ABDUL AZIZ-FSH.pdf

99
i PERBEDAAN KARAKTER SUAMI ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JAKARTA UTARA) Oleh: ABDUL AZIZ 104044101382 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2010 M

Transcript of ABDUL AZIZ-FSH.pdf

Page 1: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

i

PERBEDAAN KARAKTER SUAMI ISTERI SEBAGAI

ALASAN PERCERAIAN

(STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JAKARTA UTARA)

Oleh:

ABDUL AZIZ 104044101382

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1432 H/2010 M

Page 2: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

ii

PERBEDAAN KARAKTER SUAMI ISTERI SEBAGAI

ALASAN PERCERAIAN

STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JAKARTA UTARA

Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Abdul Aziz

NIM : 104044101382

Pembimbing :

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH NIP : 19500306 197603 1 001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1432 H/2010 M

Page 3: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 13 Februari 2011 M 10 Rabiul Awal 1432 H

Abdul Aziz

Page 4: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul “PERBEDAAN SIFAT DAN PRILAKU ISTERI SEBAGAI

ALASAN PERCERAIAN (Studi Perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU)”,

telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu Tanggal 24 Agustus 2011, skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1)

pada Jurusan Peradilan Agama.

Jakarta, 28 Juli 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Nip: 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN 1. Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH

Nip. 19500306 197603 1 001

2. Sekretaris Rosdiana, MA Nip. 19690610 200312 2 001

3. Pembimbing Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH Nip. 19500306 197603 1 001

4. Penguji 1 Drs. Djawahier Hejjaezy, SH. MH Nip. 19551015 197903 1 002

5. Penguji 2 Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A Nip. 19581128 199403 1 001

Page 5: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sebagai suri teladan yang sempurna bagi kita

semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak

pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis. Sebagai tanda

syukur atas terselesaikannya Penulisan skripsi yang berjudul “PERBEDAAN

SIFAT DAN PRILAKU SUAMI-ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

(STUDI PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JU”. Maka Penulis ingin

mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

Bapak:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Akhwal Syakhshiyyah

sekaligus Dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan serta

dukungan dan motivasi kepada Penulis untuk segera menyelesaikan skripsi

ini. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi Penulis bisa

Page 6: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

vi

berada di bawah bimbingan beliau. Semoga amal beliau diterima disisi Allah

sebagai kebaikan yang berlipat ganda. (Amin)

3. Ibu Rosdiana sebagai sekretaris jurusan. Semoga pekerjaan beliau menjadi

sebuah ibadah tersendiri yang diberkahi Allah SWT.

4. Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Yang telah memberikan bantuan berupa

bahan-bahan yang menjadi referensi dalam Penulisan skripsi.

5. Secara khusus Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam

kepada kedua orangtua Penulis tercinta, Ayahanda H. Ahmad Zaini dan

ibunda Hj. Siti Badi’ah yang senantiasa membimbing dan memotivasi Penulis

dengan tulus, serta selalu mendoakan Penulis agar selalu sukses dalam segala

hal.

6. Adik-adik tercinta Muhammad Shofwan & Azmiyati yang selalu memberikan

spirit agar masa-masa ini cepat berlalu.

7. Untuk semua orang tuaku; KH. Muhammad Syarif Hidayat Munjih (Pondok

Pinang), Abah Endang (Cijeruk), Kyai Rasyid (Marunda Lama), terima kasih

atas doa-doamu yang selalu menyertai anakmu ini.

8. PSIK INDONESIA: Fahru Rozi, Goeswin, Zaenal Abidin, Hiton Bazawi,

Ahmad Sapei, Tirta Rismahadi Wijaya.

9. BANTEN PRESS; Miming Ismail, Sigit Sungkono, Lyus Oktari, Irvan Habibi

Sukardi Hasan, Rahmat Muslim.

Page 7: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

vii

10. Seluruh teman-teman LINK Ciputat; Syafi’i Hazami, Ramfalak, Kurnia,

Ulum, Kidsi, Jilbong dll

11. Seluruh teman-teman Cordova; Rangga, Imam, Abet, Barna, Devi dll

12. Sahabat dan teman seperjuangan di Jurusan Peradilan Agama; Asep

Jubaedillah, Rahchman Fitrianto, Lusan Bun tink (Perbankan Syari’ah)

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT.

Kesempurnaan haya milik Allah SWT mudah-mudahan semua yang telah Penulis

lakukan mendapat Ridha Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Jakarta, 19 Mei 2011

AbdulAziz

Page 8: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………..…..… i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………… ii

LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………............ iii

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. iv

KATA PENGANTAR………………………………………….………………. v

DAFTAR ISI……………………………….…………………………………. viii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... ….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………… 7

D. Review Studi Terdahulu …………………………………………. 8

E. Metodologi Penelitian…………………..………………………… 9

F. Sistematika Penulisan………………………………………….... 12

BAB II PERKAWINAN DAN PERCERAIAN………….……….............14

A. Tujuan Perkawinan……………………………………………....14

B. Dasar Hukum Perceraian……………………………………….. 19

C. Perbedaan Cerai Talak dan Gugat Cerai……………………..…. 22

D. Alasan danTata Cara Perceraian…………………………..….… 25

E. Perbedaan Karakter Suami-Istri menurut Hukum Islam………... 30

Page 9: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

vi

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA……..... 51

A. Sejarah Singkat Pembentukan…………………………………... 51

B. Wilayah Hukum, Struktur Organisasi dan Profil Jabatan ……... 54

C. Visi Misi dan Rencana Strategis………………………………… 60

D. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan……………………………. 60

BAB IV ANALISIS BEDA KARAKTER SUAMI-ISTERI SEBAGAI

ALASAN PERCERAIAN………………………………..………. 64

A. Posita/Duduknya Perkara………………………………………. 64

B. Petitum/Tuntutan…………………………………………........... 65

C. Alat Bukti……………………………………………………….. 66

D. Pertimbangan Hukum…………………………………………... 67

E. Putusan………………………………………………………….. 70

F. Analisis Penulis…………………………………………………. 70

BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 82

A. Kesimpulan…………………………………………………........ 82

B. Saran-Saran……………………………………………………… 84

DAFTAR PUSTAKA………..……………………………………………….... 86

Page 10: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

DAFTAR LAMPIRAN

1. Putusan Perkara No. 0206/Pdt.G/2008/PA.JU…………………………..... 90

2. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Utara 2010…………........ 95

4. Surat Permohonan Data dan Wawancara……………………………….. 115

5 .Laporan Hasil Wawancara……………………………………………….. 116

6. Surat Keterangan telah Melakukan Observasi dan Wawancara………. 121

Page 11: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan mendapat tempat yang tinggi dan sangat terhormat dalam Agama

Samawi (Islam khususnya) dan termaktub dalam tata aturan yang telah ditetapkan Al-

Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Perkawinan juga menjadi sarana bagi umat

untuk membentuk sebuah keluarga, berketurunan dan melanjutkan hidup sesuai tata

norma yang berlaku baik norma agama, hukum dan adat.

Perkawinan (nikah atau zawaj) berasal dari bahasa arab yang secara etimologi

(bahasa) berarti “berkumpul dan menindih” atau dengan ungkapan lain bermakna

“aqad dan setubuh.”1 Menurut istilah syar’i perkawinan merupakan suatu akad yang

menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim

dan akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.2 Sedangkan menurut

Ulama Fiqh pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan

kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap farj (kemaluan) perempuan dan

seluruh tubuhnya untuk kenikmatan sebagai tujuan primer.3

1 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar Madzhab, (Jakarta:

PT. Prima Heza Lestari, 2006), Cet ke-2, h.1 2 M. Abdul Mujib, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,

1994), Cet ke-2. h.249 3 Bakri A. Rahman dan A. Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan

dan Hukum Perdata B/W, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981), h. 12

Page 12: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

2

Sebagaimana kita ketahui Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai tali

yang kokoh (Mitsaqan ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.4 Karena perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara suami

dan istri yang banyak menimbulkan aspek hukum yang mengikat setelah

pelaksanaannya. Aspek-aspek itu antaranya adalah dengan adanya perkawinan maka

suami dan istri menjadi halal dalam melakukan hubungan biologis, hidup satu atap,

saling memenuhi hak dan kewajiban, hadirnya anak, timbulnya konsep waris, harta

bersama dan lain sebagainya. Maka dari itu perkawinan juga mengandung aspek

ibadah kepada Allah SWT bagi yang melaksanakannya.

Sedangkan tujuan diadakannya pernikahan tak lain adalah menciptakan

kondisi keluarga yang bahagia, tenteram, aman serta nyaman antar kedua belah pihak

baik suami maupun istri. Tentunya ini sesuai dengan tujuan perkawinan/pernikahan

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 bahwa Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.5

Rumah tangga bahagia merupakan idaman setiap keluarga. Tujuan

perkawinan/pernikahan yang dilandasi oleh cita-cita luhur ikatan suci dibalut kasih

sayang pasangan suami isteri dalam lingkar agama sebagai suatu ibadah kepada Allah

SWT. Setiap individu yang ingin melangsungkan pernikahan sejatinya harus

menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang kelak akan dihadapinya—baik kebutuhan

moril maupun materil.

4 Pusat Studi Wanita, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h.1 5 Kompilasi Hukum Islam Pasal 3

Page 13: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

3

Berumah tangga sejatinya menciptakan kehidupan yang harmonis dan

dipenuhi dengan perasaan kasih sayang antara kedua belah pihak baik suami maupun

isteri, saling menghormati perbedaan masing-masing dan lain sebagainya.

Pernikahan juga tak selamanya berjalan sesuai dengan tujuan yang

diharapkan—tercipta kebahagiaan, rasa tentram dan damai. Adakalanya rumah

tangga diguncang konflik suami isteri baik yang datang dari dalam maupun luar

keluarga yang disebabkan oleh banyak faktor.

Ada kalanya konflik-konflik dalam sebuah rumah tangga dapat diselesaikan

dengan baik oleh kedua belah pihak dan rumah tangga tersebut kembali dalam

kebahagiaannya sedia kala. Namun, ada kalanya konflik-konflik dalam rumah tangga

tak dapat di atasi oleh kedua belah pihak baik suami maupun isteri. Bahkan konflik

tersebut berlarut-larut dan menjadi perselisihan yang tak dapat dibendung lagi yang

berujung pada runtuhnya sendi-sendi rumah tangga—Perceraian.

Dalam hukum Islam perceraian adalah perbuatan halal yang mempunyai

prinsip dilarang oleh Allah SWT.6 Artinya perceraian merupakan hal yang boleh

untuk dilakukan namun dibenci Allah SWT. Karena perceraian merupakan solusi

terakhir dalam menyelesaikan masalah yang terjadi antara suami isteri dengan adanya

pemutusan hubungan perkawinan.

6 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), Cet.ke-1,

h.73

Page 14: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

4

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam haditsnya bahwa suatu perbuatan

halal yang dibenci oleh Allah SWT adalah Talak/Perceraian (Hadits Riwayat Abu

Dawud, Ibn Majah, dan Hakim).7

Walaupun perceraian diperbolehkan oleh agama, namun pada prinsipnya

perceraian yang diatur oleh Perundang-undangan Indonesia (misalnya dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal

mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian

kepada titik yang paling rendah).8 Artinya lembaga Peradilan Agama yang menangani

kasus-kasus perceraian berusaha mendamaikan pasangan suami isteri bila ada salah

satu atau kedua pasangan tersebut melakukan permohonan/gugat cerai.

Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian, hanya dipersulit

pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya

memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan secara baik

dihadapan sidang pengadilan.9

Sedangkan mengenai pelaksanaannya, untuk melakukan permohonan

perceraian pemohon harus memiliki alasan-alasan yang memang sudah diatur dalam

7 Sayyid Imam Muhammad bin Ismail al-Kahalani dan Ash-Shon’ani, Subulus Salam, (Surabaya, Al-

Hidayah), Juz 3, h.168 8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.ke-1,

h. 8 9 Ibid., h.9

Page 15: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

5

Perundang-undangan, bahwasanya untuk melakukan perceraian harus ada cukup

alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.10

Dalam hal ini alasan-alasan seputar perceraian dijelaskan baik dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jis. Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan Pasal 19, Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Pasal 116 menjelaskan untuk melakukan perceraian harus ada alasan-

alasan diperbolehkannya seorang suami atau isteri mengajukan permohonan cerai

ataupun gugatan cerai bila memang salah satu dari pasangan tersebut menghendaki

adanya pemutusan perkawinan melalui perceraian.

Berkaitan dengan semua itu, alasan-alasan perceraian dalam Perundang-

undangan Indonesia baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Perkawinan Pasal 19 serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

tentang KHI Pasal 116 menjadi pedoman Hakim Pengadilan Agama dalam

mempertimbangkan kasus-kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Namun, khusus

di Pengadilan Agama Jakarta Utara mendapati putusan Majelis Hakim yang salah

satu alasan perceraiannya mencantumkan redaksi Perbedaan Karakter suami-isteri

sebagai alasan perceraian yang sama sekali tidak termuat dalam Perundang-undangan

yang dijadikan patokan Hakim dalam memutuskan perkara perceraian.

10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (2)

Page 16: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

6

Maka dari itu merasa sangat perlu dan tertantang untuk memperhatikan lebih

dalam dengan meneliti alasan tersebut dengan memberi judul pada penelitian kali ini

“Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara

Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Menyadari luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka Penulis

memfokuskan persoalan kehidupan rumah tangga dengan pembatasan masalah pada

Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara Nomor:

0206/Pdt.G/2008/PA.JU). Adapun perbedaan karakter yang dimaksud dalam hal ini

adalah perilaku isteri yang melarang suami untuk bekerja pada malam hari,

sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada siang hari.

2. Perumusan Masalah

Untuk uraian skripsi ini mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut;

Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Inpres No. 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam alasan perceraian karena perbedaan karakter

suami-istri tidak tercatat di dalamnya. Namun kenyataannya, putusan di Pengadilan

Agama Jakarta Utara mengabulkan perbedaan karakter suami-istri terhadap sebagai

Alasan Perceraian.

Page 17: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

7

Rumusan tersebut di atas, Penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut;

1. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang perbedaan karakter

suami-istri terhadap suami dapat dijadikan alasan perceraian?

2. Sejauh mana perbedaan karakter dapat mempengaruhi keutuhan sebuah keluarga?

3. Apakah dasar hukum yang melatarbelakangi putusan Majelis Hakim mengenai

perbedaan karakter suami-istri dapat dijadikan alasan perceraian?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan permasalahan

sebagaia berikut :

1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang

Perbedaan Karakter istri terhadap suami dalam sebuah rumah tangga menjadi

satu alasan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perbedaan Karakter suami-istri

terhadap suami.

3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim

dalam memutuskan perkara tersebut.

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

a. Secara Akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

keilmuan khususnya dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia.

Page 18: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

8

b. Selain itu, Penelitian ini dipharapkan dapat memperkaya penelitian

sebelumnya disamping sebagai kontribusi tertulis pada Fakultas Syariah UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Selanjutnya, Peneliatian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan

masyarakat Islam Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta Utara mengenai

pemahaman keilmuan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif tentang

Perceraian.

4. Review Studi Terdahulu

Dalam Review Studi Terdahulu kali ini, mendapati skripsi karya Ahmad

Sauqi (106044101386)11 yang berjudul “Perselisihan Terus Menerus antara Suami

Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua sebagai Alasan Perceraian (Kajian terhadap

Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT).

Sejauh pengamatan, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sauqi pada inti

permasalahannya adalah bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif

mengenai turut campur orang tua dalam rumah tangga anak, faktor apa saja yang

mempengaruhi keikut-sertaan orang tua dalam rumah tangga anak serta bagaimana

Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menyelesaikan perkara tersebut. Fokus

utama dalam skripsi yang ditulis oleh Sauqi adalah adanya campur tangan orang tua

dalam keluarga anak sebagai alasan perceraian.

11 Ahmad Sauqi, Perselisihan Terus Menerus antara Suami Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua

sebagai Alasan Perceraian: Kajian terhadap Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Page 19: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

9

Sedangkan pembahasan yang lakukan adalah seputar perbedaan karakter

suami-isteri terhadap suaminya sebagai alasan perceraian. Persamaannya adalah

adanya dampak pertengkaran yang terus menerus dalam bahtera rumah tangga suami-

isteri yang dapat dijadikan alasan perceraian. Namun, perbedaan yang mendasar

antara lain:

a. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara.

b. Fokus alasan perceraian yaitu mengenai perbedaan karakter suami-isteri

sebagai alasan perceraian.

c. Pandangan Hukum Islam (fikih) serta Hukum Positif mengenai perbedaan

karakter suami isteri.

d. Seberapa jauh perbedaan karakter ini mempengaruhi keutuhan rumah tangga.

e. Sejauh mana karakter isteri ini dapat dijadikan alasan pada prakteknya di

Pengadilan Agama Jakarta Utara.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penyusunan proposal skripsi ini, menggunakan metode penelitian

sebagai berikut:

1. Jenis dan Pendekatan

Dari sisi data yang digunakan, penelitian ini adalah penelitian kualitatif

dengan pendekatan Conten Analysis. Yaitu, menguraikan dengan cara

mendeskripsikan isi dari putusan yurisprudensi dengan nomor perkara:

(0206/pdt.G/2008/PA.JU) yang penulis dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta

Page 20: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

10

Utara, kemudian menganalisis putusan Pengadilan tersebut agar mendapatkan data

yang objektif dan sistematis sesuai dengan tujuan penulisan ini.

2. Kriteria Data

Dalam pengumpulan data, digunakan kriteria sebagai berikut:

a) Kriteria Data Primer: Data primer sebagai bahan tulisan ini adalah putusan

Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor Perkara: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU.

b) Kriteria Data Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan

mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan

dengan masalah yang sedang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa

Al-Quran, Hadits, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama Jo. Undang-undang No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-

undang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Acara Peradilan Agama dan

dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan judul penelitian serta arsip

Peradilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan Perbedaan Karakter

Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan

data dengan cara sebagaimana berikut:

Page 21: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

11

a. Survey untuk mendapatkan data tentang perbedaan karakter sebagai alasan

perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

b. Interview/Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan atau melalui

wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik langsung berhadap-hadapan

yang satu dapat melihat muka yang lain dan masing-masing menggunakan saluran

komunikasi secara wajar dan lancar.12

Dalam hal ini melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait, sebagai bukti

memperoleh kebenaran terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara yang

teliti. Kiranya dari hasil wawancara tersebut bisa mendapatkan sumber-sumber

data yang berkaitan dengan judul yang sedang diajukan.

c. Studi Dokumenter: Menganalisis dan menafsirkan putusan Pengadilan Agama

Jakarta Utara khususnya perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU dalam rangka

memahami proses berlangsungnya perkara, pihak-pihak yang terkait sampai

putusnya perkara dan juga pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim itu

sendiri dalam memutuskan perkara berkaitan dengan Perbedaan Karakter Suami-

isteri sebagai alasan perceraian.

d. Studi Pustaka: Mengambil sumber-sumber ilmiah dari berbagai sumber buku,

kitab-kitab klassik, kamus, perundang-undangan dan lain sebagainya.

12 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Metode

Penelitian Sosial (terapan dan kebijaksanaan, (Jakarta: 2000), h.39

Page 22: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

12

4. Teknik Analisis Data

Dalam melakukan analisis data menggunakan cara pengumpulan sumber-

sumber data yang sudah ada di Pengadilan Agama Jakarta Utara. Adapun tahanpan-

tahapan yang dilakukan pertama adalah dengan cara mengambil data yang sudah ada

sampelnya berupa putusan dan hasil dari isi putusan tersebut diolah datanya dengan

menggunakan metode tertentu lalu ditarik kesimpulannya. Setelah itu, hasil laporan

yang sudah didapat bisa diinterpretasikan dalam bentuk laporan hasil penelitian yang

berguna untuk (khususnya) dan publik umumnya.

5. Teknik Penulisan Data

Sementara untuk teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun

2007”13 dengan pengecualian terjemahan Al-Qur’an dan Hadits satu spasi walaupun

kurang dari lima baris dan dalam daftar pustaka Al-Qur’an ditulis awal.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai penulisan terhadap penelitian

ini secara menyeluruh, perlu disajikan sistematika penulisan agar dapat memberikan

gambaran umum. Adapun penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama membahas tentang Pendahuluan, di dalam bab ini dibahas latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

13 Djawahir Hejazziey, ed., Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007)

Page 23: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

13

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan serta sistematika

penulisan.

Bab Kedua membahas tentang Perkawinan dan Perceraian, dalam bab ini

menjabarkan tentanng tujuan perkawinan, dasar hukum perceraian, perbedaan cerai

talak dan cerai gugat, alasan dan tata cara perceraian, perbedaan karakter suami-isteri

menurut hukum Islam.

Bab Ketiga membahas Profil Pengadilan Agama Jakarta Utara, dalam bab ini

dibahas seputar sejarah singkat pembentukan Pengadilan, struktur organisasi, visi dan

misi Pengadilan serta tugas pokok dan fungsi Pengadilan.

Bab Keempat tentang Analisis Beda Karakter Isteri sebagai Alasan Perceraian yang

meliputi posita (duduk perkara), petitum (tuntutan perkara), alat bukti, pertimbangan

hukum serta analisis terhadap putusan tersebut.

Bab kelima Penutup, bab ini berisikan kesimpulan serta saran

Page 24: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

14

BAB II

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. Tujuan Perkawinan

Islam dengan Al-Qur’annya menggambarkan perkawinan sebagai tali

perkawinan yang kokoh (mitsaqon ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.1 Yang mana Rasulullah sendiri menegaskan

dalam haditsnya kepada umatnya untuk menikah bila sudah mampu dalam hal

sandang, pangan dan papan karena perkawinan dapat menjaga mata serta kemaluan

dari hal-hal yang yang dialarang oleh agama.

Sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw menjelaskan dalam haditsnya:

����� ���� � � ���� ��������� ����� ��� : ���� ���!��� � � ��"�# � � $������ ����� : %&����' (��) ��*�+�, �%*-(��) ./�0�, ��12���3 4�51 67!()��3 �89:�-)(� ��$;��� <��=7��� ��� �>�1-1&)� ���) ��� �5�%�? @:�A� ���) ��12���3 �B��1*)��� ���!����3 �C�=7��' ) �!�� E?7�(٢

Artinya: “Hai sekalian pemuda, siapa diantara kamu telah sanggup untuk menikah,

maka menikahlah, karena menikah itu menundukkan mata dan lebih memelihara farj (kemaluan). Dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu baginya adalah penawar/ penekan nafsu syahwat.”

1 Sri Mulyati, ed, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN JAKARTA,2004), h.1 2 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, (Amman: Dar al-‘Alam,

2003), h. 314

Page 25: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

15

Perkawinan selain bertujuan untuk mentaati Allah dan mengikuti anjuran

Rasul juga memiliki beberapa tujuan mulia yaitu untuk memenuhi tuntutan hajat

tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka

mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta kasih sayang untuk

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan

syara’.3

Ada beberapa tujuan dari disyaratkannya perkawinan atas umat Islam yang

menurut pengamatan penulis tak kalah pentingnya dari pada tujuan-tujuan yang telah

penulis paparkan sebelumnya. Diantaranya adalah:

1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang

akan datang.4 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat An-nisa Ayat 1:

���$G17)� ��'�H�)� �I.'J' �K�I��� �L� �IA� M �I��� E��N �8O�+�1 �P(?2 ���� ��$;�G��N �Q�H�)� ��$;1�� R:J��21 �S%�!�T�U �V)�A�� ...

Artinya : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan”.

2. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersunguh-sunguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.5

3 Moh. Idris Romulya, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. I Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet ke 1, h. 27

4 Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Putra Grafika, 2006), Cet

1. h. 46

Page 26: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

16

Tujuan lain dari perkawinan menurut Basiq Djalil dalam bukunya Tebaran

Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo adalah untuk bersenang-senang.6 Sebagaimana

diterangkan Al-Qur’an dalam Surat Al-A’raf ayat 189:

�I�!�)�� ��$;��!�) �IA� M �I��� �X�A �8O�+�1 �P(?2 ���� ��$;�G��N �Q�H�)���Y Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (adam) dan

daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya.”

Menurutnya, dari ayat ini kita juga tampaknya tidak dilarang bersenang-

senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena

memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat

ruhani dan jasmani.7

Sedangkan Sulaiman Al-Mufaraj dalam bukunya Bekal Pernikahan,

menjelaskan beberapa poin tentang tujuan perkawinan diantaranya, yaitu:

1) Sebagai ibadah dan mendekatdiri kepada Allah SWT. Nikah juga dalam

rangka taat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya.

2) Untuk iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan membentang

diri dan mubadho’ah bisa melakukan hubungan intim).

3) Memperbanyak umat Muhammad SAW.

4) Menyempurnakan agama.

5 Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Depag RI, 1989), Jilid 3, h. 64 6 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo, (Jakarta: QALBUN SALIM,

2007), Edisi Pertama, h.87 7 Ibid., h.87

Page 27: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

17

5) Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah.

6) Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan

ibu mareka saat masuk surga.

7) Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinahan, dan lain

sebagainya

8) Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab

bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan

membantu istri dirumah.

9) Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh

lingkaran keluarga.

10) Saling mengenal dan menyayangi.

11) Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri.

12) Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai dengan

ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah

SWT. Maka tujuan nikahnya akan menyimpang.

13) Suatu tanda kebesaran Allah SWT, kita melihat orang yang sudah menikah,

awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi, dengan

melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bisa saling mengenal dan

sekaligus mengasihi.

14) Memperbanyak banyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi

melalui proses pernikahan.

Page 28: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

18

15) Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal

yang diharamkan.8

Sedangkan Tujuan perkawinan menurut hukum positif yang ada di Indonesia

seperti seperti dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

adalah terwujudnya kebahagiaan rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa Tujuan tersebut dapat tercapai dengan adanya rasa hormat

menghormati, toleransi, saling pengertian dan keserasian.9

Untuk mewujudkan kebahagiaan ruamh tangga yang kekal Joko Prakoso

dalam bukunya mengomentari tujuan Undang-undang Perkawinan diatas bahwa

antara suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mecapai kesejahteraan spiritual dan

material.10

Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa landasan filosofis perkawinan nasional ialah

pancasila dengan mengaitkan perkawinan berdasarkan sila pertama, yaitu

berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Landasan filosofis itu dipertegas dan diperluas

dalam Pasal 2 KHI yang berisi:

a. Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah

8 Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat,

Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003), h. 5

9 Basiq Djalil, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: QALBUN SALIM, 2005), Cet.ke-1, h.165

10 Joko Prakoso dan I ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.13

Page 29: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

19

b. Melaksakan perkawinan adalah ibadah

c. Ikatan perkawinan bersifat mitsaqon gholidzan11

B. Dasar Hukum Perceraian

Perceraian merupakan jalan akhir dari segala upaya yang dilakukan oleh

suami-isteri maupun Pengadilan dalam mengambil solusi dari masalah yang dihadapi

suami-isteri dalam sebuah keluarga.

Di Indonesia Perceraian sering juga disebut sebagai talak, walaupun pada

hakekatnya tidak semua perceraian dapat disebut talak. Djoko Prakoso dan I Ketut

Murtika dalam buku Azas-azas Perkawinan Indonesia12 menjelaskan bahwa talak

adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk menolak atau menghentikan

berlangsungnya suatu perkawinan.

Menurut Hisako Nakamura dalam bukunya Perceraian Orang Jawa, talak

adalah satu bentuk perceraian yang dinyatakan oleh suami secara lisan atau tulisan,

dengan bunyi: “Aku talak engkau” atau “Aku ceraikan engkau”, juga bisa digunakan

kata-kata lain yang sama artinya, dimana maksud suami menceraikan isterinya itu

jelas.13

11 Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia, h.51 12 Djoko Prakoso & I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina

Aksara, 1987), Cet ke-1, H. 178 13 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di Kalangan

Orang Islam Jawa. Penerjemah H. Zaini Ahmad Noeh, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), h. 34

Page 30: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

20

Sedangkan dalam Islam Perceraian sendiri berasal dari bahasa arab ( ���–

������� ) yang berarti pemutusan14. Dalam istilah perkawinan Islam talak menurut

bahasa artinya perpisahan dan melepaskan. Sedangkan menurut syara’ adalah

melepaskan ikatan suami-isteri yang sah oleh pihak suami-isteri dengan lafal tertentu

atau yang sama kedudukannya seketika itu atau masa mendatang.15

Mengenai talak/perceraian, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah,

memberikan definisi sebagai berikut:

+ZX 1%)�����=� [)�.6 �2�� �[1!�A(� �:�I$[1!�A� 16)� $[�G���)١٦

Artinya: “Lepasnya ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.”

Kamus Istilah Fiqh juga menjelaskan makna talak yang berarti melepaskan

ikatan perkawinan (nikah) dari pihak suami dengan kata-kata (sighat) tertentu.

Misalnya si suami mengatakan kepada isterinya: “engkau telah ku talak.”17

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa pada

intinya perceraian (talak) ialah pemutusan hubungan suami-isteri dengan

14 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), Cet.25,

h.861 15 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), Cet.3, h.279 16Sayyid Sabbiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990, h.206 17 M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, h.181

Page 31: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

21

menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang dapat mengakibatkan putusnya hubungan

perkawinan antara suami-isteri.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pernikahan memiliki kekuatan yang

mengikat antar pihak suami maupun isteri, namun dengan adanya perceraian,

kekuatan yang tadinya mengikat dan sangat kokoh (mitsaqon ghalidzan) akan runtuh

bahkan tidak jarang antara suami-isteri atau keluarga masing-masing saling

bermusuhan karena perceraian tersebut.

Dalam Islam sendiri, perceraian antara suami dengan isteri memang bukan

lagi menjadi hal baru. Bahkan, praktek perceraian sudah ada jauh sebelum umat Nabi

Muhammad Saw.

Menurut hukum Yahudi kuno18, seorang suami dapat menceraikan isterinya

karena sebab apa pun yang dilakukannya dan tak disebagai suaminya, serta tak ada

ketentuan untuk menengahi dan membatasi kekuasaan suaminya.

Di Romawi, suami mempunyai hak untuk begitu saja membunuh isterinya

dengan membuat perbuatan-perbuatan seperti meracuni, minum-minuman keras, dan

menukar anak haram.19 Sedangkan orang arab, hak suami untuk menceraikan isteri

tidak ada batasnya. Mereka tidak mengenal aturan perikemanusiaan atau keadilan

dalam memperlakukan isteri-isterinya.20

18 A. Rahman I Doi, Syariah The Islamic Law; Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan,penerjemah

Zaimudin dan Rusydi Sulaiman (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996), Cet. 1, h.312 19 Ibid., h.314 20 Ibid., h.314

Page 32: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

22

Jadi, secara historis hukum perceraian telah dikenal dan dipraktikkan umat

manusia sepanjang masa dengan cara yang sangat tidak adil dan bersifat semena-

mena. Islam datang meluruskan hukum perceraian itu, dan melaksanakannya secara

adil dan benar antara suami dan isteri yang bertikai itu.21

Sebagaimana Al-Qur’an di bawah ini menganjurkan bagi tiap-tiap suami yang

hendak menjatuhkan talak pada isterinya untuk memetakan kondisi-kondisi psikis

isteri pada saat akan dijatuhkan talak oleh suami. Sebagaimana firman Allah SWT

dalam surat at-Thalaq ayat 1:

�'1O��)(� ����*�+�, 1��I�\1O���) 1��Y��$G]��=�3 �:��)� ���7(G���_ �� �� .a�-1)��I.'���8 )bc=)�/ef: g(

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu).”(Q.S. Ath-Thalaq/65: 1)

Rasulullah Saw bersabda dalam haditsnya:

����� �K�I��� � a��� %K�� ����� ��� : ���� ���!���� � ���# � � $������ ����� : ������h(� �/i���, �b����=)� � � ��)�� ).�)���� j�+ ��� k�A� �U�h� �ll# �A�� ��� � �� ��� m� �(٢٢

Artinya: “Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT ialah talak.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahkan olehnya).

C. Perbedaan Cerai Talak dengan Gugat Cerai

Secara garis besar, cerai talak dengan cerai gugat merupakan dua kata yang

berbeda, namun keduanya juga memiliki persamaan. Penulis sebelumnya

21 Ibid., h. 315

22 Sayyid Imam Muhammad bin Ismail al-Kahalani dan Ash-Shon’ani, Subulus Salam, h.168

Page 33: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

23

memaparkan pengertian perceraian secara umum dengan pengertian yang juga umum,

namun di bawah ini akan penulis paparkan perbedaan kedua cerai secara mendalam.

Perceraian merupakan jalan akhir dari sebuah permasalahan yang terjadi

dalam keluarga setelah juru damai tak mampu lagi mendamaikan kedua belah

pasangan yang bertikai. Bila pernikahan tersebut terus dilangsungkan maka akan

saling timpangnya hak dan kewajiban masing-masing pasangan karena satu sama lain

sudah tidak lagi sejalan dalam mengemudikan kendali rumah tangga.

Dalam lingkungan Pengadilan Indonesia dikenal dua sifat atau corak

mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan. Yang pertama

disebut “permohonan” dan lainnya disebut “gugatan”.23 Yang dalam bahasa sehari-

hari kita mengenalnya dengan istilah cerai talak dan gugat cerai.

Menurut Rachmadi Usman misalnya dalam bukunya Aspek-aspek Hukum

Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia menyebutkan pengertian cerai talak yang

berarti putusnya ikatan tali perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami

terhadap isterinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum Islam.24

Jadi, cerai talak merupakan cerai yang dilakukan oleh suami dengan alasan-

alasan yang dibenarkan oleh agama maupun Undang-undang. Dalam hal ini suami

sebagai pemohon harus mengucapkan ikrar talaknya di muka sidang.

23 Elfrida R Gultom, Hukum Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h.16 24 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006), Cet.1, h.400

Page 34: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

24

Sedangkan cerai gugat adalah putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan

adanya gugatan perceraian seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut

agama Islam atau isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.25

Menurut Subekti, dalam kamus hukumnya menyatakan gugatan berasal dari

kata gugat dengan akhiran “an”, yaitu penarikan ke muka hakim Pengadilan untuk

dimintakan perhukuman (perkara perdata).26

Subekti merumuskan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan

dengan putusan hakim atau tuntunan salah satu pihak dalam perkawinan ketika para

pihak masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan suatu

putusan Pengadilan.27

Dalam literatur fiqh, cerai gugat disebut sebagai khulu’ yaitu suatu perceraian

yang diminta oleh seorang isteri dengan adanya tebusan dari pihak isteri, tentunya

disertai dengan alasan-alasan yang rasional. Khulu’ tersebut bisa terjadi ketika sang

isteri dalam keadaan suci atau tidak haid, karena khulu’ itu sendiri terjadi akibat

permintaan isteri. Namun dalam hal ini suami tidak boleh dipaksa menerima

permintaan talak tebus (khulu’).28

25 Ibid.,hal.401 26 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Paradya Paramita, 1982), h.49 27 Ibid., h.15 28 Muhammad Ibnu Qasim, Fathul Qarib (terj), (Kudus: Menara Kudus, 1983), Cet.1, h. 58

Page 35: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

25

Jadi cerai gugat adalah salah satu cara bagi suami-isteri yang menginginkan

perpisahan dalam rumah tangganya disebabkan suatu alasan yang mengharuskan

mereka untuk berpisah, dengan permintaan atas keinginan isteri sendiri. Dalam

definisi disebutkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan dengan adanya gugatan

yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus.29

D. Alasan dan Tata Cara Perceraian

a. Alasan Perceraian

Salah satu Azas yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan adalah

mempersukar terjadinya perceraian.30 Seperti dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-undang

No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa antara suami-isteri itu tak akan dapat hidup

rukun sebagai suami isteri. Jadi walaupun pada dasarnya perceraian itu tidak dilarang,

namun undang-undang menentukan seseorang tidak dengan mudah memutuskan

ikatan perkawinan tanpa adanya alasan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) ditentukan

bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya;

29 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet.1,

h. 274 30 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.14

Page 36: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

26

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.31

Penjelasan Pasal di atas diatur persis dalam Pasal 19 Undang-undang No.9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menentukan perceraian

dapat terjadi karena alasan sebagaimana diuraikan di atas, sedangkan Kompilasi

Hukum Islam memuat tambahan alasan, yakni alasan suami melanggar ta’lik talak

dan alasan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-

rukunan dalam rumah tangga (Pasal 116).32

b. Tata Cara Perceraian

Agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaan penyelesaian perkara-perkara

hukum keluarga, maka Negara membuat instrumen-instrumen penegakkan keadilan

dalam lingkup hukum keluarga. Penyelenggara dalam hal ini adalah Pengadilan

Agama setempat.

31 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2010), Cet.I, h.340 32 Ibid., h.340

Page 37: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

27

Tata cara perceraian sudah diatur dan ditentukan dalam Undang-undang

Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Undang-undang No.7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) dan Inpres Presiden RI No.1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 menjelaskan tata cara perceraian.

Adapun tata cara perceraian tersebut, sebagaimana termaktub dalam UUPA

Pasal 66 yaitu;

1) Seorang suami beragama Islam yang menceraikan isterinya mengajukan

permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar

talak

2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali

apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan

bersama tanpa izin pemohon.

3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka

permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Page 38: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

28

5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama

suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau

sesudah ikrar talak diucapkan.33

Setelah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan

Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar

diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 68 Undang-undang

Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 131 Instruksi Presiden No.1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Berikut ini adalah bunyi Pasal 68 Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yaitu;

(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak

didaftarkan di kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.34

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai tata cara perceraian

termuat dalam Pasal 131 ayat:

(1) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud Pasal

129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon

33 Lihat Amir Syarifudin, Harun al-Rashid, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah

tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989), Cet.1, h. 742-743 34 Lihat Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 dan 68

Page 39: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

29

dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan

dengan maksud menjatuhkan talak.

(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan

ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak

mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan

keputusan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

(3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan

talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

(4) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung

sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai

kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan

ikatan perkawinan tetap utuh.

(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan

tentang terjadinya talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang

terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas

suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada

Pegawai Pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan

pencatatan, Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri,

dan helai keempat disimpan di Pengadilan Agama.35

35 Lihat Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum

Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.II, h.179-180

Page 40: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

30

E. Perbedaan Karakter Suami-Isteri dalam Keluarga Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Perbedaan Sifat dan Perilaku menurut fikih

Islam adalah agama perdamaian.36 Maka dari itu segala bentuk perselisihan

yang diakibatkan dari perbedaan antara sesama harus diminimalisir sedikit pun kalau

perlu ditiadakan sama sekali. Islam dan masyarakat muslim terkait erat dengan tiga

hukum bawaan Rasulullah Muhammad SAW baik hukum-hukum yang tertera dalam

Nash-nash Al-Qur’an maupun al-Hadits.

Hubungan-hubungan tersebut menjadi sebuah tatanan hukum yang menurut

Fathurrahman Djamil antara lain mengatur tatanan hidup manusia secara Vertikal

(hubungan manusia dengan Tuhannya) dan secara Horizontal (antara sesama

manusia).37 Selanjutnya menurutnya bahwa kebanyakan ahli fiqih telah menetapkan

kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara

sesama manusia (mu’amalat) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang

menunjukkan sesuatu itu diterlarang.38

Tatanan hidup manusia terkait dengan Hubungan manusia pada Tuhan

mengenai masalah-masalah Ukhrawi kebanyakan mengandung prinsip-prinsip yang

khusus dan baku. Sedangkan dalam masalah-masalah keduniaan, dapat dikatakan

bahwa Islam hanya mengajarkan prinsip-prinsip umum. Islam tidak mengetengahkan

36 Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia. (Jakarta:

PPIM-IAIN,1998), Cet.2, h.133 37 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.1, h.

40

38 Ibid., h.40

Page 41: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

31

pola yang final tentang bagaimana masalah-masalah duniawi seharusnya diatur.39

Hadirnya fikih di tengah-tengah masyarakat Islam membuktikan bahwa masalah-

masalah keduniawian yang ada semakin kompleks dan membutuhkan interpretasi-

interpretasi yang segar terhadap nash-nash Al-Qur’an maupun Hadits.

Fikih secara sederhana memilki pengertian sebagai pengetahuan mengenai

hukum-hukum Syari’at yang dihasilkan dari penalaran teks-teks keagamaan Al-

Qur’an maupun al-Hadits yang berkaitan dengan aturan tingkah laku manusia.40

Kata Syari’ah secara harfiah berarti “Jalan menuju tempat air,” atau dalam

kata lain “sumber kehidupan”. Namun, kasarnya syariah adalah keseluruhan perintah

Allah SWT kepada orang mukmin. Karena kata syariah mencakup Norma-norma

akidah, hukum dan akhlak.41 Syariah juga menjadi sumber hukum dan petunjuk

moral, pijakan untuk hukum maupun etika.42

Sedangkan Fazlur Rahman mendefinisikan Syariat sebagai jalan yang

ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk

merealisir kehendak Tuhan. Ia merupakan konsep praktis yang berhubungan dengan

tingkah laku pribadi an sich. Tetapi di sini menyangkut seluruh tingkah laku—

39 Tarmidzi, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia h,109 40 Faqihuddin Abdul Qadir, ed, Fiqih Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus

Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta:Fahmina-Institute, 2006), Cet.I, h.4

41 Cik Hasan Bisri, ed, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum

Nasional, h. 117 42 John L. Esposito, Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”(al-Shirat al-

Mustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet.ke-1, h.94

Page 42: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

32

spiritual, mental dan fisik.43 Artinya Agama mengatur segala sesuatu termasuk di

dalamnya karakter yang berhubungan dengan sifat serta tingkah laku manusia baik

berupa ajaran terhadap keimanan, kepribadian maupun fisik seseorang.

Karakter merupakan merupakan tabiat, watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak,

atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.44 Perbedaan

Karakter yang berkaitan dengan sifat dan prilaku suami-isteri memang tidak memiliki

pengertian khusus di dalam hukum Islam dalam hal ini fikih, hanya saja memang

Islam banyak membicarakan permasalahan yang berkaitan dengan akhlak yang pada

akhirnya membuahi sifat dan perilaku umat sendiri baik terhadap Tuhannya,

sesamanya maupun lingkungannya.

Sedangkan pada hakikatnya akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah

meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai

macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa

memerlukan pemikiran.45

Secara umum sifat memiliki pengertian rupa dan keadaan yang tampak pada

suatu benda, tanda lahir.46 Menurut Raymond B. Catttell seorang psikolog

mendefinisikan sifat sebagai suatu “struktur mental”, suatu penyimpulan yang

43 Fazlur Rahman, Islam Penerjemah Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 2003), cet.V,

h.141 44 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2007), h.512 45 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), cet.2, h.3 46Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, (Jakarta:

Balai Pustaka, 2007), Cet.4, h.1062

Page 43: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

33

didasarkan pada tingkah laku yang dapat diobservasi untuk menjelaskan keteraturan

atau regulitas dan ketetapan atau konsistensi dalam tingkah laku ini.47

Sedangkan perilaku/tingkah adalah ulah (perbuatan) yang aneh-aneh atau

yang tidak sewajarnya, lagak, canda.48 Perilaku pada umumnya berorientasi pada

tujuan (goal-oriented). Dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh

keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.49

Sedangkan perbedaan sendiri memiliki arti beda, selisih.50 Perbedaan

merupakan keadaan, sifat dan karakter yang diciptakan Tuhan dengan tujuan agar

manusia saling mengenal, berinteraksi, saling memahami dan memberi manfaat satu

sama lain.51

Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter erat kaitannya

dengan sifat dan perilaku seseorang, dengan kata lain bahwa perilaku seseorang

menunjukkan sifat orang tersebut. Sedangkan perbedaan karakter kaitannya dengan

isteri terhadap suaminya di sini adalah perbedaan atau perselisihan mengenai

pandangan terhadap Sifat dan perilaku pasangan dalam rumah tangga sehari-hari.

47 A. Supratiknya ,ed, Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, (Yogyakarta:

Kanisius, 1993), h.149 48 Ibid., h.1197 49 J.Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, (Jakarta: Rajwali Pers, 2008),

h.32 50 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, h.90 51 Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan Pengertian.Html,

diakses pada Jum’at 25 April 2011, pukul 16.57 WIB

Page 44: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

34

2. Faktor penyebab serta Pengaruh Perbedaan Karakter Suami-Isteri

Berbicara keluarga tak lepas dari hubungan suami-isteri. Sedangkan berbicara

hubungan suami-isteri sudah dapat dipastikan membicarakan peran masing-masing

pasangan (suami-isteri) dalam rumah tangga/keluarga. Karena keluarga juga

merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia

belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam interaksi sosial dengan

kelompoknya.52

Perbedaan karakter baik sifat dan perilaku suami-isteri merupakan hal yang

wajar terjadi, karena pada dasarnya sudah merupakan fitrah manusia diciptakan

berbeda-beda satu sama lain, karena bukan hal yang mustahil bagi Allah SWT untuk

menjadikan manusia sama keseluruhan—baik sifat, perilaku ataupun bentuk-bentuk

fisik penciptaan manusia. Namun, Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

V8O�+�� V[1�$, n�1)� �X�o�) p.�� 9:Jq���) p.�� ��+1� ��� ��)�r ��!�?��7�s�� �t��$)�6' ��) ���I�G��N p�)��H�) K���U �u1K\ �n�1)� �[1�v(� ��� �1IA �t�w�����w�) p�� $[) �Y�/gg :ggxy ggz(

Artinya: “Dan seandainya tuhanmu menghendaki, maka pastilah Dia jadikan

manusia umat yang tunggal. Namun mereka akan tetap berselisih, kecuali tuhanmu merahmatinya. Lantaran itulah Dia ciptakan mereka itu, dan telah sempurnalah kalimat (keputusan) Tuhanmu:”Pastilah Aku penuhi Jahannam dengan isi dari jin dan manusia.”(Q.S. Hud/11: 118-119)

Dalam surat lain juga disebutkan:

52 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: PSG STAIN, 2006), Cet.1, h.41

Page 45: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

35

����'{ �\���N (��E1�)� K��|� (�9}���~ �N��7������, ()���7$;���, ()��2�$;�� �r�t�3 � a�)�p�) 'J�|� ])(����!�K�)�) B %)�/�� : ��(

Artinya: “dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.”(Q.S. Ar-Rum/30: 22)

Memang jelas sekali adanya Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada

manusia seperti perbedaan baik perbedaan warna kulit, bahasa dan budaya.

Perbedaan antara laki-laki dan wanita, perbedaan bangsa dan suku bangsa. Hanya saja

perbedaan itu harus disadari juga sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.53

Sebagaimana suami-isteri misalnya, dalam keluarga tentunya terjadi begitu

banyak perbedaan baik sifat maupun perilaku keduanya dan tak jarang perbedaan-

perbedaan tersebut menjadi pondasi konflik hubungan keluarga mereka. Antara

suami-isteri tidak lagi saling mengerti dan memahami, keras kepala, acuh sampai

pada akhirnya menjadi sebuah konflik-konflik yang berkepanjangan.

Padahal sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an bahwa salah satu tujuan

perkawinan adalah untuk menjadikan suami-isteri atau yang terlibat di dalamnya

dipenuhi ketenangan lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-

Rum ayat 21:

'�� ���� "t�� V[K�+� V81��1� ��$;�!� �X�A �I�!�)�� ����$;��7�) �A� �M�, ��$;��$?�2�, ���� ��$;�) E��N (t�, ���\��%�;�?71' �B���G�) �['J�) p�)� �a�39 �t� )B %)�/�� : �g(

53 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis, ( Jakarta: Kencana, 2007), Cet.1, h.211

Page 46: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

36

Artinya:“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan

pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Rum/30: 21)

Menurut Qaradhawi, ayat di atas menunjukkan tiga pondasi bagi berdirinya

sebuah keluarga yaitu ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Yang dimaksud dengan

ketenangan adalah ketenangan jiwa dari gejolak dan keinginan terhadap lawan jenis

dan untuk memenuhi keinginan yang dibolehkan di bawah lindungan keridhaan Allah

SWT.54

Ayat di atas juga menjadi prasyarat untuk membangun keluarga yang

harmonis dan diliputi kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan

bermartabat. Sebagaimana dikutip dalam buku kekerasan berbasis gender terdapat 3

(tiga) kata kunci yang a long life strugle dalam kehidupan berkeluarga:55

a. Mawaddah (To love each other), saling mencintai/ menyayangi antara satu

dengan lainnya. Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis

dengan keinginan selalu ingin berdekatan dengan cinta penuh gelora dan

menjadikannya terlena dan layu sebelum berkembang, karena melampaui

batas kewajaran yang ditentukan agama.

54 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim: Berinteraksi dengan

Al-Qur’an. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. Ke-2, h.144

55 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, h.138-139

Page 47: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

37

Mawaddah dapat diartikan sebagai “cinta plus”, yaitu cinta yang tampak

dampaknya pada perlakuan, satu kata dan perbuatan.56

b. Rahmah (Relieve from suffering through symphaty, to show human

understanding from the one other, love and respect one other). Saling simpati,

menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lainnya. Sikap

rahmah itu termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati,

menghormati dan saling mengagumi antara kedua belah pihak sehingga akan

muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang

terbaik bagi pasangannya sebagaiman dirinya ingin diperlakukan.

c. Sakinah (To be or become tranquil; peaceful; god-inspired, peace and mind),

kedamaian dan ketentraman. Sakinah merupakan kesadaran perlunya

kedamaian, ketentraman. Keharmonisan, kejujuran dan keterbukaan yang

diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan. Ujung-ujungnya

spiritualitas ketuhanan yang Maha Lembut, yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang perlu dijadikan sumber ilham dan inspirasi yang agung untuk

menempuh hidup baru yang dicita-citakan.

Keadaan sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan tercapai dalam sebuah

rumah tangga bila penghuninya tidak saling memahami dan menghormati perbedaan

yang ada pada masing-masing pasangan. Karena semua manusia, betapa pun

56 Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik),

(Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2009), Cet.1, h.429

Page 48: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

38

hebatnya pasti ada kekurangannya, begitu pula sebaliknya. Dalam kehidupan rumah

tangga suami-isteri tentu tidak luput dari kelemahan, sehingga suami-isteri harus

saling melengkapi dan menyayangi.57

Sifat dan perilaku secara umum erat kaitannya dengan kepribadian seseorang,

yang merupakan bawaan sejak lahir atau anugerah yang diberikan Tuhan pada

manusia begitu juga pada suami ataupun isteri. Sedangkan kepribadian sendiri dalam

Psikologi Perkembangan diartikan sebagai karakteristik atau cara bertingkah laku

yang menentukan penyesuaian dirinya (manusia) yang khas terhadap

lingkungannya.58

Dalam Psikologi Perkembangan, Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor, adapun yang mempengaruhi kepribadiannya antara lain:

1. Potensi bawaan

Seorang bayi telah diwarnai unsur-unsur yang diturunkan oleh kedua orang tuanya

dan tentu diwarnai pula oleh perkembangan dalam kandungan ibunya.

2. Pengalaman dalam budaya/lingkungan

Proses perkembangan mencakup suatu proses belajar untuk bertingkah laku sesuai

dengan harapan masyarakat tanpa kita sadari lagi, pengaruh nilai-nilai dan

masyarakat dalam kehidupan kita telah kita terima dan menjadi bagian dari diri

kita.

57 Ibid., h.429 58 Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan—Pendekan Ekologi Kaitannya dengan

Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja, (Bandung, PT Refika Aditama, 2006), Cet.1, h128

Page 49: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

39

Pengaruh lain dari budaya adalah mengenai peran seseorang dalam kelompok

masyarakat. Misalnya seseorang yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki akan

menerima beban untuk berperan sebagai lak-laki menurut masyarakatnya dan

sejenisnya.

3. Pengalaman yang unik

Selain potensi bawaan dan tuntutan peran oleh masyarakat yang juga turut

membentuk kepribadian seseorang dan yang membedakannya dari orang lain

adalah pengalaman dirinya yang khas. Orang, selain berbeda dalam bentuk badan,

potensi bawaan juga berbeda dalam perasaan reaksi emosi dan daya tahannya.59

Kaitan ketiga hal tersebut dalam hubungan suami-isteri adalah ketika

pasangan berada dalam lingkup keluarga dan menyatukan dua kepala yang berbeda

baik potensi bawaannya yang sudah ada sejak lahir, budaya maupun pengalamannya

masing-masing maka akan dijumpai banyak perbedaan baik yang krusial maupun

biasa dan tak jarang membuat perbedaan yang ada semakin meruncing bila tidak

diantisipasi dan dapat menimbulkan perselisihan serta pertengkaran.

Sedangkan faktor lain yang juga sering menjadi perselisihan antara suami-isteri

dalam sebuah rumah tangga menurut Mufidah dalam Psikologi Keluarga Islam60

bahwa seringkali antara suami-isteri enggan memecahkan masalah dengan pikirannya

yang jernih dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain:

59 Ibid.,129-130 60 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang

Press,2008), h.189-194

Page 50: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

40

a. Faktor emosi

Dalam menghadapi masalah, suami-isteri diharapkan mampu mengendalikan

emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan.

Jika suami-isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan egonya

maka tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan dalam

hadisnya:

� � � ������� �t�, �8%�'%�Y �a���, ���.����� B : ���(?2 �O�'�O1&)� �K12�r �[��%1*)��� �O�'�O1&)� P�!�) ���i)(� O���)Q��s-)� m� �(٦١ Artinya:“Dari abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “orang-

orang yang kuat bukannya orang yang kuat secara fisik, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang marah”. (HR. Bukhari)

b. Faktor kurang pengertian/ pemahaman

Seringkali keterbatasan pemahaman dan pengertian suami-isteri terhadap masalah

yang dihadapi menyebabkan kesalahan pemhaman sehingga masalahnya menjadi

semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya suami isiteri saling

mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh masing-masing tentang masalah

yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk persoalannya agar masing-masing

menemukan satu pemahaman untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya berikut ini dalam QS. Ali-Imran ayat

159:

61 Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, (Darul Ihya Turosul al-A’roby, t.t), h.2267

Page 51: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

41

...� %��9}(� a�3 ���Y��� �q � � ���� (X�U�7�3 u��6� �� ���3 �!��]U�7�K()� .��l�' 9 � �t�r � )t�%K� ��/�: gfz(

Artinya:“...Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah SWT sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(QS. Ali-Imran/3: 159)

c. Faktor Gender Stereotype (Pelabelan Negatif)

Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasaan su’udzhan/buruk

sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Gender stereotype

memberikan lebih negative atas dasar perbedaan jenis kelamin merupakan salah

satu penyebab buruk sangka pada pasangannya. Untuk menghilangkan gender

stereotype suami-isteri merupakan langkah positif agar dapat menumbuhkan rasa

saling menghargai, saling percaya dan memandang positif pasangannya.62

Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

��$;�) �%�!N ��Y �V��!q ����Y%(;\ (t�, ��� ��$;�) �%q ��Y �V��!q ���.-�l�\ (t�, ��� ��) ���7�2�, ������' � � �t���K����\)8%G-)�/�: �eg( Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan

boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah SWT maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

62 Ibid., h 189-194

Page 52: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

42

d. Faktor dominasi pihak yang kuat

Suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah positif ketika

menjalankan fungsi melindungi, mangayomi dan memberdayakan. Tetapi posisi

sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi dengan fungsi-fungsi yang

semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan suami-isteri yang timpang.

Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih meluruskan isteri, biasanya suami

yang sering muncul sebagai pihak yang dominan. Demikian pula pihak yang

merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang cemerlang tidak akan mengambil

peran dan memberikan kontribusinya terhadap penyesuaian masalah.63

Allah menjelaskan dalam firmannya:

...�H�)� $X(T��� ���� ��� �%��K()��� 1��I�!��� �Q )8%G-)�/� :��x(

Artinya: “… dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah/2: 228)

e. Faktor Kafaah (kesetaraan)

Kafaah menurut hukum Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara calon

isteri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk

melangsungkan perkawinan.64

Adanya perbedaan dalam memilih pasangan suami atau istri yang tidak sekufu’

(setara) baik dalam hal harta, status, keturunan, maupun agama juga seringkali

juga menjadi faktor penyebab ketidak-harmonisan dalam rumah tangga.

63 Ibid., 194 64 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

hal.56

Page 53: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

43

Ketidakharmonisan ini ketika tidak bisa dipulihkan dalam bangunan rumah

tangga terkadang suami atau istri memutuskan untuk melakukan perceraian.65

Perselisihan dan percekcokan sering terjadi Akibat dari semakin runcingnya

perbedaan-perbendan sifat dan perilaku suami-isteri yang tidak disikapi dengan saling

menghargai serta menghormati satu sama lain. Perbedaan yang ada pun mestinya

menjadi motivasi satu sama lain untuk saling mengangkat persamaan yang ada

kepermukaan dan menenggelamkan sisi-sisi perbedaan karakter baik sifat maupun

perilaku masing-masing yang hanya akan merugikan keutuhan sebuah rumah tangga.

Maka dari itu Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya kiat-kiat memilih

pasangan agar umatnya tidak menyesal dikemudian hari. Sebagaimana sabda

Rasulullah saw dalam hadisnya:

� �8%�'%�Y �a���, ���.< .� a�-1)� ��� .B .����� :�C����w�) $8�,�%K()� �k�;��\ : �I�-�l�) �������� �I��'�O�) �I�)�Ko�) .��O' �u��%\ ���'O)� �|��H�� �%9�?(���3.) ����� m� �(٦٦ Artinya: “Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Wanita itu

dinikahi karena empat perkara; Harta, keturunan, rupa dan agama. Pilihlah wanita yang beragama. Mudah-mudahan kamu beruntung.” (HR. Muslim)

Jika keempat alasan tersebut semuanya ada pada seorang laki-laki, tentulah

merupakan calon suami yang ideal. Seorang calon suami yang kaya raya, dari

keturunan yang baik-baik atau keturunan bangsawan misalnya, wajahnya tampan dan

65 A.Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk,

Cet.ke-2, (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 43 66 Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qanāah, tt), I: 623, “ Kitab an-Nikah,” “Bāb Istihbāb an-

Nikāhi zāti ad-Dini.”

Page 54: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

44

taat beribadah. Atau sebaliknya, seorang gadis yang kaya, keturunan orang baik-baik

atau ningrat, cantik rupawan dan taat mengamalkan ajaran agama. Tentulah

merupakan calon istri yang amat ideal. Akan tetapi, dari hadis tersebut juga kita bisa

mengambil pelajaran dalam rangka memilih pasangan yang tepat, yaitu kita boleh

memilih calon pasangan karena alasan apapun, tetapi tidak boleh lepas dari alasan

agama.67

Biasanya konflik perbedaan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga ada yang

bisa terselesaikan dan antara suami-isteri rukun kembali. Namun, ada juga konflik-

konflik yang terjadi dalam rumah tangga berlarut-larut bahkan menyentuh hal-hal

yang prinsipil. Perbedaan sifat dan perilaku keduanya pun semakin terlihat jelas dan

timpang. Suami-isteri saling acuh, karena sama-sama merasa paling benar dan tak ada

yang mau mengalah sampai salah satu dari keduanya Nusyuz (durhaka) dan terjadi

Syiqaq.

Nusyuz sendiri memiliki pengertian durhaka. yaitu jika suami-isteri

meninggalkan kewajiban-keawjibannya.68 Nusyuz suami dapat terjadi ketika

meninggalkan hak dan kewajibannya baik materi maupun non materi. Seperti materi

yang bersifat nafkah lahir, sedangkan yang non materi diantaranya muasyarah bil

ma’ruf atau menggauli isterinya dengan cara yang baik.

67 A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet IX, hlm.

18. 68 M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fikih, h.251

Page 55: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

45

Bila isteri nusyuz Al-Qur’an memberikan solusi penyelesaian, sebagaimana

tertera dalam firmannya sebagaimana berikut:

1��YM���&�2 �t��$3�s\ ��\���)� 1��Y�����%��� �C�A����(� ��3 1��Y� �%�o�Y� 1��Y��$����3 ) :��)�/� :��(

Artinya:”Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (meninggalkan

kewajiban rumah tangga), maka nasihatilah mereka dan pisah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.”(Q.S. An-Nisa/4: 34)

Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan, apabila suami khawatir akan

nusyuznya isteri yang diakibatkan oleh sikap serta tingkah-laku isteri setidaknya ada

tiga tahapan yang harus dilakukan oleh seorang suami dalam menanganinya. Antara

lain:

1) Memberi nasihat yang baik dan bijaksana kepada isteri, agar ia sadar dan mau

kembali kepada tugasnya yang mulia dan utama sebagai ibu rumah tangga yang

baik dan bijaksana.

2) Memisahkan diri dari tempat tidur isteri, dengan maksud agar isteri dapat mawas

diri dan mendambakan kerukunan lagi, serta kehidupan keluarga yang baik.

Langkah pemisahan tempat tidur antara suami-isteri hanya boleh ditempuh,

apabila nasihat suami tidak dihiraukan lagi oleh isteri.

3) Memberikan pukulan yang cukup ringan (tidak boleh keras /berat, sampai

melukai atau menyakiti badan isteri). Langkah ini hanya boleh ditempuh oleh

Page 56: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

46

suami dalam keadaan terpaksa, bila pemberian nasihat dan pemisahan tempat

tidur tidak membawa hasil (isteri masih tetap membangkang).69

Sedangkan bila sebaliknya, dalam hal ini isteri yang terkena nusyuz dari pihak

suami, Al-Qur’an menjelaskan tindakan seperti apa yang mesti diambil. Sebagaimana

firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 128:

��� �u�3�N �8�,%��� �t�r �Sl(��# �K�I�!� �l���*�' (t�, JK�I�!��� ���A ����3 �S��%���r � �, �SM���&�2 �I����� .. ):��)�/� :g�x( Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari

suaminya, maka tidak mengapa baginya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.”(Q.S. An-Nisa/4: 128)

Dampak selanjutnya yang terjadi akibat adanya perbedaan sifat dan perilaku

suami-isteri adalah terjadinya Syiqaq. Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi

antara suami-isteri sedemikian rupa, sehingga antara suami-isteri terjadi pertentangan

pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan

kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.70Syiqaq juga merupakan perbuatan

tidak baik yang dapat mengganggu keutuhan ikatan perkawinan.71

Dalam rumah tangga tak jarang dijumpai perselisihan, sepanjang perselisihan

itu bisa diatasi sendiri, maka tak perlu ada campur tangan dari pihak ketiga dalam

menyelesaikannya. Tetapi apabila perselisihan tersebut sudah parah, maka sebaiknya

69 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid 3: Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo, 1993), Cet.II, hal.47-48

70 Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.214

71 M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fikih, h.347

Page 57: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

47

mengangkat dua orang hakam, seorang dari pihak suami seorang lagi dari pihak isteri.

apabila hakam sepakat untuk mendamaikan kembali suami-isteri, maka keduanya

berkewajiban untuk kembali hidup rukun. Tetapi apabila hakam mengalami jalan

buntu, alangkah baiknya kedua hakam dalam usaha mendamaikan meminta nasehat

Tokoh agama. Setelah usaha-usaha itu dilakukan dan kedua hakam memutuskan tidak

ada jalan lain kecuali cerai, maka ada dua cara penyelesaiannya:

a. Hakam dari pihak suami menjatuhkan thalak, atau

b. Hakam dari pihak isteri melakukan Khulu’ (thalak tebus).72

3. Perbedaan Karakter suami-isteri sebagai alasan perceraian

Dasar pembentukan sebuah keluarga adalah perkawinan, yang mengikat

antara seorang pria dan seorang wanita dengan ikatan syariat yang kuat dan kokoh

yang dilandasi dengan ketakwaan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya.73

Sebuah rumah tangga yang anggota keluarganya jauh dari sisi-sisi keimanan

kepada Allah sebagai pondasinya lambat laun akan rapuh tergerus berbagai macam

gesekan masalah yang terjadi dalam keluarga. Ketentraman sebuah keluarga

merupakan dambaan setiap orang yang mendiami bahtera rumah tangga. Keadaan

tenang tak akan pernah terjadi apabila penghuni keluarga yang mendiaminya—suami-

isteri serta anak tidak memerankan posisinya masing-masing di dalamnya.

72 Ibid., h.347 73 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani Al-Azhim— Berinteraksi dengan

Al-Qur’an, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, h. 143

Page 58: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

48

Apabila peran-peran penghuni keluarga tidak berjalan semestinya dan

timpang akan pemenuhan terhadap hak dan kewajiban suami-isteri di dalamnya,

maka sebuah keluarga akan tertatih-tatih dalam menjalani bahtera rumah tangga.

Karena, ibarat tubuh yang hanya memiliki satu kaki untuk berjalan saja. Hal-hal

semacam ini dikhawatirkan akan terjadi pemutusan hubungan perkawinan dalam

rumah tangga bila berlarut-larut.

Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami-isteri.

Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa

sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu.74 Setidaknya Menurut

Amir Syarifudin ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah

tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:

a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah SWT sendiri melalui matinya salah satu

suami-isteri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan

perkawinan.

b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan

kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut

talak.

74 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet ke-2, h. 197

Page 59: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

49

c. Putusnya perkawinan atas kehendak si isteri karena si isteri melihat sesuatu yang

menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak menghendaki itu.

Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu.

d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat

adanya sesuatu pada suami-isteri yang menandakan tidak dapatnya hubungan

perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut

fasakh.75

Telah kita ketahui bersama dalam pembahasan pada sub sebelumnya

bahwasanya alasan-alasan perceraian diterangkan dalam Perundang-undangan baik

dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2 Jis.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

Perkawinan Pasal 19 huruf (f), Inpres Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam pasal 116.

Adapun perbedaan Karakter dalam hal ini sifat dan perilaku isteri sebagai

alasan perceraian tidak disebutkan secara definitif ataupun khusus pada tiga produk

perundang-undangan di atas sebagai alasan yang dapat diterima sebagai alasan

perceraian.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Pasal 19 Jo. KHI Pasal 116 huruf (f)

dijelaskan bahwa Antara suami-isteri terjadi pertengkaran yang terus menerus dan

75 Ibid., h. 197

Page 60: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

50

sulit untuk di damaikan.76 Artinya, dampak yang ditimbulkan dari perbedaan sifat dan

perilaku tersebut yang mengakibatkan isteri pada akhirnya melalaikan kewajiban-

kewajibannya sebagaimana mestinya dan perbedaan sifat dan perilaku isteri terhadap

suaminya ini dapat dijadikan alasan sebagai permohonan cerai/gugat cerai ke

Pengadilan Agama.

Kerukunan yang terjalin dalam sebuah rumah tangga tentunya akan

berpengaruh terhadap keluarga baik suami, isteri, anak ataupun keluarga dari masing-

masing pihak suami ataupun isteri (mertua). Kehidupan rumah tangga yang penuh

perbedaan baik sifat maupun perilaku yang mengakibatkan timpangnya pemenuhan

hak dan kewajiban masing-masing suami-isteri tentunya akan meruntuhkan sendi-

sendi keluarga di dalamnya.

Rumah tangga pun akan cepat digoncang ketegangan-ketegangan yang

tentunya negatif dan bila berlarut-larut akan menimbulkan pertengkaran-pertengkaran

yang terus menerus sehingga jalan akhir ketika terjadi perselisihan suami-isteri itu

menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap

kaum kerabat mereka, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung

lagi maka tidak ada jalan lagi selain perceraian.77

76 Lihat PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 19 huruf

(f), juga lihat KHI pasal 116 huruf (f) 77 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam: Hukum Fiqih Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,

1994), Cet.27, h.401

Page 61: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

51

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA

A. Sejarah Singkat Pembentukan1

Pengadilan Agama Jakarta Utara didirikan dengan Surat Keputusan Menteri

Agama Nomor 63 tahun 1963, yang pada waktu itu bernama Kantor Cabang

Pengadilan Agama Jakarta Utara dan berkantor di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta

Kota (sekarang gedung Museum Perjuangan). Adapun induknya adalah Pengadilan

Agama Istimewa Jakarta Raya (sekarang Pengadilan Agama Jakarta Pusat). Pada

waktu itu Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya mempunyai dua cabang, yaitu:

Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan Cabang Pengadilan Agama Jakarta

Tengah.

Sebagai Salah satu Pengadilan Agama yang berada di wilayah Jawa-Madura,

semula eksistensi dan kewenangan absolutnya berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 dan

Stbl. 1937 No. 116 dan 610, berada di bawah Mahkamah Islam Tinggi Surakarta.

Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama nomor 71 tahun 1976

dengan telah dibentuknya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung, maka

Pengadilan Agama Jakarta Utara berada di bawah Cabang Mahkamah Islam Tinggi

Bandung tersebut. Dalam perkembangannya selanjutnya Mahkamah Islam Tinggi

Surakarta dipindahkan ke Jakarta (Surat Keputusan Menteri Agama nomo: 61 tahun

1Untuk pembahasan Sejarah singkat ini Penulis hanya mencantumkan 1 sumber saja yaitu,

http://www.pa-jakartautara.go.id yang diakses pada Kamis, 7 Maret 2011, pukul 20.50 WIB

Page 62: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

52

1985) dan berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, yang realisasinya baru

pada tanggal 30 Oktober 1987.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967, Kantor

Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara kemudian diubah namanya menjadi

Pengadilan Agama Jakarta Utara, dan ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan

Agama yang berdiri sendiri dan tidak sebagai cabang dari Pengadilan Agama

Istimewa Jakarta Raya lagi.

Sejak ditetapkan menjadi Pengadilan Agama yang berdiri sendiri, semula

Pengadilan Agama Jakarta Utara berkantor di rumah KH Wintanu, Lorong 19,

Tanjung Priok, Jakarta Utara, kemudian pindah kantor ke rumah KH Mugni, Jalan

Digul, Lorong 63, Nomor 36, Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan menempati satu

ruangan yang berlokasi di Komplek YUKS, Jalan Donggala Nomor 23, Tanjung

Priok, Jakarta Utara (di daerah pinggiran laut). Pada saat Kantor Departemen Tenaga

Kerja dipugar, ruangan kantor Pengadilan Agama Jakarta Utara sempat berpindah-

pindah ruangan, bahkan sempat pula menempati garasi mobil yang berukuran 5 X 2,5

m saja.

Dalam kurun waktu berikutnya, Pengadilan Agama Jakarta Utara pernah

berkantor menumpang pada berkas ruangan Kantor Suku Dinas Sosial Jakarta Utara,

Lorong C, nomor 11, Pasir Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara satu gedung dengan

Kantor Pendidikan Agama dan Kantor Kelurahan Koja, Tanjung Priok, Jakarta

Utara.

Page 63: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

53

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana UU

Perkawinan, kewenangan absolut Pengadilan Agama bertambah, hal mana berakibat

meningkatnya volume perkara yang harus diselesaikan. Sehubungan dengan hal

tersebut, agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat pencari

keadilan, maka Pengadilan Agama Jakarta Utara pindah kantor di komplek Kantor

Walikota Jakarta Utara, Lantai II, di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara. Tidak lama

kemudian pindah lagi ke lantai 3 di komplek kantor Walikota tersebut.

Pada tahun 1980, atas bantuan Walikotamadya Jakarta Utara bersama-sama

dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta dan Kepala

Kantor Departemen Agama Jakarta Utara, dibangunkanlah gedung kantor Pengadilan

Agama Jakarta Utara dengan luas tanah sekitar 500 m2 dan luas bangunan 342 m2

(terletak di belakang Kantor Departemen Agama Jakarta Utara dan Bank Mandiri).

Kantor tersebut ditempati selama kira-kira 28 tahun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999, tentang perubahan UU

Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pembinaan

administrasi dan finansial Pengadilan Agama yang semula berada di bawah

Departemen Agama dialihkan ke Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan

lainnya. Bagi peradilan agama, peralihan tersebut efektif mulai tahun 2004.

Pada tahun 2006, dengan anggaran MA, dialokasikan dana pengadaan tanah

Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan pagu Rp 5.750.000.000,- dan tahun 2007

dialokasikan dana pembangunan gedung dengan pagu Rp 8.799.999.000,- dan

Page 64: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

54

kemudian dilengkapi dengan alokasi dana pengadaan sarana dan prasarana pada

tahun anggaran 2008 dengan pagu sebesar Rp 2.000.000.000,-.

Dengan anggaran tersebut akhirnya sejak Juni 2008, Pengadilan Agama

Jakarta Utara telah pindah dan menempati gedung baru yang cukup megah yang

dibangun di atas tanah seluas 2000 m2, dengan bangunan gedung berlantai 3 dengan

luas keseluruhan sekitar 2.298 m2, yang berlokasi di Jalan Raya Plumpang Semper

No. 5, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, 14260.

B. Wilayah Hukum, Struktur Organisasi serta Profil Jabatan

1. Wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara

Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara meliputi seluruh wilayah

Kota Jakarta Utara, terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 35 (tiga puluh lima) kelurahan,

yang terinci sebagai berikut:2

a. Kecamatan meliputi:

1) Kec. Cilincing

2) Kec. Kelapa Gading

3) Kec. Koja

4) Kec. Tanjung Priok

5) Kec. Penjaringan

6) Kec. Pademangan

7) Kepulauan Seribu, hal ini berdasarkan PP. No.5 Tahun 2001 meningkat

2 http://www.pa-jakartautara.go.id/index.php/wilayah-hukum.html, Jum’at, pukul 14:11 WIB

Page 65: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

55

menjadi Kabupaten Administrasi Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan

Kecamatan pulau seribu Selatan3

b. Kelurahan Meliputi:

1) Kec. Kep. Seribu :

- Kel. Pulau Panggang

- Kel. Pulau Kelapa

- Kel. Pulau Untung Jawa

- Kel. Pulau Tidung

2) Kec. Penjaringan:

- Kel. Kamal Muara

- Kel. Kapuk Muara

- Kel. Pejagalan

- Kel. Penjaringan

- Kel. Pluit

3) Kec. Pademangan:

- Kel. Ancol

- Kel. Pademangan Timur

- Kel. Pademangan Barat

4) Kec. Tanjung Priok:

- Kel. Sunter jaya

- Kel. Papanggo

- Kel. Sungai Bambu

- Kel. Kebon Bawang

3 Lampiran, Laptah Pengadilan Jakarta Utara, tahun 2010, h.107-108

Page 66: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

56

- Kel. Tanjung Priok

- Kel. Sunter Agung

- Kel. Warakas

5) Kec. Koja

- Kel. Koja Utara

- Kel. Koja Selatan

- Kel. Lagoa

- Kel. Tugu Utara

-Kel. Tugu Selatan

- Kel. Rawa Badak

6) Kec. Kelapa Gading

- Kel. Kelapa Gading Timur

- Kel. Kelapa Gading Barat

- Kel. Pegangsaan Dua

7) Kec. Cilincing

- Kel. Kalibaru

- Kel. Cilincing

- Kel. Semper Timur

- Kel. Semper Barat

- Kel. Sukapura

- Kel. Rorotan

- Kel. Marunda4

4 http://www.pa-jakartautara.go.id/index.php/wilayah-hukum.html, Jum’at, pukul 2:11

Page 67: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

57

2. Struktur Organisasi

Berikut adalah bagan Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Utara:

Sumber: http://www.pa-jakartaUtara.go.id

3. Profil Jabatan

Nama-nama yang tertuang dalam struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta

Utara pada akhir Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

Ketua Drs. H. Busra, SH., MH.

Wakil Ketua Drs. Tata Sutayuga, SH.

ketua

Wakil ketua

Hakim

Panitera/Sekretaris

Pan. Mud. Permohonan

Jurusita/Jurusita Pengganti

Panitera Pengganti

Kasub. Bag. Kepegawaian

Pan. Mud. Gugatan

Kasub. Bag. Keuangan Kasub. Bag. Umum

Wakil Panitera

Pan. Mud. Hukum

Wakil Sekretaris

Page 68: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

58

Hakim Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH.

Drs. H. Anwar Hidayat, SH.

Dra. Hj. Syamsidar, SH., MH.

Drs. Mahmud HD, MH.

Drs. Ahmad Zawawi

Drs. Muhammad Taufik, SH., MH.

Dra. Sarbiati, SH.

Drs. H. Abdurrakhman Maskur, SH.

Drs. H. Abdurrakhman Maskur, SH.

Drs. Eko Budiono, SH., MH.

Panitera/Sekretaris Sufyan, SH

Wakil Panitera H. Imanudin Tiflen, SH.

Wakil Sekretaris Wahida Muslihah, S.Sos.

Panitera Muda Hukum Asis Hidayanti, SH.

Panitera Muda Permohonan Rahyuni, SH.

Panitera Muda Gugatan Drs. H. Abdul Chaer HN, SH.

Kepala Sub. Bag. Kepegawaian Purwanto Sigit Wibowo, SE.

Kepala Sub. Bag. Umum Agus Triyogo, SE.

Kepala Sub. Bag. Keuangan Siti Fajriah, SE.

Panitera Pengganti Idris M. Ali, SH.

Dra. Hasbiah

Page 69: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

59

Dra. Ermiyati Arifah

Abdul Hamid, S.Ag.

Turchamun Ichwanuddin, SH.

H. Kamaludin, SH., MH.

Nurlaelah, SH.

Lusiah Saragih, S.Ag., MH.

Rifa'i, SH

Fitri Astini, SH

Milhan Affani Istiqlal, SH

Achmad Sarkowi, S.HI.

Jurusita Pengganti Zamzam Lubis, SH.

Abdul Djamat

Hafas

Toto Sudarto

Feridiansyah Putra

Agus Wiyono, A.Md

Rona Handayani

Yuri Ditya Putra Fernanda, A.Md.

Dini Triana, S.Sos.

Frimi Agustina, A.Md.

Bendahara Pengeluaran Dini Triana, S.Sos.

Page 70: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

60

Bendahara Penerimaan Rona Handayani

Staf Ahmad

Hikmayati, SH

Jaenudin

Abdul Haris Rahmansyah, SE.

Mustofa Supri Zulfatoni, S.Hi.

Mochamad Taufik, S.Ag.

Aji Sucipto, A.Md.

Sumber: Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010

C. Visi Misi dan Rencana Strategis

1. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Utara:

a. Visinya adalah Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung

b. Adapun Misi Pengadilan Agama Jakarta Utara antara lain adalah:

1) Menjaga kemandirian Badan Peradilan

2) Memberikan pelajaran hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.

3) Meningkatkan kualitas kepemimpina Badan Peradilan

4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Badan Peradilan.5

D. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan

Pengadilan Agama Jakarta Utara berfungsi sebagai Pengadilan Tingkat

Pertama dan merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas

5 Lampiran, Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010, h.102-104

Page 71: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

61

pokok antara lain Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-

perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan ekonomi

syari’ah. Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.6

Untuk mendukung Tugas Pokok dan Fungsi dalam pelayanan masyarakat

khususnya masyarakat pencari keadilan maka pimpinan serta jajarannya termasuk

hakim telah menyusun Standard Operating Prosedure yang sampai saat ini masih

terus dirumuskan untuk dijadikan sebagai Standard Nasional Pengadilan oleh

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI. Sedangkan di bidang

kesekretariatan yang merupakan pendukung tugas pokok dan fungsi pengadilan telah

menyediakan sarana dan prasarana demi kelancaran tugas pokok dan fungsi termasuk

penyusunan struktur organisasi Pengadilan Jakarta Utara.7

Pengadilan Agama juga memiliki kekuasaan-kekuasaan kewenangan dalam

menyelesaikan perkara-perkara hukum keluarga yang terjadi di masyarakat. Diantara

kekuasaan Pengadilan Agama sendiri antara lain termuat dalam Undang-undang

Peradilan Agama 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang

6 http://www.pa-jakartautara.com/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011

pukul 21.01 WIB

7 Lampiran, Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010, h.101-102

Page 72: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

62

Peradilan Agama.8 Kekuasaan Pengadilan Agama sebagaimana bunyi Pasal 49

Undang-undang Peradilan Agama No.7 Tahun 1989, bahwa:

(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;

c. Wakaf dan shadaqah.

(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (a)

ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai

perkawinan yang berlaku.

(3) Bidang Kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah

penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta

peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan

melaksanakanpembagian harta peninggalan tersebut.9

Sedangkan Perubahan Pasal 49 dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama ke dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2003 menjadikan

kekuasaan Peradilan Agama sendiri semakin luas cakupan wilayah kewenangannya.

8 http://www.pa-jakartautara.go.id/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011

pukul 20.53 wib

9 Amir Syarifudin, Harun al-Rashid, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989), Cet.1, h.738-739

Page 73: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

63

Perubahan Pasal tersebut menyatakan bahwa “Pengadilan agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. warta;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syari'ah.”10

10 Lihat Undang-undang No 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Peradilan

Agama No. 7 Tahun 1989 Pasal 49.

Page 74: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

64

BAB IV

ANALISA BEDA KARAKTER ISTERI SEBAGAI ALASAN

PERCERAIAN

A. Posita/Duduk Perkara

Adapun posita/duduk perkara dari kasus ini adalah perkara cerai talak

yang pada mulanya antara Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang

sah dengan yang dikeluarkan dan dicatat pada tanggal 20 Januari 2008 di kantor

urusan agama (KUA) yang berada di Jakarta Utara. Setelah pernikahan tersebut

Pemohon dan Termohon tinggal di rumah orang tua Pemohon

Selama berumah tangga, rumah tangga Pemohon dan Termohon

berjalan dengan baik, harmonis sebagaimana layaknya suami-isteri namun

belum dikarunia keturunan. Akan tetapi sejak bulan januari 2008, Pemohon

dengan Termohon mulai terjadi perselisihan yang terus-menerus dan sulit untuk

didamaikan yang disebabkan antara lain:

(1) Termohon tidak memperbolehkan Pemohon bekerja di malam hari,

sementara pekerjaan Termohon tidak terbatas waktunya, bahkan sampai

larut malam.

(2) Termohon dengan Pemohon mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda,

selalu berbeda pendapat dalam segala hal, yang akibatnya Termohon

minta diceraikan.

Page 75: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

65

(3) Bahwa, Pemohon sudah berusaha mencari Termohon tapi tidak

diketemukan.

(4) Bahwa pada bulan maret 2008 merupakan puncak keretakan hubungan

yaitu berpisah tempat tinggal antara Termohon dengan Pemohon serta

Termohon pergi tanpa seizin dan sepengetahuan Pemohon, dan saat ini

Termohon sudah tidak diketahui lagi tempat tinggalnya.

(5) Bahwa Pemohon telah menepis harapan terciptanya suasana hidup rukun

dan tentram dalam mahligai rumah tangga, dengan keadaan yang sudah

demikian itu Pemohon sudah tidak ada kecocokan lagi dalam membina

rumah tangga dan sudah tidak ada harapan serta sudah tidak sanggup lagi

untuk melanjutkan hidup berumah tangga dengan Termohon.

Karena itu sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal

116 Kompilasi Hukum Islam cukup alasan untuk permohonan Pemohon,

karenanya Pemohon memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta

Utara Cq. Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini berkenan

memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap

Termohon.1

B. Petitum/Tuntutan Putusan

Berdasarkan pada beberapa dalil yang telah dijelaskan pada

posita/duduk perkara, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama segera

1 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.91

Page 76: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

66

memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan perkara

sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon

2. Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu kepada

Termohon.

3. Biaya perkara menurut hukum dan atau menjatuhkan putusan yang seadil-

adilnya.2

C. Alat Bukti

Pembuktian berasal dari bahasa arab yaitu “bayyinah” yang artinya

“suatu yang menjelaskan” ibnul Qayyim dalam kitabnya at-Thuruq al-

Hukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang

dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.3

Adapun dalam perkara ini bukti-bukti yang dihadirkan oleh Pemohon

adalah sebagai berikut:

a. Foto kopi akta nikah serta aslinya

b. Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)

c. Tiga orang saksi, paman, adik serta ibu kandung Pemohon4

2 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.91 3 Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991),

h.153 4 Ibid., Lampiran, h. 92

Page 77: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

67

D. Pertimbangan Hukum

Adapun pertimbangan hukumnya, bahwa maksud dan tujuan

permohonan Pemohon adalah seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa antara

Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah berdasarkan bukti kutipan

akta nikah terlampir. Pemohon dan Termohon juga belum dikarunia keturunan.

Sedangkan alasan pokok yang dimohon Pemohon terhadap Termohon bahwa

rumah tangga Pemohon dan Termohon sering terjadi cekcok yang disebabkan

karena:

(a) Termohon tidak membolehkan Pemohon bekerja pada malam hari

sedangkan Pemohon pekerjaannya tidak terbatas hanya pada siang hari,

(b) Termohon mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda dengan Pemohon

dalam sagala hal akibatnya Termohon minta diceraikan oleh Pemohon.

(c) Termohon tidak pernah hadir dipersidangan sedangkan ia telah dipanggil

dengan cara patut, sedangkan ketidakhadiran Termohon tidak memiliki

alasan yang sah.

(d) Majelis telah mendengar keterangan Termohon maupun saksi-saksi di

persidangan.5

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Majelis Hakim

menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon tersebut yang berdasarkan

pada Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

5 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.93

Page 78: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

68

Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan sejalan dengan Inpres Presiden

RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f)

dalam hal ini kaitannya dengan Perbedaan sifat dan perilaku isteri sebagai

alasan perceraian.

Sedangkan dalam permohonan tersebut ada beberapa alasan yang

menyebabkan suami mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta

Utara salah satunya alasan tersebut adalah perbedaan sifat dan perilaku isteri

dalam segala hal terhadap suami.

Adapun pertimbangan Majelis Hakim mengabulkan permohonan

Pemohon kepada isterinya bahwa Termohon meragukan akan terciptanya

suasana yang rukun dan tentram dalam rumah tangga mereka dan Pemohon

merasa tidak sanggup lagi melanjutkan bahtera keluarga Pemohon dengan

Termohon dikarenakan salah satu alasannya adalah perbedaan sifat dan perilaku

mereka masing-masing yang mengakibatkan sering terjadinya percekcokan.

Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya adalah bahwa alasan-alasan

Pemohon dapat dibuktikan dengan kehadiran tiga orang saksi antara lain;

paman Pemohon, adik Pemohon serta ibu kandung Pemohon yang masing-

masing telah disumpah sesuai dengan agama Islam. Dalam kesaksian para saksi

di muka sidang Pengadilan, Pemohon membenarkan keterangan mereka.

Selanjutnya dalam perkara ini, Hakim menilai bahwa keterangan para

saksi saling berhubungan dan berpendapat bahwa dalil-dalil atau alasan-alasan

permohonan Pemohon tersebut telah terbukti kebenarannya.

Page 79: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

69

Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim mengabulkan

permohonan Pemohon karena alasan-alasan Pemohon telah memenuhi unsur-

unsur yang terkandung dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 dan telah sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal

116 huruf (f).

Sebagaimana bunyi produk Perundang-undangan yang dijadikan

rujukan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara untuk menyelesaikan perkara

ini. Diantaranya adalah bunyi Pasal 39 ayat (2) UUP adalah “Untuk melakukan

perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat

rukun sebagai suami isteri.6 Sedangkan selanjutnya bunyi Pasal 19 huruf (f) PP

No. 9 Tahun 75 bahwa Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga.”7 Selanjutnya, Pasal 116 huruf (f) KHI : Antara suami

dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada

harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Maka dengan menimbang hal-hal sebagaimana telah dipaparkan di atas

permohonan Pemohon dikabulkan Majelis Hakim dengan Verstek dan

6 Lihat Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 (2) 7 Lihat Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

Perkawinan Pasal 19 huruf (f)

Page 80: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

70

mengikrarkan talak satu kepada Termohon dihadapan sidang Pengadilan Jakarta

Utara.

E. Putusan

Dalam putusan perkara ini, pertama Majelis Hakim memutuskan

perkara permohonan Pemohon dengan putusan verstek karena Termohon tidak

pernah hadir di muka sidang. Kedua, Memberi ijin kepada Termohon untuk

mengucapkan ikrar talak satu kepada Termohon di hadapan sidang Pengadilan

Agama Jakarta Utara setelah putusan ini memiliki kekuatan hukum yang tetap

serta yang ketiga membebankan kepada Pemohon untuk membayar perkara

sebesar Rp. 281.000,- (dua ratus delapan puluh ribu rupiah).8

F. Analisis Penulis

Dewasa ini, hukum Islam eksistensinya semakin membutuhkan

penyegaran interpretasi bagi masyarakat Islam sendiri khususnya. Terbukti,

seperti di Negara kita Indonesia hukum Islam yang sudah dipositifkan

berkenaan dengan hukum keluarga seperti Undang-undang Perkawinan dan lain

sebagainya ternyata belum dapat mewakili aspirasi dalam mencari solusi

masalah yang terjadi di masyarakat.

Positivisasi hukum Islam disatu sisi banyak menimbulkan manfaat

tersendiri bagi masyarakat muslim. Namun di sisi lain Perundang-undangan

tersebut nampaknya masih sangat terbatas dalam mencakup seluruh

8 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.94

Page 81: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

71

permasalahan kehidupan umat muslim sendiri. Karena karakteristik zaman dan

lingkungan serta teknologi terus mengalami perkembangan serta perubahan

disana-sini.

Paling tidak Said Agil dalam bukunya Hukum Islam dan Pluralitas

Sosial menyebutkan terdapat Tiga unsur pokok yang berperan penting dalam

merespons perkembangan zaman, yaitu keluwesan sumber-sumber hukum

Islam, semangat ijtihad berdasarkan keahlian dan berijtihad dengan metodologi

ushul fiqh.9

Secara umum kata “hukum” memiliki banyak perbedaan definisi,

namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah “seperangkat

peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh Negara

atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”10

Namun, bila hukum dirangkai dengan kata Syara’ yaitu “hukum syara’”

akan memiliki arti “sebagai perangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah

tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat

untuk semua ummat yang beragama Islam.”11

9 Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Prluralitas Sosial, (Jakarta:

Penamadani, 2004), Cet.1, h.23 10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.1,

h.281 11 Ibid.,h.281

Page 82: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

72

Sedangkan hukum positif sendiri adalah produk dari kekuatan-kekuatan

politik yang melahirkannya. Sedangkan hukum yang hidup adalah hukum yang

tersosialisasikan dan diterima oleh masyarakat secara persuasif.12

Secara teoritis kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat

memang dapat dijadikan rujukan bagi Seorang Hakim dalam memutuskan suatu

perkara yang diajukan kepadanya. Ketentuan Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun

1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Hakim

sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengakui, dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.”13

Tujuan dibuatnya hukum Islam menurut Syatibi adalah untuk

mewujudkan maslahah bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.14 Selain

itu adanya hukum juga salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi keperluan

hajat hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier, yang dalam

kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat,

hajjiyat dan tahsiniyyat.15

Kebutuhan Primer (Daruriyyat) adalah kebutuhan utama yang harus

dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan

12 Ibid., h.30 13 Ibid., h.30 14 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Muwafatqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), Buku 1, Juz ke-2, h.4 15 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet.10, h.55

Page 83: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

73

hidup manusia terwujud. Kebutuhan sekunder (Hajjiyat) adalah kebutuhan yang

diperlukan untuk mencapai kebutuhan primer, seperti misalnya kemerdekaan,

persamaan, dan sebagainya yang menunjang eksistensi kebutuhan primer.

Selanjutnya adalah kebutuhan tertier (tahsiniyyat) adalah kebutuhan hidup

manusia selain dari yang sifatnya primer dan sekunder itu yang perlu diadakan

dan dipelihara untuk kebaikan hidup masyarakat misalnya, sandang, pangan,

perumahan dan lain-lain.16

Dalam analasis kali ini, penulis menganalisa alasan perceraian karena

perbedaan karakter isteri terhadap suami. Secara garis besar penulis

membingkainya dalam dua perspektif yang berbeda—Perspektif hukum Islam

dan hukum positif.

Adapun putusan Pengadilan, khususnya putusan Pengadilan Jakarta

Utara No : 0206/Pdt.G/2008/PA.JU yang mencantumkan redaksi perbedaan

sifat dan perilaku isteri sebagai alasan perceraian menurut penulis tidak

mendasar. Ini dikarenakan bahwasanya sudah menjadi fitrah setiap manusia

dalam hal ini umat Islam diberikan perbedaan karakter khususnya pada sifat

dan perilaku satu dengan lainnya oleh Allah SWT. Mustahil manusia

memaksakan kehendak untuk berkarakter sama dalam sifat dan perilaku mereka

satu sama lain.

16 Ibid.,h.55

Page 84: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

74

Namun berbeda memang, ketika perbedaan-perbedaan tersebut terus

diangkat kepermukaan oleh salah satu dari mereka atau kedauanya dan

berdampak pada saling melalaikan hak dan kewajiban mereka sebagai pasangan

suami ataupun isteri. Tentunya akan menjadikan pertengkaran dan percekcokan

yang terus menerus dan berujung pada ketidak-harmonisan kehidupan

keluarga.

Oleh karenanya, jika perkawinan yang sudah goyah tersebut tetap

dipertahankan, dapat berakibat lebih buruk bagi mereka yang menjalankannya,

sehingga hal ini harus dihilangkan. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:

١٧ا�ر ��ال

Dalam menghilangkan yang madarat, tidak boleh dengan menempuh

madarat yang sama atau yang lebih berat madaratnya. Sebagaimana prinsip

hukum Islam yang lain, menghindari yang mengandung kerusakan lebih

diutamakan dari pada sekedar mendatangkan maslahat, karena prinsip hukum

Islam adalah mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemadaratan.

Dengan menggunakan kaidah fiqih ini juga dapat dibenarkan. Sebab

jika sudah jelas dan terbukti bahwa perselisihan dan pertengkaran itu memang

terjadi dan sulit untuk hidup rukun kembali, maka Pengadilan Agama Jakarta

17 Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet.I,

h.85

Page 85: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

75

Utara sebagai lembaga kenegaraan berhak untuk memutuskan hubungan

perkawinan.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan karakter pasangan

dalam kehidupan rumah tangga menurut Sarbiati.,S.H, M.H saat diwawancarai

mengenai hal tersebut menjelaskan faktornya antara lain:

Pertama, Kultur yang berbeda. Misalnya orang Sumatera (Medan) menikah

dengan orang Jawa atau Sunda. Kita bisa melihat bahwasanya dari

segi kultur yang berbeda biasanya akan memunculkan watak dan

karakter yang berbeda antara suami isteri dalam sebuah rumah

tangga. Karena masing-masing memiliki background kultur yang

beda.

Kedua, Tidak adanya “Kesalingan”. Artinya Antara suami isteri tidak terbuka

dalam hal apapun. Antara suami isteri tidak saling berkomunikasi

justru sebaliknya mis komunikasi, diam-diaman. Antara suami isteri

tidak saling menyayangi, menghormati, menghargai dan lain

sebagainya. Bentuk-bentuk ketidak-salingan ini sebenarnya sudah

keluar dari koridor ketentuan tujuan pernikahan itu sendiri.18

Padahal Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk lemah lembut dalam

berkata-kata. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 159:

18 Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati.

Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.

Page 86: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

76

�������� ���� �� ����� �� ����� ��� �� ���������� ���� � !�"#� �$�# �%�� &�'()��� ���� ����* ��+�,�+ ��-��� .��/0�'1�� ��� ��2����3���� #� 456��1�� �7�8�+ ��9����� �/��:�#;�+ � ��� 4 �< :=5�� �>�?(%#� �@�/��A�� !�� )=�1�+ C�/E: GHI(

Artinya: Dan dengan adanya rahmat Allah maka engkau (Muhammad)

bersikap lunak (lemah lembut) kepada mereka. Seandainya engkau kasar dan keras hati, maka pastilah mereka akan menyingkir dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan (keduniaan). Dan bila engkau telah berketetapan hati, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang bertawakkal. (Q.S. Ali Imran/3: 159)

Bila diteliti, ayat tersebut—sekalipun ditujukan kepada Nabi, namun

umatnya juga termasuk—mempunyai 4 pesan moral; (1) perintah untuk lemah

lembut dalam bertutur kata, (2) banyak memberi maaf, (3) dan banyak istigfar,

(4) pasrahkan urusan kepada Allah setelah mengambil keputusan.19 Begitu pun

kehidupan suami isteri diharapkan dapat berlemah-lembut serta mudah

memberi maaf kepada masing-masing pasangannya.

Sebagaimana Nabi Muhammad sendiri adalah teladan bagi umatnya

segala hal termasuk akhlak di dalamnya. Sebagaimana firman Allah SWT:

���$K �1�L56� �M��!#����5 �� ���N1�> �=��� ��A@ O ���P�� OQ��.�R ��� �C��.�� 4�� �=�� �S1!�T�� 5���1���8��)�6�U�9/EE : VG(

19 Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an

Tematik) ,h.222

Page 87: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

77

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (QS. Al-Ahzab/33: 21)

Dalam ayat lain juga ditemukan firman Allah SWT sebagaimana berikut:

��!���+ �W� �L 4� �X�� �*Y&�<��)$��� / Z[ :\( Artinya:“…Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang

luhur.” (QS. Al-Qalam/68: 4)

Nabiyullah Muhammad Saw juga bersabda:

�Y&��� �]� L�#�� �_��� ��a�5�b^�� ��#T�X�c)Q1>12 dR �+ KX. �c�(�� Artinya:“Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”.

(HR. Sa’ad dari Abi Hurairah)

Dikutip dalam buku Etika berkeluarga, bermasyarakat dan berpolitik21

bahwa Allah telah menganugerahkan akhlak yang luhur kepada Nabi

Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Wujud keluhuran akhlak Rasulullah

tersebut seperti yang dijelaskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah kepada orang-

orang bertanya tentang akhlak Rasulullah, bahwa akhlak beliau adalah Al-

Qur’an.”

Secara umum pengertian akhlak mengacu pada sifat manusia secara

umum tanpa mengenal perbedaan diantara laki-laki dan perempuan; sifat

20 Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Baker as-Suyuti, al-Jaami’us Shagir, (Darul

Qolam, 1996), h.92 21 Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an

Tematik), h.3

Page 88: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

78

manusia yang baik maupun sifat manusia yang buruk.22 Oleh sebab itu akhlak

terbagi dua, al-Ahlaq al-Hasanah (akhlak yang baik) atau al-Ahlaq al-

Mahmudah (akhlak yang terpuji dan al-Ahlaq al-Qabihah (akhlak yang buruk)

atau al-Ahlaq al-Mazmumah (akhlak tercela).23

Akhlak bersumber pada jiwa. Jika jiwa seseorang itu bersih, jernih dan

bening, maka akhlak orang itu akan baik dan mulia. Sebaliknya, jika jiwa

seseorang itu kotor dan penuh noda maka dari jiwa yang demikian tidak akan

pernah memancarkan akhlak yang baik dan mulia.karena kualitas akhlak

seseorang ditentukan oleh keadaan jiwannya.24

Bagaimanapun karakter-karakter suami isteri yang berkaitan dengan

sifat dan prilakunya dalam sebuah rumah tangga mesti diperhatikan secara

teliti. Karena kehidupan keluarga adalah kehidupan yang menyatukan dua

kepala berbeda. Akhlak masing-masing pihak akan menjadikan sebuah keluarga

bagai surga ataupun neraka.

Sebagai contoh dalam kasus yang penulis teliti adalah sikap isteri yang

melarang suami untuk bekerja pada malam hari sedangkan pekerjaan suami

tidak terbatas pada siang hari. Contoh lainnya suami atau isteri melakukan

perselingkuhan, salah satu pasangan tidak lagi bisa melaksanakan kewajiban-

kewajibannya sebagai suami ataupun isteri tanpa alasan yang dibenarkan oleh

22 Ibid, h.2 23 Ibid., h.2 24 Ibid., h.6

Page 89: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

79

Syar’i. Contoh-contoh perilaku ini sudah dapat dijadikan alasan perceraian—

baik permohonan ataupun gugatan.25

Selanjutnya dari perspektif hukum positif bahwasanya perbedaan sifat

dan perilaku isteri tidak diatur secara khusus dalam perundang-undangan

Indonesia sebagai sebuah alasan perceraian baik dalam Undang-undang

Perkawinan No.1 Tahun 1974 atau Undang-undang No.9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan serta dalam Instruksi Presiden No.1

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sendiri.

Oleh karena Perbedaan karakter kaitannya dengan sifat dan perilaku

isteri tidak diatur secara khusus dalam Perundang-undangan Indonesia, maka

bagi para penegak hukum untuk menemukan kepastian hukumnya. Dalam hal

ini dibutuhkan kecerdasan Seorang Hakim untuk memecahkan perkara yang

memang tidak secara khusus diatur dalam perundang-undangan Indonesia (baik

itu UUP No.1 Tahun 1974, PP No.9 Tahun 1975 atau KHI) semakin tertantang.

Dalam hal ini metode ijtihad Hakim dalam meramu segala permasalahan yang

berkaiatan dengan alasan-alasan perceraian seperti Perbedaan sifat dan perilaku

isteri ini.

Seperti dijelaskan dalam wawancara penulis dengan Hakim bahwa

memang alasan perbedaan sifat dan perilaku suami isteri tidak diatur dalam

Perundang-undangan, namun alasan tersebut dapat dimasukkan kedalam

25 Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati.

Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.

Page 90: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

80

kategori pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Jo. Instruksi Presiden No.1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 116 huruf (f) yaitu bahwa Antara

suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Menurut keterangan yang penulis dapatkan bahwa perbedaan sifat dan

perilaku ini sebagai pemicu adanya ketimpangan hak dan kewajiban suami

isteri yang dapat menyebabkan Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga.26

Sedangkan mengenai alat bukti, khususnya dalam perkara ini, yaitu

dengan adanya keterangan berupa lisan dari Pemohon, surat-surat seperti akta

nikah dan lainnya serta saksi-saksi yang didatangkan dari pihak Pemohon.

Dari putusan yang penulis dapatkan Majelis Hakim mengabulkan

permohonan Pemohon dengan verstek, karena Termohon tidak hadir dan tidak

pula mengirim wakil sebagai kuasanya untuk hadir di muka sidang padahal

Termohon telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan.

Menurut Hakim saat diwawancarai, Setiap masalah dapat dibuktikan

oleh Pemohon atau penggugat dan memenuhi unsur-unsur pembuktian—

26 Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara. Jakarta,

Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.

Page 91: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

81

keterangan Pemohon/ penggugat, surat-surat, maupun para saksi. Inilah yang

menjadi dasar Hakim dalam memutuskan suatu putusan.

Dalam hal ini Hakim mengaitkan mengaitkan permasalahan pada

putusan perkara Pengadilan No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU dengan PP No. 9

Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f) Jo. KH Pasal 116 huruf (f) yang menyatakan

alasan perceraian karena terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Karena

adanya perbedaan karakter dalam hal sifat dan perilaku dari masing-masing

pasangan dalam segala hal, dalam kurun waktu yang lama, sifat dan perilaku ini

akan memicu terjadinya hal tersebut (pertengkaran terus menerus). Maka

Majelis Hakim berpendapat bahwa alasan perceraian tersebut dikabulkan

Pengadilan.

Selanjutnya, oleh karena perkara ini adalah perkara dalam bidang

perkawinan, maka dalam menyangkut semua biaya dalam perkara ini

dibebankan kepada Pemohon. Ini sesuai berdasarkan Undang-undang Peradilan

Agama No. 1 Tahun 1974 pasal 89 ayat (1) Jo. Undang-undang No.7 Tahun

1989 biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.

Page 92: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

82

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari Uraian di atas penulis penulis dapat menarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Menurut Hukum Islam perbedaan karakter kaitannya dengan sifat dan prilaku

suami isteri adalah hal yang wajar terjadi. Khususnya untuk sifat yang merupakan

bawaan sejak lahir manusia. Sedangkan prilaku sebagaimana telah penulis

jelaskan memiliki faktor-faktor pembentuknya tersendiri.

Dalam hal ini, secara umum Nabi Muhammad adalah orang yang mestinya

dicontoh karakternya baik dari sifat dan prilaku kita sebagai muslim. Bagaimana

pun Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah (suri

teladan) bagi umatnya. Dari sudut pandang ini, menurut hemat Penulis mestinya

memang kehidupan bahtera rumah tangga antara suami isteri saling menghormati

perbedaan-perbedaan sifat dan prilaku masing-masing—selagi karakter-karakter

itu tidak merusak keutuhan rumah tangga.

Menurut hukum positif, Perbedaan karakter isteri sebagai alasan perceraian

memang sejatinya tidak pernah termuat dalam Perundang-undangan Indonesia

sebagai dalil untuk meneguhkan keinginan suami dalam menceraikan isterinya.

Namun pada prakteknya ditemukan alasan-alasan Perceraian yang tidak termuat

Page 93: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

83

dalam Perundang-undangan Indonesia dikabulkan Majelis Hakim. Ini dimaklumi,

karena ternyata Hakim melihat adanya pertengkaran yang terus-menerus

dikhawatirkan terjadi syiqaq. Dari sinilah Majelis hakim berkesimpulan dengan

melihat maslahah mursalahnya. Bahwa demi kebaikan bersama antara suami isteri

maka perceraian harus ditempuh sebagai jalan akhir untuk menyudahi pertikaian

yang terus-terusan terjadi. Sedangkan pada perkara ini perbedaan karakter isteri

sebagai pemicu terjadinya perceraian.

Sedangkan penulis melihat bahwasanya perbedaan sifat dan prilaku isteri yang

dijadikan alasan untuk menguatkan argumen suami dalam meloloskan

permohonannya tidak mendasar. Karena manusia memang sudah kodratnya

diciptakan berbeda baik fisik maupun sifat (ruhaniah). Maka dari itu menurut

hemat Penulis, Hakim mestinya tidak memberikan kesempatan pada suami untuk

menceraikan isterinya dalam keadaan demikian. Karena bagaimanapun dengan

adanya putusan perkara ini sudah dapat dipastikan ada pihak-pihak yang

dirugikan—lebih-lebih dari pihak isteri.

2. Dalam hal ini, penyebab perbedaaan karakter suami isteri dalam keluarga yang

berakibat pada perceraian adalah prilaku isteri yang tidak membolehkan suami

untuk bekerja pada malam hari sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada

siang hari. Faktor lain, antara suami-isteri memiliki perbedaan pandangan masing-

masing mengenai sifat dan prilaku dalam segala hal. Artinya baik suami ataupun

Page 94: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

84

isteri memiliki sifat egois karena tidak ada satupun yang berusaha mencairkan

keadaan dalam sebuah keluarga ketika masalah sedang mendera mereka.

3. Sedangkan yang melatarbelakangi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

Agama Jakarta Utara adalah pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan beserta penjelasannya dan pasal 19 huruf F Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan Juncto pasal 116 huruf F Instruksi Presiden RI

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa

“alasan perceraian antara suami isteri yaitu terjadi perselisihan dan pertengkaran

yang terus menerus.” Sedangkan penyebab pertengkaran tersebut karena

perbedaan karakter suami isteri.

B. SARAN-SARAN

1. Perlunya sosialisasi oleh pihak-pihak terkait kepada masyarakat baik melalui

media cetak atau elektronik berupa ceramah-ceramah keagamaan, Khatib jum’at,

seminar-seminar dan lain sebagainya dengan menekankan bahwa pada dasarnya

tujuan perkawinan bukanlah hanya untuk sekedar pemenuhan nafsu biologis dan

tujuan sesaat semata namun juga bernilai ibadah kepada Allah SWT.

2. Menekankan kepada masyarakat pengetahuan tentang perceraian. Bahwa

perceraian adalah hal yang dibenci Allah SWT dan sebagai solusi terakhir apabila

Page 95: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

85

tidak ada lagi jalan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi dalam sebuah

rumah tangga.

3. Perlunya penekanan pembelajaran tentang akhlak sedini mungkin, baik sejak

duduk bangku Sekolah Dasar (SD), SLTP maupun jenjang SMA. Agar sedini

mungkin muslim Indonesia memahami adanya perbedaan dan persamaan diantara

manusia (khususnya suami-isteri) baik yang berupa sifat maupun prilaku.

Page 96: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

86

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI

Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006.

Abdurrahman, Asjmuni, Qaidah-qaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Agustiani, Hendriati. Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.

Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, Darul Ihya Turosul al-A’roby, t.t Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset,

2006 Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam

di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani,1999. Al-Mufarraj, Sulaiman. Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,

Wasiat, Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003) Al-Kahalani, Sayyid Muhammad Ibn Ismail dan San’ani. Subulus Salam, Surabaya,

Al-Hidayah, Juz 3. Al-Sijistani Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman:

Dar al-‘Alam, 2003.

Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafatqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th, Buku 1, Juz ke-2.

Al-Qaradhawi, DR. Yusuf. Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim—

Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994

Page 97: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

87

Assuyuti, Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi baker. al-Jaami’us Shagir, Darul Qolam, 1996.

Basyir , A. Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999.

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

____________ Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Al-Sijistani, Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman: Dar

al-‘Alam, 2003

Darajat, Zakiyah. Ilmu Fiqih, Jakarta: Depag RI, 1989

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Doi, A. Rahman I. Syariah The Islamic Law; Karakteristik Hukum Islam dan

Perkawinan, penerjemah, Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996.

Djalil, Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim,

2007. __________, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif dan Kompilasi Hukum

Islam, Jakarta: QALBUN SALIM, 2005. Djamil , H. Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Dr. Wahbah. Al-Fiqhu al-Isamiy wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr. Esposito, L. John. Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”(al-

Shirat al-Mustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004. Kauma, Fuad. Membimbing Istri Mendampingi Suami,Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2003. Gozaly, Rahman, Abdul, H. Drs. Fiqih Munakahat, Jakarta: PT. Kencana, 2003.

Gultom, Elfrida R. Hukum Perdata, Jakarta: Literata, 2010.

Page 98: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

88

Hejazziey. Djawahir. Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007

Mahfud, Moh. Spiritualitas Al-Qur’an dalam Membangun Kearifa Umat,Yogyakarta:

UII Press, 1997. Muhdlor, A.Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk,

Bandung: al-Bayan, 1995. Mujib, M.Abdul. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Mulyati, Sri. ed. Relasi Suami Isteri dalam Islam, .Jakarta: PSW UIN Syarif

Hidayatullah, 2004. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,

2002. Nakamura, Hisako. Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di

kalangan Orang Islam Jawa. Penerjemah. H. Zaini Ahmad Noeh, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.

Prakoso, Djoko. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bina

Aksara,1987. Rahman, Bakri A. Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan

dan Hukum Perdata B/W, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981. Rahman , Fazlur. Islam penerjemah Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003. A.

Rasyid, Roihan. Hukum Acara peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990. Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

Jakarta: Kencana, 2010. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Page 99: ABDUL AZIZ-FSH.pdf

89

________________. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989.

Subekti. Kamus Hukum, Jakarta: Paradya Paramita, 1982. Supratiknya ,ed. Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, Yogyakarta:

Kanisius, 1993. Taher, Tarmizi. Menuju Ummatan Wasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia,

Jakarta: PPIM,1998. Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Winardi, J. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, Jakarta: Rajwali Pers,

2008. Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jilid 3: Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo, 1993.

Perundang-undangan dan Internet:

1. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang

No.3 Tahun 2003 tentang perubahan UUPA

3. Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati.

Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB

4. http://www.pa-jakartautara.go.id/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17

maret 2011 pukul 20.53 wib

5. Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan

Pengertian.Html, diakses pada Jum’at 25 April 2011, pukul 16.57 WIB