Post on 06-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang muncul bersamaan
dengan kelahiran, melainkan kebudayaan bisa diperoleh
melalui suatu proses belajar dari lingkungan, baik
lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Manusia yang
telah dilengkapi dirinya dengan kebudayaan maka manusia
tersebut telah melakukan proses belajar terhadap
lingkungan sehingga memiliki perangkat pengendali
berupa rencana, aturan resep, instruksi yang akan
digunakan untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan
tindakan tertentu (Geertz, 1972 :33-34). Hasil dari
proses belajar tersebut adalah berupa kebudayaan
manusia baik yang berbentuk kongkrit maupun abstrak
merupakan bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa antara manusia, kebudayaan
dan lingkungan terdapat kaitan yang sangat erat.
Dalam proses adaptasi lingkungan tersebut, alam
pikiran manusia menurut levi-straus degerakkan oleh
pemikiran disinterested yaitu kegunaan-kegunaan serta
kebutuhan untuk mengenal lingkungan sekitar mereka,
baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial sehingga
1
untuk mencapai tujuannnya manusia menciptakan “alat”
baik yang bersifat kongkrit maupun abstrak. Dalam
pengertian ini kebudayaan dianggab merupakan
pengetahuan sekaligus sebagai “alat” yang paling
efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan
(Ahimsa, 1984 : ). Salah satu bentuk adaptasi manusia
baik terhadap lingkungan alam maupun lingkungan sosial
budaya adalah adanya kebutuhan akan hunian atau tempat
tinggal. Tempat tinggal atau rumah adalah manivestasi
akan kebutuhan “ruang” oleh manusia.
Hubungan antara manusia dengan ruang merupakan
salah satu dari sekian banyak relasi manusia yang
dipelajari oleh para peneliti. Dalam kaitannya dengan
kajian arkeologi, wujud relasi ini tampak nyata dalam
pemukiman manusia dan pola-pola yang dihasilkannya,
baik secara sadar maupun tidak. Sebuah pemukiman
merupakan pengejawantahan (ekspresi) dari konsepsi
manusia mengenai ruang, serta merupakan hasil dari
upaya manusia untuk mengubah dan memanfaatkan
lingkungan fisiknya berdasarkan atas pandangan-
pandangan dan pengetahuan yang dimilikinya mengenai
lingkungan tersebut (Ahimsa, 1995:10). Menurut Evon Z.
Vogt (1956) studi pola pemukiman pada dasarnya
mencakup usaha untuk mendeskripsikan butir-butir
2
berikut : 1.hakekat dari suatu atau beberapa tipe rumah
tinggal ("the nature of individual domestic housetype
or types") 2.pengaturan spasial tipe-tipe rumah tinggal
dalam hubungannya satu sama lain di satu desa atau
suatu komunitas ("the spatial arrangement of these
domestic house types with respect to one another within
the village or community unit") 3.relasi antara tipe-
tipe rumah tinggal dengan bangunan-bangunan arsitektur
lainnya ("the relationship of domestic houstypes to
other special architectural features") 4.perencanaan
desa secara menyeluruh dan komunitasnya ("the overall
village or community plan") dan 5.hubungan-hubungan
spasial antara desa-desa atau komunitas-komunitas satu
dengan yang lain di suatu kawasan yang luas sesuai
dengan kelayakannya ("the spatial relationships of the
villages or communities to one another over as large an
area as feasible") (Ahimsa, 1995:12).
Arkeologi keruangan pada dasarnya merupakan kajian
dalam arkeologi yang mempelajari ruang tempat
ditemukannya hasil-hasil kegiatan manusia masa lampau,
sekaligus mempelajari pula hubungannya antar ruang
dalam satu situs, sistem situs, beserta lingkungannya
(Clarke, 1997:9). Dalam analisisnya, terdapat tiga
tingkat ruang, yaitu mikro, semi-makro, dan makro.
3
Tingkat mikro memusatkan perhatiannya pada hubungan
antar komponen di dalam suatu bangunan atau struktur,
tingkat semi-makro memperhatikan hubungan antar
komponen di dalam suatu situs, dan tingkat makro
memperhatikan hubungan antar situs dalam satuan wilayah
budaya 1 (Riyanto, 1995:118).
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia dari
lapisan apapun mempunyai angan-angan dan keinginan
untuk menciptakan sebuah hunian atau tempat tinggalnya
sebaik mungkin, seakan-akan itulah yang diidam-idamkan
(Ronald, 1990:1). Hal ini sangat menarik untuk dikupas,
tentang bagaimana proses manusia mengembangkan gagasan,
pemikiran dan perasaannya, sehingga sampai pada
gambaran tentang perwujudan sebuah hunian.
Yogyakarta sebagai ibukota Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat tidak dapat dilepaskan dari hadirnya
bangsa-bangsa asing baik yang berasal dari Belanda,
Cina Jepang, maupun Arab. Di antara bangsa-bangsa
tersebut, bangsa Belanda lebih banyak tinggalan
budayanya dari pada bangsa-bangsa lainya. Hal itu
disebabkan oleh karena keberadaan bangsa Belanda di
Nusantara ini didukung oleh suatu pemerintah yang
resmi yaitu pemerintah Kolonial Belanda (Anonim,
2003:12).
4
Kehadiran bangsa-bangsa asing tersebut khususnya
bangsa Belanda tidak serta merta begitu saja singgah
dan menjajah kepulauan nusantara ini. Dalam hitungan
waktu yang cukup lama Belanda singgah di Indonesia
meninggalkan suatu bentuk budaya yang masih dapat kita
lihat sampai sekarang khususnya hasil budaya
monumental. Hasil budaya monumental bercorak Eropa
(Belanda) di Yogyakarta sendiri terdiri atas beberapa
jenis baik berupa bangunan perkantoran, benteng, tempat
tinggal, tempat-tempat ibadah, maupun pabrik. Beberapa
gedung yang hingga kini masih dapat diamati di
antaranya adalah Benteng Vredeburg, Gedung Agung,
Gedung BNI 46, Kantor Pos Besar, Kantor Bank Indonesia,
Hotel Toegoe, Hotel Garuda, Stasiun Lempuyangan dan
Stasiun Tugu, Gereja Margomulyo, Kompleks Permukiman
Kota Baru dengan berbagai fasilitas baik hunian tempat
tinggal, kantor, rumah sakit, sekolah, dan sarana
ibadah. Adanya kawasan Kota Baru ini dipicu oleh
banyaknya orang-orang Belanda yang bermukim di daerah
Yogyakarta terutama sejak masa pemerintahan Sultan
Hamengku Buwana VII seiring dengan perkembangan
perkebunan, perindustrian, dan maraknya perekonomian
(Anonim, 2003:12). Perkembangan wilayah hunian tidak
hanya di pusat kota Yogyakarta lama, akan tetapi juga
5
daerah pinggiran kota waktu itu, misalnya di sebelah
utara ada kawasan Jetis, di sebelah timur ada kawasan
Bintaran dan sebelah timur laut terdapat kawasan Kota
Baru ini.
Kawasan pemukiman Kota Baru selain bangunan Hunian
juga terdapat bangunan untuk keagamaan yaitu Nieuw Wijk
Katholieke Kerk yang sekarang dikenal dengan Gereja
Santo Antonius, Gereformeerde Kerk Djogja sekarang
bernama Gereja HKBP , Kolese Santo Ignatius, sarana
olah raga voetbal terrein (lapangan bola) Kridosono. Di
samping itu juga ada fasilitas-fasilitas pendidikan di
antaranya Normaalshool (Sekarang SMPN 5)bertempat di
Sport Boulevard (Jl. Wardani), Christelijke MULO
(sekarang SMU I BOPKRI) dibangun tahun 1921 bertempat
di Petrolella Weg (Jl. Wardani 2), dan AMS (sekarang
SMUN 3), serta fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit
Petronella (sekarang Rumah Sakit Bethesda), Rumah sakit
militer (sekarang Rumah Sakit DKT). Semua bangunan-
bangunan di kawasan ini mempunyai gaya arsitektur yang
khas yaitu gaya arsitektur eropa. Bagaimana gaya-gaya
arsitektur eropa dan bagaimana penerapannya di kawasan
permukiman Kota Baru ini merupakan suatu objek kajian
arkeologi yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
6
Diantara bangunan-bangunan yang telah disebutkan
di atas, salah satu tinggalan budaya kolonial berupa
bangunan rumah tinggal di kawasan Kota Baru adalah
sebuah bangunan yang terletak di jalan Abu Bakar Ali
No.12. Bangunan ini sejak tahun 1966 beralih fungsi
menjadi “biara” tempat pendidikan bagi calon-calon
suster yang diberi nama “Susteran Amal Kasih Darah
Mulia”. Bangunan ini dahulu merupakan sebuah bangunan
tempat tinggal seorang bangsawan berketurunan Cina 2.
Bangunan Susteran Amal Kasih Darah Mulia yang
dulunya merupakan tempat tinggal ini juga merupakan
sebuah bangunan yang menunjukkan apresiasi gagasan dan
konsep yang matang oleh pembuatnya. Secara keseluruhan
nampak gaya indis mendominasi bangunan meskipun ada
juga beberapa bangunan pendukung seperti pagar
mempunyai ciri arsitektur Cina. Dengan mengamati gaya
arsitektur dari bangunan yang merupakan perpaduan dari
tiga gaya arsitektur yaitu Jawa, Eropa dan Cina ini
dapat memberikan satu gambaran budaya yang ditampilkan
dari sebuah fasat bangunan. Pengertian tentang
arsitektur ini tergantung dari segi mana memandangnya.
Dari segi seni, arsitektur adalah seni bangunan
termasuk di dalamnya bentuk dan ragam hiasnya. Dari
segi teknik, arsitektur adalah sistem mendirikan
7
bangunan termasuk proses perancangan, konstruksi,
struktur, yang juga menyangkut dekorasi dan keindahan.
Dipandang dari segi ruang arsitektur adalah pemenuhan
kebutuhan ruang oleh manusia atau kelompok manusia
untuk melaksanakan aktivitas tertentu. Dari segi
sejarah, kebudayaan dan geografi, arsitektur adalah
ungkapan fisik penggalan budaya dari suatu masyarakat
dalam batasan tempat dan waktu tertentu (Sumalyo,
1997:01).
Setelah tahun 1966 ketika bangunan ini bukan lagi
menjadi rumah tinggal tetapi berganti fungsi menjadi
tempat pendidikan dan asrama bagi calon-calon suster
yang biasa dikenal sebagai ‘biara’, bangunan ini
mengalami perluasan ruang untuk memenuhi kebutuhan
komunitas penghuni baru. Beberapa yang nampak terlihat
dari perubahan alih fungsi adalah adanya kantor di
sebelah ruang tamu utama, penambahan ruang untuk
pendidikan, tempat ibadah (kapel), ruang tidur, dan
ruang makan. Dalam proses perubahan fungsi bangunan
yang terjadi nampak juga adanya peralihan sifat dari
masing-masing ruang, yaitu profan ke sakral mengingat
bahwa ketika menjadi sebuah biara, sifat dari bangunan
ini berubah. Peralihan sifat sakral (suci) dikarenakan
8
terdapat bangunan peribadatan yang disebut “kapel”.
Kapel menurut penganut agama nasrani dikenal sebagai
rumah tuhan “bait allah”. penambahan ruang pada
bangunan ini tetap memperhitungkan nilai estetika yang
tinggi, yaitu nampak pada keselarasan bentuk arsitektur
yang merupakan suatu adaptasi dengan bangunan rumah
tinggal sebelumnya. Bangunan ini sampai sekarang masih
terjaga kelestariannya, maka tak heran jika pada tahun
2002 Susteran Amal Kasih Darah Mulia ini mendapatkan
Penghargaan Warisan Budaya yang disampaikan oleh
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwana X.
Mengingat objek dari penelitian ini berangkat dari
satu bangunan maka bisa dikatakan sebagai kajian ruang
skala mikro. Kajian ini meliputi pengatuaran ruang dan
hubungan antar ruang dalam satu bangunan tunggal dalam
usaha rekonstruksi jenis aktivitas dan ruang aktivitas
(Mundardjito, 1990:01 ).
I.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, topik permasalahan yang akan
diajukan adalah mengenai arsitektur gaya dan
pengorganisasian ruang, di mana dari pengertian
arsitektur sendiri meliputi penataan ruang dan
9
lingkungan berdasarkan gagasan manusia untuk menata
ruang dan lingkungannya. Bangunan yang dirancang dan di
wujudkan itu sebagai tanggapan terhadap sekumpulan
kondisi yang bisa bersifat fungsional, atau mungkin
juga refleksi dari derajat sosial, ekonomi, politik,
bahkan bisa juga mengarah pada unsur simbolisme 3.
Untuk itu permasalahan yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana perkembangan fungsi bangunan dan
penataan ruang Susteran Amal Kasih Darah Mulia
ketika masih menjadi rumah tinggal sampai beralih
fungsi menjadi tempat pendidikan calon-calon
suster sejak tahun 1966 ?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab dari
perkembangan dan perubahan alih fungsi bangunan
ini ?
3. Apa yang melatarbelakangi unsur perpaduan gaya
arsitektur eropa, jawa, dan cina pada bangunan ?
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan tata ruang di Susteran Amal Kasih Darah
Mulia ketika masih menjadi rumah tinggal sampai beralih
fungsi menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon
suster yang nantinya dapat menunjukkan fungsi atau
10
adanya hirarki dan sifat dari setiap ruang dalam
bangunan. Hirarki yang dimaksud adalah ruang-ruang yang
menunjukkan satu status yang berbeda dalam satu
komunitas. sedangkan sifat yang dimaksud adalah wilayah
atau ruang-ruang yang dianggap sakral dan profan atau
juga ruang yang bersifat pribadi (privacy area) dan
wilayah yang bersifat umum (public area) 4.
Penelitian ini juga berusaha untuk mendeskripsikan
gaya arsitektur baik interior maupun eksterior dalam
kesatuan bangunan selama terjadinya perubahan alih
fungsi tata ruang sejak tahun 1925 ketika masih
menjadi rumah kediaman pribadi sampai tahun 1983 ketika
sudah menjadi bangunan biara. Bagi arkeologi, gaya
arsitektur pada sebuah bangunan dapat menujukkan suatu
makna simbolis, kronologi atau wujud dari perilaku
manusia. Sedangkan menurut Budi Adelar Sukada, Gaya
atau style pada sebuah bangunan penting dipahami
terutama karena sering kali merupakan salah satu cara
untuk mengekspresikan aspirasi dan cita rasa pemilik
rumah, baik secara perorangan maupun berkelompok. Juga
merepresentasikan selera umum yang berlaku dalam suatu
periode. Dengan mengenali style bangunan gedung yang
mendominasi suatu lingkungan, akan lebih mudah menduga
11
periode pembangunannya. Selain itu, juga akan dapat
dengan pasti menyatakan apakah bangunan gedung tersebut
orisinil atau tidak apabila style-nya dapat dikenali 5.
I.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian yang dilakukan pada kawasan
Kota Baru telah banyak dilakukan terutama penelitian
yang mengupas kawasan ini secara umum, seperti pola
permukiman masyarakat Belanda di Kawasan Kota Baru dan
faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya
permukiman di Kawasan Kota Baru seperti penelitian yang
dilakukan oleh Muhammad Junawan dalam skripsi sarjana
pada tahun 1998 dengan judul "Kota Baru : Pola
Pemukiman Masyarakat Belanda di Yogyakarta tahun 1899 –
1936" , Surayati Supangkat dan Rita Margareta
Setyaningsih dalam BERKALA Arkeologi 1995 yang berjudul
"Kota Baru : Kajian awal tentang kawasan di
Jogjakarta". Serta Buku yang berjudul "Mosaik Pusaka
Budaya Yogyakarta" terbitan Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Jogjakarta. Dalam buku ini banyak
memaparkan tinggalan-tinggalan arkeologis di Yogyakarta
yang di kemas dalam suatu periodesasi atau pembabakan,
yaitu masa prasejarah, klasik (Hindu-Budha), Islam, dan
kolonial. Keterangan mengenai tinggalan budaya bangsa
12
Belanda khususnya di kawasan Kota Baru juga tak lepas
dari pembahasan. Dalam buku ini juga terdapat satu
deskripsi singkat mengenai bangunan Susteran Amal Kasih
Darah Mulia yang menjadi objek dari penelitian .
Ada beberapa penelitian yang sudah mencoba
mendeskripsikan satu bangunan saja di kawasan Kota Baru
ini, seperti penelitian yang dilakukan oleh Muhammad
Panji Kusumah pada tahun 2002 yang berjudul
“Perkembangan Fungsi Bangunan dan Penataan Ruang Hotel
Phoenix Yogyakarta”. Sulistianingsih Catur Wibowo pada
tahun 2000 yang berjudul "Perubahan Penataan dan Fungsi
Ruang Rumah Sakit Mata dr. Yap Jogjakarta tahun 1923-
1999". serta penelitian yang dilakukan Daru Istiarin
pada tahun 2000 yang berjudul "Perkembangan Tata Letak
dan Fungsi Ruang pada Rumah Sakit Panti Rapih tahun
1929-1998". Dan penelitian "Pola Penempatan dan Tata
Ruang SMU BOBKRI, SMU 3, dan SLTP 5 di Kota Baru
Jogjakarta". Untuk penelitian perkembangan tata ruang
dan arsitektur Susteran Amal Kasih Darah Mulia selama
ini belum penah dilakukan.
Beberapa literatur diatas dapat membantu
memberikan gambaran umum mengenai kondisi geografis,
sosial budaya, serta lingkungan permukiman kawasan
Kota Baru.
13
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang
menerapkan pendekatan keruangan. Arkeologi Ruang yang
merupakan salah satu studi kasus dalam bidang arkeologi
pada pokoknya lebih menitikberatkan perhatian pada
pengakajian dimensi ruang (spasial). Perhatian
arkeologi ruang lebih banyak ditekankan kepada benda
arkeologi sebagai kumpulan atau himpunan dalam suatu
ruang dari pada sebagai satuan benda tunggal yang
berdiri sendiri (Mundardjito, 1993:5). Oleh karena itu
keseluruhan bangunan, dan konteks lingkungan sebagai
satuan ruang dijadikan bahan analisis.
Objek dari penelitian ini adalah sebuah bangunan
yang terletak di Jalan Abu Bakar Ali No.12 Kota Baru
Jogjakarta. Bangunan ini dulunya merupakan tempat
tinggal keluarga Dr. Yap, kemudian ditempati oleh
keluarga pribumi dari tahun 1954, dan pada tahun 1966
bangunan rumah tinggal ini beralih fungsi menjadi
biara, tempat pendidikan calon-calon suster.
Penelitian yang akan dilakukan bersifat deskriptif
yaitu memberikan gambaran dan menjelaskan secara rinci
tentang fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam
penelitian. Sedangkan metode penalaranya menggunakan
14
model penalaran induktif, yaitu satu metode untuk
menjelaskan suatu masalah berdasarkan data yang ada,
sehingga memperoleh suatu pemecahan dan menghasilkan
generalisasi secara umum. Penelitian dengan metode
induktif ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan
mengenai suatu gejala tertentu atau mendapatkan ide
baru mengenai gejala tersebut. Penelitian ini diawalai
dengan pengumpulan data melalui observasi dan survey
lapangan, untuk kemudian data yang sudah diperoleh tadi
dianalisis untuk penarikan suatu kesimpulan. Sesuai
dengan penalaran di atas maka tahap-tahap yang akan
dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1. Tahap Pengumpulan Data
a. Observasi dan Survey Lapangan
observasi dan survey lapangan adalah
pengumpulan data secara langsung di lokasi
penelitian melalui pengematan dan pencatatan
terhadap gejala-gejala yang ada pada objek
penelitian. Objek dari penelitian ini adalah
bangunan Susteran Amal Kasih Darah Mulia Kota Baru
baik bangunan lama (asli) maupun bangunan tambahan.
Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran
perkembangan tata ruang dan unsur-unsur arsitektur
15
indis dan cina pada bangunan. Objek bangunan ini
merupakan data primer.
b. Wawancara
wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi mengenai perubahan fungsi bangunan dan
perkembangan tata ruang ketika digunakan sebagai
rumah tinggal pribadi hingga kemudian berganti
menjadi biara. Wawancara akan dilakukan kepada
pihak susteran yang telah melakukan serah terima
kepemilikan hak rumah. Wawancara ini dilakukan
dengan cara bertanya langsung kepada informan dan
mencatat data yang diberikan informan tersebut.
c. Studi Pustaka
Data dari studi pustaka merupakan data
skunder yang berupa literatur buku atau laporan
penelitian. Tak lupa juga data-data piktorial
seperti peta, foto-foto lama dan baru, dan denah
rumah bangunan Susteran Amal Kasih Darah Mulia
Kota baru Yogyakarta.
2. Tahap Analisis Data
Pada tahap ini data-data yang terkumpul baik
dari lapangan ataupun pustaka kemudian dianalisis
untuk memperoleh gambaran pola keletakan ruang,
16
fungsi, serta kondisi dari bangunan ketika masih
berupa rumah tinggal keluarga sampai beralih
fungsi menjadi Susteran Amal Kasih Darah Mulia.
selain itu juga pada tahap ini juga dilakukan
analisis elemen arsitektural. Arsitektur yang
dipakai dalam penelitian ini adalah arsitektur yang
berarti seni pengorganisasian ruang. ruang yang
dimaksud adalah keseluruhan bangunan Susteran Amal
Kasih Darah Mulia Kota Baru yogyakarta ketika masih
menjadi rumah tinggal sampai menjadi tempat
pendidikan bagi calon suster yang terdiri atas
berbagai ruang yang satu sama lain merupakan
bagian yang integral. Analisus yang kedua adalah
kajian gaya (style), bentuk, bahan, teknologi dan
penerapannya dalam konstruksi bangunan ini. Dalam
hal ini paradigma arkeologi yang menggabungkan
dimensi spasial, formal, dan, temporal sangat
membantu untuk menjelaskan bagaimana akulturasi
gaya arsitektur dan penerapannya pada sebuah
bangunan ini.
3. Tahap Kesimpulan
Tahap ini merupakan proses terakhir dari
penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
17
gambaran peralihan fungsi bangunan yang akan
mempengaruhi tata ruang yang ada didalamnya
mengingat akan kebutuhan dari komunitas penghuni
bangunan yang baru. Hasil lain yang ingin dicapai
adalah penjelasan mengenai akulturasi arsitektur
yang ada pada bangunan Susteran Amal Kasih Darah
Mulia baik bangunan lama (asli) maupun bangunan
yang baru.
18
CATATAN
1. Wilayah Budaya ; wilayah budaya diartikan sebagai
satu kawasan yang luas,lebih dari satu situs. Ex.
Kawasan permukiman Belanda di Yogyakarta tidak
hanya terletak di Kota baru tetapi ada juga di
Jetis, Bintaran yang merupakan satuan wilayah
budaya.
2. Hasil dari wawancara tgl 19 Februari 2005 dengan
Suter Wilhelmine.
3. Arsitektur memiliki batasan yang berbeda-beda
tetapi pada dasarnya saling melengkapi.
4. Wilayah pribadi (privacy area);merupakan tempat
yang tidak semua orang bisa leluasa masuk seperti
kamar tidur, kamar mandi. Sedangkan wilayah untuk
umum (public area)adalah tempat-tempat yang
memungkinkan orang lain selain komunitas biara
dapat masuk seperti kantor, ruang tamu, kapel,
tempat pendidikan. Ketika berlalih fungsi menjadi
menjadi biara, bangunan ini tertutup untuk kaum
laki-laki.
5. Budi Adelar Sukada adalah pakar sejarah
Arsitektur. Keterangan diambil dari internet
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/16/rumah/
1151083.htms 17 Mar 2005 00:47:03 GMT
19