Post on 06-Mar-2019
ANALISIS FATWA MUI TENTANG PLURALISME, LIBERALISME
DAN SEKULARISME AGAMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Andi Permana
NIM : 1112043200006
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK
Andi Permana, NIM 1112043200006, ANALISIS FATWA MUI
TENTANG PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA,
Strata Satu (S-1), Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438 H/2017 M, 82
halaman.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai permasalahan
ditolaknya putusan Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama oleh para pemikir Islam Liberal
serta perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dengan MUI terhadap
berkembangnya paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Fatwa MUI tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama. Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan
pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan MUI tentang paham Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
tertulis, dengan melakukan pendekatan analitis, yang menghasilkan data deskriptif
dengan mengkaji permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini. Metode
pengumpulan data yang digunakan, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka.
Selain itu, sumber data penelitian yang digunakan mengacu kepada Fatwa MUI
Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama serta mencari data dari al-Qur’an, Hadits, buku-buku, jurnal,
dan artikel yang relevan dengan masalah dalam skripsi ini.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa Fatwa MUI tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama menegaskan pengharaman
kepada umat Islam untuk mengikuti paham Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama, karena hanya menambah kesesatan bagi yang mengikutinya.
Selain itu, perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal yang
membolehkan paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan
alasan kebebasan berpikir dalam HAM. Kemudian, MUI yang melarang paham
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan alasan bertentangan
terhadap ajaran agama Islam.
Kata kunci : Analisis, Fatwa MUI, Pluralisme, Liberalisme,
Sekularisme Agama.
Pembimbing : 1. Dr. H. Ahmad Sudirman Abbas, MA
2. Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA
Daftar Pustaka : 1988-2016.
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الره بسم للاه الره
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa
alam Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, karunia dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS
FATWA MUI TENTANG PLURALISME, LIBERALISME DAN
SEKULARISME AGAMA”. Shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke
zaman pencerahan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Selama penulisan skripsi ini penulis menyadari banyak mengalami
kesulitan dan hambatan untuk mendapatkan data dari referensi. Namun berkat
kesungguhan hati dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan itu dapat
diselesaikan. Untuk ini penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si, dan Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA,
Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Pembimbing Akademik Dr. Fuad Thohari, MA, dan seluruh Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Dosen pembimbing Skripsi Dr. H. Ahmad Sudirman Abbas, MA, dan Hj.
Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA, yang selalu memberi pengarahan, pembelajaran
yang baru bagi saya dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keistiqomahan
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Khusus kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai dan
sayangi. Ayahanda tercinta Arifin dan ibunda tercinta Chaironi yang selalu
mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk
membahagiakan dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan
pernah dan mustahil penulis mampu membalas kebaikan yang telah
diberikan selama ini. Kedua orang tua selalu menjadi sumber teladan bagi
penulis dalam mengarungi kehidupan dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada kakak dan adik penulis yang selalu memberikan semangat serta
mendoakan penulis dalam perjalanan studi penulis dan penyelesaian skripsi
ini.
8. Kepada guru ngaji penulis, abang Abdul Aziz dan Rahmat. Terimakasih
telah membantu penulis dalam perjalanan studi baik dalam bentuk materil
maupun moril.
9. Kepada teman-teman seperjuangan mahasiswa PH (Perbandingan Hukum)
angkatan 2012, khususnya Muhammad Aryo Purwanto, Adam Rohili,
Suhadi Yazid, Achmad Furqon, Zaki Mubarok, Nova Sandy Prasetyo,
Ahmad Fajri, Nurhilaluddin, Miladiyah, Mawaddah, Ronni Johan, Bukhori
Muslim, Fatima Wati, serta teman-teman lain yang selalu memberikan
viii
semangat, dukungan, dan saran kepada penulis. Terimakasih teman-teman,
dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka. Penulis
menyadari itu semua sebagai pengalaman berharga yang tidak akan pernah
terlupakan.
10. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Rizal Nurdiansyah, Fuadz Zakariya,
Nursaman, Nurkolis Madjid, Endan Setiawan dan Muhammad Arwan Fauzi.
Terimakasih atas semangat dan dukungannya kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini. Terimakasih telah membuat cerita dalam hidup
penulis baik berupa canda tawa, tangis dan pengorbanan. Tetaplah selalu
menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.
11. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang mana
penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa
memberkati langkah kita. Semoga Allah membalas amal baik kalian semua
dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca sekalian. Amin.
Jakarta, 24 Desember 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................
5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
7
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................
8
x
F. Metode Penelitian .....................................................................
12
G. Sistematika Penulisan ...............................................................
13
BAB II PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME
AGAMA
A. Pengertian Islam Liberal .......................................................... 15
B. Sejarah dan lahirnya Islam Liberal .......................................... 17
C. Pluralisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat ....... 21
D. Liberalisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat ..... 26
E. Sekularisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat ...... 28
BAB III PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME
AGAMA
A. Konsep Pluralisme Agama ....................................................... 33
B. Konsep Liberalisme Agama ..................................................... 39
C. Konsep Sekularisme Agama .................................................... 45
D. Kebebasan Berpikir Menurut Hukum Islam dan HAM ........... 51
E. Historisitas Kebebasan Berpikir Dalam Islam dan HAM ........ 58
xi
BAB IV ANALISA FATWA MUI NO. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
TENTANG PLURALISME, LIBERALISME DAN
SEKULARISME AGAMA
A. Latar Belakang Lahirnya Fatwa MUI No.7/MUNAS
VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama ................................................................. 63
B. Landasan Hukum Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama ...... 69
C. Analisis Perbandingan Fatwa MUI No. 7/MUNAS
VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama dengan HAM .......................................... 71
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 74
B. Saran-saran ................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2005 MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam Musyawarah
Nasional MUI VII telah mengeluarkan keputusan fatwa mengenai Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama. Diantara ketentuan hukum dari fatwa tersebut
isinya melarang umat Islam untuk mengikuti paham tersebut. Alasan yang
dikemukakan bahwa Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama merupakan
paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
MUI menjelaskan bahwa dewasa ini umat Islam tengah dihadapkan pada
perang non fisik atau boleh dibilang perang pemikiran (ghazwul fikr). MUI telah
memutuskan bahwa aliran pemikiran yang datang dari Barat, yaitu paham
Sekularisme dan Liberalisme Agama telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam
serta merusak keyakinan dan pemahaman agama masyarakat terhadap ajaran agama
Islam. Bukan hanya itu saja, Sekularisme dan Liberalisme agama menimbulkan
keraguan terhadap akidah dan syariat Islam. Beberapa contoh yang dijelaskan oleh
MUI diantaranya pemikiran tentang relativisme agama, sinkretisme agama, penafian
serta pengingkaran terhadap hukum syariat.1
1 Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005.
2
Namun, ternyata respons negatif terhadap fatwa MUI tersebut bermunculan
dari para pemikir Islam Liberal itu sendiri. Diantaranya datang dari M. Dawam
Rahardjo yang menyatakan bahwa MUI telah melarang suatu paham yang
menurutnya bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tentu ini bisa diartikan
sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berkeyakinan yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia. MUI bisa berpendapat yang isinya
menolak suatu paham. Namun, jika melarang masyarakat menganut suatu paham, itu
namanya mengingkari kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Lebih lanjut, dalam
fatwa MUI, liberalisme agama diartikan menggunakan akal pikiran secara bebas dan
bukan pemikiran yang dilandasi agama. Dalam hukum Islam haruskah penggunaan
pikiran manusia dalam pemikiran Islam itu harus dicegah? Jika dicegah melalui
hukum, hal itu sama saja dengan pemberangusan kebebasan berpikir. Selain itu, Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda yang intinya mengantisipasi dijumpainya
persoalan-persoalan yang tidak ditemukan petunjuknya, baik dalam Al Quran
maupun As Sunnah. Dalam kasus yang demikian, Nabi SAW mengizinkan
penggunaan akal bebas, yang disebut ijtihad. Misalnya, masalah pemilihan kepala
negara dan suksesi kepemimpinan. Jika pemikiran yang menggunakan akal bebas itu
tidak diakui, sementara penggunaan akal bebas tidak bisa dicegah, bahkan
merupakan suatu keharusan dalam hal tidak ada landasan Al Quran dan Sunnah,
karena masalah itu merupakan persoalan dunia dan bukan agama, justru akan timbul
sekularisme, yang memisahkan masalah agama dan dunia atau agama dan negara.
Fatwa MUI juga menolak asas pluralisme beragama, tapi menerima pluralitas
3
beragama karena merupakan realitas. MUI agaknya membedakan pluralisme dan
pluralitas, yang memang berbeda. Yang satu pemikiran dan yang satu lagi adalah
realitas yang tak bisa ditolak. Namun, keduanya berkaitan satu sama lain.2
Hal yang sama juga diungkapkan salah satu aktivis Fatayat NU, Neng Dara
Afiah yang menyatakan bahwa 11 Fatwa MUI3 itu telah memporak-porandakan
kebebasan berpikir. Sebab menurutnya, kebebasan berpikir adalah mutlak bagi umat
Islam. Kemajuan umat Islam diperoleh dari kebebasan berpikir dan kebebasan
berpikir sekarang ini telah dirampok oleh MUI melalui pelarangan pluralisme,
sekularisme dan liberalisme. Karena semua itu harus dipelajari, bukannya
dipenjarakan atau ditutupi.4
Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme agama itu kemudian
mendapatkan sorotan yang sangat tajam dari sejumlah ulama papan atas. Salah satu
2 Lihat M. Dawam Rahardjo. https:/m.tempo.co/read/news/2005/08/01/05564630/kala-mui-
mengharamkan-pluralisme, artikel diakses pada 14 Juli 2016. 3 Hasil Munas VII MUI yang patut disimak adalah 11 fatwa yang dirilis. 11 fatwa tersebut
ialah: (1) MUI mengharamkan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual termasuk hak cipta. (2) MUI
mengharamkan perdukunan dan peramalan termasuk publikasi hal tersebut di media. (3) MUI
mengharamkan doa bersama antaragama, kecuali doa menurut keyakinan atau ajaran agama masing-
masing, dan mengamini pemimpin doa yang berasal dari agama Islam. Fatwa ini dikeluarkan karena
doa bersama antaragama dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah atau tidak diajarkan dalam syariah
agama Islam. (4) MUI mengharamkan kawin beda agama kecuali tidak ada lagi muslim atau
muslimah untuk dinikahi. (5) MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan
hibah. (6) MUI mengeluarkan kriteria maslahat atau kebaikan bagi orang banyak. (7) MUI
mengharamkan pluralisme, sekularisme dan liberalisme. (8) MUI memfatwakan, hak milik pribadi
wajib dilindungi oleh negara dan tidak ada hak bagi negara merampas bahkan memperkecilnya,
namun jika berbenturan dengan kepentingan umum yang didahulukan adalah kepentingan umum.
Pemerintah dapat mencabut hak pribadi untuk kepentingan umum jika dilakukan dengan cara
musyawarah dan tanpa paksaan serta harus menyediakan ganti rugi dan tidak untuk kepentingan
komersial. (9) MUI mengharamkan perempuan menjadi imam salat selama ada pria yang telah akil
balig. Perempuan mubah jika menjadi imam salat bagi sesama perempuan. (10) MUI mengharamkan
aliran Ahmadiyah. (11) MUI memperbolehkan hukuman mati untuk tindak pidana berat. Lihat
http://m.detik.com/news/berita/412287/11-fatwa--mui-mulai-imam-perempuan-hingga-liberalisme,
artikel diakses pada 08 Desember 2016. 4 Lihat Kala Fatwa jadi penjara “MUI merampok Kebebasan Berpikir”. Sumber.
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?id=217/hl=id, artikel diakses pada 15 Juli 2016.
4
respons datang dari Gus Dur, menurutnya Indonesia bukanlah negara yang didasari
oleh satu agama tertentu dan MUI bukanlah institusi yang berhak menentukan
apakah sesuatu hal benar atau salah. Gus Dur juga menilai sikap pemerintah, seperti
ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Munas ke-7 MUI di Istana
Negara, sebagai sikap yang keliru dari pemimpin formal Indonesia.5 Kemudian,
tanggapan datang dari ketua Umum PBNU pada masa itu, KH Hasyim Muzadi,
beliau menyatakan bahwa fatwa MUI itu merupakan suatu langkah mundur bagi
kehidupan antar-umat beragama. Bahkan, Azyumardi Azra menilai ada
kesalahpahaman tentang arti pluralisme yang dipakai sebagai acuan oleh MUI
dengan pengertian pluralisme dalam wacana akademik. Sehingga, dikehendaki agar
fatwa tentang pengharaman pluralisme agama tersebut segera ditinjau kembali. Jika
fatwa pengharaman itu tidak direvisi, dikhawatirkan dialog dan kerja sama agama-
agama yang tengah mengalami surplus di Indonesia akan kandas dan pupus kembali.
Kemungkinan, umat beragama di Indonesia akan berada dalam era penuh prasangka
dan ketegangan sehingga mudah tersulut amarah dan konflik. Jika demikian yang
terjadi, maka yang rugi adalah seluruh warga bangsa di negeri ini.6 Penjelasan hasil
Munas MUI tersebut menunjukkan betapa intervensi negara (pemerintah) masih
sangat kuat. Kompleksitas peran MUI dalam menentang pluralisme agama menjadi
semakin terasa ketika para tokoh agama terutama yang berada di luar jalur
5 Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 4.
6 Lihat Abd Moqsith Ghazali,
http://wahidinstitute.org/v1/Opini/Detail/?id=47/hl=id/Fatwa_MUI_Dan_Keterancaman_Pluralisme_
Agama, artikel diakses pada 21 Juli 2016.
5
pemerintah seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid tidak memberikan
respons positif terhadap kebijakan MUI yang menentang pluralisme agama di negeri
ini.7
Menurut penulis, MUI dengan otoritasnya sebagai Lembaga Swadaya
Masyarakat yang mengeluarkan fatwa kepada masyarakat tampaknya mempunyai
inisiatif baik dengan mengeluarkan fatwa tersebut supaya umat Islam tidak
terpengaruh oleh paham-paham menyesatkan yang berasal dari luar agama Islam.
Mengingat belum ada yang membahas tema tersebut, maka penulis memandang
perlu mengangkat penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Fatwa
MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama”.
B. Identifikasi Masalah
Supaya pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya identifikasi
masalah. Masalah ditolaknya fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama oleh para pemikir Islam Liberal dengan dalih kebebasan berpikir
dan berpendapat dalam menjalankan kehidupan beragama di masyarakat, yang
menurut mereka kebebasan berpikir adalah bagian dari hak atas kebebasan pribadi
yang telah dimiliki oleh setiap manusia.
Masalah yang dapat diidentifikasi penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama?
7 Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Jakarta: Kompas, 2011), h. 210.
6
2. Bagaimana dampak dari Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
terhadap akidah dan syariat Islam?
3. Bagaimana perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan MUI
terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama?
4. Bagaimana tanggapan masyarakat Islam terhadap gagasan-gagasan Islam
Liberal?
5. Bagaimana perbandingan antara Hukum Islam dan HAM terhadap
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama?
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Peneliti akan membatasi tema penelitian ini hanya mengkaji fatwa MUI
nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 terhadap Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama.
Pokok masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini ialah ditolaknya
putusan fatwa MUI nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama oleh para pemikir Islam Liberal. Rumusan
masalah tersebut dapat dijabarkan ke dalam dua pertanyaan pokok, yaitu:
1. Bagaimana fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama?
2. Bagaimana perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan MUI
terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama?
7
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama.
2. Untuk mengetahui perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan
MUI terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak yang
mempunyai kepentingan dengan penelitian hukum ini sebagai berikut:
1. Bagi penulis
Sebagai bahan untuk menambah informasi dan pengetahuan serta
pemahaman terhadap Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama.
2. Bagi akademisi
Skripsi ini dapat menambah literatur penelitian pustaka dan referensi bacaan
dalam rangka memajukan keilmuan hukum Islam.
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini dapat menjadi literatur bacaan yang bermanfaat dalam hal
memberikan informasi, sumbangan pemikiran dan menambah khazanah pengetahuan
pembaca, khususnya dalam bidang ilmu hukum Islam.
8
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu telah ada penulisan yang terkesan mirip dengan
penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis, yaitu jurnal yang ditulis oleh Bustanul
Arifin, dalam Jurnal at-Tahdzib tahun 2014 yang berjudul “Fatwa dan Demokrasi:
Studi Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)”. Penelitian ini terfokus
membahas fatwa-fatwa MUI yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi paling fundamental, yaitu persamaan, kebebasan dan pluralisme. Hasil
dari penelitian ini menyatakan bahwa fatwa MUI berimplikasi terhadap nilai-nilai
demokrasi yaitu, nilai persamaan, nilai kebebasan dan nilai pluralisme. Diantaranya
fatwa MUI tentang pakaian kerja wanita bagi petugas medis yang secara literal
bertentangan dengan nilai persamaan dalam demokrasi. Kemudian, fatwa MUI
tentang Ahmadiyyah, yang secara literal fatwa tersebut tidak mencerminkan nilai
kebebasan baik dalam perspektif sosial, politik dan budaya. Dilanjutkan dengan
fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme yang secara literal tidak
mencerminkan nilai-nilai pluralisme dalam budaya demokrasi. Perbedaannya dengan
penulis, yaitu penulis lebih fokus menganalisis fatwa MUI tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para pemikir Islam Liberal
karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai kebebasan dalam HAM
serta mengenai perbedaan pemahaman antara MUI dengan para pemikir Islam
Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Kemudian, skripsi yang ditulis oleh Edi Usman, UIN Sultan Syarif Kasim
Riau, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits tahun 2013, yang berjudul “Islam
9
Liberal dalam Pemikiran Ulil Abshar Abdalla”. Penelitian ini mengkaji tentang Ulil
Abshar Abdalla dengan pemikiran Islam Liberalnya serta berkaitan dengan gagasan-
gagasan pembaruan di kalangan intelektual, khususnya gagasan Liberalisasi Islam
yang datang dari Barat dan memberi pengaruh terhadap pola pemikiran intelektual
muda Indonesia. Hasil dari penelitian ini menjelaskan ada beberapa faktor
materialistik kecenderungan pada golongan tertentu dalam Islam untuk mudah
menganggap sesat, kafir, musuh atau murtad pada golongan-golongan lain yang
mempunyai tafsiran berbeda dalam lapangan akidah. Kemudian pemikiran Ulil yang
menekankan bahwa kebebasan itu merupakan hak semua manusia. Perbedaannya
dengan penulis, yaitu penulis fokus menganalisis fatwa MUI tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para pemikir Islam Liberal
karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai kebebasan dalam HAM
serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir Islam Liberal terhadap
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Selanjutnya penelitian yang ditulis oleh Muhammad Harfin Zuhdi dalam
Jurnal Ulumuna, Volume 16 Nomor 1 (Juni) 2012 dengan judul “Tipologi Pemikiran
Hukum Islam: Pergulatan Pemikiran dari Tradisionalis Hingga Liberalis”.
Penelitian ini menjelaskan kolaborasi suatu tipologi pemikiran hukum Islam yang
dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu tradisional, moderat dan liberal. Hasil
dari penelitian ini membagi umat Islam menjadi tiga kelompok dalam merespon
issue-issue yang berkembang dalam diskursus pemikiran kontemporer. Diantaranya,
kelompok yang secara kukuh tetap berpegang pada basis epistemologi yang telah
10
dibangun oleh para ulama terdahulu. Selanjutnya, kelompok yang sedikit banyak
telah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Filsafat Barat, sehingga terkesan
Rasionalis, Sekularis, dus Liberalis. Kemudian, corak pemikiran dari kelompok yang
mencoba mengompromikan antara pandangan-pandangan kaum tradisionalis dan
liberalis. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis hanya fokus mengkaji fatwa
MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para
pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai
kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir
Islam Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Ada juga penelitian yang ditulis oleh Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam Jurnal
Tsaqafah, Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430, Institut Studi Islam Darussalam (ISID)
Gontor, Ponorogo, dengan judul “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama
Missionaris, Orientalis dan Kolonialis”. Penelitian ini membahas cara-cara
penyebaran paham Postmodernisme dan Liberalisme melalui jalan atau cara-cara
missionarisme, orientalisme dan kolonialisme. Hasil dari penelitian ini menjelaskan
bahwa perang pemikiran memerlukan rentang waktu yang lebih lama, ia bahkan
boleh jadi berlangsung sepanjang satu generasi. Perang pemikiran yang dipicu oleh
globalisasi dan westernisasi ini umat Islam tidak perlu membawanya kepada
peperangan fisik. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis fokus meneliti fatwa
MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para
pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai
11
kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir
Islam Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Kemudian, ada lagi penulisan yang mirip, yaitu dalam Jurnal Substantia Vol.
14, No. 1, April 2011, dengan judul “Mengenal Pemikiran Islam Liberal” yang
ditulis oleh Lukman Hakim dan Mohd Nasir Umar. Penelitian ini membahas tentang
pro dan kontra terhadap kemunculan pemikiran Islam Liberal. Hasil dari penelitian
ini memaparkan pemikiran Islam Liberal sebagai corak pemikiran keislaman yang
muncul untuk merespon atas buruknya citra Islam yang sering diidentikkan dengan
kekerasan, radikalisme dan terorisme. Namun di sisi lain Islam Liberal dengan
pemahamannya yang terlalu longgar terhadap normatif Islam menjadikan
keberadaannya selalu dipertentangkan dengan Islam tradisionalis ataupun Islam
fundamentalis. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis fokus menganalisis fatwa
MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para
pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai
kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir
Islam Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Selain itu, tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Ulumuna, Volume X Nomor 1
Januari-Juni 2006, yang ditulis oleh Masnun Tahir dengan judul “Pencarian
Otentisitas Islam Liberal di Indonesia”. Penelitian ini membahas penelaahan
terhadap historisitas, otentisitas dan dasar metodologis Islam Liberal di Indonesia.
Hasil dari penelitian ini menginformasikan bahwa Islam Liberal merupakan
kelanjutan dan perubahan dari gerakan pembaharuan Islam sebelumnya. Kesadaran
12
yang perlu diperjuangkan oleh intelektual Islam dan agama lain adalah bagaimana
membiarkan semua potensi pemikiran keagamaan tumbuh, apakah itu formalis,
substansialis, maupun liberalis, serta secara sadar membangun dialog yang tidak
terburu-buru mengharapkan sebuah konsensus. Oleh sebab itu, penulis berusaha
untuk menelaah lebih dalam fatwa MUI mengenai paham-paham yang telah
disebutkan diatas.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif tertulis. Penelitian
hukum normatif tertulis adalah metode penelitian hukum terhadap aturan hukum
yang tertulis.8
2. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumen atau bahan pustaka.
3. Sumber penelitian
Sumber primer, yaitu Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Sumber sekunder, diperoleh dari al-Qur’an, Hadits, doktrin-doktrin Hukum Islam
dan HAM, buku-buku hukum, literatur Islam, jurnal-jurnal, skripsi, artikel.
4. Pendekatan
8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38.
13
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan analitis.
Pendekatan analitis hukum dimaksudkan untuk menganalisis pengertian hukum,
asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan berbagai konsep yuridis.9
5. Metode analisis data
Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
tematik.
H. Sistematika Penulisan
Supaya pemahaman dalam naskah skripsi nanti teratur dan berurutan dengan
baik, maka pembahasan proposal ini dibangun secara sistematis, sehingga diharapkan
dapat diperoleh kejelasan yang semaksimal mungkin dari informasi yang termuat
dalam skripsi nanti.
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian serta Sistematika
Penulisan.
BAB II : Membahas tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang
meliputi: Pengertian Islam Liberal, sejarah dan lahirnya Islam Liberal, Pluralisme
Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat, Liberalisme Agama di dalam
9 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005), h. 311.
14
Masyarakat Islam dan Barat serta Sekularisme Agama di dalam Masyarakat Islam
dan Barat.
BAB III : Membahas tentang Perspektif Hukum Islam dan HAM tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama yang meliputi: Konsep Pluralisme Agama,
Konsep Liberalisme Agama, Konsep Sekularisme Agama, Kebebasan berpikir
menurut Hukum Islam dan HAM, serta Historisitas kebebasan berpikir dalam Islam
dan HAM.
BAB IV : Membahas tentang Analisa Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang meliputi: Latar
Belakang lahirnya Fatwa MUI No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, Landasan Hukum Fatwa MUI No. 7/MUNAS
VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama serta
Analisis Perbandingan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan HAM.
BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran, serta
dilengkapi dengan daftar pustaka.
15
BAB II
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA
A. Pengertian Islam Liberal
Islam berasal dari kata kerja aslama, yang berarti beragama Islam1, dan
terdapat cukup banyak dijumpai dalam al-Quran. Selain dalam bentuk aslama,
derivasi dari kata Islam juga bisa ditarik menjadi salima min (selamat dari)2;
muslim (orang Islam)3; dan salam (sejahtera, kesejahteraan)
4. Sedangkan, term
“liberal” berasal dari bahasa Latin liber yang berarti bebas dan bukan budak atau
kondisi dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Kemudian,
makna bebas ini menjadi sikap masyarakat kelas terpelajar di Barat yang
membuka pintu kebebasan berpikir (The old Liberalism).5
Islam Liberal merupakan istilah yang bermula diperkenalkan oleh
beberapa penulis Barat seperti Leonard Binder, Charles Kurzman dan Greg
Barton. Binder menggunakan istilah “Islamic Liberalism”. Sedangkan Kurzman
dan Barton memakai istilah Islam Liberal (Liberal Islam).6 Definisi Islam Liberal
yang dipakai Kurzman maupun Barton berbeda dengan yang dipakai Binder.
Tema Islam Liberal yang dikemukakan Binder merupakan tema yang mengangkat
1 A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa
Arab (Indonesia-Arab) (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 543. 2 A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa
Arab (Indonesia-Arab), h. 1267. 3 Nur Mufid, Kamus Modern Indonesia-Arab Al-Mufied (Surabaya: Pustaka Progressif,
2010), h. 283. 4 Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Al-Bisri : Indonesia -- Arab Arab – Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 315. 5 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis”, Tsaqafah, V, no. I (Jumadal Ula, 1430), h. 3. 6 Lukman Hakim, “Mengenal Pemikiran Islam Liberal”, Substantia, XIV, no. 1 (April,
2011), h. 181.
16
dialog terbuka antara dunia Islam dengan dunia Barat, yaitu antara pemikiran
Islam dan pemikiran Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan
hanya menarik akar-akar trend “Liberalisme Islam” hingga ke dunia Barat,
melainkan sebagai proses take and give yang saling mengisi dan menangani
persoalan-persoalan kemodernan, transformasi sosial dan tradisi lokal (menurut
Binder dalam konteks tradisi Arab).7
Kata Islam yang digunakan dalam istilah ini merupakan sebuah konsep
yang dipahami sebagai pegangan dan jalan hidup yang dilahirkan dari doktrin-
doktrin Islam, baik Al-Quran maupun as-Sunnah yang kemudian menjadi sebuah
objektivasi dari para pemeluknya terhadap sebuah ajaran. Islam ditempatkan
sebagai objek yang memuat dogma-dogma. Dogma tersebut dipahami dan
diinterpretasikan menurut perspektif intelektual muslim liberal yang senantiasa
melakukan reinterpretasi terhadap doktrin Islam sebagai bentuk ijtihad untuk
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam ditempatkan sebagai sumber
rujukan yang akan terus ditafsirkan. Sehingga akan terus ada penafsiran-
penafsiran baru terhadap doktrin-doktrin Islam.8 Islam Liberal sebagai suatu
fenomena mutakhir di dunia pemikiran Islam Indonesia yang menyeruak sebagai
“project pemikiran”, layaknya sajian siap saji yang beraroma ideal (kaffah).9
Paradigma berpikir liberal mensyaratkan terbangunnya kebebasan berpikir dan
keluasan berijtihad atas dasar nilai-nilai universal atau nilai-nilai intrinsik Islam
7 Imam Mustofa, “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia”, Akademika, XVII, no. 2
(2012), h. 5. 8 Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
(Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 7. 9 Masnun Tahir, “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia”, Ulumuna, X, no. 1
(Januari-Juni 2006), h. 123.
17
yang universal.10
Istilah Islam Liberal juga diartikan oleh para pendukungnya
sebagai sebuah interpretasi ajaran Islam yang punya perhatian lebih terhadap
berbagai persoalan modern, seperti demokrasi, kebebasan berpikir serta promosi
Hak Asasi Manusia (HAM). Kesemua interpretasi Islam yang selaras dengan
zaman itu hanya bisa dituntaskan dengan membuka kembali selebar-lebarnya
pintu ijtihad dengan menawarkan penafsiran Islam baru yang lebih senafas dengan
zaman.11
Sebagian ilmuan memahami Islam Liberal sebagai sebuah aliran
pemikiran yang tidak lagi mempercayai Islam sebagai agama yang didasarkan
pada Al-Qur’an dan hadits sebab intelektual liberal sering melakukan kritik
terhadap pemahaman kitab suci Al-Qur’an dan hadits nabi. Pendapat seperti ini
dianut, oleh Charles Kurzman, Leonard Binder, Mahmudi Masmoudi, Abdel
Wahab Affendy dan Farid Esack.12
Bahkan ada pendapat yang mengatakan
kelompok Islam Liberal tak berbeda seperti orientalis yang “mengobok-obok”
ajaran Islam. Mereka menyerang al-Qur’an sebagai produk rekayasa politik kaum
Quraisy, menuduh hukum-hukum yang terkandung di dalamnya sangat tidak
humanis dan sebagainya.13
B. Sejarah dan lahirnya Islam Liberal
Pemikiran Islam Liberal di Indonesia muncul melalui gagasan-gagasan
yang dilontarkan oleh Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Tepatnya pada
tahun 1970-an muncul terma-terma “Islam rasional” yang dikemukakan oleh
10
Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Kompas: Jakarta, 2011), h. 4. 11
Hamdiah A. Latif, “Mengkritisi Jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit
Revivalisme, Liberalisme dan Bahaya Sekularisme”, Islam Futura, X, no. 2 (Februari 2011), h. 51. 12
Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002,
h. 7. 13
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, Tsaqafah, V, no.
1 (Jumadal Ula 1430), h. 55.
18
Harun Nasution dan “Sekularisasi” oleh Nurcholis Madjid. Salah satu inti dasar
pemikiran kedua tokoh ini adalah Islam itu modern, liberal dan rasional.14
Menurut Luthfi Assyaukanie, kemunculan istilah Islam Liberal mulai
dipopulerkan tahun 1950-an, tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia
pada tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama”
komunitas atau Jaringan Islam Liberal, Nurcholis Madjid. Walaupun Nurcholis
sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk
mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang
ide-ide Islam Liberal. Sebenarnya Islam Liberal tidak berbeda dengan gagasan-
gagasan Islam yang dikembangkan oleh Nurcholis Madjid dan kelompoknya.
Diantaranya, gagasan kelompok Islam yang tidak setuju dengan formalisasi
syariat Islam oleh negara, yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi
wanita, “menyamakan” agama Islam dengan agama lain (pluralisme agama),
memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.15
Menurut Charles Kurzman, Islam Liberal muncul sekitar abad ke-18 saat
kerajaan Turki Utsmani, Dinasti Shafawai dan Dinasti Mughal tengah berada di
gerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan
gerakan pemurnian, kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Pada saat ini
muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah di India
(1703-1762). Hal yang sama juga terjadi di kalangan Syiah. Pencetusnya adalah
Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) yang mulai berani mendobrak pintu
ijtihad dan kemudian membukanya lebar-lebar. Bila dilihat kembali ke Indonesia,
14
Masnun Tahir, “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia”, h. 124. 15
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan
dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 3.
19
menurut pendapat Adian Husaini yang menukil dari Greg Barton, Nurcholis
Madjid-lah bersama-sama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan
Abdurrahman Wahid yang telah memelopori gerakan firqah liberal di Indonesia.
Pada tahun 1970-an seperti yang telah penulis jelaskan di awal tulisan juga telah
disuarakan pluralisme agama dengan menyatakan bahwa toleransi agama hanya
akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal
agama dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang
mengarah kepada setiap manusia sebagai inti setiap agama.16
Kelompok Islam Liberal ini telah menempatkan dirinya untuk merespons
dan memberikan reaksi terhadap fenomena baru yang mereka beri label sebagai
’radikalisme dan fundamentalisme Islam’ yang mulai marak seiring dengan
jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru. Mereka yang dimaksudkan disini adalah
kelompok yang secara getol berusaha untuk menerapkan syari’at Islam sebagai
hukum positif dalam sistem pemerintahan Indonesia.17
Gerakan Islam Liberal ini
juga sebuah ungkapan ketidakberdayaan para pendukungnya dalam berhadapan
dengan fenomena global yang saat ini didominasi dan dihegemoni oleh peradaban
Barat. Mereka begitu merendahkan diri sekali serta sangat silau dengan kemajuan
yang diraih Barat. Sehingga timbul keyakinan bahwa bila umat Islam ingin maju
maka harus mengikuti setiap jejak langkah Barat. Umat Islam harus mengadopsi
demokrasi, kebebasan beragama dan berpendapat, persamaan kedudukan laki-laki
dan perempuan, pemisahan agama dari ruang publik (sekularisme) dan
sebagainya. Karena hanya dengan begitu, mereka yakin, masyarakat Islam akan
16
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jaringan_Islam_Liberal, artikel diakses pada 19
Oktober 2016. 17
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, h. 54.
20
terlepas dari keterpurukan yang mereka alami.18
Gerakan liberalisme dalam
konteks Islam sebenarnya adalah pengaruh dari falsafah liberalisme yang
berkembang di Barat yang masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan, seperti
liberalisme ekonomi, liberalisme budaya, liberalisme politik dan liberalisme
agama. Pada periode ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama
Yahudi dan Kristian mulai diikuti oleh sekumpulan sarjana dan pemikir Muslim,
seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir, Muhammad
Arkoun dari Al Jazair, Abdulah Ahmed Naim dari Sudan, Asghar Ali Enginer dari
India, Aminah Wadud dari Amerika, di Indonesia dilakukan oleh Nurcholis
Madjid, Syafii Ma’arif, Abdurrahman Wahid dan Ulil Abshar Abdalla,
selanjutnya Muhammad Shahrour dari Syria, Fatima Mernissi dari Marocco,
Abdul Karim Soroush dari Iran, Khaled Abou Fadl dari Kuwait dan lain-lain
sebagainya. Di samping itu terdapat banyak juga kelompok diskusi dan institusi,
seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia, Sister in Islam di Malaysia, dan
hampir di seluruh negara Islam lainnya.19
Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual
Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas
Liberalisasi Islam. Gerakan liberalisasi pemikiran Islam ini, sebenarnya lebih
dipengaruhi unsur eksternal daripada perkembangan alami dari dalam tradisi
pemikiran Islam. Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusuri dari trend
pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leonard Binder,
diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan
18
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, h. 54. 19
Cahyaningrum Tri Agustina, “Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia
tahun 2001-2005”, Candi, IV, UNS, h. 4.
21
pergerakan Islam Liberal dan mengorbitkannya pada era 80-an, telah memerinci
agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A
Critique of Development Ideologies. Dalam buku ini ia menjelaskan premis20
dan
titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan disebarluaskan.21
C. Pluralisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat
Pluralisme merupakan suatu pandangan yang meyakini akan banyak dan
beragamnya hakikat realitas kehidupan, termasuk realitas keberagamaan manusia.
Pluralisme agama diartikan sebagai pandangan dan sikap bahwa hakikat agama di
dunia ini tidak hanya satu, tetapi banyak atau beragam.22
Dalam konteks agama-
agama, pluralisme mengacu pada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun
dengan jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang
Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan. Sejumlah definisi pluralisme agama juga
dimajukan para pemikir muslim di Indonesia. Mengutip dari Umi Sumbulah, M.
Rasjidi misalnya, memberikan definisi pluralisme sebatas sebagai realitas
20
Premis yang dimaksud dalam buku ini, yaitu (1) Pemerintahan liberal adalah produk
dari proses yang berkelanjutan dari diskursus rasional. (2) Diskursus rasional ini dimungkinkan
bahkan di antara mereka yang tidak berbagi budaya yang sama atau kesadaran yang sama. (3)
Diskursus rasional dapat menghasilkan kesepahaman dan konsensus budaya, serta kesepakatan
tentang hal khusus.(4) Konsensus memungkinkan pengaturan politik yang stabil, dan merupakan
dasar rasional pilihan strategi politik yang koheren. (5) Pilihan strategis yang rasional adalah dasar
dari meningkatkan kondisi manusia melalui tindakan kolektif. (6) Liberalisme politik, dalam
pengertian ini, adalah hal tak terpisahkan. Entah ini akan menang di seluruh dunia, atau akan harus
dipertahankan dengan tindakan non diskursif. (7) Penolakan terhadap liberalisme di Timur Tengah
atau di tempat lain bukanlah masalah ketidakpedulian moral atau politik. (8) Liberalisme politik
hanya bisa ada di mana dan kapan prasyarat sosial dan intelektualnya ada. (9) Prasyarat ini sudah
ada di beberapa bagian Timur Tengah Islam. (10) Dengan terlibat dalam diskursus rasional pada
mereka yang kesadarannya telah dibentuk oleh budaya Islam adalah dimungkinkan untuk
meningkatkan prospek liberalisme politik di wilayah itu dan lain-lain di mana tidak ada pribumi.
Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism : a critique of development ideologies (Chicago: The
University of Chicago Press, 1988), h. 1. 21
Imam Mustofa, “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia”, h. 3. 22
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 47.
22
sosiologis, bahwa pada kenyataannya masyarakat memang plural. Namun
demikian, pengakuan terhadap realitas kemajemukan ini tidak berarti memberikan
pengakuan terhadap kebenaran teologis agama-agama lain.23
Definisi lebih liberal
juga dapat dilihat pada gagasan Nurcholis Madjid, bahwa semua agama adalah
jalan kebenaran menuju Tuhan. Dalam konteks ini, Madjid menyatakan bahwa
keragaman agama tidak hanya sekedar realitas sosial, tetapi keragaman agama
justru menunjukkan bahwa kebenaran memang beragam. Pluralisme agama tidak
hanya dipandang sebagai fakta sosial yang fragmentatif, tetapi harus diyakini
bahwa begitulah faktanya mengenai kebenaran. Tidak ada seorang pun yang
berhak memonopoli kebenaran Tuhan karena hal ini akan menjadi bibit
permusuhan terhadap agama lain. Untuk itu, pluralisme seharusnya tidak hanya
dimaknai dengan sekadar menyatakan masyarakat kita majemuk, beraneka ragam,
terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru mengesankan fragmentasi, tidak
juga dipahami sebagai kebaikan negatif (negative good), tetapi pluralisme adalah
bagian dari pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.24
Masyarakat dalam setiap negeri Muslim terdiri dari kaum Muslim dan
non-Muslim yang termasuk ke dalam berbagai jenis kelompok kesukuan. Kaum
Muslim memiliki perbedaan-perbedaan teologi dan fikih, sedangkan non-Muslim
23
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, h.
48. 24
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, h.
49.
23
termasuk ke dalam agama-agama dan sekte-sekte yang berbeda-beda.25
Sebenarnya paham Pluralisme Agama ini merupakan paham yang berkembang
pesat dalam masyarakat Kristen-Barat dan bukan dari masyarakat Islam yang
hanya mengakui adanya Pluralitas. Pendapat ini tentu saja tidak omong kosong
belaka, tapi memang benar seperti pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu
tokoh Islam Liberal, Budhy Munawar Rachman, dia menyatakan bahwa
pandangan-pandangan Pluralisme yang berakar pada teologi Kristiani telah
menjadi isu global, sehingga pemikiran Islam mulai menyadari pentingnya
mengembangkan pemikiran pluralisme, termasuk di Indonesia.26
Hal ini
disebabkan setidaknya oleh tiga hal, yaitu trauma sejarah kekuasaan Gereja di
Zaman Pertengahan dan konflik Katolik-Protestan, Problema teologis Kristen, dan
terakhir Problema Teks Bibel.27
Misalnya, pada 1527, di Paris terjadi peristiwa
yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun
itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa
mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam
Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla
salus (outside the church no salvation) yang berarti tak ada keselamatan di luar
gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar
gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham Pluralisme Agama ini tidak
25
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2006), h.
61. 26
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2011), h. 200. 27
Adian Husaini, Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu dan Islam terhadap Paham Pluralisme Agama) (Bogor: Adabiy Press, 2012), h. 5.
24
memiliki akar sosio-historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi
diimpor dari setting sosio-historis kaum Kristen di Eropa dan Amerika Serikat.28
Ketika Gereja berkuasa di Zaman Pertengahan, para tokohnya telah
melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap
trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema
yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian
kalangan Muslim yang terpesona oleh Barat atau memandang bahwa hanya
dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk
dalam hal cara pandang terhadap agama-agama lain, banyak yang kemudian
menjiplak begitu saja terhadap cara pandang kaum Inklusifis dan Pluralis Kristen
dalam memandang agama-agama lain. Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah
sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun buku-buku di perguruan
tinggi.29
Dalam dunia Barat-Kristiani, teologi Pluralisme ini dikembangkan oleh
banyak filsuf, teolog dan ilmuwan, seperti John Hick, Karl Rahner, Raimundo
Panikkar, Wilffred Cantwel Smith, Rosemary Rueth, Paul F. Knitter, Gordon D.
Kaufmann, dan lain-lain.30
Dalam sejarahnya, memang peradaban Islam pernah mengalami kenyataan
Pluralitas Agama namun bukan pandangan Pluralisme Agama, kaum Muslim
berbaur dengan Non-Muslim dalam wilayah-wilayah Muslim. Sebagai contoh,
kaum Majusi memperoleh status dzimmi, sama dengan Kristen dan Yahudi, dan
kemudian Hindu. Kaum Sabiin dilindungi dan diperlakukan setara oleh kaum
28
https://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/09/menolak-pluralisme/, artikel diakes pada 25
Oktober 2016. 29
Adian Husaini, Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu dan Islam terhadap Paham Pluralisme Agama), h. 5. 30
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme, h. 190.
25
Muslim.31
Para pemimpin Katolik Nestor dipilih oleh gereja, tetapi pemilihannya
dipertegas oleh Khalifah Abbasiah pada waktu itu yang mengeluarkan
pentahbisan untuk posisinya. Di bawah dinasti Fatimiah, pemimpin Yahudi di
Kairo disebut “Pangeran dari para pangeran”.32
Non-Muslim menikmati
kebebasan menjalankan kegiatan keagamaan, dan beberapa khalifah mungkin saja
menghadiri upacara-upacara dan perayaan mereka; seperti halnya penduduk
Muslim acap kali lakukan. Rumah sakit umum memperlakukan sama semua yang
sakit. Non-Muslim tidak harus tinggal di wilayah khusus, kendati setiap
komunitas condong secara sukarela untuk melakukan hal itu. Mereka memiliki
pengadilan agama masing-masing yang diorganisasi oleh para pemimpin mereka,
walaupun mereka dapat selalu pergi ke para hakim Muslim jika mereka
kehendaki.33
Jadi, jelaslah bahwa paham pluralisme agama ini merupakan ajaran
yang bersumber dari Barat khususnya Kristen dan tidak murni dari ajaran Islam.
D. Liberalisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat
Ensiklopedi Nasional Indonesia menyebut liberalisme sebagai aliran
pikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar
kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya
sebebas mungkin. Heuken lebih lanjut menyebut liberalisme dasarnya adalah
31
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 62. 32
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 63. 33
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 64.
26
pandangan Zaman-Pencerahan, bahwa manusia tidak hanya berhak mengusahakan
masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, yang kurang mengindahkan hak-
hak asasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak
mendapat mandat dari umat. Kuasa “dari atas” ditolak.34
Terkait dengan
Liberalisme Agama, para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi
Perancis 1789, yaitu kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite,
fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah
prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya adalah
bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia, yakni otoritas
yang akarnya, aturannya, ukurannya dan ketetapannya ada di luar dirinya.35
Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad ke-15 dan ke-16 M oleh John
Locke, Hume (Inggris), J.J. Rousseau, Diderot (perancis), Lessing dan Imanuel
Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang
seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut
penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.36
Ideologi liberalisme yang
kebablasan tersebut pada akhirnya mengajarkan tiga hal, yaitu kebebasan berpikir
tanpa batas alias free thinking, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias
sophisme dan sikap longgar juga semena-mena dalam beragama.37
Ketika liberalisme masuk ke dalam pemikiran keagamaan maka banyak
konsep dasar dalam agama yang berubah, misalnya Kristen. Menurut Nicholas F.
34
Herlianto, “Liberalisme”. Artikel diakses pada 14 Januari 2017 dari
http://artikel.sabda.org/node/714. 35
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008),
h. 76. 36
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 77. 37
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 79.
27
Gier, dari University of Idaho, Moscow, sebagaimana yang dikutip oleh Hamid
Fahmy Zarkasyi, dia menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal
Amerika Serikat sebagai berikut. Pertama, percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan
dalam kepercayaan Kristen Orthodok. Karena Tuhan mereka tidak Orthodok
maka seringkali mereka disebut Atheist.38
Kedua, kaum liberal memisahkan
antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Dengan mengurangi penekanan pada
doktrin atau kepercayaan, mereka berpegang pada prinsip bahwa Kristen dan non-
Kristen harus saling menerima dan berbuat baik. Ketiga, kaum liberal tidak ada
yang percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Mereka menolak sebagian atau
keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahirkan,
Bible sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan dan penciptaan
dari tiada (creatio ex nihilo). Keempat, menerima secara mutlak pemisahan gereja
dan negara. Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi agama. Jadi,
liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam peradaban Barat telah
memarginalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik
secara perlahan-lahan.39
Sejarah liberalisme termasuk juga liberalisme agama adalah tonggak baru
bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut dengan periode
pencerahan. Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali di zaman
renaissance Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-
38
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis, h. 8. 39
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis, h. 9.
28
pendukung negara kota yang bebas melawan pendukung Paus.40
Penulis
menegaskan bahwa paham Liberalisme termasuk juga Liberalisme Agama
merupakan paham yang lahir dari tradisi pandangan-pandangan masyarakat Barat-
Kristen. Ideologi ini pada dasarnya tidak pernah ada dalam masyarakat Islam dan
juga dari ajaran Islam. Hanya saja, paham ini masuk ke dalam masyarakat Islam
melalui para pemikir muslim berhaluan liberal yang terlena dengan mengadopsi
ajaran Barat untuk diterapkan dalam ajaran Islam.
E. Sekularisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat
Sekularisme adalah ideologi yang muncul dari proses sekularisasi.
Mengutip dari M. Syukri Ismail, Nurkholis Madjid mendefinisikan Sekuler
sebagai zaman sekarang. Sekularisme adalah suatu paham keduniawian,
sedangkan Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan Sekularisme dan
mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis, menurutnya Sekularisme adalah
untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat dunia, dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya, atau
suatu proses penduniawian.41
Menjadi perdebatan para ahli sejarah adalah
bagaimana proses munculnya secular, sekularisasi dan sekularisme. Eropa barat
telah mengalami sekularisasi selama sejak 250 tahun terakhir dan para ahli sejarah
sepakat dengan pendapat tersebut. Gerakan sekularisme tumbuh di Eropa dan
berkembang ke seluruh penjuru dunia seiring dengan pengaruh penjajahan,
kristenisasi dan komunisme. Banyak faktor yang mengakibatkan tersebarnya
40
Henri Shalahuddin, “memaknai liberalisme”, artikel diakses pada 25 Oktober 2016 dari
https://insists.id-INSIST-Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations, 12
November 2007. 41
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”,
Kontekstualita, XXIX, no. 1 (2014), h. 106.
29
gerakan ini, baik sebelum dan sesudah meletusnya revolusi Prancis pada tahun
1799 M.42
Apabila paham atau ideologi ini masuk ke dalam ranah pemikiran di
dunia Islam, maka akan terjadi pemisahan otoritas sang Khaliq dan makhluk yang
akan mengakibatkan urusan-urusan duniawi manusia hanya diurus oleh manusia
saja dan tidak lagi mementingkan keberadaan Tuhan atau kehidupan setelah
dunia.43
Munculnya Sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan
(mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama Kristen saat itu pada abad
ke 15. Di mana Kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke
dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang sama
peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga ketika
perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka mengalami
kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mendapatkan sesuatu yang berharga, yaitu
inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat
Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi sebab lahirnya renaissance
beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka menerjemahkan buku-buku
filsafat Yunani berbahasa arab dan karya-karya filosof Islam lainnya ke dalam
bahasa latin.44
Istilah paham sekularisme muncul setelah terjadi pengekangan oleh
gereja yang menyekat pintu pemikiran dan penemuan sains. Pihak gereja Eropa
telah menghukum ahli sains, seperti Copernicus, Gradano, Galileo, dan lain-lain
yang mengutarakan penemuan saintifik yang berlawanan dengan ajaran gereja.
42
H. Muhammad Najih Maimoen, Islam Liberal Proyek Imperialis Protestanis Barat
(Rembang: Toko Kitab Al-Anwar I, 2011, h. 72. 43
H. Muhammad Najih Maimoen, Islam Liberal Proyek Imperialis Protestanis Barat, h.
73. 44
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel
diakses pada 26 Oktober 2016.
30
Kemunculan paham ini juga disebabkan tindakan pihak gereja yang mengadakan
upacara agama yang dianggap berlawanan dengan nilai pemikiran dan moral,
seperti penjualan surat pengampunan dosa, yaitu seseorang boleh membeli surat
pengampunan dengan nilai uang yang tinggi dan mendapat jaminan surga
walaupun berbuat kejahatan di dunia.45
Misalnya, Marthin Luther (1483-1546)
yang melakukan pemberontakan terhadap Paus terkait praktek jual beli surat
penebusan dosa. Pada 31 Oktober 1517, Marthin memberontak dengan cara
menempelkan 95 point pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di
Jerman. Gugatannya yang paling utama adalah tentang praktik penjualan
“pengampunan dosa” oleh pemuka gereja.46
Di Turki, negara memang telah dipisahkan dari agama. Kekhalifahan
Islam, yang pernah membawa Turki ke puncak peradaban dunia itupun telah
dihapuskan dan diganti dengan negara sekular. Dewasa ini, di Turki ada peraturan
yang melarang anggota keluarga pejabat negara yang perempuan untuk memakai
jilbab. Sehingga, PM Erdogan pun harus mengungsikan anak perempuannya ke
AS, yang walaupun juga sebuah negara sekular, namun tidak mau mencampuri
masalah keyakinan pribadi. Di Perancis, sekularisme diterapkan secara paling
keras, di luar negara komunis. Paradoksnya, di negara komunis sendiri, agama-
agama masih tetap bertahan. Alasan Perancis terhadap pelarangan jilbab adalah
ekspresi sektarianisme yang mengganggu persatuan kebangsaan. Ekspresi
keagamaan di ruang publik, benar-benar dilarang tanpa kompromi, karena jika
45
Jamaluddin, “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan”,
Mudarrisuna, III, no. 2 (Juli-Desember 2013), h. 313. 46
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”, h.
106.
31
ekspresi agama di ruang publik itu diperbolehkan, maka agama akan
menimbulkan pencemaran ruang publik. Umpamanya, azan yang dikumandangan
melalui pengeras suara, akan dinilai mengganggu masyarakat dalam bentuk polusi
suara.47
Di Mesir, Khudaiwi Ismail memasukkan perundang-undangan Perancis
pada tahun 1883 M. Tokoh ini sudah tergila-gila terhadap Barat. Cita-citanya
ingin menjadikan Mesir sebagai bagian dari Barat. Di India, hukum yang berlaku
di negeri ini masih sejalan dengan syariat Islam sampai tahun 1791 M. Tetapi
setelah didalangi oleh Inggris, kemudian berangsur-angsur berubah, melepaskan
syariat. Sehingga pada pertengahan abad 19, syariat Islam telah habis sama sekali
di negeri ini. Al-Jazair menghapuskan hukum Islam setelah dijajah Perancis pada
tahun 1830. Tunisia memasukkan perundang-undangan Perancis pada tahun 1906
dan Maroko pada tahun 1913 M.48
Menurut M. Dawam Rahardjo, di Indonesia, pemikir yang pertama kali
memperkenalkan paham sekularisme adalah Bung Karno. Dengan pemahaman
bahwa Hindia Belanda pada waktu itu adalah sebuah negeri Muslim. Namun, ia
juga menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural. Bahkan, ia pun tahu
bahwa dalam masyarakat Muslim pun terdapat pluralitas, seperti nampak pada
banyaknya aliran keagamaan, corak budaya, organisasi Islam dan partai politik
Indonesia.49
Meskipun sekularisme pada awalnya terjadi pada abad modern (khususnya
abad ke-19) yang dialami kaum Kristen, namun dalam perkembangannya kini
47
M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar Argumen Islam untuk Sekularisme (Jakarta:
Grasindo. Anggota Ikapi, 2010), XXVI. 48
WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya
(Jakarta: Al-I’tishom, 2002), h. 281. 49
M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar Argumen Islam untuk Sekularisme, XXVII.
32
sekularisme menyusup secara diam-diam dan lebih langsung ke dalam pandangan
dan budaya kaum Muslim, sehingga tak kurang pro dan kontra tentang
sekularisme mengiringi perkembangan masyarakat Islam dewasa ini.50
Hal ini
memperkuat pandangan bahwa paham Sekularisme Agama tidak lahir dari agama
Islam, melainkan dari kaum Kristen yang mana paham ini disebarluaskan dan
diadopsi begitu saja tanpa di kritisi terlebih dahulu oleh para pemikir Muslim
yang berhaluan Liberal.
50
Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), 2010), h. 226.
33
BAB III
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PLURALISME,
LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA
A. Konsep Pluralisme Agama
Secara etimologi, Pluralisme Agama, berasal dari dua kata, yaitu
“pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Inggris disebut “religious pluralism.”
Plural berarti “jama” atau lebih dari satu.1 Sedangkan, religious berarti beragama,
saleh, beriman atau menjalankan agama dengan patuh.2 Dalam bahasa Arab,
Pluralisme disebut dengan التعددية (al-ta‟addudiyyah) yang berarti doktrin yang
mengatakan bahwa ada lebih dari satu kebenaran mutlak.3 Sedangkan, ديني (diiniy)
yang berarti agama atau beragama.4 Jika Pluralisme dan agama dirangkai menjadi
satu, maka dapat dikatakan pluralisme agama berarti doktrin atau ajaran atau
paham yang mengatakan bahwa ada lebih dari satu kebenaran mutlak dalam
beragama. Secara terminologi, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, pluralisme dalam
pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan
kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan
kepercayaan orang lain. Pluralisme dalam pengertian kedua sudah tidak
berpegang pada suatu dasar apapun. Masyarakat harus menerima kenyataan
bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal, artinya semua benar. Atau masyarakat
1 Rayner Hardjono, Kamus Populer Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), h. 292. 2 Rayner Hardjono, Kamus Populer Inggris-Indonesia, h. 321.
3 Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary (Beirut: Dar El-Ilm
Lil-Malayen, 1992), h. 700. 4 Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
34
tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar
atau paling benar. Bahkan, dalam suatu pengertian, pluralisme mengajarkan
bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.5 Agama adalah sebagai nama jenis
bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. Masyarakat
beragama pada umumnya memandang agama sebagai jalan hidup yang dipegang
dan diwarisi turun temurun oleh masyarakat manusia, agar hidup mereka menjadi
tertib, damai dan tidak kacau.6 Pluralisme mengandung arti bahwa pandangan-
pandangan dunia yang ada menjadi relatif dan bahwa struktur-struktur rasional
menjadi sulit. Agama-agama tidak dapat lagi melegitimasi „dunia‟ secara luas,
meskipun beberapa organisasi agama berusaha melegitimasi sub-dunia mereka
melalui sistem-sistem kepercayaan mereka.7 Bagi penulis, pluralisme agama
diartikan sebagai paham atau ajaran dalam beragama yang mengakui kebenaran
agama lain disamping kebenaran agama yang dianutnya, sehingga menganggap
semua agama sebagai jalan kebenaran dan sama kedudukannya dengan agama
yang dianutnya.
Mengenai konsep Pluralisme Agama, sebagaimana mengutip dari Zuly
Qodir, Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa memang ada pendapat yang
mengatakan orang beriman yang mengajarkan tentang pluralisme itu
mendangkalkan keimanan sebab mengakui banyak agama. Hal ini disebabkan
karena pendekatan formalistik terhadap agama dan keimanan. Menurutnya yang
5 Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam
(Jakarta: INSISTS – MIUMI, 2012), h. 138. 6 Harun Nasution dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 63. 7 Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin
Kebersamaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), h. 38.
35
paling pokok sebenarnya apa sebetulnya substansi dari iman itu, dan kalau itu ada
enam, maka kalau substansinya percaya adalah percaya dan dia tunduk, maka
orang Yahudi, Nasrani, Shabiin adalah iman itu sendiri. Kaum sufi lebih mampu
menerima, sebab adanya Yahudi, Nasrani, Shabiin itu sebetulnya hanya variabel
saja. Hanya varian saja, bukan substansi.8 Selanjutnya, dia mengatakan, “Jika
semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang
satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk
tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan
pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa
melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini, kerja
sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”9 Ulil Abshar Abdalla,
seorang Koordiantor Jaringan Islam Liberal (JIL), mengatakan, “semua agama
adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar.
Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar
kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua
agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan
menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”10
Begitu juga dengan
pernyataan Budhy Munawar Rachman di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia
(terbitan JIL), mengutip dari Adian Husaini, Budhy menulis satu artikel berjudul
“Basis Teologi Persaudaraan Antaragama” (hlm 51-53), bahwa “Konsep teologi
8 Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
(Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 207. 9 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2002), h. 44. 10
Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18
November 2002.
36
semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa
pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan
makna “orang yang percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan.” Budhy
menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan
masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman-
tanpa harus melihat Agamanya apa-adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan
kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”11
Mengutip dari Sukidi, menurut nalar pikir Paul F. Knitter (1985), bahwa
pada dasarnya semua agama sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu adalah
relatif, yakni terbatas, parsial dan tidak lengkap. Menganggap bahwa semua
agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain (oleh ahli agama-agama)
dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah, ofensif dan merupakan
pandangan yang sempit. Karena itu, klaim-klaim kebenaran dan keselamatan
agama sudah sepantasnya untuk dihindari dan jika perlu dikikis habis oleh umat
beragama.12
Cak Nur menegaskan bahwa agama tanpa sikap pasrah kepada
Tuhan, betapapun seorang itu mengaku sebagai “muslim” atau penganut “Islam”,
adalah tidak benar dan “tidak bakal diterima” di sisi Tuhan. Bahkan, sesuai firman
Tuhan, ia termasuk orang yang merugi di akhirat kelak (QS. 3.85). Dalam konteks
inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak
Nur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu
sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain,
khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka,
11
Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 39. 12
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001), h. 5.
37
konsekuensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita-baik orang Islam,
Yahudi, Kristen, maupun Shabi‟in, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan
Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi
Tuhan... (QS., 2:62; & 5:69). Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat
jaminan teologis bagi umat beragama, apapun “agama”-nya, untuk menerima
pahala (surga) dari Tuhan. Dari sinilah, bahwa Islam itu hanyalah “jalan” atau
“sarana”, menuju Tuhan sebagai tujuan akhir dalam hidup ini. Sementara jalan
menuju Tuhan amat lebar dan plural. “Banyak pintu (jalan) menuju Tuhan”, tegas
Cak Nur.13
Pluralisme bertolak dari keinginan mencari titik temu antara agama-
agama yang berbeda. Pluralisme memang tidak menyamakan semua agama.
Sebab, andaikata semua agama sama, maka pluralitas tidak ada. Namun, kaum
pluralis tidak sekadar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu,
mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun
„porsinya‟ tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan
walaupun „resepnya‟ berbeda-beda. Peter Byrne, sebagaimana yang dikutip oleh
Syamsuddin Arif, menegaskan, di dalam pluralisme bersemayam agnostisisme,
paham bahwa kebenaran hanya bisa didekati, tetapi mustahil ditemukan.
Pluralisme agama, jelasnya merupakan persenyawaan tiga proposisi. Pertama,
semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk
sebuah realitas tunggal yang transenden dan suci. Kedua, semuanya sama-sama
menawarkan jalan keselamatan. Ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya,
13
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h. 22.
38
setiap agama harus selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi.14
Konsep pluralisme
agama dikalangan umat Islam klasik pernah diistilahkan dengan Wahdat al-Adyan
oleh seorang sufi (mistikus) yang dikenal dengan sebutan al-Hallaj (858-922 M) ,
sebagaimana yang dikutip oleh Imron AM dari Fathimiah Usman, dalam
pengantar bukunya yang berjudul Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama.
Wahdat al-Adyan mengajarkan bahwa pada hakikatnya agama-agama bertujuan
sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Perbedaan yang ada hanya
dalam bentuk luar dan namanya saja. Jadi, agama apa pun dapat dipahami setara,
karena sumbernya satu yakni Tuhan. Wahdat al-Adyan menyalahkan orang yang
menyalahkan agama orang lain, sekaligus ia mengajarkan agar seseorang patuh
dan konsisten pada ajaran agamanya masing-masing. Oleh karena itu, konsep ini
sama sekali tidak mengarahkan pada upaya menyatukan agama-agama.15
Di
Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan inklusivisme. Oleh para
pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham keagamaan yang mengakui
dan menerima kebenaran agama lain. Namun, pada hakikatnya, inklusivisme
cukup berbahaya. Paham ini mengajarkan tidak boleh menganggap penganut
agama lain bakal penghuni neraka. Asal beriman dan berbuat baik apa pun
agamanya bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri kepada Tuhan dan tidak
lebih dari itu. Maka siapa pun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun
secara formal ia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim.16
Habib
Rizieq Syihab menyatakan bahwa pluralitas adalah suatu kebhinekaan, keragaman
14
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008),
h. 82. 15
Imron AM, Islam Liberal Mengikis Akidah Islam (Jakarta: INSIDA, 2004), h. 83. 16
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 83.
39
dan kemajemukan, sedangkan pluralisme adalah suatu pemaksaaan kehendak dan
pencampur-adukkan akidah. Pluralitas adalah suatu kebebasan, keindahan dan
keniscayaan, sedangkan pluralisme adalah suatu kejahatan, pengkhianatan dan
kesesatan.17
B. Konsep Liberalisme Agama
Ketika penulis mencari kata liberalisme secara etimologi dalam kamus,
maka yang penulis temukan adalah kata liberalism dalam bahasa Inggris dan kata
dalam bahasa Arab yang (al-liibiraliyah al-brotestantiyyah) الليبرالية البروتستانتية
artinya liberalisme agama protestan, mempunyai makna sebagai gerakan dalam
agama Protestan modern yang mengedepankan kebebasan mental dan konten
spiritual serta moral dalam agama Kristen.18
Sedangkan, agama secara etimologi
disebut religious dalam bahasa Inggris dan ديني (diiniy) dalam bahasa Arab.19
Jika
dirangkai antara kata liberalisme dengan agama, maka dapat dikatakan bahwa
liberalisme agama sebagai gerakan dalam agama yang mengedepankan kebebasan
mental dan konten spiritual serta moral dalam beragama. Sebagaimana penulis
telah jelaskan dalam penulisan terdahulu pada bab 2, bahwa memang paham
liberalisme ini pada dasarnya lahir dari sejarah agama Kristen di Barat. Secara
terminologi, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, term “liberal” diambil dari bahasa
Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang
itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah
sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir
17
Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam (Jakarta: Suara
Islam Press, 2013), h. 137. 18
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 525. 19
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
40
(The old Liberalism). Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal
berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.20
Selain tren liberalisme yang
menekankan pada hak-hak ekonomi, politik dan sosial, terdapat liberalisme dalam
bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam konteks
kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus
terang dan terbuka.21
Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling
menonjol adalah pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab
otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan di luar dan di
atas manusia yang mengikatnya secara moral. Memang pada mulanya yang
muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan
dari Tuhan. Namun, dari situlah lahir dan tumbuhnya liberalisme pemikiran
keagamaan yang disebut juga theological liberalism.22
Dalam liberalisme pemikiran keagamaan masalah yang pertama kali
dipersoalkan adalah konsep Tuhan (teologi), kemudian doktrin atau dogma
agama. Setelah itu, mempersoalkan dan kemudian memisahkan hubungan agama
dengan politik (sekularisme). Akhirnya, liberalisme pemikiran keagamaan
menjadi berarti sekularisme dan dipicu oleh gelombang pemikiran
postmodernisme23
yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan (equality) dan
20
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis”, Tsaqafah, V, no. I (Jumadal Ula, 1430), h. 3. 21
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 108. 22
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 109. 23
Postmodernisme atau pascamodernisme adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni,
arsitektur dan kritik, yang melanjutkan modernisme. Lihat
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme. Artikel diakses pada 17 Januari 2017.
41
relativisme.24
Liberalisme identik dengan “pembaharuan”. Klaim “pembaharuan”
kelompok liberal itu sejatinya tidak lebih dari justifikasi paham feminisme dan
kesetaraan gender, pluralisme, teori hermeneutika dan teori dekonstruksi ke dalam
studi Islam. Ini semua jelas merupakan bahan liberalisme dan postmodernisme.
Akhirnya, unsur konsep Islamnya kalah dominan dibanding unsur Baratnya.
Inilah yang menurut Foucault adalah penjajahan wacana. Jadi, ternyata
“pembaharuan” telah diartikan sebagai modifikasi dan aplikasi paham Barat asing
ke dalam pemikiran Islam. Jika demikian, maka pembaharuan adalah perubahan
terus menerus yang tidak ada jalan kembali seperti Barat. Pembaharuan menjadi
dekonstruksi kepercayaan masa lalu menjadi kontemporer. Penafian makna-
makna teks secara kontekstual dan sosial sehingga sesuai dengan tuntutan
masyarakat sekular dan liberal.25
Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar kebebasan wilayah
individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham
kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan
perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah
manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai
dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis
tentang manusia.26
Syaikh Sulaiman al-Khirasy menyebutkan, liberalisme adalah
mazhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Mazhab ini
24
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 112. 25
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 191. 26
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2011), h. 3.
42
memandang wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta berkeyakinan
bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat,
seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan
kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.27
Liberalisme
merupakan isu yang selalu diusung oleh kaum Sepilis di Indonesia. Konsep ini
sejatinya murni konsep Kristen-Barat yang mencoba melarikan diri dari
cengkraman otoritas Gereja yang sudah (menurut mereka) kelewatan. Gereja yang
pada Abad Pertengahan (Middle Age) begitu hegemonik dilawan oleh para
pemikir Kristen Liberal. Akhirnya, mereka mengadopsi konsep Bibel yang
menyatakan, “Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan
kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya.” Konsep inilah kemudian yang
melahirkan istilah “sekularisme” yang pada dasarnya sebagai perpanjangan dari
“liberalisme” itu sendiri. Liberalisme di sini identik dengan “liberalisme
pemikiran” (thought liberalism).28
Dalam urusan agama, liberalisme berarti
kebebasan menganut, meyakini dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan,
kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme
mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar ma‟ruf maupun
nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan
dengan semangat liberalisme. Menurut prinsip ini, asal tidak merugikan pihak
lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar
suka sama suka. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah
27
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, diakses pada 06 November
2016. 28
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.
198.
43
politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan
dengan sekularisme.29
Beberapa contoh dari fenomena liberalisme ini, yaitu pengecaman kitab-
kitab tafsir para ulama terdahulu dan pengajuan tafsir baru metode hermeneutika.
Mengutip dari Adian Husaini, salah satu tokohnya, yaitu Nasr Hamid yang
seorang hermeneut, mengecam keras metode tafsir kaum Ahlussunnah yang
didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi, Tabi‟in, dan Tabi‟it
Tabi‟in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nash Diraasah fii Uluum al-Quran:
bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama
kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan signifikansinya dengan masa keemasan,
kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Fenomena Nasr Hamid dengan
pemikiran yang “nyeleneh” dan banyak persamaannya dengan fenomena serupa
dalam tradisi Kristen itu begitu banyak digemari oleh kalangan sarjana Muslim.30
Selain itu fenomena buku “Pembaharuan Hukum Islam: Counter Legal Draft
(CLD) KHI” sebagai tandingan yang ditulis dan dirumuskan oleh Tim
Pengarusutamaan Gender Depag RI, yang mendapat dukungan dana dari Asia
Foundation, menurut Huzaemah Tahido Yanggo bertentangan dengan Alquran
dan Sunnah serta sumber-sumber hukum Islam lainnya yang mu‟tabarah dari hasil
ijtihad para ulama mujtahidin yang mumpuni dalam bidangnya dalam hal-hal
yang belum diatur dalam Alquran dan Sunnah. Menurut perumus KHI tandingan
bahwa CLD-KHI yang mereka rumuskan itu adalah sebagai pembaruan hukum
Islam. Padahal sesungguhnya yang mereka rumuskan itu, hanya sebagai bid‟ah
29
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 77. 30
Adian Husaini, Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II (Surabaya: Media
Wacana, 2005), h. 191.
44
yang menyesatkan, penyimpangan, perusakan dan perubahan dari hukum Islam
yang asli dan hanya sebagai pembaharuan liberal yang tidak mengikuti cara-cara
dan kaidah-kaidah yang dicanangkan dalam penetapan hukum Islam, untuk
memenangkan prinsip-prinsip yang datang dari dunia Barat dan dari luar Islam.
Tim perumus KHI tandingan terdiri dari orang-orang liberal yang berprinsip
bukan untuk ketaatan kepada Allah, tetapi hanya penghambaan terhadap
demokrasi dan nilai-nilai sekuler.31
Padahal sesungguhnya bila mereka mengkaji
secara mendalam ajaran Islam, khususnya masalah hukum Islam, akan ditemukan
justru hukum Islam itu sangat demokrasi dan memperhatikan masalah keadilan.
Alquran dan al-Hadits banyak mengajarkan masalah demokrasi dan keadilan,
tetapi manusia masih banyak belum memahaminya, bahkan ada yang belum
mengetahuinya. Akibat penghambaan terhadap demokrasi dan nilai-nilai sekuler,
maka tidak aneh jika mereka memandang masalah pernikahan, mahar, nafkah
perceraian, iddah, dan waris tidak perlu lagi membedakan laki-laki dan
perempuan, atau agama.32
Selanjutnya, pernyataan Sumanto Al Qurtuby yang
dikutip oleh Qosim Nursheha Dzulhadi, dalam bukunya Lobang Hitam Agama
juga menghujat Al-Quran dan melecehkan para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Dalam bukunya tersebut dia menulis bahwa “sesungguhnya hakikat al-Quran
bukanlah “teks verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan
gumpalan-gumpalan gagasan.” Kemudian, dia menambahkan, “Al-Quran bagi
saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian redaksinya oleh
Nabi. Oleh karena itu, menurutnya, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas
31
Huzaemah Tahido Yanggo, dkk, Membendung Liberalisme (Jakarta: Penerbit
Republika, 2004), h. 1. 32
Huzaemah Tahido Yanggo, dkk, Membendung Liberalisme, h. 2.
45
Mekkah dan Madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakekatnya adalah
“co-author” karena ikut “menciptakan” al-Quran.” Setelah itu, Sumanto
“berandai-andai bahwa “Seandainya Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya
yakin Pancasila ini bisa menyaingi al-Quran dalam hal “keangkerannya”
tentunya.”33
Selain itu ungkapan mereka yang menuduh orang yang kembali
merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Fahmi
Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul Watsaniyun Hum „Abadatun Nushush
(Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari‟at) menggambarkan
hal tersebut sebagai paganisme baru (Watsaniyah jadidah). Hal itu karena
Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung berhala semata. Karena
ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganisme zaman ini telah berubah
menjadi bentuk penyembahan simbol dan rumus pada penyembahan nash-nash
dan ritualisme.34
Fenomena semacam ini, membuktikan, bahwa sedang terjadi
proses liberalisasi yang sangat serius di dalam tubuh umat Islam, khususnya di
Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan cendekiawan dari kalangan kaum Muslim
sendiri kini siap membongkar-bongkar apa yang selama ini telah “selesai” dalam
konsep Islam.35
C. Konsep Sekularisme Agama
Berlanjut ke konsep Sekularisme Agama, secara etimologi sekularisme
berasal dari kata secularism dalam bahasa Inggris dan الدنيوية (al-daniyawiyah)
dalam bahasa Arab yang berarti keduniaan. Keduniaan bermakna sebagai
33
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 201. 34
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, diakses pada 06 November
2016. 35
Adian Husaini, Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II, h. 193.
46
ketidakpedulian terhadap agama atau pandangan agama.36
Sedangkan, agama atau
beragama dalam bahasa Inggris disebut religious dan dalam bahasa Arab disebut
.(diiniy) ديني 37
Jika kedua kata tersebut dirangkai, maka dapat dikatakan
sekularisme agama berarti paham keduniaan yang mengajarkan ketidakpedulian
terhadap agama dalam beragama. Al-Qaradawi lebih cenderung
kepada „ilmaniyyah, sedangkan al-Attas lebih kepada „almaniyyah. Perbedaan
penggunaan terjemahan ini sekaligus menunjukkan bahwa istilah sekularisme
yang coba diterjemahkan kedalam bahasa Arab memang tidak mempunyai akar
yang kokoh dalam pandangan hidup Islam. Perlu disebutkan juga bahwa kedua
ilmuwan ini menolak secara tegas terjemahan-terjemahan di atas. Al-Qaradawi
misalnya, menyatakan bahwa menerjemahkan sekularisme
sebagai „ilmaniyyah tidak saja “satu terjemahan yang tidak teliti (ghayru
daqiqah)”, tetapi juga “satu terjemahan yang tidak betul (ghayru sahihah),”
karena perkataan sekularisme itu tidak mempunyai kaitan langsung dengan lafaz
al-„ilm (ilmu) dan akar katanya.” Beliau menambahkan lagi bahwa “terjemahan
perkataan asing dengan lafaz „ilmaniyyah ini disebabkan oleh orang-orang yang
menerjemahkannya tidak memahami perkataan al-din dan al-„ilm melainkan
hanya dengan ide Barat Kristian, yang memang bagi orang Barat (al-insan al-
gharbi) agama dan ilmu mereka itu adalah saling bertentangan.” Al-Qaradawi
selanjutnya menyimpulkan bahwa menerjemahkan sekularisme
dengan „ilmaniyyah dan mengaitkannya dengan ilmu adalah suatu usaha untuk
menjadikannya satu makna dengan istilah „ilmiyyah. Karenanya, menurut al-
36
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 827. 37
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
47
Qaradawi, adalah “penipuan yang (patut) diungkap”. Paham sekular, menurut al-
Attas, merujuk kepada makna dan faham ” kedisinikinian”. Oleh karena itu, jika
perkataan sekularisme itu ingin diterjemahkan juga kedalam bahasa Arab, maka
terjemahan harfiah yang paling tepat adalah perkataan hunalaniyyah berasal dari
dua kata Arab, huna yang bermaksud di sini dan al-an yang bermaksud kini. Jadi
al-hunalaniyyah adalah paham “kedisinikinian” yang tercermin dalam istilah
secularism. al-Attas menyimpulkan bahwa terjemahan sekularisme ke dalam
bahasa Arab sebagai „almaniyyah sebenarnya tidak menjelaskan pengertian ide itu
sendiri yang secara konseptualnya lebih mendekati ide waqi‟iyyah yang
mempunyai kaitan dengan aliran positivisme. Sedangkan menurut al-Qaradawi,
yang sejak awal memfokuskan pertentangan antara al-„ilm (ilmu) dan al-din
(agama) dalam konsepsi pemikiran dan pengalaman orang Barat, pengertian
sekularisme itu sinonim dengan konsep alladiniyyah (tidak ada agama) atau al-
dunyawiyyah (dunia tiada hubungan dengan agama). Beliau yang tidak juga
menguraikan asal-usul perkataan sekularisme secara terperinci, selanjutnya
menerjemahkan konsep sekularisme sebagai berikut: “Terjemahan yang betul
untuk perkataan sekularisme ,yaitu alladiniyyah atau al-dunyawiyyah. Hal ini
bukan bermakna menomorduakan sesuatu yang bersifat ukhrawi semata-mata,
tetapi sekularisme mempunyai makna yang lebih khusus, yaitu makna yang tidak
mempunyai hubungan dengan agama (al-din), ataupun kalau ada hubungannya
dengan agama, maka hubungan itu adalah hubungan pertentangan.”38
38
http://inpasonline.com/new/istilah-sekularisme-menurut-al-attas-dan-al-qardhawy/,
artikel diakses pada 18 Januari 2017.
48
Secara terminologi, menurut Arif Rahman Hakim, sekularisme sering
didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama
(state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi
tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang
berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan
manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti
hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama
dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan.
Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri.39
Sekularisme
biasanya disamakan dengan sekularisasi walaupun sebenarnya keduanya sangat
berbeda, karena keduanya menawarkan jawaban yang berbeda. Sekularisasi
muncul sebagai dampak dari proses modernisasi yang terjadi pada masa
pencerahan. Ini terjadi di dunia Barat ketika nalar Agama (The Age of Religion)
digantikan oleh nalar akal (The Age Reason). Sedangkan sekularisme adalah
pemusatan pikiran pada dunia materi lebih banyak daripada dunia spiritual.
Masyarakat sekular hanya memikirkan kehidupan dunia dan benda-benda
materi.40
Muhammad Tahir Azhary, dalam disertasinya di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang Berjudul Negara Hukum sebagaimana mengutip dari
Syukri Ismail, mendefinisikan Sekularisme sebagai “paham yang ingin
memisahkan atau menetralisir semua bidang kehidupan, seperti politik dan
kenegaraan, ekonomi, hukum, sosial budaya dan ilmu pengetahuan teknologi dari
39
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel
diakses pada 18 Januari 2017. 40
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”
Kontekstualita, XXIX, 1 (2014), h. 103.
49
pengaruh Agama atau hal-hal yang ghaib. Sedangkan sekularisasi, menurutnya
adalah usaha atau proses yang menuju kepada keadaan sekuler atau proses
netralisasi dari setiap pengaruh Agama dan hal-hal yang ghaib.41
Sekularisme
adalah suatu paham yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan akhirat
dalam semua aspek kehidupan, baik dari sisi agama, ekonomi, pendidikan, politik,
sosial dan lain sebagainya. Selain itu, sekularisme juga memperjuangkan hak
untuk bebas dari berbagai aturan-aturan dari ajaran agama, di samping juga
memberikan sifat toleransi yang tidak terbatas, termasuk juga antar agama.
Dengan kata lain, sekularisme merujuk kepada kepercayaan bahwa semua
kegiatan dan keputusan yang keseluruhannya berada dan dibuat oleh manusia,
tidak boleh ada peran dan campur tangan agama di dalamnya.42
Yang penting
diperhatikan dan dipikirkan menurut paham ini ialah masalah-masalah dunia yang
dihadapi dan dirasakan sekarang ini termasuk kebebasan berpikir dan berdiskusi
dengan membebaskan diri dari ikatan-ikatan keagamaan.43
Mengutip dari Budhy
Munawar Rachman, Ulil Abshar Abdalla pernah mengatakan, bahwa
“Sekularisme adalah satu sistem di mana secara kelembagaan dimungkinkan
terjadi diferensiasi atau pembedaan-pembedaan di segala bidang. Jadi, kalau
wilayah agama adalah wilayah ritual dan makna hidup, maka agama seharusnya di
wilayah itu saja. Dia tidak bisa ikut campur dalam segala hal. Tentu saja yang
saya maksud adalah sekularisme liberal, bukan sekularisme seperti yang terjadi di
41
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”, h.
104. 42
Jamaluddin, “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya Dalam Dunia Pendidikan”
Mudarrisuna, III, 2 (Juli-Desember, 2013), h. 312. 43
Hamzah Ya‟qub, Pemurnian Aqidah dan Syari‟ah Islam, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1988), h. 27.
50
Uni Soviet dulu. Sebab, inti sekularisme liberal adalah demokrasi, dan inti dari
demokrasi adalah tidak dimungkinkannya totalitarianisme atau dominasi satu
bidang ke semua bidang yang lain.” Lebih jauh Ulil mengatakan, “Sebagai
seorang Muslim liberal, jika boleh menyebut begitu, saya tidak pernah menentang
hukum-hukum yang terkait dengan „ubudiyah‟ dan itu adalah masalah yang sudah
selesai. Maka, saya menganggap bahwa aspek-aspek ritual dalam agama sangat
penting dalam rangka membangun makna hidup individu. Tetapi agama tidak bisa
mencampuri urusan yang lain. Misalnya, peraturan Pilkada, masalah pengelolaan
hutan, masalah lalu lintas dan sebagainya. Menurut saya, wilayah duniawi jauh
lebih banyak ketimbang wilayah agama.”44
Beberapa contoh fenomena dari sekularisme ini, mengutip dari Qosim
Nursheha Dzulhadi, diantaranya pernyataan Ahmad Idris al-Ta‟an al-Haj bahwa
wacana sekularisme mengulang-ulangi seruan untuk mengkritisi Al-Quran agar
dianalisis dan didekonstruksi. Karena selama ini, mengkritik Al-Quran merupakan
bagian dari “ranah diharamkan” dalam pemikiran Islam. Padahal kritik ini sangat
penting dan harus dilakukan. Manfaatnya adalah: agar manusia memelihara
integritas dan metodologis dan nalarnya. Sebab Eropa sudah maju karena mereka
“menundukkan” teks suci mereka untuk dikritik.45
Selanjutnya pernyataan Robert
Morey dalam bukunya yang berjudul “The Islamic Invasion”, mengutip dari Irena
Handono, dia mengatakan bahwa “Agama Islam adalah bentuk dari imperialisme
budaya dimana agama dan budaya Arab abad ke-7 ditingkatkan statusnya
44
Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), 2010), h. 251. 45
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 210.
51
menjadi hukum ilahi.”46
Kemudian dilanjutkan dengan, “Muhammad mengadopsi
budaya Arab yang dikenal disekitarnya, beserta kebiasaan-kebiasaan sakral dan
duniawinya, dan menjadikannya agama Islam.”47
Selain itu pernyataan Nasr
Hamid Abu Zayd yang telah dikutip oleh Michael Cook, dalam bukunya, The
Koran: A Very Short Introduction tentang Al-Quran sebagai produk budaya: “Jika
teks (Al-Quran) merupakan pesan yang dikirim untuk bangsa Arab pada abad
ketujuh, maka teks itu perlu diformulasikan dengan cara yang tentu saja harus
sesuai dengan aspek-aspek bahasa dan budaya yang khas Arab pada masa itu.
Maka Al-Quran terbentuk dengan latar belakang manusia. Jadi, ia merupakan
sebuah produk budaya,” sebuah istilah yang digunakan Abu Zayd beberapa kali,
dan digarisbawahi oleh Mahkamah Kasasi ketika memvonisnya sebagai orang
kafir.48
D. Kebebasan Berpikir Menurut Hukum Islam dan HAM
Islam telah menjamin kebebasan berpikir. Hal itu sangat jelas terlihat saat
Islam menyeru agar menggunakan pikiran dalam menjelajahi penciptaan alam
semesta, langit dan bumi. Hal itu merupakan anjuran yang banyak disebut-sebut49
,
sebagaimana firman Allah Ta‟ala,
ا قل 50 ن وف ردى ثم ت ت فكمروا قوموا للمه مثأن ت أعظكم بوحدة إنمArtinya : “Katakanlah. “Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu
suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
berdua-dua atau sendiri-sendiri ; kemudian kamu pikirkan.”
46 Irena Handono, et al., Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion (Kudus:
Bima Rodheta, 2004), h. 137. 47
Irena Handono, et al., Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion, h. 140. 48
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 212. 49
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (Jakarta: Al-Kautsar,
2011), h. 103. 50
سبأ /34: 46
52
Juga dalam firman-Nya,
با معون يس ءاذان أو بآ قلون يع ق لوب ض ف تكون لم أر يسريوا ف ٱل أف لمر ولكن تع أب ٱل مى تع ل فإن مها 51ق لوب ٱلمت ف ٱلصدور مى ٱل ص
Artinya : “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah
hati yang di dalam dada.”
Berpikir dalam kacamata Islam merupakan kewajiban yang tidak boleh
dihilangkan dalam kondisi bagaimanapun juga. Islam telah membuka pintu
seluas-luasnya untuk selalu berpikir tentang urusan agama. Demikian itu untuk
membahas kebenaran syariat pada tiap-tiap yang didapatinya dari problematika
hidup. Inilah yang oleh para ulama disebut dengan ijtihad. Caranya, berpegang
atas dasar berpikir dalam mengambil hukum (istinbath) syariat. Merupakan salah
satu asas fundamental Islam yang memberikan kebebasan berpikir dalam Islam
berpengaruh besar dalam metode pembelajaran fikih bagi kaum Muslimin,
memperbaharui analisa syariat bagi permasalahan yang tidak memungkinkan
pandangan di masa awal permulaan Islam.52
Abul A‟la Mawdudi menyatakan,
bahwa Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat
kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa hak itu digunakan untuk
menyebarkan kebaikan dan bukan untuk menyebarkan keburukan. Konsep Islam
tentang kebebasan mengeluarkan pendapat jauh lebih tinggi daripada hak yang
diakui Barat. Hak untuk kebebasan mengeluarkan pendapat guna menyebarkan
kebaikan dan kebajikan bukan hanya semata-mata hak, tetapi suatu kewajiban.
51
احلج /22: 46 52
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, h. 104.
53
Siapa pun yang berusaha menyangkal hak ini terhadap rakyatnya secara terang-
terangan menentang Tuhan Yang Maha Kuasa.53
Akal adalah kunci untuk
memahami agama, ajaran dan hukum Islam. Kita tidak akan dapat memahami
Islam tanpa mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad menyatakan
dengan jelas bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal. Jika ungkapan ini dihubungkan dengan hukum, berarti bahwa hukum dan
hukuman itu berkaitan dengan akal, tidak ada hukum atau hukuman bagi orang
yang tidak berakal atau gila. Akal, karena itu, mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam sistem agama Islam, karena akal adalah wadah yang menampung aqidah,
syariah dan akhlak.54
Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad yang menjadi sumber hukum Islam yang ketiga ini, dalam kepustakaan
disebut arra‟yu atau ijtihad.55
Ijtihad dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih ialah
mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum syar‟i dari dalil tafshili
yang termasuk dalil syar‟i.56
Ijtihad pada prinsipnya sama, yaitu usaha ahli fikih
menggunakan pengetahuannya secara sungguh-sungguh untuk menemukan
hukum syariat yang amaliah (hukum fikih) dari sumber (dalil) nya. Sedangkan
hukum yang ditetapkan dengan ijtihad itu sifatnya zhanni (bukan satu-satunya
kebenaran, masih mengandung kemungkinan lain).57
Ijtihad adalah suatu kegiatan
yang membutuhkan banyak energi dan keseriusan. Dengan demikian, tidak setiap
53
Abul A‟la Mawdudi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 30. 54
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 112. 55
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 115. 56
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 338. 57
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 127.
54
orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang-orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang luas saja yang dapat melakukannya.58
Orang-orang yang berhak
berijtihad adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1)
menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami Alquran dan kitab-kitab hadis
yang tertulis dalam bahasa Arab, (2) mengetahui isi dan sistem hukum Alquran
serta ilmu-ilmu untuk memahami Alquran, (3) mengetahui hadis-hadis hukum dan
ilmu-ilmu hadis yang berkenaan dengan pembentukan hukum, (4) menguasai
sumber-sumber hukum Islam dan cara-cara (metode) menarik garis-garis hukum
dari sumber-sumber hukum Islam, (5) mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah
fiqih (qawa‟id al-fiqhiyyah), (6) mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hukum
Islam, (7) jujur, dan ikhlas. Syarat-syarat ini diperlukan untuk seorang mujtahid
mutlak di masa lampau, namun kini untuk melakukan ijtihad yang peringkatnya
lebih rendah dari mujtahid mutlak, syarat-syarat yang berat di atas, dapat
diringankan. Untuk melakukan ijtihad pada waktu ini, seorang mujtahid
seyogianya juga (8) menguasai ilmu-ilmu sosial (antropologi, sosiologi) dan ilmu-
ilmu yang relevan dengan masalah yang diijtihadi, (9) serta dilakukan secara
kolektif (jama‟i) bersama para ahli (disiplin ilmu) lain.59
Para ulama ushul sepakat bahwa ruang lingkup ijtihad hanya pada ayat-
ayat yang bersifat zhanniyyat, karena sebagian dari materi-materi hukum dalam al
Quran dan sunnah sudah berbentuk diktum yang otentik, tidak mengandung
pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik dalam sunnah. Di samping
58
Jaenal Aripin, dkk, Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 35. 59
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 118.
55
itu ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta
diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak, berdasarkan ijma‟ Dengan
demikian, dalam bidang hukum-hukum yang telah ada, nash qath‟iy tsubut
maupun dalalah-nya, baik dari kitabullah maupun dari sunnah, tidak dapat
diijtihadi lagi. Sekelompok peraturan hukum Islam, seperti kewajiban salat, zakat,
puasa, dan haji, berbakti kepada orang tua, mengasihi orang miskin serta
menyantuni anak yatim dan juga larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa hak
dan masih banyak yang lainnya adalah kategori hukum Islam yang sudah
diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak serta tidak memerlukan
interpretasi lain lagi. Seperti telah ditetapkan dalam kaedah yang berbunyi:
وردالنمص م لمساغ لإل جتهاد ف
Artinya: “Tidak diperkenankan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya”60
Ketika kita mendapatkan bahwa Islam menetapkan ijtihad dalam agama
serta mendorongnya dan Rasulullah juga menyerukan ijtihad dan
mengaktualisasikannya sebagai pelajaran dan teladan, ini bukan berarti kita bebas
mutlak untuk melakukannya sekehendak hati, dan tidak berarti setiap mujtahid
bebas mengatakan apa saja sesuai dengan kehendak diri dan pikirannya. Tetapi
ijtihad adalah ilmu dan tradisi yang memerlukan pembuktian dan penalaran.
60
Nash yang dimaksud di sini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadis Nabi sebagai
sumber hukum. Dalam ilmu hukum bisa diartikan, “apabila teks hukum sudah jelas, maka tidak
perlu ada penafsiran-penafsiran.” Arti lain kaidah ini adalah pada nash-nash yang sudah jelas
dalam arti sudah qath‟i wurud dan dalalah-nya disepakati. Lihat A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 98.
56
Ijtihad adalah amanat, dan merupakan amanat yang paling tinggi derajatnya.61
Apakah rasional dan logis jika agama dalam hal-hal yang pokok (ushul), cabang
(furu‟), dan kaidah-kaidahnya menjadi bidang yang dapat ditafsirkan sekehendak
dan semaunya, dengan alasan kebebasan berpikir dan tidak adanya monopoli
kebenaran?62
Pada hakikatnya tafsir, interpretasi (ta‟wil) dan ijtihad dalam agama
lebih membutuhkan syarat-syarat, kecakapan dan keahlian tertentu daripada
bidang keilmuan lainnya, termasuk sikap teliti dan berhati-hati. Saat ini sering kita
dapatkan beberapa orang nekat yang mengkritisi agama dan mengemukakan
pandangan dan ide-ide kontroversial, memotong dan memilah-milah persoalan
yang kemudian ditakwilkan dan diinterpretasikan sekehendak hatinya mengikuti
alur kanan ataupun kiri. Menganggap dirinya pemikir bebas, mujtahid pembaharu
dan pelopor pembaharuan, padahal ia tidak memiliki keahlian sama sekali tentang
substansi persoalan, tidak banyak pengetahuan yang diketahuinya kecuali
sebagian kecil yang bersifat parsial dan mengemukakan pandangan yang tidak
valid legalitasnya.63
Menurut HAM (Hak Asasi Manusia), kebebasan berpikir dan kebebasan
berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of
expression), yaitu kebebasan manusia untuk mengekspresikan diri dalam
kehidupan masyarakat sebagai pengejawantahan kemampuan nalar dan
kemampuan rasa manusia. Aspek lain yang terkait dalam lingkup kebebasan
61
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), h. 4. 62
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial, h. 6. 63
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial, h. 7.
57
berekspresi adalah kebebasan berkesenian dalam segala bentuk dan
manifestasinya. Kebebasan berpendapat pada dasarnya adalah kebebasan manusia
untuk mengungkapkan pikiran dan pendapatnya mengenai masalah-masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan.64
Kemerdekaan berpikir dan menyampaikan
pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh pasal 28E
UUD 1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.” Pasal 19 deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang
berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak
mendapat gangguan untuk mencari, menerima dan menyampaikan pendapat
dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas serta
merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.” Agar dalam membangun demokrasi yang berkeadilan
sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman,
tertib dan damai serta dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.65
Sementara itu, menurut
uraian TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
14 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran
dan sikap sesuai hati nurani.”66
Kemudian, di dalam UU Hak Asasi Manusia
Nomor 39 tahun 1999, Pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa: “Setiap orang bebas
untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
64
Arif Wijaya, “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam” Al-Daulah,
III, no. 2 (Oktober 2013), h. 242. 65
Arif Wijaya, “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam”, h. 243. 66
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010), h. 158.
58
nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum dan keutuhan bangsa.”67
Kemajuan teknologi dan informasi di abad iptek
saat ini memunculkan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Salah
satunya adalah kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Misalnya, saat
era Soeharto kebebasan berpikir dan berpendapat sangat dibatasi. Kebebasan
berpikir dan mengemukakan pendapat pada era tersebut hanya untuk kepentingan
pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Sehingga masyarakat Indonesia belum
memiliki kebebasan dalam berpikir dan mengemukakan pendapat. Setelah rezim
orde baru berganti dengan era reformasi, kebebasan berpikir dan mengemukakan
pendapat mulai mudah disampaikan oleh setiap orang karena sudah memiliki
landasan hukum. Namun, seringkali kebebasan berpikir dan menyampaikan
pendapat tersebut tidak mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma kesusilaan,
hukum negara dan adat istiadat yang berlaku. Hak kebebasan yang dipergunakan
tanpa batas itulah yang akan menimbulkan keresahan masyarakat dan kekacauan
negara (anarki).68
E. Historisitas Kebebasan Berpikir dalam Islam dan HAM
Dalam lintasan sejarah, ijtihad telah tumbuh dan dipraktikkan sejak
masa-masa awal Islam, kemudian berkembang pada masa sahabat dan tabi‟in serta
generasi-generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami
67
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, h. 9. 68
http://jokerbalad.blogspot.co.id/2015/03/memanfaatkan-kebebasan-berfikir-
dan.html?m=1, diakses pada 12 November 2016.
59
pasang surut dengan ciri khasnya masing-masing. Bahwa ijtihad telah ada sejak
zaman rasul69
, antara lain dapat dilacak dari riwayat berikut:
ث نا عبداللمه وة المقرئ بن يزيد حدم ث نا حي ثن يزيد المك ي حدم عن بن عبداللمه بن الاد بن شريح حدمعن عمروبن مممد بن إب راهيم بن احلارث عن بسر بن سعيد عن أب ق يس مول عمرو بن العاص
إذا حكم احلاكم فاجت هد ثم أصاب ف له ص أنمه سع رسول اللمه صلمى اللمه عليه وسلمم ي قول العاثت بذاحل و بن حزم ديث أبابكر بن عمر أجران وإذا حكم فاجت هد ثم أخطأ ف له أجر قال فحدم
ثن أبو سلمة بن عبدالرمحن عن أب هري رة وقال عبدالعزيز بن المطم عن عبداللمه لب ف قال هكذا حدم 70ه بن أب بكر عن أب سلمة عن النمب صلم اللمه عليه وسلمم مث ل
Artinya; “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid almuqri‟ almakki
telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah
menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Al Had dari
Muhammad bin Ibrahim bin Alharits dari Busr bin Sa‟id dari Abu
Qais mantan budak Amru bin „Ash, dari „Amru bin „ash ia mendengar
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang
hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad, lantas
ijtihadnya salah (meleset), baginya satu pahala.” Kata „Amru, „Maka
aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm, dan ia
berkata, „Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman mengabarkan
kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul „Aziz bin Al Muththalib dari
Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari Nabi shallallahu
„alaihi wasallam semisalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Mu‟az bin Jabal, Nabi Muhammad senang sekali mendengar
jawaban Mu‟az yang menyatakan bahwa ia akan berijtihad dengan ra‟yunya, bila
tidak terdapat pemecahan suatu masalah dalam Alquran dan As-Sunnah. Umar bin
Khattab, mempergunakan ra‟yunya untuk berijtihad, bahkan mengenai
pelaksanaan hukum yang petunjuknya telah terdapat di dalam Alquran dan
Sunnah Nabi Muhammad, antara lain dalam kasus pelaksanaan ancaman hukuman
69
Jaenal Aripin,dkk, Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, h. 40. 70
Imam Bukhari dan Muslim, Shahih Bukhari Muslim, Penyunting Imron Hakim
(Jakarta: Quantum Ikhlas, 2016), h. 3213.
60
bagi seorang yang mencuri dalam keadaan paceklik dan ikrar talak tiga yang
diucapkan sekaligus menyebabkan jatuhnya talak tiga.71
Pada peradaban gemilang
Islam ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh filsuf, seperti al-Farabi, al-Biruni,
Jabir bin Hayyan, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Ibnu Khaldun, hingga al-Ghazali.
Mereka adalah pintu gerbang kebebasan yang dibuka lebar-lebar pada masa Bani
Umayyah. Tepatnya oleh Khalid bin Yazid di Syiria dan puncaknya pada Bani
Abbasiyah; tepatnya masa khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya, al-Makmun.
Keduanya membuka ruang kebebasan dan apresiasi tinggi terhadap tradisi
penerjemahan karya-karya klasik Yunani. Kendati demikian, sejarah Islam
diwarnai pengalaman pahit getirnya penyegelan ruang kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat.72
Dalam sejarah Islam, sejumlah tokoh yang dianggap
menyimpang dari Islam tetap diberikan kebebasan untuk hidup, melakukan
penelitian, dan mengembangkan pemikiran mereka. Mereka antara lain adalah Ibn
al-Rawandi (w.910), yang mengajarkan pemikiran naturalisme yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Abu Bakr al-Razy (w.sekitar 925), yang dikenal dalam
sumber-sumber latin sebagai Rhazes, menolak konsep wahyu dan kenabian.
Meskipun begitu, tidak ada bukti bahwa mereka pernah disiksa oleh penguasa.73
Dalam bidang fiqih, penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum
(istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas, dan lainnya telah
lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqih menelurkan metode istinbath dengan
71
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 115. 72
Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam & Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan
Nurcholis Madjid (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 180. 73
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda
Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN
Syarif Hidayatullah, 2007), h. 35.
61
menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796
M), Syafi‟i (767-820 M), dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum
kedatangan filsafat Yunani.74
Dalam “Universal Declaration of Human Rights” yang pada tanggal 10
Desember 1948 diterima oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (48
negara memberi suara “pro”, tidak satu negara pun “kontra” dan 8 negara
“abstain”) diproklamasikan beberapa kebebasan yang dapat digolongkan sebagai
hak asasi manusia, salah satunya kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama
(art. 18).75
Mengutip dari tulisan Nirwan Dewanto, kebebasan berekspresi dan
mengemukakan pendapat merupakan salah satu kebebasan dasar yang dijamin
dalam Piagam Hak-hak Asasi manusia tahun 1948. UUD 1945 pun menjamin
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dan setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Tapi, meski sudah
dijamin dalam sebuah negara, biasanya kebebasan berekspresi itu turun-naik.76
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yang menjadi salah satu
dokumen fundamental dari Revolusi Perancis, menetapkan sekumpulan hak-hak
individu dan hak-hak kolektif manusia. Diadopsi pada 26 Agustus 1789 oleh
Majelis Konstituen Nasional, sebagai langkah awal untuk penulisan sebuah
konstitusi. Menetapkan hak-hak fundamental tidak hanya bagi warga negara
Perancis tetapi memperuntukkan hak-hak ini untuk seluruh manusia tanpa
74
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013), h. 28. 75
Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 57. 76
Hamid Basyaib, Membela Kebebasan Percakapan tentang Demokrasi Liberal (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2006), H. 263.
62
terkecuali. Dari kelima belas isi deklarasi Perancis, salah satunya menyatakan
manusia merdeka mengeluarkan pikiran.77
77
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Hak_Asasi_Manusia_dan_Warga_Negara,
diakses pada 15 November 2016.
63
BAB IV
ANALISA FATWA MUI NO. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 TENTANG
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA
A. Latar Belakang Lahirnya Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
Sebelum penulis menjelaskan latar belakang lahirnya Fatwa MUI No.
7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama, perlu baiknya mengetahui isi ketentuan umum dan ketentuan hukum dari
fatwa MUI tersebut.
a. Ketentuan Umum
MUI memberikan beberapa penjelasan definisi tentang paham Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, diantaranya:
1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama
juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah
tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
64
3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur‟an dan
Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya
menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai akal pikiran semata.1
4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama
hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan,
sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan
kesepakatan sosial.
b. Ketentuan Hukum
1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada
bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif,
dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan
aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain
(pluralitas agama, dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah
dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan
pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling
merugikan.2
1 Ketentuan Umum Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 96. 2 Ketentuan Hukum Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 97.
65
Lahirnya Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) No. 7/MUNAS
VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
dilatarbelakangi oleh berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama beserta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat.
Berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama ini di
kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan pada umat Islam.3 MUI
menjelaskan “perang non-fisik” atau yang disebut ghazwul fikr (perang
pemikiran) tengah dihadapkan kepada umat Islam Indonesia. Perang pemikiran ini
berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat. Paham
yang dimaksud MUI adalah paham sekularisme dan liberalisme agama yang
datang dari Barat, dua pemikiran yang telah berkembang di kalangan kelompok
tertentu di Indonesia. Kelompok tertentu yang dimaksud MUI disini ialah aktifis
Islam Liberal. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi
ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran
agama Islam.4
MUI mengemukakan bahwa paham Sekularisme dan Liberalisme Agama
telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga menyebabkan
timbulnya keraguan umat terhadap akidah dan syari‟at Islam. Contohnya,
pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran terhadap hukum
Allah (syari‟at) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran
3 Konsideran Menimbang Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 92. 4 Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
66
akal semata. Agama ditafsirkan secara bebas dan tanpa kaidah penuntun sehingga
melahirkan paham Ibahiyah, yaitu menghalalkan segala tindakan terhadap etika
dan agama serta dampak lainnya. Berdasarkan kenyataan yang terjadi, MUI
bertindak tegas terhadap perkembangan pemikiran sekuler dan liberal di
Indonesia.5
Berkembangnya paham sekularisme dan liberalisme agama juga diiringi
dengan berkembangnya paham pluralisme agama. MUI menjelaskan bahwa
pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama. Dalam
pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Karena menganggap
semua agama diartikan sama, maka timbullah relativisme agama yang berdampak
dapat mendangkalkan keyakinan akidah. MUI memaparkan hasil dialog antar
umat beragama di Indonesia yang digagas oleh Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, pada
tahun 1970-an. Hasilnya, paham pluralisme dengan pengertian setuju untuk
berbeda (agree in disagreement) serta mengakui adanya klaim kebenaran masing-
masing agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme, yaitu paham yang
mengajarkan penyampuradukan ajaran agama, bahwa semua agama dianggap
sama benar dan baik serta hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan
boleh berganti-ganti. Kemudian, paham pluralisme agama ini telah disebarkan
secara aktif ke tengah umat dan telah dipahami oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud para penganjurnya tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama
dan tokoh umat. Paham ini juga telah menyelinap jauh ke pusat-pusat/ lembaga
pendidikan umat. Penyebab Majelis Ulama Indonesia pada Munas VII
5 Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
67
mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
adalah untuk merespons usul para ulama dari berbagai daerah serta sebagai
tuntunan dan bimbingan kepada umat Islam agar tidak mengikuti paham-paham
tersebut.6
Definisi yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwa mengenai
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama adalah bersifat empirik, bukan
definisi yang bersifat akademis. Dikatakan bersifat empirik sebab definisi
pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam fatwa tersebut adalah
paham (isme) yang hidup dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana telah
diuraikan di atas. Oleh sebab itu, definisi mengenai pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ulama peserta
Munas VII MUI bukanlah definisi yang mengada-ada atau dibuat-buat, tetapi
sebagai tanggapan apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para pluralisme,
liberalisme dan sekularisme agama. MUI juga menjelaskan bahwa para penganjur
pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama telah bertindak melampaui batas
dengan menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-Qur‟an sebagai kitab suci umat
Islam yang dijamin keotentikannya oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala sudah tidak
relevan lagi, dalam hal ini MUI mengutip harian Kompas edisi 18 November
2002, bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam
dan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi. MUI juga mengutip pendapat
para aktivis pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam Website JIL
yang mengganggap bahwa al-Qur‟an itu bukanlah firman Allah tetapi hanya
6 Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 99.
68
merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks lainnya, bahkan dianggap sebagai
angan-angan teologis atau disebut al-khayal al-dini. Misalnya, seperti yang
dikemukakan dalam website mereka yang berbunyi: “Sebagian besar kaum
muslimin meyakini bahwa al-Qur‟an dari halaman pertama hingga terakhir
merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma‟nan). Keyakinan
semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis
(al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi
doktrin-doktrin Islam.” Tidak hanya itu saja, masih banyak lagi pernyataan-
pernyataan “aneh” yang mereka kemukakan.7
MUI menegaskan bahwa pluralitas agama berarti kemajemukan agama,
sehingga dibedakan antara pluralisme agama dengan pluralitas agama. Suatu
kenyataan bahwa banyaknya agama-agama di Indonesia itu mengharuskan semua
warga negara, termasuk umat Islam Indonesia untuk menerimanya sebagai suatu
keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup berdampingan secara
damai. Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunnatullah) yang tidak
mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari. MUI telah
mengeluarkan fatwa tentang pluralisme agama dengan maksud untuk membantah
berkembangnya paham relativisme agama, yaitu bahwa kebenaran suatu agama
bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-
masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya masing-masing (truth-
7 Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 99.
69
claim) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain
dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluk agama.8
B. Landasan Hukum Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
Penulis akan mencantumkan beberapa landasan hukum yang dipakai oleh
MUI dalam memutuskan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama, diantaranya:
1. Al-Qur‟an
9اررينل اخرةمنا آلفوىوه منبل يقف لن ادين مل سل ار تغغي يبومن
Artinya : ”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat
termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. ali-„Imron: 85)
ينعن اإن المللوادلد 10...ا لر
Artinya : ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”.
(QS. ali-„Imron: 19)
11نولدي دينكم لكم
Artinya : ”Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun:
06)
لمؤوما أن أملوورروللواقضىإذامنة مؤولن م كان ٱلر ا لم منخي رة يكون رىم أم م ضلضل د للووررولوف قاي ع صومن 12بين اال
Artinya : ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
8 Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 100. 9 آلعمران /03: 85
10 آلعمران /03: 19
11 الكافرون /109: 06
12 األحزاب /33: 36
70
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.
(QS. al-Ahzab: 36).
اى ينل عن ٱللو تلوكماي ق للذيناكم واف ين دي يخ للد من أن كماررجوكمإل رطو وتق ت ب ر وىم ىم ا ٱل يب ٱللو ين،رطي مق إن ا عن إن ٱللو ىى كم
ت لوكماقلذينا وأخاف ين من لد على اوظ ركماديرجوكم أن راجكم إخ ىروا ىم ت ولو 13المونلظائكىم ل فأو ومني ت ولم
Artinya : ”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah: 8-9).
فيما وٱب ٱل تغ ار ٱلد ٱللو ٱلد ن خرة أ ءاتى ك من نصيبك تنس رن وأح يا ولإل أح كما ٱللو تب ك رن ٱل ول ٱل غ ف ض أر فساد يب ل ٱللو إن
14ردين مف ٱل
Artinya : ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-
Qashash: 77).
وإن وضيضل وكعنربيلٱلل أر ث رمنفٱل أك وإنتطع ٱلظن ىم إني تبعونإليخ 15رصون إل
Artinya : ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An‟am: 116).
13
املمتحنة /60: 9-8 14
القصص /28: 77 15
ألنعاما /06: 116
71
ٱلو ٱت بع أه لو وٱل ءىم وا حق ت و م أت بل ضومنفيهن أر لفسدتٱلسم ن 16رضون رىمم ع عنذك ف هم رىم بذك
Artinya : ”Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya
Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi
mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. al-Mu‟minun: 71).
2. Hadis Nabi Muhammad SAW
a. Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan
sabda Rasulullah SAW :
صلىاللوعلي وورلم عنالنب رضياللوعن و أبىري رة لعن بيده أنوقال:والذين ف سممد ولنص را ىذها ألمةي هودي معبأحدمن كن،يس بالذيأر رل تبو،إل انثيوتول ي ؤ من
أص حابالنار. 17من
Artinya : ”Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. Bersabda, “Demi
Allah yang menguasai diri Muhammad, tidaklah ada seorang Yahudi
dan Nasrani dari umat ini yang mendengar ajaranku. Kemudian ia
mati tanpa mengimani ajaran yang disampaikan kepadaku, kecuali ia
tergolong ahli neraka.” (HR. Muslim)
b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim,
antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-
Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang
beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam.
(riwayat Ibn Sa‟d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam
Shahih al-Bukhari).
c. Nabi SAW melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-
komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar
dan Nasrani yang tinggal di Najran. Bahkan, salah seorang mertua Nabi
yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah
(Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
C. Analisis Perbandingan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan HAM
1. Perbedaan dari perspektif Fatwa MUI dengan HAM, yaitu
16
املؤمنون /23: 71 17
Muslim 1/93. Lihat M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Penerjemah
Elly Lathifah, Penyunting Harlis Kurniawan (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 17.
72
- Perbedaan keduanya dilihat dari ketentuan hukum yang digunakan. Fatwa
MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
mengharamkan umat Islam untuk mengikuti paham Pluralisme, Liberalisme
dan Sekularisme Agama. Alasannya, karena paham ini dapat menimbulkan
keraguan umat Islam terhadap akidah dan syari‟at Islam.18
Sedangkan,
HAM lebih menonjolkan kebolehan terhadap paham Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama. Sebab, paham pluralisme, Liberalisme
dan Sekularisme Agama dibangun atas dasar kebebasan berpikir dan
berpendapat. Oleh karena itu, HAM tidak membatasi kebebasan
fundamental dalam diri manusia atau individu khususnya kebebasan
berpikir dan berpendapat yang tidak terikat oleh norma-norma agama.
- Perbedaan dari keduanya juga dilihat dari sumber hukum yang dijadikan
sebagai dalil. Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama menggunakan dalil-dalil yang diambil dari al-Qur‟an dan Sunnah
tanpa mengesampingkan nilai-nilai sosial. Karena paham Pluralisme,
Liberalisme dnan Sekularisme Agama bertentangan dan tidak sesuai dengan
al-Qur‟an dan Sunnah, maka MUI mengharamkannya bagi umat Islam.
Sedangkan, HAM cenderung memberikan kebebasan berpikir tanpa batas
yang didasarkan pada akal logika manusia dan nilai-nilai individu.
Sehingga, paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
menjadikan HAM sebagai dasar pendiriannya.
2. Persamaan dari perspektif Fatwa MUI dengan HAM, yaitu
18
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
73
- Persamaan keduanya dilihat dari aspek sosial. Fatwa MUI tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama tetap menghargai adanya
kemajemukan agama yang ada di Indonesia dan menjaga keharmonisan
hubungan antar pemeluk agama.19
Sementara itu, para pemikir Islam Liberal
bila dilihat dari pemikiran mereka terhadap Pluralisme Agama juga
mengedepankan adanya toleransi agama untuk menjaga hubungan baik antar
pemeluk agama, namun dengan porsi yang berbeda. Secara tersirat, fatwa
MUI tersebut menghargai kebebasan berpikir dengan batas-batas tertentu
yang tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah. Sedangkan, HAM
juga memberikan jaminan kepada manusia atas kebebasan berpikir dengan
syarat memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum dan keutuhan bangsa.20
19
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 100. 20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010), h. 9.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Analisis Fatwa MUI
Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, maka banyak hal
sebenarnya yang dapat disimpulkan. Namun, penulis mencatat beberapa point
penting yang menjadi inti dari bahan skripsi penulis.
1. Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama
menegaskan pengharaman bagi umat Islam untuk mengikuti paham Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama. Fatwa MUI ini menyadarkan kepada
umat Islam bahwa sesungguhnya paham Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama bukanlah paham yang memberikan manfaat bagi umat
Islam, melainkan hanya menambah kesesatan bagi yang mengikutinya. Fatwa
MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama ini memberikan
pencerahan kepada umat Islam bahwa sesungguhnya perang pemikiran atau
perang non fisik cenderung lebih berbahaya dibanding perang fisik. Hal ini
karena umat Islam diharuskan lebih memfilter dirinya dari bahaya
perkembangan dan pengaruh pemikiran Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama serta pemikiran yang terkait dengannya. Fatwa MUI
tersebut juga memberikan solusi kepada umat Islam bahwa sesungguhnya
toleransi umat beragama tidaklah harus ditumbuhkan dengan mengakui
kebenaran yang dibawa agama lain. Sebab kalau harus mengakui kebenaran
75
agama lain, maka konsekuensinya kebenaran akidah umat Islam harus
dicampuri dengan kebenaran akidah umat agama lain dan ini sangat tercela.
Namun, prinsipnya saling menghargai mewujudkan kedamaian antar pemeluk
agama satu sama lain. Fatwa MUI tersebut memberikan prinsip kebenaran bagi
umat Islam bahwa hanya dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan
Sunnah dapat menghindarkan umat Islam dari bahaya kesesatan pemikiran,
khususnya terkait dengan paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama.
2. Perbedaan yang mencolok antara pemahaman para pemikir Islam Liberal dan
MUI terhadap paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
diantaranya, pemahaman terhadap Pluralisme Agama yang dipakai oleh para
pemikir Islam Liberal lebih ditekankan kepada toleransi antar umat beragama
dengan cara mengakui kebenaran agama lain sehingga kedudukan semua
agama dianggap sepadan dan sama benar kebenarannya. Berbeda yang
ditegaskan oleh MUI, bahwa dengan adanya Pluralisme Agama, maka akan
menimbulkan dampak yang berbahaya terhadap akidah umat Islam, karena
mencampuradukkan ajaran agama. Sehingga MUI hanya mengakui Pluralitas
Agama dengan mengedepankan toleransi antar pemeluk agama serta menjaga
kerukunan antar umat beragama tanpa mengurangi klaim kebenaran masing-
masing agama. Dengan demikian, kedudukan masing-masing agama berbeda
dan tidak sama kebenarannya. Begitu juga dengan paham Liberalisme dan
Sekularisme Agama yang telah menjadi jiwa dari pemikiran para pemikir Islam
Liberal. Bagi mereka, menganut paham Liberalisme dan Sekularisme Agama
76
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mengedepankan akal dan
kebebasan berpikir tanpa batas-batas apapun, sehingga menggusur peran
agama. Berbeda dengan pandangan MUI dan dari data-data yang telah penulis
peroleh bahwa dua pemikiran tersebut memang sangat tidak sesuai dengan
ajaran agama Islam. Bahkan, sangat mengingkari ajaran-ajaran agama Islam,
khususnya terhadap akidah dan syari’at umat Islam. Sehingga, MUI
menginginkan agar agama tetap mencampuri urusan dunia dan tidak
dihilangkan dalam kehidupan sosial.
B. Saran-saran
1. Kepada pemerintah Indonesia dalam hal ini khususnya Kementerian Agama
Republik Indonesia, supaya mencegah berkembangnya paham Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama terhadap ajaran agama Islam. Caranya
bisa dengan gencar mensosialisasikan Fatwa MUI tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama kepada umat Islam, memberikan
pemahaman kepada umat Islam tentang bahaya paham Pluralisme, Liberalisme
dan Sekularisme Agama, serta mengajak umat Islam untuk mempertebal
keyakinan dan kecintaannya terhadap ajaran agama Islam.
2. Kepada para ulama, supaya selalu memberikan bimbingan kepada umat Islam
tentang pentingnya berpegang teguh pada akidah dan syari’at agama Islam
yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sehingga umat Islam tidak mudah untuk
terpengaruh oleh paham-paham menyesatkan dari luar agama Islam, khususnya
paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
77
3. Kepada para akademisi, supaya menyeleksi setiap buku-buku atau tulisan
tentang paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang
dipastikan dapat memberikan dampak negatif terhadap pemahaman umat Islam
atas ajaran agama Islam yang diajarkan oleh setiap institusi pendidikan agar
tidak ditularkan paham-paham tersebut kepada setiap peserta didik, namun
paham-paham tersebut hanya perlu dikritisi sebab dikhawatirkan bisa
mempengaruhi pola pikir umat Islam.
4. Kepada masyarakat dalam hal ini khususnya umat Islam. Mengenai
permasalahan perbedaan pemikiran yang sering timbul dikalangan umat Islam,
sebaiknya umat Islam menyelesaikannya dengan cara dialog terlebih dahulu.
Dengan demikian, umat Islam dapat membedakan dan menyeleksi mana
pemikiran yang benar-benar sesuai dengan ajaran agama Islam serta mana yang
bukan atau malah bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam hal ini
paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang telah beredar di
masyarakat. Dengan cara memahami Fatwa MUI tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama secara cermat, umat Islam dapat selamat
dari bahaya pemikiran yang menggusur keyakinan dan hukum-hukum
agamanya. Islam memang menghargai kebebasan berpikir, tapi Islam juga
memberikan pertimbangan terhadap pemikiran itu supaya tidak bertentangan
dengan nilai-nilai dan norma-norma ajaran agama.
78
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an al-Karim
Abdalla, Ulil Abshar. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Kompas, 18
November 2002.
Afiah, Neng Dara. Kala Fatwa jadi penjara “MUI merampok Kebebasan
Berpikir”. Artikel diakses pada 15 Juli 2016 dari
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?id=217/hl=id.
Agustina, Cahyaningrum Tri. “Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) di
Indonesia tahun 2001-2005.” Candi IV, UNS: h. 1-17.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
A. Latif, Hamdiah. “Mengkritisi Jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit
Revivalisme, Liberalisme dan Bahaya Sekularisme.” Islam Futura X, No.
2 (Februari 2011): h. 50-64.
Al-Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah Elly Lathifah.
Penyunting Harlis Kurniawan. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Al Raysuni, Ahmad dan Barut, Muhammad Jamal. Ijtihad antara Teks, Realitas
dan Kemaslahatan Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.
Ali, H. Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Ali, Muhamad. Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan,
Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Alkaf, Halid. Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia. Jakarta: Kompas, 2011.
Almujahid, A. Thoha Husein dan Fathoni Alkhalil, A. Atho’illah. Kamus Akbar
Bahasa Arab (Indonesia-Arab). Jakarta: Gema Insani, 2013.
AM, Imron. Islam Liberal Mengikis Akidah Islam. Jakarta: INSIDA, 2004.
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani,
2008.
Aripin, Jaenal, dkk. Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
79
As-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Al-
Kautsar, 2011.
Basyaib, Hamid. Membela Kebebasan Percakapan tentang Demokrasi Liberal.
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.
Ba’albaki, Munir. Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary. Beirut: Dar
El-Ilm Lil-Malayen, 1992.
Binder, Leonard. Islamic Liberalism : a critique of development ideologies.
Chicago: The University of Chicago Press, 1988.
Bisri, Adib dan AF, Munawwir. Kamus Al-Bisri : Indonesia -- Arab Arab –
Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Bukhari, Imam dan Muslim. Shahih Bukhari Muslim. Penyunting Imron Hakim.
Jakarta: Quantum Ikhlas, 2016.
Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2011.
Dzulhadi, Qosim Nursheha. Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study
Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme. Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2012.
Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme
dan Sekularisme Agama.
Ghazali, Abd Moqsith. “Fatwa MUI dan Keterancaman Pluralisme Agama”.
Artikel diakses pada 21 Juli 2016 dari
http://wahidinstitute.org/v1/Opini/Detail/?id=47/hl=id/Fatwa_MUI_Dan_
Keterancaman_Pluralisme_Agama.
Hakim, Lukman. “Mengenal Pemikiran Islam Liberal.” Substantia XIV. No. 1
(April 2011): h. 179-198.
Handono, Irena, et al. Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion.
Kudus: Bima Rodheta, 2004.
Hardjono, Rayner. Kamus Populer Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
Herlianto, “Liberalisme”. Artikel diakses pada 14 Januari 2017 dari
http://artikel.sabda.org/node/714.
http://jokerbalad.blogspot.co.id/2015/03/memanfaatkan-kebebasan-berfikir-
dan.html?m=1, diakses pada 12 November 2016.
80
http://m.detik.com/news/berita/412287/11-fatwa--mui-mulai-imam-perempuan-
hingga-liberalisme, artikel diakses pada 08 Desember 2016.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jaringan_Islam_Liberal, artikel diakses pada 19
Oktober 2016.
http://inpasonline.com/new/istilah-sekularisme-menurut-al-attas-dan-al-
qardhawy/, artikel diakses pada 18 Januari 2017.
https://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/09/menolak-pluralisme/, artikel diakes pada 25
Oktober 2016.
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel
diakses pada 26 Oktober 2016.
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, diakses pada 06
November 2016.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Hak_Asasi_Manusia_dan_Warga_Neg
ara, artikel diakses pada 15 November 2016.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme, artikel diakses pada 17 Januari
2017.
Husaini, Adian. Pluralisme Agama: Haram. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
----------. Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu dan Islam terhadap Paham Pluralisme Agama). Bogor: Adabiy
Press, 2012.
----------. Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II. Surabaya: Media Wacana,
2005.
---------- dan Hidayat, Nuim. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan
dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang:
Bayumedia Publishing, 2005.
Ismail, M. Syukri. “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi).”
Kontekstualita XXIX, No. 1 (2014): h. 101-126.
Jamaluddin. “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan.”
Mudarrisuna III, No. 2 (Juli-Desember 2013): h. 309-327.
Kamil, Sukron dan Bamualim, Chaider S.. Syariah Islam dan HAM Dampak
Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-
Muslim. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
81
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994.
Mawdudi, Abul A’la. Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
Monib, Mohammad dan Bahrawi, Islah. Islam & Hak Asasi Manusia Dalam
Pandangan Nurcholis Madjid. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2011.
Mufid, Nur. Kamus Modern Indonesia-Arab Al-Mufied. Surabaya: Pustaka
Progressif, 2010.
Mulkhan, Abdul Munir. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Mustofa, Imam. “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia.” Akademika XVII,
No. 2 (2012): h. 1-24.
Nasution, Harun dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam
Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
OFM, Nico Syukur Dister. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Osman, Mohamed Fathi. Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan
Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban. Jakarta:
PSIK Universitas Paramadina, 2006.
Qodir, Zuly. Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-
2002. Yogyakarta: LKiS, 2010.
Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Liberalisme. Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2011.
----------. Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme
Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan
Filsafat (LSAF), 2010.
Rahardjo, M. Dawam. Argumen Islam untuk Sekularisme. Jakarta: Grasindo.
Anggota Ikapi, 2010.
----------. “Kala MUI mengharamkan Pluralisme”. Artikel diakses pada 14 Juli
2016 dari https:/m.tempo.co/read/news/2005/08/01/05564630/kala-mui-
mengharamkan-pluralisme.
Shalahuddin, Henri. “memaknai liberalisme”, artikel diakses pada 25 Oktober
2016 dari https://insists.id-INSIST-Institute for The Study of Islamic
Thought and Civilizations, 12 November 2007.
82
Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2013.
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001.
Sumbulah, Umi. Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama
Kristen dan Yahudi. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2010.
Syafrin, Nirwan. “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam.” Tsaqafah V,
No. 1 (Jumadal Ula 1430): h. 51-78.
Syihab, Habib Rizieq. Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam. Jakarta:
Suara Islam Press, 2013.
Tahir, Masnun. “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia.” Ulumuna X,
No. 1 (Januari-Juni 2006): h. 121-154.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif,
2005.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010.
Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1994.
WAMY. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan
Penyebarannya. Jakarta: Al-I’tishom, 2002.
Wijaya, Arif. “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam.” Al-
Daulah III, No. 2 (Oktober 2013): h. 241-259.
Yanggo, Huzaemah Tahido, dkk. Membendung Liberalisme. Jakarta: Penerbit
Republika, 2004.
Ya’qub, Hamzah. Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam. Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1988.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama
Missionaris, Orientalis dan Kolonialis.” Tsaqafah V. No. I (Jumadal Ula
1430): h. 1-28.
----------. Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta:
INSISTS – MIUMI, 2012.
��
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIANomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
TentangPLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M :
Menimbang :
12
1. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
2. bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut;
3. bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT :
نموغتبيرغيالماإلسايندفلنلقبيهنموهويفةراآلخنمريناسالخ)آلعمران:(
:(عمرانآل...(اإلسالماللهعندالدينإن
لكمكمينديلوندي)الكافرون:(اومكاننمؤملالوةنمؤمإذاىقضاللهولهسروارأماللهيعصومنأمرهم،منالخيرةلهميكونأن
ولهسروفقدلضالالضابينم)األحزاب:(ولمالدينفييقاتلوكملمالذيننعاللهينهاكمال
وكمرجخينماركميدأنموهربتقسطواتو،همإليإناللهبحي،نيقسطالمامإناكمهنياللهنعينالذ
لوكمقاتيفينالدوكمجرأخونماركميدوارظاهوهمفأولئكيتولهمومنتولوهم،أنإخراجكمعلى
:-(املمتحنة(الظالمون
مننصيبكتنسوالالآخرةالداراللهءاتاكفيماوابتغالدنيا .سنأحواكمنسأحاللهكإليالوغبتادالفس
:(القصص(المفسدينيحبالاللهإنالأرض،في
الله،سبيلعنيضلوكالأرضفيمنأكثرتطعوإن:ماألنعا(يخرصونإالهموإنالظنإاليتبعونإن
(
PLURALISME, LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
��
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”. (QS. Ali Imran [3]: 19)
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36).
نموغتبيرغيالماإلسايندفلنلقبيهنموهويفةراآلخنمريناسالخ)آلعمران:(
:(عمرانآل...(اإلسالماللهعندالدينإن
لكمكمينديلوندي)الكافرون:(اومكاننمؤملالوةنمؤمإذاىقضاللهولهسروارأماللهيعصومنأمرهم،منالخيرةلهميكونأن
ولهسروفقدلضالالضابينم)األحزاب:(ولمالدينفييقاتلوكملمالذيننعاللهينهاكمال
وكمرجخينماركميدأنموهربتقسطواتو،همإليإناللهبحي،نيقسطالمامإناكمهنياللهنعينالذ
لوكمقاتيفينالدوكمجرأخونماركميدوارظاهوهمفأولئكيتولهمومنتولوهم،أنإخراجكمعلى
:-(املمتحنة(الظالمون
مننصيبكتنسوالالآخرةالداراللهءاتاكفيماوابتغالدنيا .سنأحواكمنسأحاللهكإليالوغبتادالفس
:(القصص(المفسدينيحبالاللهإنالأرض،في
الله،سبيلعنيضلوكالأرضفيمنأكثرتطعوإن:ماألنعا(يخرصونإالهموإنالظنإاليتبعونإن
(
نموغتبيرغيالماإلسايندفلنلقبيهنموهويفةراآلخنمريناسالخ)آلعمران:(
:(عمرانآل...(اإلسالماللهعندالدينإن
لكمكمينديلوندي)الكافرون:(اومكاننمؤملالوةنمؤمإذاىقضاللهولهسروارأماللهيعصومنأمرهم،منالخيرةلهميكونأن
ولهسروفقدلضالالضابينم)األحزاب:(ولمالدينفييقاتلوكملمالذيننعاللهينهاكمال
وكمرجخينماركميدأنموهربتقسطواتو،همإليإناللهبحي،نيقسطالمامإناكمهنياللهنعينالذ
لوكمقاتيفينالدوكمجرأخونماركميدوارظاهوهمفأولئكيتولهمومنتولوهم،أنإخراجكمعلى
:-(املمتحنة(الظالمون
مننصيبكتنسوالالآخرةالداراللهءاتاكفيماوابتغالدنيا .سنأحواكمنسأحاللهكإليالوغبتادالفس
:(القصص(المفسدينيحبالاللهإنالأرض،في
الله،سبيلعنيضلوكالأرضفيمنأكثرتطعوإن:ماألنعا(يخرصونإالهموإنالظنإاليتبعونإن
(
نموغتبيرغيالماإلسايندفلنلقبيهنموهويفةراآلخنمريناسالخ)آلعمران:(
:(عمرانآل...(اإلسالماللهعندالدينإن
لكمكمينديلوندي)الكافرون:(اومكاننمؤملالوةنمؤمإذاىقضاللهولهسروارأماللهيعصومنأمرهم،منالخيرةلهميكونأن
ولهسروفقدلضالالضابينم)األحزاب:(ولمالدينفييقاتلوكملمالذيننعاللهينهاكمال
وكمرجخينماركميدأنموهربتقسطواتو،همإليإناللهبحي،نيقسطالمامإناكمهنياللهنعينالذ
لوكمقاتيفينالدوكمجرأخونماركميدوارظاهوهمفأولئكيتولهمومنتولوهم،أنإخراجكمعلى
:-(املمتحنة(الظالمون
مننصيبكتنسوالالآخرةالداراللهءاتاكفيماوابتغالدنيا .سنأحواكمنسأحاللهكإليالوغبتادالفس
:(القصص(المفسدينيحبالاللهإنالأرض،في
الله،سبيلعنيضلوكالأرضفيمنأكثرتطعوإن:ماألنعا(يخرصونإالهموإنالظنإاليتبعونإن
(
نموغتبيرغيالماإلسايندفلنلقبيهنموهويفةراآلخنمريناسالخ)آلعمران:(
:(عمرانآل...(اإلسالماللهعندالدينإن
لكمكمينديلوندي)الكافرون:(اومكاننمؤملالوةنمؤمإذاىقضاللهولهسروارأماللهيعصومنأمرهم،منالخيرةلهميكونأن
ولهسروفقدلضالالضابينم)األحزاب:(ولمالدينفييقاتلوكملمالذيننعاللهينهاكمال
وكمرجخينماركميدأنموهربتقسطواتو،همإليإناللهبحي،نيقسطالمامإناكمهنياللهنعينالذ
لوكمقاتيفينالدوكمجرأخونماركميدوارظاهوهمفأولئكيتولهمومنتولوهم،أنإخراجكمعلى
:-(املمتحنة(الظالمون
مننصيبكتنسوالالآخرةالداراللهءاتاكفيماوابتغالدنيا .سنأحواكمنسأحاللهكإليالوغبتادالفس
:(القصص(المفسدينيحبالاللهإنالأرض،في
الله،سبيلعنيضلوكالأرضفيمنأكثرتطعوإن:ماألنعا(يخرصونإالهموإنالظنإاليتبعونإن
(
��
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash [28]: 77).
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
نموغتبيرغيالماإلسايندفلنلقبيهنموهويفةراآلخنمريناسالخ)آلعمران:(
:(عمرانآل...(اإلسالماللهعندالدينإن
لكمكمينديلوندي)الكافرون:(اومكاننمؤملالوةنمؤمإذاىقضاللهولهسروارأماللهيعصومنأمرهم،منالخيرةلهميكونأن
ولهسروفقدلضالالضابينم)األحزاب:(ولمالدينفييقاتلوكملمالذيننعاللهينهاكمال
وكمرجخينماركميدأنموهربتقسطواتو،همإليإناللهبحي،نيقسطالمامإناكمهنياللهنعينالذ
لوكمقاتيفينالدوكمجرأخونماركميدوارظاهوهمفأولئكيتولهمومنتولوهم،أنإخراجكمعلى
:-(املمتحنة(الظالمون
مننصيبكتنسوالالآخرةالداراللهءاتاكفيماوابتغالدنيا .سنأحواكمنسأحاللهكإليالوغبتادالفس
:(القصص(المفسدينيحبالاللهإنالأرض،في
الله،سبيلعنيضلوكالأرضفيمنأكثرتطعوإن:ماألنعا(يخرصونإالهموإنالظنإاليتبعونإن
(
نموغتبيرغيالماإلسايندفلنلقبيهنموهويفةراآلخنمريناسالخ)آلعمران:(
:(عمرانآل...(اإلسالماللهعندالدينإن
لكمكمينديلوندي)الكافرون:(اومكاننمؤملالوةنمؤمإذاىقضاللهولهسروارأماللهيعصومنأمرهم،منالخيرةلهميكونأن
ولهسروفقدلضالالضابينم)األحزاب:(ولمالدينفييقاتلوكملمالذيننعاللهينهاكمال
وكمرجخينماركميدأنموهربتقسطواتو،همإليإناللهبحي،نيقسطالمامإناكمهنياللهنعينالذ
لوكمقاتيفينالدوكمجرأخونماركميدوارظاهوهمفأولئكيتولهمومنتولوهم،أنإخراجكمعلى
:-(املمتحنة(الظالمون
مننصيبكتنسوالالآخرةالداراللهءاتاكفيماوابتغالدنيا .سنأحواكمنسأحاللهكإليالوغبتادالفس
:(القصص(المفسدينيحبالاللهإنالأرض،في
الله،سبيلعنيضلوكالأرضفيمنأكثرتطعوإن:ماألنعا(يخرصونإالهموإنالظنإاليتبعونإن
(
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
��
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 116).
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. al-Mu’minun [23]: 71).
2. Hadis Nabi saw.:a. Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya
Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :
“Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka”. (H.R. Muslim)
b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang bergama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di
والأرضالسمواتلفسدتأهواءهمالحقاتبعولونمويهنفلبماهنيأتمكرهبذمفهنعمكرهذ
:(املؤمنون(معرضون
يالذوفسندمحم،هدبيالعمسيبيدأحنمههذاةألميدوهيالوانيرصنثمتوميلمونمؤييبالذلتسأربهإالكاننمابحأصارالن
).مسلمرواه(والأرضالسمواتلفسدتأهواءهمالحقاتبعولونمويهنفلبماهنيأتمكرهبذمفهنعمكرهذ
:(املؤمنون(معرضون
يالذوفسندمحم،هدبيالعمسيبيدأحنمههذاةألميدوهيالوانيرصنثمتوميلمونمؤييبالذلتسأربهإالكاننمابحأصارالن
).مسلمرواه(
��
mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).
c. Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Memperhatikan :
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG PLURALISME, LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan : 1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang meng-
ajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
��
4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hu-bungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Kedua : Ketentuan Hukum1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama
sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralism, sekularisme dan liberalisme agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Ditetapkan : Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VIIMAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Sekretaris
ttd
Drs. Hasanuddin, M.Ag
Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin
��
PENJELASAN TENTANG FATWA
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA
1. Umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada “perang non-fisik” yang disebut ghazwul fikr (perang pemikiran). Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme dan liberalisme agama, dua pemikiran yang datang dari Barat, yang akhir-akhir ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.
2. Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa telah menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan sya’riat Islam; seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah (sya’riat) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula faham Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya. Berdasarkan realitas ini, MUI memandang perlu bersikap tegas terhadap berkembangnya pemikiran sekuler dan liberal di Indonesia. Untuk itu, MUI mengeluarkan fatwa tentang sekularisme dan liberalisme agama.
3. Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Relativisme agama semacam ini jelas dapat mendangkalkan keyakinan akidah. Hasil dialog antar umat beragama di Indonesia yang dipelopori oleh Prof.DR.H.A. Mukti Ali, tahun 1970-an, paham pluralisme dengan pengertian setuju untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya klaim kebenaran masing-masing agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti. Paham pluralisme agama seperti ini tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama dan tokoh umat telah disebarkan secara aktif ke tengah umat dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana maksud para penganjurnya. Paham ini juga menyelusup jauh ke pusat-pusat/lembaga pendidikan
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
��
umat. Itulah sebabnya Munas VII Majelis Ulama Indonesia merasa perlu merespon usul para ulama dari berbagai daerah agar MUI mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulraisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat untuk tidak mengikuti paham-paham tersebut.
4. Fatwa mengenai Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dibagi menjadi dua bagian, yakni Ketentuan Umum dan Ketentuan Hukum. Kedua bagian tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena secara substansial ketetapan hukum yang disebutkan dalam bagian kedua menunjuk kepada definisi dan pengertian yang disebutkan pada bagian pertama. Definisi dalam fatwa tersebut bersifat empirik, bukan definisi akademis. Dimaksud bersifat empirik adalah bahwa definisi prularisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam fatwa ini adalah faham (isme) yang hidup dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Oleh sebab itu, definisi tentang prularisme, liberalisme dan sekularisme agama sebagaimana dirumuskan oleh para ulama peserta Munas VII MUI bukanlah definisi yang mengada-ada, tapi untuk merespon apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para prularisme, liberalisme dan sekularisme agama.
Bahkan para penganjur prularisme, liberalisme dan sekularisme agama juga telah bertindak terlalu jauh dengan menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang dijamin keotentikannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sudah tidak relevan lagi, seperti larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18/11/2002). Mereka juga menganggap bahwa al-Qur’an itu bukanlah firman Allah tetapi hanya merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks lainnya, bahkan dianggap sebagai angan-angan teologis (al-khayal al-dini). Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh aktifis Islam liberal dalam website mereka yang berbunyi: ”Sebagian besar kaum muslimin meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma’nan). Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.” (Website JIL). Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan “aneh” yang mereka kemukakan.
Fatwa MUI menegaskan pula bahwa pluralisme agama berbeda
�00
dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama. Banyaknya agama-agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan di mana semua warga negara, termasuk umat Islam Indonesia, harus menerimanya sebagai suatu keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup berdampingan secara damai.
Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunnatullah) yang tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
5. Fatwa MUI tentang pluralisme agama ini dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu bahwa kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluknya.
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN