Post on 24-Jul-2015
1
LAPORAN KASUS
ATRESIA DUODENUM
Oleh
Nur Rahmat Wibowo, S.Ked
I11106029
Pembimbing
dr. Hermanto, Sp.B, Sp.BA
SMF BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DOKTER SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
2
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul :
“Atresia Duodenum”
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Mayor Ilmu Bedah di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso
Pontianak
Pontianak, Januari 2012
Pembimbing
dr. Hermanto, Sp.B, Sp.BA
NIP.19560130 198302 1 001
Disusun oleh :
Nur Rahmat Wibowo,S.Ked
NIM. I11106029
3
BAB I
PENDAHULUAN
Atresia Duodenum adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum
(bagian terkecil dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan
ke usus. Atresia duodenum merupakan salah satu abnormalitas usus yang biasa
ditemui didalam ahli bedah pediatrik dan merupakan lokasi yang paling sering
terjadinya obstruksi usus di hampir semua kasus osbtruksi.1. Atresia duodenum
dijumpai satu diantara 6.000─10.000 kelahiran hidup. Dasar embriologi terjadinya
atresia duodenum disebabkan karena kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase
padat intestinal bagian atas dan terdapat oklusi vascular di daerah duodenum
dalam masa perkembangan fetal.2
Setengah dari semua bayi baru lahir dengan
atresia duedenal juga mempunyai anomali kongenital pada sistem organ lainnya.
Lebih dari 30% dari kasus kelainan ini ditemukan pada bayi dengan sindrom
down. Adapun kelainan lain yang dapat ditemui diantaranya pancreas annulare
(23%), Penyakit jantung congenital (22%), malrotasi (20%), atresia esophagus
(8%) dan lainnya (20%).1 Laporan lain menyebutkan bahwa atresia duodenum
berkaitan dengan prematuritas (46%), maternal polyhidramnion (33%), down
syndrome (24%), pankreas annulare (33%) dan malrotasi (28%).3
Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana mengakibatkan bayi dapat
mengalami asfiksia, dehidrasi, hiponatremia dan hipokalemia yang diakibatkan
muntah-muntah.2
Berikut ini akan diuraikan sebuah kasus bayi dengan atresia duodenum dari
aspek teori, penatalaksanaan, serta kesesuaian teori dengan penatalaksanaannya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari
usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka
dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke
usus.4
2.2 Embriologi
Minggu 4 pertumbuhan lapis epitel usus lebih cepat dibandingkan panjang
lempeng usus,shg terdapat sumbatan usus. Seiring pertumbuhan usus, mulai pula
proses vakuolisasi sehingga terjadi rekanalisasi usus. Rekanalisasi berakhir
minggu 8─10. Penyimpangan rekanalisasi menyebabkan, stenosis, atresia,web/
diafgrama mukosa. Penyimpangan rekanalisasi paling sering di daerah papila
vateri.4
Atresia duodenum disebabkan kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase
padat intestinal bagian atas, terdapat oklusi vascular dalam duodenum. Terdapat
hubungan kelainan perkembangan khususnya dengan pancreas dalam bentuk baji
yang interposisi antara bagian proksimal dan distal atresia; pancreas anulare.4
Gambar 1. Tipe anomali rekanalisasi
duodenum. Dilatasi segmen proksimal
yang normal diperlihatkan pada masing-
masing tipe. A. Diafragma; B. Solid cord
dan atresia; C. segmental absence.5
5
Pendapat lain mengungkapkan bahwa pancreas bagian ventral duodenum
mengadakan putaran ke kanan dan fusi dengan bagian dorsal. Bila saat putaran
berlangsung ujung pancreas bagian ventral melekat pada duodenum maka
berbentuk cincin pancreas (anulare) yang melingkari duodenum. Duodenum tidak
tumbuh sehinnga terbentuk stenosis atau atresia. Akhir saluran empedu umumnya
duplikasi, masuk ke duodenum di atas dan bawah atresia sehingga empedu dapat
dijumpai baik diproksimal ataupun distal atresia.6
2.3 Epidemiologi
Insiden atresia duodenum adalah 1 per 5000─10.000 kelahiran. Obstruksi
duodenum kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi
duodenal kongenital (atresia duodenal 40─60%, duodenal web 35─45%, pankreas
anular 10─30%, stenosis duodenum 7─20%). Tidak terdapat predileksi rasial dan
gender pada penyakit ini. Sekitar setengah dari bayi yang lahir dengan obstruksi
duodenal mempunyai kelainan congenital dari sistem organ lain.7
Tabel 1. Congenital Anomalies Associated With Duedenal Atresia3
Type No. (%) of cases
Cardiac 53 (38)
Renal 19 (14)
Esophageal atresia or tracheoesophageal fistula 8 (6)
Imperporata anus 7 (5)
Skeletal 8 (6)
Central nervous system 4 (3)
Other* 11 (8)
*Other indicates additional anomalies
Laporan lain menyebutkan (Arnold, 2003) bahwa anomali yang berhubungan
dengan obstruksi duodenal adalah Down syndrome (28%), Pankreas annulare
(23%), Penyakit jantung kongenital (23%), Malrotasi (20%), Atresia
esofagus/fistula trakheaesofageal (9%), Kelainan traktus Genitourinaria (8%),
Anomalies anorektal (4%), kelainan usus lainnya (4%) dan anomali lainnya
(11%).8
6
2.4 Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih
belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya
ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi
neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan
perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia
usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan
pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor
resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun
hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21
(sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam
perkembangan atresia duodenum.4
2.5 Patologi
Dapat disebabkan faktor intrinsik didalam duodenum, dapat total atau
parsial, atau tanpa diafragma mukosa. Diameter bukaan dapat kecil sekali atau
besar, mendekati diameter lumen normal. Faktor ekstrinsik tekanan laur
duodenum seperti pita Ladd.6
Ladd mengklasifikasikan obstruksi duodenal menjadi instrinsic and extrinsic
lesion. Beberapa penyebab paling umum diperlihatkan pada table di bawah ini.
Tabel 2. Ladd Clasification: Several congenital lesion Whether intrinsic
or extrinsic can cause complete or partial obstruction7
Instrinsic Lession Extrinsic Lession
Duodenal atresia Annular pancreas
Duodenal stenosis Malrotation
Duodenal web Peritoneal bands
Anterior portal vein
7
2.6 Klasifikasi
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:7
1) Tipe I (92%)
Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa
tanpa lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu
hingga beberapa millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal
dan distal. Lambung dan duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi
(Mucosal web Tipe I atresia). Arteri mesenterika superior intak.
2) Tipe II (1%)
Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous
cord Tipe II atresia). Arteri Mesenterika intak.
3) Tipe III (7%)
Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat
(Complete separation Tipe III atresia).
Gambar 2. Atresia duodenal; 3 tipe anatomis9
Tipe I
Tipe II Tipe III
8
2.7 Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal
yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau
kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi).
Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam
usia kehamilan 30─60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara
sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum
padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses
apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan
normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan
dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling
duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal
daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut,
yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm,
dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan
embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam
mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.
2.8 Diagnosis
2.8.1 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak
tinggi. Atresia duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam
pertama setelah lahir. Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-
biliosa karena 15% kelainan ini terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang
sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas saluran
cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa
tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak yang muntah
dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna
proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan
menyeluruh.10,11
9
Distensi abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian
atas. Banyak bayi dengan atresia duodenal mempunyai abdomen scaphoid,
sehingga obstruksi intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai
epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal.
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak
terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera
terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika
hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik
hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada
obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek
obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam
jumlah bermakna. Jaundice terlihat pada 40% pasien, dan diperkirakan karena
peningkatan resirkulasi enterohepatik dari bilirubin.11
Riwayat kehamilan dengan penyulit polihidramnion dan bayi dengan
sindroma Down harus dicurigai menderita atresia duodenal. Polihidramnion
terlihat pada 50 % dengan atresia duodenal.10,11
Gambar 3. Pasien dengan Sindrome Down yang menderita atresia duodenal1
2.8.2 Pemeriksaan Penunjang
a) Foto polos abdomen
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak
akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble),
gelembung lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung
10
mungkin duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau
membrane prapilorik. Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus
ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai gelembung udara
kecil kecil di distal, mungkin stenosis duodenum, diafgrama membrane
mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa volvulus2,12
Gambar 4. Foto polos abdomen posisi AP dan lateral yang
memperlihatkan gambaran “the double-bubble sign” pada atresia
duodenum.5
b) USG Abdomen
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi
duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar
untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi
dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi
duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda)
pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan
gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik
yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat
konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana
kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan
anomali saluran cerna.10,11
11
Gambar 5. Prenatal sonogram pada potongan sagital oblik memberikan
gambaran double bubble sign pada fetus dengan atresia
duodenum. In utero, the stomach (S) dan duodenum (D) terisi
oleh cairan.12
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Persiapan Prabedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan
lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan
aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan
hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi hari
berikutnya.2
2.8.2 Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan
tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus
dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir.
Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi
pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah
dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang
minimal invasive.7
Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan Anastomosis
12
duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat terjadi
pemotongan ampula vateri dan saluran Wirsungi.6
Prosedur pembedahan dimulai dengan insisi tranversal pada supra umbilikal
abdominal, 2 cm di atas umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah sampai
kuadran kanan atas. Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan inspeksi di
dalamnya untuk mencari kemungkinan adanya kelainan anomali lainnya. Untuk
mendapatkan gambaran lapang pandang yang baik pada pars superior duodenum,
dengan sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver) selanjutnya kolon
asenden dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan perlahan-lahan. 7
Terdapat dua bentuk anastomosis duodenduodenostomy yang dapat
dilakukan yaitu bentuk 1) Side to side duodenostomy dan 2) Proksimal tranverse
to distal longitudinal (Diamond Shaped Duodenoduodenostomy).7
Gambar 6. Transverse supra-
umbilical abdominal incision.13
13
Gambar 7. Side-to-side Duodeno-duodenostomy and “diamond-shaped”
anastomosis13
Tindakan operasi Diamond Shaped Duodenoduodenostomy (DSD)
dilakukan sebagai berikut.
Incisi tranversal pada akhir duodenum proximal
Insisi longitudinal dibuat pada bagian yang lebih kecil duodenum distal
Papila Vattery ditempatkan dengan melihat bile flow
Orientasi penyambungan seperti pada gambar di atas (gambar)
Nellaton cateter yang kecil dimasukkan melalui ujung segmen distal yang
dibuat.
20─30 ml saline hangat diinjeksikan
Cateter kemudian dilepas
Biagio Zuccarello et al (2009) melakukan modifikasi teknik Kimura untuk
tindakan pembedahan pada atresia duodenal, yaitu sebagai berikut.14
14
Gambar 8. Personal modification (inverted diamond-shaped anastomosis): (a-b)
longitudinal incision on the proximal dilated duodenum and transverse incision on
the distal duodenum; (c-d-e-) anastomosis of posterior duodenal wall in a single
layer with interrupted sutures;(f-g) anastomosis of the anterior duodenal wall.14
2.9 Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi,
terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi
komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan
motilitas usus, atau refluks gastroesofageal.
Penelitian Laura K et al3 (1998) yang dilakukan terhadap 92 neonatus
dengan atresia duodenal (Tipe I 64%, Tipe II 17%, Tipe III 18%) dengan
melakukan tindakan pembedahan Duodenoduodenostomy (86%), duodenotomy
with web excision (7%) and duodenojejunostomy (5%), didapatkan komplikasi
postoperative (Postoperative Complications) yaitu 4 neonatus (3%) dengan
obstruksi, congestive heart failure (9%), ileus paralitik yang berkepanjangan (4%),
pneumonia (5%), infeksi luka superfisialis (3%). Komplikasi lanjut termasuk
perlekatan obtruksi usus (9%), dismotilitas duodenal lanjut yang menghasilkan
megaduodenum yang membutuhkan duodenoplasty (4%), dan gastroesophageal
15
refluks disease yang tidak respon dengan pengobatan dan membutuhkan
pembedahan antirefluk (Nissen Fundoplication Surgery) (5%).3
Angka kematian (Operative Mortality Rate) adalah 4% (5/138). 5 Kasus
kematian terjadi dalam 30 hari postoperative dan berhubungan dengan complex
congenital heart anomalies. 14 kasus (10%) berhubungan dengan sepsis dan Multi
organ system failure termasuk gagal jantung pada 6 kasus (4%).,meningitis pada 1
kasus (0,7%), gagal hati pada 1 kasus (0,7%) dan penyakit jantung kongenital
kompleks pada 4 kasus (3%). 2 kasus (1%) tidak diketahui penyebab
kematiannya.3
2. 10 Prognosis
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun
terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan
teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.4,7
Tabel 3. Survival Data for Duedenal Atresia3
Location of Atresia Source, Years Survival, %
Duedenal Atresia deLorimier et al, 1969 60
Nixon and Tawes, 1971 60
Stauffer and Irving, 1977 69
Kullendorf, 1983 90
Grosfeld and Rescoria, 1993 95
Mooney et al, 1987 95
Current study 86
Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomaly lain yang dialami
khususnya bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung (complex
cardiac anomaly). Faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat mortalitas adalah
prematuritas, BBLR dan keterlambatan diagnosis.15
16
BAB III
PENYAJIAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : By. Ny R
Umur : 1 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Rasau Jaya III
Tanggal masuk : 13 Januari 2012
No MR : 748985
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 15 Januari 2012.
Keluhan Utama:
Muntah hijau
Riwayat Penyakit Sekarang:
Dua belas jam setelah lahir pasien muntah-muntah hebat yang berwarna hijau,
muntah menyemprot dan setiap kali diberikan susu botol selalu dimuntahkan.
Perut bagian atas pasien terlihat kembung. Perut yang kembung tersebut
menjadi kempes kembali setelah muntah.
Dua puluh jam Setelah Masuk Rumah Sakit pasien buang air besar, warna
biasa, tidak ada lendir dan darah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal care pada usia kehamilan 32 minggu
dengan mengunakan USG diperoleh informasi bahwa terdapat cairan amnion
yang banyak pada kehamilan ibu pasien (Polihidramnion).
17
Riwayat Kelahiran
Bayi lahir kurang bulan (36 minggu), ditolong oleh dokter Spesialis kebidanan
melalui operasi seksio sesarea atas indikasi CPD dan langsung menangis.
Apgar score 9/10. Air ketuban berwarna kuning keruh.
Berat badan lahir: 2300 gram dengan panjang badan lahir 45 cm.
Riwayat Keluarga, Sosial dan Ekonomi
Pasien adalah anak pertama, orangtua pasien bekerja sebagai Ibu Rumah
Tangga, Biaya perawatan ditanggung oleh pemerintah (Jamkesmas).
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis dengan GCS E4M6V5=15
Nadi : 115 x/mnt, isi cukup reguler
Suhu : 36,2C
Pernapasan : 50 x/mnt
Status generalis
Kepala : Oksiput yang datar
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), mata cekung (-/-)
THT : Sekret (-),Hidung kesan hipoplastik
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), terpasang OGT dengan
residu berwarna hijau ± 5 cc
Leher : Simetris, pembesaran kelenjar (-), deviasi trakea (-)
Dada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 1 jari lateral Linea
Midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung kiri di SIC V Linea Midklavikula
sinistra, pembesaran jantung (-)
Auskultasi : SI-SII murni, reguler, murmur(-),gallop (-)
18
Paru
Inspeksi : Pergerakkan simetris, statis, dinamis kanan dan kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler + / +, Suara tambahan : - / -
Abdomen
Inspeksi : Abdomen lebih tinggi dari dinding dada, Distensi (+)
epigastrium, luka bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas :
Superior Inferior
Capp.refill <2”/<2” <2”/<2”
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Tangan dan kaki yang pendek serta lebar, jarak yang lebar antara
jari kaki I dan II
Alat kelamin : Tidak ada kelainan, testis sudah turun.
Anoperineal
Inspeksi : Anus (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG (Tanggal 15 Januari 2012)
Darah rutin:
Hb : 17,2 g/dl
Leukosit : 8,4/m3
Trombosit : 55/m3
Gula darah sewaktu : 56 g/dl
Ureum : 26 mg/dl (10-50)
19
Creatinin : 0,6 mg/dl (0,6-1,3)
Kimia Darah (17/01/2012)
Bilirubin total : 6,5 mg/dl (s/d 1,1)
Bilirubin direk : 0,4 mg/dl (s/d 0,3)
Foto Polos Abdomen
Hasil Foto Polos Abdomen 2 Posisi 17/01/2012
Tampak gambaran Double Bubble curiga obstruksi letak tinggi karena
Atresia Duodenum
Foto Thorax:
Hasil:
Cor Pulmo Tidak ada kelainan
20
V. DIAGNOSIS
Atresia Duodenum
BBLR
Down Syndrome
Diagnosis Banding
Stenosis Duodenum
Malrotasi
VI. PENATALAKSANAAN
Pre Operasi:
- Puasa
- Dekompresi → Pemasangan OGT
- Medikamentosa
- IVFD D10% 10 gtt mikro
- Injeksi Cefotaxime 2x125 mg
- Antrain 3x300 mg prn
- Ranitidin 2x20 mg
- Metronidazol 2x15 mg
- Pro Operasi
Operasi
Duodenoduodenostomi→ Dilakukan tindakan laparotomi yang selanjutnya
dilakukan Duodenoduodenostomi pada tanggal 24 Januari 2012 pada
pukul 10.00─12.00 wib.
21
Instuksi Post Operasi:
- Monitoring tanda vital
- Hangatkan/selimuti pasien (inkubator)
- Puasa
- Pemasangan OGT dan alirkan, bila kembung hisap dan OGT jangan
lepas
- Medikamentosa
IVFD D51/4 NS 200 cc/24 jam (vena seksi di Femoral)
Terapi dari dr. Sp.A lanjut
Injeksi Cefotaxime 2x125 mg
Antrain 3x300 mg prn
Ranitidin 2x20 mg
Metronidazol 3x15 mg
22
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
FOLLOW-UP
Rabu, 25/01/2012
S : demam (+), menangis kurang kuat, gerak kurang aktif, kembung
bagian atas
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
FN : 158x/menit, FP : 63x/menit, suhu 37,4C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 2 mm/2 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(+) epigastrium, Bising usus (+) normal,
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT 2 detik,
Urine output 4840 cc
Balance + 540 cc
A : Post Op Duodenoduodenostomi Hari ke-I
P : - IVFD D10% 300 cc + NaCl 3% 8 cc + KCl 4 cc = 16 cc/jam
- Injeksi Metronodazole 3 x 15 mg
- Inj Cefotaxime 2x125 mgr iv
- Monitor tanda vital tiap 15-30 menit
- Puasa
- Cek lab rutin
23
Kamis, 26/01/2012
S : Kembung berkurang, Menangis kurang kuat, gerak tidak aktif,
grunting (-), luka bekas operasi basah dan berbau (+), pus (+)
O : Keadaan umum tampak sakit berat
Kesadaran somnolen
FN : 167 x/menit, FP : 69x/menit, suhu 37,8C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 2 mm/2 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi berkurang, Bising usus (+) normal,
Ekstrimitas : Sklerema (+), akral hangat, perfusi baik, CRT <2
detik
NGT-residu kehitaman
Pemeriksaaan laboratorium
Leukosit 24.200 /µL, Eritrosit 4.690 /µL, Trombosit 48.000 /µL,
Hb 17,1 g/dl, Ht 50,9 %
A : Post Op Duodenoduodenostomi Hari ke-II
Sepsis
P : - IVFD D10% 300 cc + NaCl 3% 8 cc + KCl 4 cc = 16 cc/jam
- Injeksi Metronodazole 3 x 15 mg
- Inj Cefotaxime 2x125 mgr iv
- Inj Ranitidine 2 x 2,5 mg iv
- Inj Kalnex 2 x 10 mg iv
- Ganti perban dan wound care
Jumat, 27/01/12
S : demam (+), Kembung berkurang, Menangis merintih, gerak tidak
aktif, grunting (-), luka bekas operasi basah dan berbau (+), pus
(-)
24
O : Keadaan umum tampak sakit berat
Kesadaran apatis, GCS 3/4/3
FN : 92x/menit, FP : 24x/menit, suhu 35 ,5 C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 2 mm/2 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal,
Ekstrimitas : akral dingin, perfusi kurang baik, CRT >3 detik,
Sklerema (+)
A : Post Op Duodenoduodenostomi Hari ke-III
Sepsis
P : - Terapi lanjut
- Puasa
- Observasi ketat tanda-tanda vital
Kamis, 15/09/11 pada pukul 16.36 wib
Keadaan pasien semakin memburuk
Pasien meninggal di Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
25
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
1. Apakah diagnosa dan pemeriksaan pada kasus ini sudah tepat.
Pasien ini didiagnosa menderita atresia duodenal. Diagnosis ini ditentukan
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis diperoleh bahwa bayi mengalami
muntah-muntah berwarna hijau dalam beberapa jam pertama setelah lahir, perut
kembung terutama abdomen bagian atas (Upper Abdominal Distention) dan
terdapat gangguan di dalam pemberian makanan (Feeding Intolerance). Bayi
muntah hijau harus dianggap terdapat obstruksi saluran cerna sampai dapat
dibuktikan bahwa tidak terdapat obstruksi.
Muntah (emesis) merupakan tanda kelainan saluran gastrointestinal. Muntah
adalah ekspulsi kuat isi saluran cerna bagian atas (lambung dan kadang
duodenum) melalui mulut. Rangsangan terkuat untuk muntah adalah iritasi dan
distensi lambung. Impuls saraf diteruskan ke pusat muntah di medula oblongata,
dan impuls kembali ke organ-organ saluran cerna bagian atas, diafragma, dan otot
perut. Lambung terperas di antara diafragma dan otot perut, lalu isi perut keluar
dari sfinkter esofageal yang terbuka. Muntah yang berwarna hijau (bilious emesis)
menandakan kemungkinan adanya ileus atau obstruksi distal dari insersi common
bile duct ke duodenum. Gejala lain yang mungkin berkaitan adalah sepsis,
perdarahan, rasa sakit, dan gangguan bernapas. Cairan empedu adalah cairan basa,
pahit, dan berwarna kuning-kehijauan yang diproduksi di hati dan disimpan di
kantung empedu. Kantung empedu akan mengeluarkan cairannya melalui cystic
duct ke common bile duct. Sfinkter Oddi mengatur aliran cairan empedu melalui
common bile duct ke duodenum pars desendens. Ketika terdapat obstruksi setelah
bukaan common bile duct di sfinkter Oddi, muntah akan berwarna hijau. Jika
obstruksinya proksimal dari bukaan ini, muntah tidak akan berwarna hijau.
Laura K et al (1998) pada penelitiannya terhadap 152 neonatus dengan
atresia duodenal mengungkapkan bahwa manifestasi klinis yang diperoleh
26
diantaranya 126 neonatus dengan muntah hijau (bilious), 13 neonatus masing-
masing dengan upper abdominal distension dan feeding intolerance.
Gambar 9. Anatomi Saluran empedu
Dari hasil rekam medis, diperoleh informasi bahwa ibu pasien menderita
Polihidramnion (Hidramnion). Hal ini diketahui dari hasil pemeriksaan antenatal
care pada usia kehamilan 32 minggu dengan mengunakan USG. Ibu yang
mempunyai riwayat penyulit polihidramnion dalam kehamilannya harus dicurigai
menderita atresia duodenal. Polihidramnion terlihat pada 50% dengan atresia
duodenal. Laura K et al (1998) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa dari 138
kasus obstruksi duodenal sebanyak 45 kasus (33%) berhubungan dengan maternal
polyhydramnion.3 Merkel M (2011) melaporkan sebanyak 16 kasus (40%) dari 40
bayi dengan atresia duodenal telah didiagnosa polihidramnion sebelumnya.7
Gejala dan tanda yang bisa mengarahkan ke diagnosis atresia duodenum
adalah bayi mengalami muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan
akibat adanya empedu (biliosa), muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan
selama beberapa jam, ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas, hilangnya
bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.Tanda dan gejala
yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi. Atresia duodenum ditandai
dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Seringkali
27
muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini
terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Sebaiknya pada anak yang muntah dengan
tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna proksimal
hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh.
Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenal khas memiliki abdomen skafoid.
Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan
duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan
biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan
elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera
diganti. Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik
hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada
obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek
obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam
jumlah bermakna.
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran double buble tanpa gas
pada distalnya. Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double bubble
tanpa gas pada distalnya adalah gambaran khas atresia duodenal. Adanya gas pada
usus distal mengindikasikan stenosis duodenum, web duodenum, atau anomali
duktus hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf
dengan posisi pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia
esofageal dan atresia duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan
ultrasonografi.
Pada pasien ini juga menderita sindroma down (trisomy 21). Hubungan
antara atresia duodenal dan trisomy 21 diperlihatkan pada grafik di bawah ini.
Merke M (2011 ) mengungkapkan bahwa insidensi diantara keduanya meningkat
secara bermakna selama 35 tahun ini. Hasil ini menunjukan adanya hubungan
yang kuat antara atresia duodenum dengan trisomy 21.7
28
Gambar 10. Insiden Atresia duodenal dan trisomy 21
2. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat
Pada pasien dilakukan tindakan dekompresi dengan cara pemasangan sonde
lambung dan dilakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya aspirasi dan muntah. Tindakan koreksi cairan dan
elektrolit juga dilakukan. Berdasarkan kepustakaan hal ini sudah tepat.
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal merupakan indikasi untuk
dilakukan tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan
harus dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi
lahir. Walaupun merupakan Relatif Emergency namun tidak boleh tergesa-gesa
dilakukan operasi sebelum Status hemodinamik dan elektrolit Stabil.
Setelah kondisi pasien membaik maka pasien dipersiapkan untuk dilakukan
tindakan pembedahan.. Duodenoduodenostomy merupakan prosedur pilihan.
Setelah tindakan pembedahan selesai, pasien dirawat di ruang perawatan
intensif (Neonatal Intensif Care Unit) agar mendapatkan perawatan yang lebih
maksimal, akan tetapi setelah 3 hari paska pembedahan kondisi umum pasien
menjadi semakin buruk dan akhirnya pasien meninggal pada hari ke-4 paska
pembedahan.
29
3. Apa penyebab kematian pada kasus ini.
Laura K et al3 (1998) melaporkan angka kematian (Operative Mortality
Rate) adalah 4% (5/138). 5 Kasus kematian terjadi dalam 30 hari postoperative
dan berhubungan dengan complex congenital heart anomalies. 14 kasus (10%)
berhubungan dengan sepsis dan kegagalan system multi organ termasuk gagal
jantung pada 6 kasus (4%), meningitis pada 1 kasus (0,7%), gagal hati pada 1
kasus (0,7%) dan penyakit jantung kongenital kompleks pada 4 kasus (3%). 2
kasus (1%) tidak diketahui penyebab kematiannya.
Merkel M 7(2011) dalam penelitiannya, dari 40 kasus atresia duodenal yang
telah menjalani operasi di Department of Pediatric and Adolescent Surgery at
Medical University of Graz selama 30 tahun, 7 pasien dilaporkan meninggal
(17,5%). Dari 7 kasus ini, 5 kasus berhubungan dengan kelainan anomaly lain
yaitu 1 kasus dengan complex cardiac defect, 2 kasus diantaranya menderita
trisomy 21 dan atresia esofagus, 1 kasus dengan gastroskisis dan 1 kasus dengan
sindroma usus pendek. 3 kasus telah dilakukan operasi pada hari pertama
kelahiran (first day of life), 2 kasus pada hari kedua kelahiran (second day of life)
dan 1 kasus masing-masing pada hari ketiga dan keenam (three and six day of
life). Sebanyak 2 kasus masing-masing meninggal selama minggu pertama dan
kedua perawatan, dan 2 kasus meninggal setelah 5 bulan perawatan. Penyebab
utama kematian adalah sepsis, inoperable congenital heart disease, gagal ginjal
dan gagal hati.
Pada kasus pasien ini dilakukan operasi pada minggu pertama kelahiran.
Diagnosis ditegakkan pada hari kedua kelahiran. Mengingat untuk dilakukan
tindakan operasi perlu dilakukan koreksi dan perbaikan keadaan umum, status
hidrasi dan hemodinamik serta keseimbangan elektrolit terlebih dahulu. Untuk
alasan ini keterlambatan diagnosis dapat disingkirkan. Tercatat dari kondisi
prenatal bahwa ditemukan adanya polihidramnion selama pemeriksaan ANC dan
tidak terdapatnya kelainan selama pemeriksaan rutin ANC mengindikasikan
bahwa gangguan selama kehamilan dapat disingkirkan. Melihat perjalanan
penyakit dan hasil dari follow up dapat dikatakan bahwa penyebab kematian
30
utama pada kasus ini adalah sepsis. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi
penyebab kematian adalah prematuritas dan BBLR.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Mirza B, Ijaz L, Saleem M and Sheikh A. Multiple associated anomalies in a
single patient of duodenal atresia: a case report. Cases Journal 2008, 1:215
2. Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Editor
Reksoprodjo S. Binarupa Aksara. FKUI.
3. Laura K, Vecchia D, Grosfeld JL, West KW et al. Intestinal Atresia and
Stenosis: A 25─Year Experience With 277 Cases. Arch Surg J,
1998;133:490─497
4. Karrer F, Potter D, Calkins C. Duodenal Atresia. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/932917-print. Updated: Mar 3, 2009.
Diakses pada tanggal 12 Februari 2012.
5. Mandell G, Karan J. Imaging in Duodenal Atresia. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/408582-overview#showall. Diakses
pada tanggal 25 Februari 2012.
6. Hermanto. Atresia dan Stenosis Duodenum. Tersedia pada
http:///www.bedahanakpontianak.blogspot.com. Updated 24 April 2011.
Diakses pada tanggal 22 Februari 2012.
7. Merkel M. Postoperative Outcome after Small Bowel Atresia. Department of
Pediatric and Adolescent Surgery at Medical University of Graz. Disertasi.
2011.
8. Sweed Y. Duodenal obstruction. In Puri P (ed): Newborn Surgery, 2nd
ed,
London, Arnold, 2003, p 423.
9. Lewis N.Pediatric Duodenal Atresia and Stenosis Surgery. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/935748-overview#showall. Diakses
pada tanggal 25 Februari 2012.
10. Anonym. Duodenal Atresia. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/print/ency/001131.htm. Updated 7
Agustus 2007. Diakses pada tanggal 25 Februari 2012.
11. Mandel G. Duodenal Atresia. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/408582-print. Updated 28 Agustus
2007. Diakses pada tanggal 25 Februari 2012.
12. Traubici J. The Double Bubble Sign. Radiology 2001; 220:463–464.
13. Puri P, Höllwarth M. Pediatric surgery. Berlin: Springer; 2006. p. 205.
32
14. Zuccarello B, Spada A, Centorrino A, Turiaco N, Chirico MR, and Parisi S.
Clinical Study: The Modified Kimura’s Technique for the Treatment of
Duodenal Atresia. International Journal of Pediatrics 2009;1─5.
15. Puri P, Höllwarth ME. Pediatric Surgery. Berlin: Springer; 2006. p. 203─28.