LAPORAN KERJA PRAKTEK
PENGGUNAAN KAMERA PERANGKAP UNTUK
PENELITIAN SATWA LIAR DAN LANGKA DI SUAKA
MARGASATWA BUKIT RIMBANG BUKIT BALING RIAU
OLEH :
MARYANI
1003120654
NURI ASMITA
1003133858
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KERJA PRAKTEK
PENGGUNAAN KAMERA PERANGKAP UNTUK PENELITIAN SATWA
LIAR DAN LANGKA DI SUAKA MARGASATWA BUKIT RIMBANG
BUKIT BALING RIAU
Disusun Oleh:
Maryani
1003120654
Nuri Asmita
1003133858
Disetujui oleh:
Pembimbing Jurusan Pembimbing Lapangan
Drs. Ahmad Muhammad Febri Anggriawan Widodo S.Hut
NIP.131966756
Mengetahui
Koordinator KP Ketua Jurusan
Dr. Mayta Novaliza Isda M.Si Dr. rer. nat. Delita Zul M.Si
NIP. 197005231997032001 NIP. 196807111993032003
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis hanturkan untuk Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya bagi penulis hingga bisa menyelesaikan dan
menyusun laporan kerja praktek ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada :
Drs.Ahmad Muhammad selaku pembimbing jurusan yang dengan sabar
selalu memberikan bimbingan dan ilmunya untuk penulis.
Dr. Sunarto dari WWF Indonesia yang telah memberikan kesempatan
untuk mengikuti program pemagangan di dari WWF Indonesia-Riau
Program, khususnya dalam bidang survei mamalia besar menggunakan
kamera perangkap, serta membagi pengetahuan dan pengalamannya
berkaitan dengan bidang ini.
Febri Anggriawan Widodo S.Hut dari WWF Indonesia-Riau Program
selaku pembimbing lapangan yang telah menuntun penulis selama kerja
praktek berlangsung dan juga penyusunan laporan ini.
Teman dan rekan kerja di WWF Indonesia-Riau program yang telah
memberikan support berupa tempat dan waktu serta bimbingan selama
kerja praktek ini berlangsung.
Penulis berharap semoga laporan kerja praktek ini dapat dijadikan sebagai
pedoman dan rujukan bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian tentang
satwa liar dan semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi pembaca.
Pekanbaru,Selasa 23 April 2013
Maryani & Nuri Asmita
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................ 2
1.3 Kompetensi Terkait Kerja Praktik............................................... 2
II WWF INDONESIA
2.1 WWF dan Misinya ..................................................................... 3
2.2. Visi dan Misi WWF Indonesia....................................................... 3
2.2 Kegiatan WWF Indonesia di Riau .............................................. 4
III MACAN DAHAN DAN TAPIR ASIA
3.1 Macan Dahan (Neofelis diardi diardi) ........................................ 5
3.2 Tapir Asia (Tapirus indicus) ....................................................... 6
IV TEORI PENGGUNAAN KAMERA PERANGKAP
4.2 Kamera Perangkap ......................................................................... 8
4.2 Disain Survei Menggunakan Kamera Perangkap ........................ 10
4.3 Pengelolaan dan Analisis data....................................................... 12
4.3.1. Pengelolaan data.................................................................. 12
4.3.2. Analisis data ....................................................................... 13
V PELAKSANAAN SURVEI MACAN DAHAN DAN TAPIR
MENGGUNAKAN KAMERA PERANGKAP
5.1 Lokasi Survei ............................................................................ 14
5.2 Disain Survei .............................................................................. 15
5.3 Pelaksanaan Survei ........................................................................ 15
5.4 Analisis Foto ............................................................................. 17
5.5 Estimasi Populasi .......................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 20
LAMPIRAN 21
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Macan dahan…................................................................ 5
Gambar 3.2 Tapir................................................................................. 6
Gambar 4.1. Contoh kamera analog (A) dan kamera digital .............. 9
Gambar 4.2. Contoh pembuatan disain survei .................................. 12
Gambar 5.1. Posisi SM Bukit Rimbang Bukit Baling....................... 14
Gambar 5.2. Contoh posisi kamera perangkap................................... 16
Gambar 5.3. Ketinggian kamera dari permukaan............................... 16
Gambar 5.4. Hasil Uji coba hasil kamera perangkap ………............. 17
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan lingkungan, terutama deforestasi, telah menyebabkan banyak
hilang dan terfragmentasikannya habitat berbagai spesies mamalia besar di
kawasan tropis. Hal ini telah mendorong spesies-spesies tertentu ke ambang
kepunahan. Di Sumatera, misalnya, hampir semua spesies mamalia berbadan
besar mengalami hal ini. Macan dahan dan tapir adalah dua contoh spesies satwa
liar yang saat ini sudah menjadi sangat langka di pulau ini dan populasi mereka
diperkirakan akan terus menyusut dari waktu ke waktu.
WWF Indonesia adalah salah satu organisasi non-pemerintah yang
berupaya membantu pelestarian satwa-satwa liar beserta habitat mereka di negara
ini. Organisasi internasional yang memiliki 27 cabang di Indonesia ini antara lain
memiliki kegiatan di Provinsi Riau. Diantara spesies-spesies satwa liar di provinsi
ini yang menjadi perhatian WWF Indonesia adalah kedua spesies satwa tersebut di
atas. Keduanya dapat dijumpai di beberapa kawasan di Riau, misalnya di SM
Bukit Rimbang Bukit Baling, yang berada di perbatasan antara Provinsi Riau dan
Sumatera Barat.
Dalam kegiatannya WWF Indonesia berusaha menerapkan pendekatan-
pendekatan ilmiah, sebagai contoh adalah pendugaan populasi satwa liar
menggunakan teknologi kamera perangkap. Teknologi ini memungkinkan
dilakukannya pemantauan kehadiran spesies-spesies satwa liar yang bersifat
nokturnal dan elusive (suka menyembunyikan diri) serta menghuni kawasan-
kawasan yang terpencil. Sejak tahun 2005 WWF Indonesia telah aktif melakukan
pemantauan dengan teknologi ini di sejumlah kawasan berhutan di Riau, termasuk
di SM Bukit Rimbang Bukit Baling dengan sasaran utama macan dahan dan tapir,
selain harimau Sumatera.
Teknologi kamera perangkap cenderung semakin banyak digunakan dalam
berbagai survei fauna besar. Meskipun memiliki beberapa kelemahan teknologi
ini dapat menghasilkan data-data yang akurat dan otentik tentang keberadaan
suatu spesies satwa liar di kawasan-kawasan tertentu. Oleh karenanya, penguasaan
pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan teknologi ini untuk
kepentingan survei satwa liar merupakan sebuah kompetensi yang sangat berharga
bagi seorang sarjana sains, khususnya di bidang biologi.
1.2 Tujuan Kegiatan
Tujuan dari kegiatan Kerja Praktek ini adalah:
1. Mengenal karakteristik satwa liar berupa mamalia besar yang terdapat
di Sumatera secara umum dan khususnya macan dahan dan tapir.
2. Mengenal penggunaan teknologi kamera perangkap dalam survei
mamalia besar seperti macan dahan dan tapir, khususnya yang terdapat
di SM Bukit Rimbang Bukit Baling.
3. Mengetahui dan memahami teknis dan manajerial pelaksanaan survei
mamalia besar menggunakan kamera perangkap di SM Bukit Rimbang
Bukit Baling.
1.3 Kompetensi Terkait Topik Kerja Praktek
Pelaksanaan kerja praktek ini memberikan beberapa manfaat yaitu:
1. Pengetahuan tentang satwa liar berupa mamalia besar yang terdapat di
Sumatera secara umum dan khususnya macan dahan dan tapir.
2. Pengalaman dan keterampilan melakukan survei mamalia besar
menggunakan kamera perangkap.
3. Pengalaman dan keterampilan mengolah data hasil pengoperasian
kamera perangkap.
II. WWF INDONESIA
2.1. WWF dan Misinya
WWF (World Wildlife Fund) adalah sebuah organisasi internasional non-
pemerintah (NGO/LSM) di bidang konservasi alam. Organisasi ini didirikan pada
tanggal 1 September 1961 oleh beberapa orang, di antaranya ahli biologi Sir
Julian Huxley, Pangeran Bernhard dari Belanda, Max Nicholson dan pelukis Sir
Peter Scott yang mendesain logo panda hitam-putihnya. Misi WWF adalah
sebagai berikut:
(1) melindungi keanekaragaman genetis, spesies, dan ekosistem;
(2) menjaga penggunaan sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan dan memberi keuntungan bagi semua kehidupan
di bumi;
(3) mengurangi polusi lingkungan dan konsumsi sumberdaya alam yang
berlebihan hingga sekecil-kecilnya.
WWF Indonesia merupakan salah satu di antara 22 cabang internasional
WWF yang ada di dunia. Di negara ini WWF Indonesia memiliki 27 cabang yang
tersebar di 22 provinsi.
2.2. Visi dan Misi WWF-Indonesia
Visi WWF-Indonesia adalah “Konservasi keanekaragaman hayati
Indonesia untuk kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan.” Sedangkan
misinya adalah memelihara keanekaragaman hayati dan mengurangi pengaruh
(negatif) manusia terhadap keanekaragaman hayati dengan cara:
(1) mendorong etika konservasi yang kuat, kesadaran dan pelaksanaan
konservasi keanekaragaman hayati di kalangan masyarakat Indonesia;
(2) membantu usaha-usaha berbagai pihak terkait untuk memelihara
keanekaragaman hayati dan proses-proses ekologis pada skala
ekoregional;
(3) mendukung kebijakan, hukum, dan pelaksanaan hukum yang
mendukung konservasi keanekaragaman hayati;
(4) mendorong konservasi keanekaragaman hayati untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia, melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara
berkelanjutan.
2.2. Kegiatan WWF Indonesia di Riau
Kegiatan WWF Indonesia di Provinsi Riau disebut WWF Indonesia-Riau
Programme atau WWF Program Riau. Di provinsi ini, WWF Program Riau
berkantor di JL. Cemara Kipas No. 33, Pekanbaru.
Fokus utama kegiatan di Riau adalah konservasi harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae) dan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus),
yaitu dua spesies satwa liar yang diangkat sebagai spesies payung (umbrella
species) bagi pelestarian berbagai spesies satwa lain beserta habitat mereka.
WWF Indonesia menerapkan pendekatan pengelolaan lansekap hutan
tropis sebagai habitat kedua spesies satwa tersebut. Sementara ini, kegiatan
konservasi harimau yang dilakukan masih terfokus pada lansekap yang di
dalamnya terdapat Taman Nasional (TN) Bukit Tigapuluh, TN Tesso Nilo dan
SM Bukit Rimbang Bukit Baling.
Keberadaan harimau di dalam lansekap ini telah dipantau WWF sejak
tahun 2005 menggunakan berbagai metode, termasuk dengan pengoperasian
kamera perangkap. Sedangkan keberadaan gajah juga telah dipantau
menggunakan berbagai macam teknik survei, seperti fecal DNA dan GPS-collar.
III. MACAN DAHAN DAN TAPIR ASIA
3.1 Macan Dahan
Macan dahan yang terdapat di Sumatera (Neofelis diardi diardi)
merupakan salah satu spesies mamalia besar yang terancam kepunahan. IUCN
telah memasukkan spesies satwa ini kedalam Redlist atau daftar spesies-spesies
yang berada dalam bahaya kepunahan (endangered) pada tahun 2008. Di
Indonesia sendiri, pemerintah telah terlebih dahulu menetapkannya sebagai salah
satu spesies satwa dilindungi melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999.
Gambar 3.1 Macan Dahan
Menurut sistematika hewan, macan dahan adalah mamalia yang termasuk
ordo Carnivora, family Felidae, subfamili Pantherinae, genus Neofelis dan spesies
Neofelis diardi. Dalam hal ini dikenal ada beberapa subspesies macan dahan.
Subspesies yang terdapat di Sumatera adalah diardi.
Macan dahan memiliki karakteristik yang khas berupa corak tubuh yang
menyerupai awan sehingga disebut juga clouded leopard. Macan dahan termasuk
kedalam satwa yang memiliki sifat elusive yaitu suka menyembunyikan diri.
Selain itu satwa yang hidup sendiri-sendiri (soliter) ini juga lebih banyak aktif
pada malam hari (nokturnal). Ukuran tubuh macan tidak terlalu besar dengan
panjang sekitar 95 cm dan berat badan tidak lebih dari 25 kg. Selain itu macan
dahan memiliki gigi taring yang terpanjang dalam famili Felidae, yaitu hingga 5
cm. Macan dahan juga memiliki ekor yang panjangnya melebihi panjang
tubuhnya. Ekor yang panjang ini berfungsi sebagai pengatur keseimbangan
selama mereka memanjat dan berada di atas pohon.
3.2. Tapir Asia
Tapir Asia (Tapirus indicus) adalah salah satu spesies mamalia besar
selain gajah dan badak yang bisa ditemui di Sumatera dan merupakan salah satu
dari empat jenis tapir yang ada di dunia. Tapir Asia hanya terdapat di Asia
Tenggara. Penyebaran Tapir Asia terutama di Indonesia hanya sebatas di pulau
Sumatera, dimana satwa ini sekarang masih bisa ditemukan di tujuh dari delapan
provinsi yang terdapat di pulau ini.
Berdasarkan Redlist IUCN 2011 satwa ini merupakan satwa yang
terancam punah (endangered) dan termasuk pada golongan Appendix 1 CITES.
Selain itu menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, Tapir merupakan
salah satu satwa yang dilindungi oleh negara.
Gambar 3.2. Tapir Asia
Tapir Asia mempunyai ciri-ciri yang khas berupa "pelana" berwarna putih
yang terdapat pada sebagian tubuhnya (Gambar 3.2). Sedangkan bagian tubuh
lainnya berwarna hitam kecuali ujung telinga yang berwarna putih seperti jenis
tapir lain. Pola warna yang seperti ini berguna untuk kamuflase ketika berada di
habitat alaminya. Seperti jenis tapir lainnya, satwa ini memiliki ekor dan belalai
yang pendek dan lentur berfungsi sebagai alat yang sangat sensitif. Alat ini tidak
hanya berfungsi sebagai indera penciuman melainkan juga membantu
mempersepsi lingkungan sekitar, seperti membantu indera penglihatan. Jejak kaki
tapir sangat mirip dengan jejak kaki badak yang membedakannya adalah kaki
depannya mempunyai empat kuku tetapi pada kaki belakangnya hanya terdapat
tiga kuku saja.
Ukuran tubuh Tapir Asia merupakan yang terbesar dari tiga spesies tapir
lainnya dengan panjang tubuh berkisar 1,8 m hingga 2,4 m, tinggi tubuh 90-110
cm dan berat badannya bisa mencapai 500 kg.
Tapir merupakan satwa yang sangat pemalu (elusive), suka bersembunyi
dan biasanya bergerak pada malam hari (nokturnal). Meskipun binatang ini
bentuknya kelihatan canggung, tetapi tapir merupakan hewan yang lincah dimana
mereka adalah pendaki-pendaki yang sangat kuat.
IV. TEORI PENGGUNAAN KAMERA PERANGKAP
4.1. Kamera Perangkap
Seperti telah disebutkan di bab terdahulu bahwa konservasi satwa liar pada
dasarnya merupakan upaya pelestarian populasi spesies-spesies satwa liar dalam
habitat mereka. Dalam praktek, pelestarian populasi adalah upaya pengelolaan
populasi. Hal ini membutuhkan data-data yang akurat tentang jumlah dan
komposisi serta sebaran anggota populasi yang dimaksud.
Seringkali data-data tersebut sulit diperoleh melalui survei dengan metode-
metode konvensional, seperti pengamatan secara langsung maupun tidak langsung
berdasarkan jejak kaki, kotoran, cakaran dan sebagainya. Metode konvensional
tidak jarang juga bersifat invasif, artinya berpotensi mempengaruhi perilaku satwa
liar atau bahkan mengganggu dan menyakiti mereka. Oleh karenanya diperlukan
metode yang lebih canggih agar dapat diperoleh data-data yang lebih akurat dan
otentik.
Salah satu diantara metode inkonvensional yang sejak tahun 1990-an
dikembangkan adalah penggunaan kamera sebagai perangkap satwa liar. Metode
ini pada dasarnya memanfaatkan kamera yang dapat mengambil gambar secara
otomatis. Adanya sensor inframerah dalam kamera memungkinkan penangkapan
setiap gerakan yang terjadi di depan kamera. Sensor ini juga mendeteksi
perbedaan suhu yang diakibatkan oleh kehadiran obyek tertentu, seperti tubuh
hewan yang berdarah panas. Dalam hal ini, ada kamera yang berfungsi sebagai
pengambil foto saja dan ada kamera yang berfungsi sebagai pengambil video saja
atau berfungsi sebagai pengambil keduanya, tergantung tujuan pemakaian.
Berdasarkan teknologi perekaman gambarnya, kamera perangkap dapat
dibagi menjadi dua, yaitu kamera analog dan kamera digital. Kamera analog
merekam gambar dengan film seluloid yang dapat menangkap maksimal 36
gambar. Sedangkan kamera digital merekam gambar dalam bentuk data digital
dalam sebuah kartu memori. Kapasitas kartu ini biasanya cukup besar, mulai dari
2 GB hingga 16 GB. Dengan kapasitas ini, sebuah kartu dapat memuat ratusan
hingga ribuan gambar. Pengoperasian kedua jenis kamera membutuhkan tenaga
yang dibekalkan dalam kamera dalam bentuk baterai litium maupun baterai
alkalin. Biasanya baterai yang digunakan hanya dapat menyediakan tenaga selama
tidak lebih dari 2 bulan. Untuk menghindari kekosongan tenaga maka umumnya
baterai dalam kamera perangkap diganti setiap bulan sekali. Pada saat penggantian
baterai biasanya juga dilakukan pemanenan data. Hal ini dilakukan, selain untuk
mengosongkan kembali kartu memori yang digunakan, juga untuk mengetahui
hasil sementara yang diperoleh.
Ada beberapa merk kamera perangkap yang banyak digunakan dalam
survei dan pemantauan satwa liar, baik kamera analog maupun kamera digital
(Gambar 4.1). Salah satu contoh merk kamera analog yang paling terkenal adalah
DeercamTM, sedangkan merk kamera digital yang umum digunakan adalah
Bushnell, Camtrakker, Cuddeback, Reconix, Trailmaster dan Wildview. Harga
dari kamera-kamera ini sangat Pada masing-masing merk kamera ini sangat
bervariasi, tergantung fitur masing-masing. Meskipun demikian, hampir semua
merk kamera perangkap berharga tidak kurang dari 250 USD.
A
B
Gambar 4.1. Contoh kamera analog (A) dan kamera digital (B)
Penggunaan kamera analog dalam survei dan pemantauan satwa liar sudah
mulai ditinggalkan. Sekarang para peneliti lebih banyak memilih menggunakan
kamera digital, karena kamera digital mampu menghasilkan jumlah foto yang jauh
lebih besar dibandingkan kamera analog. Selain itu, gambar digital dapat dengan
mudah segera dilihat tanpa harus mencetak film terlebih dahulu. Keunggulan lain
dari kamera digital adalah kemampuannya bereaksi lebih cepat terhadap obyek
yang ditangkap sensor.
Teknologi kamera perangkap yang digunakan dalam survei dan
pemantauan satwa liar tidak hanya memiliki kelebihan, tetapi juga kekurangan.
Kelebihan penggunaan kamera perangkap adalah:
Alat ini dapat bekerja secara otomatis dan terus menerus, sehingga kamera
dapat diletakkan di lokasi-lokasi terpencil yang sulit dijangkau.
Pengambilan foto maupun video menggunakan kamera perangkap bersifat
non-invasif, artinya dapat dianggap tidak mempengaruhi perilaku satwa
atau mengganggu dan melukainya.
Kamera perangkap dalam studi satwa liar kita tidak perlu mengganggu dan
menyakiti satwa liar.
Adapun kekurangan penggunaan kamera perangkap yaitu:
Bidikan kamera bersifat statis sehingga para peneliti harus jeli dan
memahami tempat yang strategis dan berpotensial akan kehadiran satwa
liar target.
Kamera perangkap tidak atau kurang sesuai untuk jenis satwa yang terlalu
besar atau terlalu kecil, dan untuk jenis hewan perairan.
Kamera perangkap tidak atau kurang sesuai untuk habitat terbuka seperti
padang rumput atau savana karena pergerakan satwa liar yang bebas sulit
dideteksi kamera perangkap yang bersifat statis tersebut.
4.2. Disain Survei Menggunakan Kamera Perangkap
Survei menggunakan kamera perangkap biasanya membutuhkan persiapan
yang cukup matang agar diperoleh hasil yang optimal. Karena harga satu unit
kamera perangkap relatif mahal maka dalam suatu survei umumnya jumlah
kamera yang bisa digunakan merupakan salah satu faktor terpenting yang harus
dipertimbangkan dalam membuat perencanaan. Keterbatasan jumlah kamera
menuntut penggunaan kamera secara efisien namun efektif. Berikut ini adalah
tahap-tahap dalam proses perencanaan suatu survei menggunakan kamera
perangkap (Gambar 4.2):
(1) Penentuan lokasi survei
Lokasi survei biasanya adalah kawasan-kawasan yang diketahui atau
diduga dihuni oleh spesies-spesies mamalia yang menjadi sasaran survei.
(2) Pembuatan grid pada peta lokasi
Setelah lokasi survei ditentukan, dilakukan pembuatan grid pada peta
lokasi. Grid yang dimaksud dibuat dengan bantuan program aplikasi GIS
tertentu, misalnya ArcGIS.
(3) Pemilihan grid tempat pemasangan kamera perangkap
Dengan mempertimbangkan kondisi dalam masing-masing grid
(berdasarkan hasil analisis GIS), dipilih grid-grid yang memiliki posisi dan
kondisi sesuai dengan tujuan survei.
(4) Survei kondisi dalam grid di lapangan
Tahap yang dilakukan setelah pemilihan grid adalah melakukan survei
kondisi dalam grid di lapangan dengan melihat kondisi dari grid-grid yang
telah dipilih. Hal ini bertujuan untuk menganalisis potensi dari grid yang
bisa mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan survei.
(5) Penentuan titik pemasangan kamera perangkap dalam grid yang dipilih
Penentuan titik pemasangan kamera di dalam grid dilakukan berdasarkan
hasil survei terkait kondisi grid di lapangan agar mendapatkan titik yang
paling potensial dilewati satwa sasaran.
(6) Pemasangan kamera perangkap
Untuk memperbesar peluang pemotretan satwa sasaran dari kedua sisi
tubuhnya, maka pada setiap grid dipasang dua kamera yang diletakkan
secara berhadapan dengan jarak kurang lebih 3,5 m. Pemasangan dua
kamera ini memungkinkan diperolehnya identitas satwa sasaran secara
individual. Ketinggian posisi kamera tergantung pada ukuran tubuh satwa
sasaran, tetapi biasanya berkisar antara 45 cm hingga 65 cm.
(7) Pemantauan dan pengumpulan data
Pemantauan kamera dilakukan berdasarkan kapasitas baterai dan kartu
memori yang terpasang dalam masing-masing kamera. Umunya hal ini
dilakukan setiap satu hingga dua bulan. Selama pemantauan juga
dilakukan pengumpulan data dari hasil pemotretan selama satu bulan atau
dua bulan tersebut.
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 4.2. Contoh pembuatan disain survei menggunakan kamera perangkap:
(A) penentuan lokasi survei; (B) pembuatan grid pada peta lokasi; (C) pemilihan
grid; (D) survei kondisi grid dan penentuan titik pemasangan kamera di lapangan.
4.3. Pengelolaan dan Analisis Data
4.3.1. Pengelolaan data
Pada setiap pemantauan kartu memori dari setiap kamera akan
dikosongkan dan data dipindahkan ke dalam sebuah penampung data. Data dari
setiap kamera dikumpulkan dalam satu folder menurut tanggal pengambilan.
Selanjutnya data yang diperoleh dapat langsung diperiksa dengan menggunakan
laptop atau PC. Tahap selanjutnya adalah penyortiran gambar yang diperoleh,
yaitu sebagai berikut:
(1) pemilahan gambar yang mengandung spesies satwa sasaran;
(2) pemilahan gambar (1) yang dapat diidentifikasi secara individual;
(3) identifikasi masing-masing individu satwa sasaran yang terpotret.
Hasil identitifikasi diinputkan dalam MS-Excel dengan menyertakan waktu
gambar terambil, nama grid lokasi kamera perangkap serta titik koordinat grid
tersebut.
4.3.2 Analisis data
Untuk membuat sebuah estimasi populasi satwa sasaran dapat digunakan
program DENSITY. Program ini merupakan sebuah alat untuk menganalisis apa
yang disebut Spatially Explicit Capture-Recapture atau SECR. Dalam hal ini
kepadatan populasi diperkirakan dengan model menggunakan asumsi bahwa
populasi yang diperiksa merupakan sebuah populasi tertutup.
Hasil identifikasi tersebut (lihat 4.3.1.) diinputkan kedalam program
DENSITY setelah terlebih dahulu dilakukan adalah penyiapan input filenya, yaitu
Traps.txt, Capture.txt dan Mask. Input file dibuat dalam MS-Excel dan disimpan
dalam format file text tab delimited. Setelah semua selesai, dilakukan pengiputan
file kedalam program DENSITY.
V. PELAKSANAAN SURVEI MACAN DAHAN DAN TAPIR
MENGGUNAKAN KAMERA PERANGKAP
5.1. Lokasi Survei
Survei macan dahan dan tapir yang telah diikuti dilaksanakan di SM Bukit
Rimbang Bukit Baling (Gambar 5.1), yang termasuk salah satu kawasan dalam
lansekap Tesso Nilo yang mendapat perhatian khusus dari WWF. Hal ini
dikarenakan dalam kawasan ini masih terdapat banyak satwa langka, tutupan
hutannya masih cukup luas dan kondisi hutannya masih cukup bagus.
Menurut data WWF dalam kawasan ini masih terdapat sekitar 50 spesies
mamalia, diantaranya yang termasuk spesies satwa karismatik, yaitu harimau,
macan dahan dan tapir. Disamping mamalia, dalam kawasan ini juga dapat
dijumpai tidak kurang dari 150 spesies burung, termasuk spesies-spesies burung
yang dilindungi, seperti rangkong, elang dan beo. Keanekaragaman flora dalam
kawasan ini juga cukup mengesankan, mengingat kondisi hutannya yang relatif
belum banyak mengalami kerusakan.
Gambar 5.1. Posisi SM Bukit Rimbang Bukit Baling (Sumber:
WWF-Indonesia Riau Programme)
Surat Keputusan Gubernur KDH. Tk. I Riau. No. 149/V/1982 telah
menetapkan wilayah seluas 136.571 ha dalam kawasan Bukit Rimbang dan Bukit
Baling sebagai sebuah Suaka Margasatwa (SM), yang disebut SM Bukit Rimbang
Bukit Baling. SM ini memiliki wilayah yang sebagian besar berada di barat daya
Provinsi Riau, tepatnya dalam wilayah Kabupaten Kuantan Singingi dan
Kabupaten Kampar, dan sebagian kecil di Provinsi Sumatera Barat.
Wilayah SM ini memiliki topografi berbukit dengan kemiringan 25%-
100%. Puncak Bukit Baling yang tertinggi adalah 927 m dpl dan puncak Bukit
Rimbang tertinggi adalah 1.070 m dpl. Jenis tanah di dalamnya terdiri dari
podsolik merah kuning dan latosol dengan bahan induk batuan beku dan endapan
dengan fisiografi pegunungan patahan.
5.2.Disain Survei
Mula-mula dilakukan pembuatan grid pada peta digital kawasan Bukit
Rimbang dan Bukit Baling dengan bantuan program GIS. Setiap grid yang dibuat
berukuran 2 km x 2 km atau seluas 4 km2. Dari semua grid yang ada dipilih secara
sistematik (berselang-seling) 20 grid diantaranya. Jarak antara grid-grid yang
terpilih minimal satu grid atau 2 km.
Dalam survei yang telah dilaksanakan, semua kamera dioperasikan selama
tiga bulan atau 90 malam. Selama pengoperasian ini dilakukan penggantian
baterai dan pengambilan data sebanyak tiga kali, yaitu setiap 30 malam.
5.3. Pelaksanaan Survei
Berpedoman pada grid-grid yang telah dipilih, dilakukan survei ke
lapangan dengan bantuan GPS. Tujuan dari survei ini adalah untuk menentukan
titik-titik pemasangan kamera perangkap. Pemilihan titik-titik ini didasarkan pada
tanda-tanda keberadaan satwa sasaran, yaitu macan dahan dan tapir. Tanda-tanda
yang dimaksud dapat berupa jejak, kotoran dan cakaran.
Setelah titik-titik tersebut ditentukan, maka dilakukan pemasangan kamera
perangkap. Dalam setiap grid dipasang dua kamera perangkap secara berhadapan.
Dalam hal ini posisi kedua kamera bisa tepat berhadapan atau tidak tepat
berhadapan, tergantung pada kondisi tempat pemasangan (Gambar 5.2). Di
lapangan, jarak berhadapan antar kamera berkisar antara 3-4 m, sedangkan jarak
miring antar kamera berkisar antara 3-5 m.
Gambar 5.2. Contoh posisi kamera perangkap
Kamera perangkap dipasang pada pohon yang berada di tepi jalur yang
diduga sering dilewati oleh satwa sasaran. Ketinggian kamera dari permukaan
tanah berkisar 40-50 cm (Gambar 5.3).
Gambar 5.3. Ketinggian kamera dari permukaan tanah
Setelah pemasangan kamera selesai, maka dilakukan pengaturan fungsi
kamera sesuai dengan tujuan survei. Fungsi yang dimaksud meliputi:
Pemilihan modus operasi kamera, yaitu sebagai kamera foto atau kamera
video.
Pengaturan ukuran data gambar.
Penghidupan sensor inframerah.
Setelah pemasangan dan pengaturan kamera perangkap selesai, dilakukan
uji coba terlebih dahulu untuk memastikan kamera bekerja dengan baik. Uji coba
ini dilakukan dengan cara meniru gerakan satwa yang melintas di depan kamera
(Gambar 5.4).
Gambar 5.4. Uji coba hasil kamera perangkap
5.4.Analisis Foto
Hasil survei selama 2 kamera x 20 grid x 90 malam atau 3600 kamera-
malam berupa foto sebanyak tidak kurang dari 18.000 frame. Foto-foto ini berisi
gambar beranekaragam satwa, seperti foto harimau, macan dahan, tapir, babi dan
lain-lain. Dari sekian banyak foto kemudian dipilih yang berisi gambar macan
dahan dan tapir saja. Selanjutnya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Pemilihan foto macan dahan dan tapir yang dapat diidentifikasi secara
individual berdasarkan kualitas gambar.
Identifikasi individu-individu macan dahan dan tapir yang terpotret
berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki masing-masing, seperti ukuran tubuh,
jenis kelamin, pola bercak tubuh, tanda-tanda bekas luka.
Tabulasi frekuensi dan lokasi kehadiran masing-masing spesies satwa
yang dimaksud menurut nomor identitas grid.
5.5. Estimasi Populasi
Setelah melalui proses di atas, dapat dikenali sekurang-kurangnya delapan
individu macan dahan dan 14 individu tapir. Macan dahan yang ditemukan tidak
dapat dikenali jenis kelamin mereka. Sedangkan tapir yang dijumpai terdiri dari
lima individu jantan, lima individu betina dan empat individu yang tidak diketahui
jenis kelamin mereka.
Tujuan utama survei ini selain untuk memperoleh estimasi jumlah individu
minimal dari kedua spesies satwa sasaran tersebut dalam SM Bukit Rimbang
Bukit Baling, juga dimaksudkan untuk memperoleh estimasi tingkat kepadatan
individu dari masing-masing spesies.
Estimasi tingkat kepadatan individu ini dilakukan dengan bantuan program
DENSITY. Data-data yang diinputkan kedalam program ini berupa tiga file yang
masing-masing disebut Traps.txt, Capture.txt dan Mask. Traps.txt berisi informasi
tentang TrapID atau nama grid tempat penempatan kamera perangkap yang hasil
fotonya telah diidentifikasi dan dikenali sebagai suatu individu yang berbeda. File
ini juga memuat informasi dari titik koordinat grid berupa Universal Transfer
Mecator (UTM) yang merupakan koordinat berbasis jarak. Tiap baris dari file ini
berisi informasi TrapID, matriks lokasi kamera perangkap dalam X-koordinat dan
Y- koordinat, contohnya:
A1 2674860 5982600 111110000000000
B1 2674890 5982600 111110000000000
C1 2674920 5982600 111110000000000
D1 2674950 5982600 000001111100000
dst.
Penjelasan dari contoh di atas adalah sebagai berikut. Lokasi A1, B1 dan
C1 aktif selama lima sampling occasion (waktu sampling) pertama dalam rentang
15 sampling occasion. Lokasi D1 aktif pada occasion 6-10 dan tidak aktif selama
masa occasion lainnya. Angka 1 menunjukkan bahwa kamera hidup pada waktu
sampling dan angka 0 menunjukkan jika kamera dalam keadaan tidak aktif atau
mati saat itu.
Capture.txt berisi informasi tentang jumlah kehadiran individu yang
teridentifikasi selama periode sampling dan lokasi dimana individu itu terlihat.
File ini memuat informasi SessionID, AnimalID, Occasion, TrapID (dengan
proyeksi yang sama seperti Traps.txt). SessionID adalah sesi pengambilan
gambar. AnimalID adalah nama dari individu yang telah diidentifikasi. Occasion
adalah waktu atau saat dimana kamera itu hidup dan mengambil foto satwa
tersebut. Sedangkan TrapID merupakan nama grid atau lokasi foto itu terambil
dan nama ini harus sama dengan nama lokasi yang digunakan dalam file Traps.txt
sebelumnya. Sebagai contoh:
1 TA_01 2 A1
1 TA_01 8 B1
1 TA_01 5 C1
1 TA_01 3 D1
1 TA_04 5 C1
1 TA_04 3 E1
Penjelasan dari contoh berikut adalah sebagai berikut. Tapir Asia 1
terekam 4 kali pada occassion 2, 3, 5 dan 8 di session 1, pada lokasi A1, B1, C1
dan D1.
Mask.txt berisi informasi tentang titik koordinat X dan Y sesuai dengan
yang ada pada file Traps.txt dan Capture.txt dengan menggunakan proyeksi
koordinat UTM. File ini dibuat menggunakan program ArcGIS.
Setelah semua input file dibuat, maka file-file tersebut akan diinputkan
kedalam program DENSITY. Pengaturan program ini dilakukan sesuai dengan
tujuan analisis. Melalui rangkaian proses yang telah dipaparkan akhirnya dapat
diketahui bahwa estimasi kepadatan untuk macan dahan adalah 2,77 individu/100
km2 dengan nilai standard error (SE) 1,14. Sedangkan estimasi kepadatan tapir
adalah 8,6 individu/100 km2 dengan nilai standard error (SE) 2,3.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012. Macan dahan pemilik taring terpanjang. URL: http://kask.us/13710275. Di akses pada tanggal 31 Juni 2012.
Borchers DL, Efford MG 2008. Spatially explicit maximum likelihood methods
for capture-recapture studies. Biometrics 64: 377-385.
Efford MG 2004. Density estimation in live-trapping studies. Oikos 106: 598-610.
Efford MG, Borchers DL, Byrom AE 2009. Density estimation by spatially
explicit capture-recapture: likelihood-based methods. Pp. 255-269 In: DL
Efford MG, Dawson DK, Robbins CS 2004. DENSITY: software for analysing
capture-recapture data from passive detector arrays. Animal Biodiversity
and Conservation 27: 217-228.
Marc Ancrenaz, Andrew J. Hearn Joanna Ross, Rahel Sollmann, and Andreas
Wilting. 2012. Handbook for wildlife monitoring using camera‐traps .
BBEC Publication, Malaysia
Veevers, W. 1978. Mamalia Darat Indonesia. PT Intermasa, Jakarta
LAMPIRAN
Perjalanan mengarungi Sungai Subayang dari Desa Gema menuju SM Bukit
Rimbang Bukit Baling
Fasilitas akomodasi dalam SM Bukit Rimbang Bukit Baling
Diskusi di lapangan dalam rangka menentukan titik pemasangan kamera
Proses pemasangan kamera perangkap
Top Related