6% (PDPI, 2006).

Dari data pola penyakit rawat jalan pasien dewasa (17-30 tahun) Kecamatan

Citeureup-Bogor, asma bronkial dan ISPA menempati urutan teratas yaitu di

Rumah Sakit 29,24 % dan dipuskesmas 11,68%. Sedangkan pada data pola

penyakit rawat inap pasien dewasa (17-30 tahun) di Rumah Sakit, asma bronkial

dan ISPA berada di urutan keempat yaitu 7,91%. Dari data 10 besar penyakit di

Kecamatan Citeureup, asma dan ISPA menempati urutan teratas yaitu sebanyak

45,83% (Dinkes Bogor, 2015).

Pada kondisi asma gejala utama yang terjadi adalah batuk, sesak nafas, rasa

tertekan di dada, dan produksi sputum yang berlebihan dapat menyebabkan

terjadinya hambatan udara yang masuk ke dalam paru-paru,sehingga

menimbulkan gangguan pada pernafasan, seperti sesak nafas. Dalam stadium

yang lebih lanjut akan dapat menimbulkan gerak dan fungsi dalam kehidupan

sehari-hari (Soemarno & Astuti, 2005).Gejala asma sering terjadi pada malam hari

dan saat udara dingin, biasanya bermula mendadak dengan batuk non produktif,

kemudian menghasilkan sputum yang kental dan rasa tertekan di dada, disertai

dengan sesak nafas (dyspnea) dan mengi. Sehingga ekspirasi selalu lebih sulit dan

pendek dibandingkan inspirasi yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan

menggunakan setiap otot aksesoris pernafasan. Penggunaan aksesoris pernafasan

yang tidak terlatih dalam jangka panjang dapat menyebabkan penderita asma

kelelahan saat bernafas ketika serangan atau ketika beraktivitas (Bunner dan

Suddard, 2006).

Pada penderita asma akut dapat saja terjadi sewaktu-waktu, yang

berlangsung beberapa menit hingga hitungan jam. Semakin sering serangan asma

terjadi maka akibatnya akan semakin fatal sehingga mempengaruhi aktivitas

penting seperti kehadiran disekolah, pemilihan pekerjaan yang dapat dilakukan,

aktivitas fisik dan aspek kehidupan lain (Brunner dan Suddard, 2006).Dan

didukung oleh pernyataan (PDPI, 2006), menyebutkan bahwa asma dapat

menyebabkan terganggunya pemenuhan kebutuhan dan menurunkan produktivitas

hidup serta terbukti menurunkan kualitas hidup penderitanya.

3  

   

Dalam sebuah studi ditemukan bahwa dari 3.207 kasus yang diteliti, pasien

yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau olah raga sebanyak

52,7%, 44-51% mengalami batuk malam dalam sebulan terahir, keterbatasan

dalam aktivitas fisik sebanyak 44,1%, keterbatasan dalam aktivitas sosial

sebanyak 38%, keterbatasan dalam memilih karir sebanyak 37,9% dan

keterbatasan dalam cara hidup sebanyak 37,1%. Bahkan, pasien yang mengaku

mengalami keterbatasan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga sebanyak

32,6%, 28,3% mengaku terganggu tidurnya minimal sekali dalam seminggu dan

26,5% orang dewasa juga absen dari pekerjaan. Selain itu, total biaya pengobatan

untuk asma sangat tinggi dengan pengeluaran terbesar untuk ruang emergensi dan

perawatan di rumah sakit (PDPI, 2006).

Sebagai salah satu bagian integral dari profesi kesehatan sesuai dengan

PERMENKES No.65 tahun 2015 “fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan

yang ditujukan kepada individu dan / atau kelompok untuk mengembangkan,

memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan

dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan

(fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi”.Maka

Fisioterapi mempunyai tanggung jawab dalam menangani kondisi-kondisi yang

dapat menghambat aktifitas gerak dan fungsi sehari-hari.

Banyak teknik atau metode terapi yang dapat diaplikasikan pada kondisi

asma dalam meningkatkan FEV1 paru-paru. Antara lain inhalasi, Micro Wave

Diathermy (MWD) dan pursed lip breathing (PLB).

Menurut Mahlan (2009), nebulizer adalah suatu cara inhalasi dengan

menggunakan alat pemecah obat untuk menjadi bagian-bagian seperti hujan atau

uap untuk di hisap, biasanya untuk pengobatan saluran pernafasan.

Menurut Chrytiana (2008) dan Saputro (2010), nebulizer dapat mengubah

obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus – menerus, dari tenaga

yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Aerosol

yang terbentuk dihirup penderita melalui sungkup.

Pada inhalasi proses aerosol yang terjadi dimana obat-obatan bronchodilator

yang dicampurkan dirubah menjadi partikel yang kecil sehingga pada saat dihirup

dapat masuk ke dalam paru-paru dan memberikan efek untuk mengurangi

4  

   

kepekatan sputum dan diharapkan setelah diencerkan sputum dapat lebih mudah

untuk dikeluarkan.

Micro wave diathermy (MWD) merupakan suatu alat sebagai pengobatan

yang menggunakan stessor fisis berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan

oleh arus bolak-balik berfrekuensi 2450MHz dengan panjang gelombang 12,25

cm. Efek panas yang ditimbulkan oleh MWD bertujuan untuk merelaksasikan

otot-otot pernafasan karena pada kondisi asma sering terjadi adanya spasme otot

yang dapat mengakibatkan penumpukan sputum, sehingga dengan efek yang

ditimbulkan oleh MWD yaitu relaksasi, diharapkan otot-otot yang spasme dapat

direlaksasikan sehingga dapat meningkatkan kontraksi otot-otot pernafasan secara

maksimal dan meningkatkan volume pernafasan (Prantice, 2005).

Pursed lip breathing merupakan suatu metode bernafas dalam dengan otot-

otot lemas yang dimaksudkan untuk membuka bagian yang kurang berventilasi

dan memperpanjang waktu ekspirasi dengan cara mengeluarkan nafas melalui

mulut yang setengah tertutup (mecucu), serta pengendalian penghembusan nafas

penuh sesuai prosedur dan dilakukan dengan hati-hati. Latihan ini berfungsi untuk

memperbaiki ventilasi paru, meningkatkan ventilasi paru, dan memberikan udara

kedalam paru-paru (Smeltzer & Bare, 2013).

Pada penderita asma,pemberian pursed lipbreathing selain ditujukan untuk

memperbaiki fungsi alat pernafasan, juga bertujuan melatih penderita untuk dapat

mengatur pernafasan pada saat terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu

serangan asma. Latihan PLB juga menyebabkan perubahan dalam penggunaan

otot-otot pernafasan yaitu dengan mengurangi otot-otot diagfragma dan

memaksimalkan penggunaan otot perut dan dada selama proses pernafasan

sehingga pernafasan menjadi lebih efisien. Penderita asma menjadi lebih tenang,

tidak kelelahan saat bernafas ketika kondisi kritis atau ketika beraktivitas. Teknik

pernafasan ini dapat mencegah kolaps unit paru dan membantu pasien untuk

mengendalikan frekuensi serta kedalaman pernafasan serta merilekkan penderita

sehingga memungkinkan pasien mencapai kontrol terhadap dispnea dan

pernafasan yang panik (Smeltzer & Bare, 2013).

Menurut Visser (2011) bahwa PLB dapat meningkatkan tekanan

intrabronkial selama proses ekspirasi dan mengakibatkan peningkatan diameter

5  

   

bronkial sehingga aliran inspirasi dan ekspirasi menjadi lebih efisien. Tekanan

positif intrabronkial mencegah kolaps pada bronki saat ekspirasi sehingga gejala

asma seperti sesak nafas, batuk, mengi dan rasa tertekan di dada dapat di

minimalisir.

Frekuensi serangan merupakan gambaran untuk menunjukan jumlah

kekambuhan yang dialami oleh penderita asma bronkial. Pemeriksaan frekuensi

serangan ini sangatlah penting untuk penderita asma bronkial, karena dapat

mengetahui apakah pencetusnya, sehingga penanganan asma dapat dilakukan

segera mungkin. Penurunan frekuensi serangan sangat penting dalam kehidupan

penderita. Karena sering atau jarangnya frekuensi serangan yang timbul akan

mempengaruhi aktivitas sehari-hari penderita. Untuk mengetahui frekuensi

serangan yaitu dengan cara pasien diberikan quesioner secara berkesinambungan

selama terapi.

Pengontrolan terhadap gejala asma dapat dilakukan dengan cara

menghindari alergen pencetus asma, konsultasi asma dengan tim medis secara

teratur, hidup sehat dengan asupan gizi yang memadai dan menghindari stres.

Gejala asma dapat dikendalikan dengan pengelolaan yang dilakukan secara

lengkap, tidak hanya dengan pemberian terapi farmakologis tetapi juga

menggunakan terapi nonfarmakologis yaitu dengan cara mengontrol gejala yang

timbul serta mengurangi keparahan gejala asma yang timbul secara mendadak

(Gayton, 2006).

Untuk menguji fungsi paru, salah satunya adalah dengan ekspirasi paksa.

Volume paksa paru pada detik 1 (FEV 1) adalah volume udara yang dapat

dihembuskan pada satu detik 1 normalnya 3,2 liter. Pada kondisi asma bronkial

terjadi peningkatan volume sputum (hipersekresi sekret), selain itu akan terjadi

peningkatan frekuensi batuk dan sesak nafas. Bila terjadi gangguan ventilasi pada

jalan nafas maka akan terjadi penurunan pada FEV1 dan PEF. Tes ini dilakukan

dengan menggunakan spirometri dan peak expiratory flow meter, dimana pasien

diminta melakukan ekspirasi paksa pada detik pertama (GINA, 2006).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat

topik diatas dalam bentuk penelitian dan memaparkan dalam skripsi dengan judul

“Efektivitas pursed lip breathing terhadap FEV1 dan PEF Pada Asma Bronkial”

6  

   

B. Identifikasi Masalah

Asma bronkial adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,

reversibel, dimana otot-otot saluran bronkial (saluran udara) dalam paru-paru

spasme dan lapisan saluran bronkial mengalami peradangan dan

bengkak.Peradangan ini akan menghasilkan lendir yang kental, sehingga dapat

menyebabkan saluran udara menyempit, sensitif dan akibatnya trakeobronkial

berespon secara hiperaktif terhadap rangsangan, sehingga menyebabkan otot-otot

pernafasan mengalami spasme kemudian mengakibatkan sesak nafas.

Sel epitel bersilia yang dalam keadaan normal berfungsi membantu

membersihkan mukus. Dengan adanya penyempitan saluran udara dan adanya

pengelupasan sel epitel bersilia maka akan menghambat mobilisasi sekret pada

lumen.

Sesak nafas pada penderita asma dapat terjadi karena adanya spasme

bronkus dan sumbatan mukus yang mengakibatkan terjadinya penyempitan jalan

nafas atau air flow limitation. Pada keadaan sesak nafas, maka pada penderita

asma akan dapat dijumpai dengan adanya peningkatan frekuensi pernafasan atau

respiration rate. Dengan adanya peningkatan frekuensi pernafasan maka akan

menyebabkan terjadinya peningkatan kerja dari otot-otot pernafasan yang dapat

menyebabkan timbulnya kelelahan pada otot-otot tersebut, yang ahirnya dapat

menyebabkan terjadinya gangguan pola pernafasan (abnormal breathing pattern).

Pada penderita asma, gangguan pola pernafasan ini dapat berupa adanya

peningkatan frekuensi pernafasan dan perubahan irama pernafasan dimana

ekspirasi lebih pendek dan perubahan pola gerak pernafasan. Akibat adanya

abnormal breathing pattern maka dapat menyebabkan gangguan ventilasi dan

akibat adanya gangguan ventilasi maka akan menyebabkan penurunan FEV1 dan

PEF

Modalitas fisioterapi sebagai bentuk intervensi yang dapat di berikan pada

penderita asma bronkial telah memberikan kontribusi terhadap tercapainya

kesembuhan pasien. Intervensi yang dapat diberikan pada penderita asma bronkial

antara lain dengan inhalasi, MWD dan pursed lip breathing bertujuan untuk

meningkatkan FEV1 dan PEF.

7  

   

Dalam penelitian ini, peneliti ingin membuktikan pengaruh penambahan

pursed lip breathing pada inhalasi dan MWD, terhadap FEV1 dan PEF pada

penderita asma bronkial

C. Perumusan Masalah

Asma mempunyai dampak yang sangat mengganggu bagi penderitanya.

Gangguan fungsi pernafasan menjadi komplikasi dan menimbulkan gangguan

pada berbagai aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan produktivitas kerja dan

kualitas hidup. Berdasarkan topik dan judul yang telah dijelaskan diatas maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah penambahanpursed lip breathingpada inhalasi dan MWD

dapat meningkatkan FEV1 dan PEF pada penderita asma bronkial?

2. Apakah inhalasi dan MWD dapat meningkatan FEV1 dan PEF pada

penderita asma bronkial?

3. Apakah ada perbedaan antarapenambahan pursed lip breathingpada

inhalasi dan MWD dengan inhalasi dan MWD terhadap peningkatan

FEV1 dan PEF pada penderita asma bronkial?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan antarapenambahan pursed lip

breathingpadainhalasi dan MWD dengan inhalasi dan MWD terhadap

peningkatan FEV1 dan PEF pada penderita asma bronkial.

2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui penambahan pursed lip breathingpada

inhalasi dan MWD dapat meningkatkan FEV1 dan PEF pada

penderita asma bronkial.

b) Untuk mengetahui inhalasi dan MWD dapat meningkatkan FEV1

dan PEF pada penderita asma bronkial.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi institusi pendidikan

a) Sebagai bahan kajian bagi peneliti selanjutnya

8  

   

b) Memberikan sumbangan pemikiran dan studi perbandingan bagi

pendidik dan mahasiswa.

2. Manfaat bagi fisioterapi

a) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk

membuka wawasan berfikir ilmiah dalam melihat permasalahan

yang timbul dalam lingkup fisioterapi.

b) Dari hasil penelitian ini memberikan gambaran yang lebih jelas

tentang pengaruh pemberian pursed lip breathing terhadap

peningkatan FEV1 dan PEF pada penderita asma bronkial

3. Manfaat Bagi Penelitian.

Peneliti dapat belajar dan mendalami proses penelitian serta dapat

menerapkannya secara baik dan benar terhadap penderita yang mengalami

gangguan paru, khususnya asma bronkial.