Post on 24-Oct-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kementerian Kesehatan berupaya untuk menjaga mutu
layanan melalui kegiatan akreditasi rumah sakit baik rumah
sakit pemerintah maupun swasta. Dasar hukum
pelaksanaan akreditasi rumah sakit adalah UU no. 23 tahun
1992 tentang kesehatan, permenkes no. 159 B tahun 1988
yang mengatur tentang akreditasi rumah sakit, S.K.Menkes
no 436/93 tentang berlakunya standar layanan rumah sakit
dan layanan medik dan SK Dirjen YanMedik no.
YM.02.03.3.5.2626 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit
dan Sarana Kesehatan lainnya (KARS).
Berbagai keputusan strategis mengenai peraturan
perundang-undangan juga mengamanatkan bahwa program
akreditasi rumah sakit harus dilaksanakan. Hal ini dapat
dilihat dari dua Undang-Undang yaitu UU Nomor 29 tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit. Dalam Undang-Undang Nomor
29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dapat dilihat
bahwa semua penyedia pelayanan kesehatan yang
menyediakan pelayanan profesi kedokteran harus
membenahi diri. Penyedia pelayanan kesehatan tersebut
meliputi Puskesmas, Balai Pengobatan, Praktek Dokter,
Rumah Sakit, dan sebagainya.
Dari beberapa institusi tersebut, Rumah Sakit
merupakan institusi yang memiliki beban yang paling berat
mempersiapkan diri dalam menyesuaikan Undang-Undang
praktik kedokteran tersebut . Dokter umum, dokter gigi dan
dokter spesialis mengerjakan kegiatan profesinya paling
banyak di Rumah Sakit oleh karena itu di Rumah Sakitlah
1
terdapat paling banyak kegiatan pembenahan administrasi
pelayanan kedokteran. Rumah Sakit harus melaksanakan
perubahan dalam rangka menyesuaikan diri terhadap
Undang-Undang praktik kedokeran tersebut. Mulai
mempersiapkan Prosedur Tetap (Standard Operating
Procedure) tiap pelayanan kedokteran, memperbaiki
kebijakan persetujuan pelayanan oleh pasien (informed
consent) dan segala sesuatu yang diamanatkan oleh
Undang-Undang tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit, Pasal 29 huruf b menyebutkan bahwa Rumah
Sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit, kemudian pada Pasal 40 ayat (1)
disebutkan bahwa dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara
berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali. Dari kedua Undang-
Undang tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Akreditasi rumah sakit penting untuk dilakukan dengan
alasan agar mutu/kualitas diintegrasikan dan dibudayakan
kedalam sistem pelayanan di Rumah Sakit.
Sebagai salah satu subsistem dalam pelayanan
kesehatan, rumah sakit menjadi tempat rujukan bagi
berbagai unit pelayanan kesehatan dasar. Rumah sakit
merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang jasa
dengan ciri-ciri padat karya, padat modal, padat teknologi,
padat masalah dan padat umpatan. Sejalan dengan lajunya
pembangunan nasiona maka tuntutan akan mutu pelayanan
kesehatan oleh rumah sakit juga semakin meningkat. Hal ini
ditandai dengan berbagai kritikan tentang ketidakpuasan
terhadap pelayanan rumah sakit berbagai upaya termasuk
2
melalui jalur hukum. Oleh karena itu upaya untuk menjaga
dan meningkatkan mutu layanan rumah sakit baik untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat baik internal maupun
eksternal rumah sakit perlu dilaksanakan.
1.2 Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah yang berjudul Akreditasi Nasional
Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui definisi akreditasi rumah sakit level nasional
b. Mengetahui tahap pelaksanaan akreditasi rumah sakit level nasional
c. Mengetahui keterkaitan akreditasi dengan pelayanan rumah sakit
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Akreditasi Rumah Sakit
Akreditasi menurut ensiklopedi nasional adalah suatu bentuk
pengakuan yang diberikan oleh pemerintah untuk suatu lembaga atau
institusi. Pasal satu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
417 tahun 2011 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit menyebutkan
bahwa Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang
diberikan oleh lembaga independen yang ditetapkan oleh Menteri, setelah
dinilai bahwa rumah sakit itu memenuhi standar pelayanan rumah sakit
yang berlaku. Untuk sampai kepada pengakuan, rumah sakit melalui suatu
proses penilaian yang didasarkan pada standar nasional perumahsakitan
(depkes.1999).
Akreditasi rumah sakit mencakup penilaian terhadap terhadap fisik
bangunan, pelayanan kesehatan, perlengkapan, obat-obatan, ketenagaan dan
administrasi. Akreditasi dilakukan sekurang-kurangnya setiap tiga tahun
sekali dan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Penilaian dilakukan berulang
dengan interval yang regular diawali dengan kegiatan kajian mandiri (self
assessment) oleh rumah sakit yang dinilai. Survei akreditasi ini dilakukan
oleh badan yang terlegitimasi dan di Indonesia adalah komite akreditasi
rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya (KARS). Sedangkan sertifikasi
diberikan oleh dirjen pelayanan medis depkes RI berdasarkan rekomendasi
KARS.
2.2. Dasar Hukum Akreditasi Rumah Sakit
Dasar hukum akreditasi rumah sakit adalah sebagai berikut:
a. UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit Pasal 40
(1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib
dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 tahun sekali.
4
(2) Akreditasi Rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun
dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.
(3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan oleh
menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
b. Permenkes no. 159b/88 tentang rumah sakit, pasal 26 mengatur tentang
akreditasi Rumah Sakit.
c. SK Menkes 436/93 menyatakan berlakunya standard pelayanan Rumah
Sakit dan standard pelayanan medis.
d. SK Dirjen Yanmed No. YM.02.03.3.5.2626 tentang Komisi Akreditasi
Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan Lainnya.
2.3. Tujuan Akreditasi Nasional Rumah Sakit
Pada dasarnya tujuan utama akreditasi rumah sakit agar kualitas
pelayanan yang diberikan terintegrasi dan menjadi budaya sistem pelayanan
di rumah sakit.
Secara khusus tujuan akreditasi adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh gambaran seberapa jauh rumah sakit di Indonesia telah
memenuhi berbagai standard yang ditentukan sehingga mutu
pelayanan rumah sakit dapat dipertanggungjawabkan.
b. Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit yang
telah mencapai tingkat pelayanan sesuai dengan standard yang
ditetapkan.
c. Memberikan jaminan kepada petugas rumah sakit bahwa semua
fasilitas, tenaga dan lingkungan yang diperlukan tersedia sehingga
dapat mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan
sebaiknya.
5
d. Memberikan jaminan dan kepuasan kepada individu, keluarga dan
masyarakat sebagai pelanggan bahwa pelayanan yang diberikan oleh
rumah sakit diselenggarakan dengan baik.
2.4. Tingkat Pelaksanaan Akreditasi Rumah Sakit
Ada 3 cara pelaksanaan akreditasi yaitu tingkat dasar, tingkat lanjut
dan tingkat lengkap yang disesuaikan dengan kegiatan pelayanan di rumah
sakit.
a. Akreditasi Tingkat Dasar
Menilai 5 kegiatan pelayanan di rumah sakit yaitu Administrasi
dan Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan Keperawatan,
Pelayanan Gawat Darurat dan Rekam Medik.
b. Akreditasi Tingkat Lanjut
Menilai 12 kegiatan pelayanan di rumah sakit yaitu Administrasi
dan Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan keperawatan, Pelayanan
Gawat Darurat, Rekam Medik, Farmasi, Radiologi, Kamar Operasi,
Pengendalian Infeksi, Pelayanan Resiko tinggi, Laboratorium dan
Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana.
c. Akreditasi Tingkat Lengkap
Menilai 16 kegiatan pelayanan di rumah sakit yaitu Administrasi
dan Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan keperawatan, Pelayanan
Gawat Darurat, Rekam Medik, Farmasi, Radiologi, Kamar Operasi,
Pengendalian Infeksi, Pelayanan Resiko tinggi, Laboratorium dan
Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana ditambah
Pelayanan Intensif, Pelayanan Transfusi Darah, Pelayanan
Rehabilitasi Medik dan Pelayanan Gizi.
Rumah sakit boleh memilih akan melaksanakan akreditasi tingkat
mana sesuai dengan kemampuan, kesiapan dan kebutuhan rumah sakit baik
pada penilaian pertama kali atau penilaian ulang setelah akreditasi.
Perlu dipahami bahwa pelaksanaan kegiatan akreditasi rumah sakit
sebaiknya berdasarkan perencanaan rumah sakit dan terjadwal sehingga
6
dapat disesuaikan dengan jadwal pembinaan di Dinas Kesehatan Provinsi
dan KARS.
2.5. Metode Pelaksanaan Akreditasi Rumah Sakit
Survei akreditasi dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan survei akreditasi dan tahap pascasurvei
akreditasi.
a. Tahap persiapan
Kegiatan yang dilaksanakan disini adalah self assessment (kajian
mandiri) yang dilakukan oleh rumah sakit yang akan dinilai
menggunakan instrumen survei akreditasi rumah sakit. Kajian mandiri
dilaksanakan oleh tim akreditasi rumah sakit yang terdiri dari
beberapa kelompok kerja, sesuai dengan pelayanan yang akan dinilai.
Misalnya bila rumah sakit memilih untuk akreditasi tingkat dasar
maka tim akreditasi rumah sakit terdiri dari 5 kelompok kerja.
Langkah-langkah persiapan survei akreditasi di rumah sakit
adalah sebagai berikut:
1) Pimpinan, pemilik dan seluruh pegawai sepakat melaksanakan
persiapan survei akreditasi rumah sakit dengan sosialisasi pada
setiap kesempatan dengan menjelaskan kaitan akreditasi dengan
mutu pelayanan di rumah sakit
2) Tim akreditasi rumah sakit perlu dibentuk dengan surat
keputusan direktur
3) Ubah pola kerja menjadi kerja tim, saling terbuka dan
menghargai
4) Sosialisasikan apa yang dimaksud dengan akreditasi dan makna
yang terkandung di dalamnya, kepada seluruh jajaran rumah
sakit mulai dari manjer puncak hingga pelaksana di lapangan
termasuk satpam, tukang kebun, juru masak dan lainnya.
7
Tim akreditasi rumah sakit terdiri atas kelompok kerja yang
sesuai dengan instrumen kajian mandiri serta mempunyai uraian tugas
yang jelas berdasarkan SK direktur rumah sakit. Tim akreditasi
bersifat terbuka, koordinasi sangat diperlukan dalam tim karena
banyak hal menjadi lebih efisien bila dikerjakan secara tim.
Tugas yang dilaksanakan oleh Tim akreditasi diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Membuat rencana kerja dengan koordinasi antar kelompok kerja
dan ketua tim akreditasi
2) Siapkan ruangan yang dapat digunakan untuk bekerja
3) Sosialisasikan pada setiap kesempatan pentingnya akreditasi
4) Melakukan kajian mandiri dengan memberi skor yang sesuai
pada kegiatan pelayanan yang dinilai
5) Mempelajari dan memahami setiap standard an definisi
operasional dari setiap parameter, sistem skoring, data
pelengkap yang ada untuk setiap parameter sebagai cara
pembuktian
6) Selalu melakukan cek dan ricek antar kelompok kerja secara
proaktif.
b. Tahap pelaksanaan survei akreditasi rumah sakit
Pada tahap ini, survei dilaksanakan oleh KARS menggunakan
instrumen akreditasi rumah sakit. Pelaksanaan survei didampingi oleh
staf Dinkes Provinsi dari seksi rujukan bidang pelayanan kesehatan.
Hal ini dilakukan supaya Dinkes Provinsi juga tahu hal apa saja yang
menjadi rekomendasi untuk perbaikan pada kegiatan pascasurvei
akreditasi. Hasil penilaian dirangkum untuk diserahkan ke Dirjen
YanMedik Depkes RI sebagai rekomendasi untuk sertifikasi.
c. Tahap pascasurvei akreditasi
Kegiatan pada paska survei akreditasi berupa pembinaan yang
bertujuan mendorong manajemen rumah sakit untuk memantau
8
pelaksanaan rekomendasi hasil survei, memberikan arahan untuk
dapat memenuhi rekomendasi, melakukan evaluasi terhadap
penerapan standar yang berdampak pada peningkatan mutu pelayanan
di rumah sakit serta meningkatkan interaksi antara rumah sakit,
Dinkes Provinsi dan KARS.
Kegiatan pembinaan paska akreditasi dilakukan paling cepat 12
bulan setelah dilakukan survei akreditasi oleh KARS. Hasil
pembinaan dalam bentuk laporan sebagai umpan balik terhadap upaya
rumah sakit untuk memenuhi rekomendasi hasil survei kepada
pimpinan rumah sakit.
2.6. Komisi Akreditasi Rumah Sakit
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, yang selanjutnya disingkat KARS
adalah lembaga independen pelaksana akreditasi rumah sakit yang bersifat
fungsional, non-struktural, dan bertanggung jawab kepada Menteri. Komisi
ini merupakan badan independen yang dibentuk berdasarkan surat
keputusan Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI No. YM.02.03.3.5.2626
tanggal 8 April 1998. Maka semua hasil penilaian akreditasi rumah sakit
disampaikan ke Dirjen Pelayanan Medik untuk pengeluaran sertifikat status
akreditasi yang dicapai.
KARS mempunyai fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengembangan,
pembimbingan dan pelatihan serta monitoring dan evaluasi dalam bidang
akreditasi rumah sakit di Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan perkembangan akreditasi rumah sakit secara
internasional. Masa bakti Komisi Akreditasi Rumah Sakit adalah 5 tahun
untuk pelaksana akreditasi (surveyor).
Tugas pokok dan fungsi KARS adalah:
a. Merumuskan kebijakan dan tata laksana akreditasi rumah sakit
b. Menyusun rencana strategis akreditasi rumah sakit
c. Menyusun peraturan internal KARS
d. Menyusun standar akreditasi
e. Menetapkan status akreditasi rumah sakit
9
f. Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan pembimbingan serta
pengembangan di bidang akreditasi dan mutu layanan rumah sakit
g. Mengangkat dan memberhentikan tenaga surveyor
h. Membina kerja sama dengan institusi di dalam negeri maupun di luar
negeri yang berkaitan dengan bidang akreditasi dan peningkatan mutu
layanan rumah sakit
i. Melakukan sosialisasi dan promosi kegiatan akreditasi
j. Melakukan monitoring dan evaluasi dalam bidang akreditasi rumah
sakit
k. Melakukan pencatatan dan pelaporan kegiatan akreditasi rumah sakit.
Surveyor adalah seseorang yang diberi tugas oleh KARS untuk
melakukan survei akreditasi dan bimbingan akreditasi rumah sakit. Surveyor
merupakan tenaga yang handal yang diperoleh melalui rekrutmen dari
tenaga yang ada di daerah atau dari pelamar dan memenuhi persyaratan
yang ditentukan KARS serta wajib mengikuti pelatihan surveyor.
Surveyor terbagi menjadi surveyor administasi, surveyor medis dan
surveryor keperawatan dengan tugas pokok dan fungsi (1) membimbing dan
memberikan asistensi pada manajemen rumah sakit agar dapat mencapai
standar pelayanan yang ditetapkan serta (2) mengukur tingkat kepatuhan
rumah sakit dalam menerapkan standard dan parameter akreditasi dengan
cara melihat dan mencatat keadaan sebenarnya pada saat survei dilakukan.
Dalam pelaksanaannya, surveyor administasi memberikan bimbingan
dan penilaian dalam kegiatan pelayanan administasi dan manjemen, rekam
medis, farmasi dan K3. Surveyor medis dalam pelayanan medis, gawat
darurat, laboratorium, radiologi dan kamar operasi. Sedangkan surveyor
keperawatan bertanggungjawab dalam pelayanan keperawatan, perinatal
resiko tinggi dan pengendalian infeksi.
Untuk menjaga konsistensi penilaian maka ada program Jaga Mutu
Surveyor dengan membentuk tim etik dan kredensial yang melakukan
evaluasi sikap, perilaku dan kemampuan surveyor setiap tahun sehingga
yang tidak memenuhi syarat maka SK pengangkatan tidak diperpanjang.
10
Disamping itu dilakukan pertemuan surveyor setahun dua kali sebagai cara
untuk menjaga mutu dalam mengikuti perkembangan yang terjadi dalam
perumahsakitan.
KARS dapat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi,
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia dan Komite Akreditasi
Nasional dalam melakukan monitoring dan evaluasi kinerja rumah sakit
pascaakreditasi dan untuk membina rumah sakit dalam upaya meningkatkan
mutu layanannya. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi kinerja
rumah sakit pascaakreditasi, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
mengikutsertakan asosiasi perumahsakitan lainnya.
2.7. Instrumen Pelaksanaan Akreditasi Rumah Sakit
Embrio instrumen survei akreditasi adalah format penilaian
penampilan rumah sakit yang dilaksankan setiap tahun dalam rangka hari
kesehatan nasional yang dikembangkan tahun 1984. Pengembangan dan
penyempurnaan indikator penilaian dilakukan berkala setiap 2 tahun sekali.
Format penilaian penampilan rumah sakit ini dikembangkan Dirjen
Pelayanan Medik bersama Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan
Kesehatan di Surabaya dan hingga tahun 1994 menjadi instrumen untuk
survei akreditasi. Instrumen survei akreditasi mengalami perbaikan hingga
tahun 2003 sebagai instrumen kajian mandiri yang digunakan sampai saat
ini.
Pelayanan yang dinilai dalam instrumen survei akreditasi mengacu
pada SK menkes pada tahun 1993 tentang standard pelayanan rumah sakit.
Pada tahun 1999 dilakukan revisi sehingga terdiri dari 20 kegiatan
pelayanan. Standar pelayanan rumah sakit tersebut meliputi Administrasi
dan Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan keperawatan, Pelayanan
Gawat Darurat, Rekam Medik, Farmasi, Radiologi, Kamar Operasi,
Pengendalian Infeksi, Pelayanan Resiko tinggi, Laboratorium dan
Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana ditambah
Pelayanan Intensif, Pelayanan Transfusi Darah, Pelayanan Rehabilitasi
11
Medik dan Pelayanan Gizi, Sterilisasi sentral, Pemeliharaan sarana,
Pelayanan Anesteti dan Perpustakaan.
Setiap kegiatan pelayanan mengandung 7 standard yaitu falsafah dan
tujuan, administrasi dan pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas dan
peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program
pendidikan serta evaluasi dan pengendalian mutu. Setiap standard
mempunyai parameter dengan skor 0-5 dan dilengkapi dengan definisi
operasional, cara pembuktian dokumen, observasi dan kepada siapa
surveyor melakukan wawancara.
Dalam perkembangannya, instrumen survei akreditasi pada tingkat
lengkap setelah melalui pembahasan menjadi 16 kegiatan pelayanan saja,
karena ada beberapa kegiataan pelayanan yang dapat digabungkan.
Pelayanan perpustakaan dimasukkan di pelayanan administrasi dan
manajemen, pelayanan pemeliharaan sarana dimasukkan juga ke pelayanan
administrasi dan manajemen, pelayanan anesteti dimasukkan dalam
pelayanan kamar operasi.
Berikut adalah salah satu contoh instrumen survei akreditasi bidang
pelayanan gawat darurat.
Pedoman Survei Akreditasi Rumah Sakit
Pedoman Khusus
Pelayanan Gawat Darurat
Standar 1. Falsafah dan tujuan
Instalasi gawat darurat dapat memberikan pelayanan gawat darurat
kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami
kecelakaan, sesuai dengan standar.
S.1.P.1. Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama
24 jam terus menerus.
Skor
0 = Tidak ada pelayanan gawat darurat.
12
1 = Ada pelayanan gawat darurat digabungkan
dengan pelayanan lain.
2 = Ada pelayanan gawat darurat, terpisah dari
pelayanan lain, tersedia didalam waktu jam
kerja.
3 = Ada pelayanan gawat darurat, terpisah dari
pelayanan lain, tersedia dalam waktu 24 jam,
ada perawat jaga on site.
4 = Ada pelayanan gawat darurat, terpisah dari
pelayanan lain, tersedia dalam waktu 24 jam,
ada dokter dan perawat jaga on site.
5 = Ada pelayanan gawat darurat, terpisah dari
pelayanan lain, tersedia dalam waktu 24 jam
terus menerus, ada dokter dan perawat jaga
on site, ada dokter konsulen jaga on call, ada
petugas jaga dari pelayanan radiologi dan
laboratorium on site; Petugas mampu
memberikan informasi secara benar.
D.O. = Informasi pelayanan gawat darurat adalah
semua keterangan tentang pelayanan yang
tersedia di unit / instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit.
C.P. =
D = Jadwal jaga, daftar absen, informasi gawat
darurat, laporan jaga harian.
O = Pelaksanaan Pelayanan.
W = Perawat, dokter dan petugas administrasi
yang melaksanakan pelayanan gawat darurat
Sko
r :
13
Catatan / keterangan :
S.1.P.2. Ada instalasi atau unit gawat darurat yang terpisah secara
fungsional dari unit-unit pelayanan lainnya.
Skor
0 = Tidak ada instalasi/unit gawat darurat dan
tidak ada pelayanan gawat darurat
1 = Tidak ada instalasi/unit gawat darurat; Ada
pelayanan gawat darurat di unit kerja lain
dalam jam kerja.
2 = Tidak ada instalasi/unit gawat darurat; Ada
pelayanan gawat darurat di unit kerja lain
dalam waktu 24 jam.
3 = Ada instalasi/unit gawat darurat terpisah dari
unit kerja lain; Ada pelayanan gawat darurat
diberikan dalam jam kerja.
4 = Ada instalasi/unit gawat darurat terpisah dari
unit kerja lain; Ada pelayanan gawat darurat
diberikan sesudah jam kerja.
5 = Ada instalasi / unit gawat darurat terpisah
dari unit kerja lain; Ada pelayanan gawat
darurat diberikan selama 24 jam terus
menerus.
D.O
.
= Parameter ini mengukur keberadaan instalasi
atau unit gawat darurat secara organisatorik
dan fisik serta berlangsungnya pelayanan
gawat darurat yang disediakan
C.P. =
D = SK Pembentukan Instalasi / Unit.
14
O = Pembangunan / ruangan dan alat-alat.
W = Kepala UGD, Dokter dan Perawat UGD.
Skor
:
Catatan / keterangan :
S.1.P.3. Ada kebijakan dan prosedur tentang pasien yang tidak tergolong
akut dan gawat yang datang berobat di instalasi/unit gawat darurat.
Skor
0 = Tidak ada kebijakan dan prosedur.
1 = Ada kebijakan dan prosedur tidak tertulis.
2 = Ada kebijakan dan prosedur tertulis
ditetapkan sendiri di instalasi/unit gawat
darurat
3 = Ada kebijakan dan prosedur tertulis
ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit tetapi
belum dilaksanakan.
4 = Ada kebijakan dan prosedur tertulis
ditetapkan pimpinan rumah sakit dan sudah
ada pelaksanaannya
5 = Ada kebijakan dan prosedur tertulis
ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit; sudah
ada pelaksanaan disertai adanya evaluasi dan
tindak lanjut.
D.O. = Yang dimuat dalam kebijakan adalah kriteria
pasien akut dan gawat darurat serta
penanganan pasien tidak akut dan tidak gawat
yang datang di Instalasi/Unit Gawat Darurat
15
diluar jam kerja dan pelaporan dari pasien-
pasien ini. Kebijakan dan prosedur harus
ditetapkan dengan SK pimpinan rumah sakit.
C.P. =
D = SK Penetapan kebijakan, prosedur tertulis.
O = Kegiatan Pelayanan.
W = Kepala Instalasi / Unit Gawat Darurat, perawat dan
dokter Gawat Darurat.
Skor :
Catatan / keterangan :
Standar. 2. Administrasi dan pengelolaan
Unit gawat darurat harus diatur, dipimpin dan di integrasikan dengan
bagian lain dan instalasi rumah sakit lainnya
S.2.P.l. Instalasi/unit gawat darurat dilengkapi dengan bagan organisasi
disertai uraian tugas, pembagian kewenangan dan mekanisme
hubungan kerja dengan unit kerja lain didalam rumah sakit.
Skor
0 = Tidak ada bagan organisasi.
1 = Ada bagan organisasi lengkap ditetapkan sendiri di
instalasi/unit gawat darurat tanpa uraian tugas, pembagian
kewenangan dan mekanisme hubungan kerja dengan unit
kerja lain.
2 = Ada bagan organisasi lengkap ditetapkan sendiri di
instalasi/unit gawat darurat disertai uraian tugas; tidak ada
pembagian kewenangan dan mekanisme hubungan kerja
dengan unit kerja lain.
16
3 = Ada bagan organisasi lengkap ditetapkan sendiri di
instalasi/unit gawat darurat disertai uraian tugas dan
pembagian kewenangan; Tidak ada mekanisme hubngan
kerja dengan unit kerja lain.
4 = Ada bagan organisasi lengkap ditetapkan pimpinan rumah
sakit disertai uraian tugas dan pembagian kewenangan; Tidak
ada mekanisme hubungan kerja dengan unit kerja lain.
5 = Ada bagan organisasi lengkap ditetapkan pimpinan rumah
sakit disertai uraian tugas, pembagian kewenangan dan
mekanisme hubungan kerja dengan unit kerja lain.
D.O. = Yang diartikan dengan bagan organisasi lengkap adalah
struktur organisasi instalasi/unit gawat darurat yang terisi
pegawai lengkap yang dibutuhkan sesuai pola ketenagaan
yang ditetapkan. Bagan organisasi harus dilengkap dengan
uraian tugas pegawai, pembagian kewenangan pegawai yang
ada dan prosedur atau mekanisme hubungan kerja dengan
unit kerja lain diluar instalasi/unit gawat darurat.
C.P. =
D = SK Pimpinan Rumah Sakit tentang struktur organisasi
instalasi/unit gawat darurat, penjabaran uraian tugas,
deskripsi kewenangan, hubungan kerja dengan unit kerja lain
didalam rumah sakit.
O = Unit Gawat Darurat, Sekretariat.
W = Pimpinan RS, Petugas UGD.
Skor :
Catatan / keterangan :
17
S.2.P.2. Ada jadwal jaga harian bagi dokter, perawat, konsulen dan petugas
pendukung lain yang bertugas di instalasi/unit gawat darurat.
Skor
0 = Tidak ada penjadwalan kerja.
1 = Ada jadwal jaga dari perawat dan petugas pendukung.
2 = Ada jadwal jaga dokter, perawat dan petugas pendukung;
Tidak ada jadwal jaga dari konsulen .
3 = Ada jadwal jaga dokter, perawat, petugas pendukung dan
konsulen.
4 = Ada jadwal jaga dokter, perawat, petugas pendukung dan
konsulen disertai prosedur kerja.
5 = Ada jadwal jaga dokter, perawat, petugas pendukung dan
konsulen disertai prosedur kerja dan evaluasi terhadap
prosedur yang ada.
D.O. = Yang dimaksud dengan prosedur kerja adalah SPO (standar
prosedur operasi atau Protap) untuk mengatur dan
melaksanakan tugas jaga di instalasi/unit gawat darurat.
Yang dimaksud dengan petugas pendukung adalah pegawai
administrasi, radiologi, laboratorium, teknik, ambulans
Pelaksanaan baik; petugas datang sesuai dengan jadwal jaga
dan tepat waktu (dapat dilihat dari absensi).
Pengaturan jadwal dan tugas jaga ditetapkan dengan SPO.
C.P. =
D = SPO, jadwalnya jaga bulanan, daftar hadir petugas dan
laporan jaga.
O = Pelaksanaan jaga.
W = Petugas jaga.
Skor :
18
Catatan / keterangan :
S2.P.3. Ada petunjuk dan informasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
menjamin adanya kemudahan, kelancaran dan ketertiban dalam
memberikan pelayanan di instalasi/unit gawat darurat.
Skor
0 = Tidak ada petunjuk dan informasi.
1 = Ada petunjuk tidak jelas; informasi tersedia lisan.
2 = Ada petunjuk tidak jelas; informasi tersedia tertulis, tidak
lengkap , tidak ada petugas yang dapat menjelaskannya
dengan benar .
3 = Ada petunjuk tidak jelas; informasi tersedia tertulis,
lengkap, tidak semua petugas dapat menjelaskannya dengan
benar .
4 = Ada petunjuk jelas; informasi tersedia tertulis, lengkap,
semua petugas dapat menjelaskannya dengan benar.
5 = Ada petunjuk jelas; informasi tersedia tertulis, lengkap,
semua petugas dapat menjelaskannya dengan benar disertai
adanya evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian informasi
dan cara-cara menyediakan petunjuk yang jelas.
D.O. = Yang dimaksud petunjuk adalah tanda, rambu atau papan
pemberitahuan yang menunjukkan arah, lokasi dan cara
mencapai unit/ instalasi Gawat Darurat. Adanya petunjuk
ini untuk memudahkan orang yang ingin mencari atau
mencapai lokasi unit/instalasi gawat darurat baik dari luar
maupun dari dalam rumah sakit.
Informasi yang lengkap harus disediakan tertulis dan
memuat penjelasan tentang pelayanan yang tersedia, tarif
untuk pasien, tata tertib dan lain sebagainya yang
dibutuhkan oleh pasien dan keluarganya.
Untuk proses evaluasi agar diadakan angket ke
19
pasien/keluarganya sebagai umpan balik.
C.P. =
D = Brosur, leaflet.
O = Di unit / instalasi Gawat Darurat, dilokasi yang strategis.
W = Perawat, dokter dan petugas di unit / instalasi Gawat
Darurat.
Skor :
Catatan / keterangan :
Standar. 3. Staf dan Pimpinan
Instalasi gawat darurat dipimpin oleh dokter yang telah mendapat
pelatihan gawat darurat, dibantu oleh tenaga medis, para medis perawatan,
para medis non perawatan dan tenaga non medis yang terampil
S.3.P.1. Ditetapkan dokter sebagai kepala instalasi/unit gawat darurat yang
bertanggung jawab atas pelayanan di UGD.
Skor
0 = Tidak ada dokter sebagai penanggung jawab.
1 = Ada dokter sebagai penanggung jawab; bekerja paruh waktu.
2 = Ada dokter sebagai penanggung jawab; bekerja purna waktu;
belum ada SK pimpinan rumah sakit.
3 = Ada dokter sebagai penanggung jawab; bekerja purna waktu
dan sudah ada SK pimpinan rumah sakit.
4 = Ada dokter sebagai penanggung jawab; bekerja purna waktu
dan sudah ada SK pimpinan rumah sakit; pernah mengikuti
pelatihan penanggulangan kegawatdaruratan tanpa sertifikat.
20
5 = Ada dokter sebagai penanggung jawab; bekerja purna waktyu
dan sudah ada SK pimpinan rumah sakit; pernah mengikuti
pelatihan penanggulangan kegawatdaruratan dengan
memperoleh sertifikat.
D.O. = - Dokter Bedah dan Dokter Anestesi dikecualikan dari
pelatihan penanggulangan kegawatdaruratan.
- Yang dimaksud dengan bekerja paruh waktu adalah bahwa
yang bersangkutan mempunyai tugas pokok ditempat lain,
di unit kerja diluar unit/instalasi gawat darurat. Bekerja
purna waktu adalah bekerja secara penuh di unit/instalasi
gawat darurat.
- Yang dimaksud dengan pelatihan penanggulangan
kegawatdaruratan adalah pelatihan yang diselenggarakan
oleh kalangan profesi atau Departemen Kesehatan dengan
memberikan sertifikat PPGD atau sejenisnya (ATLS,
ACLS).
C.P. = D: SK pengangkatan, Sertifikat PPGD / ATLS / ACLS.
O: Pelayanan di gawat darurat.
W: Kepala Unit.
D = SK pengangkatan dokter Gawat Darurat, bukti pelatihan yang
diikuti.
O = Unit Gawat Darurat.
W = Dokter Gawat Darurat.
Skor :
Catatan / keterangan :
21
S.3.P.2. Ditetapkan perawat sebagai penanggung jawab pelayanan
keperawatan di unit/instalasi gawat darurat.
Skor
0 = Tidak ada perawat sebagai penanggung jawab .
1 = Sudah ada perawat sebagai penanggung jawab dan bekerja
paruh waktu.
2 = Sudah ada perawat sebagai penanggung jawab dan bekerja
purna waktu; belum ada SK pimpinan rumah sakit.
3 = Sudah ada perawat sebagai penanggung jawab dan bekerja
purna waktu; Sudah ada SK pimpinan rumah sakit.
4 = Sudah ada perawat sebagai penanggung jawab dan bekerja
purna waktu; Sudah ada SK pimpinan rumah sakit; pernah
mengikuti pelatihan kegawatdaruratan tanpa sertifikat.
5 = Sudah ada perawat sebagai penanggung jawab dan bekerja
purna waktu; Sudah ada SK pimpinan rumah sakit; pernah
mengikuti pelatihan kegawatdaruratan dengan sertifikat.
D.O. = - Periksa DO pada S.3.P.1.
C.P. = D: SK pengangkatan, Sertifikat PPGD.
O: Pelayanan di gawat darurat.
W: Kepala Unit.
Skor :
Catatan / keterangan :
S.3 P.3. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang tersedia sesuai dengan
kebutuhan pasien.
22
Skor
0 = Jumlah dan kualifikasi tidak memenuhi kebutuhan
1 = Tersedia tenaga perawat; belum terlatih; belum cukup
jumlahnya.
2 = Tersedia tenaga perawat dan dokter; belum terlatih; belum
cukup jumlahnya.
3 = Tersedia tenaga perawat dan dokter; sudah terlatih; belum
cukup jumlahnya.
4 = Tersedia tenaga perawat, dokter dan konsulen; sudah
terlatih tetapi tidak cukup jumlahnya.
5 = Tersedia tenaga perawat, dokter dan konsulen, cukup
jumlahnya serta sudah mengikuti pelatihan
penanggulangan kegawatdaruratan; tersedia dokter
konsulen jaga lebih dari 4 jenis spesialisasi.
D.O. = Kecukupan jumlah dan kualifikasi tenaga perawat, dokter
dan konsulen harus ditetapkan melalui penetapan pola
ketenagaan di unit/instlasi gawat darurat. Pola ketenagaan
ini harus ditetapkan dengan SK pimpinan rumah sakit.
Pelatihan penanggulangan kegawatdaruratan harus
dibuktikan dengan sertifikat PPGD, ATLS atau ACLS.
Jenis spesialisasi disesuaikan dengan jenis pelayanan yang
tersedia di Rumah Sakit.
C.P. =
D = Ketetapkan Pola Ketenagaan Unit/Instalasi Gawat Darurat,
SK pengangkatan pegawai UGD, sertifikat/bukti pelatihan,
uraian tugas masing-masing petugas.
O = Instalasi Gawat Darurat, Bagian kepegawaian.
W = Penanggung jawab/Kepala UGD .
Skor :
23
Catatan / keterangan :
S.3.P.4. Semua dokter dan tenaga keperawatan mampu melakukan teknik
pertolongan hidup dasar (Basic Life Support).
Skor
0 = Tidak pernah ada pelatihan bagi tenaga unit/instalasi gawat
darurat.
1 = Ada pelatihan tidak teratur untuk tenaga perawat
2 = Ada pelatihan tidak teratur untuk tenaga dokter
3 = Ada pelatihan tidak teratur untuk sebagian kecil tenaga
dokter dan perawat
4 = Ada pelatihan teratur untuk sebagian besar tenaga dokter
dan perawat
5 = Ada pelatihan teratur untuk semua tenaga dokter dan
perawat
D.O. = - Kemampuan melakukan teknik pertolongan hidup dasar
(Basic Life Support) diperoleh melalui pelatihan-
pelatihan yang harus dilakukan oleh rumah sakit bagi
tenaga staf yang bekerja di unit/instalasi gawat darurat;
- Pelatihan ini bisa diselenggarakan oleh tiap-tiap rumah
sakit sepanjang dapat memenuhi kualifikasi pelatihan
yang tersedia di rumah sakit sesuai dengan kurikulum
yang ada. Pelatihan teratur minimal 1 tahun 1 kali
- Pimpinan rumah sakit dapat menerbitkan surat
keterangan / sertifikat dari tenaga-tenaga yang selesai
menjalani pelatihan.
- Yang dimaksud dengan sebagian kecil adalah kurang 60
% jumlah perawat.
- Diperagakan teknik mengatasi masalah A, B dan C.
24
C.P. =
D = Daftar pegawai UGD, bukti pelatihan .
O = UGD
W = Pegawai UGD .
Skor :
Catatan / keterangan :
S.3.P.5.Informasi tentang pelayanan yang diperlukan sudah
dikomunikasikan kepada staf yang berkepentingan sebelum pasien
sampai.
Skor
0 = Tidak ada sistem informasi yang digunakan
1 = Sistem informasi sedang dalam proses penyusunan.
2 = Sistem informasi sudah ditetapkan dengan SK Direktur
akan tetapi belum disosialisasikan.
3 = Sistem informasi sudah ditetapkan dengan SK Direktur
akan tetapi sudah disosialisasikan.
4 = Sistem informasi sudah ditetapkan dengan SK Direktur
akan tetapi sudah disosialisasikan, sistem belum berjalan
lancar.
5 = Sistem informasi sudah ditetapkan dengan SK Direktur
akan tetapi sudah disosialisasikan, sistem sudah berjalan
lancar.
D.O. = Dalam sistem informasi ini yang perlu diatur adalah muatan
informasi yang dibutuhkan, media menyampaikan
informasi yang harus tersedia dan disampaikan.
25
Muatan informasi berisikan segala sesuatu tentang
kemampuan pelayanan gawat darurat dan pelayanan medis
lainnya untuk menangani pasien gawat darurat yang akan
disampaikan kepada pasien/keluarga yang meminta
informasi, termasuk pelayanan untuk bencana massal
(disaster).
C.P. =
D = Sistem informasi yang ditetapkan : untuk Rutin maupun
untuk Bencana massal.
O = Unit Gawat Darurat, Komite Medik.
W = Staf penerima pasien Gawat Darurat, perawat UGD.
Skor :
Catatan / keterangan :
Standar 4. Fasilitas dan Peralatan
Fasilitas yang disediakan harus menjamin efektivitas bagi pelayanan
pasien gawat darurat dalam waktu 24 jam terus menerus.
S.4.P.1 Ada kemudahan bagi kendaraan roda empat dari luar untuk
mencapai lokasi Instalasi/ Unit Gawat Daurat di rumah sakit,
dan kemudahan transportasi pasien dari dan ke UGD dari arah
dalam RS.
Skor :
0 = Tidak ada akses
1 = Ada akses tak langsung
26
2 = Ada akses langsung, tetapi tidak dapat dicapai dari arah dalam
RS
3 = Ada akses langsung, tetapi sukar dicapai dari arah dalam RS
4 = Ada akses langsung, mudah dicapai dari luar dan dari dalam
tetapi tidak tersedia tempat parkir khusus Ambulance atau
sebaliknya.
5 = Ada akses langsung, mudah dicapai dari luar dan dari dalam
dan ada lahan parkir bagi ambulance.
D.O : Akses langsung artinya, kendaraan roda empat dapat
sampai ke UGD tanpa hambatan.
Akses tidak langsung artinya, kendaraan roda empat sukar
mencapai UGD.
Tidak ada akses artinya kendaraan roda empat/ambulance
tidak dapat mencapai UGD.
Tidak dapat dicapai dari arah dalam RS artinya tidak ada
hubungan langsung UGD dengan Instalasi/Unit lain RS.
C.P. : D : Denah
W: Pasien, Keluarga, masyarakat, petugas RS
O : Lokasi UGD.
Skor :
Keterangan / catatan :
S.4. P.2 Ada pemisahan tempat pemeriksaan dan tindakan sesuai
dengan kondisi penyakitnya.
27
Skor :
0 = Tidak ada tempat pemeriksaan dan tindakan khusus
1 = Ada tempat pemeriksaan dan tindakan khusus tetapi bergabung
dengan Unit kerja lain
2 = Ada tempat pemeriksaan dan tindakan khusus tetapi kasus
medical dan bedah digabung
3 = Pemeriksaan dan tindakan untuk kasus medical dan bedah
terpisah tetapi sebagian ruang lain belum lengkap.
4 = Pemeriksaan dan tindakan untuk kasus medical dan bedah
terpisah belum ada ruangan petugas dan ruang tunggu
keluarga, fungsi belum berjalan baik
5 = Pemeriksaan dan tindakan untuk kasus medical dan bedah
terpisah, ruangan-ruangan lain lengkap, fungsi berjalan baik.
D.O : Ruangan di UGD meliputi :
Tempat triase
Tempat tindakan khusus yaitu resusitasi
Ruang tindakan : a. Medical
b. Bedah
Ruang observasi
Ruang tunggu keluarga
Ruang istirahat petugas
C.P. : D : Denah
O : Ruangan Instalasi/Unit Gawat Darurat
W: --
Skor :
Keterangan / Catatan
28
S.4. P.3 Pengadaan dan penyediaan peralatan, obat, bahan, cairan infus
dilakukan sesuai dengan standar pada Buku Pedoman Pelayanan
Gawat Darurat.
Skor :
0 = Tidak ada obat dan alat untuk life saving
1 = Ada obat, tidak ada alat, atau sebaliknya
2 = Ada obat, ada alat tak lengkap
3 = Ada obat, ada alat cukup
4 = Ada obat, alat lengkap
5 = Ada obat, alat sangat lengkap/sesuai dengan standar
D.O : Obat dan alat sangat lengkap : sesuai dengan standar yang
tercantum dalam buku “Pedoman Pelayanan Gawat Darurat”
dikecualikan 3 jenis alat yang tercantum halaman 22 dibawah
judul Alat dan Obat yang perlu untuk resusitasi
1. Pneumatic Trousers
2. Pace Maker
3. CVP (Central Venous Presure)
Tidak menjadi persyaratan
C.P. : D : Daftar alat dan obat untuk life sving. Prosedur / SPO
pengadaan / penyediaan obat / alat
O : Alat dan obat pelaksanaan pelayanan
W: Petugas
Skor :
Keterangan / catatan :
29
S4. P4 Ada sistem komunikasi untuk menjamin kelancaran hubungan
antara unit gawat darurat dengan :
unit lain di dalam dan di luar runah sakit yang terkait
rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya
pelayanan ambulance
unit pemadam kebakaran
konsulen SMF di UGD
Skor :
0 = Sarana komunikasi sangat minim; tidak ada prosedur.
1 = Sarana komunikasi cukup memadai; tidak ada prosedur.
2 = Sarana komunikasi cukup memadai; ada prosedur tetapi
tidak lengkap.
3 = Sarana komunikasi cukup baik; ada prosedur lengkap.
4 = Sarana komunikasi cukup baik, ada prosedur lengkap tetapi
belum berfungsi baik.
5 = Sarana komunikasi cukup baik, ada prosedur lengkap dan
berfungsi dengan baik.
DO : Sarana komunikasi minim: unit/instalasi gawat darurat tidak
mempunyai telepon intern maupun extern
Sarana komunikasi cukup memadai : unit/instalasi gawat
darurat mempunyai telepon intern dan extern. Hubungan
keluar unit/instalasi gawat darurat melalui telepon sentral
rumah sakit
Sarana komunikasi cukup baik : unit/instalasi gawat darurat
mempunyai telepon intern dan extern. Hubungan keluar
unit/instalasi gawat darurat dapat langsung
Yang dimaksud dengan prosedur adalah standar prosedur
operasi yang harus ditetapkan tertulis oleh pimpinan rumah
sakit
CP : D : Sistem komunikasi, sarana komunikasi, SPO
30
O : Pelaksanaan
W : Petugas gawat darurat
Skor :
Keterangan / Catatan :
S.4.P.5 Ada ketentuan tentang pemeriksaan, pemeliharaan dan
perbaikan peralatan secara berkala
Skor :
0 = Tidak ada ketentuan
1 = Ada ketentuan tidak tertulis
2 = Ada ketentuan tertulis tetapi tidak lengkap
3 = Ada ketentuan tertulis, lengkap, akan tetapi belum
dilaksanakan
4 = Ada ketentuan tertulis, lengkap, sebagian besar sudah
dilaksanakan
5 = Ada ketentuan tertulis, lengkap, semua sudah dilaksanakan
DO : - Yang dimaksud dengan ketentuan disini adalah Juklak atau
prosedur (SPO) yang mengatur tentang adanya daftar
peralatan yang berada dan digunakan di unit/instalasi
gawat darurat, skedul pemeriksaan/pemeliharaan peralatan,
kalibrasi peralatan, prosedur perbaikannya jika rusak,
penggantian (replacement) peralatan dan petugas yang
diberi tanggung jawab untuk melasanakan ketentuan ini.
31
- Yang dimaksud dengan “ semua sudah dilaksanakan”
adalah jika semua peralatan sudah menjalani pemeriksaan
dan pemeliharaan secara berkala, dan alat siap pakai.
C.P : D : Daftar perlatan, Juklak/SPO, bukti pemeliharaan
O : lingkungan UGD
W : petugas yang diberi tanggung jawab
Skor :
Keterangan / Catatan :
Standar 5. Kebijakan dan Prosedur
Harus ada kebijakan dan prosedur pelaksanaan tertulis di unit yang
selalu ditinjau dan disempurnakan (bila perlu) dan mudah dilihat oleh
seluruh petugas.
S.5. P.1 Ditetapkan kebijakan tentang TRIASE
Skor :
0 = Tidak ada kebijakan
1 = Kebijakan dalam proses penyusunan
2 = Ada kebijakan tetapi belum lengkap dan belum dilaksanakan
3 = Ada kebijakan, sudah lengkap, tetapi belum dilaksanakan
4 = Ada kebijakan, sudah lengkap, dilaksanakan oleh perawat
5 = Ada kebijakan, sudah lengkap, dilaksanakan oleh dokter
D.O : TRIASE adalah system :
32
1. Seleksi terhadap keluhan atau masalah penderita dalam
situasi sehari-hari
2. Seleksi penderita atau korban akibat adanya bencana
Yang dimaksud dengan kebijakan disini adalah ketentuan
tertukis yang ditetapkan pimpinan rumah sakit yang mengatur
tentang pelaksanaan Triase di unit/instalasi gawat darurat,
memuat juga Juklak/SPO
C.P. : D : Kebijakan, SPO, ketentuan tertulis di unit gawat darurat,
pelaksanaan
O : Pelaksanaan TRIASE
W: Petugas Triase.
Skor :
Keterangan / Catatan
S 5. P2 Ditetapkan kebijakan tentang pasien yang perlu dirujuk ke
rumah sakit lain.
Skor:
0 = Tidak ada kebijakan
1 = Kebijakan dalam proses penyusunan
2 = Ada kebijakan tetapi belum lengkap dan belum dilaksanakan
3 = Ada kebijakan, sudah lengkap, tetapi belum dilaksanakan
4 = Ada kebijakan, sudah lengkap, pelaksanaan tidak sesuai
Juklak/SPO
5 Ada ketentuan, sudah lengkap, pelaksanakaan sesuai
33
= Juklak/SPO
D.O : Yang dimaksudkan rujukan disini adalah pengiriman
pasien untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik/therapy
atau pasien yang dikirim untuk alih rawat
Untuk hal-hal tertentu dalam keadaan tertentu
pemeriksaan spesimen juga dapat dimasukkan kedalam
ketentuan rujukan ini.
Yang dimaksud kebijakan disini adalahg ketentuan
tertulis ketentuan tertulis yang ditetapkan pimpinan
rumah sakit yang mengatur tentang pelaksanaan dari
ketentuan ini, termasuk Juklak/SPO.
C.P : D : Juklak/SPO, laporan berkala, Daftar pasien yang dirujuk
O : Pelaksanaan SPO
W : Dokter dan perawat
Skor :
Keterangan / Catatan:
S 5.P 3 Ditetapkan kebijakan tentang penggunaan obat dan peralatan
untuk life saving.
Skor :
0 = Tidak ada kebijakan
1 = Kebijakan dalam proses penyusunan
2 = Ada kebijakan tetapi belum lengkap dan belum dilaksanakan
3 = Ada kebijakan , sudah lengkap, tetapi belum dilaksanakan
4 = Ada kebijakan, sudah lengkap, pelaksanaan belum sesuai
Juklak/SPO
34
5 = Ada kebijakan, sudah lengkap, dilaksanakan sesuai
Juklak/SPO
D.O : Yang dimaksud dengan kebijakan disini adalah ketentuan
tertulis yang ditetapkan pimpinan rumah sakit yang
mengatur tentang penggunaan obat dan peralatan life-saving,
termasuk juga Juklak dan SPO
C.P : D : Kebijakan, Juklak/Protap, SK penetapan, pelaksanaan
O : Pelaksanaan protap
W : Petugas
Skor :
Keterangan / Catatan :
S.5. P.4 Ditetapkan kebijakan, program, prosedur penanggulangan
bencana (Disaster Plan) yang mungkin terjadi didalam atau di
luar rumah sakit.
Skor :
0 = Tidak ada program
1 = Program sedang dalam proses penyusunan
2 = Ada program tidak lengkap
3 = Ada program lengkap tetapi belum dilaksanakan latihan
4 = Ada program lengkap, sudah dilaksanakan latihan tetapi belum
baik
5 = Ada progran lengkap dan sudah dilaksanakan latihan dengan
teratur
D.O :
Program harus berisi
Methodologi
35
Organisasi
Perencanaan SDM
Perencanaan Logistik
Perencanaan Komunikasi
Perencanaan transportasi
Pelaporan
Bencana/disaster yang mungkin terjadi dapat dalam bentuk
a.l. : kebakaran, keracunan massal, gempa bumi dan
kecelakaan massal.
C.P : D : Program, Pelaksanaan Latihan
O : -
W : -
Skor :
Catatan / keterangan :
Standar 6. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Instalasi gawat darurat dapat dimanfaatkan untuk pendidikan (in-
service training) dan pendidikan berkelanjutan bagi petugas.
S 6. P 1. Ada program orientasi/pelatihan bagi petugas baru yang bekerja di
UGD.
Skor
0 = Tidak ada program pelatihan .
1 = Ada semacam orientasi tetapi diberikan secara lisan saja .
2 = Ada orientasi tertulis tetapi dilaksanakan secara terbatas .
3 = Ada orientasi dan pelatihan sudah tertulis tetapi belum ada
penetapan pimpinan RS .
4 = Ada penetapan pimpinan RS, belum pernah dievaluasi .
36
5 = Ada program orientasi / pelatihan tertulis, sudah ditetapkan
pimpinan, dilaksanakan dengan baik, dievaluasi secara berkala
serta ditindaklanjuti.
D.O. = Program memuat:
1. Pengenalan RS.
2. Pengenalan tugas dan tata laksana di UGD.
C.P. =
D = Program tertulis, laporan pelaksanaan dan hasil evaluasi
tahunan tertulis.
O =
W = Petugas baru di UGD.
Skor :
Catatan / keterangan :
S.6.P2. Setiap tahun ditetapkan program pelatihan dan pengembangan
pegawai yang menyeluruh untuk meningkatkan keterampilan
tenaga yang bertugas di UGD. Program pelatihan dan
pengembangan ini telah sesuai dengan kebutuhan perseorangan dan
organisasi.
Skor
0 = Tidak ada program pelatihan dan pengembangan pegawai.
1 = Ada program pelatihan pegawai tetapi dampak dari program
ini tidak diukur.
2 = Ada program pelatihan, dampak terukur, belum ada evaluasi.
3 = Ad 2. Evaluasi dilakukan secara terbatas.
37
4 = Ad 3. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh, berkala dan
terstruktur.
5 = Ad 4. Ditambah tindak lanjut.
D.O. = Yang dimaksud dengan Program Pelatihan dan Pengembangan
pegawai yang lengkap adalah:
1 = Program ini disusun secra terstruktur, ditetapkan oleh
pimpinan
dan diterapkan secara luas.
2 = Ada sistem yang mengatur cara monitoring serta evaluasi
secara berkala.
3 = Ada sistem yang mengatur tentang tindak lanjut,
penyempurnaan materi pelajaran serta pengukuran
dampak program.
C.P. =
D = Adanya kebijaksanaan, SK, SPO, bukti-bukti evaluasi, laporan
tindak lanjut.
O = Bagian Diklat, Staf Diklat.
W = Staf bagian Diklat RS, salah satu pegawai yang pernah dilatih.
Skor :
Catatan / keterangan :
S.6.P.3. Ditetapkan program pelatihan secara teratur bagi petugas UGD
untuk menghadapi kemungkinan terjadinya berbagai macam
bencana (disaster).
Skor
38
0 = Tidak ada pelatihan .
1 = Ada semacam pelatihan tetapi disampaikan secara lisan
saja.
2 = Ada pelatihan sudah tertulis, hanya beberapa petugas saja
yang sudah mengikuti.
3 = Sudah seluruh pegawai mengikuti pelatihan
penanggulangan bencana, tetapi belum teratur
dilaksanakan.
4 = Sudah teratur dilaksanakan tetapi belum pernah dievaluasi.
5 = Ada pelatihan teratur, meliputi seluruh petugas UGD,
dilaksanakan dengan baik dan dievaluasi secara berkala.
D.O. = Latihan yang dimaksud adalah membiasakan pegawai pada
tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi
bencana misalnya:
- Latihan menggunakan alat pemadam kebakaran.
- Evakuasi pasien.
- Latihan minimal 1 tahun 1 kali.
C.P. : Program pelatihan, laporan pelaksanaan, evaluasi tahunan.
D = Modul pelatihan (Kerangka acuan), penetapan direktur,
jadwal pelatihan, bukti hadir, evaluasi berkala .
O = UGD
W = Petugas UGD .
Skor :
Catatan / keterangan :
39
S.6.P.4. Setiap tahun ditetapkan program pelatihan untuk meningkatkan
keterampilan dalam bidang gawat darurat bagi pegawai rumah sakit
dan masyarakat.
Skor
0 = Tidak ada program pelatihan tertulis.
1 = Sedang dalam proses penyusunan.
2 = Ada, tetapi belum lengkap.
3 = Ada, lengkap, belum dilaksanakan.
4 = Ada, lengkap, pelaksanaan belum baik.
5 = Ada program tahunan secara tertulis , untuk pegawai
Rumah Sakit dan masyarakat, dilaksanakan dengan baik,
dievaluasi secara berkala.
D.O. = Cukup jelas.
C.P. :
D = Program tertulis, laporan kegiatan, evaluasi tahunan
program tindak lanjutnya.
O = --
W = Petugas rumah sakit.
Skor :
Catatan / keterangan :
S.6.P.5. Pelayanan medis di UGD diberikan oleh Dokter Terampil.
Skor
0 = Jumlah dan kualifikasi tenaga dokter belum memenuhi
syarat; Tidak ada program pelatihan dokter terampil.
40
1 = Jumlah sudah memenuhi syarat akan tetapi kualifikasi
tenaga dokter belum memenuhi syarat; Tidak ada program
pelatihan dokter terampil.
2 = Jumlah dan kualifikasi tenaga dokter belum memenuhi
syarat; Ada program pelatihan dokter terampil.
3 = Jumlah sudah memenuhi syarat akan tetapi kualifikasi
tenaga dokter belum memenuhi syarat; Ada program
pelatihan dokter terampil.
4 = Jumlah dan kualifikasi tenaga dokter sudah memenuhi
syarat; Ada program pelatihan dokter terampil.
5 = Jumlah dan kualifikasi tenaga dokter sudah memenuhi
syarat; Ada program pelatihan dokter terampil, disertai
evaluasi terhadap program latihan dan tindak lanjutnya.
D.O. = Yang dimaksud dengan dokter terampil adalah dokter yang
sudah pernah mengikuti pelatihan PPGD/ATLS/ACLS.
Pelatihan ini harus dibuktikan dengan adanya sertifikat
pelatihan yang masih berlaku. Pelatihan dapat dilaksanakan
dalam bentuk in-house training atau diluar rumah sakit.
Pimpinan rumah sakit harus mendaftarkan pola ketenagaan
dokter di UGD sebagai dasar untuk merencanakan
kebutuhan tenaga dan dasar untuk mengukur kecukupan
jumlah dan kualifikasi tenaga dokter.
C.P. :
D = Dokumen pola ketenagaan, daftar tenaga dokter yang
bekerja purna waktu di UGD, program pelatihan dan
pelaporannya, dokumen evaluasi program pelatihan.
O = -
W = Ka UGD
Skor :
41
Catatan / keterangan :
S.6.P.6 Pelayanan keperawatan di UGD diberikan oleh perawat mahir.
Skor
0 = Jumlah dan kualifikasi tenaga perawat belum memenuhi
syarat; Tidak ada program pelatihan perawat mahir.
1 = Jumlah sudah memenuhi syarat akan tetapi kualifikasi
tenaga perawat belum memenuhi syarat; Tidak ada program
pelatihan perawat mahir.
2 = Jumlah dan kualifikasi tenaga perawat belum memenuhi
syarat; Ada program pelatihan perawat mahir.
3 = Jumlah sudah memenuhi syarat akan tetapi kualifikasi
tenaga perawat belum memenuhi syarat; Ada program
pelatihan perawat mahir.
4 = Jumlah dan kualifikasi tenaga perawat sudah memenuhi
syarat; Ada program pelatihan perawat mahir.
5 = Jumlah dan kualifikasi tenaga perawat sudah memenuhi
syarat; Ada program pelatihan perawat mahir, disertai
evaluasi terhadap program latihan dan tindak lanjutnya.
D.O. = Yang dimaksud dengan perawat mahir adalah perawat yang
sudah pernah mengikuti PPGD.
Pelatihan ini harus dibuktikan dengan adanya sertifikat
pelatihan. Pelatihan dapat dilaksanakan dalam bentuk in-
house training atau diluar rumah sakit. Pimpinan rumah
sakit harus menetapkan pola ketenagaan keperawatan di
UGD sebagai dasar untuk merencanakan tenaga perawat
dan dasar untuk mengukur kecukupan jumlah dan
kualifikasi tenaga perawat.
42
C.P. :
D = Dokumen pola ketenagaan, daftar tenaga perawat yang
bekerja purna waktu di UGD, program pelatihan dan
pelaporannya, dokumen evaluasi program pelatihan.
O =
W = Ka UGD, Kepala keperawatan, peserta program pelatihan.
Skor :
Catatan / keterangan :
Standar 7. Evaluasi dan Pengendalian Mutu
Ada upaya penilaian kemampuan dan hasil pelayanan instalasi gawat
darurat secara terus menerus.
S.7.P.l. Data dan informasi tentang pelayanan gawat darurat serta
analisisnya disediakan dan disampaikan kepada unit lain yang
terkait.
Skor
0 = Tidak ada pengumpulan data.
1 = Ada pengumpulan data, tetapi tidak teratur.
2 = Ada pengumpulan, teratur, belum diolah.
3 = Ada pengumpulan data, teratur, sudah diolah.
4 = Ada pengumpulan data, teratur, sudah diolah disertai
analisisnya.
5 = Ada pengumpulan data, teratur, sudah diolah disertai
analisis; Informasi sudah disampaikan ke unit kerja lain
yang terkait.
43
D.O. = - Informasi adalah data yang telah diolah dan dianalisa.
Informasi ini harus paling sedikit memuat :
- * jumlah kunjungan
- * penggunaan pemeriksaan penunjang
- * pola penyakit dan kecelakaan (10 terbanyak)
- * angka kematian
- * kasus mediko-legal (visum et repertum)
- Angka kematian adalah:
Death on arrival.
Kematian di UGD.
- Diinformasikan di dalam RS artinya:
Di pertemuan dalam RS.
Bulletin RS / Surat Edaran / Laporan Internal.
- Diinformasikan di luar RS artinya:
Di papan informasi untuk masyarakat umum.
Pertemuan ilmiah di luar RS.
Publikasi
C.P. :
D = Laporan tertulis, buletin / majalah ilmiah, informasi di
papan untuk masyarakat umum.
O = Instalasi UGD.
W = Kepala UGD, staf, petugas unit terkait.
Skor :
Catatan / keterangan :
S.7.P.2. Dilakukan evaluasi mengenai penanganan kasus kecelakaan dan
kasus medis paling sedikit setahun sekali.
44
Skor
0 = Tidak ada kasus kecelakaan.
1 = Ada kasus kecelakaan dan medis tetapi tidak pernah didata.
2 = Ada data tentang kasus kecelakaan dan kasus medis tetapi
dimasukkan kedalam kasus kasus umum.
3 = Ada data tentang kasus kecelakaan dan medis tetapi belum
pernah dianalisis dan dievaluasi.
4 = Ada data tentang kasus kecelakaan dan medis; dilakukan
evaluasi dan analisis tetapi tidak teratur.
5 = Ada data tentang kasus kecelakaan dan medis; dilakukan
evaluasi dan analisis secara teratur dan berkala.
D.O. = Penekanan parameter ini adalah pada evaluasi penanganan
kasus “True emergency”.
Evaluasi mengandung:
1. Jumlah kasus.
2. Jenis.
3. Rujukan.
4. Umpan balik hasil penanganan.
5. Kematian.
C.P. =
D = Data UGD, informasi teratur tentang kasus kecelakaan,
bukti analisis dan evaluasi .
O = Rekam Medik, UGD
W = Petugas Rekam Medik RS, petugas UGD
Skor :
Catatan / keterangan :
45
S.7.P.3. Ketentuan tentang Informed Consent (IC) telah dilaksanakan oleh
staf medis dan perawat.
Skor
0 = Tidak ada prosedur IC; Tidak ada formulir IC.
1 = Tidak ada prosedur IC; Ada formulir IC ditetapkan sendiri
oleh IGD;
2 = Ada prosedur dan formulir IC, ditetapkan sendiri oleh IGD,
tetapi belum dilaksanakan.
3 = Ada prosedur dan formulir IC, ditetapkan sendiri oleh IGD,
sudah dilaksanakan
4 = Ada prosedur dan formulir IC, ditetapkan oleh pimpinan
rumah sakit, sudah dilaksanakan.
5 = Ada prosedur dan formulir IC, ditetapkan oleh pimpinan
rumah sakit, sudah dilaksanakan disertai adanya
evaluasi/audit dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
ketentuan tentang IC.
D.O. = Pengaturan IC dalam bentuk ketentuan atau peraturan
rumah sakit harus dibuat tertulis dan ditetapkan oleh
pimpinan rumah sakit mengacu pada pedoman yang dimuat
dalam :
1. Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor : 585/MENKES/PER/X/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik;
2. Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik
Nomor : HK. 00.06.3.5.1866, tanggal 21 April 1999
tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik
(Informed Consent).
Kepala Unit Gawat Darurat (UGD) harus melakukan
evaluasi berkala terhadap pelaksanaan ketentuan ini dan
melaporkan hasil evaluasi ini kepada Pimpinan rumah sakit.
46
C.P. =
D = SK Direktur RS, Juklak/SPO IC, hasil evaluasi, laporan
O = Observasi: pelayanan
W = Wawancara: perawat, staf medis.
Skor :
Catatan / keterangan :
S.7.P.4. Indikator klinis dikumpulkan, diolah dan dianalisis untuk
digunakan melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan.
Skor
0 = Tidak ada pengumpulan data indikator klinis
1 = Ada pengumpulan data indikator klinis, akan tetapi tidak
teratur
2 = Ada pengumpulan data indikator klinis, teratur, tanpa
analisis
3 = Ada pengumpulan data indikator klinis, teratur disertai
analisis
4 = Ada pengumpulan data indikator klinis, teratur disertai
analisis dan rekomendasi.
5 = Ada pengumpulan data indikator klinis, teratur disertai
analisis, rekomendasi dan tindak lanjut
D.O. = Yang dimaksud dengan indiaktor klinis adalah indikator
yang tercantum dslsm Buku Petunjuk Pelaksanaan Indikator
Mutu Pelayanan Rumah Sakit ( World Health Organization
–Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan, 1998 ). Salah satu indikator klinis yang harus
47
dikumpulkan, diolah dan dinalisis dalam standard ini adalah
Angka Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat
Darurat (Emergency Response Time Rate), atau
disingkat Angka KPPGD.
Pengumpulan data dan analisis untuk keperluan ini harus
ditetapkan secara tertulis disertai kerangka acuan (TOR)
jelas. Analisis harus dilakukan secara berkala 3 (tiga) bulan
sekali secara terus menerus. Yang harus disimpulkan dari
analisis ini adalah kecenderungan (trend) dari
Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat. Perlu
dilakukan penilaian, analisis serta evaluasi kemajuan
pelayanan.
C.P. =
D = Kerangka Acuan (TOR), pembentukan unit pelaksana,
dokumen analisis, rekomendasi dan tindak lanjut
O = UGD,
W = Ketua Komite Medis, Ketua Komite Mutu
Skor :
Catatan / keterangan :
S.7.P.5. Dilakukan evaluasi terhadap kejadian kematian di UGD.
Skor
0 = Tidak ada pencatatan dan pelaporan kematian di UGD
1 = Tidak ada pencatatan kematian di UGD; Ada pelaporan
tidak tertulis
2 = Ada pencatatan akan tetapi tidak ada pelaporan kematian di
48
UGD
3 = Ada pencatatan dan pelaporan kematian di UGD
4 = Ada pencatatan dan pelaporan kematian di UGD disertai
analisis terhadap kematian secara berkala
5 = Ada pencatatan dan pelaporan kematian di UGD disertai
analisis terhadap kematian secara berkala, rekemondasi dan
tindak lanjutnya.
D.O. = Angka Kematian di UGD = Jumlah kematian x 100
Jumlah Pasien UGD
Angka kematian ini harus dikumpulkan dan dilaporkan
setiap 3 bulan sekali. Yang perlu diperhatikan adalah
kecenderungan angka kematian ini dari waktu ke waktu.
Tidak dimasukkan didalam angka kematian ini Death On
Arrival (DOA).
C.P. =
D = Laporan, notulen pertemuan, bukti tindak lanjut.
O = -
W = Direksi RS, Ka UGD, Kepala Rekam Medis.
Skor :
Catatan / keterangan :
49
2.8. Status Akreditasi
Keputusan status akreditasi nasional rumah sakit adalah:
a. Tidak diakreditasi/ Tidak lulus
- Nilai total < 65%
b. Akreditasi Bersyarat
- Nilai total > 65% , < 75%
- Tidak ada nilai <= 60%
- Satu tahun diakreditasi lagi
c. Akreditasi Penuh
- Nilai total >= 75%
- Tidak ada nilai <= 60%
- Tiga tahun masa berlaku
d. Akreditasi Istimewa
- Didapat 3x berturut-turut
- Lima tahun masa berlaku
50
BAB III
STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1. Contoh Kasus
71% RS di Jatim Tak Terakreditasi
Jumat, 12/08/2011 | 10:28 WIB sumber : Surabaya post online
SURABAYA- Bertambahnya jumlah rumah sakit (RS) di Jatim
ternyata masih saja tak diimbangi dengan peningkatan layanan kesehatan
memadai. Indikasi ini setidaknya masih rendahnya jumlah RS yang
mengantongi akreditasi dari Kementerian Kesehatan. Dari 309 RS di Jatim
hanya sekitar 29% atau sekitar 90 RS yang sudah terakreditasi. Sisanya
71% atau sebanyak 219 tidak terakreditasi.
Kepala Dinas Kesehatan Jatim, Drs Mudjib Affan MARS
mengatakan, akreditasi RS menjadi sesuatu hal yang penting lantaran
menjadi jaminan bagi masyarakat mendapatkan kualitas layanan kesehatan.
“Setiap rumah sakit harus terakreditasi, karena akreditasi merupakan salah
satu standart kualitas dan pelayanan rumah sakit,” kata Affan, Kamis (11/8).
Lantaran itu, Dinkes Jatim menargetkan tahun 2012 nanti seluruh RS
harus sudah mendapatkan akreditasi paling tidak secara nasional di Jatim
yang berlaku untuk rumah sakit tipe A, B, C dan D.
Ia menyebutkan, dari 309 RS di Jatim rinciannya 206 RS swasta, 58
RS pemerintah, 12 RS BUMN atau BUMD dan 25 RS milik TNI dan
polri. ”Jumlah tersebut telah memenuhi jumlah penduduk di Jatim,”
paparnya.
Sebab dari 309 RS tersebut setidaknya ada lebih dari 4.000 tempat
tidur.“Untuk jumlah rumah sakit memang sudah mencukupi. Namun,
persebarannya belum merata,” katanya.
Ia mengungkapkan, RS tersebut sebagian ada di kota besar. Seperti
Surabaya, Malang, Kediri, Jombang dan kota besar lainnya. Di kota tersebut
semua tipe rumah sakit ada di kota besar. Sedangkan di daerah kebanyakan
51
rumah sakit bertipe C dan D dengan jumlah yang cukup sedikit. Karena itu,
ia mengimbau agar lembaga swasta yang ingin mendirikan rumah sakit di
kota besar dan kota lain dibatasi. Dengan memberlakukan syarat yang lebih
tinggi. Sebab, dengan penyebaran rumah sakit yang tidak merata tersebut
maka, akreditasi bisa menjadi jaminan mutu pelayanan bagi masyarakat.
“Jadi, kalau bisa dengan adanya akreditasi rumah sakit maka pelayanan di
RS daerah dan kota besar sama,” ungkapnya.
Dihubungi terpisah, Dr Slamet Riyadi Yuwono, DTMH, MARS,
Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Jatim membenarkan,
kalau tidak semua rumah sakit di Jatim terakreditasi. “Jumlahnya memang
relatif masih kecil,” paparnya.
Jumlah yang cukup kecil tersebut, lantaran dulunya akreditasi
dilakukan sebagai imbauan saja. Namun, setelah muncul Undang-Undang
No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit maka akreditasi menjadi kewajiban
bagi semua rumah sakit.
Tapi, lanjut dia, hal ini tidak hanya terjadi di Jatim saja. Sebab data
Kementerian Kesehatan tahun 2010 mengungkapkan dari 1.523 rumah sakit
di Indonesia dan baru 653 RS yang terakreditasi. Sedangkan saat ini jumlah
rumah sakit sudah 1.668 unit. “Sebanyak 50 persen dari rumah sakit yang
belum terakreditasi adalah rumah sakit pemerintah, dan 50 persen lainnya
rumah sakit swasta,” terangnya.
Akreditasi rumah sakit, kata dia, diperlukan sebagai batas penilaian
pelayanan yang diberikan rumah sakit. Rumah sakit yang terakreditasi
berarti sudah memenuhi standar pelayanan yang ditentukan pemerintah.
Akreditasi rumah sakit dibagi tiga, yaitu untuk lima pelayanan, 12
pelayanan dan 16 pelayanan. Saat ini mayoritas RS yang mendapatkan
akreditasi, baru sampai tahap lima pelayanan “ Rumah sakit yang
terakreditasi akan memberikan keuntungan pada masyarakat berupa
kepastian hukum serta standart pelayanan medis. Seperti jaminan pelayanan
dan Standart Operation Procedure (SOP). Di Jatim langkah langkah yang
rumah sakit akreditasi yang belum,”terangnya.
52
Ia mengatakan, terdapat beberapa kendala yang menyebabkan rumah
sakit tidak mendapatkan akreditasi, di antaranya mutu pelayanan yang
memang tidak memenuhi syarat atau kurang tenaga kerja. “Selain akreditasi
lokal, pemerintah juga mendorong agar seluruh rumah sakit memiliki
akreditasi internasional. Hingga saat ini, hanya empat rumah sakit di
Indonesia yang memiliki mutu dunia, antara lain, RS Siloam, RS Sentosa
dan RS Eka,” katanya.
3.2. Analisis dan Solusi Masalah
Berdasarkan studi kasus tersebut alasan dari masih banyaknya rumah
sakit yang belum mendapatkan akreditasi adalah pelaksanaan akreditasi
sebelumnya hanya berupa imbauan, sehingga hanya sedikit yang berinisiatif
untuk mengajukan akreditasi. Ketika UU no 44 tahun 2009 tentang
diterapkan, terlihatlah bahwa masih banyak RS yang belum melakukan
akreditasi. Permasalahan lain yang menjadi kendala pelaksanaan akreditasi
adalah banyak RS yang belum memiliki tenaga kerja yang memadai, seperti
belum adanya tenaga dokter dan tenaga medis tetap. Selain itu mutu
pelayanan di banyak RS juga tidak memenuhi mutu pelayanan yang
disyaratkan. Sehingga banyak RS masih sulit untuk mendapatkan sertifikat
akreditasi.
Pelaksanaan akreditasi RS sangat penting, karena akan memberi
jaminan kualitas pelayanan bagi masyarakat. Akreditasi akan memberikan
standard bagi RS secara nasional, sehingga memungkinkan penyetaraan
kualitas RS di daerah dan kota. Pemberian akreditasi memungkinkan RS
berkompetisi secara sehat, dalam meningkatkan pelayanan dan mutu rumah
sakit itu sendiri. Sehingga bagi masyarakatnya pun bisa memudahkan
mereka dalam mendapatkan akses rujukan dan mendapatkan pelayanan
kesehatan yang lebih bermutu sesuai dengan tujuannya yaitu menciptakan
masyarakat Indonesia yang sehat.
Akreditasi memberikan jaminan bagi masyarakat tentang mutu
pelayanan dari rumah sakit. Sementara itu, jika sebuah rumah sakit tidak
melakukan akreditasi maka izin operasionalnya akan dicabut. Per- 1
53
november 2011 akan dimulai akreditasi. Sesuai dengan peraturan yang
mengatur tentang akreditasi itu berlaku setelah dua tahun masa sosialisasi.
Maka setelah tanggal itu sanksi pencabutan izin operasional bagi rumah
sakit yang belum terakreditasi benar-benar di berlakukan.
Salah satu solusi dari permasalahan diatas adalah dengan pemenuhan
sumber daya yang lebih baik. Setiap rumah sakit hendaknya memiliki
tenaga dokter dan tenaga medis yang mencukupi, sehingga pelayanan yang
ditawarkan akan lebih bermutu kepada masyarakat. Bukan hanya dari segi
kuantitas tenaga dokter dan medis, namun kualitas dari skill mereka pun
harus ditingkatkan. Selain itu juga pemenuhan fasilitas dan peralatan
kesehatan yang diperlukan masyarakat yang berada dalam jangkauan rumah
sakit juga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Dalam upaya pemenuhan akreditasi, rumah sakit sudah seharusnya
memberi perhatian yang lebih. Pihak rumah sakit harus mempersiapkan
semua hal mulai dari fisik bangunan, pelayanan kesehatan, perlengkapan,
obat-obatan, ketenagaan dan administrasi sebelum pelaksanaan akreditasi.
Sehingga target pemenuhan akreditasi dapat terpenuhi, dan pelayanan
rumah sakit pun dapat meningkat sesuai dengan harapan masyarakat.
3.3.
54
KESIMPULAN
Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang
diberikan oleh lembaga independen yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai
bahwa rumah sakit itu memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang berlaku.
Tujuan utama akreditasi rumah sakit adalah agar kualitas pelayanan yang
diberikan terintegrasi dan menjadi budaya sistem pelayanan di rumah sakit
sehingga memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Akreditasi dilakukan sekurang-kurangnya setiap tiga tahun sekali dan
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Survei akreditasi ini dilakukan oleh badan
yang terlegitimasi dan di Indonesia adalah komite akreditasi rumah sakit dan
sarana kesehatan lainnya (KARS). Sedangkan sertifikasi diberikan oleh dirjen
pelayanan medis depkes RI berdasarkan rekomendasi KARS.
Dinas kesehatan hendaknya melakukan koordinasi dan pembinaan ke rumah
sakit, baik negeri maupun swasta agar melaksanakan akreditasi. Karena sesuai
dengan UU No 44 tahun 2009 menyebutkan bahwa RS yang tidak melaksanakan
standarisari akreditasi terancam dicabut izin operasionalnya.
55
DAFTAR PUSTAKA
UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 417/Menkes/Per/II/2011
tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit
http://ngada.org/bn124-2011.htm
http://akreditasi.web.id
http://jurnal.pdii.lipi.go.id
56