Post on 04-Aug-2015
Titrasi pengendapan merupakan titrasi yang melibatkan pembentukan endapan dari garam yang tidak mudah larut antara titrant dan analit. Hal dasar yang diperlukan dari titrasi jenis ini adalah pencapaian keseimbangan pembentukan yang cepat setiap kali titran ditambahkan pada analit, tidak adanya interferensi yang menggangu titrasi, dan titik akhir titrasi yang mudah diamati.
Salah satu jenis titrasi pengendapan yang sudah lama dikenal adalah melibatkan reaksi pengendapan antara ion halida (Cl-, I-, Br-) dengan ion perak Ag+. Titrasi ini biasanya disebut sebagai Argentometri yaitu titrasi penentuan analit yang berupa ion halida (pada umumnya) dengan menggunakan larutan standart perak nitrat AgNO3. Titrasi argentometri tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan ion halide akan tetapi juga dapat dipakai untuk menentukan merkaptan (thioalkohol), asam lemak, dan beberapa anion divalent seperti ion fosfat PO43- dan ion arsenat AsO43-.
Dasar titrasi argentometri adalah pembentukan endapan yang tidak mudah larut antara titran dengan analit. Sebagai contoh yang banyak dipakai adalah titrasi penentuan NaCl dimana ion Ag+ dari titran akan bereaksi dengan ion Cl- dari analit membentuk garam yang tidak mudah larut AgCl.
Ag(NO3)(aq) + NaCl(aq) -> AgCl(s) + NaNO3(aq)
Setelah semua ion klorida dalam analit habis maka kelebihan ion perak akan bereaksi dengan indicator. Indikator yang dipakai biasanya adalah ion kromat CrO42- dimana dengan indicator ini ion perak akan membentuk endapan berwarna coklat kemerahan sehingga titik akhir titrasi dapat diamati. Inikator lain yang bisa dipakai adalah tiosianida dan indicator adsorbsi. Berdasarkan jenis indicator dan teknik titrasi yang dipakai maka titrasi argentometri dapat dibedakan atas Argentometri dengan metode Mohr, Volhard, atau Fajans. Selain menggunakan jenis indicator diatas maka kita juga dapat menggunakan metode potensiometri untuk menentukan titik ekuivalen.
Ketajaman titik ekuivalen tergantung dari kelarutan endapan yang terbentuk dari reaksi antara analit dan titrant. Endapan dengan kelarutan yang kecil akan menghasilkan kurva titrasi argentometri yang memiliki kecuraman yang tinggi sehingga titik ekuivalen mudah ditentukan, akan tetapi endapan dengan kelarutan rendah akan menghasilkan kurva titrasi yang landai sehingga titik ekuivalen agak sulit ditentukan. Hal ini analog dengan kurva titrasi antara asam kuat dengan basa kuat dan anatara asam lemah dengan basa kuat.
Ditulis oleh Ikhsan Firdaus pada 05-03-2009
Prosedur-prosedur yang paling penting untuk titrasi ion-ion logam dengan EDTA, adalah:
1. Titrasi langsung. Larutan yang mengandung ion logam yang akan ditetapkan, dibufferkan samapi ke pH yang dikehendaki (misalnya, sampai pH = 10 dengan NH4
+ larutan air NH3), dan titrasi
langsung dengan larutan EDTA standar. Mungkin adalah perlu untuk mencegah pengendapan hidroksida logam itu (atau garam basa) dengan menambahkan sedikit zat pengkompleks pembantu, seperti tartrat atau sitrat atau trietanolamina. Pada titik ekivalen, besarnya konsentrasi ion logam yang sedang ditetapkan itu turun dengan mendadak. Ini umumnya ditetapkan dari perubahan-perubahan pM: titik akhir ini dapat juga ditetapkan dengan metode-metode amperometri, kondutometri, spektrofotometri, atau dalam beberapa keadaan dengan metode potensiometri.
2. Titrasi-balik. Karena berbagai alasan, banyak logam tak dapat dititrasi langsung, mereka mungkin mengendap dari dalam larutan dalam jangka pH yang perlu untuk titrasi, atau mereka mungkin membentuk kompleks-kompleks yang inert, atau indikator logam yang sesuai tidak tersedia. Dalam hal-hal demikian, ditambahkan larutan EDTA standar berlebih, larutan yang dihasilkan
dibufferkan samapi ke pH yang dikehendaki, dan kelebihan reagnesia dititrasi balik dnegan suatu larutan ion logam standar, larutan zink klorida atau sulfat atau magnesium klorida sering digunakan untuk tujuan ini. Titik akhir dideteksi dengan bantuan indikator logam yang berespons terhadap ion logam yang ditambahakn pada titrasi balik.
3. Titrasi penggantian atau titrasi substitusi. Titrasi-titrasi substitusi dapat digunakan untuk ion logam yang tidak bereaksi (atau berekasi denagn tak memuaskan) dengan indikator logam, atau untuk ion logam yang membentuk komplkes EDTA yang lebih stabil daripada komplkes EDTA dari logam-logam lainnya seperti magnesium dan kalsium. Kation Mn+ yang akan ditetapkan dapat diolah dengan kompleks magnesium EDTA, pada mana reaksi berikut terjadi :
Mn+ + MgY2- ? (MY)(n-4)+ + Mg2+
Jumlah ion magnesium yang dibebaskan adalah ekivalen dengan kation-kation yang berada di situ, dapat dititrasi dengan suatu larutan EDTA standar serta indikator logam yang sesuai. Satu penerapan yang menarik adalah titrasi kalsium. Pada titrasi langsung ion-ion kalsium, Hitam Solokrom (Hitam Erikrom T) memberi titik akhir yang buruk; jika magnesium ada serta, logam ini akan digantiakn dari komplkes EDTA-nya oleh kalsium, dan menghasilkan titik kahir yang lebih baik.
4. Titrasi alkalimetri. Bila suatu larutan dinatrium etilenadiaminatetraasetat, NaH2Y, ditambahkan
kepada suatu larutan yang mengandung ion-ion logam, terbentuklah kompleks-kompleks dengan disertai pembebasan dua ekivalen ion hidrogen :
Mn+ + MgY2- ? (MY)(n-4)+ + 2H+
Ion hidrogen yang dibebaskan demikian dapat dititrasi dengan larutan natrium hidroksida standar dengan menggunakan indikator asam-basa, atau titik akhir secara potensiometri; pilihan lain, suatu campuran iodida-iodida ditambahkan disamping larutan EDTA, dan iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan tiosulfat standar. Larutan logam yang akan ditetapkan harus dinetralkan dengan tepat sebelum titrasi; ini sering merupakan hal yang sukar, yang disebabakan oleh hidrolisis banyak garam, dan merupakan segi lemah dari titrasi alkalimetri.
5. Macam-macam Metode. Reaksi pertukaran anatra ion tetrasianonikelat(II) [Ni(CN)4]2- (garam
kaliumnya mudah dibuat) dan unsur yang kan ditetapkan, pada mana ion-ion nikel dibebaskan, mempunyai penerapan yang terbatas. Begitulah perak dan emas, yang sendirinya tak dapt dititrasi secara kompleksometri, dapat ditetapkan denagn car ini.
[Ni(CN)4]2- + 2Ag+ ? 2[Ag(CN)2]- + Ni2+
Reaksi ini berlangsung dengan garam perak yang hanya sedikit sekali dapat larut, jadi memberi satu metode untuk penetapan ion halida Cl-, Br-, I-, dan ion tiosianat SCN-. Anion-anion ini mula-mula diendapkan sebagai garam perak, dan garam perak ini dilarutakn dalam larutan [Ni(CN)4]2-, dan nikel
yang dengan demikian dibebaskan dalam jumlah ynag ekivalen, lalu ditetapkan dengantitrasi cepat dengan EDTA dengan menggunakn indikator yang sesuai (Mureksida, Merah Bromopirogalol).
Sulfat dapat ditetapkan dengan mengendapkannya sebagai Barium sulfat atau Timbel sulfat, endapan dilarutkan dalam larutan EDTA standar berlebih, dan kelebihan EDTA dititrasi balik dengan larutan Magnesium atau Zink standar dengan menggunkan Hitam Solokrom (Hitam Erikrom T) sebagai indikator.
Fosfat dapat ditetapakan dengan mengendapkannya sebagai Mg(NH4)PO4.6H2O, melarutkan endapan
dalam asam klorida encer, dan menambahkan larutan EDTA standar berlebih, serta membufferkan pada pH = 10, dan menitrasi-balik dengan larutan ion Magnesium standar dengan adanya Hitam Solokrom.
Kata Pencarian Artikel ini:
Titrasi Pengendapan
• Jumlah metode tidak sebanyak titrasi asam-basa ataupun titrasi reduksi-oksidasi (redoks)
• Kesulitan mencari indikator yang sesuai
• Komposisi endapan seringkali tidak diketahui pasti terutama jika ada efek kopresipitasi
Kelarutan = konsentrasi larutan jenuh zat padat (kristal) di dalam suatu pelarut pada suhu
tertentu.(dalam keadaan setimbang).
Larutan jenuh dapat dicapai dengan penambahan zat ke dalam pelarut secara terus
menerus hingga zat tidak melarut lagi dengan cara menaikkan lagi konsentrasi ion-ion tertentu
hingga terbentuk endapan.
Faktor yg mempengaruhi kelarutan
1 SUHU
2. SIFAT PELARUT
3. ION SEJENIS
4. AKTIVITAS ION
5. pH
.6 HIDROLISIS
7. HIDROKSIDA LOGAM
8. PEMBENTUKAN SENYAWA KOMPLEKS
Pada kebanyakan garam anorganik, kelarutan meningkat jika suhu naik. Sebaiknya proses
pengendapan, penyaringan dan pencucian endapan dilakukan dalam keadaan larutan panas
kecuali untuk endapan yang dalam larutan panas memiliki kelarutan kecil (mis. Hg2Cl2,
MgNH4PO4) cukup disaring setelah terlebih dahulu didinginkan di lemari es. Kebanyakan
garam anorganik larut dalam air dan tidak arut dalam pelarut organik. Air memiliki momen dipol
yang besar dan tertarik oleh kation dan anion membentuk ion hidrat. Sebagaimana ion hidrogen yang
membentuk H3O+, energi yang dibebaskan pada saat interaksi ion dengan pelarut akan membantu
meningkatkan gaya tarik ion terhadap kerangka padat endapan. Ion-ion dalam kristal tidak memiliki
gaya tarik terhadap pelarut organik, sehingga kelarutannya lebih kecil daripada kelarutan dalam air.
Pada analisis kimia, perbedaan kelarutan menjadi dasar untuk pemisahan senyawa. Contoh : campuran
kering Ca(NO3)2 + Sr(NO3)2 dipisahkan dalam campuran alkohol + eter, hasilnya Ca(NO3)2 larut,
sedangkan Sr(NO3)2 tidak larut. Endapan lebih mudah larut dalam air daripada dalam larutan yang
mengandung ion sejenis. Mis. pada AgCl, [Ag+][Cl-] tidak lebih besar dari tetapan (Ksp AgCl = 1x10-
10)di dalam air murni di mana [Ag+] = [Cl-] = 1x10-5 M; jika ditambahkan AgNO3 hingga [Ag+] =
1x10-4 M, maka [Cl-] turun menjadi 1x10-6 M, kanan sesuai arah : Ag+ + Cl- AgCl Ke dalam endapan
terjadi penambahan garam, sedangkan jumlah Cl- dalam larutan menurun.
Teknik penambahan ion sejenis dilakukan oleh analis untuk tujuan :
1) menyempurnakan pengendapan
2) pencucian endapan dengan larutan yang mengandung ion sejenis dengan endapan
Untuk larutan yang mengandung Ag, jika ditambahkan NaCI maka mula-mula terbentuk
suspensi yang kemudian terkoagulasi (membeku). Laju terjadinya koagulasi menyatakan
mendekamya titik ekivalen. Penambahan NaCI ditersukan sampai titik akhir tercapai. Perubahan
ini dilihat dengan tidak terbentuknya endapan AgCI pada cairan supernatan. Akan tetapi sedikit
NaCI harus ditambahkan untuk menyempurnakan titik akhir. Penentuan Ag sebagai AgCI dapat
dilakukan dengan pengukuran turbidimetri yaitu dengan pembauran sinar (Underwood, 1986).
Jika AgNO3 ditambahkan ke NaCI yang mengandung zat berpendar fluor, titik akhir
ditentukan dengan berubahnya warna dari kuning menjadi merah jingga. Jika didiamkan, tampak
endapan berwarna, sedangkan larutan tidak berwarna disebabkan adanya adsorpsi indikator pada
endapan AgCI. Warna zat yang terbentuk dapat berubah akibat adsorpsi pada penukaan (Khopkar,
1990).
Semua indikator adsorpsi bersifat ionik. Selain indikator adsorpsi tersebut terdapat pula
indikator-indikator adsorpsi yang digunakan dalam titrasi pengendapan, yaitu turunan krisodin.
Indikator tersebut merupakan indikator asam basa dan indikator reduksi oksidasi dan memberikan
perubahan warna yang reversibel dengan brom. Indikator ini berwarna merah pada suasana asam
clan kuning pada suasana basa. Indikator ini juga digunakan untuk titrasi ion I" dengan ion Ag+. Kongo
merah adalah indikator asam basa lainnya (Khopkar, 1990).
Selain kelemahan, indikator adsorpsi mempunyai beberapa keunggulan. Indikator ini
memberikan kesalahan yang kecil pada penentuan titik akhir titrasi. Perubahan warna yang
disebabkan adsorpsi indikator biasanya tajam. Adsorpsi pada permukaan berjalan baik jika
endapan mempunyai luas permukaan yang besar. Warna adsorpsi tidak begitu jelas jika endapan
terkoagulasi. Kita tidak dapat menggunakan indikator tersebut karena koagulasi. Koloid pelindung
dapat mengurangi masalah tersebut. Indikator-indikator tersebut bekerja pada batasan daerah-
daerah pH tertentu juga pada konsentrasi tertentu saja, yaitu pada keadaan yang sesuai dengan
peristiwa adsorpsi dan desorpsi saja (Vogel, 1990).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan
Pengendapan merupakan metode yang paling baik pada anlisis gravimetri. Kita akan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan. Parameter-parameter yang penting
adalah temperatur, sifat pelarut, adanya ion-ion pengotor, pH, hidrolisis, pengaruh kompleks, dan
lain-lain (Khopkar, 1990).
Kelarutan bertambah dengan naiknya temperatur. Kadangkala endapan yang baik
terbentuk pada larutan panas, tetapi jangan dilakukan penyaringan terhadap larutan panas karena
pengendapan dipengaruhi oleh faktor temperatur. Garam-garam anorganik lebih larut dalam air.
Berkurangnya kelarutan di dalam pelarut organik dapat digunakan sebagai dasar pemisahan dua
zat. Kelarutan endapan dalam air berkurang jika lanitan tersebut mengandung satu dari ion-ion
penyusun endapan, sebab pembatasan Ks.p (konstanta hasil kali kelarutan). Baik kation atau anion
yang ditambahkan, mengurangi konsentrasi ion penyusun endapan sehingga endapan garam
bertambah. Pada analisis kuantitatif, ion sejenis ini digunakan untuk mencuci larutan selama
penyaringan (Vogel, 1990).
Beberapa endapan bertambah kelarutannya bila dalam lanitan terdapat garam-garam yang
berbeda dengan endapan. Hal ini disebut sebagai efek garam netral atau efek aktivitas. Semakin
kecil koefesien aktivitas dari dua buah ion, semakin besar hasil kali konsentrasi molar ion-ion
yang dihasilkan. Kelarutan garam dari asam lemah tergantung pada pH larutan. Jika garam dari
asam lemah dilarutkan dalam air, akan menghasilkan perubahan (H). Kation dari spesies garam
mengalami hidrolisis sehingga menambah kelarutannya (Vogel, 1990).
Kelarutan garam yang sedikit larut merupakan fungsi konsentrasi zat lain yang membentuk
kompleks dengan kation garam tersebut. Beberapa endapan membentuk kompleks yang larut dengan
ion pengendap itu sendiri. Mula-mula kelarutan berkurang (disebabkan ion sejenis) sampai melalui
minuman. Kemudian bertambah akibat adanya reaksi kompleksasi (Vogel, 1990). Reaksi yang
menghasilkan endapan dapat dimanfaatkan untuk analisis secara titrasi jika reaksinya berlangsung
cepat, dan kuantitatif serta titik akhir dapat dideteksi. Beberapa reaksi pengendapan berlangsung
lambat dan mengalami keadaan lewat jenuh. Tidak seperti gravimetri, titrasi pengendapan tidak
dapat menunggu sampai pengendapan berlangsung sempurna. Hal yang penting juga adalah hasil
kali kelarutan (KSP) harus cukup kecil sehingga pengendapan bersifat kuantitatif dalam batas
kesalahan eksperimen. Reaksi samping tidak boleh terjadi, demikian juga kopresipitasi.
Keterbatasan utama pemakaian cara ini disebabkan sedikit sekali indikator yang sesuai. Semua
jenis reaksi diklasifikasi berdasarkan tipe indikator yang digunakan untuk melihat titik akhir
(Khopkar, 1990).
Ada beberapa metode dalam titrasi argentometri yang dibedakan berdasarkan indikator yang
digunakan pada penentuan titik akhir titrasi, antara lain:
a. Metode Mohr
Metode Mohr biasanya digunakan untuk menitrasi ion halida seperti NaCl, dengan AgNO3
sebagai titran dan K2CrO4 sebagai indikator. Titik akhir titrasi ditandai dengan adanya perubahan
warna suspensi dari kuning menjadi kuning coklat. Perubahan warna tersebut terjadi karena
timbulnya Ag2CrO4, saat hamper mencapai titik ekivalen, semua ion Cl- hamper berikatan menjadi
AgCl. Larutan standar yang digunakan dalam metode ini, yaitu AgNO3, memiliki normalitas 0,1 N
atau 0,05 N. (Alexeyev,V,1969)
Indikator menyebabkan terjadinya reaksi pada titik akhir dengan titran, sehingga terbentuk
endapan yang berwarna merah-bata, yang menunjukkan titik akhir karena warnanya berbeda dari
warna endapan analat dengan Ag+.
Pada analisa Cl- mula-mula terjadi reaksi:
Ag+(aq) + Cl-(aq) ↔ AgCl(s)↓
Sedang pada titik akhir, titran juga bereaksi menurut reaksi:
2Ag+(aq) + CrO4(aq) ↔ Ag2CrO4(s)↓
Pengaturan pH sangat perlu, agar tidak terlalu rendah ataupun tinggi. Bila terlalu tinggi, dapat
terbentuk endapan AgOH yang selanjutnya terurai menjadi Ag2O sehingga titran terlalu banyak
terpakai.
2Ag+(aq) + 2OH-
(aq) ↔ 2AgOH(s)↓ ↔ Ag2O(s)↓ + H2O(l)
Bila pH terlalu rendah, ion CrO4- sebagian akan berubah menjadi Cr2O7
2- karena reaksi
2H+(aq) + 2CrO42-
(aq) ↔ Cr2O72- +H2O(l)
Yang mengurangi konsentrasi indikator dan menyebabkan tidak timbul endapannya atau
sangat terlambat. Selama titrasi Mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka secara
lokal akan terjadi kelebihan titrant yang menyebabkan indikator mengendap sebelum titik ekivalen
tercapai, dan dioklusi oleh endapan AgCl yang terbentuk kemudian; akibatnya ialah, bahwa titik
akhir menjadi tidak tajam.
b. Metode Volhard
Metode Volhard menggunakan NH4SCN atau KSCN sebagai titrant, dan larutan Fe3+ sebagai
indikator. Sampai dengan titik ekivalen harus terjadi reaksi antara titrant dan Ag, membentuk
endapan putih.
Ag+(aq) + SCN-
(aq) ↔ AgSCN(s)↓ (putih)
Sedikit kelebihan titrant kemudian bereaksi dengan indikator, membentuk ion kompleks yang
sangat kuat warnanya (merah)
SCN-(aq) + Fe3+
(aq) ↔ FeSCN2+(aq)
Yang larut dan mewarnai larutan yang semula tidak berwarna.
Karena titrantnya SCN- dan reaksinya berlangsung dengan Ag+, maka dengan cara Volhard,
titrasi langsung hanya dapat digunakan untuk penentuan Ag+ dan SCN- sedang untuk anion-anion
lain harus ditempuh cara titrasi kembali: pada larutan X- ditambahkan Ag+ berlebih yang diketahui
pasti jumlah seluruhnya, lalu dititrasi untuk menentukan kelebihan Ag+. Maka titrant selain
bereaksi dengan Ag+ tersebut, mungkin bereaksi pula dengan endapan AgX:
Ag+(aq) (berlebih) + X- (aq) ↔ AgX(s) ↓
Ag+(aq) (kelebihan) + SCN- (aq) (titrant) ↔ AgSCN(s) ↓
SCN-(aq) + AgX (s) ↔ X-
(aq) + AgSCN(aq) ↓
Bila hal ini terjadi, tentu saja terdapat kelebihan titrant yang bereaksi dan juga titik akhirnya
melemah (warna berkurang).
Konsentrasi indikator dalam titrasi Volhard juga tidak boleh sembarang, karena titrant bereaksi
dengan titrat maupun dengan indikator, sehingga kedua reaksi itu saling mempengaruhi.
Penerapan terpenting cara Volhard ialah untuk penentuan secara tidak langsung ion-ion
halogenida: perak nitrat standar berlebih yang diketahui jumlahnya ditambahkan sebagai contoh,
dan kelebihannya ditentukan dengan titrasi kembali dengan tiosianat baku. Keadaan larutan yang
harus asam sebagai syarat titrasi Volhard merupakan keuntungan dibandingkan dengan cara-cara
lain penentuan ion halogenida karena ion-ion karbonat, oksalat, dan arsenat tidak mengganggu
sebab garamnya larut dalam keadaan asam.
c. Metode Fajans
Dalam titrasi Fajans digunakan indikator adsorpsi. Indikator adsorpsi ialah zat yang dapat
diserap pada permukaan endapan (diadsorpsi) dan menyebabkan timbulnya warna. Penyerapan ini
dapat diatur agar terjadi pada titik ekivalen, antara lain dengan memilih macam indikator yang
dipakai dan pH.
Cara kerja indikator adsorpsi ialah sebagai berikut: indikator ini ialah asam lemah atau basa
lemah organik yang dapat membentuk endapan dengan ion perak. Misalnya fluoresein yang
digunakan dalam titrasi ion klorida. Dalam larutan, fluoresein akan mengion (untuk mudahnya
ditulis HFl saja).
HFl(aq) ↔ H+(aq) +Fl-(aq)
Ion Fl- inilah yang diserap oleh endapan AgX dan menyebabkan endapan berwarna merah muda.
Karena penyerapan terjadi pada permukaan, dalam titrasi ini diusahakan agar permukaan endapan
itu seluas mungkin supaya perubahan warna yang tampak sejelas mungkin, maka endapan harus
berukuran koloid. Penyerapan terjadi apabila endapan yang koloid itu bermuatan positif, dengan
perkataan lain setelah sedikit kelebihan titrant (ion Ag+).
Pada tahap-tahap pertama dalam titrasi, endapan terdapat dalam lingkungan dimana masih ada
kelebihan ion X- dibanding dengan Ag+; maka endapan menyerap ion-ion X- sehingga butiran-
butiran koloid menjadi bermuatan negatif. Karena muatan Fl- juga negatif, maka Fl- tidak dapat
ditarik atau diserap oleh butiran-butiran koloid tersebut. Makin lanjut titrasi dilakukan, makin
kurang kelebihan ion X-; menjelang titik ekivalen, ion X- yang terserap endapan akan lepas
kembali karena bereaksi dengan titrant yang ditambah saat itu, sehingga muatan koloid makin
berkurang negatif. Pada titik ekivalen tidak ada kelebihan X- maupun Ag+; jadi koloid menjadi
netral. Setetes titrant kemudian menyebabkan kelebihan Ag+. Ion-ion Ag+ ini diserap oleh koloid
yang menjadi positif dan selanjutnya dapat menarik ion Fl- dan menyebabkan warna endapan
berubah mendadak menjadi merah muda. Pada waktu bersamaan sering juga terjadi penggumpalan
koloid, maka larutan yang tadinya berwarna keruh juga menjadi jernih atau lebih jernih. Fluoresein
sendiri dalam larutan berwarna hijau kuning, sehingga titik akhir dalam titrasi ini diketahui
berdasar ketiga macam perubahan diatas, yakni
(i) Endapan yang semula putih menjadi merah muda dan endapan kelihatan menggumpal
(ii) Larutan yang semula keruh menjadi lebih jernih
(iii) Larutan yang semula kuning hijau hampir-hampir tidak berwarna lagi.
Suatu kesulitan dalam menggunakan indikator adsorpsi ialah, bahwa banyak diantara zat warna
tersebut membuat endapan perak menjadi peka terhadap cahaya (fotosensifitasi) dan menyebabkan
endapan terurai.
Titrasi menggunakan indikator adsorpsi biasanya cepat, akurat dan terpercaya. Sebaliknya
penerapannya agak terbatas karena memerlukan endapan berbentuk koloid yang juga harus dengan
cepat. (Harjadi,W,1990)
4.2. Pembahasan
Argentometri merupakan analisis volumetri berdasarkan atas reaksi pengendapan dengan
menggunakan larutan standar argentum. Atau dapat juga diartikan sebagai cara pengendapan atau
pengendapan kadar ion halida atau kadar Ag+ itu sendiri dari reaksi terbentuknya endapan dan zat uji
dengan titran AgNO3.
Tujuan dari percobaan kita kali ini adalah dapat melakukan standarisasi AgNO3 dengan NaCl,
dapat melakukan standarisasi NH4CNS dengan AgNO3, dapat menentukan klorida dalam garam dapur
kasar dengan metode argenometri, serta dapat menentukan bromida dengan cara Volhard.
Standarisasi larutan AgNO3 dengan NaCl merupakan titrasi yang termasuk dalam presipitimetri
jenis argentometri. Reaksi yang terjadi adalah:
AgNO3(aq) + NaCl(aq) → AgCl(s) + NaNO3(aq)
Larutan AgNO3 dan larutan NaCl, pada awalnya masing-masing merupakan larutan yang jernih
dan tidak berwarna. Ketika NaCl ditambah dengan garam natrium bikarbonat yang berwarna putih,
larutan tetap jernih tidak berwarna, dan garam tersebut larut dalam larutan. Penambahan garam ini
dimaksudkan agar pH larutan tidak terlalu asam ataupun terlalu basa, atau dapat dikatakan garam ini
sebagai buffer. Larutan kemudian berubah menjadi kuning mengikuti warna K2CrO4 yang merupakan
indikator.
Setelah dititrasi dengan AgNO3, awalnya terbentuk endapan berwarna putih yang merupakan
AgCl. Ketika NaCl sudah habis bereaksi dengan AgNO3, sementara jumlah AgNO3 masih ada, maka
AgNO3 kemudian bereaksi dengan indikator K2CrO4 membentuk endapan Ag2CrO4 yang berwarna
krem.
Dalam titrasi ini, titrasi perlu dilakukan secara cepat dan pengocokan harus juga dilakukan
secara kuat agar Ag+ tidak teroksidasi menjadi AgO yang menyebabkan titik akhir titrasi menjadi sulit
tercapai.
Sedangkan pada titrasi sampel merupakan titrasi yang menggunakan metode Fajans. Selain itu,
asam cuka digunakan untuk menjaga agar pH tidak terlalu tinggi ataupun rendah, karena indikator
adsorpsi bersifat asam lemah yang tidak dapat digunakan dalam keadaan larutan yang terlalu asam.
Dalam titrasi perubahan warna yang terjadi adalah pada awalnya larutan sampel yang ditambah
dengan asam cuka, akuades dan asam cuka tetap tidak berwarna. Ketika ditambahkan dengan amilum,
larutan menjadi sedikit keruh karena pengaruh suspensi amilum. Dan ketika ditambah dengan eosin
yang berwarna merah, larutan menjadi berwarna kuning.
Saat dititrasi menggunakan AgNO3 larutan makin lama makin mengental akibat terbentuknya
koloid. Koloid ini terbentuk karena reaksi antara ion X- dalam sampel dengan Ag+. Kemudian lama-
kelamaan warnanya berubah dari kuning menjadi merah muda akibat dari penyerapan ion Fl- oleh
kelebihan ion Ag+ dalam koloid.
Faktor yang menyebabkan kelebihan titran berpengaruh kecil, tetapi untuk larutan encer,
masalahnya menjadi serius. Maka diperlukan faktor koreksi, yang dicapai dengan titrasi blanko
(blank titration), yaitu diambil suspensi CaCO3 yang bebas ion Cl- dengan volume clan indikator
sebanyak yang digunakan dalam titrasi sebenamya, lalu ditambah AgN03 sampai tercapai wama
tertentu; jumlah AgN03 dikurangkan dari hasil titrasi sebenamya, yang dilakukan sampai mencapai
warna seperti blanko tersebut (Harjadi, 1990).
Selama titrasi mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka secara lokal terjadi
kelebihan titrant yang menyebabkan indikator mengendap sebelum titik ekivalen tercapai, clan
dioklusi oleh endapan AgCI yang terbentuk kemudian; akibatnya ialah, bahwa titik akhir menjadi
tidak sharp (Harjadi, 1990).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan. Parameter-parameter yang penting adalah:
1. Temperatur: Kelarutan bertambah dengan naiknya temperatur. Kadangkala endapan yang baik
terbentuk pada larutan panas, tetapi jangan dilakukan penyaringan terhadap larutan panas
karena pengendapan dipengaruhi oleh faktor temperatur.
2. Sifat pelarut: Garam-garam anorganik lebih larut dalam air. berkurangnya kelarutan di dalam
pelarut organik dapat digunakan sebagai dasr pemisahan dua zat.
3. Efek ion sejenis: Kelarutan enddapan dalam air berkurang jika larutan tersebut mengandung satu
ion-ion penyusun endapan, sebab pembatasan Ksp. Baik kation maupun anion yang
ditambahkan, mengurangi konsentrasi ion penyusun endapan sehingga endapan garam
bertambah. Suatu endapan umumnya lebih dapat larut dalam air mumi daripada dalam suatu
larutan yang mengandung salah satu ion endapan. Pentingnya efek ion sejenis dalam
mengendapkan secara lengkap dalam analisis kuantitatif akan tampak dengan mudah. Dalam
melaksanakan opengendapan itu lengkap. Dalam mencuci endapan di mana susut karena melarut
mungkin cukup berarti. Dapatlah digunakan suatu ion sejenis dalam cairan pencuci untuk
mengurangi kelarutan. Ion itu harus juga ion dari zat pengendap, dan tentu saja bukan ion yang
sedang diselidiki. 4. Efek ion-ion lain: Beberapa endapan bertambah kelarutannya bila dalam
larutan terdapat garam-garam yang berbeda dengan endapan. Hal ini disebut sebagai efek
garam netral atau efek aktivitas. Semakin kecil koef sien aktivitas dari dua buah ion, semakin
besar hasil kali konsentrasi molar ion-ion yang dihasilkan.
4. Pengaruh hidrolisis: jika garam dari asam lemah dilarutkan dalam air, akan menghasilkan
perubahan (H+). Kation dari spesies gararn mengalami hidrolisis sehingga menambah
kelarutannya.
5. Pengaruh kompleks: Kelarutan garam yang sedikit larut merupakan fimgsi konsentrasi zat lain
yang membentuk kompleks dengan kation garam tersebut.
Reaksi yang menghasilkan endapan dapat dimanfaatkan untuk analisis secara titrasi jika
reaksinya berlangsung cepat, dan kuantitatif serta titik akhir dapat dideteksi. Beberapa reaksi
pengendapan berlangsung lambat dan mengalami keadaan tewat jenuh. Reaksi samping tidak
boleh terjadi, demikian pula kopresipitasi (Khopkar, 200
DAFTAR PUSTAKA
Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia (hal 176 – 187)
Alexeyev, V. 1969. Quantitative Analysis. Moscow: MIR Publishers (hal 406 – 410)
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Ilmu Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia (hal 61)
A. L. Underwood, (1989), Analisa Kuantitatif Edisi Keempat, Erlangga, Jakarta
Harjadi W, (1993), Ilmu Kimia Analitik Dasar, PT Gramedia, Jakarta.
Khopkar, (1990), Konsep Dasar Kimia Analitik, Universitas Indonesia,
Jakarta. Day RA. Jr dan Al Underwood.1992. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi
Kelima. Jakarta : Erlangga
Harizul, Rivai. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta : UI Press
Hastuti, Sri, M.Si, dkk. 2007. Buku Petunjuk Praktikum Kimia Analitik Dasar I.