Post on 03-Jan-2016
description
IMPETIGO BULLOSA
I. PENDAHULUAN
Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Insidensnya
menduduki tempat ketiga, dan berhubungan erat dengan keadaan sosial-
ekonomi.(1)
Pioderma disebabkan oleh infeksi kulit bakteri gram positif, yaitu
Streptococcus dan Staphylococcus. Namun , dapat pula disebabkan oleh infeksi
bakteri gram negatif, misalnya: Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris,
Proteus mirabilis, Eschericia coli,dan Klebsiella. (1)
Pioderma memiliki banyak bentuk diantaranya impetigo, folikulitis,
furunkel, eritrasma, erisipelas, selulitis, abses, dan lain-lain. Impetigo
merupakan bentuk pioderma yang paling sering dijumpai disamping folikulitis.
Ada 2 tipe dari Impetigo yaitu, bullosa impetigo/impetigo kontagiosa dan
impetigo bullosa.(1)
II. DEFINISI
Impetigo adalah suatu infeksi/peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
bakteri. Bakteri penyebabnya dapat satu atau kedua dari Staphylococcus aureus
dan Streptococcus β hemoliticus grup A atau yang disebut juga Streptococcus
pyogenes. Impetigo menyerang lapisan superficial (berbatas tegas) dan paling
sering menyerang anak- anak usia 2- 5 tahun, namun tidak menutup
kemungkinan usia dewasa juga bisa terkena. Impetigo mempunyai dua
gambaran klinis, impetigo krustosa dan impetigo bulosa.(1, 2)
1
III. EPIDEMIOLOGI
Impetigo adalah infeksi kulit yang mudah sekali menyebar, baik dalam
keluarga, tempat penitipan atau sekolah. Impetigo menyebar melalui kontak
langsung dengan lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Kondisi dengan higienitas
buruk dan lingkungan padat di daerah tropis dapat menjadi pemicu timbulnya
penyakit ini.(3)
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9-10% dari anak-anak yang datang ke
klinik menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis
yang terbanyak (kira-kira 90%) adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak
berusia kurang dari 2 tahun. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai
usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun.
Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa. (3)
Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S aureus sebagai pathogen
terbanyak yang menyebabkan baik impetigo bulosa dan impetigo non bulosa
pada Amerika dan Eropa, sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara
berkembang. Kebanyakan infeksi bermula sebagai infeksi Streptococcus tetapi
kemudian Staphylococcus menggantikan Streptococcus. (3)
Selain dapat menyebabkan manifest pyoderm primer dari kulit yang utuh,
dapat juga menyebabkan infeksi sekunder dari penyakit kulit yang ada
sebelumnya atau pada kulit yang terkena trauma, yang disebut dengan
dermatitis impetigenisata. Impetigo jarang berkembang menjadi infeksi
sistemik, walaupun post streptococcal glomerulonepritis yang merupakan
komplikasi pada infeksi Streptococcus β hemoliticus grup A dapat terjadi
walaupun jarang. (3)
Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau
tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau
tempat tinggal yang padat penduduk. (3)
2
IV. ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab impetigo adalah Staphylococcus aureus dan
Streptococcus β hemoliticus. Untuk impetigo bulosa sebabnya lebih sering
karena Staphylococcus aureus.(2, 4, 5)
V. PATOGENESIS
Impetigo adalah infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus beta
hemolyticus grup A atau S aureus. Organisme tersebut masuk melalui kulit
yang terluka melalui transmisi kontak langsung. Impetigo memiliki lebih dari
satu bentuk. Beberapa penulis menerangkan perbedaan bentuk impetigo akibat
strain Staphylococcus dan aktivitas eksotoksin yang dihasilkan. Impetigo dapat
terjadi sebagai infeksi primer maupun infeksi sekunder yang dapat
bermanifestasi sebagai dermatitis atopi yang menyebabkan barrier kulit
terganggu.(6, 7)
Impetigo bullosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama
berupa bulla berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang
tampak hipopion. Awalnya berupa vesikel, lama kelamaan akan membesar
menjadi bulla yang sifatnya tidak mudah pecah, karena dindingnya relatif tebal
dari impetigo krustosa. Isinya berupa cairan yang lama kelamaan akan berubah
menjadi keruh karena invasi leukosit dan akan mengendap. Bila pengendapan
terjadi pada bulla disebut hipopion yaitu ruangan yang berisi pus yang
mengendap, bila letaknya di punggung, maka akan tampak seperti
menggantung. (2, 8)
Impetigo bullosa lebih sering terjadi daripada bentuk non bulla. Penyebab
dari impetigo bullosa adalah bakteri gram positif, S aureus grup II. S aureus
memproduksi eksotoksin eksofoliatif ekstraseluller. Eksotoksin menyebabkan
hilangnya adhesi sel pada superficial dermis sehingga terbentuk bulla sehingga
menyebabkan kulit tampak bergelembung atau seperti melepuh, kemudian
akan mengelupas dengan memecah sel granular dari epidermis. Target protein
dari eksotoksin adalah desmoglein 1, yang berfungsi memelihara adhesi sel,
yang juga merupakan superantigen yang bekerja secara lokal dan
menggerakkan limfosit T. (3, 9, 10)
3
VI. GEJALA KLINIS
Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi di ketiak, dada,
punggung. Sering bersama-sama miliaria. Terdapat pada anak dan orang
dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. (3, 7)
Gambaran khas dari impetigo bullosa adalah awalnya berupa vesikel yang
timbul sampai bulla kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar
normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang
berubah menjadi berwarna keruh. (3, 5)
Gambar 1 Vesikel dan bulla dengan kulit di sekitar normal/kemerahan(6)
Bulla yang utuh jarang ditemukan karena dalam satu atau dua hari akan
segera pecah. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette”
pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika
disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. (6, 11)
Gambar 2 Bulla yang telah pecah
sehingga terbentuk krusta(6)
4
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat
menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat
lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang
lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher. Tidak ada pembengkakan
kelenjar getah bening di dekat lesi. Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai
dengan gejala demam, lemah, diare. (12)
Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi kejadian impetigo bullosa,
antara lain anak- anak usia 2- 6 tahun, kontak langsung dengan penderita
impetigo dewasa atau anak-anak, atau kontak dengan tempat tidur dan pakaian
yang telah terkontaminasi, kondisi yang ramai, cuaca panas (impetigo sering
menginfeksi pada musim kemarau), kegiatan olahraga seperti sepakbola atau
gulat yang terdapat kontak fisik antar pemain, seperti sepakbola atau gulat,
dermatitis kronik seperti dermatitis atopik. Orang usia lanjut dan penderita
diabetes atau orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh misalnya
HIV, kanker, dan sedang menjalani kemoterapi. (12)
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis paling utama ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan
klinis. Namun jika diagnosis masih diragukan, atau pada suatu daerah dimana
impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang berespons terhadap
pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:(1-3, 6, 12-
16)
Pemeriksaan mikrobiologis:
- Pewarnaan gram. Pada pemeriksaan ini akan tampak adanya neutrophil
dengan kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
Pada blood agar koloni kuman mengalami hemolisis dan
memperlihatkan daerah yang hemolisis di sekitarnya meskipun dengan
blood agar telah cukup untuk isolasi kuman, manitol salt agar atau
medium Baierd-Parker egg Yolk-tellurite direkomendasikan jika lesi
juga terkontaminasi oleh organism lain. Kemampuan untuk
mengkoagulasi plasma adalah tes paling penting dalam
mengidentifikasi S. aureus. Pada sheep blood agar, S. pyogenes
5
membentuk koloni kecil dengan daerah hemolisis disekelilingnya.
Streptococcus dapat dibedakan dari Staphylococcus dengan tes katalase.
Streptococcus memberikan hasil yang negatif.
- Pemeriksaan kultur cairan dan sensitifitas bakteri. Pada pemeriksaan ini
umunya akan mengungkap adanya Staphylococcus aureus, atau
kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan Streptococcus β
hemolyticus grup A atau dapat berdiri sendiri. Tes sensitivitas antibiotik
dilakukan untuk mengisolasi metisilin resistant. S. aureus (MRSA) serta
membantu dalam pemberian antibiotik yang sesuai.
Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium rutin: Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis ringan
hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo.
- Pemeriksaan imunologis: Pada impetigo yang disebabkan oleh
streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti
deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibodi.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Pemphigus vulgaris merupakan salah satu bentuk bulous dermatosis
yang bersifat kronis, disertai adanya proses akantolisis dan
terbentuknya bulla pada epidermis.(2)
Gambar 3 tampak bulla pada epidermis(6)
Varicella merupakan penyakit kulit dengan kelainan berbentuk vesikel
yang tersebar, terutama menyerang anak-anak, bersifat mudah menular
yang disebabkan oleh virus Varicella-Zoster(2)
6
Gambar 4 tampak vesikel yang tersebar(6)
Dermatitis kontak merupakan dermatitis akiat terpaparnya kulit dengan
bahan dari luar yang bersifat iritan atau alergen. (2)
Gambar 5 tampak makula eritematous dengan batas tidak jelas(6)
7
Tabel 1 Diagnosis Diferensial(1-4, 6, 8, 11, 14)
Penyakit Gatal Nyeri
tekan
Demam Krusta,
eksudat
Gejala
Sistemik
Effloresensi
Impetigo + - +/- ++ +/- Vesikel yang
kemudian
menjadi bulla
yang rapuh lalu
pecah menjadi
krusta.
Pemphigus
vulgaris
- - +/- ++ +/- Bula yang
lembek ,berdindi
ng tipis, mudah
pecah, dan
eritem.
Varicella +/- - + + + Vesikel yang
tersebar seluruh
tubuh, kemudian
mengalami
krustasi
Reaksi
alergi/
dermatitis
kontak
+ - +/- - - Lesi yang
polimorf
(makula yang
eritematous
diatasnya
terdapat papul,
vesikel, bula)
8
IX. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan
memperbaiki kosmetik dari lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke
orang lain dan mencegah kekambuhan.(12, 16)
Perawatan Umum :(12)
1. Memperbaiki higiene dengan membiasakan membersihkan tubuh dengan
sabun, memotong kuku dan senantiasa mengganti pakaian.
2. Perawatan luka
3. Tidak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan pribadi
(handuk, pakaian, dan alat cukur)
Pengobatan Topikal(2, 3, 12, 13)
- Lesi sedikit dan dini dengan hanya obat topikal cukup menolong : salep
natrium fusidat
- Drainage: bula dan pustula ditusuk dengan jarum steril untuk mencegah
penyebaran lokal
- Mencuci lesinya pelan-pelan dan melepas krustanya. Bila krusta melekat
kuat dikompres lebih dulu dengan larutan sodium chloride 0,9%. Krusta
perlu dilepas agar obat topikalnya dapat efektif bekerja
Pengobatan Sistemik(2, 3, 12-14)
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus-kasus berat, lama pengobatan
paling sedikit 7-10 hari. Beberapa antibiotik yang direkomendasikan antara
lain:10
1. Golongan Penicilin G dan semisintetiknya
a. Penicilin G procain injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta I.U.m, sehari 1-2 kali
b. Ampiciline
Dosis 250-500 mg/dosis, sehari 4 kali
Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c
c. Amoxicilin
Dosis: 250-500 mg/dosis, sehari 3 kali
Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, sehari 3 kali a.c
9
d. Cloxacilin (untuk staphylococci yang kebal peniciline)
Dosis: 250-500 mg/dosis, sehari 4 kali a.c
Anak-anak: 10-25 mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c
e. Dicloxacilin
Dosis: 125-250 mg/dosis , sehari 3-4 kali a.c
Anak-anak: 5-15 mg/kg/dosis, sehari 3-4 kali a.c
f. Phenoxymetil penicilin (penicilin V)
Dosis: 250-500 mg, sehari 4 kali a.c
Anak-anak: 7,5 -12,5 mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c
2. Erytthromycine
Dosis: 250-500 mg /dosis sehari 4 kali p.c
Anak-anak: 12,5-50 mg/kg/dosis, sehari 4 kali p.c bila alergi penicilin
3. Clindamycine
Dosis: 150-300 mg/dosis, sehari 3-4 kali
Anak-anak lebih 1 bulan: 8-20 mg/kg/hari, sehari 3-4 kali. Bila alergi
penicilin dan yang menderita gangguan saluran cerna
X. KOMPLIKASI
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun
tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi streptokokus
terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak dan tekanan
darah tinggi, pada sepertiga terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini
umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis),
radang paru-paru (pneumonia), selulitis, psoriasis guttata, Staphylococcal
scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening,
toxic shock syndrome(3, 12)
10
XI. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik. Beberapa kasus akan sembuh sendiri tanpa
terapi dalam 2 sampai 3 minggu. Di luar periode neonatal, pasien yang
mendapatkan terapi lebih dini dan baik akan memiliki kesempatan untuk
sembuh tanpa bekas luka atau komplikasi. Dengan terapi yang tepat, lesi
dapat sembuh sempurna dalam 7-10 hari.(3, 12)
XII. PENCEGAHAN
Kebersihan sederhana dapat mencegah timbulnya impetigo. Seseorang
yang sudah terkena impetigo atau gejala infeksi/peradangan Streptococcus β
hemolyticus grup A perlu mendapat perawatan medik dan jika perlu dimulai
dengan pemberian antibiotik sedini mungkin untuk mencegah menyebarnya
infeksi ini ke orang lain.(12, 16)
Penderita impetigo harus diisolasi dan dicegah agar tidak terjadi kontak
dengan orang lain minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.
Pemakaian barang –barang atau alat pribadi seperti handuk, pakaian, sarung
bantal dan seprai harus dipisahkan dengan orang-orang sehat. Pada umumnya
akhir periode penularan adalah setelah dua hari permulaan pengobatan, jika
impetigo tidak menyembuh dalam satu minggu, maka harus dievaluasi. (12, 16)
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Pioderma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p. 57-9.
2. Sukanto H. Impetigo Bullosa. In: Barakbah J, et all, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3th ed. Surabaya: RSU Dr. Soetomo; 2005. p. 33-5.
3. Hay RJ. Bacterial Infections. In: Burns T, editor. Rook's Textbook of Dermatology. 8th ed. UK: Wiley-Blackwell; 2010. p. 30.14-30.16.
4. Hall J. Dermatologic Bacteriology. In: Hall J, editor. Sauer's Manual of Skin Diseases. 9th ed. USA: Pa: Lippicon William and Wilkins; 2006.
5. Arena R. Impetigo. Tropical Dermatology. 2001:137-40.6. Craft N. Superficial Cutaneus Infections and Pyodermas. In: Wolf K, editor.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th ed. USA: McGrawHill Companies; 2008. p. 1695-8.
7. Silverberg N. Uncomplicated Skin and Skin Structure Infections in Children: Diagnosis and Current Treatment Option in The United States. Clinical Pediatrics. 2008;47:211-7.
8. James W. Chronic Blistering Dermatoses. In: James W, editor. Andrew's Disease of The Skin:Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Pa: Mosby Elseiver; 2009. p. 256-7.
9. Amangai M. Toxin in bullous impetigo and staphylococcal scalded-skin syndrome targets desmoglein 1. Nature Medicine. 2000 November 2000;6:1275-7.
10. Stulberg D. Common Bacterial Skin Infections. American Family Physician. 2002;66:119-24.
11. Habif T. Vesicular and bullous diseases. In: Habif T, editor. Clinical Dermatology. 5th ed. Philadelphia: Pa: Mosby Elseiver; 2009. p. 267-73.
12. Oakley A. Management of Impetigo. BPJ. 2009;19:9-11.13. Cole C. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Family Physician.
2007;75:859-64.14. Bolognia J. Gram-Positive Bacteria Staphylococcal and Streptococcal Skin
Infections. In: Bolognia J, editor. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: Mosby Elseiver; 2008. p. 1-4.
15. Craft N. Bacterial Infection Involving the Skin. In: Wolf K, editor. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. New York: McGrawHill; 2008. p. 6-9.
16. McSweeney S. Impetigo. In: McSweeney S, editor. The Health Care of Homeless Persons. USA.
12