KEBUDAYAAN TIONGHOA
A. SISTEM PENDIDIKAN ORANG TIONGHOA
Sebelum abad ke-19 pendidikan bagi anak-anak Tionghoa
tidak mendapat perhatian pemerintah jajahan Belanda.
Undang-undang tahun 1854, yang memperluas kesempatan
belajar bagi penduduk, hanya berlaku untuk orang Indonesia,
tetapi kemudian anak-anak Tionghoa diberi kesempatan untuk
memasuki sekolah-sekolah Belanda dengan syarat mengerti
bahasa Belanda, bila ada lowongan dan sanggup membayar uang
sekolah yang tuinggi. Hal-hal ini menyebabkan orang-orang
Tionghoa merasa dianak tirikan oleh pemerintah jajahan
Belanda. Pada tahun 1900 oran Tionghoa di Indonesia
mendapat pengaruh dari sistem pendidikan di Negara Cina
yang mengalami modernisasi. Karena itu dengan mendapat
dukungan pedagang-pedagang Tionghoa yang tergabung dalam
organisasi Siang Hwee di Jakarta didirikan sekolah Tiong
Hoa Hwee Koan. Sekolah itu didirikan dengan maksud untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, di
samping itu agar orang Tionghoa Peranakan kembali
memperlihatkan adat-istiadat, sejarah kebudayaan dan
pandangan hidup Cina. Dalam waktu cepat, tahun 1911 relah
ada 93 cabangnya di seluruh Indonesia.
Pendidikan Tionghoa yang bersifat nasional Cina ini,
menimbulkan kekuatiran pemerintah penjajahan Belanda,
sehingga mulai tahun 1908, sekolah-sekolah Tionghoa
Belanda atau Hollands Chinese School (HCS) didirikan di
kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia. Sekolah
Belanda untuk anak-anak Tionghoa itu, didirikan khusus bagi
anak-anak Tionghoa saja, sedangkan anak-anak golongan lain
yang ingin memasukinya harus mendapat izin Direktur
Pendidikan. Pendaftaran untuk masuk ke sekolah ini dari
golongan lain ternyata praktis tidak ada. Daftar mata-mata
pelajaran (kurikulum) sekolah ini sama dengan tingkatan
sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan bahasa
pengantarnya adalah bahasa Belanda. Syarat utama untuk
memasuki sekolah ini adalah, bahwa anak-anak Tionghoa itu
berasal dari tingkatan kedudukan sosial yang tertentu.
Walaupun syarat pengetahuan dasar bahasa Belanda tidak ada
(syarat ini harus dipenuhi anak-anak Indonesia yang ingin
memasuki sekolah-sekolah Belanda) namun untuk
memungkinkan anak-anak Tionghoa mengikuti pelajaran-
pelajaran dalam bahasa Belanda, maka bagi mereka diadakan
kelas-kelas persiapan yang mengajarkan bahasa Belanda.
Ketika jumlah keluarga-keluarga Tionghoa yang berbahasa
Belanda bertambah, maka lama-kelamaam kelas-kelas
persiapan itupun dihapuskan.
Pendirian sekolah-sekolah Tionghoa Belanda itu
merupakan tindakan Belanda untuk menjamin pendidikan yang
luas bagi orang Tionghoa. Orang Tionghoa yang dapat
menyelesaikan pelajarannya di sekolah atas dapat
meneruskan pelajarannya di negeri Belanda, kebanyakan
kemudian lebih berorientasi ke masyarakat Belanda daripada
ke masyarakat Indonesia, tetapi orang-orang yang mendapat
kesempatan yang luas itu hanya terbatas saja. Pada tahun
1936 dari total 200.000 anak-anak Tionghoa yang ada di
Indonesia, antara 6-14 tahun, kira-kira 98.000 menerima
pendidikan dari beberapa macam sekolah. Dari 98.000 itu
45.000 menerima pendidikan di sekolah Cina (Tiong Hoa Hwee
Koan), 23.000 menerima pendidikan di Hollands Chinese
School, 3.000 menerima pendidikan di sekolah Belanda,
sedangkan sisanya dididik di sekolah-sekolah lain.
Demikian dapatlah dikatakan bahwa waktu itu 50% dari anak-
anak Tionghoa di Indonesia telah berpendidikan.
Dari gambaran di atas, maka dapatlah kita lihat bahwa
orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia terpisah-pisah,
karena latar belakang pendidikannya. Pembagian pertama
adalah ke dalam golongan Peranakan dan Totok. Kemudian
mereka terbagi ke dalam golongan-golongan yang mendapat
pendidikan Belanda, Indonesia atau Cina. Kebanyakan anak-
anak Tionghoa dari golongan Peranakan memasuki sekolah-
sekolah Tionghoa Belanda dan Belanda, sedangkan orang-
orang Totok menunjukkan kecondongan untuk mencari
pendidikan di sekolah Cina. Pada masa pendudukan Jepang
sekolah-sekolah Cina Belanda dan sekolah-sekolah Belanda
ditutup, maka orang-orang Tionghoa Peranakan banyak yang
memasuki sekolah Cina. Pada masa itu tidak dibedakan oleh
tentara pendudukan Jepang antara Peranakan dan Totok. Kedua
golongan itu dipandang sebagai orang Tionghoa yang terpisah
dari masyarakat Indonesia dan Eropa. Dalam zaman perang
dunia ke-II memang Jepang juga berperang melawan negara
Cina, maka sebagai akibat dari iru di ndonesia perlakuan
Jepang terhadap orang Tionghoa sangat kejam. Demikian kedua
golongan orang Tionghoa itu bersatu dan dengan semangat
nasionalis bersama-sama menentang Jepang.
Pada masa revolusi dan setelah pengalihan kekuasaan ke
tangan orang-orang Indonesia, pemerintah Indonesia pada
mulanya juga tidak lihat perbedaan antara Peranakan dan
Totok. Maka orang-orang Peranakan yang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan revolusi menganut kepercayaan
bahwa konsekuensi kemerdekaan Indonesia dapat dihindarkan
melalui pelarian ke nasionalisme Cina. Untuk 15 tahun
lamanya dari tahun 1942 sampai 1957, jumlah anak-anak
Peranakan yang mengikuti sekolah-sekolah Cina, yang
diselenggarakan oleh orang Totok makin bertambah karena
perlakuan pemerintah yang sama buruknya terhadap warga
negara Peranakan dan orang-orang Totok. Untung bahwa garis
besar politik pemerintah Indonesia mulai berubah dalam
tahun 1957. Paling sedikit mulai disadari adanya masalah
perbedaan antara orang Tionghoa Peranakan dan orang
Tionghoa Totok dan antara orang Tionghoa warga negara
Indonesia dan orang Tionghoa warga negara asing.
Setelah peristiwa G30S,semua sekolah Cina ditutup dan
diambil alih oleh pemerintah Indonesia, sehingga semua anak
orang Totok maupun Peranakan terpaksa masuk sekolah
Indonesia.
B. MATA PENCAHARIAN HIDUP ORANG TIONGHOA
Suatu bagian daribesar orang Tionghoa di Indonesia
sekarang memang hidup dari perdagangan dan hal ini suatu
fakta terutama di Jawa . sebagian besar dari mereka adalah
orang Hokkien. Memang 50% dari orang Hokkien di Indonesia
adalh pedagang, tetapi di Jawa Barat dan di pantai barat
Sumatera ada banyak orang Hokkien yang bekerja sebagai
petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan Siapiapi
(Riau) orang Hokkien umumnya menjadi penangkap ikan.
Orang Hakka di Jawa dan Madura banyak yang menjadi
pedangang, tetapi banyak juga yang menjadi pengusaha
industri kecil. Di Sumatera orang Hakka bekerja di
pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat banyak yang
menjadi petani. Orang Teo Chiu kebanyakan bekerja sebagai
petani dan penanam sayur-sayuran, tetapi di daerah
perkebunan Sumatera Timur sebagian besar dari mereka adalah
kuli di perkebunan-perkebunan tembakau. Untuk perkebunan-
perkebunan inilah pada mula-mulanya mereka didatangkan
dari negara Cina. Di Kalimantan Barat pekerjaan mereka
adalah sebagai petani. Di daerah lain di Indonesia, jumlah
terbesar dari mereka adalah sebagai pedagang, sedangkan di
beberapa daerah mereka bekerja di perusahaan industri.
Orang Kanton atau Kwong Fu di Jawa untuk lebih dari 40%
mempunyai perusahaan-perusahaan industri kecil dan
perusahaan-perusahaan dagang hasil bumi. Di Sumatera
banyak orang Kanton adalah petani, penanam sayu-sayuran
atau buruh tambang. Di Bangka mereka merupakan kelompok
yang penting sebagai pekerja tambang, sedangkan di
Palembang ada banyak orang Kwong Fu, yang bekerja sebagai
tukang dalam industri minyak. Sejak adanya lulusan sekolah
tinggi Belanda dalam tahun-tahun menjelang perang dunia ke-
II, ada banyak juga orang Tionghoa memilih pekerjaan
profesional sebagai pengacara, insinyur dan dokter,
sedangkan akhir-akhir ini jumlah orang Tionghoa yang
bekerja sebagai pegawai makin bertambah.
Karena perdagangan dan berusaha memang merupakan
suatu mata pencaharian hidup yang paling penting di antara
orang Tionghoa di Indonesia, maka menarik juga untuk
mengetahui bagaimana susunan dari organisasi-organisasi
perdagangan mereka. Organisasi perdangangan orang
Tionghoa di Indonesia berdasarkan sistem hubungan
kekerabatannya (sistem famili). Sebagian besar dari usaha
orang Tionghoa adalah kecil dan hanya cukup diurus oleh satu
keluarga tanpa membutuhkan pekerja yang diambil dari luar.
Usaha tersebut dapat terdiri dari sebuah kantor dagang,
atau toko, atau sebuah gudang dan biasanya tempat tinggal
kepalanya adalah di gudang itu juga. Apabila usaha
perdagangan itu menjadi besar, biasanya mereka membuka
sebuah cabang di kota lain dalam bentuk yang sama, dipegang
oleh seorang saudara atau kerabat lainnya. Banyak pula
usaha-usaha mereka khusus berdagang satu jenis barang
misalnya tekstil, walaupun ada kalanya mereka juga memasuki
bidang perdagangan lain.
Usaha perdagangan orang Tionghoa di Indonesia adalah
tidak tetap, mereka selalu terancam kebangkrutan. Oleh
karena itu banyak perusahaan mereka tidak bisa hidup lebih
dari tiga generasi. Salah satu sebab kebangkrutan itu
adalah kegoncangan harga di pasaran yang berada di luar
pengetahuan mereka. Organisasi perdagangan yang kecil dan
pembagian yang merata pada keturunan-keturunannya
menyebabkan mereka selalu memulai suatu usaha dengan modal
yang kecil. Banyak anak tidak memperhatikan usaha
perdagangan ayahnya, sehingga usaha itu mati bersama-sama
dengan kematian ayahnya. Hak milik dipegang seluruhnya
dalam lingkungan keluarga dan family dekat. Sehingga usaha
anggota keluarga dapat dengan mudah dipersatukan, kalau mau
membuat sebuah perseroan terbatas. Perseroan itu kadang-
kadang tidak perlu dari satu keluarga saja tetapi dapat pula
dari satu she (nama keluarga).
C. SISTEM KEPERCAYAAN ORANG TIONGHOA
Di Indonesia umumnya orang menganggap bahwa orang
Tionghoa itu memeluk agama Buddha. Memang di negara Cina
sebagian terbesar rakyatnya memeluk agama Buddha, tetapi di
Indonesia orang Tonghoa adalah pemeluk agama Buddha, Kung
Fu-tse, dan Tao, Kristen, Katolik, atau Islam . Mengenai
agama Buddha, Kong Fu-tse dan Tao, ketiga-tiganya dipuja
bersama-sama oleh perkumpulan Sam Kauw Hwee (Perkumpulan
Tiga Agama). Dari ketiga agama itu marilah kita soroti slaha
satu dari padanya yaitu Kung Fu-tse. Pengajaran Kung Fu-tse
memang sering dipandang sebagai agama, bahkan dalam abad-
abad ke-7 dan ke-8 ajaran Kung Fu-tse pernah menjadi agama
pejabat-pejabat sipil negara dan kaum cendikiawan di negara
Cina.
Sebenarnya ajaran Kung Fu-tse itu hanya merupakan
ajaran filsafat untuk hidup dengan baik. Kung Fu-tse tidak
pernah menganggap dirinya sebagai pendiri agama. Bahkan ia
pernah mengatakan, bahwa jikalau orang masih belum
mengetahui hal hidup, bagaimanakah orang akan dapat
mengetahui hal mati. Dengan ucapannya itu nyatalah bahwa
ajarannya adalah mengenai cara hidup di dunia fana ini dan
bukan mengenai hidup di alam baka. Kung Fu-tse adalah
seorang ahli filsafat yang besar.
Juga di Indonesia ajaran Kung Fu-tse itu tidak
dipandang sebagai agama oleh setiap orang Tionghoa. Ahli
filsafat itu umumnya hanya dihargai sebagai seorang guru
besar. Di Indonesia terdapat perkumpulan Khong Koan Hwee
(Perkumpulan Agama Fung Tse). Perkumpulan ini bertujuan
menyiarkan dan mengembangkan ajaran Kung Fu-tse. Pekerjaan
perkumpulan ini lebih bayak di bidang sosial dan bukan
mengurus hari nanti orang. Ajaran Kung Fu-tse terutama
berkisar sekitar soal-soal kekeluargaan dan
ketatanegaraan. Filsafatnya bertalian dengan hubungan
antara anak dan orang tua terutama mengenai kewajiban
kebaktian anak teradap orang tuanya. Intisari filsafatnya
diambil dari kekuasaan-kekuasaan dalam masyarakat yang
pada zaman itu sudah lazim. Kekuasaan-kekuasaaan itu oleh
Kung Fu-tse diberi bentuk yang tetap. Sampai pada suatu
batas konsepsi kebaktian orang Cina bersatu padu dengan
pemujaan luhur.
Dalam pemujaan leluhur dengan memelihara abu dalam
rumah, ayah menjadi pemuka upacara. Kewajiban ini kemudian
turun kepada anak laki-lakinya yang sulung, dan begitu
seterusnya. Anak perempuan tidak disebutkan dalam pemujaan
leluhur, oleh karena anak perempuan sesudah menikah
mengikuti suaminya dan dengan begitu yang turut diuruskan
ialah pemujaan leluhur pihak suaminya. Karena itu orang
Cina, yang menafsirkan bakti (hao) itu secara orthodox
menganggap anak laki-laki sebagai satu hal yang sangat
perlu. Anak laki-laki dibutuhkan bukan saja untuk
melanjutkan shenya (nama keluarganya), melainkan yang
terutama ialah untuk menggantikan ayahnya untuk kelak
merawat abu leluhur. Tentang kewajiban ini, Kung Fu-tse
mengatakan Put hao (tidak bakti) ada tiga dan salah satu di
antaranya yang terpenting adalah tidak mempunya anak.
Berbakti akan orang tua memang sesuatu hal yang
wajar,tetapi pada orang Cina berbakti itu mempunyai atau
mendapatkan arti keramat.
Anggota keluarga yang memelihara abu leluhur,
melakukan upacara pemujaan ruh leluhur yang dilakukan di
tempat abu leluhur. Tempat itu berupa sebuah meja panjang
tinggi dan di bawahnya adapula sebuah meja lain yang pendek.
Meja-meja tersebut selalu diletakkan di bagian depan
ruangan rumah pada umumnya berwarna merah tua dihiasi
dengan ukiran-ukiran yang beraneka ragam. Di atas meja
panjang ada satu atau lebih tempat menancapkan batang dupa
yang oleh orang Tionghoa disebut hio lau. Di bagian kanan
dan kiri hio lau ada sepasang pelita yang selalu dinyalakan
pada tiap-tiap tanggal satu dan lima, menurut perhitungan
dengan membakar beberapa batang dupa. Di kedua sudut meja
pendek paling depan ada pula sepasang lilin merah yan
digunakan dalam upacara sembahyang tertentu.
Orang Cina biasanya tidak mengenal pemuka agama yang
melakukan upacara, kecuali dalam agama Buddha dimana ada
pendeta-pendeta Buddha. Pendeta Buddha itu diminta
pertolongannya pada waktu kematian. Kebanyakan dari mereka
itu adalah wanita, dan mereka itu membacakan kitab-kitab
suci sepanjang malam sebelum dimakamkan. Gambar Buddha
besar digantungkan pada dinding tetarap yang didirikan di
muka rumah. Dengan diiringi gendering, sejumlah lima atau
enam orang berkali-kali mengelilingi peti jenazah sambil
membacakan doa dan membakar dupa dengan diikuti anak-anak
dan anggota dari orang yang wafat.
D. SISTEM KEMASYARAKATAN ORANG TIONGHOA
A. Perkawinan
Perkawinan itu menutup suatu masa tertentu di dalam
kehidupan seseorang, yaitu masa bujang dan masa hidup tanpa
beban keluarga. Orang Cina baru dian ggap dewasa atau
menjadi orang, bila ia telah menikah.
Karena itulah upacara perkawinan harus mahal, rumit
dan agung, untuk membuat perkawinan itu menjadi suatu
kejadian yang penting dalam kehidupan seseorang. Upacara
perkawinan orang Tionghoa adalah tergantung pada agama atau
religinya yang dianut. Karena itu upacara perkawinan orang
Tionghoa di Indonesia amat berbeda satu dengan lainnya.
Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda pula dengan
upacara perkawinan orang Tionghoa Peranakan.
Sampai pada awal abad ini perkawinan diatur oleh orang
tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami isteri tidak
mengtahui calon kawan hidupnya, mereka baru saling melihat
pada hari perkawinannya. Sekarang keadaan demikian sudah
jarang terjadi.
B. Pantang Pemilihan Jodoh
Di dalam memilih jodoh orang Tionghoa Peranakan
mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang
adalah antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga,
nama she, yang sama. Kini perkawinan antara orang-orang
yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat
(misalnya saudara-saudara sepupu), dibolehkan. Perkawinan
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih
ada hubungan kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih
tua dilarang (misalnya, seorang laki-laki kawin dengan
saudara sekandung atau saudara sepupu ibunya). Sebaliknya
perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota
keluarga dari generasi yang lebih tua (atas), dapat
diterima. Alasan dari keadaan ini ialah bahwa seorang suami
tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatnya dari
isterinya.
Peraturan lain ialah seorang adik perempuan tidak
boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Peraturan ini
berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki,
tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya
kawin, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak
perempuannya kawin. Sering juga terjadi pelanggaran
terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus
memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului
kawin itu.
C. Mas Kawin
Setelah seorang laki-laki memilih jodohnya, maka ada
perundingan mengenai hari perkawinannya. Oleh orang tua
pihak laki-laki lalu diantarkan angpao (bungkusan merah),
yakni uang yang dibungkus dengan kertas merah. Uang ini
dinamakan uang tetek. Maksudnya untuk mengganti biaya yang
dikeluarkan oleh orang tua gadis itu, untuk mengasuh dan
membesarkannya. Uang tetek ini biasanya ditolak, kecuali
jikalau keluarga pihak perempuan berada dalam keadaan
keuangan yang sangat buruk, karena dengan menerimanya,
orang tua si gadis seolah-olah menjual anaknya.
Menjelang hari perkawinan keluarga pihak laki-laki
biasanya mengirim suatu utusan ke rumah keluarga si gadis
untuk menyampaikan sebungkus angpao, beberapa potong
pakaian dan perhiasan selengkapnya. Keluarga yang kaya
biasanya akan menolak pemberian ini dengan halus, tetapi
keluarga yang tidak mampu, biasanya akan menerima sebagian
saja.
D. Adat Menetap Sesudah Nikah
Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa
adalah di rumah orang tua si suami. Hal ini erat hubungannya
dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki
tertualah yang merupaka ahli waris dan yang akan meneruskan
pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra selanjutnya
tidak terikat lagi dengan ketentuan-ketentuan tempat
tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri,
apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uxorilokal) atau
pada keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah
yamg baru (neolokal).
E. Perceraian
Berhubungan dengan tradisi orang Tionghoa,
perceraian diizinkan berdasarkan beberapa alasan.
Meskipun demikian perceraian jarang terjadi karena sebagai
perbuatan yang tercela perceraian akan mencemarkan nama
keluarga. Bagi keluarga-keluarag yang masih memegang erat
akan adat dan yang memilihkan calon suami bagi anak
perempuannya, biasanya menasehatkan anak itu untuk
berusaha menghidarkan perceraian. Toh perceraian dapat
terjadi karena si isteri tidak memberikan anak laki-laki
pada keluarga si suami. Di dalam hal inilah kelihatan bahwa
sis suami mejlankan hak istimewanya. Ada juga perceraian
terjadi, karena sang isteri tidak maun tinggal bersama-sama
isteri kedua dari suaminya dalam satu rumah.
F. Poligami
Di atas telah dikatakan bahwa perceraian terjadi
karena isteri tidak mau tinggal bersama-sama dengan isteri
kedua dari suami nya. Memang di dalam adat Tionghoa, seorang
laki-laki hanya boleh mempunya seorang isteri, tetapi ia
dapat mengambil sejumlah wanita sebagi isteri mudanya. Pada
abad ke-19 dan sebelumnya perkawinan ddemikian banyak
terjadi. Bahkan isteri-isteri itu dibawa tinggal bersama-
sama, isteri pertama tetap menjadi isteri yang utama, yang
mengatur rumah tangga, yang mendampingi suaminya dalam
pertemuan-pertemuan serta menjadi ibu dari semua anak-
anak, baik anaknya sendiri maupun anak dari isteri-isteri
lain. Isteri muda hanya berkedudukan sebagai pembantunya
saja. Biasanya mereka berasal dari keluarga yang miskin dan
perkawinan mereka tidak dirayakan. Kadang-kadang
mengambil isteri muda itu, adalah anjuran atas isteri yang
pertama, karerna ia tidak mempunyai anak laki-laki.
Kebiasaan demikian ini sudah jarang terjadi, dan orang
Tionghoa biasanya kawin monogami.
G. Bentuk Rumah Tangga
Berdasarkan sistem kekerabatan orang Tionghoa maka
bentuk rumah tangganya adalah keluarga luas. Keluarga luas
Tionghoa ini, terbagi ke dalam dua bentuk yaitu:
1) Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari
keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua
beserta isteri dan anak-anaknya dan saudaranya yang
belum kawin.
2) Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari
keluarga orang tua dengan anak-anak laki-laki beserta
keluarga-keluarga batih mereka masing-masing.
Kini karena pengaruh luar dan pendidikan sekolah, maka
bentuk rumah tangga yang tersiri dari ayah, ibu, dan anak-
anak menjadi umum.
H. Kedudukan Wanita
Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu adalah
sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-
laki mereka memprlakukan mereka dengan baik, tetapi pada
waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah
kawin, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai
oleh mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian di dalam
kehidupan di luar rumah. Keadaan demikian sekarang sudah
ditinggalkan. Wanita dapat memasuki perkumpulan-
perkumpulan, memasuki sekolah dan di dalam kehidupan
ekonomi peranan wanita sebagai pembantu suaminya dalam
perdagangan memegang peranan penting.
Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sma
dengan anak-anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan
kadang-kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya
sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang
tuanya secara uxorilokal. Dengan naiknya kedudukan wanita,
tidak ada kecenderungan lagi untuk memiliki anak laki-laki.
I. Kelompok Kekerabatan
Seperti sudah tersebut di atas, orang Tionghoa
menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan
terkecil bukanlah keluarga batih, tetapi keluarga luas yang
viriliokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak
ayah adalah lebih eraqt, tetapi perkembangan sekarang
menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu sama eratnya
dengan pihak ayah.
E. SISTEM KEMASYARAKATAN ORANG TIONGHOA DI INDONESIA
A. Stratifikasi Sosial
Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonesia ada
perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan,
golongan orang miskin dan golongan orang kaya. Namun
perbedaan ini tidaklah sangat menyolok karena golongan
buruh ini tidak menyadari akan kedudukannya,demikian juga
sebaliknya. Hal ini disebabkan karena sering adanya ikatan
kekeluargaan antara si buruh dan si majikan. Sebuah
perusahaan (kongsi) orang Tionghoa biasanya memang
merupakan perusahaan yang dikerjakan oleh suatu kelompok
kekerabatan dan kadang-kadang merupakan usaha dari
sekelompok orang yang berasal dari satu desa di negara Cina
dulu sebelum ke Indonesia.
Tionghoa Peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang
Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok
karena mereka menggangap Tionghoa Totok umumnya berasal
dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang
rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai
daerah campuran.
Sekarang ini, dengan adanya pemisahan pendidikan bagi
anak-anak Tionghoa, yaitu sebagian yang mengikuti
pendidikan Cina berorientasi ke Negara Cina dan sebagian
lagi yang mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat
(Belanda), maka telah timbul pemisahan antara golongan yang
berpendidikan berlainan itu. Masing-masing menganggap
lawannya sebagai golongan yang lebih rendah. Orang-orang
yang kaya dala masyarakat Tionghoa umumnya, tidak akan
bekerjasama dengan orang yang miskin dan sebagainya.
Demikian stratifikasi sosial orang Tionghoa di Indonesia
berdasarkan orientasinya perbedaan pendidikannya dan
tingkat kekayaannya.
B. Pimpinan Masyarakat Tionghoa
Bagi masyarakat Tionghoa di suatu daerah, pemerintah
Belanda dulu mengangkat seorang yang dipilih dari
masyarakat itu sebagai pimpinan. Pemimpin-pemimpin yang
diangkat Belanda itu memakai pangkat majoor (pangkat
tertinggi), kapitein, luitenant dan wijkmeester (ketua RW
menurut istilah sekarang). Pemimpin-pemimpin ini
mempunyai tugas sebagai perantara yang menghubungkan orang
Tionghoa yang lain mengurus sesuatu hal dengan pemerintah
Belanda. Para pemimpin orang Tionghoa ini oleh orang
Tionghoa sendiri disebut kongkoan. Sebenarnya perkataan
kongkoan adalah kantor dimana para pemimpin tadi bekerja
untuk kepentingan orang Tionghoa.
Tugas utama dari pada pemimpin adalah menjaga
ketertiban dan keamanan dari masyarakat Tionghoa yang
terdapat di suatu daerah atau kota, mengurus hal adat-
istiadat, kepercayaan, perkawinan dan perceraian dan
memutuskan segala hal. Mereka mencatat kelahiran,
perkawinan dan kematian dan mengangkat sumpah. Kongkoan ini
mempunyai hak mengadili segala perkara (baik perkelahian
maupun penipuan dan sebagainya) di antara orang Tionghoa.
Mereka juga berfungsi sebagai penasehat pada pemerintah
Belanda, terutama dalam masalah penarikan pajak, dan
merupkan saluran dari peraturan-peraturan pemerintah
terhadap masyarakat Tionghoa. Umumnya pemimpin-pemimpin
itu dipilih karena mereka mempunyai pengaruh yang besar dan
dihormati di antara orang-orang Tionghoa dan orang kaya. Di
samping itu karena mereka mempunyai hubungan dengan
pegawai-pegawai Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia,
maka para pemimpin Tionghoa tadi tidak berfungsi lagi.
C. Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa
Pada mulanya orang Tionghoa di beberapa kota besar
mendirikan perkumpulan kamar dagang yang disebut
Sianghwee. Kamar dagang ini merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Tionghoa yang bekerja untuk kepentingan
anggota-anggotanya, terutama mengurus pajak. Di samping
itu ada perkumpulan-perkumpulan yang berdasarkan asal satu
desa di negara Cina.
Mulai awal abad ke-20, nasionalisme Cina dengan cepat
sekali mejalar. Hal ini disebabkan karena kekecewaan orang
Tiongjoa terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1900
didirikan suatu perkumpulan yang bertujuan memajukan
nasionalisme Cina berdasarkan religi Kung Fu-tse dan
menyatukan orang Tionghoa yang masih provinsialistis.
Perkumpulan itu mula-mula ada di Jakarta, tetapi kemudian
juga timbul abang-cabangnya di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1927 kaum cendikiawan peranakan yang
memperoleh pendidikan Belanda mendirikan suatu organisasi
yang disebut Chug Hua Hui yang mewakili orang Tionghoa di
Volksraad. Kemudian setelah Indonesia merdeka organisasi-
organisasi yang sebelumnya ada dibubarkan dan dilebur ke
dalam satu organisasi yang mewakili orang-orang Tionghoa
Peranakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat yaitu Baperki. Di
samping itu ada perkumpulan-perkumpulan agama Kristen, Sam
Kauw dan lain-lain.
Top Related