BAB I Asma

49
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Penyakit Asma Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. (Depkes RI. 2008) Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang melibatkan peran banyak sel dan komponennya (The National Asthma Education and Prevention Program, NAEPP). Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada, dan batuk. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi jalan udara yang sering reversibel baik secara spontan maupun setelah pemberian penanganan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperresponsifitas bronkus terhadap berbagai stimulus (Sukandar dkk, 2008). 1

Transcript of BAB I Asma

Page 1: BAB I Asma

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi Penyakit Asma

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang

ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa

berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat

reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul)

artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi

dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian.

(Depkes RI. 2008)

Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang

melibatkan peran banyak sel dan komponennya (The National Asthma Education and

Prevention Program, NAEPP). Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan

episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada, dan batuk. Episode ini

biasanya terkait dengan obstruksi jalan udara yang sering reversibel baik secara

spontan maupun setelah pemberian penanganan. Inflamasi juga menyebabkan

peningkatan hiperresponsifitas bronkus terhadap berbagai stimulus

(Sukandar dkk, 2008).

1.2 Etiologi Penyakit Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi

berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel.

Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus

inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat

asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik

menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang

menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat

dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan

dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel

dengan atau tanpa pengobatan/

(Muchdid, dkk., 2007)

1

Page 2: BAB I Asma

Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan

dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.

2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.

Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu

(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi

yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan

dengan hiperreaktivitas bronkus.

3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)

maka akan terjadi serangan asma (mengi) Faktor-faktor pemicu antara lain:

Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing,

tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok; pemacu:

Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu

dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.

(Depkes RI. 2008)

Gambar 1. Etiologi asma (Depkes RI. 2008)

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik

dan faktor lingkungan.

1. Faktor genetik

a. Hipereaktivitas

b. Atopi/alergi bronkus

c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

d. Jenis kelamin

e. Ras/etnik

2. Faktor lingkungan

a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)

b. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)

2

Page 3: BAB I Asma

c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,

susu sapi, telur)

d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)

e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)

f. Ekpresi emosi berlebih

g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan

aktifitas tertentu

j. Perubahan cuaca

(Depkes RI. 2008)

1.3 Patofisologi Penyakit Asma

Gejala asma, yaitu batuk seseak dengan mengi merupakan akibat dari

obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Gambar 2. Patofisiologi penyakit asma. (Depkes RI. 2008)

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas

bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter

objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang

pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara

lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun

inhalasi zat nonspesifik. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah

faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi

akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma

lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma

lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik.

3

Page 4: BAB I Asma

Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan se-kitarnya, berupa infiltrasi sel-sel

inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen

bronkus.

(Depkes RI. 2008)

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang

kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak

ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran

basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain

yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel

epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan

mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga

epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan

mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel

jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,

sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

(Depkes RI. 2008)

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan

serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan

limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti

lekotriens. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.

Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas

bronkus.

(Depkes RI. 2008)

1.4 Gejala Klinis Penyakit Asma

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa

pengobatan. Gejala awal berupa :

a. batuk terutama pada malam atau dini hari

b. sesak napas

c. napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya

d. rasa berat di dada

e. dahak sulit keluar.

4

Page 5: BAB I Asma

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang

termasuk gejala yang berat adalah:

a. Serangan batuk yang hebat

b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal

c. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)

d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk

e. Kesadaran menurun

(Muchdid, dkk., 2007)

Berdasarkan beratnya penyakit, maka penyakit asma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

APE = arus puncak ekspirasi

VEP1 = volume ekspirasi paksa dalam 1 detik

Tabel 1. Klasifikasi Asma.

(Muchdid, dkk., 2007)

5

Page 6: BAB I Asma

1.5 Indikator kesembuhan Penyakit Asma

Indikator kesembuhan Penyakit Asma yaitu :

1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam

2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise

3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak

diperlukan)

4. Variasi harian APE kurang dari 20 %

5. Nilai APE normal atau mendekati normal

6. Efek samping obat minimal (tidak ada)

7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

(Muchdid, dkk., 2007)

1.6 Pengobatan Penyakit Asma

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan

dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). Tujuan :

− Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;

− Mencegah eksaserbasi akut;

− Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;

− Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;

− Menghindari efek samping obat;

− Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)

ireversibel;

− Mencegah kematian karena asma.

− Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi

genetiknya.

(Muchdid, dkk., 2007)

Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter

dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya

komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan

pasien, ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.

6

Page 7: BAB I Asma

Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma,

yaitu:

− KIE dan hubungan dokter-pasien

− Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;

− Penilaian, pengobatan dan monitor asma;

− Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan

− Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll

(Muchdid, dkk., 2007)

1.6.1 Terapi Non-Farmakologi

A. Edukasi pasien

Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam

penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :

meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan

pola penyakit asma sendiri)

meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma

sendiri/asma mandiri)

meningkatkan kepuasan

meningkatkan rasa percaya diri

meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri

membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol

asma

Bentuk pemberian edukasi dapat berupa :

Komunikasi/nasehat saat berobat

Ceramah

Latihan/training

Supervisi

Diskusi

Tukar menukar informasi (sharing of information group)

Film/video presentasi

Leaflet, brosur, buku bacaan

Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya

meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan dengan :

7

Page 8: BAB I Asma

Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap

tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan

tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien

Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan

yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin

kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).

Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.

Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.

Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien

sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.

Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama

dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.

Mengajak keterlibatan keluarga.

Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status

sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma

B. Pengukuran peak flow meter

Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.

Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini

dianjurkan pada :

1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan

oleh pasien di rumah.

2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.

3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma

persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan

di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui

gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang

mengancam jiwa.

Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu

pengobatan seperti :

Mengetahui apa yang membuat asma memburuk

Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan

baik

Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau

penghentian obat

8

Page 9: BAB I Asma

Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD

C. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

D. Pemberian oksigen

E. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak

F. Kontrol secara teratur

G. Pola hidup sehat

Dapat dilakukan dengan :

Penghentian merokok

Menghindari kegemukan

Kegiatan fisik misalnya senam asma

(Muchdid, dkk., 2007)

1.5.3 Terapi Farmakologi

1. Agonis β2

Contoh obat agonis β-adrenergik beserta selektivitas relatif, potensi

dan durasi aksi dapat dilihat pada tabel berikut.

Agen Selektivitas Potensi

β2

Durasi aksi Aktivitas

Oralβ1 β2 Bronkodilatasi

(jam)

Proteksi

(jam)

Isoproterenol ++++ ++++ 1 0,5-2 0,5-1 Tidak

Metaproterenol +++ +++ 15 3-4 1-2 Ya

Isoetarin ++ +++ 6 0,5-2 0,5-1 Tidak

Albuterol + ++++ 2 4-8 2-4 Ya

Bitolterol + ++++ 5 4-8 2-4 Tidak

Pirbuterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya

Terbutalin + ++++ 4 4-8 2-4 Ya

Formoterol + ++++ 0,24 ≥12 6-12 Ya

Salmenterol + ++++ 0,5 ≥12 6 - >12 Tidak

Tabel 2. Selektivitas Relatif, Potensi, dan Durasi Aksi agonis β-adrenergik

(Sukandar dkk, 2008 )

2. Kortikosteroid

9

Page 10: BAB I Asma

Kortikosteroid hirup merupakan terapi kontrol jangka panjang paling

efektif untuk asma persisten, tanpa memperhitungkan keparahan, dan

merupakan satu-satunya terapi yang menunjukkan penurunan risiko kematian

yang disebabkan asma meski dalam dosis yang relatif kecil. Kebanyakan

pasien dengan dengan tingkat keparahan menengah dapat dikontrol dengan

dosis dua kali sehari. Pasien dengan sakit yang lebih parah memerlukan dosis

pemberian berulang dalam sehari. Karena respon inflamasi pada asma

menginhibisi ikatan reseptor steroid, pemberian obat harus dimulai dari dosis

tinggi dan pemberian yang sering, lalu diturunkan ketika kontrol telah dicapai

( Sukandar dkk, 2008 ).

Kortikosteroid sistemik juga direkomendasikan untuk penanganan

pasien dengan asma parah akut yang sepenuhnya tidak merespon dengan

pemberian agonis β2 inhales secara agresif (setiap 20 menit untuk tiga atau

empat dosis) dan juga untuk episode asma akut yang tidak dapat diobati

dengan terapi bronkodilator. Paad pasien yang memerlukan kontrol asma

dengan kortikosteroid sistemik kronik, harus digunakan dosis terendah yang

paling berefek. Toksisitas dapat dikurangi dengan terapi berselang atau

kortikosteroid hirup dosis tinggi .

(Sukandar dkk, 2008).

Contoh kortikosteroid inhalasi adalah Beklometason dipropionat,

Budesonide, Flunisolide, Flutikason propionat, Momentason furoat, dan

Triamsinolon asetonida. Sedangkan kortikostroid sistemik yaitu

Hidrokostison, Prednison, Metilprednisolon, dan Deksametason

(Sukandar dkk, 2008).

3. Metilxantin

Metilxantin tidak efektif dalam bentuk aerosol dan harus diberikan

secara sitemik (oral atau intravena). Teofilin lepas lambat lebih disukai untuk

pemberian oral, sedangkan bentuk kompleksnya dengan etilendiamin

(aminofilin) lebih disukai untuk sediaan parenteral karena peningkatan

kelarutannya. Karena tingginya risiko untung-ruginya, teofilin dianggap agen

lapis kedua atau tiga dalam penanganan asma

(Sukandar dkk, 2008).

4. Antikolinergik

10

Page 11: BAB I Asma

Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator

lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan

bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif

kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema

(Muchdid, dkk., 2007).

5. Kromolin Sodium dan Nedokromil

A. Kromolin Natrium

Kromolon natrium digunakan pada asma bronkial (inhalasi, larutan dan

aerosol) sebagai pengobatan profilaksis pada asma bronkial. Kromolin

diberikan teratur, harian pada pasien dengan gejala berulang yang memerlukan

pengobatan secara reguler.

B. Nedokromil Natrium

Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi

pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma

ringan sampai sedang.

(Muchdid, dkk., 2007)

6. Antagonis Reseptor Leukotrien

A. Zafirlukast

Zafirlukast digunakan sebagai profilaksis dan perawatan asma kronik pada

dewasa dan anak di atas 5 tahun

B. Montelukast Sodium

Montelukast sodium digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik

pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan

C. Zilueton

Zilueton digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa

dan anak > 12 tahun

(Muchdid, dkk., 2007)

7. Kombinasi Terapi Pengontrol

Guidline NAEPP 2002 merekomendasikan kombinasi kortikosteroid

hirup dan agonis β2 hirup kerja lama untuk tahap 3 asma persisten sedang.

Kombinasi ini lebih kuat daripada menduplikasi dosis kortikosteroid hirup

atau menambahkan antagonis leukotrien ke kortikosteroid hirup. Contoh dari

11

Page 12: BAB I Asma

sediaan ini adalah Advair yang merupakan sediaan kombinasi flutikason

dengan salmenterol. Kombinasi ini memiliki onset yang cepat (dalam satu

minggu), dan salmenterol dapat mengurangi dosis kortikosteroid hirup hingga

50% pada pasien dengan asma persisten

(Sukandar dkk, 2008).

Bagan 1. Algoritma Penatalaksanaan serangan Asma dirumah. (Depkes RI. 2008)

12

Page 13: BAB I Asma

Bagan 2. Pelangi Asma, Monitoring Asma secara Mandiri (Depkes RI. 2008)

13

Page 14: BAB I Asma

Bagan 3. Algoritma penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit.

14

Page 15: BAB I Asma

1.7 Mekanisme Kerja Obat Asma

1. Simpatomimetik

Mekanisme Kerja :

Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :

1. Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya

vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.

2. Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan

kontraktilitas dan irama jantung.

3. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan

klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.

Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama

penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum.

Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator

yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma.

Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas,

memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih

besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan

bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik. Pada tabel 2 dapat

dilihat perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat

simpatomometik yang digunakan pada terapi asma.

(Muchdid, dkk., 2007)

2. Xantin

Mekanisme Kerja

Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan

merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,

merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,

menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.

Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin empunyai efek

kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu

menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan

penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.

(Muchdid, dkk., 2007)

15

Page 16: BAB I Asma

3. Antikolinergik

A. Ipratropium Bromida

Mekanisme Kerja

Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)

yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja

asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan

tidak bersifat sistemik.

Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan

penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus

mukosa hidung.

(Muchdid, dkk., 2007)

B. Tiotropium Bromida

Mekanisme Kerja

Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan

sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek

farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga

terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat

sangat spesifik pada lokasi tertentu.

(Muchdid, dkk., 2007)

4. Kromolin Sodium dan Nedokromil

A. Kromolin Natrium

Mekanisme Kerja

Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas

intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas

glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan

SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.

Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.

(Muchdid, dkk., 2007)

16

Page 17: BAB I Asma

B. Nedokromil Natrium

Mekanisme Kerja

Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini

akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai

tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel

mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon

bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.

(Muchdid, dkk., 2007)

5. Kortikosteroid

Mekanisme Kerja

Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja

dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan

jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta

adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme

bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan

inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik

minimal.

(Muchdid, dkk., 2007)

6. Antagonis Reseptor Leukotrien

A. Zafirlukast

Mekanisme Kerja

Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan

kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting

substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor

berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan

perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang

menimbulkan tanda dan gejala asma.

(Muchdid, dkk., 2007)

17

Page 18: BAB I Asma

B. Montelukast Sodium

Mekanisme Kerja

Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada

penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1).

Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel

mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan

edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular

yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala

asma.

(Muchdid, dkk., 2007)

C. Zilueton

Mekanisme Kerja

Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya menghambat

pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, Lte1).

(Muchdid, dkk., 2007)

7. Obat-Obat Penunjang

A. Ketotifen Fumarat

Mekanisme Kerja

Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara nonkompetitif

dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan menghambat

penglepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.

(Muchdid, dkk., 2007)

B. N-Asetilsistein

Mekanisme Kerja

Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada

molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida antara ikatan

molekular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas

mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan

peningkatan pH.

(Muchdid, dkk., 2007)

18

Page 19: BAB I Asma

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Review Jurnal I (Jurnal Berbahasa Indonesia): The Efficacy of Combination of

Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compare with Budesonide Inhalation to

Control Moderate Persistent Asthma by The Use of Asthma Control Test as

Evaluation Tool.

2.1.1 Judul

The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone

Compare with Budesonide Inhalation to Control Moderate Persistent Asthma

by The Use of Asthma Control Test as Evaluation Tool.

2.1.2 Pengarang

Nur Ahmad Tabri, Megantara Supriyadi, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono

Department of Pulmonology and Respiratory Medicine Faculty of Medicine

Indonesian University / Persahabatan Hospital

2.1.3 Jurnal

2.1.4 Latar Belakang

Penelitian di Asia Pasifik mendapatkan bahwa pasien asma yang

menganggap penyakitnya terkontrol, ternyata yang betul-betul terkontrol

secara total sebanyak 5% dan yang terkontrol baik sebanyak 35% dan hanya

10% menggunakan inhalasi steroid untuk mengontrol asmanya sedangkan

yang menggunakan bronkodilator sebanyak 68%.5 Salah satu metode yang

dapat di gunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan pasien asma

adalah Asthma Control Test atau ACT terdiri dari 5 pertanyaan yang disusun

19

Jurnal Respirologi Indonesia, Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Official Journals of The Indonesian Society of Respirology, Vol. 30, No.3, Juli 2010.

Page 20: BAB I Asma

sebagai metode yang mudah untuk pasien dan dokter dalam menilai gejala,

kebutuhan obat – obatan dan gangguan aktivitas harian.

Penelitian Batemen dan kawan - kawan selama satu tahun dengan

menggunakan inhalasi kombinasi flutikason dan salmeterol dapat mengontrol

asma lebih lama dibandingkan dengan menggunakan flutikason saja. Perlu

dilakukaan penelitian dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan , adakah

perbedaan respons terapi pemberian inhalasi kombinasi steroid (flutikason)

250 ug dan agonis β2 kerja lama (salmeterol) 50 ug pada pasien asma

persisten sedang dibandingkan dengan yang mendapat obat inhalasi budesonid

dosis tinggi (800 ug) pada waktu tertentu sehingga asma dapat menjadi

terkontrol baik dengan menggunakan kuesioner Asthma Control Test (ACT)

sebagai alat evaluasi. Hipotesis penelitian adalah pemberian inhalasi

kombinasi flutikason/salmeterol akan memberikan nilai skor ACT lebih baik

dibandingkan bahwa dengan inhalasi budesonid pada pasien asma persisten

sedang sehingga asma dapat terkontrol dengan baik

2.1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada atau

tidaknya perbedaan respons terapi pemberian inhalasi kombinasi steroid

(flutikason) 250 ug dan agonis β2 kerja lama (salmeterol) 50 ug pada pasien

asma persisten sedang dibandingkan dengan yang mendapat obat inhalasi

budesonid dosis tinggi (800 ug) pada waktu tertentu sehingga asma dapat

menjadi terkontrol baik dengan menggunakan kuesioner Asthma Control Test

(ACT) sebagai alat evaluasi. Tujuan lain adalah untuk mengetahui perbedaan

kenaikan nilai faal paru sebelum dan sesudah pemberian kombinasi steroid

(flutikason) dan agonis β2 kerja lama (salmeterol) dengan inhalasi budesonid

pada penderita asma persisten sedang.

2.1.6 Metode

Penelitian ini merupakan uji klinis dengan rancangan Randomized

Pretest-Posttest Comparative Group Design. Subjek diambil dengan cara

consecutive sampling. Metode randomisasi dalam menentukan subjek mana

yang akan mendapat perlakuan digunakan cara randomisasi sederhana

menggunakan tabel random Subjek dibagi dua kelompok Kelompok 1

20

Page 21: BAB I Asma

mendapat inhalasi budesonid dengan dosis 400 ug diberi 2 x sehari dan

Kelompok 2 mendapat inhalasi salmeterol/flutikason dengan dosis 125/25 ug

diberi 2 X sehari.

Cara pengolahan dan analisis data:

Dilakukan analisis deskriptif pada masing – masing variabel. Untuk

mengetahui kenaikan fungsi paru (VEP1) dan nilai ACT sesudah perlakuan

digunakan paired sample t test pada masing-masing kelompok, sedangkan

untuk melihat perbedaan kenaikan fungsi paru dan nilai ACT antara kedua

kelompok perlakuan digunakan independent sample t test, pada setiap

kunjungan. Untuk menilai perbedaan kedua kelompok perlakuan terhadap

pasien asma yang telah terkontrol digunakan uji X2 (Chi-square test). Batas

kemaknaan yang digunakan adalah 0,05. Bila p<0,05 dinyatakan bermakna.

2.1.7 Parameter

Parameter yang diujikan dalam penelitian ini yaitu :

1. Nilai VEP1 sebelum perlakuan.

2. Nilai ACT sebelum perlakuan.

3. Nilai VEP1 sesudah perlakuan.

4. Nilai ACT sesudah perlakuan.

5. Perbedaan kenaikan fungsi paru (VEP1) dan nilai ACT antara kedua

kelompok perlakuan, yang dihitung dengan menggunakan independent

sample t test, pada setiap kunjungan.

6. Perbedaan kedua kelompok perlakuan terhadap pasien asma yang telah

terkontrol, digunakan uji X2 (Chi-square test), dimana batas kemaknaan

yang digunakan adalah 0,05. Bila p<0,05 dinyatakan bermakna.

2.1.8 Jumlah Populasi Target

Jumlah Populasi Target yaitu Secara keseluruhan diperoleh 71 subjek

penelitian yang terdiri dari 38 subjek yang mendapat budesonid (kelompok 1)

dan 33 dengan gabungan flutikason dan salmeterol (kelompok 2). Kelompok 1

terdiri dari 9 orang laki -laki ( 12,7 %) dan 29 orang perempuan (40,8%)

sedangkan kelompok 2 terdiri dari 6 orang laki-laki (7 %) dan perempuan 27

( 39,4 %).

21

Page 22: BAB I Asma

2.1.9 Kriteria Inklusi

Sebelumnya subjek telah ditapis untuk memenuhi kriteria penerimaan

dan penolakan. Kriteria penerimaan ; pasien asma persisten sedang, laki – laki

atau perempuan, umur 12 – 65 tahun, subjek masih dapat melakukan

pemeriksaan faal paru dan bersedia mengikuti penelitian secara suka rela dan

memberikan persetujuan tertulis, hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas

normal. Kriteria penolakan; perokok, pasien penyakit jantung, hati, diabetes

mellitus, ginjal, hipertiroid, penyakit kronik lain selain asma, hamil, terdapat

tanda-tanda infeksi berat, menolak meneruskan penelitian Subjek akan

dikeluarkan (Drop Out) apabila pasien pindah domisili ke luar Jakarta atau

pada saat penelitian pasien menolak meneruskan dengan memberikan alasan

ataupun akibat terjadinya efek yang tidak diinginkan yang parah dan atas

pertimbangan peneliti

2.1.10 Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan nilai VEP1 dan skor

ACT sebelum dan sesudah pemberian budesonid maupun

flutikason/salmeterol pada asma persisten sedang. Terdapat 71 subjek

penelitian yang terdiri dari 38 subjek menggunakan budesonid dan 33 subjek

dengan flutikason/salmeterol secara inhalasi, mayoritas berjenis kelamin

perempuan yakni sebanyak 83,3%. Pada penelitian ini umur rerata 43 tahun.

Pada awal penelitian nilai rerata VEP1 dan skor ACT tidak bermakna

secara statistik dengan nilai p > 0,05 Pada kelompok budesonid nilai VEP1

awal penelitian mempunyai rerata 62,21%, terdapat peningkatan pada

kunjungan bulan pertama sebesar 6,11%. Peningkatan tidak bermakna secara

statistik ini disebabkan penderita asma persisten sedang datang sebelum obat

inhalasi yang digunakan habis dan penderita secara teratur dilakukan

pemantauan terhadap fungsi paru. Hal ini juga di dapatkan peningkatan VEP1

sebesar 1,88% setelah pemberian budesonid inhalasi selama 2 bulan, tetapi

tidak bermakna secara statistik. Pada kelompok flutikason/salmeterol nilai

rerata VEP1 60,43% juga meningkat pada kunjungan bulan pertama sebasar

12,4% dan peningkatan ini bermakna secara statistik.

22

Page 23: BAB I Asma

Tabel 3. Karakteristik Subjek.

Pada kelompok budesonid skor ACT awal penelitian mempunyai rerata

13,89, setelah kunjungan bulan pertama skor ACT meningkat sebesar 38,4%

dan bermakna secara statistik. Peningkatan ini belum mencapai kriteria

terkontrol yakni hanya mempunyai skor 17,42 sedangkan untuk nilai

terkontrol adalah lebih dari 19. Pada kelompok flutikason/salmeterol skor

ACT pada awal penelitian mempunyai rerata 12,24, setelah kunjungan bulan

pertama meningkat 80,7% dan bermakna secara statistik serta mencapai nilai

terkontrol yakni sebesar 19,27.

Tabel 4. Distribusi penderita dengan asma terkontrol pada kelompok 1 dan 2

setelah kunjungan bulan pertama

Tabel 5. Distribusi penderita dengan asma terkontol pada kelompok 1 dan 2

setelah kunjungan bulan kedua

23

Page 24: BAB I Asma

Tabel 6. Distribusi penderita dengan asma terkontrol pada kelompok 1 dan 2

setelah kunjungan bulan ketiga

Pada penelitian ini perbaikan dengan menggunakan kombinasi

flutikason/salmeterol ternyata lebih baik dibandingkan pemberian budesonid

yang dosisnya dilipat duakan. Pada kunjungan bulan kedua nilai rerata VEP1

pada kelompok budesonid 65,12% cenderung menurun bila dibandingkan

dengan nilai rerata pada kunjungan bulan pertama yaitu dari nilai rerata

66,52% tetapi tetap lebih baik dari nilai awal kunjungan dan peningkatan ini

juga tidak bermakna secara statistik. Pada kelompok flutikason/salmeterol

nilai rerata VEP1 pada kunjungan bulan kedua mengalami peningkatan dari

68,13% menjadi 71,10% dan peningkatan ini bermakna secara statistik Ini

menunjukkan bahwa kombinasi flutikason/salmeterol akan memberikan nilai

faal paru yang semakin meningkat bila diberikan secara teratur dalam kurun

waktu tertentu dibandingkan hanya menggunakan kortikosteroid tunggal

dalam hal ini budesonid.

Pada penelitian ini faal paru belum mencapai normal tetapi selama 2

bulan pemberian sudah terjadi peningkatan yang bermakna. Pada kunjungan

bulan kedua nilai rerata ACT pada kelompok budesonid 17,74 cenderung

menetap bila dibandingkan dengan nilai rerata pada kunjungan bulan pertama,

tetapi masih lebih baik dari nilai rerata pada awal kunjungan. Sedangkan pada

kelompok flutikason/salmeterol nilai rerata ACT pada kunjungan bulan kedua

terjadi peningkatan dari nilai rerata pada kunjungan bulan pertama yakni dari

19,27 menjadi 21,18. Peningkatan ini bermakna secara statistik dan nilai ACT

sudah mencapai kriteria terkontrol baik. Jika dilihat dari hasil ini maka

kelompok flutikason/salmeterol akan menjadi lebih terkontrol baik

dibandingkan dengan kelompok budesonid walaupun dosis dari kombinasi

24

Page 25: BAB I Asma

inhalasi ini lebih kecil. Jumlah kelompok flutikason/salmeterol yang terkontrol

sejak bulan pertama hingga kunjungan bulan kedua mencapai 81,8%

sedangkan kelompok budesonid hanya 36,8% dan peningkatan ini bermakna

secara statistik (p= 0,0001).

Pada akhir kunjungan bulan kedua kelompok dilakukan wash out

dengan menggunakan budesonid dosis 800 ug. Pada kelompok budesonid nilai

rerata VEP1 pada akhir kunjungan bulan ketiga yaitu 63,60% menurun 2,82%

dan tidak bermakna secara statistik (p=0,395) dari nilai rerata pada akhir

kunjungan bulan kedua. Pada kelompok flutikason/salmeterol nilai rerata pada

akhir kunjungan bulan ketiga yaitu 66,35 menurun sebesar 6,68% dan

penurunan ini bermakna secara statistik (p=0,024) dari nilai rerata pada akhir

kunjungan bulan kedua. Kalau kita melihat hasil ini maka kelompok

flutikason/salmeterol setelah dilakukan wash out nilai VEP1 kembali menurun

tajam dibandingkan dengan kelompok budesonid. Begitu pula terhadap nilai

ACT setelah dilakukan wash out nilai rerata kelompok budesonid menurun

sebesar 2,33% tetapi penurunan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,460).

Sedangkan pada kelompok flutikason/salmeterol juga terjadi penurunan nilai

rerata ACT sebesar 18,46% penurunan ini bermakna secara statistik (p=0,001).

Dari kenyataan ini terlihat bahwa apabila kortikosteroid hanya diberikan

tunggal tanpa penambahan agonis β 2 kerja lama maka nilai VEP1 dan ACT

menurun. Ini disebabkan karena salmeterol mempunyai efek relaksasi otot

polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas

pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator sel mast dan basofil.

2.1.11 Kesimpulan

1. Terdapat perubahan yang bermakna skor ACT pada kedua kelompok tetapi

nilai rerata kelompok budesonid tidak mencapai kriteria terkontrol baik

pada bulan pertama kunjungan sampai akhir kunjungan, sedangkan nilai

rerata kelompok flutikason/salmeterol baik pada kunjungan bulan pertama

maupun pada akhir bulan kedua mencapai kriteria terkontrol. Dengan

demikian kelompok flutikason/salmeterol lebih baik dalam mengontrol

asma dibandingkan dengan kelompok budesonid.

25

Page 26: BAB I Asma

2. Terdapat perubahan nilai rerata VEP1 baik pada kelompok budesonid

maupun pada kelompok flutikason/salmeterol, tetapi hanya kelompok

flutikason/salmeterol yang memperlihatkan kenaikkan nilai yang bermakna.

Dengan demikian kelompok ini lebih baik dalam hal meningkatkan faal

paru.

3. Asthma Control Test dapat direkomendasikan untuk digunakan sebagai alat

evaluasi yang mudah bagi pasien asma persisten sedang dan dokter apakah

sudah terkontrol baik atau tidak setelah menggunakan obat pengontrol.

2.1.12 Sudut pandang

1. Bagi petugas kesehatan :

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan petugas kesehatan

dalam melakukan pemilihan terapi untuk pengobatan penyakit asma yang

berefikasi dan memiliki tingkat keamanan yang baik, sehingga dapat

memberikan terapi yang lebih baik bagi pasien dan tujuan terapi penyakit

asma dapat terpenuhi.

2. Bagi penderita Asma :

Pasien akan mendapatkan pemilihan terapi yang lebih baik dan terjamin

efikasi dan keamanannya, sehingga terapi akan berjalan lebih baik dan

menunjang kesembuhan pasien.

26

Page 27: BAB I Asma

2.2 Review Jurnal II (Jurnal Berbahasa Inggris) : Long-Term Safety of Mometasone

Furoate/Formoterol Combination for Treatment of Patients with Persistent

Asthma.

2.2.1 Judul

Long-Term Safety of Mometasone Furoate/Formoterol Combination for

Treatment of Patients with Persistent Asthma.

2.2.2 Pengarang

Jorge F. Maspero, M.D.,1, Hendrik Nolte, M.D., Ph.D.,2 And Iván Chérrez-

Ojeda, M.D.3 On Behalf Of The P04139 Study Group

1Fundacion CIDEA, Allergy/Respiratory Research, Buenos Aires, Argentina.2Merck Research Laboratories, Kenilworth, New Jersey, USA.3RESPIRALAB Allergy, Respiratory & Sleep Center, Guayaquil, Ecuador.

2.2.3 Jurnal

2.2.4 Latar Belakang

Beberapa percobaan klinis telah menunjukkan efikasi dari MF

terhadap fungsi paru – paru, gejala asma, dan kualitas hidup pasien, begitu

pula dengan keamanan dan tolerabilitasnya pada kekuatan multipel (100–800

μg) dan regimen dosis. Formoterol (F), suatu LABA, saat diberikan sebagai

monoterapi, secara cepat memperbaiki otot polos saluran nafas dan

mempertahankan kontrol selama 24 jam, sehingga meningkatkan fungsi paru –

paru dan meringankan gejala asma. Karena komponen individual MF/F

memiliki efikasi yang baik dalam hal farmakologis dan profil keamanannya

saat diberikan terpisah pada dosis rekomendasi, kombinasi baru MF/F yang

27

Journal of Asthma, 47:1106–1115, 2010Copyright © 2010 Informa Healthcare USA, Inc.ISSN: 0277-0903 print / 1532-4303 onlineDOI: 10.3109/02770903.2010.514634

Page 28: BAB I Asma

diadministrasikan melalui MDI diharapkan dapat memberikan karakteristik

yang sama.

2.2.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi keamanan jangka panjang

dari mometasone furoate / formoterol (MF / F) yang diadministrasikan MDI

pada pasien dengan asma persisten yang sebelumnya diberikan ICS dosis

medium sampai dosis tinggi.

2.2.6 Metode

Penelitian ini merupakan penelitian selama 52 minggu, dengan metode

randomized, multicenter, parallel-group, open-label, evaluator-blinded study.

Pada awalnya, 404 pasien (berumur ≥12 tahun) dikelompokkan pada suatu

strata berdasarkan dosis ICS mereka yang sebelumnya (medium atau tinggi),

kemudian dirandomisasi 2:1 untuk menerima perawatan 2 kali sehari MF/F

(200/10 atau 400/10 μg) atau fluticasone propionate/salmeterol (FP/S; 250/50

atau 500/50 μg). Endpoint primer adalah jumlah dan persentase pasien yang

melaporkan adanya kejadian sampingan atau adverse event (AE). Evaluasi

keamanan tambahan termasuk area dibawah kurva dari cortisol plasma

(AUC0−24 h) dan perubahan okular. Fungsi pernafasan, gejala asma , dan

penggunaan medikasi lain dimonitor.

2.2.7 Parameter

Parameter dalam penelitian ini yaitu :

1. Kejadian sampingan atau adverse event (AE) yang timbul setelah

administrasi MF/F

2. Kejadian sampingan atau adverse event (AE) yang timbul setelah

administrasi FP/S

3. (AUC0−24 h) cortisol plasma.

4. Fungsi pernafasan, gejala asma dan penggunaan medikasi lain.

2.2.8 Jumlah Populasi Target

Jumlah Populasi target yaitu sebanyak 404 orang pasien asma.

28

Page 29: BAB I Asma

2.2.9 Kriteria Inklusi

Pasien yang dimasukkan dalam studi ini berumur 12 tahun atau lebih

tua, didiagnosa dengan asma persisten selama ≥ 12 bulan, dengan nilai

prediksi FEV1 ≥ 50%, menerima ICS dosis medium atau dosis tinggi dengan

atau tanpa LABA selama ≥ 12 minggu sebelum skrining, dan berada pada

regimen stabil selama ≥ 2 minggu sebelum skrining. Kriteria inklusi tambahan

berupa petunjuk β2-reversibility (peningkatan FEV1 of ≥12% and ≥200 mL.

Dengan pemakaian SABA 10–15 menit); electrocardiogram (ECG) normal,

clinical laboratory tests, dan radiograph dada; serta kontrasepsi pencegahan

yang cukup bagi wanita pada masa subur.

Pasien tidak diikutsertakan bila memperlihatkan perubahan >20%

dalam FEV1; memerlukan penggunaan >12 inhalasi SABA atau dua

nebulized treatments dengan 2.5 mg salbutamol pada 2 hari berturut – turut

pada waktu antara skrining dan kunjungan baseline; pernah mengalami vonis

kemerosotan klinis (kemerosotan menyebabkan kegawatdaruratan pada

perawatan, hospitalisasi, atau perawatan dengan tambahan medikasi asma

selain SABA); memiliki tekanan intraokular ≥ 22 mmHg pada kedua mata,

glukoma, atau terbukti katarak saat skrining; seorang perokok (telah merokok

selama setahun belakangan) atau mantan perokok (>10 Pak/tahun); menerima

penanganan gawat daurat untuk obstruksi saluran nafas pada 3 bulan

kebelakang, atau menderita infeksi selama 2 minggu sebelum skrining.

2.2.10 Hasil Penelitian

Kejadian ≥ 1 AE yang membutuhkan penanganan gawat darurat mirip

antara grup perlakuan (MF/F 200/10 μg, 77.3% [n = 109]; FP/S 250/50 μg,

82.4% [n = 56]; MF/F 400/10 μg, 79.2% [n = 103]; FP/S 500/50 μg, 76.9% [n

= 50]). Rasio AE juga mirip antara grup perlakuan (MF/F 200/10 μg, 28.4%;

FP/S 250/50 μg, 23.5%; MF/F 400/10 μg, 23.1%; FP/S 500/50 μg, 20.0%).

Sakit kepala (3.7%) dan dysphonia (2.7%) adalah AE paling umum antara

keseluruhan AE yang terkait pada perawatan. Sifat dan frekuensi AE dan

penurunan AUC0−24 h cortisol plasma diobservasi dengan perawatan MF/F

mirip dengan yang diobservasi dengan perawatan FP/S. Kejadian okuler

bersifat langka (2–6% dari keseluruhan insiden diantara grup

perawatan);terlebih dari yang lain, tidak ada katarak posterior subcapsular

29

Page 30: BAB I Asma

yang dilaporkan. Hanya tiga pasien yang tidak melanjutkan penelitian karena

AE okular terkait dengan pengobatan (dua untuk kelainan lensa dalam grup

MF/F 400/10 μg; satu untuk penurunan visual dalam grup FP/S 250/50 μg)

dan tidak terjadi kematian yang terkait asma. Terlebih lagi, MF/F

menunjukkan peningkatan secara numerik pada fungsi paru – paru dan

keuntungan klinis dengan menurunkan gejala asma.

Tabel 7.Adverse Event terkait perawatan yang paling umum dilaporkan oleh ≥2.0% opasien

pada semua grup.

Gambar 3. AUC0 – 24h plasma cortisol pada baseline, minggu ke 26, dan minggu

ke 52

30

Page 31: BAB I Asma

2.2.11 Kesimpulan

Perawatan dengan MF/F-MDI jangka panjang (52 minggu) 200/10 and

400/10 μg BID ditoleransi dengan baik dengan profil keamanan mirip dengan

profil komponen MF dan F secara individual dan terhadap FP/Spada dosis

equivalent. Terlebih lagi tidak ada temuan keamanan baru yang terdeteksi

selama treatment MF/F.

Perawatan jangka panjang MF/F juga diasosiasikan dengan

peningkatan cepat dari fungsi respiratory dan penurunan gejala asma. Hasil ini

menunjukkan bahwa kombinasi terapi MF/F 200/10 dan 400/10 μg BID

melalui MDI bersifat aman dan dapat ditoleransi dengan baik, dan

memberikan pilihan yang baru dan sesuai untuk perawatan asma pada remaja

dan dewasa.

2.2.12 Sudut pandang

1. Bagi petugas kesehatan :

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan petugas

kesehatan dalam melakukan pemilihan terapi untuk pengobatan penyakit

asma yang berefikasi dan memiliki tingkat keamanan yang baik,

sehingga dapat memberikan terapi yang lebih baik bagi pasien dan

tujuan terapi penyakit asma dapat terpenuhi.

2. Bagi penderita Asma :

Pasien akan mendapatkan pemilihan terapi yang lebih baik dan terjamin

efikasi dan keamanannya, sehingga terapi akan berjalan lebih baik dan

menunjang kesembuhan pasien.

31

Page 32: BAB I Asma

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1023/Menkes/Sk/Xi/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Depkes RI. Jakarta

Maspero, Jorge F., M.D., Hendrik Nolte, M.D., Ph.D., And Iván Chérrez-Ojeda, M.D.

2010. Long-Term Safety of Mometasone Furoate/Formoterol Combination for

Treatment of Patients with Persistent Asthma. Journal of Asthma, 47:1106–

1115, 2010 Copyright © 2010 Informa Healthcare USA, Inc. ISSN: 0277-0903

print / 1532-4303 online DOI: 10.3109/02770903.2010.514634

Muchdid, Abdul dkk. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta :

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan

Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2007.

Nur Ahmad Tabri, Megantara Supriyadi, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono. 2010.

The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone

Compare with Budesonide Inhalation to Control Moderate Persistent Asthma

by The Use of Asthma Control Test as Evaluation Tool. Jurnal Respirologi

Indonesia, Vol. 30, No.3, Juli 2010.

Sukandar, E. R., Retnosari A., Sigit J.I., Adnyana K., Setiadi A.A.P., Kusnandar.

2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan. Jakarta

32