93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

94
PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK DALAM PERKARA CERAI GUGAT (AnalisaPutusan Pengadilan Agama Depok Perkara No. 1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.) Oleh : Ahmad Afandi NIM : 106044101380 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M

Transcript of 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

Page 1: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK

DALAM PERKARA CERAI GUGAT (AnalisaPutusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.

1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.)

Oleh :

Ahmad Afandi NIM : 106044101380

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M

Page 2: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK

DALAM PERKARA CERAI GUGAT (Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.

1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH :

Ahmad Afandi NIM : 106044101380

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Drs. Heldi, M.Pd.

NIP:197210161998031004 NIP:196304141993031002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1431 H/2010 M

Page 3: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2010

Ahmad Afandi NIM: 106044101380

Page 4: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK DALAM PERKARA CERAI GUGAT (Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk)”, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program Ahwal Syakhshiyah (Peradilan Agama)

Jakarta, 21 Juni 2010 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505198231012

PANITIA UJIAN 1. Ketua

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (…………………….) NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris Kamarusdiana, S.Ag, MH (…………………….) NIP. 197407252001121003

3. Pembimbing Skripsi I Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. (…………………….) NIP. 197210161998031004

4. Pembimbing Skripsi II Drs. Heldi, M.Pd. (…………………….) NIP. 196304141993031002

5. Penguji I Dr. Asmawi, M.Ag. (…………………….) NIP.197210101997032088

6. Penguji II Kamarusdiana, S.Ag, MH (…………………….) NIP. 197407252001121003

Page 5: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

KATA PENGANTAR

ميح الرنمح الر اهللامسب

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang

tidak terhingga banyaknya. Demikian pula tak luput penulis ucapkan shalawat

beriring salam kepada imamnya para nabi dan rasul, imamnya para orang-orang yan

bertakwa yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya

yang setia hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Pertkara Cerai Gugat” sebagai

persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy). Dalam proses

penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah dan manfaat yang penulis petik dan

menjadi kesan tersendiri bagi penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis

mengucapkan terima ksih yang setinggi-tingginya kepada para pihak yang telah

memberikan bantuan, dan bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada

kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang tiada hentinya

semoga amal keduanya mendapat balasan yang setimpal disisi Allah SWT. Amin

Ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada bapak :

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum sekaligus dosen penasehat akademik Jurusan Peradilan

Agama kelas A angkatan 2006.

i

Page 6: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua program studi Ahwal

Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, dan

Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama

Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. dan Bapak Drs. Heldi, M.Pd. sebagai

pembimbing penulis yang sudah berkenan memberikan waktu dan arahannya

dalam rangka menyelesaikan karya ini.

4. Pengadilan Agama Depok, khususnya para staf-staf, penulis ucapkan terima

kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh

data-data dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya

kepada penulis semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Dan

seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan

utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Untuk seluruh teman-teman penulis, yakni teman-teman seperjuangan yang

telah mewarnai sehari-hari penulis dengan hal-hal positif terutama teman-

teman peradian agama angkatan 2006 yang memberikan kesan tersendiri bagi

penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ii

Page 7: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang berjasa

yang telah memberikan bantuannya. Tidak ada balasan dari penulis kecuali do’a

semoga Allah SWT membalas amal budi baik sekalian. Amin

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Jakarta, 21 Juni 2010

Penulis

iii

Page 8: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 9

D. Tinjauan Studi Terdahulu ..................................................... 10

E. Metode Penelitian ................................................................. 11

F. Sistematika Penulisan ........................................................... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK

A. Pengertian Verstek ............................................................... 14

B. Syarat- Syarat Acara Verstek ............................................... 18

C. Penerapan Terhadap Acara Verstek ..................................... 20

D. Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek Serta Proses

Pemeriksaaanya.................................................................... 25

BAB III DIMENSI PERADILAN AGAMA

A. Peradilan Agama Dalam Perspektif Hukum Islam ……….. 33

B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama ........... 43

C. Sumber- Sumber Hukum Peradilan Agama ........................ 50

iv

Page 9: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

v

BAB IV PROSES PENYELESAIAN PERKARA VERSTEK

A. Sistem Pembuktian Perkara Verstek .................................... 65

B. Analisis Pertimbangan Hukum Bagi Hakim Dalam

Memutuskan Perkara ........................................................... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 76

B. Saran-Saran .......................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 78

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 10: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan

menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah1. Selain itu, baik Undang- undang Perkawinan ataupun

Kompilasi Hukum Islam telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan

perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2. Hal tersebut sesuai dengan apa yang

tersirat dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21. Namun, bahtera rumah tangga

sering kali dihadapkan oleh masalah yang kemudian berujung kepada perceraian.

Perceraian yang hadir ditengah-tengah kehidupan memang tanpa

diundang dan tidak diinginkan, sama halnya dengan hidup dan mati, nasib dan

rezeki manusia, tiada orang yang tau, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan

yang menentukan, sama halnya dengan “perceraian” itu sendiri. Namun

demikian, perceraian bukanlah suatu perkara yang mudah, dan ia tidak pernah

dipermudahkan dan digalakkan oleh agama Islam. Lebih- lebih sebuah hadis

menjelaskan bahwa meskipun talak itu halal, tetapi sesungguhnya perbuatan itu

1 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),

h.114. 2 Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Prenada Media, 2004), h.180.

1

Page 11: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

2

dibenci oleh Allah SWT3. Dalam Islam, perceraian hanya dibenarkan, jika kedua

pasangan suami istri telah berusaha bersungguh-sungguh untuk mendapatkan

bantuan dan nasihat yang diperlukan, sehingga tiada lagi ruang bagi kedua belah

pihak mengatasi permasalahan mereka untuk berdamai. Jika semua usaha-usaha

ini telah mereka laksanakan, namun rumah tangga mereka masih tidak dapat

diselamatkan, maka Islam membenarkan pasangan tersebut bercerai.

Perceraian dalam Hukum Perdata ialah penghapusan perkawinan dengan

putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu4. Perceraian

yang sering kali terjadi dalam hubungan perkawinan pasti akan menimbulkan

akibat yang fatal. Hal ini disebabkan karena kedua belah pihak akan dihadapkan

pada maslah baru yang lebih menantang dikemudian hari. Selain kepada yang

melakukannya (baik suami atau istri), juga kepada sang anak, baik dalam hak

dan kewajiban yang ditimbulkannya. Mulai dari hak pemeliharaan anak yang

belum mencapai usia 12 (dua belas) tahun yang mencangkup biaya pendidikan,

pengasuhan dan perwaliannya.

Dalam masyarakat kita, perceraian masih banyak terjadi karena

merupakan jalan yang legal formal untuk mengatasi konflik perkawinan,

dibawah payung Hukum Indonesia dan Hukum Islam yang telah diformalkan

(Kompilasi Hukum Islam) yang diakibatkan oleh perilaku suami atau istri.

Karenanya proses beracara yang mendukungnya mengharuskan jalan

3 Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.10. 4 Subekti, Pokok- Pokok Hukum Perdata, (Bandung: PT Intermasa, 1982), h.42.

Page 12: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

3

penyelesaian yang tuntas, dan diselesaikan dengan tanpa menimbulkan akibat

hukum yang panjang dikemudian hari.

Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki

perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberi jalan

kepada suami untuk menceraikan istrinya denga jalan talak5. Dengan kata lain di

Indonesia, perceraian terjadi diakibatkan atas kemauan suami dengan cara

menjatuhkan Cerai Talak ataupun atas pengajuan istri yang sering dikenal Gugat

Cerai (Cerai Talak diatur dalam Bab IV, Bagian Kedua, Paragraf 2, Pasal 66 dan

Cerai Gugat diatur dalam Paragraf 3, Pasal 73 UU RI No: 3 tahun 2006)6. Sebab

lain yang dapat mengakibatkannya adalah karena putusan pengadilan.

Dengan adanya pengajuan perkara ke Pengadilan yang dilakukan oleh

suami ataupun istri telah menandai bahwa perceraian itu tanpa membedakan

jenis kelamin dan hak hukum warga negara dapat diajukan oleh masing- masing

pihak. Oleh karena itu keduanya juga harus memudahkan proses jalan perkara

dengan cara mematuhi aturan hukum dan hadir di persidangan, sehingga

pencapaian keadilan dapat terpenuhi dan perkara dapat diselesaikan berdasarkan

aturan hukum.

Selain kehadiran kedua belah pihak yang berperkara, hal lain yang sangat

berperan penting dalam pesidangan adalah posisi hakim sebagai pihak yang akan

5 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), ed. 1, cet. Ke1, h.220. 6 Mahkamah Agung RI, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h. 66 dan 69.

Page 13: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

4

memutuskan perkara, juga sebagai pihak yang akan mendamaikan kedua belah

pihak. Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara,

sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntunan ajaran moral Islam7. Posisi hakim

dalam persidangan sangatlah penting sekali, hakim diharuskan mendengarkan

kedua belah pihak (Pasal 121 HIR/124 RBg), ketika kedua belah pihak yang

dipanggil dimuka sidang, mendapat perlakuan sama sehingga keputusan yang

dihasilkan berdasarkan hukum yang tepat.

Masalah perceraian menurut aturan Hukum Indonesia sebagaimana

dalam Pasal 28 UU RI No: 1 tahun 1974, harus dan hanya dapat dilakukan di

depan sidang Pengadilan Agama. Oleh karenanya perceraian mensyaratkan

adanya proses beracara yang dapat tuntas perkaranya. Jadi, selama proses

persidangan baik penggugat dan tergugat harus hadir ke hadapan meja

persidangan dan mengikutinya setelah meperoleh surat pemanggilan dari

Pengadilan. Antara penggugat dan tergugat memiliki kepentingan masing-

masing. Karenanya jika salah seorang penggugat atau tergugat tidak hadir setelah

adanya pemanggilan secara resmi, maka pihak Pengadilan yang menangani

menyelesaikannya. Namun, sering kali ketidak hadiran dilakukan oleh tergugat,

baik pelakunya sendiri atau dengan cara mewakilkan dengan kuasa hukumnya,

baik disengaja atau tidak disengaja, akan menghasilkan keputusan tersendiri oleh

7 M. Yahya Harahap, Kedudukan Dan Kewenangan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun

1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), ed.Ke2, cet. Ke3, h.215.

Page 14: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

5

Pengadilan. Dalam hal ketidak hadiran tergugat inilah putusan yang dikeluarkan

oleh hakim disebut dengan putusan verstek.

Maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk

mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses

pemerikasaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan8.

Ada beberapa syarat tentang putusan verstek, diantaranya :

a. Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut

b. Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain

serta tidak pula ketidak hadirannya itu karena alasan yang sah

c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi mengenai kewenangan

d. Penggugat mohon keputusan

Maka dalam hal ini Peradilan Agama sebagai badan hukum menegakkan

keadilan dituntut agar dapat benar-benar teliti dalam pelaksaaannya. Artinya

hakim itu setelah mengetahui hak-hak seseorang secara objektif kemudian

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Allah atau hukum syara’ (Al-Quran)9.

Memang acara verstek ini sangatlah merugikan kepentingan tergugat,

karena tanpa hadir dan tanpa pembelaan, putusan dijatuhkan. Akan tetapi,

kerugian itu wajar diberikan kepada tergugat, disebabkan sikap dan perbuatan

8 M. Yahya harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), cet. 4, h.383. 9 Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan

Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill, Co., 1985), Cet. I, h.20.

Page 15: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

6

tergugat yang tidak menaati tata tertib beracara di Pengadilan yang tentunya

setelah dipanggil secara patut. Putusan yang dijatuhkan dengan verstek tidak

boleh dijalankan sebelum lewat 14 hari sesudah pemberitahuan, seperti yang

tersebut dalam Pasal 149 R.Bg (Pasal 128 HIR/152 R.Bg)10

Masalah lain verstek dalam perkara perceraian, adalah pada permasalahan

pembuktian. Dimana Hukum Acara itu dapat dibagi dalam Hukum Acara Materil

dan Hukum Acara Formil, peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk

dalam bagian yang pertama yang dapat juga dimasukkan ke dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Materil11. Berdasarkan UU RI No: 3 Tahun

2006 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa “Hukum Acara berlaku

pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Pengadilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus

dalam undang-undang ini”12. Jadi bila ditinjau dari peraturan perundang-

undangan Peradilan Agama, juga Peradilan Agama sebenarnya tidak dapat

mempraktekkan vestek itu, sebab tidak mempunyai verstekprocedure13. Maka

jelaslah ketentuan putusan verstek perkara perceraian di Peradilan Agama

10 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah

Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), ed. Ke1, cet. Ke2, h.21. 11 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, h.176. 12 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-2,

h.54. 13 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya, 1989), h.51.

Page 16: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

7

menginduk ke Hukum Acara Pengadilan Umum, yang mana pembuktian tidak

terdapat ketentuan khusus dalam Undang-undang tersebut.

Menurut abdurrachman, bagi perkara-perkara yang tergugatnya tidak

datang, hakim harus waspada untuk sebelum mengambil keputusan mengenai

pokok perkaranya, meneliti lebih dahulu apakah gugatan tersebut tidak

melanggar hukum atau didukung oleh fakta yang digunakan sebagai dasar

gugatan. Sebagai contoh: A menggugat B supaya keluar dari rumah yang

ditempatinya. Rumah tersebut bukan milik A pribadi, tetapi milik C saudara A.

Gugat hanya atas alasan bahwa A selaku saudara C berkewajiban juga menjaga

kepentingasn C tetapi A tidak menjadi kuasa C. Permohonan gugat yang

demikian itu tidak mempunyai dasar hukum dan harus “tidak dapat diterima”

juga dalam tergugat tidak datang menghadap14. Bertolak belakang dengan apa

yang dikemukakan oleh Soepomo, menurutnya pembuktian tidaklah diperlukan

dalam putusan verstek yakni ketika tergugat tidak datang, dan baru diadakan

sesudah ada perlawanan..

Ditinjau dari pendapat kedua yang secara tidak langsung menjelaskan

tidak perlu dibuktikan, maka dalam hal perkara perceraian bisa saja terjadi

pemufakatan kedua belah pihak dan kebohongan atau sandiwara dalam proses

beracara di Pengadilan. Kemudian apakah praktek di lingkungan Pengadilan

Agama menggunakan pembuktian ataupun tidak dalam putusan verstek

perceraian? Mengingat, jika diajukannya perkara ke Pengadilan, antara

14 Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005), cet. Ke5, h.64.

Page 17: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

8

Penggugat dan Tergugat memilki kepentingan masing-masing. Berangkat dari

permasalahan diatas, penulis pikir hal ini perlu dikaji, mengingat di zaman

sekarang semakin banyak terdapat faktor penyebab terjadinya perceraian dengan

pelbagai macam problematika sosial yang tentunya akan berujung pada

Pengadilan.

Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah dipaparkan di atas,

penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam persoalan ini dengan meneliti

dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Depok dengan judul “PUTUSAN

VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK DALAM PERKARA CERAI

GUGAT” (Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No.

1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.).

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih terarahnya penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi

pembahasan tersebut pada landasan hukum proses pembuktian dalam perkara

yang diputus dengan tidak hadirnya tergugat (verstek), yang dilakukan oleh

Pengadilan Agama Depok dalam perkara cerai gugat.

2. Perumusan Masalah

Secara teoritis, putusan verstek menurut Pasal 125 HIR dan Pasal 149

R.Bg tidak diatur secara tekstual tentang pembuktian, akan tetapi Pengadilan

Agama Depok masih mempergunakan bukti tersebut.

Page 18: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

9

Untuk lebih mempertajam pembahasan skripsi ini, maka dibuat

pertanyaan masalah sebagai berikut:

a. Praktek perundang-undangan yang mana yang mengatur verstek?

b. Apa landasan hukum bagi hakim dalam proses pembuktian dalam perkara

cerai gugat yang diputus verstek?

c. Bagaimana analisa putusan perkara verstek No. 1227 /Pdt.G/ 2008/ PA.

Dpk.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian penulis dalam masalah ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang mengatur verstek

tersebut.

b. Untuk mengetahui landasan hukum yang dipergunakan oleh hakim dalam

proses pembuktian perkara cerai gugat yang diputus verstek.

c. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan verstek tersebut.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan

penulis agar lebih memahami hal-hal seputar perkara verstek dalam

tataran teoritis maupun praktis.

b. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini diharapkan

dapat memberikan suatu konstribusi besar keilmuwan bagi yang berminat

Page 19: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

10

untuk mengkaji aspek-aspek yang berhubungan dengan dinamika

perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama hal seputar verstek dan

proses pembuktian dalam cerai gugat.

D. Tinjauan Studi Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum

menentukan judul proposal, di antaranya adalah sebagai berikut:

NO NAMA/ NIM JUDUL SKRIPSI PEMBAHASAN

1. Eko Muryono Putusan verstek di

Pengadilan Agama

dalam perspektif

Hukum Islam (Studi

Kasus di Pengadilan

Agama Jakarta Pusat).

Dalam skripsi tersebut

lebih fokus membahas

kepada tinjauan Hukum

Islam dan atau Kompilasi

Hukum Islam terhadap

putusan verstek di

Pengadilan Agama.

2. Agus Sudianto/

101044122131

Penyelesaian perkara

perceraian yang

diputus verstek di

Pengadilan Agama

Jakarta Selatan.

Skripsi tersebut hanya

memaparkan secara global

tentang proses serta teknis

persidangan

Page 20: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

11

Setelah melakukan analisa dari kedua skripsi diatas, penulis rasa bahwa

pembahasannya berbeda dengan judul penulis: “Putusan Verstek Pengadilan

Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat” Di sini penulis mencoba

menerangkan secara komprehensif tentang proses pembuktian sebelum terjadi

putusan verstek yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Agama Depok, serta

penulis menjelaskan landasan hukum pembuktian yang dipergunakan dalam

perkara Cerai Gugat. Karena tidak lain putusan verstek Pengadilan Agama akan

memberikan akibat hukum bagi masing- masing pihak.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian.

Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan

empiris, yaitu suatu pendekatan penelitian yang dilakukan untuk

menggambarkan kondisi yang dilihat di lapangan secara apa adanya.

Pendekatan empiris ini diharapkan dapat menggali data dan informasi

semaksimal mungkin tentang perkara verstek dan proses penyelesaiannya

sehingga diharapkan akan menemukan sebuah hasil yang relevan dengan

wacana-wacana yang berkembang selama ini.

2. Sumber Data.

Page 21: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

12

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.15

Dalam hal ini diperoleh dari hasil wawancara penulis kepada Hakim

Pengadilan Agama Depok.

b. Data Sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari bahan pustaka, dengan

cara mencari data-data, keterangan, informasi yang relevan dengan konsep

penelitian serta mengkaji literatur lainnya

3. Instumen Pengumpul Data

a. Wawancara. Dalam penelitian ini, penulis menyusun konsep wawancara,

dengan cara menyusun berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan

‘perkara verstek’ serta landasan hukum dalam proses pembuktiannya.

b. Observasi, dimana penulis mengadakan pengamatan secara langsung di

Pengadilan Agama Depok serta mengumpulkan data-data dan informasi

yang terkait erat dengan penelitian ini.

4. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif

analisis, yaitu suatu tehnik menganalisis data dimana penulis menjabarkan

data-data yang telah didapatkan dari hasil wawancara, kemudian

menganalisis dengan content analysist (analisa isi).

F. Sistematika Penulisan

15 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),

h.36.

Page 22: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

13

Bab pertama ini merupakan Pendahuluan, yang terdiri dari Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Masalah, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka Terdahulu, Sistematika Penulisan

Bab kedua menjelaskan Tinjauan Umum Tentang Putusan Verstek,

diantaranya: Pengertian Verstek, Syarat-Syarat Acara Verstek, Penerapan

Terhadap Acara Verstek, Upaya Hukum Terhadap Verstek Serta Proses

Pemeriksaannya. Bab Kedua

Bab ketiga ini menjelaskan tentang Dimensi Peradilan Agama, yang

berisikan tentang: Peradilan Agama Dalam Perspektif Hukum Islam, Bentuk

Perceraian di Pengadilan Agama, Tata Cara Pemeriksaan Perceraian yang

meliputi Cerai Talak dan Cerai Gugat.

Bab keempat berisikan tentang Proses Penyelesaian Perkara Verstek,

dengan menguraikan tentang Sistem Pembuktian Perkara Verstek, dan Analisa

Pertimbangan Hukum bagi Hakim Dalam Memutuskan Perkara tersebut.

Bab kelima yaitu uraian tentang penutup, yang berisi kesimpulan dan

implikasi dari keseluruhan pembahasan yang telah diteliti. Dan saran yang dapat

mendukung kesempurnaan skripsi ini.

Page 23: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK

A. Pengertian Verstek

Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak

menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut. Pihak

yang tidak hadir mungkin Penggugat dan mungkin juga Tergugat.

Ketidakhadiran salah satu pihak tersebut menimbulkan masalah dalam

pemeriksaan perkara, yaitu perkara itu ditunda atau diteruskan pemeriksaannya

dengan konsekuensi yuridis.1

Pihak penggugat yang tidak hadir, maka perkaranya digugurkan dan

diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih

dahulu membayar biaya perkara yang baru. Namun jikalau pada hari sidang

pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir ataupun tidak menyuruh

wakilnya untuk datang menghadiri persidangan, sedangkan ia telah dipanggil

dengan patut, maka gugatan diputuskan dengan verstek.2

1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2000), h.86. 2 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980),

h.33.

14

Page 24: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

15

Putusan verstek adalah menyatakan bahwa tergugat tidak hadir, meskipun

ia menurut hukum acara harus datang. Verstek ini hanya dapat dinyatakan,

jikalau tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.3

Berdasarkan Pasal 126 HIR, didalam hal kejadian tersebut diatas,

Pengadilan Negeri sebelum menjatuhkan sesuatu putusan (gugurnya gugatan

ataupun verstek), dapat juga memanggil sekali lagi pihak yang tidak datang itu.

Ini bisa saja terjadi jikalau misalnya Hakim memandang perkaranya terlalu

penting buat diputus begitu saja diluar persidangan baik digugurkan maupun

verstek. Ketentuan pasal ini sangat bijak sana terutama bagi pihak yang digugat,

lebih-lebih jika rakyat kecil yang tidak berpengetahuan dan tempat tinggalnya

jauh.4

Mengenai pengertian verstek, sangat erat kaitannya dengan fungsi

beracara di pengadilan, dan hal tersebut tidak terlepas dari penjatuhan putusan

atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang pada hakim

menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Persoalan verstek

tidak terlepas dari ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 148 R.Bg) dan Pasal 125 HIR

(Pasal 149 R.Bg).

1. Pasal 124 HIR:5

3 Ibid, h.33. 4 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.26-27. 5 Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h.29-30.

Page 25: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

16

Apabila pada hari yang telah ditentukan penggugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara tetapi ia berhak untuk mengajukan gugatan sekali lagi, setelah ia membayar lebih dahulu biaya tersebut. Berdasarkan pasal 124 HIR, hakim berwenang menjatuhkan putusan

diluar hadir atau tanpa hadir penggugat dengan syarat:6

a. Bila penggugat tidak hadir pada sidang yang telah ditentukan tanpa alasan

yang sah

b. Maka dalam peristiwa seperti itu, hakim berwenang memutus perkara tanpa

hadirnya penggugat yang disebut putusan verstek, yang memuat diktum:

1) membebaskan tergugat dari perkara tersebut,

2) menghukum penggugat membayar biaya perkara,

c. Terhadap putusan verstek itu, penggugat tidak dapat mengajukan perlawaan

(verzet) maupun upaya banding dan kasasi, sehingga terhadap putusan tertutup

upaya hukum,

d. Upaya yang dapat dilakukan penggugat adalah mengajukan kembali gugatan

itu sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara.

2. Pasal 125 Ayat (1) HIR:7

Apabila pada hari yang telah ditentukan, tegugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia

6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), cet. 4, h.382. 7 K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, h.30.

Page 26: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

17

telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan bahwa gugatan tersebut melawan hak atau tidak beralasan.

Menurut M. Yahya Harahap bahwa berdasarkan pasal tersebut diatas,

kepada hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan diluar atau tanpa hadirnya

tergugat, dengan syarat:8

a. Apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan

tanpa alasan yang sah (default without reason)

b. Dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum:

1) mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau

2) menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak

mempunyai dasar hukum.

Jika gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa

sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan

dinyatakan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika gugatan itu tidak

beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peistiwa-peristiwa yang membenarkan

tuntutan, maka gugatan akan ditolak. Putusan tidak diterima ini bermaksud

menolak gugatan di luar pokok perkara, sedang penolakan merupakan putusan

setelah dipertimbang mengenai pokok perkara. Pada putusan tidak diterima,

dikemudian hari penggugat masih dapat mengajukan lagi tuntutannya, tetapi

didalam praktek sekarang ini tidak jarang putusan tidak dapat diterima

8 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.382.

Page 27: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

18

dimintakan banding, sedang dalam hal penolakan tidak terbuka kesempatan

untuk mengajukan gugatan tersebut untuk kedua kalinya pada hakim yang sama

(ne bis in idem).9

Jadi putusan verstek tidak berarti selalu dikabulkannya gugatan

penggugat. Pada hakeketnya lembaga verstek itu untuk merealisir asas audi et

alteram partem, jadi kepentingan tergugatpun harus diperhatikan, sehingga

seharusnya secara ex officio hakim mempelajari isi gugatan. Tetapi di dalam

praktek sering gugatan pengguat dikabulkan dalam putusan verstek tanpa

mempelajari gugatan lebih dahulu.

Menurut Gemala Dewi bahwa putusan verstek hanya menilai secara

formil gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran dalil-dalil gugat10.

Disamping itu Abdulkadir Muhammad menyimpulkan bahwa dalam putusan

verstek tidak selalu mengalahkan Tergugat, mungkin juga mengalahkan

Penggugat11.

B. Syarat-Syarat Acara Verstek

Syarat acara verstek terhadap penggugat terdapat dalam bagian

pengguguran gugatan berdasarkan Pasal 124 HIR. Sedang yang akan dibicarakan

dalam uraian ini adalah verstek terhadap tergugat.

9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogykarta: Liberty, 1988), h.85. 10 Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2005), h.152. 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.88-89.

Page 28: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

19

Menurut Yahaya Harahap12 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,

secara garis besar syarat sahnya penerapan acara verstek kepada tegugat,

merujuk kepada ketentuan Pasal 125 HIR ayat (1) atau 78 Rv. Bertitik tolak dari

pasal tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut

2. Tidak hadir tanpa alasan yang sah

3. Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi

Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan, bahwa untuk putusan verstek yang

mengabulkan gugatan diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut:13

1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang

telah ditentukan

2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap

3. Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut

4. Petitum tidak melawan hak

5. Petitum beralasan

Syarat-syarat tersebut diatas harus satu persatu diperiksa dengan

seksama, baru apabila benar-benar persyaratan itu kesemuanya terpenuhi,

putusan verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan. Apabila syarat 1 , 2 ,

dan 3 dipenuhi, akan tetapi petitumnya ternyata melawan hak atau tidak

12 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.383. 13 Retno Wulan Susanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori

dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), h.26.

Page 29: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

20

beralasan, maka meskipun mereka diputus dengan verstek, gugat ditolak. Namun

apabila syarat 1 , 2, dan 3 terpenuhi, akan tetapi ternyata ada kesalahan formil

dalam gugatan, misalnya gugatan dianjurkan oleh orang yang tidak berhak,

kuasa yang menandatangani surat gugat teryata tidak memliki surat kuasa khusus

dari pihak penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.14

Erfaniah Zuhriah15 mengemukakan putusan verstek yang diatur dalam

pasal 125 HIR dan 196-197 HIR, pasal 148-153 R.Bg. dan 207-208 R.Bg UU

Nomor 20 Tahun 1947 dan SEMA Nomor 9 Tahun 1946. Putusan verstek dapat

dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarta-syarat, yaitu:

1. Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut

2. Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain

serta tidak tenyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan

yang sah

3. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan

4. Penggugat hadir di persidangan, dan

5. Penggugat mohon keputusan

C. Penerapan Acara Verstek

14 Ibid, h.26. 15 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang: Uin-Malang Press, 2008),

h.275.

Page 30: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

21

Pada satu sisi, undang-undang mendudukan kehadiran tergugat disidang

sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan

sepenuhnya, apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela

kepentingannya. Di sisi lain, undang-undang tidak memaksakan penerapan acara

verstek secara imperatif. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan verstek

terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat

fakultatif. Kepada hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak.

Sifat penerapan yang fakultatif tersebut, diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai

acuan.16

1. Ketidakhadiran Tergugat pada Sidang Pertama, Lansung Memberi Wewenang

Kepada Hakim Menjatuhkan Putusan Verstek

Seperti telah dijelaskan diatas, apabila tergugat telah dipanggil secara

patut namun tidak datang menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah,

hakim langsung dapat menerapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan

putusan verstek. Tindakan itu dapat dilakukan berdasarkan jabatan atau ex

officio, meskipun tidak ada permintaan dari pihak penggugat.17

Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan prinsip fair trial sesuai dengan

audi alteram partem, jika tergugat tidak hadir memenuhi pemeriksaan sidang

pertama maka kurang layak langsung menghukumnya dengan putusan verstek.

Oleh karena itu, hakim yang bijaksana, tidak gegabah secara emosional

16 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 388-389. 17 Ibid, h.389.

Page 31: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

22

langsung menerapkan acara verstek., tetapi memberi kesempatan lagi kepada

tergugat untuk hadir di persidangan dengan jalan mengundurkan

pemeriksaan.18

2. Mengundurkan Sidang dan Memanggil Tergugat Sekali Lagi

Jika hakim tidak langsung menjatuhkan keputusan verstek pada sidang

pertama:19

• Hakim memerintahkan pengunduran sidang;

• Berbarengan dengan itu, memerintahkan juru sita memanggil tergugat

untuk kali yang kedua, supaya datang mengahadiri persidagan pada

tanggal yang ditentukan.

Sistem atau cara yang demikian diatur dalam Pasal 126 HIR.

Ditegaskan, apabila tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang

pertama, hakim tidak mesti langsung menerapkan acara verstek, tetapi ia dapat

memerintahkan, supaya pihak yang tidak hadir (tergugat) dipanggil buat

kedua kalinya, agar menghadap pada persidangan yang akan datang.

Sedangkan kepada pihak yang datang, tidak perlu dipanggil lagi, cukup

diberitahukan kepada persidangan itu mengenai pengunduran sidang

dimaksud.20

18 Ibid, h.389. 19 Ibid, h.389. 20 Ibid, h.389.

Page 32: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

23

Ditinjau dari segi kepatutan dihubungkan dengan tujuan perwujudan

fair trial, sangat beralasan menerapkan ketentuan Pasal 126 HIR. Penerapan

tersebut bertujuan memberi kesadaran dan kesempatan yang wajar kepada

tergugat untuk membela hak dan kepentingnya dalam pemeriksaan

persidangan yang dihadirinya atau kuasanya.21

3. Batas Toleransi Pengunduran

Ditinjau dari Pasal 126 HIR tidak mengatur batas toleransi atau batas

kebolehan pengunduran sidang apabila tergugat tidak menaati panggilan.

Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan Negeri atau hakim dapat

memerintahkan pengunduran, namun tidak menentukan pembatasan berapa

kali pengunduran dapat dilakukan.22

Jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan Pasal 126 HIR tersebut,

hukum memang membenarkan pengunduran yang tidak terbatas. Akan tetapi.

Penerapan seperti itu, dapat dianggap:23

• Bercorak anarkis dan sewenang–wenang terhadap penggugat,

• Juga sangat bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan

biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 14

Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun

21 Ibid, h.389. 22 Ibid, h.390. 23 Ibid, h.390.

Page 33: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

24

1999, dan sekarang pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun

2004.

Bahkan penerapan seperti itu, bertentangan dengan asas impersialitas

dan perlakuan yang sama (equal treatment). Tindakan mengundurkan

persidangan beberapa kali, apalagi tanpa batas terhadap ketidakhadiran

tergugat, dapat ditafsirkan sebagai perlakuan keberpihakan kepada tergugat

pada satu sisi, dan mengabaikan kepentingan penggugat pada sisi lain.24

Memperhatikan uraian diatas, perlu ditegakkan batasan yang bersifat

toleran berdasarkan kelayakan yang beradab dan manusiawi, dalam kerangka

melindungi kepentingan kedua belah pihak yang berperkara. Berdasarkan

kelayakan tersebut, batas toleransi pengunduran yang dapat dibenarkan

hukum dan moral:25

• minimal dua kali;

• maksimal tiga kali.

Sebenarnya memberi toleransi beberapa kali pengunduran, secara

moral dianggap terlampau memanjakan dan mengandung sikap parsialitas

kepada tergugat. Oleh karena itu, batas maksimal pengunduran yang dapat

dibenarkan:26

• hanya sampai tiga kali saja;

24 Ibid, h.390.

25 Ibid, h.390.

26 Ibid, h.390.

Page 34: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

25

• dengan demikian apabila pengunduran dan pemanggilan sudah sampai

tiga kali, tetapi tergugat tidak datang menghadiri sidang tanpa alasan yang

sah, hakim wajib menjatuhkan putusan verstek.

Bertitik tolak dari patokan pembatasan tersebut, sifat fakultatif yang

digariskan Pasal 125 ayat (1) jo. Pasal 126 HIR, diubah menjadi imperatif

sehingga hakim wajib menjatuhkan putusan verstek, apabila pada

pengunduran yang ketiga, tergugat tetap tidak datang mengahadiri sidang

tanpa alasan yang sah. Hakim yang tidak berani menerapkan acara verstek

dalam kasus yang demikian, dianggap tidak peka menjawab panggilan rasa

keadilan.27

D. Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek Serta Proses Pemeriksaannya

1. Verzet

Verzet adalah perlawanan terhadap putusan verstek yang telah

dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama), yang

diajukan oleh Tergugat dengan diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu

yang diajukan ke pengadilan yang memutus itu juga.

Perkara yang diputus dengan verstek, dianggap secara formal dan

material sudah selesai diadili selengkapnya. Jadi tergugat yang kalah, tidak

boleh lagi mengajukan perkara tersebut kembali (seperti dalam perkara yang

diputus dengan digugurkan), kecuali mengajukan perlawanan yang disebut

27 Ibid, h.390.

Page 35: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

26

dengan istilah “verzet”. Sesudah menggunakan upaya hukum verzet, jika

masih perlu, tergugat dapat menggunakan upaya hukum banding.28

Berapa banyak kekeliruan yang terjadi dalam praktek peradilan

terhadap upaya yang dilakukan pencari keadilan terhadap putusan verstek.

Sering terjadi permintaan banding terhadap putusan verstek. Artinya, putusan

verstek langsung diminta banding. Padahal menurut ketentuan Pasal 128 dan

129 HIR atau Pasal 153 R.Bg sudah menandaskan, upaya hukum yang tepat

untuk itu hanya verzet.29

Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan putusan verstek mengandung

arti:

a. Tergugat berusaha melawan putusan verstek/tergugat mengajukan

perlawanan terhadap putusan verstek.

b. Tujuannya, agar terhadap putusan itu di lakukan pemeriksaan ulang secara

menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan

permohonan agar putusan verstek di batalkan serta sekaligus memiliki

agar gugatan penggugat ditolak.

Karena adanya perlawanan ini, kedudukan penggugat menjadi pihak

yang terlawan (geopposeerde), sedangkan pihak tergugat menjadi pelawan

(opposant). Bilamana perlawanan tersebut dapat diterima, berdasarkan Pasal

28 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h.102.

29 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ( Sinar Grafika,

2005), h.95-96.

Page 36: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

27

129 Ayat (4) HIR/ 153 Ayat 5 R.Bg maka pelaksanaan putusan verstek

menjadi terhenti, kecuali ada perintah untuk tetap melaksanakan putusan

verstek meskipun ada pelawanan. Dalam proses pemeriksaaan perlawanan

semacam ini, pihak terlawan/penggugat asal dibebani pembuktian lebih dulu.

Dengan demikian, melalui tindakan perlawanan ini tidak menutup

kemungkinan pihak pelawan/tergugat asal yang semula dikalahkan dalam

putusan verstek, ternyata kemudian menjadi pemenang dalam putusan

perlawanan.30

2. Proses Pemeriksaan Perlawanan

Mengenai proses pemeriksaan perlawanan atau verzet, perlu dijelaskan

beberapa landasan hukum yang harus ditegakkan.

a. Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan

putusan verstek

Kewenangan menerima dan memeriksa perlawanan, jatuh menjadi

yuridiksi Pengadilan Agama semula yang menjatuhkan putusan verstek.

Dengan demikian, agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil:31

• Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya

• Disampaikan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan

verstek sesuai dengan batas tenggang waktu yang ditentukan pasal 129

ayat (2) HIR

30 Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, (Malang: Bayumedia, 2007), Cet. 1., h.137. 31 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.407.

Page 37: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

28

• Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak

lain, selain daripada penggugat semula.

Penegasan mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Agama

yang semula menjatuhkan putusan verstek , digariskan dalam pasal 129

ayat (3) HIR.

b. Perlawanan terhadap verstek, bukan perkara baru

Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan

gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara

baru, akan tetapi tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada

ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang

dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Sehubungan dengan itu, putusan MA

No. 307K/Sip/1975 memperingatkan, bahwa verzet terhadap verstek tidak

boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Sedemikian rupa

eratnya kaitan antara perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan

komposisi perlawanan (opposant) sama persis dengan tergugat asal dan

terlawan (geopposeorde) adalah penggugat asal. Demikian penegasan

putusan MA 494K/Pdt/1983 yang mengatakan dalam proses verzet atau

verstek, pelawannya berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai

penggugat.32

c. Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kembali

32 Ibid, h.407-408.

Page 38: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

29

Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek, dengan

sendirinya menurut hukum:33

• Putusan verstek menjadi mentah kembali

• Eksistensinya dianggap tidak pernah ada

• Oleh karena itu, jika terhadapnya diajukan perlawanan, putusan

verstek tidak dapat dieksekusi, meskipun putusan itu mencamtumkan

amar dapat dilaksanakan lebih dahulu

Berarti eksistensi putusan verset dapat dikonstruksi sebagai berikut;

• Selama tenggang waktu verzet masih belum terlampaui, eksistensi

putusan verstek bersifat relatif atau semu. Secara formil putusan

verstek memang ada, tapi secara materiil, belum memiliki kekuatan

eksekutorial selama belum dilampaui tenggang waktu mengajukan

verzet belum dilampaui.

• Eksistensinya lenyap atau mentah, apabila dalam tenggang waktu yang

dibenarkan undang-undang diajukan verzet.

Dalam hal terhadap putusan verstek diajukan verzet dapat timbul

akibat sebagai berikut:34

1) Eksistensinya akan lenyap secara mutlak, apabila perlawanan

dikabulkan. Jika perlawanan dikabulkan dengan sendirinya putusan

verstek dibacakan sehingga putusan itu mutlak lenyap. Yang muncul

33 Ibid, h.408. 34 Ibid, h.408.

Page 39: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

30

menjadi dasar penyelesaian perkara adalah putusan perlawanan atau

putusan verzet.

2) Eksistensi putusan verstek mutlak menjadi dasar penyelesaian perkara,

apabila perlawanan yang diajukan tergugat ditolak. Apabila

Pengadilan Agama menolak perlawanan, putusan verstek tetap

dipertahankan sehingga eksistensinya absolut menjadi landasan

penyelesaian perkara.

3) Eksistensinya absolut apabila terhadapnya tidak diajukan verzet. Kalau

terhadapnya tidak diajukan perlawanan atau tenggang waktu

mengajukan perlawanan telah dilampaui, putusan verstek demi hukum

menjadi absolut, sehingga

• Terhadapnya tertutup segala upaya hukum, dan

• Pada putusan melekat kekuatan eksekutorial.

d. Pemeriksaan perlawanan (verzet)

1) Pemeriksaan Berdasarkan Gugatan Semula

Berdasarkan putusan MA No. 938K/Pdt/1986. Dalam putusan

tersebut terdapat pertimbangan yang disadur sebagai berikut:35

• Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada

isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan/penggugat

asal

35 Ibid, h.409.

Page 40: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

31

• Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran

pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan tidak relevan

• Oleh karena itu, putusan verzet yang hanya mempertimbangkan

masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat atau memenuhi

panggilan sidang adalah keliru

• Sehubungan dengan itu, sekiranya pelawan hanya mengajukan

alasan verzet tentang masalah keabsahan atas ketidakhadiran

tergugat memenuhi panggilan, Pengadilan Agama yang

memeriksa verzet harus memeriksa kembali gugatan semula,

karena dengan adanya verzet, putusan verstek mentah kembali,

dan perkara harus diperiksa sejak semula.

2) Proses Pemeriksaan dengan Acara Biasa

Ketentuan itu diatur dalam pasal 129 ayat (3) HIR yang

berbunyi:36

Surat perlawanan itu dimaksud dan diperiksa dengan cara yang

biasa, yang diatur untuk perkara perdata.

Dari pasal diatas posisi para pihak tidak berubah dari status

semula. Pelawan tetap sebagai tergugat dan terlawan sebagai

penggugat. Oleh karena itu, sistem beban wajib bukti yang digariskan

Pasal 163, 186 KUHPerdata tetap ditegakkan sebagaimana mestinya.

Bertitik tolak dari ketentuan pasal dimaksud, pada prinsipnya beban

36 Ibid, h.409.

Page 41: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

32

wajib untuk membuktikan dalil gugatan dibebankan kepada terlawan

dalam kedudukan sebagai penggugat. Sebaliknya kepada pelawan

dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam

kedudukannya sebagai tergugat. Sebaliknya kepada pelawan dibebani

wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam kedudukan

sebagai tergugat. Tidak boleh dibalik dengan cara meletakkan terlebih

dahulu beban wajib bukti kepada pelawan. Penerapan yang demikian

melanggar tata tertib beracara yang digariskan sistem hukum

pembuktian.37

3) Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan

Berdasarkan Pasal 129 (3) HIR perlawanan diajukan dan

diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk perkara perdata.

Dengan begitu, kedudukan pelawan sama dengan tergugat. Berarti

surat perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada Pengadilan

Agama, pada hakikatnya sama dengan surat jawaban yang digariskan

Pasal 121 (2) HIR, 142 HIR Rv. Kualitas surat perlawanan sebagai

jawaban dalam proses verstek dianggap sebagai jawaban pada sidang

pertama.38

37 Ibid, h.409-410. 38 Ibid, h.410.

Page 42: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

BAB III

DIMENSI PERADILAN AGAMA

A. PERADILAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

1. Pengertian Peradilan

Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per”

dan dengan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha,

yang berarti memutuskan, melaksanakan, menyelesaikan. Dan adapula yang

menyatakan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan

dengan pengadilan.1

Dalam literatur-literatur fikih Islam, peradilan disebut qadha, artinya

menyelesaikan, seperti Firman Allah SWT:

.

Artinya: “Manakalah Zaid telah menyelesaikan keperluan dari zainab”. (Q.S.

Al-Ahzab: 37).

Ada juga yang berarti menunaikan, seperti Firman Allah SWT:

.

1 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.1.

33

Page 43: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

34

Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka berteberanlah kepelosok

bumi”. (Q.S. Al-Jumu’ah: 10).

Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah:

1. Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan)

2. Perkataan yang harus dituruti, yang diucapkan oleh seseorang yang

mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar

harus mengikutinya.

Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas

peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan

menetapkan sesuatu hukum, karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal

yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan

hukum umum, di mana hukum Islam itu (syariat), telah ada sebelum manusia

ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah

ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.2

Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia

merupakan satu kebutuhan hidup bermasyarakat. Pemerintahan tidak dapat

berdiri tanpa adanya peradilan, karena peradilan itu adalah untuk

menyelesaikan segala sengketa di antara para penduduk. 3

2 Ibid, h.2. 3 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra, 2001), h.3.

Page 44: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

35

Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa,

baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum.

Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar,

menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang

yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum.

Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan.4

2. Unsur- Unsur Peradilan

a. Hakim (Qadhi)

Qhadi adalah orang yang diangkat oleh Kepala Negara untuk

menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan

dalam bidang perdata, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat

menyelesaikan tugas peradilan. Sudah jelas bahwa Nabi sendiri menunjuk

beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.5

b. Hukum

Hukum yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan

suatu perkara. Hukum ini adakala dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim

berkata “Saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang”.

Putusan tersebut dinamakan qadha ilzam atau qadha isthiqaq.

4 Ibid, h.3. 5 Ibid, h.39.

Page 45: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

36

Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa qadha ilzam ini ialah

menetapkan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan, seperti berhaknya

sesorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha

isthiqaq, ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari

ijtihad, seperti halnya sesorang tetangga mengajukan hak syuf’ah. 6

c. Mahkum Bihi

Di dalam qadha ilzam dan qadha isthiqaq ialah sesuatu yang

diharuskan oleh qadhi (hakim) supaya si tergugat memenuhinya. Di dalam

qadha ‘ut-tarki, ialah menolak gugatan. Ringkasnya, mahkum bihi adalah

suatu haq. Maka haq ini adakala dipandang hak yang murni bagi Allah

atau hamba, adakala hak yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah

satunya lebih berat. Diharuskan hak yang merupakan mahkum bihi,

dikenal oleh kedua belah pihak.7

d. Mahkum ‘Alaihi (Si Terhukum)

Mahkum ‘Alaihi adalah orang yang dijatuhkan hukum atasnya.

Dalam hak-hak syara’, adalah orang yang diminta untuk memenuhi

sesuatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang

6 Ibid, h.39-40.

7 Ibid, h.40.

Page 46: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

37

tergugat ataupun bukan. Mahkum ‘alaihi ini boleh seorang saja dan boleh

juga banyak.8

e. Mahkum Lahu (Si Pemegang Perkara)

Mahkum Lahu adalah orang yang menggugat sesuatu hak. Baik

hak itu hak yang murni baginya atau sesuatu yang terdapat padanya dua

hak, akan tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini, haruslah ia memajukan

gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri

ataupun dengan perantaraan wakilnya. Dan di dalam memutuskan perkara,

boleh dia sendiri yang menghadiri sidang pengadilan ataupun wakilnya.9

f. Sumber Hukum (Putusan)

Dari keterangan-keterangan ini nyatalah, bahwa memutuskan

perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang

terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat

diterima. Oleh karena itu pula sesuatu yang bukan merupakan suatu

peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk kedalam bidang

ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.10

3. Macam- Macam Dakwaan (Gugatan) Hukum Acara Peradilan Islam

a. Dalil Pokok Gugatan

8 Ibid, h.40. 9 Ibid, h.41. 10 Ibid, h.41.

Page 47: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

38

Dalil pokok bagi masalah dakwaan, sebagaimana firman Allah

SWT:

Artinya: “Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya,

agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba

sebagian dari mereka menolak untuk datang. (Q.S. An-Nur:

48).

b. Pengertian Dakwaan

Dakwaan dalam pengertian bahasa ialah thalab (permintaan) dan

tamanna (pengharapan). Dalam pengertian istilah, gugatan ialah

pengaduan yang dapat diterima hakim, yang dimaksudkan untuk menuntut

suatu hak pada pihak yang lain. Oleh karenanya syahadat (kesaksian dan

iqrar (pengakuan) tidak dimasukkan ke dalam katagori dakwa. Oleh sebab

itu masuk ke dalam pengertian dakwa, dakwa da’it ta’arudhi (mendakwa,

mengapa orang menggugatnya), dan da’wa tath’in niza’ (mendakwa,

mengapa orang yang tidak jadi meneruskan dakwaanya).

Mengingat hal ini, maka da’wa daf’it ta’arudhi harus diterima oleh

hakim, sedang da’wa qath’in niza’i tidak dapat diterima oleh hakim,

Page 48: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

39

karena si penggugat sebagaimana mempunyai hak untuk menggugat, dan

mempunyai juga hak untuk mencabut gugatannya. Hakim tidak dapat

memaksa si penggugat harus meneruskan gugatannya.11

c. Pengertian Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi

1) Mudda’i (penggugat), ialah orang yang menghendaki (menuntut)

dengan pengaduannya supaya diambil sesuatu dari tangan selanjutnya,

atau menetapkan suatu hak dalam tanggung jawab orang lain. Ada

yang mengatakan bahwa mudda’i, ialah orang yang menuntut atas

selainnya untuk dirinya, baik yang dituntut itu benda, ataupun hutang,

atau corak yang lain.

2) Mudda’a ‘alaihi (tergugat) ialah orang yang disandarkan kepadanya

suatu tuntutan hak yang dihadapkan atasnya. Mudda’a ‘alaihi

(tergugat) adalah pihak yang harus menjawab gugatan. Hakim dapat

memaksanya untuk menjawab atau mengemukakan keterangan yang

diperlukan terhadap gugatan yang dihadapkan kepada dirinya oleh si

penggugat.12

d. Rukun Dakwaan

11 Ibid, h.105. 12 Ibid, h.106.

Page 49: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

40

Rukun (pokok dari pengaduan atau gugatan), ialah menyandarkan

sesautu hak kepada diri si penggugat, seperti dia mengatakan “Saya

mempunyai suatu hak yang sedang berada di tangan si tergugat”, atau

mengatakan bahwa yang diwakilinya mempunyai sesuatu di tangan si

tergugat, apabila penggugat itu bertindak sebagai wakil.

Jelasnya dakwaan ialah ucapan si penggugat atau wakilnya (orang

yang berakal dan mumayyiz), yaitu si Fulan berhutang kepadaku sejumlah

uang, atau hakku ada padanya, atau aku telah menyelesaikan haknya, atau

dia telah membebaskan aku dari haknya. Apabila ini semua telah

diucapkan, maka sempurnalah rukun dakwa.13

e. Syarat- Syarat Sah Dakwaan

1) Pendakwa (penggugat) itu orang yang berakal sehat, demikian juga

mudda’a ‘alahi (tergugat). Oleh karenanya, tidaklah diterima gugatan

yang dihadapkan kepada orang-orang yang tidak berakal, karena dia

tidak dapat memberi jawaban (didengar jawabnya) atas gugatan yang

dihadapkan kepadanya.

13 Ibid, h.107.

Page 50: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

41

2) Mudda’a (mudda’a bihi, yakni objek perkara), harus diketahui karena

sulit menyelesaikan sesuatu perkara yang tidak dikenal oleh pihak

yang bersangkutan.14

f. Hukum Dakwaan dan Hal-Hal Yang Berpautan Dengan Dakwaan.

Mudda’a ‘alaihi, wajib menjawab gugatan yang dihadapkan

kepadanya karena menghilangkan persengketaan dan pertengkeran adalah

suatu hal yang wajib. Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa ada jawaban

dari mudda’a ‘alaihi. Jelasnya, apabila gugatan telah dipandang hakim

memenuhi prosedur yang benar, barulah hakim menghadapkan pertanyaan

kepada pihak yang tergugat dan menanyakan pendapatnya. Apakah dia

membenarkan gugatan itu, ataukah tidak.

Apabila mudda’a ‘alaihi dinyatakan harus menjawab, maka dia

dapat membenarkan gugatan, dapat menolak dan dapat berdiam diri. Jika

dia menolak (membantah) maka jika mudda’i mempunyai bayyinah

(bukti), hendaklah dia mengemukakan bayyinahnya (membuktikan

kebenaran dakwaannya).15

g. Hujjah-Hujjah Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi

Bukti dimintakan kepada mudda’i, sedang sumpah pada umumnya

dalam banyak hal dikenakan atas mudda’a ‘ alaihi. Hal ini adalah logis

14 Ibid, h.108. 15 Ibid, h.111.

Page 51: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

42

(mantiqi), karena mudda’i mendakwa sesuatu yang tersembunyi yang

berlawanan dengan kenyataan, yang berada di tangan yang lain. untuk

membuktikan kebenarannya, perlulah ia mengemukakan bukti. Sumpah,

walaupun dikuatkan dengan asma Allah SWT namun tidak dapat dijadikan

alasan untuk membenarkan mudda’a ‘alaihi, tetapi dapat dijadikan hujjah

untuknya karena benda yang diperkarakan itu berada di tangan mudda’i.16

h. Pertentangan Dua Dakwa (Gugatan) Tentang Hak Milik

Pertentangan dua dakwa tentang hak milik, ialah pertentangan dua

bukti. Jalan yang harus ditempuh bila terjadi yang demikian, ialah mencari

dalil yang rajih (kuat) dari antara dua dalil dan menggunakannya, jika

mungkin dilakukan. Jika tidak dapat ditarjihkan (dikuatkan salah satunya),

kita ambil kedua-duanya seberapa dapat untuk membenarkan kedua-dua

dakwaan itu.17

i. Pertentangan Gugatan Tentang Jumlah Milik

Apabila pihak penjual berbeda pendapat dengan pihak pembeli,

tentang jumlah barang yang diperjual belikan, maka mungkin mereka

berbeda pendapat tentang harga dan mungkin tentang benda yang

diperjual belikan.

16 Ibid, h.112. 17 Ibid, h.117.

Page 52: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

43

Kalau tentang harga, maka dapat tentang jumlah harga, dan dapat

tentang jenisnya, ataupun tentang waktunya. Tapi jika tentang jumlah

harga, seperti si penjual berkata “Saya jual ini dengan harga Rp. 2000,-

sedang pihak pembeli mengatakan Rp. 1000,- maka jika barang yang

diperselisihkan tentang harganya itu masih ada, hendaklah keduanya

bersumpah, lalu barang itu dikembalikan kepada penjual. Dalam keadaan

ini kedua-duanya menjadi mudda’i dan mudda’a ‘alaihi. Kalau sudah

diserahkan (diterimakan), maka pernyataan pembeli diterima dengan

sumpahnya.18

B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang

berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan

juga dengan “wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.

Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara

Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan

“Kekuasaan Absolut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat

mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang mejadi kekuasaan

Pengadilan.19

18 Ibid, h.117-118. 19 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2003), Ed. 2., Cet. 10., h.25.

Page 53: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

44

1. Kompetensi Relatif

Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu

jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan

yang sama jenis dan sama tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri

Bogor dengan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim

dan Pengadilan Agama Baturaja.20

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang

perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan

Agama berbunyi:

“Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah

hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota”.

Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:21

“Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama berada di ibukota

kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau

kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian”.

Dengan berdasar atas pasal ini, tiap pengadilan agama mempunyai

wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu

kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih

atau mungkin kurang, seperti dikabupaten Gresik dan kabupaten Sumenep

20 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, h.138. 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ( Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h.28.

Page 54: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

45

kepulauan terdapat dua buah Pengadilan Agama, karena kondisi

tarnsportasi.22

Guna mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah

mengajukan gugatan atau permohonan yakni ke Pengadilan Agama mana

orang akan mengajukan perkaranya dan juga berhubungan dengan hak eksepsi

tergugat. Menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum (tentang

tempat mengajukan gugatan), apabila tergugat mengajukan gugatannya ke

Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-

masing boleh memeriksa perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan)

dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat) memilih

untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka

sepakati.23

Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain.

Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut

di samping boleh pula menolaknya. Namun dalam praktik, Pengadilan Negeri

sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam

itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya

gugatan atau pemohonan itu diajukan.24

22 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.196. 23 HIR Pasal 118 Ayat 4, yang berbunyi: “Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu

tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu”.

24 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.138-139.

Page 55: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

46

Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk

Peradilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-Undang No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Di masa lalu sebelum Peradilan Agama

mempunyai kekuasaan absolut yang seragam di seluruh Indonesia (sebelum

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989) Peradilan Agama tidak dapat menerima

ketentuan umum Peradilan Umum di atas, sebab suatu jenis perkara misalnya

menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Sumatera belum tentu

menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Jawa, seperti mengenai

kewarisan.25

2. Kompetensi Absolut

Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan yang berhubungan

dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, dalam

perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan

Pengadilan lainnya. Misalnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara

perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain

Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama lah yang

berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh

langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah

Agung.26

25 Ibid, h.139. 26 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h.27.

Page 56: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

47

Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan

mutlak (kompetensi absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perdata

tertentu seperti tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989

jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan berdasarkan atas

asas personalitas keislaman yang telah diperluas.27

Dalam bidang-bidang yang menyangkut hukum keluarga, menurut

Prof. Bustanul Arifin,28 Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai peradilan

keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam, seperti terdapat di beberapa

negara lain (family court). Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan

yang menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga, tentulah

jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala

syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera, dan sekretaris harus

disesuaikan dengan tugas-tugas yang diemban Peradilan Agama.

Selanjutnya ditegaskan bahwa Peradilan Agama sebagai peradilan

keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya,

hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam

menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan kepadanya. Namun Peradilan

Agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan

rohani dan sosial bagi para keluarga yang menjadi pencari keadilan.

27 Ibid, h.27. 28 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan

Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.94.

Page 57: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

48

Disamping itu, Peradilan Agama harus pula diarahkan sebagai lembaga

preventif bagi kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang

akan menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian pula pada saat

pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga suasananya benar-

benar manusiawi dan kekeluargaan29.

Kompetensi absolut Peradilan Agama disebut dalam Pasal 49 dan 50

UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen

dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:30

Pasal 49

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. kewarisan;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infak;

29 Sulaikin Lubis, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008),

h.111. 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, h.20.

Page 58: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

49

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syariah

Sesuai dengan kompetensi absolut Pengadilan Agama yaitu perkara

bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Sedekah

dan Ekonomi Syariah.

Dalam penjelasan Pasal I angka 37, mengenai perubahan bunyi Pasal

49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, pada poin (i) disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah meliputi:31

a. Bank syariah;

b. Asuransi syariah;

c. Reasuransi syariah;

d. Reksa dana syariah;

e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;

f. Sekuritas syariah;

g. Pembiayaan syariah;

h. Pegadaian syariah;

i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah;

j. Bisnis syariah; dan

k. Lembaga keuangan mikro syariah.

31 Sulaikin Lubis, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h.118.

Page 59: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

50

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat ada 11 macam perkara yang

termasuk bidang ekonomi syariah ini. Dalam hal ini yang menarik adalah

perluasan terhadap pengertian “orang-orang” yang meliputi juga lembaga

ekonomi yang berupa bank ataupun perusahaan asuransi yang berbentuk

badan hukum. Pada bagian awal dari penjelasan Pasal 49 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen

dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, disebutkan

bahwa lembaga keuangan bank sebagai badan hukum disini dimasukkan

sebagai para pihak yang tunduk pada ketentuan hukum Islam.32

Ekonomi syariah cakupannya sangat luas, tercakup dalam lembaga

keuangan; baik lembaga keuangan bank maupun non bank yang mendasarkan

pengelolaan operasionalnya menggunakan prinsip syariah. Prinsip syariah

dalam hukum perbankan diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan

hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana,

pembiayaan kegiatan usaha, dan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai

dengan syariah.33

C. Sumber Hukum Peradilan Agama

Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di

Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus

32 Ibid, h.118. 33 Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

(Jakarta:Kencana, 2008), Cet. Ke- 1, h.347.

Page 60: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

51

dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, Pertama, Sumber

Hukum Materiil; Kedua, Sumber Hukum Formil yang sering disebut Hukum

Acara.34

1. Hukum Materiil Peradilan Agama35

Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian

sering didefinisikan sebagai fikih, yang sudah barang tentu rentan terhadap

perbedaan. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang telah lama dijajah oleh

bangsa asing yang bukan hanya berpengaruh terhadap politik pemerintahan

dan ekonomi, tetapi juga terhadap agama. Pengaruh terhadap agama dimulai

dengan pemetaan daerah hukum adat oleh Van Vollenhoven sampai dengan

teori Receptie Snouck Hurgronje. Sehingga dalam perjalanan sejarah,

Peradilan Agama mengalami pasang surut, terutama eksistensinya telah

pernah hampir musnah sama sekali. Hal ini bisa dilihat pada zaman VOC, di

mana hukum kekeluargaan diakui dan terkumpul dalam peraturan yang

disebut compendium frijer. Kemudian dengan lahirnya Stbl. 1882 No. 152

untuk Jawa dan Madura dan Stbl. 1937 No. 116 dan 610 mengenai Kerapatan

Qadhi di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur yang mengeluarkan hukum

waris kewenangan Peradilan Agama di wilayah Jawa dan Madura. Namun

demikian, kepentingan hukum merupakan kepentingan masyarakat itu sendiri.

34 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.147. 35 Abdul Basir, Mimbar Hukum (Jurnal Dua Bulanan) Aktualitas Hukum Islam, No. 64 Tahun

XV 2004, Mei-Juni, h.107-109.

Page 61: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

52

Apalagi bagi kaum muslimin yang taat sebagaimana ketentuan Al-Qur’an

surah al-Baqarah: 108 yang memerintahkan agar memeluk Islam secara kallaf,

utuh, dan menyeluruh. Maka melaksanakan hukum Islam menjadi sebagian

dari pengalaman agamanya. Oleh karea itu, de facto hukum Islam masih

menjadi pilihan hukum umat Islam di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan

masalah kewarisan dengan mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.

Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan

hukum tertulis (Sistem Hukum Positif) dan masih berserakan dalam berbagai

kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda,

sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang

sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya

kesamaan di sisi lain, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946

dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum

perkawinan, talak, dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti

dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958

yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957

tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.

Dalam surat biro peradilan tersebut di atas dinyatakan bahwa, untuk

mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutuskan

perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah dianjurkan

agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab ini, yakni: (1) Al-Bajuri; (2)

Fatkhul Mu’in; (3) Syarqawi ‘Alat Tahrir’; (4) Qalyubi Wa Umairah/Al-

Page 62: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

53

Mahalli; (5) Fatkhul Wahhab; (6) Tuhfah; (7) Targhib Al-Mustaq; (8)

Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya; (9) Qawanin Syari’ah Li Sayyid

Shadaqah; (10) Syamsuri li Fara’id; (11) Bughyat Al-Musytarsyidin; (12) Al-

Fqih Ala Madzahib Al-Arba’ah; dan (13) Muqhni Al-Muhtaj.

Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung di dalamnya

belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang

yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum

positif adalah hukum yang tertulis, hukum yang menjadi pedoman Peradilan

Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam

masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27

ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami,

dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Untuk menjembatani dua aliran tentang hukum positif, maka sejak

tanggal 02 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun kelahirannya diwarnai dan

dirundung berbagai masalah. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan

Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, merupakan

titik tolak awal pergeseran bagian hukum Islam menjadi hukum tertulis.

Namun bagian lain dari hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf masih di

luar hukum tertulis, sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh

Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama, karena pengambilan dasar

Page 63: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

54

hukumnya dari kitab fikih yang berbeda, meskipun kitab-kitab rujukan telah

dibingkai dalam 13 kitab fikih sebagaimana tersebut di atas.

Walaupun Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya menagtur

Peradilan Agama disahkan sejak tanggal 17 Desember 1970, namun secara riil

Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan tersebut baru berjalan setelah

adanya Skb. Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan 04

Tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan hukum materiilnya masih tetap

menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU

No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang

Perwakafan Tanah Milik dan sebagian tercantum dalam Undang-Undang No.

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pada sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam

dalam Peraturan Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb

membuat dan memperlakukan hukum Islam sebagai undang-undang yang

terkenal dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-

Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.

Atas dasar itu semua dan untuk mewujudkan kepastian hukum

sekaligus mewujudkan hukum Islam setidak-tidaknya di bidang hukum

perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia

Page 64: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

55

merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan

Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret

1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam.

Dengan SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para

ulama, melakukan lokakarya dan hasil pengkajian, penelaahan kitab kemudian

ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya, yakni

Maroko, Turki, dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi

naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama kepada presiden tanggal 14

Maret 1988 dengan Surat No. MA/123/1988 tentang Pembentukan Kompilasi

Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk

menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.

Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan

proses yang terlalu panjang, sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat

mendesak. Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan

menggunakan instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran

Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut

Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 Tahun 1991

tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen

Agama dan instasi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaigus

menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan,

Page 65: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

56

Kewarisan, dan Perwakafan sebagai pedoman masalah-masalah hukum Islam

yang terjadi..

Demi untuk efektif dan tegaknya hukum Islam perlu segera Kompilasi

Hukum Islam yang berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden ditingkatkan

menjadi undang-undang sebagaimana hukum perdata lainnya. Hal ini sesuai

dengan napas dan semangat Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang

menjamin kemerdekaan umat beragama untuk melaksanakan syariat

agamanya.

2. Hukum Formil Peradilan Agama36

Meskipun lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah

dibentuk oleh Pemerintah Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl. 1937

NO. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639,

kemudian setelah kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama

di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957,

tetapi dalam peraturan tersebut tidak disinggug sama sekali tentang hukum

acara yang harus digunakan oleh hakim dalam memeriksa, dan memutus

perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak ada ketentuan resmi

tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim

dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama

mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam

36 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:

Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 4-8.

Page 66: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

57

penerapannya berbeda antara satu Pengadilan Agama dengan pengadilan

Agama lain.

Ketentuan mengenai hukum acara di Pengadilan Agama tercantum

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9

Tahun 1975 tentag Peraturan Pelaksanaannya, ini pun baru sebagian kecil saja

yang diatur dalam kedua peraturan ini. Ketentuan tentang hukum acara di

lingkungan Peradilan Agama baru disebut secara tegas sejak diterbitkan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ini selain diatur tentang

susunan dan kekuasaan peradilan Agama, di dalamnya juga diatur tentang

hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Hukum acara

yang dimaksud diletakkan pada ketentuan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal.

Tidak semua ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara

lengkap dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

hal ini dapat dilihat dalam Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang

berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum

Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

Page 67: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

58

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada

tanggal 20 Maret 2006 telah diamandemen pasal-pasalnya dengan UU NO. 3

Tahun 2006.37

Oleh karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan

Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa, Madura.

Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa, Madura,

maka kedua aturan hukum acara ini diberlakukan juga di lingkungan

Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut.

Misalnya, pembebanan biaya perkara yang harus dibayar oleh

pemohon/penggugat pembuktian dengan alasan syikak, gugatan perceraian

yang didasarkan atas alasan zina (li’an), dan beberapa ketentuan lain yang

diatur secara khusus.

Dengan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum acara

yang berlaku di lingkungan Peadilan Agama adalah sama dengan yang

berlaku pada lingkungan Peradilam Umum, kecuali hal-hal yang telah

disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama tersebut. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di

lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk Peradilan Agama

adalah sebagai berikut.

a. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)

37 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 152.

Page 68: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

59

Hukum acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk

golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan

Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52

dan Stbl. 1849 No. 63. berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848.

b. Inlandsh Reglement (IR)

Ketentuan hukum acara lain diperuntukan untuk golongan

Bumiputra dan Timur Asig yang berada di Jawa dan Madura. Setelah

beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini

diubah namanya menjadi Het Herzience Indonesia Reglement (HIR) atau

disebut juga dengan Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang

diberlakukan dengan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.

c. Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)

Ketentuan hukum acara ini diperuntukan untuk golongan

Bumiputra dan Timur Asing yang berada diluar Jawa dan Madura yang

berperkara di muka Landraad. R.Bg ditetapkan berdasarkan Ordanasi

tanggal 11 Mei 1927 dan yang berlaku berdasarkan Stbl. 1927 tanggal 01

Juli 1927, dikenalkan juga dengan “Reglement Daerah Seberang”.

d. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)

BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-

undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata

khususnya buku IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865

s/d 1993.

Page 69: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

60

e. Wetboek van Koophandel (WvK)

WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab

Undang-undang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara

Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam praktek peradilan. WvK

diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23, Khususnya dalam Pasal 7, 8, 9,

22, 23, 225, 258 ,272, 273, 274, dan 275. Dalam kaitan dengan Hukum

Dagang ini, terdapat juga Hukum Acara Perdata yang diatur dalam

Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stbl.

1906 No. 348.

f. Peraturan Perundang-undangan:

1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan diubah menjadi

Undang-Undang No. 35 tahun 1999 terakhir keduannya dinyatakan

tidak berlaku lagi oleh UU NO. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat

beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam Praktek

Peradilan di Indonesia;

2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI

yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal

yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di

Mahkamah Agung RI;

Page 70: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

61

3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9

Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Perkawinan tersebut;

4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam

Undang-Undang ini, khususnya Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum

acara yang berlaku di lngkungan Peradilan Agama adalah sama

dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum,

kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang

tersebut;

5. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi

Hukum Islam yang terdiri 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan,

Kewarisan, dan Wakaf.

g. Yurisprudensi

Dalam kamus Fockema Andrea sebagaimana yang dikutip oleh

Lilik Mulyadi, S.H. (1998: 14) dikemukakan bahwa yang dimaksud

dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari

keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang

diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.

Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut,

sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of

precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi

Page 71: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

62

dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat

putusan sebelumnya.

Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya

yurisprudensi itu telah usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan

zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap

dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan

sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

h. Surat Edaran Mahkamah Agung RI

Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI

sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil

dapat dijadikan hukum acara dalam Praktik Peradilan terhadap suatu

persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.

Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah

Agung RI berwenang memberikan petunjuk apabila dianggap perlu agar

suatu masalah hukum tidak menyimpang dari aturan yang telah

ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirin hakim dalam

menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya.

i. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan

Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak

digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili

suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam

Page 72: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

63

kitab-kitab fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama

Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai

pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang

Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan

bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan

memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama dianjurkan

agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam

kitab fikih sebagai berikut:

1) Al-Bajuri;

2) Fatkhul Mu’in;

3) Syarqawi ‘At-Tahrir;

4) Qalyubi Wa Umairah/Al-Mahalli;

5) Fatkhul Wahhab dan Syarahnya;

6) Tuhfah;

7) Targhib Al-Mustaq;

8) Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya;

9) Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah;

10) Syamsuri li Fara’id;

11) Bughyat Al-Musytarsyidin;

12) Al-Fiqih Ala Madzahib Al-Arba’ah; dan

13) Mughni Al-Muhtaj.

Page 73: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

64

Dengan merujuk kepada 13 buah kitab fikih sebagaimana tersebut

di atas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil atau

menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan

pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan

kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.

Page 74: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

BAB IV

PROSES PENYELESAIAN PERKARA VERSTEK

A. Sistem Pembuktian Perkara Verstek

Pada saat sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga

tidak menyuruh wakilnya untuk hadir pada persidangan yang telah ditentukan,

padahal sudah dipanggil dengan patut. Pihak yang tidak hadir bisa saja

Penggugat dan bisa juga Tergugat.

Ketidakhadiran salah satu pihak tersebut pasti akan menimbulkan

masalah dalam pemeriksaan perkara. Jika yang tidak hadir adalah Penggugat,

maka perkaranya digugurkan dan diperkenankan untuk mengajukan gugatannya

sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayar biaya perkara yang baru. Namun

apabila pada hari sidang pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir

ataupun tidak menyuruh wakilnya untuk datang menghadiri persidangan, padahal

ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatan diputuskan dengan verstek.

Putusan verstek adalah Putusan Pengadilan yang dijatuhkan dengan tidak

pernah dihadiri oleh tergugat setelah tergugat dipanggil secara resmi dan patut.1

Dan tentang hal inipun dikenal dalam hukum Islam dengan kaidah:2

.من دعى الى حا آم من حكـام المسلمين فـلـم يجب فـهو ظـا لم ال حق لـه

1 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.

2 Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Libanon: Beirut, tth), Juz 2, h.405.

65

Page 75: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

66

Maksud dari kaidah tersebut adalah “ Barang siapa yang dipanggil oleh

hakim yang muslim dan ia mengabaikan, maka ia zhalim (gugurlah haknya)”.

Dalam menghadapi masalah ketidakhadiran tergugat, Pengadilan Agama

Depok melakukan pemanggilan sampai dua kali. Jika pemanggilan pertama

tergugat tidak hadir, pengadilan melakukan pemeriksaan pemanggilan apakah

sudah memenuhi kriteria sah atau patut. Sah dalam arti, tergugat dipanggil

berdasarkan alamat yang tertera dalam surat gugatan, dan kepatutannya

berdasarkan tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang yaitu

sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum persidangan. Kalau ada kesalahan

pemanggilan, berarti panggilan tersebut tidak sah atau bahkan belum sampai

kepada pihak yang harus dipanggil, oleh karena harus diperintahkan untuk

dipanggil lagi.3

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No: 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang berbunyi bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku

pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur

secara khusus dalam undang-undang ini”.4

3 Sarnoto, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010. 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ( Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h. 63.

Page 76: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

67

Dengan berdasarkan pasal diatas, maka jelaslah ketentuan putusan

verstek perkara perceraian di Peradilan Agama menginduk ke Hukum Acara

Pengadilan Umum, yang mana pembuktian tidak terdapat ketentuan khusus

dalam undang-undang tersebut. Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan

dalam lingkungan Pengadilan Umum adalah HIR bagi daerah Jawa dan Madura

dan R.Bg bagi daerah luar Jawa dan Madura. Jadi Praktek perundang-undangan

yang mengatur tentang verstek tersebut dan berlaku juga di lingkungan

Pengadilan Agama adalah Pasal 149 R.Bg dan Pasal 125. HIR5, yang berbunyi:

“Apabila pada hari yang telah ditentukan, tergugat tidak hadir dan pula ia tidak

menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil

dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek),

kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan bahwa gugatan tersebut melawan hak

atau tidak beralasan”.

Pembuktian dalam putusan verstek menurut Soepomo dan Retno Wulan

Susanto adalah tidak perlu dilakukan, yakni ketika tergugat tidak datang

dipersidangan setelah dilakukan panggilan secara resmi, dan baru diadakan

sesudah ada perlawanan. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh A.

Mukti Arto, bahwa putusan verstek dijatuhkan tanpa pembuktian lebih dahulu

dalil gugat yang dikemukakan oleh penggugat karena tidak dibantah oleh

tergugat, kecuali dalam perkara perceraian. Artinya pendapat tersebut

pengecualian dari ketentuan HIR dan R.Bg.

5 Sarnoto, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.

Page 77: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

68

Menurut hasil data yang penulis dapat di lapangan, hakim Pengadilan

Agama Depok mengatakan, bahwa secara tekstual pembuktian tidak diatur

dalam Pasal 149 R.Bg dan 125 HIR, pasal ini hanya mengatur masalah

ketidakhadiran saja. Adapun persoalan pembuktian dalam putusan verstek,

Pengadilan Agama Depok selalu menggunakan dan mempertimbangkannya,

karena pembuktian merupakan syarat formil dalam persidangan dan bukti adalah

hal yang sangat penting peranannya karena menyangkut validitas dan prinsip

utama dalam perkara perdata.6

Bahkan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. Pembuktian pada

hakekatnya baik dalam arti yang logis ataupun yuridis adalah berarti

mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tersebut dianggap

benar. Dari pendapat tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa suatu

keputusan tidak dapat dikeluarkan jika tidak memiliki bukti.

Landasan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Depok untuk memakai

proses pembuktian dalam perkara verstek selain merupakan syarat formil,

pembuktian tersebut juga diatur dalam pasal lain, yaitu Pasal 164 HIR tentang

alat-alat bukti .7

Selain itu, menurut hakim Pengadilan Agama bahwa Pasal 125 HIR yang

berlaku juga di Pengadilan Agama adalah produk belanda, sedangkan Pengadilan

6 Abdurrahman, Calon Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 18

Juni 2010.

7 Ibid.

Page 78: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

69

Agama harus melaksanakan syariat Islam. Untuk itu pembuktian merupakan hal

yang penting agar semua gugatan penggugat memilki kekuatan hukum.8

B. Analisa Pertimbangan Hukum bagi Hakim Dalam Memutuskan Perkara

Menurut hukum acara positif dalam perkara perdata, hakim diwajibkan

untuk mencapai kebenaran formal, hal ini adalah dikarenakan luas ruang

lingkupnya perkara sepenuhnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara.

Begitupun dalam perdata Islam, hakim tidak diwajibkan untuk mencapai suatu

kebenaran materiil, melainkan hanya diwajibkan untuk mencapai kebenaran

formal saja. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah diputuskan oleh Qadli

Syuraih ketika memutuskan perkara perdata antara Ali bin Abi Thalib RA.

tentang baju besi yang jatuh dari untanya yang bernama auraq, dengan seorang

Yahudi yang memegang baju besi tersebut ditangannya, kemudian Qadli Syuraih

menjatuhkan vonis kepada yahudi bahwa baju itu adalah miliknya, karena Ali

bin Abi Thalib tidak mempunyai dua orang saksi9.

Berkenaan dengan putusan verstek yang mana praktek perundang-

undangan yang mengatur tentang verstek tersebut dan berlaku juga di lingkungan

Pengadilan Agama adalah R.Bg. Pasal 149 dan HIR Pasal 125, walaupun

dilaksanakan hanya dihadiri oleh satu pihak tetapi mempunyai kekuatan hukum

yang sah dan kuat.

8 Sarnoto, Wawancara Pribadi, Depok, 18 Juni 2010. 9 As-Shun’ani, Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani, Subulus Salam, (Mesir: Musthafa Al-Babi

Al Halabi, 1960), Cet-4.

Page 79: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

70

Selain itu juga, putusan verstek menjadi penting keberadaannya megingat

jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Depok jumlahnya tidaklah

sedikit. Sejak tahun 2007 perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Depok

berjumlah 1208 kasus, tahun 2008 berjumlah 1430 kasus, dan tahun 2009

berjumlah 2060, dimana rata-rata jenis perkara terbanyak adalah pada perkara

Cerai Talak dan Cerai Gugat. Bahkan pada tahun 2009 mengalami peningkatan

jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Agama tersebut, jenis perkara

tebanyak adalah Cerai Gugat dengan jumlah 1251, dan disusul dengan Cerai

Talak berjumlah 559 kasus10. Kemudian jumlah data perkara sisa akhir bulan

maret tahun 2010 yang saya peroleh adalah berjumlah 549 perkara, dengan

perincian perkara yang diputus sebagai berikut:11

No Bulan Tahun Cerai Gugat Cerai Talak

1 Maret 2010 95 40

Maka bisa dibayangkan bila tidak ada penyelesaian putusan kasus dan

termasuk putusan verstek, dari jumlah kasus yang masuk semakin bertambah,

akan megakibatkan penumpukan yang luar biasa.

10 Buku Laporan Pengadilan Agama Depok, Perkara Diterima dan Diputus pada Pengadilan

Agama Depok Tahun 2007 s/d 2009, 23 April 2010. 11 Buku Laporan Pengadilan Agama Depok, Laporan Keadaan Perkara Diterima dan Diputus

Bulan Maret 2010, 23 April 2010.

Page 80: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

71

Sebelum memutuskan perkara dengan verstek biasanya hakim

memepertimbangkan dari ke absahan panggilan yang disampaikan kepada

tergugat dan alasan ketidakhadirannya. Kemudian hakim memeriksa kesesuaian

antara posita dan petitum penggugat serta gugatan tersebut beralasan atau tidak.

Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa

yang membenarkan tuntutan, maka gugatan akan ditolak12.

Hal inilah yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Agama Depok dalam

pokok perkara Nomor: 1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk. dimana hakim

memepertimbangkan ketidakhadiran tergugat, yang mana telah dipanggil secara

resmi dan patut, tidak menghadap dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai

wakil dan kuasa hukumnya yang sah untuk datang menghadap persidangan, dan

ketidakhadirannya tidak berdasarkan alasan yang sah. Selain itu hakimpun

melihat alasan pokok gugatan, bahwa sejak tahun 1995 antara Penggugat dan

Tergugat telah terjadi perselisihan dan petengkaran yang disebabkan Tergugat

malas bekerja, namun demikian Tergugat selalu meminta Penggugat untuk

berada di rumah, serta sering melakukan kekerasan fisik terhadap Penggugat dan

sejak bulan januari 1997 antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah.

Untuk menguatkan semua dalil-dalil gugatan Penggugat, hakimpun

menghadirkan 2 (dua) orang saksi dari adik kandung Tergugat yang mengetahui

dan menyaksikan perselisihan antara Penggugat dan Tergugat.

12 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.

Page 81: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

72

Tindakan Hakim Pengadilan Agama Depok dalam meghadirkan saksi

sebagaimana dalam putusan tersebut diatas adalah agar putusan yang dijatuhkan

memiliki pertimbangan hukum yang kuat. Wirjono Projodikoro mengemukakan

hal yang sama tentang saksi dalam pemeriksaaan perkara, menurutnya bahwa di

antara tindakan-tindakan hakim dalam memeriksa perkara perdata yang amat

penting dan yang harus pertama-tama disebut ialah pendengaran saksi. Ini

termasuk tindakan hakim mengenai pembuktian dari sesuatu yang diajukan oleh

pihak berperkara.

Putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh hakim memiliki kekuatan

hukum. Namun penggugat dan tergugat masih memiliki hak-hak setelah putusan

tersebut dijatuhkan. Kalau penggugat tidak terima dengan putusan verstek, maka

ia dapat melakukan Upaya Banding. Sedangkan kalau tergugat yang tidak bisa

menerima/keberatan atas adanya putusan verstek, maka ia dapat melakukan

perlawanan atas putusan verstek tersebut (verzet)13.

Berkenaan dengan verzet yang dilakukan oleh tegugat, menurut hakim

Pengadilan Agama Depok, secara formal sepanjang verzet masih dilakukan

dalam tenggang waktu yang dibenarkan menurut undang-undang dan

pemeriksaan perkara kembali dibuka, bisa saja dianggap hak-hak tergugat telah

13 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.

Page 82: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

73

terpenuhi. Sedangkan mengenai substansi yang menyangkut hak-hak tergugat,

sangat tergantung dari hasil pembuktian14.

Di sini penulis akan uraikan putusan perkara No:

1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk, sebagai Berikut :

1. Pihak- Pihak:

• Penggugat : Fulanah Binti Fulanah, umur 38 tahun, agama Islam,

pendidikan SLTA, pekerjaan ibu rumah tangga.

• Tergugat : Fulan Bin Fulan, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan

SLTA, pekerjaan (tidak ada)

2. Tentang Duduk Perkara

a. Bahwa Penggugat adalah isteri sah Tergugat, yang pernikahannya

dilaksanakan pada tanggal 18 januari 1992, di Sukamajaya, Kabupaten

Bogor (sekarang Kota Depok) dengan Kutipan Akta Nikah Nomor;

972/80/I/1992.

b. Bahwa pada bulan Januari 1997 Tergugat pergi meninggalkan kediaman

bersama dengan membawa anak dan ketika Tergugat akan pergi, Tergugat

berjanji akan mengurus anak dengan baik.

c. Bahwa sejak bulan Januari 1997 Penggugat dan Tergugat telah pisah

rumah.

d. Bahwa dengan beberapa kejadian tersebut di atas, rumah tangga antara

Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi,

14 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 23 April 2010.

Page 83: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

74

sehingga rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah, tidak

tercapai.

3. Pertimbangan Hukum

a. Menimbang, bahwa meskipun Tergugat telah dipanggil secara resmi dan

patut, tidak datang menghadap dan tidak pula menyuruh orang lain

sebagai wakil atau kuasanya yang sah untuk datang menghadap dalam

persidangan dan tidak ternyata pula bahwa tidak datangnya tersebut

disebabkan suatu alasan yang sah, oleh karenanya Tergugat harus

dinyatakan tidak hadir.

(hal ini sesuai dengan pasal 125 HIR dan 149 R.Bg yang mengatur

verstek tentang ketidakhadiran tergugat ketika dipanggil secara patut dan

sah)

b. Menimbang, berdasarkan bukti P.1 Penggugat dan Tergugat terikat dalam

perkawinan yang sah menurut hukum, oleh karenanya Penggugat dan

Tergugat mempunyai kualitas hukum untuk bertindak sebagai pihak dalam

perkara ini.

(Hakim memakai pasal 165 HIR yang mengatur tentang alat bukti berupa

akte otentik sebagai pertimbangan hukumnya. Menurutnya Akte otentik

tersebut dipergunakan oleh hakim untuk mengetahui apakah perkawinan

antara penggugat dan tergugat itu benar-benar sebagai suami isteri atau

tidak)

Page 84: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

75

c. Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya Penggugat telah

menghadirkan dua orang saksi.

(menurut hakim penggunaan saksi di sini sangat penting untuk mengetahui

kebenaran apakah sesuai antara dalil-dalil penggugat dengan keterangan

saksi)

d. Menimbang, bahwa oleh karena dalil-dalil gugatan Penggugat telah

beralasan hukum dan tidak melawan hak, dan ketidakhadiran Tergugat

dalam persidangan tidak didasarkan atas alasan yang sah, maka

berdasarkan pasal 125 HIR, seluruh gugatan Penggugat dapat dikabulkan

denga verstek

(berdasarkan alat bukti di atas, hakim Pengadilan Agama Depok

menjatuhkan putusan verstek sebab terpenuhinya syarat verstek yaitu

tergugat tidak hadir, tidak menyuruh wakil atau kuasanya untuk hadir

persidangan serta ketidak hadirannya tidak dibarengi dengan alasan yang

sah, tergugat tidak mengajukan tangkisan, dan penggugat mohon putusan.

Page 85: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No: 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

yang berbunyi bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada

Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur

secara khusus dalam undang-undang ini”. Jadi praktek perundang-undangan

yang mengatur tentang verstek tersebut dan berlaku juga di lingkungan

Pengadilan Agama adalah R.Bg. Pasal 149 dan HIR Pasal 125.

2. Landasan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Depok untuk memakai

proses pembuktian dalam perkara verstek selain merupakan syarat formil,

pembuktian tersebut juga diatur dalam pasal lain, yaitu Pasal 164 HIR

tentang alat-alat bukti. Hal tersebutpun sesuai dengan apa yang ada dalam

syariat Islam, bahwa setiap perkara harus ada pembuktian yang mana

pembuktian tersebut dibebankan kepada pihak penggugat.

3. Pertimbangan yang dipergunakan oleh Hakim Pengadilan Agama Depok

dalam perkara No.1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk. adalah sebagai berikut:

76

Page 86: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

77

• Bahwa, dengan ketidakhadiran tergugat dalam persidangan, majelis

hakim berpendapat tergugat telah melepaskan hak jawabnya dan

dianggap mengakui seluruh dalil gugatan penggugat.

• Tindakan Hakim Pengadilan Agama Depok dalam mendengarkan

keterangan saksi sebagaimana dalam putusan tersebut diatas adalah agar

putusan yang dijatuhkan memiliki pertimbangan hukum yang kuat.

B. Saran –Saran

1. Demi kodifikasi dan unifikasi hukum, penulis menyarankan agar hukum

acara Pengadilan Agama yang pada mulanya diatur dalam HIR dan R.Bg

ditingkatkan dalam Undang-Undang.

2. Penulis menghimbau kepada para hakim Pengadilan Agama Depok

khususnya maupun para hakim lainnya, agar memperhatikan dengan

seksama dan teliti sistem acara yang berlaku disertai kewaspadaan yang

tinggi, agar menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.

3. Perlu adanya peningkatan wawasan hukum masyarakat tentang hukum

Islam maupun hukum positif melalui ceramah agama, memberikan

konsultasi hukum dan pendidikan pengajian masyarakat yang intensif.

Page 87: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim.

A. Rasyid, Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,

2007. Abidin, Slamet, Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan

dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Jakarta:Kencana, 2008. Ash-Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka

Rizki Putra, 2001. Arabi, Ibnu, Ahkam al-Qur’an, Libanon: Beirut, tth, Juz 2. Dewi, Gemala, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2005. Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta; Sinar Grafika, 2006. ________________, Kedudukan Dan Kewenangan Acara Peradilan Agama UU No.

7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

Dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind-Hill, Co, 1985. Lubis, Sulaikin, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2008. M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Universitas Trisakti, 2005.

78

Page 88: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

79

M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah

Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. Mahkamah Agung RI, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006.

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000. Makaro, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT. Rineka,

2004. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogykarta: Liberty, 1988. Mono, Henny, Praktik Berperkara Perdata, Malang: Bayumedia, 2007. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2000. Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani, As-Shun’ani, Subulus Salam, Mesir: Musthafa

Al-Babi Al Halabi, 1960. Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Jakarta: Prenada Media, 2004. Projodikoro, R. Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur

Bandung, 1992. R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita,

1980. Rasaid, M. Nur, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Retno Wulan Susanto, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam

Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2005. Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977. Shahibuddin, Ahmad, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata

Menurut Hukum Acara Positip dan Hukum Acara Islam, Jakarta: PT Pembimbing Masa, 1983.

Page 89: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

80

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: PT Intermasa, 1982. Sugono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2003. Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Page 90: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK

Tentang,

“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”

Nama Hakim : Abdurrahman, S.HI Tempat : Pengadilan Agama Depok Hari/Tanggal : Jum’at, 16 Juni 2010 1. Di dalam pasal 149 R.Bg dan Pasal 125 HIR mengatur tentang verstek, akan

tetapi apakah proses pembuktian diatur di dalamnya? Jawab : • Tidak mengatur tentang adanya pembuktian, hanya mengatur verstek. • Pasal tersebut hanya mengatur tentang ketidakhadiran tergugat.

2. Apa landasan hukum bagi hakim untuk memakai proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek? • Setiap perkara yang disidangkan harus ada pembuktiannya, karena merupakan

syarat formil. • Pasal 125 HIR tentang verstek memang tidak mengatur pembuktian. Namun

pembuktian tersebut diatur dala Pasal 164 HIR, yang diantara adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

3. Bagi hakim, apa manfaat dari proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang dijatuhkan putusan verstek? • Menguatkan dalil-dalil gugatan penggugat. • Menghasilkan kepastian hukum. • Agar menghindari terjadinya penyelundupan hukum, seperti ada beberapa hal

yang belum terkuak (masih disembunyikan).

4. Apakah boleh acara verstek dalm perkara cerai gugat tidak memakai pembuktian? Jawab : • Tidak boleh, karena setiap perkara yang disidangkan harus ada pembuktian.

Page 91: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK

Tentang,

“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”

Nama Hakim : Drs. Sarnoto, MH. Tempat : Pengadilan Agama Depok Hari/Tanggal : Jum’at, 18 Juni 2010 1. Di dalam pasal 149 R.Bg dan Pasal 125 HIR mengatur tentang verstek, akan

tetapi apakah proses pembuktian diatur di dalamnya? Jawab : • Secara tekstual memang tidak mengatur tentang pembuktian, tapi tidak berarti

pembuktian tidak boleh dipergunakan terlebih-lebih dalam perkara perceraian.

2. Apa landasan hukum bagi hakim untuk memakai proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek? Jawab : • Bahwa Pasal 125 HIR yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah produk

belanda, sedangkan Pengadilan Agama adalah Pengadilan untuk menyelesaikan perkara antara umat Islam. Untuk itu dijalankan berdasarkan syariat Islam, yaitu bukti dibebankan bagi penggugat agar menguatkan gugatannya.

• Kehati-hatian sebelum menjatuhkan putusan, karena perceraian merupakan hal yang tidak bisa dianggap mudah. Dalam perceraian tidak boleh ada yang ditutupi tentang alsannya mengajukan gugatan.

3. Bagi hakim, apa manfaat dari proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang dijatuhkan putusan verstek? Jawab : • Agar tidak ada hal-hal yang disembunyikan oleh penggugat, dengan ini bisa

terhindar atau tidak terjadi pemufakatan perceraian antara kedua belah pihak. • Menjalankan syariat Islam yaitu “Bukti itu bagi penggugat dan sumpah bagi

tergugat”.

4. Apakah boleh acara verstek dalm perkara cerai gugat tidak memakai pembuktian?

Page 92: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

Jawab : • Tidak boleh, karena dengan adanya bukti dapt menguatkan dalil-dalil gugatan. • Selain itu, dengan adanya saksi, berarti telah memenuhi syarat sahnya

perceraian dalam Islam. Karena perceraian dalam Islam harus disaksikan.

Page 93: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK

Tentang,

“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”

Nama Hakim : Drs. Sarnoto, MH. Tempat : Pengadilan Agama Depok Hari/Tanggal : Jum’at, 23 April 2010

1. Apa pendapat Bapak/Ibu tentang putusan verstek? Putusan verstek adalah putusan Pengadilan yang dijatuhkan dengan tidak pernah dihadiri oleh tergugat setelah tergugat dipanggil secara resmi dan patut.

2. Apakah putusan verstek dikenal dalam hukum Islam? Dalam kaidah hukum Islam dikenal;

هـ لق ح الما لـ ظوهـ فبج يمـلـ فنيملسلم اامـك حن مما آ حلى اىع دنم

3. Praktek perundang-undangan yang mana yang mengatur verstek? R.Bg. Pasal 149 dan HIR Pasal 125.

4. Bagaimana pendapat hakim, jika ketidakhadiran tergugat tersebut karena kesalahan dalam proses pemanggilan, seperti hal adanya keterlambatan dalam pemanggilan? Kalau ada kesalahan pemanggilan, berarti panggilan tersebut tidak sah atau bahkan belum sampai kepada pihak yang harus dipanggil, oleh karena harus diperintahkan untuk dipanggil lagi.

5. Sengketa apa saja yang dapat diputus secara verstek? Setiap Perkara Perdata Contentiosa dapat diputus secara verstek.

6. Apakah dalam hal putusan verstek tersebut mengharuskan adanya pembuktian? Pada dasarnya tidak mengharuskan adanya pembuktian, namun demikian dalam perkara perceraian biasanya Majelis Hakim tetap menghadirkan keterangan dua orang saksi sebelum menjatuhkan putusan.

7. Dalam perkara perceraian, bagaimana hakim dapat membuktikan kebenaran dail-dalil gugatan penggugat, sementara tergugat tidak hadir? Dengan ketidakhadiran tergugat, dapat saja Majelis Hakim menganggap tergugat telah melepaskan hak jawabnya dan dianggap mengakui seluruh dalil gugatan penggugat.

Page 94: 93390-AHMAD AFANDI-FSH.pdf

8. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan verstek?

- Pertama, yang harus dipertimbangkan adalah keabsahan panggilan dan alasan ketidakhadiran tergugat.

- Kedua, syarat formal gugatan memenuhi syarat atau tidak (keseuaian antara posita dan petitum).

- Ketiga, gugatan beralasan hukum atau tidak.

9. Bagaimana pendapat hakim tentang hak-hak penggugat dan tergugat, jika terjadi putusan verstek? Kalau penggugat tidak terima dengan putusan verstek, maka ia dapat melakukan Upaya Banding. Sedangkan kalau tergugat yang tidak bisa menerima/keberatan atas adanya putusan verstek, maka ia dapat melakukan perlawanan atas putusan verstek tersebut (verzet).

10. Apakah verzet dapat memenuhi hak tergugat? - Secara formal, sepanjang verzet masih dilakukan dalam tenggang waktu yang

dibenarkan menurut undang-undang dan pemeriksaan perkara kembali dibuka, bisa saja dianggap hak-hak tergugat telah terpenuhi.

- Sedangkan mengenai substansi yang menyangkut hak-hak tergugat, sangat tergantug dari hasil pembuktian.

Jum’at, 23 April 2010

(Drs. Sarnoto, MH.)