Post on 25-Jan-2017
PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK
DALAM PERKARA CERAI GUGAT (AnalisaPutusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.
1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.)
Oleh :
Ahmad Afandi NIM : 106044101380
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK
DALAM PERKARA CERAI GUGAT (Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.
1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH :
Ahmad Afandi NIM : 106044101380
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Drs. Heldi, M.Pd.
NIP:197210161998031004 NIP:196304141993031002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 21 Juni 2010
Ahmad Afandi NIM: 106044101380
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK DALAM PERKARA CERAI GUGAT (Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk)”, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program Ahwal Syakhshiyah (Peradilan Agama)
Jakarta, 21 Juni 2010 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505198231012
PANITIA UJIAN 1. Ketua
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (…………………….) NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris Kamarusdiana, S.Ag, MH (…………………….) NIP. 197407252001121003
3. Pembimbing Skripsi I Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. (…………………….) NIP. 197210161998031004
4. Pembimbing Skripsi II Drs. Heldi, M.Pd. (…………………….) NIP. 196304141993031002
5. Penguji I Dr. Asmawi, M.Ag. (…………………….) NIP.197210101997032088
6. Penguji II Kamarusdiana, S.Ag, MH (…………………….) NIP. 197407252001121003
KATA PENGANTAR
ميح الرنمح الر اهللامسب
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang
tidak terhingga banyaknya. Demikian pula tak luput penulis ucapkan shalawat
beriring salam kepada imamnya para nabi dan rasul, imamnya para orang-orang yan
bertakwa yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya
yang setia hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Pertkara Cerai Gugat” sebagai
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy). Dalam proses
penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah dan manfaat yang penulis petik dan
menjadi kesan tersendiri bagi penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis
mengucapkan terima ksih yang setinggi-tingginya kepada para pihak yang telah
memberikan bantuan, dan bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada
kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang tiada hentinya
semoga amal keduanya mendapat balasan yang setimpal disisi Allah SWT. Amin
Ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada bapak :
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum sekaligus dosen penasehat akademik Jurusan Peradilan
Agama kelas A angkatan 2006.
i
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua program studi Ahwal
Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, dan
Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. dan Bapak Drs. Heldi, M.Pd. sebagai
pembimbing penulis yang sudah berkenan memberikan waktu dan arahannya
dalam rangka menyelesaikan karya ini.
4. Pengadilan Agama Depok, khususnya para staf-staf, penulis ucapkan terima
kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh
data-data dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya
kepada penulis semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Dan
seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Untuk seluruh teman-teman penulis, yakni teman-teman seperjuangan yang
telah mewarnai sehari-hari penulis dengan hal-hal positif terutama teman-
teman peradian agama angkatan 2006 yang memberikan kesan tersendiri bagi
penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang berjasa
yang telah memberikan bantuannya. Tidak ada balasan dari penulis kecuali do’a
semoga Allah SWT membalas amal budi baik sekalian. Amin
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Jakarta, 21 Juni 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 9
D. Tinjauan Studi Terdahulu ..................................................... 10
E. Metode Penelitian ................................................................. 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK
A. Pengertian Verstek ............................................................... 14
B. Syarat- Syarat Acara Verstek ............................................... 18
C. Penerapan Terhadap Acara Verstek ..................................... 20
D. Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek Serta Proses
Pemeriksaaanya.................................................................... 25
BAB III DIMENSI PERADILAN AGAMA
A. Peradilan Agama Dalam Perspektif Hukum Islam ……….. 33
B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama ........... 43
C. Sumber- Sumber Hukum Peradilan Agama ........................ 50
iv
v
BAB IV PROSES PENYELESAIAN PERKARA VERSTEK
A. Sistem Pembuktian Perkara Verstek .................................... 65
B. Analisis Pertimbangan Hukum Bagi Hakim Dalam
Memutuskan Perkara ........................................................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 76
B. Saran-Saran .......................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah1. Selain itu, baik Undang- undang Perkawinan ataupun
Kompilasi Hukum Islam telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan
perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
tersirat dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21. Namun, bahtera rumah tangga
sering kali dihadapkan oleh masalah yang kemudian berujung kepada perceraian.
Perceraian yang hadir ditengah-tengah kehidupan memang tanpa
diundang dan tidak diinginkan, sama halnya dengan hidup dan mati, nasib dan
rezeki manusia, tiada orang yang tau, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan
yang menentukan, sama halnya dengan “perceraian” itu sendiri. Namun
demikian, perceraian bukanlah suatu perkara yang mudah, dan ia tidak pernah
dipermudahkan dan digalakkan oleh agama Islam. Lebih- lebih sebuah hadis
menjelaskan bahwa meskipun talak itu halal, tetapi sesungguhnya perbuatan itu
1 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),
h.114. 2 Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h.180.
1
2
dibenci oleh Allah SWT3. Dalam Islam, perceraian hanya dibenarkan, jika kedua
pasangan suami istri telah berusaha bersungguh-sungguh untuk mendapatkan
bantuan dan nasihat yang diperlukan, sehingga tiada lagi ruang bagi kedua belah
pihak mengatasi permasalahan mereka untuk berdamai. Jika semua usaha-usaha
ini telah mereka laksanakan, namun rumah tangga mereka masih tidak dapat
diselamatkan, maka Islam membenarkan pasangan tersebut bercerai.
Perceraian dalam Hukum Perdata ialah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu4. Perceraian
yang sering kali terjadi dalam hubungan perkawinan pasti akan menimbulkan
akibat yang fatal. Hal ini disebabkan karena kedua belah pihak akan dihadapkan
pada maslah baru yang lebih menantang dikemudian hari. Selain kepada yang
melakukannya (baik suami atau istri), juga kepada sang anak, baik dalam hak
dan kewajiban yang ditimbulkannya. Mulai dari hak pemeliharaan anak yang
belum mencapai usia 12 (dua belas) tahun yang mencangkup biaya pendidikan,
pengasuhan dan perwaliannya.
Dalam masyarakat kita, perceraian masih banyak terjadi karena
merupakan jalan yang legal formal untuk mengatasi konflik perkawinan,
dibawah payung Hukum Indonesia dan Hukum Islam yang telah diformalkan
(Kompilasi Hukum Islam) yang diakibatkan oleh perilaku suami atau istri.
Karenanya proses beracara yang mendukungnya mengharuskan jalan
3 Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.10. 4 Subekti, Pokok- Pokok Hukum Perdata, (Bandung: PT Intermasa, 1982), h.42.
3
penyelesaian yang tuntas, dan diselesaikan dengan tanpa menimbulkan akibat
hukum yang panjang dikemudian hari.
Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki
perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberi jalan
kepada suami untuk menceraikan istrinya denga jalan talak5. Dengan kata lain di
Indonesia, perceraian terjadi diakibatkan atas kemauan suami dengan cara
menjatuhkan Cerai Talak ataupun atas pengajuan istri yang sering dikenal Gugat
Cerai (Cerai Talak diatur dalam Bab IV, Bagian Kedua, Paragraf 2, Pasal 66 dan
Cerai Gugat diatur dalam Paragraf 3, Pasal 73 UU RI No: 3 tahun 2006)6. Sebab
lain yang dapat mengakibatkannya adalah karena putusan pengadilan.
Dengan adanya pengajuan perkara ke Pengadilan yang dilakukan oleh
suami ataupun istri telah menandai bahwa perceraian itu tanpa membedakan
jenis kelamin dan hak hukum warga negara dapat diajukan oleh masing- masing
pihak. Oleh karena itu keduanya juga harus memudahkan proses jalan perkara
dengan cara mematuhi aturan hukum dan hadir di persidangan, sehingga
pencapaian keadilan dapat terpenuhi dan perkara dapat diselesaikan berdasarkan
aturan hukum.
Selain kehadiran kedua belah pihak yang berperkara, hal lain yang sangat
berperan penting dalam pesidangan adalah posisi hakim sebagai pihak yang akan
5 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), ed. 1, cet. Ke1, h.220. 6 Mahkamah Agung RI, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h. 66 dan 69.
4
memutuskan perkara, juga sebagai pihak yang akan mendamaikan kedua belah
pihak. Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara,
sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntunan ajaran moral Islam7. Posisi hakim
dalam persidangan sangatlah penting sekali, hakim diharuskan mendengarkan
kedua belah pihak (Pasal 121 HIR/124 RBg), ketika kedua belah pihak yang
dipanggil dimuka sidang, mendapat perlakuan sama sehingga keputusan yang
dihasilkan berdasarkan hukum yang tepat.
Masalah perceraian menurut aturan Hukum Indonesia sebagaimana
dalam Pasal 28 UU RI No: 1 tahun 1974, harus dan hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama. Oleh karenanya perceraian mensyaratkan
adanya proses beracara yang dapat tuntas perkaranya. Jadi, selama proses
persidangan baik penggugat dan tergugat harus hadir ke hadapan meja
persidangan dan mengikutinya setelah meperoleh surat pemanggilan dari
Pengadilan. Antara penggugat dan tergugat memiliki kepentingan masing-
masing. Karenanya jika salah seorang penggugat atau tergugat tidak hadir setelah
adanya pemanggilan secara resmi, maka pihak Pengadilan yang menangani
menyelesaikannya. Namun, sering kali ketidak hadiran dilakukan oleh tergugat,
baik pelakunya sendiri atau dengan cara mewakilkan dengan kuasa hukumnya,
baik disengaja atau tidak disengaja, akan menghasilkan keputusan tersendiri oleh
7 M. Yahya Harahap, Kedudukan Dan Kewenangan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), ed.Ke2, cet. Ke3, h.215.
5
Pengadilan. Dalam hal ketidak hadiran tergugat inilah putusan yang dikeluarkan
oleh hakim disebut dengan putusan verstek.
Maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk
mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses
pemerikasaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan8.
Ada beberapa syarat tentang putusan verstek, diantaranya :
a. Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut
b. Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain
serta tidak pula ketidak hadirannya itu karena alasan yang sah
c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi mengenai kewenangan
d. Penggugat mohon keputusan
Maka dalam hal ini Peradilan Agama sebagai badan hukum menegakkan
keadilan dituntut agar dapat benar-benar teliti dalam pelaksaaannya. Artinya
hakim itu setelah mengetahui hak-hak seseorang secara objektif kemudian
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Allah atau hukum syara’ (Al-Quran)9.
Memang acara verstek ini sangatlah merugikan kepentingan tergugat,
karena tanpa hadir dan tanpa pembelaan, putusan dijatuhkan. Akan tetapi,
kerugian itu wajar diberikan kepada tergugat, disebabkan sikap dan perbuatan
8 M. Yahya harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), cet. 4, h.383. 9 Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan
Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill, Co., 1985), Cet. I, h.20.
6
tergugat yang tidak menaati tata tertib beracara di Pengadilan yang tentunya
setelah dipanggil secara patut. Putusan yang dijatuhkan dengan verstek tidak
boleh dijalankan sebelum lewat 14 hari sesudah pemberitahuan, seperti yang
tersebut dalam Pasal 149 R.Bg (Pasal 128 HIR/152 R.Bg)10
Masalah lain verstek dalam perkara perceraian, adalah pada permasalahan
pembuktian. Dimana Hukum Acara itu dapat dibagi dalam Hukum Acara Materil
dan Hukum Acara Formil, peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk
dalam bagian yang pertama yang dapat juga dimasukkan ke dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Materil11. Berdasarkan UU RI No: 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa “Hukum Acara berlaku
pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Pengadilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang ini”12. Jadi bila ditinjau dari peraturan perundang-
undangan Peradilan Agama, juga Peradilan Agama sebenarnya tidak dapat
mempraktekkan vestek itu, sebab tidak mempunyai verstekprocedure13. Maka
jelaslah ketentuan putusan verstek perkara perceraian di Peradilan Agama
10 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah
Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), ed. Ke1, cet. Ke2, h.21. 11 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, h.176. 12 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-2,
h.54. 13 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1989), h.51.
7
menginduk ke Hukum Acara Pengadilan Umum, yang mana pembuktian tidak
terdapat ketentuan khusus dalam Undang-undang tersebut.
Menurut abdurrachman, bagi perkara-perkara yang tergugatnya tidak
datang, hakim harus waspada untuk sebelum mengambil keputusan mengenai
pokok perkaranya, meneliti lebih dahulu apakah gugatan tersebut tidak
melanggar hukum atau didukung oleh fakta yang digunakan sebagai dasar
gugatan. Sebagai contoh: A menggugat B supaya keluar dari rumah yang
ditempatinya. Rumah tersebut bukan milik A pribadi, tetapi milik C saudara A.
Gugat hanya atas alasan bahwa A selaku saudara C berkewajiban juga menjaga
kepentingasn C tetapi A tidak menjadi kuasa C. Permohonan gugat yang
demikian itu tidak mempunyai dasar hukum dan harus “tidak dapat diterima”
juga dalam tergugat tidak datang menghadap14. Bertolak belakang dengan apa
yang dikemukakan oleh Soepomo, menurutnya pembuktian tidaklah diperlukan
dalam putusan verstek yakni ketika tergugat tidak datang, dan baru diadakan
sesudah ada perlawanan..
Ditinjau dari pendapat kedua yang secara tidak langsung menjelaskan
tidak perlu dibuktikan, maka dalam hal perkara perceraian bisa saja terjadi
pemufakatan kedua belah pihak dan kebohongan atau sandiwara dalam proses
beracara di Pengadilan. Kemudian apakah praktek di lingkungan Pengadilan
Agama menggunakan pembuktian ataupun tidak dalam putusan verstek
perceraian? Mengingat, jika diajukannya perkara ke Pengadilan, antara
14 Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005), cet. Ke5, h.64.
8
Penggugat dan Tergugat memilki kepentingan masing-masing. Berangkat dari
permasalahan diatas, penulis pikir hal ini perlu dikaji, mengingat di zaman
sekarang semakin banyak terdapat faktor penyebab terjadinya perceraian dengan
pelbagai macam problematika sosial yang tentunya akan berujung pada
Pengadilan.
Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah dipaparkan di atas,
penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam persoalan ini dengan meneliti
dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Depok dengan judul “PUTUSAN
VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK DALAM PERKARA CERAI
GUGAT” (Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.
1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.).
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih terarahnya penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi
pembahasan tersebut pada landasan hukum proses pembuktian dalam perkara
yang diputus dengan tidak hadirnya tergugat (verstek), yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama Depok dalam perkara cerai gugat.
2. Perumusan Masalah
Secara teoritis, putusan verstek menurut Pasal 125 HIR dan Pasal 149
R.Bg tidak diatur secara tekstual tentang pembuktian, akan tetapi Pengadilan
Agama Depok masih mempergunakan bukti tersebut.
9
Untuk lebih mempertajam pembahasan skripsi ini, maka dibuat
pertanyaan masalah sebagai berikut:
a. Praktek perundang-undangan yang mana yang mengatur verstek?
b. Apa landasan hukum bagi hakim dalam proses pembuktian dalam perkara
cerai gugat yang diputus verstek?
c. Bagaimana analisa putusan perkara verstek No. 1227 /Pdt.G/ 2008/ PA.
Dpk.?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian penulis dalam masalah ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang mengatur verstek
tersebut.
b. Untuk mengetahui landasan hukum yang dipergunakan oleh hakim dalam
proses pembuktian perkara cerai gugat yang diputus verstek.
c. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan verstek tersebut.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan
penulis agar lebih memahami hal-hal seputar perkara verstek dalam
tataran teoritis maupun praktis.
b. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan suatu konstribusi besar keilmuwan bagi yang berminat
10
untuk mengkaji aspek-aspek yang berhubungan dengan dinamika
perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama hal seputar verstek dan
proses pembuktian dalam cerai gugat.
D. Tinjauan Studi Terdahulu
Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum
menentukan judul proposal, di antaranya adalah sebagai berikut:
NO NAMA/ NIM JUDUL SKRIPSI PEMBAHASAN
1. Eko Muryono Putusan verstek di
Pengadilan Agama
dalam perspektif
Hukum Islam (Studi
Kasus di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat).
Dalam skripsi tersebut
lebih fokus membahas
kepada tinjauan Hukum
Islam dan atau Kompilasi
Hukum Islam terhadap
putusan verstek di
Pengadilan Agama.
2. Agus Sudianto/
101044122131
Penyelesaian perkara
perceraian yang
diputus verstek di
Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Skripsi tersebut hanya
memaparkan secara global
tentang proses serta teknis
persidangan
11
Setelah melakukan analisa dari kedua skripsi diatas, penulis rasa bahwa
pembahasannya berbeda dengan judul penulis: “Putusan Verstek Pengadilan
Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat” Di sini penulis mencoba
menerangkan secara komprehensif tentang proses pembuktian sebelum terjadi
putusan verstek yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Agama Depok, serta
penulis menjelaskan landasan hukum pembuktian yang dipergunakan dalam
perkara Cerai Gugat. Karena tidak lain putusan verstek Pengadilan Agama akan
memberikan akibat hukum bagi masing- masing pihak.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian.
Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan
empiris, yaitu suatu pendekatan penelitian yang dilakukan untuk
menggambarkan kondisi yang dilihat di lapangan secara apa adanya.
Pendekatan empiris ini diharapkan dapat menggali data dan informasi
semaksimal mungkin tentang perkara verstek dan proses penyelesaiannya
sehingga diharapkan akan menemukan sebuah hasil yang relevan dengan
wacana-wacana yang berkembang selama ini.
2. Sumber Data.
12
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.15
Dalam hal ini diperoleh dari hasil wawancara penulis kepada Hakim
Pengadilan Agama Depok.
b. Data Sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari bahan pustaka, dengan
cara mencari data-data, keterangan, informasi yang relevan dengan konsep
penelitian serta mengkaji literatur lainnya
3. Instumen Pengumpul Data
a. Wawancara. Dalam penelitian ini, penulis menyusun konsep wawancara,
dengan cara menyusun berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan
‘perkara verstek’ serta landasan hukum dalam proses pembuktiannya.
b. Observasi, dimana penulis mengadakan pengamatan secara langsung di
Pengadilan Agama Depok serta mengumpulkan data-data dan informasi
yang terkait erat dengan penelitian ini.
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis, yaitu suatu tehnik menganalisis data dimana penulis menjabarkan
data-data yang telah didapatkan dari hasil wawancara, kemudian
menganalisis dengan content analysist (analisa isi).
F. Sistematika Penulisan
15 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
h.36.
13
Bab pertama ini merupakan Pendahuluan, yang terdiri dari Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Masalah, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka Terdahulu, Sistematika Penulisan
Bab kedua menjelaskan Tinjauan Umum Tentang Putusan Verstek,
diantaranya: Pengertian Verstek, Syarat-Syarat Acara Verstek, Penerapan
Terhadap Acara Verstek, Upaya Hukum Terhadap Verstek Serta Proses
Pemeriksaannya. Bab Kedua
Bab ketiga ini menjelaskan tentang Dimensi Peradilan Agama, yang
berisikan tentang: Peradilan Agama Dalam Perspektif Hukum Islam, Bentuk
Perceraian di Pengadilan Agama, Tata Cara Pemeriksaan Perceraian yang
meliputi Cerai Talak dan Cerai Gugat.
Bab keempat berisikan tentang Proses Penyelesaian Perkara Verstek,
dengan menguraikan tentang Sistem Pembuktian Perkara Verstek, dan Analisa
Pertimbangan Hukum bagi Hakim Dalam Memutuskan Perkara tersebut.
Bab kelima yaitu uraian tentang penutup, yang berisi kesimpulan dan
implikasi dari keseluruhan pembahasan yang telah diteliti. Dan saran yang dapat
mendukung kesempurnaan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK
A. Pengertian Verstek
Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak
menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut. Pihak
yang tidak hadir mungkin Penggugat dan mungkin juga Tergugat.
Ketidakhadiran salah satu pihak tersebut menimbulkan masalah dalam
pemeriksaan perkara, yaitu perkara itu ditunda atau diteruskan pemeriksaannya
dengan konsekuensi yuridis.1
Pihak penggugat yang tidak hadir, maka perkaranya digugurkan dan
diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih
dahulu membayar biaya perkara yang baru. Namun jikalau pada hari sidang
pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir ataupun tidak menyuruh
wakilnya untuk datang menghadiri persidangan, sedangkan ia telah dipanggil
dengan patut, maka gugatan diputuskan dengan verstek.2
1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), h.86. 2 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980),
h.33.
14
15
Putusan verstek adalah menyatakan bahwa tergugat tidak hadir, meskipun
ia menurut hukum acara harus datang. Verstek ini hanya dapat dinyatakan,
jikalau tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.3
Berdasarkan Pasal 126 HIR, didalam hal kejadian tersebut diatas,
Pengadilan Negeri sebelum menjatuhkan sesuatu putusan (gugurnya gugatan
ataupun verstek), dapat juga memanggil sekali lagi pihak yang tidak datang itu.
Ini bisa saja terjadi jikalau misalnya Hakim memandang perkaranya terlalu
penting buat diputus begitu saja diluar persidangan baik digugurkan maupun
verstek. Ketentuan pasal ini sangat bijak sana terutama bagi pihak yang digugat,
lebih-lebih jika rakyat kecil yang tidak berpengetahuan dan tempat tinggalnya
jauh.4
Mengenai pengertian verstek, sangat erat kaitannya dengan fungsi
beracara di pengadilan, dan hal tersebut tidak terlepas dari penjatuhan putusan
atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang pada hakim
menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Persoalan verstek
tidak terlepas dari ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 148 R.Bg) dan Pasal 125 HIR
(Pasal 149 R.Bg).
1. Pasal 124 HIR:5
3 Ibid, h.33. 4 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.26-27. 5 Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h.29-30.
16
Apabila pada hari yang telah ditentukan penggugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara tetapi ia berhak untuk mengajukan gugatan sekali lagi, setelah ia membayar lebih dahulu biaya tersebut. Berdasarkan pasal 124 HIR, hakim berwenang menjatuhkan putusan
diluar hadir atau tanpa hadir penggugat dengan syarat:6
a. Bila penggugat tidak hadir pada sidang yang telah ditentukan tanpa alasan
yang sah
b. Maka dalam peristiwa seperti itu, hakim berwenang memutus perkara tanpa
hadirnya penggugat yang disebut putusan verstek, yang memuat diktum:
1) membebaskan tergugat dari perkara tersebut,
2) menghukum penggugat membayar biaya perkara,
c. Terhadap putusan verstek itu, penggugat tidak dapat mengajukan perlawaan
(verzet) maupun upaya banding dan kasasi, sehingga terhadap putusan tertutup
upaya hukum,
d. Upaya yang dapat dilakukan penggugat adalah mengajukan kembali gugatan
itu sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara.
2. Pasal 125 Ayat (1) HIR:7
Apabila pada hari yang telah ditentukan, tegugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia
6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), cet. 4, h.382. 7 K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, h.30.
17
telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan bahwa gugatan tersebut melawan hak atau tidak beralasan.
Menurut M. Yahya Harahap bahwa berdasarkan pasal tersebut diatas,
kepada hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan diluar atau tanpa hadirnya
tergugat, dengan syarat:8
a. Apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan
tanpa alasan yang sah (default without reason)
b. Dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum:
1) mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau
2) menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak
mempunyai dasar hukum.
Jika gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa
sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan
dinyatakan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika gugatan itu tidak
beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peistiwa-peristiwa yang membenarkan
tuntutan, maka gugatan akan ditolak. Putusan tidak diterima ini bermaksud
menolak gugatan di luar pokok perkara, sedang penolakan merupakan putusan
setelah dipertimbang mengenai pokok perkara. Pada putusan tidak diterima,
dikemudian hari penggugat masih dapat mengajukan lagi tuntutannya, tetapi
didalam praktek sekarang ini tidak jarang putusan tidak dapat diterima
8 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.382.
18
dimintakan banding, sedang dalam hal penolakan tidak terbuka kesempatan
untuk mengajukan gugatan tersebut untuk kedua kalinya pada hakim yang sama
(ne bis in idem).9
Jadi putusan verstek tidak berarti selalu dikabulkannya gugatan
penggugat. Pada hakeketnya lembaga verstek itu untuk merealisir asas audi et
alteram partem, jadi kepentingan tergugatpun harus diperhatikan, sehingga
seharusnya secara ex officio hakim mempelajari isi gugatan. Tetapi di dalam
praktek sering gugatan pengguat dikabulkan dalam putusan verstek tanpa
mempelajari gugatan lebih dahulu.
Menurut Gemala Dewi bahwa putusan verstek hanya menilai secara
formil gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran dalil-dalil gugat10.
Disamping itu Abdulkadir Muhammad menyimpulkan bahwa dalam putusan
verstek tidak selalu mengalahkan Tergugat, mungkin juga mengalahkan
Penggugat11.
B. Syarat-Syarat Acara Verstek
Syarat acara verstek terhadap penggugat terdapat dalam bagian
pengguguran gugatan berdasarkan Pasal 124 HIR. Sedang yang akan dibicarakan
dalam uraian ini adalah verstek terhadap tergugat.
9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogykarta: Liberty, 1988), h.85. 10 Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), h.152. 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.88-89.
19
Menurut Yahaya Harahap12 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
secara garis besar syarat sahnya penerapan acara verstek kepada tegugat,
merujuk kepada ketentuan Pasal 125 HIR ayat (1) atau 78 Rv. Bertitik tolak dari
pasal tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut
2. Tidak hadir tanpa alasan yang sah
3. Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi
Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan, bahwa untuk putusan verstek yang
mengabulkan gugatan diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut:13
1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang
telah ditentukan
2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap
3. Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut
4. Petitum tidak melawan hak
5. Petitum beralasan
Syarat-syarat tersebut diatas harus satu persatu diperiksa dengan
seksama, baru apabila benar-benar persyaratan itu kesemuanya terpenuhi,
putusan verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan. Apabila syarat 1 , 2 ,
dan 3 dipenuhi, akan tetapi petitumnya ternyata melawan hak atau tidak
12 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.383. 13 Retno Wulan Susanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), h.26.
20
beralasan, maka meskipun mereka diputus dengan verstek, gugat ditolak. Namun
apabila syarat 1 , 2, dan 3 terpenuhi, akan tetapi ternyata ada kesalahan formil
dalam gugatan, misalnya gugatan dianjurkan oleh orang yang tidak berhak,
kuasa yang menandatangani surat gugat teryata tidak memliki surat kuasa khusus
dari pihak penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.14
Erfaniah Zuhriah15 mengemukakan putusan verstek yang diatur dalam
pasal 125 HIR dan 196-197 HIR, pasal 148-153 R.Bg. dan 207-208 R.Bg UU
Nomor 20 Tahun 1947 dan SEMA Nomor 9 Tahun 1946. Putusan verstek dapat
dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarta-syarat, yaitu:
1. Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut
2. Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain
serta tidak tenyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan
yang sah
3. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
4. Penggugat hadir di persidangan, dan
5. Penggugat mohon keputusan
C. Penerapan Acara Verstek
14 Ibid, h.26. 15 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang: Uin-Malang Press, 2008),
h.275.
21
Pada satu sisi, undang-undang mendudukan kehadiran tergugat disidang
sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan
sepenuhnya, apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela
kepentingannya. Di sisi lain, undang-undang tidak memaksakan penerapan acara
verstek secara imperatif. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan verstek
terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat
fakultatif. Kepada hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak.
Sifat penerapan yang fakultatif tersebut, diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai
acuan.16
1. Ketidakhadiran Tergugat pada Sidang Pertama, Lansung Memberi Wewenang
Kepada Hakim Menjatuhkan Putusan Verstek
Seperti telah dijelaskan diatas, apabila tergugat telah dipanggil secara
patut namun tidak datang menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah,
hakim langsung dapat menerapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan
putusan verstek. Tindakan itu dapat dilakukan berdasarkan jabatan atau ex
officio, meskipun tidak ada permintaan dari pihak penggugat.17
Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan prinsip fair trial sesuai dengan
audi alteram partem, jika tergugat tidak hadir memenuhi pemeriksaan sidang
pertama maka kurang layak langsung menghukumnya dengan putusan verstek.
Oleh karena itu, hakim yang bijaksana, tidak gegabah secara emosional
16 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 388-389. 17 Ibid, h.389.
22
langsung menerapkan acara verstek., tetapi memberi kesempatan lagi kepada
tergugat untuk hadir di persidangan dengan jalan mengundurkan
pemeriksaan.18
2. Mengundurkan Sidang dan Memanggil Tergugat Sekali Lagi
Jika hakim tidak langsung menjatuhkan keputusan verstek pada sidang
pertama:19
• Hakim memerintahkan pengunduran sidang;
• Berbarengan dengan itu, memerintahkan juru sita memanggil tergugat
untuk kali yang kedua, supaya datang mengahadiri persidagan pada
tanggal yang ditentukan.
Sistem atau cara yang demikian diatur dalam Pasal 126 HIR.
Ditegaskan, apabila tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang
pertama, hakim tidak mesti langsung menerapkan acara verstek, tetapi ia dapat
memerintahkan, supaya pihak yang tidak hadir (tergugat) dipanggil buat
kedua kalinya, agar menghadap pada persidangan yang akan datang.
Sedangkan kepada pihak yang datang, tidak perlu dipanggil lagi, cukup
diberitahukan kepada persidangan itu mengenai pengunduran sidang
dimaksud.20
18 Ibid, h.389. 19 Ibid, h.389. 20 Ibid, h.389.
23
Ditinjau dari segi kepatutan dihubungkan dengan tujuan perwujudan
fair trial, sangat beralasan menerapkan ketentuan Pasal 126 HIR. Penerapan
tersebut bertujuan memberi kesadaran dan kesempatan yang wajar kepada
tergugat untuk membela hak dan kepentingnya dalam pemeriksaan
persidangan yang dihadirinya atau kuasanya.21
3. Batas Toleransi Pengunduran
Ditinjau dari Pasal 126 HIR tidak mengatur batas toleransi atau batas
kebolehan pengunduran sidang apabila tergugat tidak menaati panggilan.
Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan Negeri atau hakim dapat
memerintahkan pengunduran, namun tidak menentukan pembatasan berapa
kali pengunduran dapat dilakukan.22
Jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan Pasal 126 HIR tersebut,
hukum memang membenarkan pengunduran yang tidak terbatas. Akan tetapi.
Penerapan seperti itu, dapat dianggap:23
• Bercorak anarkis dan sewenang–wenang terhadap penggugat,
• Juga sangat bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 14
Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
21 Ibid, h.389. 22 Ibid, h.390. 23 Ibid, h.390.
24
1999, dan sekarang pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun
2004.
Bahkan penerapan seperti itu, bertentangan dengan asas impersialitas
dan perlakuan yang sama (equal treatment). Tindakan mengundurkan
persidangan beberapa kali, apalagi tanpa batas terhadap ketidakhadiran
tergugat, dapat ditafsirkan sebagai perlakuan keberpihakan kepada tergugat
pada satu sisi, dan mengabaikan kepentingan penggugat pada sisi lain.24
Memperhatikan uraian diatas, perlu ditegakkan batasan yang bersifat
toleran berdasarkan kelayakan yang beradab dan manusiawi, dalam kerangka
melindungi kepentingan kedua belah pihak yang berperkara. Berdasarkan
kelayakan tersebut, batas toleransi pengunduran yang dapat dibenarkan
hukum dan moral:25
• minimal dua kali;
• maksimal tiga kali.
Sebenarnya memberi toleransi beberapa kali pengunduran, secara
moral dianggap terlampau memanjakan dan mengandung sikap parsialitas
kepada tergugat. Oleh karena itu, batas maksimal pengunduran yang dapat
dibenarkan:26
• hanya sampai tiga kali saja;
24 Ibid, h.390.
25 Ibid, h.390.
26 Ibid, h.390.
25
• dengan demikian apabila pengunduran dan pemanggilan sudah sampai
tiga kali, tetapi tergugat tidak datang menghadiri sidang tanpa alasan yang
sah, hakim wajib menjatuhkan putusan verstek.
Bertitik tolak dari patokan pembatasan tersebut, sifat fakultatif yang
digariskan Pasal 125 ayat (1) jo. Pasal 126 HIR, diubah menjadi imperatif
sehingga hakim wajib menjatuhkan putusan verstek, apabila pada
pengunduran yang ketiga, tergugat tetap tidak datang mengahadiri sidang
tanpa alasan yang sah. Hakim yang tidak berani menerapkan acara verstek
dalam kasus yang demikian, dianggap tidak peka menjawab panggilan rasa
keadilan.27
D. Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek Serta Proses Pemeriksaannya
1. Verzet
Verzet adalah perlawanan terhadap putusan verstek yang telah
dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama), yang
diajukan oleh Tergugat dengan diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu
yang diajukan ke pengadilan yang memutus itu juga.
Perkara yang diputus dengan verstek, dianggap secara formal dan
material sudah selesai diadili selengkapnya. Jadi tergugat yang kalah, tidak
boleh lagi mengajukan perkara tersebut kembali (seperti dalam perkara yang
diputus dengan digugurkan), kecuali mengajukan perlawanan yang disebut
27 Ibid, h.390.
26
dengan istilah “verzet”. Sesudah menggunakan upaya hukum verzet, jika
masih perlu, tergugat dapat menggunakan upaya hukum banding.28
Berapa banyak kekeliruan yang terjadi dalam praktek peradilan
terhadap upaya yang dilakukan pencari keadilan terhadap putusan verstek.
Sering terjadi permintaan banding terhadap putusan verstek. Artinya, putusan
verstek langsung diminta banding. Padahal menurut ketentuan Pasal 128 dan
129 HIR atau Pasal 153 R.Bg sudah menandaskan, upaya hukum yang tepat
untuk itu hanya verzet.29
Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan putusan verstek mengandung
arti:
a. Tergugat berusaha melawan putusan verstek/tergugat mengajukan
perlawanan terhadap putusan verstek.
b. Tujuannya, agar terhadap putusan itu di lakukan pemeriksaan ulang secara
menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan
permohonan agar putusan verstek di batalkan serta sekaligus memiliki
agar gugatan penggugat ditolak.
Karena adanya perlawanan ini, kedudukan penggugat menjadi pihak
yang terlawan (geopposeerde), sedangkan pihak tergugat menjadi pelawan
(opposant). Bilamana perlawanan tersebut dapat diterima, berdasarkan Pasal
28 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h.102.
29 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ( Sinar Grafika,
2005), h.95-96.
27
129 Ayat (4) HIR/ 153 Ayat 5 R.Bg maka pelaksanaan putusan verstek
menjadi terhenti, kecuali ada perintah untuk tetap melaksanakan putusan
verstek meskipun ada pelawanan. Dalam proses pemeriksaaan perlawanan
semacam ini, pihak terlawan/penggugat asal dibebani pembuktian lebih dulu.
Dengan demikian, melalui tindakan perlawanan ini tidak menutup
kemungkinan pihak pelawan/tergugat asal yang semula dikalahkan dalam
putusan verstek, ternyata kemudian menjadi pemenang dalam putusan
perlawanan.30
2. Proses Pemeriksaan Perlawanan
Mengenai proses pemeriksaan perlawanan atau verzet, perlu dijelaskan
beberapa landasan hukum yang harus ditegakkan.
a. Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan
putusan verstek
Kewenangan menerima dan memeriksa perlawanan, jatuh menjadi
yuridiksi Pengadilan Agama semula yang menjatuhkan putusan verstek.
Dengan demikian, agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil:31
• Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya
• Disampaikan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan
verstek sesuai dengan batas tenggang waktu yang ditentukan pasal 129
ayat (2) HIR
30 Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, (Malang: Bayumedia, 2007), Cet. 1., h.137. 31 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.407.
28
• Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak
lain, selain daripada penggugat semula.
Penegasan mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Agama
yang semula menjatuhkan putusan verstek , digariskan dalam pasal 129
ayat (3) HIR.
b. Perlawanan terhadap verstek, bukan perkara baru
Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan
gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara
baru, akan tetapi tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada
ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang
dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Sehubungan dengan itu, putusan MA
No. 307K/Sip/1975 memperingatkan, bahwa verzet terhadap verstek tidak
boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Sedemikian rupa
eratnya kaitan antara perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan
komposisi perlawanan (opposant) sama persis dengan tergugat asal dan
terlawan (geopposeorde) adalah penggugat asal. Demikian penegasan
putusan MA 494K/Pdt/1983 yang mengatakan dalam proses verzet atau
verstek, pelawannya berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai
penggugat.32
c. Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kembali
32 Ibid, h.407-408.
29
Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek, dengan
sendirinya menurut hukum:33
• Putusan verstek menjadi mentah kembali
• Eksistensinya dianggap tidak pernah ada
• Oleh karena itu, jika terhadapnya diajukan perlawanan, putusan
verstek tidak dapat dieksekusi, meskipun putusan itu mencamtumkan
amar dapat dilaksanakan lebih dahulu
Berarti eksistensi putusan verset dapat dikonstruksi sebagai berikut;
• Selama tenggang waktu verzet masih belum terlampaui, eksistensi
putusan verstek bersifat relatif atau semu. Secara formil putusan
verstek memang ada, tapi secara materiil, belum memiliki kekuatan
eksekutorial selama belum dilampaui tenggang waktu mengajukan
verzet belum dilampaui.
• Eksistensinya lenyap atau mentah, apabila dalam tenggang waktu yang
dibenarkan undang-undang diajukan verzet.
Dalam hal terhadap putusan verstek diajukan verzet dapat timbul
akibat sebagai berikut:34
1) Eksistensinya akan lenyap secara mutlak, apabila perlawanan
dikabulkan. Jika perlawanan dikabulkan dengan sendirinya putusan
verstek dibacakan sehingga putusan itu mutlak lenyap. Yang muncul
33 Ibid, h.408. 34 Ibid, h.408.
30
menjadi dasar penyelesaian perkara adalah putusan perlawanan atau
putusan verzet.
2) Eksistensi putusan verstek mutlak menjadi dasar penyelesaian perkara,
apabila perlawanan yang diajukan tergugat ditolak. Apabila
Pengadilan Agama menolak perlawanan, putusan verstek tetap
dipertahankan sehingga eksistensinya absolut menjadi landasan
penyelesaian perkara.
3) Eksistensinya absolut apabila terhadapnya tidak diajukan verzet. Kalau
terhadapnya tidak diajukan perlawanan atau tenggang waktu
mengajukan perlawanan telah dilampaui, putusan verstek demi hukum
menjadi absolut, sehingga
• Terhadapnya tertutup segala upaya hukum, dan
• Pada putusan melekat kekuatan eksekutorial.
d. Pemeriksaan perlawanan (verzet)
1) Pemeriksaan Berdasarkan Gugatan Semula
Berdasarkan putusan MA No. 938K/Pdt/1986. Dalam putusan
tersebut terdapat pertimbangan yang disadur sebagai berikut:35
• Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada
isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan/penggugat
asal
35 Ibid, h.409.
31
• Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran
pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan tidak relevan
• Oleh karena itu, putusan verzet yang hanya mempertimbangkan
masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat atau memenuhi
panggilan sidang adalah keliru
• Sehubungan dengan itu, sekiranya pelawan hanya mengajukan
alasan verzet tentang masalah keabsahan atas ketidakhadiran
tergugat memenuhi panggilan, Pengadilan Agama yang
memeriksa verzet harus memeriksa kembali gugatan semula,
karena dengan adanya verzet, putusan verstek mentah kembali,
dan perkara harus diperiksa sejak semula.
2) Proses Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Ketentuan itu diatur dalam pasal 129 ayat (3) HIR yang
berbunyi:36
Surat perlawanan itu dimaksud dan diperiksa dengan cara yang
biasa, yang diatur untuk perkara perdata.
Dari pasal diatas posisi para pihak tidak berubah dari status
semula. Pelawan tetap sebagai tergugat dan terlawan sebagai
penggugat. Oleh karena itu, sistem beban wajib bukti yang digariskan
Pasal 163, 186 KUHPerdata tetap ditegakkan sebagaimana mestinya.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal dimaksud, pada prinsipnya beban
36 Ibid, h.409.
32
wajib untuk membuktikan dalil gugatan dibebankan kepada terlawan
dalam kedudukan sebagai penggugat. Sebaliknya kepada pelawan
dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam
kedudukannya sebagai tergugat. Sebaliknya kepada pelawan dibebani
wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam kedudukan
sebagai tergugat. Tidak boleh dibalik dengan cara meletakkan terlebih
dahulu beban wajib bukti kepada pelawan. Penerapan yang demikian
melanggar tata tertib beracara yang digariskan sistem hukum
pembuktian.37
3) Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan
Berdasarkan Pasal 129 (3) HIR perlawanan diajukan dan
diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk perkara perdata.
Dengan begitu, kedudukan pelawan sama dengan tergugat. Berarti
surat perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada Pengadilan
Agama, pada hakikatnya sama dengan surat jawaban yang digariskan
Pasal 121 (2) HIR, 142 HIR Rv. Kualitas surat perlawanan sebagai
jawaban dalam proses verstek dianggap sebagai jawaban pada sidang
pertama.38
37 Ibid, h.409-410. 38 Ibid, h.410.
BAB III
DIMENSI PERADILAN AGAMA
A. PERADILAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
1. Pengertian Peradilan
Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per”
dan dengan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha,
yang berarti memutuskan, melaksanakan, menyelesaikan. Dan adapula yang
menyatakan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan
dengan pengadilan.1
Dalam literatur-literatur fikih Islam, peradilan disebut qadha, artinya
menyelesaikan, seperti Firman Allah SWT:
☺
.
Artinya: “Manakalah Zaid telah menyelesaikan keperluan dari zainab”. (Q.S.
Al-Ahzab: 37).
Ada juga yang berarti menunaikan, seperti Firman Allah SWT:
.
1 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.1.
33
34
Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka berteberanlah kepelosok
bumi”. (Q.S. Al-Jumu’ah: 10).
Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah:
1. Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan)
2. Perkataan yang harus dituruti, yang diucapkan oleh seseorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya.
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas
peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan
menetapkan sesuatu hukum, karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal
yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan
hukum umum, di mana hukum Islam itu (syariat), telah ada sebelum manusia
ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah
ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.2
Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia
merupakan satu kebutuhan hidup bermasyarakat. Pemerintahan tidak dapat
berdiri tanpa adanya peradilan, karena peradilan itu adalah untuk
menyelesaikan segala sengketa di antara para penduduk. 3
2 Ibid, h.2. 3 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2001), h.3.
35
Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa,
baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum.
Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar,
menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang
yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum.
Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan.4
2. Unsur- Unsur Peradilan
a. Hakim (Qadhi)
Qhadi adalah orang yang diangkat oleh Kepala Negara untuk
menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan
dalam bidang perdata, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat
menyelesaikan tugas peradilan. Sudah jelas bahwa Nabi sendiri menunjuk
beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.5
b. Hukum
Hukum yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan
suatu perkara. Hukum ini adakala dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim
berkata “Saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang”.
Putusan tersebut dinamakan qadha ilzam atau qadha isthiqaq.
4 Ibid, h.3. 5 Ibid, h.39.
36
Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa qadha ilzam ini ialah
menetapkan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan, seperti berhaknya
sesorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha
isthiqaq, ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari
ijtihad, seperti halnya sesorang tetangga mengajukan hak syuf’ah. 6
c. Mahkum Bihi
Di dalam qadha ilzam dan qadha isthiqaq ialah sesuatu yang
diharuskan oleh qadhi (hakim) supaya si tergugat memenuhinya. Di dalam
qadha ‘ut-tarki, ialah menolak gugatan. Ringkasnya, mahkum bihi adalah
suatu haq. Maka haq ini adakala dipandang hak yang murni bagi Allah
atau hamba, adakala hak yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah
satunya lebih berat. Diharuskan hak yang merupakan mahkum bihi,
dikenal oleh kedua belah pihak.7
d. Mahkum ‘Alaihi (Si Terhukum)
Mahkum ‘Alaihi adalah orang yang dijatuhkan hukum atasnya.
Dalam hak-hak syara’, adalah orang yang diminta untuk memenuhi
sesuatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang
6 Ibid, h.39-40.
7 Ibid, h.40.
37
tergugat ataupun bukan. Mahkum ‘alaihi ini boleh seorang saja dan boleh
juga banyak.8
e. Mahkum Lahu (Si Pemegang Perkara)
Mahkum Lahu adalah orang yang menggugat sesuatu hak. Baik
hak itu hak yang murni baginya atau sesuatu yang terdapat padanya dua
hak, akan tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini, haruslah ia memajukan
gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri
ataupun dengan perantaraan wakilnya. Dan di dalam memutuskan perkara,
boleh dia sendiri yang menghadiri sidang pengadilan ataupun wakilnya.9
f. Sumber Hukum (Putusan)
Dari keterangan-keterangan ini nyatalah, bahwa memutuskan
perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang
terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat
diterima. Oleh karena itu pula sesuatu yang bukan merupakan suatu
peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk kedalam bidang
ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.10
3. Macam- Macam Dakwaan (Gugatan) Hukum Acara Peradilan Islam
a. Dalil Pokok Gugatan
8 Ibid, h.40. 9 Ibid, h.41. 10 Ibid, h.41.
38
Dalil pokok bagi masalah dakwaan, sebagaimana firman Allah
SWT:
Artinya: “Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya,
agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba
sebagian dari mereka menolak untuk datang. (Q.S. An-Nur:
48).
b. Pengertian Dakwaan
Dakwaan dalam pengertian bahasa ialah thalab (permintaan) dan
tamanna (pengharapan). Dalam pengertian istilah, gugatan ialah
pengaduan yang dapat diterima hakim, yang dimaksudkan untuk menuntut
suatu hak pada pihak yang lain. Oleh karenanya syahadat (kesaksian dan
iqrar (pengakuan) tidak dimasukkan ke dalam katagori dakwa. Oleh sebab
itu masuk ke dalam pengertian dakwa, dakwa da’it ta’arudhi (mendakwa,
mengapa orang menggugatnya), dan da’wa tath’in niza’ (mendakwa,
mengapa orang yang tidak jadi meneruskan dakwaanya).
Mengingat hal ini, maka da’wa daf’it ta’arudhi harus diterima oleh
hakim, sedang da’wa qath’in niza’i tidak dapat diterima oleh hakim,
39
karena si penggugat sebagaimana mempunyai hak untuk menggugat, dan
mempunyai juga hak untuk mencabut gugatannya. Hakim tidak dapat
memaksa si penggugat harus meneruskan gugatannya.11
c. Pengertian Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi
1) Mudda’i (penggugat), ialah orang yang menghendaki (menuntut)
dengan pengaduannya supaya diambil sesuatu dari tangan selanjutnya,
atau menetapkan suatu hak dalam tanggung jawab orang lain. Ada
yang mengatakan bahwa mudda’i, ialah orang yang menuntut atas
selainnya untuk dirinya, baik yang dituntut itu benda, ataupun hutang,
atau corak yang lain.
2) Mudda’a ‘alaihi (tergugat) ialah orang yang disandarkan kepadanya
suatu tuntutan hak yang dihadapkan atasnya. Mudda’a ‘alaihi
(tergugat) adalah pihak yang harus menjawab gugatan. Hakim dapat
memaksanya untuk menjawab atau mengemukakan keterangan yang
diperlukan terhadap gugatan yang dihadapkan kepada dirinya oleh si
penggugat.12
d. Rukun Dakwaan
11 Ibid, h.105. 12 Ibid, h.106.
40
Rukun (pokok dari pengaduan atau gugatan), ialah menyandarkan
sesautu hak kepada diri si penggugat, seperti dia mengatakan “Saya
mempunyai suatu hak yang sedang berada di tangan si tergugat”, atau
mengatakan bahwa yang diwakilinya mempunyai sesuatu di tangan si
tergugat, apabila penggugat itu bertindak sebagai wakil.
Jelasnya dakwaan ialah ucapan si penggugat atau wakilnya (orang
yang berakal dan mumayyiz), yaitu si Fulan berhutang kepadaku sejumlah
uang, atau hakku ada padanya, atau aku telah menyelesaikan haknya, atau
dia telah membebaskan aku dari haknya. Apabila ini semua telah
diucapkan, maka sempurnalah rukun dakwa.13
e. Syarat- Syarat Sah Dakwaan
1) Pendakwa (penggugat) itu orang yang berakal sehat, demikian juga
mudda’a ‘alahi (tergugat). Oleh karenanya, tidaklah diterima gugatan
yang dihadapkan kepada orang-orang yang tidak berakal, karena dia
tidak dapat memberi jawaban (didengar jawabnya) atas gugatan yang
dihadapkan kepadanya.
13 Ibid, h.107.
41
2) Mudda’a (mudda’a bihi, yakni objek perkara), harus diketahui karena
sulit menyelesaikan sesuatu perkara yang tidak dikenal oleh pihak
yang bersangkutan.14
f. Hukum Dakwaan dan Hal-Hal Yang Berpautan Dengan Dakwaan.
Mudda’a ‘alaihi, wajib menjawab gugatan yang dihadapkan
kepadanya karena menghilangkan persengketaan dan pertengkeran adalah
suatu hal yang wajib. Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa ada jawaban
dari mudda’a ‘alaihi. Jelasnya, apabila gugatan telah dipandang hakim
memenuhi prosedur yang benar, barulah hakim menghadapkan pertanyaan
kepada pihak yang tergugat dan menanyakan pendapatnya. Apakah dia
membenarkan gugatan itu, ataukah tidak.
Apabila mudda’a ‘alaihi dinyatakan harus menjawab, maka dia
dapat membenarkan gugatan, dapat menolak dan dapat berdiam diri. Jika
dia menolak (membantah) maka jika mudda’i mempunyai bayyinah
(bukti), hendaklah dia mengemukakan bayyinahnya (membuktikan
kebenaran dakwaannya).15
g. Hujjah-Hujjah Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi
Bukti dimintakan kepada mudda’i, sedang sumpah pada umumnya
dalam banyak hal dikenakan atas mudda’a ‘ alaihi. Hal ini adalah logis
14 Ibid, h.108. 15 Ibid, h.111.
42
(mantiqi), karena mudda’i mendakwa sesuatu yang tersembunyi yang
berlawanan dengan kenyataan, yang berada di tangan yang lain. untuk
membuktikan kebenarannya, perlulah ia mengemukakan bukti. Sumpah,
walaupun dikuatkan dengan asma Allah SWT namun tidak dapat dijadikan
alasan untuk membenarkan mudda’a ‘alaihi, tetapi dapat dijadikan hujjah
untuknya karena benda yang diperkarakan itu berada di tangan mudda’i.16
h. Pertentangan Dua Dakwa (Gugatan) Tentang Hak Milik
Pertentangan dua dakwa tentang hak milik, ialah pertentangan dua
bukti. Jalan yang harus ditempuh bila terjadi yang demikian, ialah mencari
dalil yang rajih (kuat) dari antara dua dalil dan menggunakannya, jika
mungkin dilakukan. Jika tidak dapat ditarjihkan (dikuatkan salah satunya),
kita ambil kedua-duanya seberapa dapat untuk membenarkan kedua-dua
dakwaan itu.17
i. Pertentangan Gugatan Tentang Jumlah Milik
Apabila pihak penjual berbeda pendapat dengan pihak pembeli,
tentang jumlah barang yang diperjual belikan, maka mungkin mereka
berbeda pendapat tentang harga dan mungkin tentang benda yang
diperjual belikan.
16 Ibid, h.112. 17 Ibid, h.117.
43
Kalau tentang harga, maka dapat tentang jumlah harga, dan dapat
tentang jenisnya, ataupun tentang waktunya. Tapi jika tentang jumlah
harga, seperti si penjual berkata “Saya jual ini dengan harga Rp. 2000,-
sedang pihak pembeli mengatakan Rp. 1000,- maka jika barang yang
diperselisihkan tentang harganya itu masih ada, hendaklah keduanya
bersumpah, lalu barang itu dikembalikan kepada penjual. Dalam keadaan
ini kedua-duanya menjadi mudda’i dan mudda’a ‘alaihi. Kalau sudah
diserahkan (diterimakan), maka pernyataan pembeli diterima dengan
sumpahnya.18
B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama
Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang
berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan
juga dengan “wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara
Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan
“Kekuasaan Absolut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat
mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang mejadi kekuasaan
Pengadilan.19
18 Ibid, h.117-118. 19 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), Ed. 2., Cet. 10., h.25.
44
1. Kompetensi Relatif
Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
yang sama jenis dan sama tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri
Bogor dengan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim
dan Pengadilan Agama Baturaja.20
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama berbunyi:
“Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota”.
Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:21
“Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama berada di ibukota
kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau
kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian”.
Dengan berdasar atas pasal ini, tiap pengadilan agama mempunyai
wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu
kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih
atau mungkin kurang, seperti dikabupaten Gresik dan kabupaten Sumenep
20 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, h.138. 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ( Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h.28.
45
kepulauan terdapat dua buah Pengadilan Agama, karena kondisi
tarnsportasi.22
Guna mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah
mengajukan gugatan atau permohonan yakni ke Pengadilan Agama mana
orang akan mengajukan perkaranya dan juga berhubungan dengan hak eksepsi
tergugat. Menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum (tentang
tempat mengajukan gugatan), apabila tergugat mengajukan gugatannya ke
Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-
masing boleh memeriksa perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan)
dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat) memilih
untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka
sepakati.23
Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain.
Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut
di samping boleh pula menolaknya. Namun dalam praktik, Pengadilan Negeri
sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam
itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya
gugatan atau pemohonan itu diajukan.24
22 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.196. 23 HIR Pasal 118 Ayat 4, yang berbunyi: “Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu
tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu”.
24 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.138-139.
46
Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk
Peradilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Di masa lalu sebelum Peradilan Agama
mempunyai kekuasaan absolut yang seragam di seluruh Indonesia (sebelum
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989) Peradilan Agama tidak dapat menerima
ketentuan umum Peradilan Umum di atas, sebab suatu jenis perkara misalnya
menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Sumatera belum tentu
menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Jawa, seperti mengenai
kewarisan.25
2. Kompetensi Absolut
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan
Pengadilan lainnya. Misalnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara
perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain
Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama lah yang
berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh
langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah
Agung.26
25 Ibid, h.139. 26 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h.27.
47
Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan
mutlak (kompetensi absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perdata
tertentu seperti tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989
jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan berdasarkan atas
asas personalitas keislaman yang telah diperluas.27
Dalam bidang-bidang yang menyangkut hukum keluarga, menurut
Prof. Bustanul Arifin,28 Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai peradilan
keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam, seperti terdapat di beberapa
negara lain (family court). Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan
yang menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga, tentulah
jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala
syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera, dan sekretaris harus
disesuaikan dengan tugas-tugas yang diemban Peradilan Agama.
Selanjutnya ditegaskan bahwa Peradilan Agama sebagai peradilan
keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya,
hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam
menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan kepadanya. Namun Peradilan
Agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan
rohani dan sosial bagi para keluarga yang menjadi pencari keadilan.
27 Ibid, h.27. 28 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.94.
48
Disamping itu, Peradilan Agama harus pula diarahkan sebagai lembaga
preventif bagi kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang
akan menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian pula pada saat
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga suasananya benar-
benar manusiawi dan kekeluargaan29.
Kompetensi absolut Peradilan Agama disebut dalam Pasal 49 dan 50
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen
dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:30
Pasal 49
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infak;
29 Sulaikin Lubis, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008),
h.111. 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, h.20.
49
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah
Sesuai dengan kompetensi absolut Pengadilan Agama yaitu perkara
bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Sedekah
dan Ekonomi Syariah.
Dalam penjelasan Pasal I angka 37, mengenai perubahan bunyi Pasal
49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, pada poin (i) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah meliputi:31
a. Bank syariah;
b. Asuransi syariah;
c. Reasuransi syariah;
d. Reksa dana syariah;
e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
f. Sekuritas syariah;
g. Pembiayaan syariah;
h. Pegadaian syariah;
i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah;
j. Bisnis syariah; dan
k. Lembaga keuangan mikro syariah.
31 Sulaikin Lubis, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h.118.
50
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat ada 11 macam perkara yang
termasuk bidang ekonomi syariah ini. Dalam hal ini yang menarik adalah
perluasan terhadap pengertian “orang-orang” yang meliputi juga lembaga
ekonomi yang berupa bank ataupun perusahaan asuransi yang berbentuk
badan hukum. Pada bagian awal dari penjelasan Pasal 49 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen
dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, disebutkan
bahwa lembaga keuangan bank sebagai badan hukum disini dimasukkan
sebagai para pihak yang tunduk pada ketentuan hukum Islam.32
Ekonomi syariah cakupannya sangat luas, tercakup dalam lembaga
keuangan; baik lembaga keuangan bank maupun non bank yang mendasarkan
pengelolaan operasionalnya menggunakan prinsip syariah. Prinsip syariah
dalam hukum perbankan diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana,
pembiayaan kegiatan usaha, dan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah.33
C. Sumber Hukum Peradilan Agama
Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di
Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus
32 Ibid, h.118. 33 Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta:Kencana, 2008), Cet. Ke- 1, h.347.
51
dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, Pertama, Sumber
Hukum Materiil; Kedua, Sumber Hukum Formil yang sering disebut Hukum
Acara.34
1. Hukum Materiil Peradilan Agama35
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian
sering didefinisikan sebagai fikih, yang sudah barang tentu rentan terhadap
perbedaan. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang telah lama dijajah oleh
bangsa asing yang bukan hanya berpengaruh terhadap politik pemerintahan
dan ekonomi, tetapi juga terhadap agama. Pengaruh terhadap agama dimulai
dengan pemetaan daerah hukum adat oleh Van Vollenhoven sampai dengan
teori Receptie Snouck Hurgronje. Sehingga dalam perjalanan sejarah,
Peradilan Agama mengalami pasang surut, terutama eksistensinya telah
pernah hampir musnah sama sekali. Hal ini bisa dilihat pada zaman VOC, di
mana hukum kekeluargaan diakui dan terkumpul dalam peraturan yang
disebut compendium frijer. Kemudian dengan lahirnya Stbl. 1882 No. 152
untuk Jawa dan Madura dan Stbl. 1937 No. 116 dan 610 mengenai Kerapatan
Qadhi di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur yang mengeluarkan hukum
waris kewenangan Peradilan Agama di wilayah Jawa dan Madura. Namun
demikian, kepentingan hukum merupakan kepentingan masyarakat itu sendiri.
34 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.147. 35 Abdul Basir, Mimbar Hukum (Jurnal Dua Bulanan) Aktualitas Hukum Islam, No. 64 Tahun
XV 2004, Mei-Juni, h.107-109.
52
Apalagi bagi kaum muslimin yang taat sebagaimana ketentuan Al-Qur’an
surah al-Baqarah: 108 yang memerintahkan agar memeluk Islam secara kallaf,
utuh, dan menyeluruh. Maka melaksanakan hukum Islam menjadi sebagian
dari pengalaman agamanya. Oleh karea itu, de facto hukum Islam masih
menjadi pilihan hukum umat Islam di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan
masalah kewarisan dengan mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.
Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan
hukum tertulis (Sistem Hukum Positif) dan masih berserakan dalam berbagai
kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda,
sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang
sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya
kesamaan di sisi lain, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946
dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum
perkawinan, talak, dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti
dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958
yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Dalam surat biro peradilan tersebut di atas dinyatakan bahwa, untuk
mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutuskan
perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah dianjurkan
agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab ini, yakni: (1) Al-Bajuri; (2)
Fatkhul Mu’in; (3) Syarqawi ‘Alat Tahrir’; (4) Qalyubi Wa Umairah/Al-
53
Mahalli; (5) Fatkhul Wahhab; (6) Tuhfah; (7) Targhib Al-Mustaq; (8)
Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya; (9) Qawanin Syari’ah Li Sayyid
Shadaqah; (10) Syamsuri li Fara’id; (11) Bughyat Al-Musytarsyidin; (12) Al-
Fqih Ala Madzahib Al-Arba’ah; dan (13) Muqhni Al-Muhtaj.
Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung di dalamnya
belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang
yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum
positif adalah hukum yang tertulis, hukum yang menjadi pedoman Peradilan
Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam
masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27
ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami,
dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Untuk menjembatani dua aliran tentang hukum positif, maka sejak
tanggal 02 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun kelahirannya diwarnai dan
dirundung berbagai masalah. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, merupakan
titik tolak awal pergeseran bagian hukum Islam menjadi hukum tertulis.
Namun bagian lain dari hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf masih di
luar hukum tertulis, sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh
Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama, karena pengambilan dasar
54
hukumnya dari kitab fikih yang berbeda, meskipun kitab-kitab rujukan telah
dibingkai dalam 13 kitab fikih sebagaimana tersebut di atas.
Walaupun Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya menagtur
Peradilan Agama disahkan sejak tanggal 17 Desember 1970, namun secara riil
Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan tersebut baru berjalan setelah
adanya Skb. Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan 04
Tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan hukum materiilnya masih tetap
menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik dan sebagian tercantum dalam Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam
dalam Peraturan Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb
membuat dan memperlakukan hukum Islam sebagai undang-undang yang
terkenal dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-
Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.
Atas dasar itu semua dan untuk mewujudkan kepastian hukum
sekaligus mewujudkan hukum Islam setidak-tidaknya di bidang hukum
perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia
55
merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan
Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret
1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam.
Dengan SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para
ulama, melakukan lokakarya dan hasil pengkajian, penelaahan kitab kemudian
ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya, yakni
Maroko, Turki, dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi
naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama kepada presiden tanggal 14
Maret 1988 dengan Surat No. MA/123/1988 tentang Pembentukan Kompilasi
Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk
menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.
Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan
proses yang terlalu panjang, sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat
mendesak. Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan
menggunakan instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran
Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut
Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 Tahun 1991
tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen
Agama dan instasi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaigus
menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan,
56
Kewarisan, dan Perwakafan sebagai pedoman masalah-masalah hukum Islam
yang terjadi..
Demi untuk efektif dan tegaknya hukum Islam perlu segera Kompilasi
Hukum Islam yang berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden ditingkatkan
menjadi undang-undang sebagaimana hukum perdata lainnya. Hal ini sesuai
dengan napas dan semangat Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjamin kemerdekaan umat beragama untuk melaksanakan syariat
agamanya.
2. Hukum Formil Peradilan Agama36
Meskipun lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah
dibentuk oleh Pemerintah Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl. 1937
NO. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639,
kemudian setelah kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama
di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957,
tetapi dalam peraturan tersebut tidak disinggug sama sekali tentang hukum
acara yang harus digunakan oleh hakim dalam memeriksa, dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak ada ketentuan resmi
tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim
dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama
mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam
36 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 4-8.
57
penerapannya berbeda antara satu Pengadilan Agama dengan pengadilan
Agama lain.
Ketentuan mengenai hukum acara di Pengadilan Agama tercantum
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9
Tahun 1975 tentag Peraturan Pelaksanaannya, ini pun baru sebagian kecil saja
yang diatur dalam kedua peraturan ini. Ketentuan tentang hukum acara di
lingkungan Peradilan Agama baru disebut secara tegas sejak diterbitkan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ini selain diatur tentang
susunan dan kekuasaan peradilan Agama, di dalamnya juga diatur tentang
hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Hukum acara
yang dimaksud diletakkan pada ketentuan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal.
Tidak semua ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara
lengkap dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
hal ini dapat dilihat dalam Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
58
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada
tanggal 20 Maret 2006 telah diamandemen pasal-pasalnya dengan UU NO. 3
Tahun 2006.37
Oleh karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan
Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa, Madura.
Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa, Madura,
maka kedua aturan hukum acara ini diberlakukan juga di lingkungan
Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut.
Misalnya, pembebanan biaya perkara yang harus dibayar oleh
pemohon/penggugat pembuktian dengan alasan syikak, gugatan perceraian
yang didasarkan atas alasan zina (li’an), dan beberapa ketentuan lain yang
diatur secara khusus.
Dengan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum acara
yang berlaku di lingkungan Peadilan Agama adalah sama dengan yang
berlaku pada lingkungan Peradilam Umum, kecuali hal-hal yang telah
disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama tersebut. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk Peradilan Agama
adalah sebagai berikut.
a. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)
37 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 152.
59
Hukum acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk
golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan
Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52
dan Stbl. 1849 No. 63. berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848.
b. Inlandsh Reglement (IR)
Ketentuan hukum acara lain diperuntukan untuk golongan
Bumiputra dan Timur Asig yang berada di Jawa dan Madura. Setelah
beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini
diubah namanya menjadi Het Herzience Indonesia Reglement (HIR) atau
disebut juga dengan Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang
diberlakukan dengan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
c. Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan hukum acara ini diperuntukan untuk golongan
Bumiputra dan Timur Asing yang berada diluar Jawa dan Madura yang
berperkara di muka Landraad. R.Bg ditetapkan berdasarkan Ordanasi
tanggal 11 Mei 1927 dan yang berlaku berdasarkan Stbl. 1927 tanggal 01
Juli 1927, dikenalkan juga dengan “Reglement Daerah Seberang”.
d. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata
khususnya buku IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865
s/d 1993.
60
e. Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara
Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam praktek peradilan. WvK
diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23, Khususnya dalam Pasal 7, 8, 9,
22, 23, 225, 258 ,272, 273, 274, dan 275. Dalam kaitan dengan Hukum
Dagang ini, terdapat juga Hukum Acara Perdata yang diatur dalam
Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stbl.
1906 No. 348.
f. Peraturan Perundang-undangan:
1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan diubah menjadi
Undang-Undang No. 35 tahun 1999 terakhir keduannya dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh UU NO. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat
beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam Praktek
Peradilan di Indonesia;
2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal
yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di
Mahkamah Agung RI;
61
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9
Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan tersebut;
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam
Undang-Undang ini, khususnya Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum
acara yang berlaku di lngkungan Peradilan Agama adalah sama
dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum,
kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
tersebut;
5. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi
Hukum Islam yang terdiri 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan,
Kewarisan, dan Wakaf.
g. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockema Andrea sebagaimana yang dikutip oleh
Lilik Mulyadi, S.H. (1998: 14) dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari
keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang
diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut,
sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of
precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi
62
dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat
putusan sebelumnya.
Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya
yurisprudensi itu telah usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan
zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap
dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan
sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
h. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI
sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil
dapat dijadikan hukum acara dalam Praktik Peradilan terhadap suatu
persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah
Agung RI berwenang memberikan petunjuk apabila dianggap perlu agar
suatu masalah hukum tidak menyimpang dari aturan yang telah
ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirin hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya.
i. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak
digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili
suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam
63
kitab-kitab fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama
Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan
bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan
memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama dianjurkan
agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam
kitab fikih sebagai berikut:
1) Al-Bajuri;
2) Fatkhul Mu’in;
3) Syarqawi ‘At-Tahrir;
4) Qalyubi Wa Umairah/Al-Mahalli;
5) Fatkhul Wahhab dan Syarahnya;
6) Tuhfah;
7) Targhib Al-Mustaq;
8) Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya;
9) Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah;
10) Syamsuri li Fara’id;
11) Bughyat Al-Musytarsyidin;
12) Al-Fiqih Ala Madzahib Al-Arba’ah; dan
13) Mughni Al-Muhtaj.
64
Dengan merujuk kepada 13 buah kitab fikih sebagaimana tersebut
di atas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil atau
menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan
pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.
BAB IV
PROSES PENYELESAIAN PERKARA VERSTEK
A. Sistem Pembuktian Perkara Verstek
Pada saat sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga
tidak menyuruh wakilnya untuk hadir pada persidangan yang telah ditentukan,
padahal sudah dipanggil dengan patut. Pihak yang tidak hadir bisa saja
Penggugat dan bisa juga Tergugat.
Ketidakhadiran salah satu pihak tersebut pasti akan menimbulkan
masalah dalam pemeriksaan perkara. Jika yang tidak hadir adalah Penggugat,
maka perkaranya digugurkan dan diperkenankan untuk mengajukan gugatannya
sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayar biaya perkara yang baru. Namun
apabila pada hari sidang pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir
ataupun tidak menyuruh wakilnya untuk datang menghadiri persidangan, padahal
ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatan diputuskan dengan verstek.
Putusan verstek adalah Putusan Pengadilan yang dijatuhkan dengan tidak
pernah dihadiri oleh tergugat setelah tergugat dipanggil secara resmi dan patut.1
Dan tentang hal inipun dikenal dalam hukum Islam dengan kaidah:2
.من دعى الى حا آم من حكـام المسلمين فـلـم يجب فـهو ظـا لم ال حق لـه
1 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.
2 Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Libanon: Beirut, tth), Juz 2, h.405.
65
66
Maksud dari kaidah tersebut adalah “ Barang siapa yang dipanggil oleh
hakim yang muslim dan ia mengabaikan, maka ia zhalim (gugurlah haknya)”.
Dalam menghadapi masalah ketidakhadiran tergugat, Pengadilan Agama
Depok melakukan pemanggilan sampai dua kali. Jika pemanggilan pertama
tergugat tidak hadir, pengadilan melakukan pemeriksaan pemanggilan apakah
sudah memenuhi kriteria sah atau patut. Sah dalam arti, tergugat dipanggil
berdasarkan alamat yang tertera dalam surat gugatan, dan kepatutannya
berdasarkan tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang yaitu
sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum persidangan. Kalau ada kesalahan
pemanggilan, berarti panggilan tersebut tidak sah atau bahkan belum sampai
kepada pihak yang harus dipanggil, oleh karena harus diperintahkan untuk
dipanggil lagi.3
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No: 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang berbunyi bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”.4
3 Sarnoto, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010. 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ( Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h. 63.
67
Dengan berdasarkan pasal diatas, maka jelaslah ketentuan putusan
verstek perkara perceraian di Peradilan Agama menginduk ke Hukum Acara
Pengadilan Umum, yang mana pembuktian tidak terdapat ketentuan khusus
dalam undang-undang tersebut. Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Pengadilan Umum adalah HIR bagi daerah Jawa dan Madura
dan R.Bg bagi daerah luar Jawa dan Madura. Jadi Praktek perundang-undangan
yang mengatur tentang verstek tersebut dan berlaku juga di lingkungan
Pengadilan Agama adalah Pasal 149 R.Bg dan Pasal 125. HIR5, yang berbunyi:
“Apabila pada hari yang telah ditentukan, tergugat tidak hadir dan pula ia tidak
menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil
dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek),
kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan bahwa gugatan tersebut melawan hak
atau tidak beralasan”.
Pembuktian dalam putusan verstek menurut Soepomo dan Retno Wulan
Susanto adalah tidak perlu dilakukan, yakni ketika tergugat tidak datang
dipersidangan setelah dilakukan panggilan secara resmi, dan baru diadakan
sesudah ada perlawanan. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh A.
Mukti Arto, bahwa putusan verstek dijatuhkan tanpa pembuktian lebih dahulu
dalil gugat yang dikemukakan oleh penggugat karena tidak dibantah oleh
tergugat, kecuali dalam perkara perceraian. Artinya pendapat tersebut
pengecualian dari ketentuan HIR dan R.Bg.
5 Sarnoto, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.
68
Menurut hasil data yang penulis dapat di lapangan, hakim Pengadilan
Agama Depok mengatakan, bahwa secara tekstual pembuktian tidak diatur
dalam Pasal 149 R.Bg dan 125 HIR, pasal ini hanya mengatur masalah
ketidakhadiran saja. Adapun persoalan pembuktian dalam putusan verstek,
Pengadilan Agama Depok selalu menggunakan dan mempertimbangkannya,
karena pembuktian merupakan syarat formil dalam persidangan dan bukti adalah
hal yang sangat penting peranannya karena menyangkut validitas dan prinsip
utama dalam perkara perdata.6
Bahkan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. Pembuktian pada
hakekatnya baik dalam arti yang logis ataupun yuridis adalah berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tersebut dianggap
benar. Dari pendapat tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa suatu
keputusan tidak dapat dikeluarkan jika tidak memiliki bukti.
Landasan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Depok untuk memakai
proses pembuktian dalam perkara verstek selain merupakan syarat formil,
pembuktian tersebut juga diatur dalam pasal lain, yaitu Pasal 164 HIR tentang
alat-alat bukti .7
Selain itu, menurut hakim Pengadilan Agama bahwa Pasal 125 HIR yang
berlaku juga di Pengadilan Agama adalah produk belanda, sedangkan Pengadilan
6 Abdurrahman, Calon Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 18
Juni 2010.
7 Ibid.
69
Agama harus melaksanakan syariat Islam. Untuk itu pembuktian merupakan hal
yang penting agar semua gugatan penggugat memilki kekuatan hukum.8
B. Analisa Pertimbangan Hukum bagi Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Menurut hukum acara positif dalam perkara perdata, hakim diwajibkan
untuk mencapai kebenaran formal, hal ini adalah dikarenakan luas ruang
lingkupnya perkara sepenuhnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara.
Begitupun dalam perdata Islam, hakim tidak diwajibkan untuk mencapai suatu
kebenaran materiil, melainkan hanya diwajibkan untuk mencapai kebenaran
formal saja. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah diputuskan oleh Qadli
Syuraih ketika memutuskan perkara perdata antara Ali bin Abi Thalib RA.
tentang baju besi yang jatuh dari untanya yang bernama auraq, dengan seorang
Yahudi yang memegang baju besi tersebut ditangannya, kemudian Qadli Syuraih
menjatuhkan vonis kepada yahudi bahwa baju itu adalah miliknya, karena Ali
bin Abi Thalib tidak mempunyai dua orang saksi9.
Berkenaan dengan putusan verstek yang mana praktek perundang-
undangan yang mengatur tentang verstek tersebut dan berlaku juga di lingkungan
Pengadilan Agama adalah R.Bg. Pasal 149 dan HIR Pasal 125, walaupun
dilaksanakan hanya dihadiri oleh satu pihak tetapi mempunyai kekuatan hukum
yang sah dan kuat.
8 Sarnoto, Wawancara Pribadi, Depok, 18 Juni 2010. 9 As-Shun’ani, Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani, Subulus Salam, (Mesir: Musthafa Al-Babi
Al Halabi, 1960), Cet-4.
70
Selain itu juga, putusan verstek menjadi penting keberadaannya megingat
jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Depok jumlahnya tidaklah
sedikit. Sejak tahun 2007 perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Depok
berjumlah 1208 kasus, tahun 2008 berjumlah 1430 kasus, dan tahun 2009
berjumlah 2060, dimana rata-rata jenis perkara terbanyak adalah pada perkara
Cerai Talak dan Cerai Gugat. Bahkan pada tahun 2009 mengalami peningkatan
jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Agama tersebut, jenis perkara
tebanyak adalah Cerai Gugat dengan jumlah 1251, dan disusul dengan Cerai
Talak berjumlah 559 kasus10. Kemudian jumlah data perkara sisa akhir bulan
maret tahun 2010 yang saya peroleh adalah berjumlah 549 perkara, dengan
perincian perkara yang diputus sebagai berikut:11
No Bulan Tahun Cerai Gugat Cerai Talak
1 Maret 2010 95 40
Maka bisa dibayangkan bila tidak ada penyelesaian putusan kasus dan
termasuk putusan verstek, dari jumlah kasus yang masuk semakin bertambah,
akan megakibatkan penumpukan yang luar biasa.
10 Buku Laporan Pengadilan Agama Depok, Perkara Diterima dan Diputus pada Pengadilan
Agama Depok Tahun 2007 s/d 2009, 23 April 2010. 11 Buku Laporan Pengadilan Agama Depok, Laporan Keadaan Perkara Diterima dan Diputus
Bulan Maret 2010, 23 April 2010.
71
Sebelum memutuskan perkara dengan verstek biasanya hakim
memepertimbangkan dari ke absahan panggilan yang disampaikan kepada
tergugat dan alasan ketidakhadirannya. Kemudian hakim memeriksa kesesuaian
antara posita dan petitum penggugat serta gugatan tersebut beralasan atau tidak.
Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa
yang membenarkan tuntutan, maka gugatan akan ditolak12.
Hal inilah yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Agama Depok dalam
pokok perkara Nomor: 1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk. dimana hakim
memepertimbangkan ketidakhadiran tergugat, yang mana telah dipanggil secara
resmi dan patut, tidak menghadap dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai
wakil dan kuasa hukumnya yang sah untuk datang menghadap persidangan, dan
ketidakhadirannya tidak berdasarkan alasan yang sah. Selain itu hakimpun
melihat alasan pokok gugatan, bahwa sejak tahun 1995 antara Penggugat dan
Tergugat telah terjadi perselisihan dan petengkaran yang disebabkan Tergugat
malas bekerja, namun demikian Tergugat selalu meminta Penggugat untuk
berada di rumah, serta sering melakukan kekerasan fisik terhadap Penggugat dan
sejak bulan januari 1997 antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah.
Untuk menguatkan semua dalil-dalil gugatan Penggugat, hakimpun
menghadirkan 2 (dua) orang saksi dari adik kandung Tergugat yang mengetahui
dan menyaksikan perselisihan antara Penggugat dan Tergugat.
12 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.
72
Tindakan Hakim Pengadilan Agama Depok dalam meghadirkan saksi
sebagaimana dalam putusan tersebut diatas adalah agar putusan yang dijatuhkan
memiliki pertimbangan hukum yang kuat. Wirjono Projodikoro mengemukakan
hal yang sama tentang saksi dalam pemeriksaaan perkara, menurutnya bahwa di
antara tindakan-tindakan hakim dalam memeriksa perkara perdata yang amat
penting dan yang harus pertama-tama disebut ialah pendengaran saksi. Ini
termasuk tindakan hakim mengenai pembuktian dari sesuatu yang diajukan oleh
pihak berperkara.
Putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh hakim memiliki kekuatan
hukum. Namun penggugat dan tergugat masih memiliki hak-hak setelah putusan
tersebut dijatuhkan. Kalau penggugat tidak terima dengan putusan verstek, maka
ia dapat melakukan Upaya Banding. Sedangkan kalau tergugat yang tidak bisa
menerima/keberatan atas adanya putusan verstek, maka ia dapat melakukan
perlawanan atas putusan verstek tersebut (verzet)13.
Berkenaan dengan verzet yang dilakukan oleh tegugat, menurut hakim
Pengadilan Agama Depok, secara formal sepanjang verzet masih dilakukan
dalam tenggang waktu yang dibenarkan menurut undang-undang dan
pemeriksaan perkara kembali dibuka, bisa saja dianggap hak-hak tergugat telah
13 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.
73
terpenuhi. Sedangkan mengenai substansi yang menyangkut hak-hak tergugat,
sangat tergantung dari hasil pembuktian14.
Di sini penulis akan uraikan putusan perkara No:
1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk, sebagai Berikut :
1. Pihak- Pihak:
• Penggugat : Fulanah Binti Fulanah, umur 38 tahun, agama Islam,
pendidikan SLTA, pekerjaan ibu rumah tangga.
• Tergugat : Fulan Bin Fulan, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan
SLTA, pekerjaan (tidak ada)
2. Tentang Duduk Perkara
a. Bahwa Penggugat adalah isteri sah Tergugat, yang pernikahannya
dilaksanakan pada tanggal 18 januari 1992, di Sukamajaya, Kabupaten
Bogor (sekarang Kota Depok) dengan Kutipan Akta Nikah Nomor;
972/80/I/1992.
b. Bahwa pada bulan Januari 1997 Tergugat pergi meninggalkan kediaman
bersama dengan membawa anak dan ketika Tergugat akan pergi, Tergugat
berjanji akan mengurus anak dengan baik.
c. Bahwa sejak bulan Januari 1997 Penggugat dan Tergugat telah pisah
rumah.
d. Bahwa dengan beberapa kejadian tersebut di atas, rumah tangga antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi,
14 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.
74
sehingga rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah, tidak
tercapai.
3. Pertimbangan Hukum
a. Menimbang, bahwa meskipun Tergugat telah dipanggil secara resmi dan
patut, tidak datang menghadap dan tidak pula menyuruh orang lain
sebagai wakil atau kuasanya yang sah untuk datang menghadap dalam
persidangan dan tidak ternyata pula bahwa tidak datangnya tersebut
disebabkan suatu alasan yang sah, oleh karenanya Tergugat harus
dinyatakan tidak hadir.
(hal ini sesuai dengan pasal 125 HIR dan 149 R.Bg yang mengatur
verstek tentang ketidakhadiran tergugat ketika dipanggil secara patut dan
sah)
b. Menimbang, berdasarkan bukti P.1 Penggugat dan Tergugat terikat dalam
perkawinan yang sah menurut hukum, oleh karenanya Penggugat dan
Tergugat mempunyai kualitas hukum untuk bertindak sebagai pihak dalam
perkara ini.
(Hakim memakai pasal 165 HIR yang mengatur tentang alat bukti berupa
akte otentik sebagai pertimbangan hukumnya. Menurutnya Akte otentik
tersebut dipergunakan oleh hakim untuk mengetahui apakah perkawinan
antara penggugat dan tergugat itu benar-benar sebagai suami isteri atau
tidak)
75
c. Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya Penggugat telah
menghadirkan dua orang saksi.
(menurut hakim penggunaan saksi di sini sangat penting untuk mengetahui
kebenaran apakah sesuai antara dalil-dalil penggugat dengan keterangan
saksi)
d. Menimbang, bahwa oleh karena dalil-dalil gugatan Penggugat telah
beralasan hukum dan tidak melawan hak, dan ketidakhadiran Tergugat
dalam persidangan tidak didasarkan atas alasan yang sah, maka
berdasarkan pasal 125 HIR, seluruh gugatan Penggugat dapat dikabulkan
denga verstek
(berdasarkan alat bukti di atas, hakim Pengadilan Agama Depok
menjatuhkan putusan verstek sebab terpenuhinya syarat verstek yaitu
tergugat tidak hadir, tidak menyuruh wakil atau kuasanya untuk hadir
persidangan serta ketidak hadirannya tidak dibarengi dengan alasan yang
sah, tergugat tidak mengajukan tangkisan, dan penggugat mohon putusan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No: 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang berbunyi bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”. Jadi praktek perundang-undangan
yang mengatur tentang verstek tersebut dan berlaku juga di lingkungan
Pengadilan Agama adalah R.Bg. Pasal 149 dan HIR Pasal 125.
2. Landasan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Depok untuk memakai
proses pembuktian dalam perkara verstek selain merupakan syarat formil,
pembuktian tersebut juga diatur dalam pasal lain, yaitu Pasal 164 HIR
tentang alat-alat bukti. Hal tersebutpun sesuai dengan apa yang ada dalam
syariat Islam, bahwa setiap perkara harus ada pembuktian yang mana
pembuktian tersebut dibebankan kepada pihak penggugat.
3. Pertimbangan yang dipergunakan oleh Hakim Pengadilan Agama Depok
dalam perkara No.1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk. adalah sebagai berikut:
76
77
• Bahwa, dengan ketidakhadiran tergugat dalam persidangan, majelis
hakim berpendapat tergugat telah melepaskan hak jawabnya dan
dianggap mengakui seluruh dalil gugatan penggugat.
• Tindakan Hakim Pengadilan Agama Depok dalam mendengarkan
keterangan saksi sebagaimana dalam putusan tersebut diatas adalah agar
putusan yang dijatuhkan memiliki pertimbangan hukum yang kuat.
B. Saran –Saran
1. Demi kodifikasi dan unifikasi hukum, penulis menyarankan agar hukum
acara Pengadilan Agama yang pada mulanya diatur dalam HIR dan R.Bg
ditingkatkan dalam Undang-Undang.
2. Penulis menghimbau kepada para hakim Pengadilan Agama Depok
khususnya maupun para hakim lainnya, agar memperhatikan dengan
seksama dan teliti sistem acara yang berlaku disertai kewaspadaan yang
tinggi, agar menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
3. Perlu adanya peningkatan wawasan hukum masyarakat tentang hukum
Islam maupun hukum positif melalui ceramah agama, memberikan
konsultasi hukum dan pendidikan pengajian masyarakat yang intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim.
A. Rasyid, Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
2007. Abidin, Slamet, Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta:Kencana, 2008. Ash-Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2001. Arabi, Ibnu, Ahkam al-Qur’an, Libanon: Beirut, tth, Juz 2. Dewi, Gemala, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005. Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta; Sinar Grafika, 2006. ________________, Kedudukan Dan Kewenangan Acara Peradilan Agama UU No.
7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind-Hill, Co, 1985. Lubis, Sulaikin, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2008. M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Universitas Trisakti, 2005.
78
79
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah
Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. Mahkamah Agung RI, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000. Makaro, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT. Rineka,
2004. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogykarta: Liberty, 1988. Mono, Henny, Praktik Berperkara Perdata, Malang: Bayumedia, 2007. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2000. Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani, As-Shun’ani, Subulus Salam, Mesir: Musthafa
Al-Babi Al Halabi, 1960. Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004. Projodikoro, R. Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung, 1992. R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita,
1980. Rasaid, M. Nur, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Retno Wulan Susanto, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2005. Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977. Shahibuddin, Ahmad, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata
Menurut Hukum Acara Positip dan Hukum Acara Islam, Jakarta: PT Pembimbing Masa, 1983.
80
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: PT Intermasa, 1982. Sugono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003. Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK
Tentang,
“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”
Nama Hakim : Abdurrahman, S.HI Tempat : Pengadilan Agama Depok Hari/Tanggal : Jum’at, 16 Juni 2010 1. Di dalam pasal 149 R.Bg dan Pasal 125 HIR mengatur tentang verstek, akan
tetapi apakah proses pembuktian diatur di dalamnya? Jawab : • Tidak mengatur tentang adanya pembuktian, hanya mengatur verstek. • Pasal tersebut hanya mengatur tentang ketidakhadiran tergugat.
2. Apa landasan hukum bagi hakim untuk memakai proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek? • Setiap perkara yang disidangkan harus ada pembuktiannya, karena merupakan
syarat formil. • Pasal 125 HIR tentang verstek memang tidak mengatur pembuktian. Namun
pembuktian tersebut diatur dala Pasal 164 HIR, yang diantara adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
3. Bagi hakim, apa manfaat dari proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang dijatuhkan putusan verstek? • Menguatkan dalil-dalil gugatan penggugat. • Menghasilkan kepastian hukum. • Agar menghindari terjadinya penyelundupan hukum, seperti ada beberapa hal
yang belum terkuak (masih disembunyikan).
4. Apakah boleh acara verstek dalm perkara cerai gugat tidak memakai pembuktian? Jawab : • Tidak boleh, karena setiap perkara yang disidangkan harus ada pembuktian.
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK
Tentang,
“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”
Nama Hakim : Drs. Sarnoto, MH. Tempat : Pengadilan Agama Depok Hari/Tanggal : Jum’at, 18 Juni 2010 1. Di dalam pasal 149 R.Bg dan Pasal 125 HIR mengatur tentang verstek, akan
tetapi apakah proses pembuktian diatur di dalamnya? Jawab : • Secara tekstual memang tidak mengatur tentang pembuktian, tapi tidak berarti
pembuktian tidak boleh dipergunakan terlebih-lebih dalam perkara perceraian.
2. Apa landasan hukum bagi hakim untuk memakai proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek? Jawab : • Bahwa Pasal 125 HIR yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah produk
belanda, sedangkan Pengadilan Agama adalah Pengadilan untuk menyelesaikan perkara antara umat Islam. Untuk itu dijalankan berdasarkan syariat Islam, yaitu bukti dibebankan bagi penggugat agar menguatkan gugatannya.
• Kehati-hatian sebelum menjatuhkan putusan, karena perceraian merupakan hal yang tidak bisa dianggap mudah. Dalam perceraian tidak boleh ada yang ditutupi tentang alsannya mengajukan gugatan.
3. Bagi hakim, apa manfaat dari proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang dijatuhkan putusan verstek? Jawab : • Agar tidak ada hal-hal yang disembunyikan oleh penggugat, dengan ini bisa
terhindar atau tidak terjadi pemufakatan perceraian antara kedua belah pihak. • Menjalankan syariat Islam yaitu “Bukti itu bagi penggugat dan sumpah bagi
tergugat”.
4. Apakah boleh acara verstek dalm perkara cerai gugat tidak memakai pembuktian?
Jawab : • Tidak boleh, karena dengan adanya bukti dapt menguatkan dalil-dalil gugatan. • Selain itu, dengan adanya saksi, berarti telah memenuhi syarat sahnya
perceraian dalam Islam. Karena perceraian dalam Islam harus disaksikan.
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK
Tentang,
“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”
Nama Hakim : Drs. Sarnoto, MH. Tempat : Pengadilan Agama Depok Hari/Tanggal : Jum’at, 23 April 2010
1. Apa pendapat Bapak/Ibu tentang putusan verstek? Putusan verstek adalah putusan Pengadilan yang dijatuhkan dengan tidak pernah dihadiri oleh tergugat setelah tergugat dipanggil secara resmi dan patut.
2. Apakah putusan verstek dikenal dalam hukum Islam? Dalam kaidah hukum Islam dikenal;
هـ لق ح الما لـ ظوهـ فبج يمـلـ فنيملسلم اامـك حن مما آ حلى اىع دنم
3. Praktek perundang-undangan yang mana yang mengatur verstek? R.Bg. Pasal 149 dan HIR Pasal 125.
4. Bagaimana pendapat hakim, jika ketidakhadiran tergugat tersebut karena kesalahan dalam proses pemanggilan, seperti hal adanya keterlambatan dalam pemanggilan? Kalau ada kesalahan pemanggilan, berarti panggilan tersebut tidak sah atau bahkan belum sampai kepada pihak yang harus dipanggil, oleh karena harus diperintahkan untuk dipanggil lagi.
5. Sengketa apa saja yang dapat diputus secara verstek? Setiap Perkara Perdata Contentiosa dapat diputus secara verstek.
6. Apakah dalam hal putusan verstek tersebut mengharuskan adanya pembuktian? Pada dasarnya tidak mengharuskan adanya pembuktian, namun demikian dalam perkara perceraian biasanya Majelis Hakim tetap menghadirkan keterangan dua orang saksi sebelum menjatuhkan putusan.
7. Dalam perkara perceraian, bagaimana hakim dapat membuktikan kebenaran dail-dalil gugatan penggugat, sementara tergugat tidak hadir? Dengan ketidakhadiran tergugat, dapat saja Majelis Hakim menganggap tergugat telah melepaskan hak jawabnya dan dianggap mengakui seluruh dalil gugatan penggugat.
8. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan verstek?
- Pertama, yang harus dipertimbangkan adalah keabsahan panggilan dan alasan ketidakhadiran tergugat.
- Kedua, syarat formal gugatan memenuhi syarat atau tidak (keseuaian antara posita dan petitum).
- Ketiga, gugatan beralasan hukum atau tidak.
9. Bagaimana pendapat hakim tentang hak-hak penggugat dan tergugat, jika terjadi putusan verstek? Kalau penggugat tidak terima dengan putusan verstek, maka ia dapat melakukan Upaya Banding. Sedangkan kalau tergugat yang tidak bisa menerima/keberatan atas adanya putusan verstek, maka ia dapat melakukan perlawanan atas putusan verstek tersebut (verzet).
10. Apakah verzet dapat memenuhi hak tergugat? - Secara formal, sepanjang verzet masih dilakukan dalam tenggang waktu yang
dibenarkan menurut undang-undang dan pemeriksaan perkara kembali dibuka, bisa saja dianggap hak-hak tergugat telah terpenuhi.
- Sedangkan mengenai substansi yang menyangkut hak-hak tergugat, sangat tergantug dari hasil pembuktian.
Jum’at, 23 April 2010
(Drs. Sarnoto, MH.)