Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
1
Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relation *
Syarif Hidayat ** Seperti disinyalir Diana Conyer (1983), perdebatan tentang konsep desentralisasi belum
berakhir, dan tidak pernah akan berakhir. Kendati Slater dan Rondinelli telah mengakhiri
polemik mereka (1989-1990) dalam mengungkap keunggulan dan kelemahan konsep
desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, namun semangat untuk terus
mempertanyakan ‘kesahihan’ konsep-konsep desentralisasi masih terus berlangsung dan
tidak pernah padam. Fenomena ini, tegas Conyer (1983), harus diartikulasi sebagai suatu
proses dinamis, melalui mana konsep desentralisasi terus menyempurnakan diri sejalan
perkembangan ruang dan waktu.
Beberapa pengamat telah menilai pernyataan seperti dikemukakan Conyer di atas sebagai
apologi atas kegagalan konsep desentralisasi dalam menjawab realitas yang ada (lihat David
Slater, 1989)1. Namun penulis menyikapinya dalam perspektif yang cenderung optimis.
Menurut hemat penulis, makna tersirat dibalik pernyataan tersurat yang dikemukakan
Conyer adalah suatu pengakuan akademis yang jujur, bahwa konsep desentralisasi yang ada
dan berkembang sejauh ini masih mengandung sejumlah kelemahan-kelemahan, utamanya
dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang baru muncul seiring dengan
perkembangan ruang dan waktu. Kecenderungan seperti ini, tentunya, tidak hanya berlaku
atas konsep desentralisasi, tetapi juga terjadi pada konsep-konsep di bidang lain. Karena
itu, barangkali, tidak berlebihan bila pernyataan Conyer diartikulasi sebagai suatu
‘tantangan terbuka’ kepada para pemerhati konsep desentralisasi untuk memberikan
kontribusi dalam penyempurnaan konsep melalui proses dialektika akademis.
Pembahasan tulisan ini difokuskan pada upaya mengkritisi konsep-konsep desentralisasi
yang ada (desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi), dan selanjutnya
menawarkan ide rekonstruksi konsep dan pendekatan implementasi kebijakan
desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation. Diskusi dimulai dengan
deskripsi singkat tentang konsep dasar perspektif desentralisasi politik dan administrasi
(political and administrative decentralisation), sebagai landasan pijak untuk membangun
* Versi awal tulisan ini pernah diterbitkan dalam Syamsudin Haris (ed). (2006). Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press dan Obor. ** Peneliti LIPI dan Ketua P4M Universitas Nasional 1 Dalam artikel Territorial Power and Peripheral State: The Issue of Decentralisation di bawah sub-tema Decentralisation: Mirage, Myth and Mask, David Slater (1989) secara skeptis memaparkan kritik terhadap konsep desentralisasi. Mengutip hasil studi Mariategui (1952) di Peru dan Griffin (1981), Slater mengatakan: “…that power at the local level is more concentrated, more elitist and applied more ruthlessly against the poor than at the centre. As a consequence, therefore, greater decentralisation does not necessarily imply greater democracy let alone power to the people” (hal. 511-512). Pada bagian lain, merujuk pada pengalaman Tanzania dalam mengimplementasikan desentralisasi, Slater kemudian membangun kritik berikutnya, yang menyebutkan: “The rationalisation and consolidation of centralised authority lay at the roots of the spatial restructuring of state power, so that decentralisation was more illusion or myth than hard institutional reality” (hal. 514).
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
2
logika teoritis tentang desentralisasi dalam perspektif state-society relation pada bagian
berikutnya. Ide rekonstruksi konsep dan pendekatan desentralisasi dibahas secara lebih
detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan analisa kritis tentang dinamika
desentralisasi di Indonesia dalam perspektif state-society relation.
Polemik Konseptual: Desentralisasi Politik vs Desentralisasi Administrasi Bila ditelusuri kembali dinamika perkembangan konsep desentralisasi, akan terlihat bahwa
dalam perjalanannya ia tidak pernah luput dari kritik, atau bahkan melahirkan polemik
antara pihak yang pro dan contra. Perdebatan pada tataran konseptual tersebut, tidak saja
berimplikasi pada semakin berkembangnya konsep desentralisasi, tetapi juga telah
memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam memahami konsep desentralisasi.
Kecenderungan ini semakin nyata terlihat sejak dekade 1970-an, ketika kajian tentang
desentralisasi sudah tidak lagi dimonopoli oleh disiplin ilmu politik dan administrasi
negara, tetapi juga telah menarik perhatian disiplin ilmu lain. Hanya menyebut beberapa
contoh, di antara disiplin ilmu yang telah memberikan kontribusi dalam kajian
desentraliasi dan otonomi daerah adalah ilmu ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi
(Conyer, 1984: 190). Akibatnya, konsep desentralisasi dan otonomi daerah dirumuskan
dalam ‘bahasa’ yang berbeda-beda, sesuai dengan disiplin ilmu pengusungnya.
Namun demikian, kompleksitas konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan ke
dalam 2 (dua) perspektif utama, yakni political decentralisation perspecitve (perspektif
desentralisasi politik) dan administrative decentralisation perspecitve (perspektif
desentralisasi administrasi). Perbedaan mendasar dua perspekstif ini terletak pada rumusan
definisi dan tujuan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan
desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Parson (1961), misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai
“… sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each
having authority within a specific area of the state.” Sedangkan dekonsentrasi, menurut
Parson, adalah “… the sharing of power between members of the same ruling group having
authority respectively in different areas of the state.” Dengan merujuk pada definisi
desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan Parson tersebut, Mawhood (1987: 9)
mengatakan bahwa desentralisasi adalah “… devolution of power from central to local
governments”2. Hal senada juga dikemukakan oleh Smith (1985), yang mendefinisikan
desentralisasi sebagai “… the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial
hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large
organisation.” Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Smith
2 Dekonsentrasi, oleh Mawhood dipersamakan dengan administrative decentralisation dan definisikan sebagai “… the transfer of administrative responsibility from central to local governments” (1987: 9).
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
3
juga mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi utama desentralisasi, kendati
devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.
Pada sisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan definisi
desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Rondinelli and Cheema (1983: 18), misalnya,
mengatakan:
Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations.
Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi, tidak dapat dihindari,
berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai.
Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak
dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik
para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan integrasi nasional.
Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985) membedakan tujuan desentralisasi
berdasarkan kepentingan nasional (pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan
pemerintah daerah.
Kepentingan nasional
Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith (1985), sedikitnya ada tiga
tujuan utama desentralisasi. Pertama, political education (pendidikan politik)3, maksudnya
adalah, melalui praktik desentralisasi diharapkan masyarakat belajar mengenali dan
memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi;
menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota legislatif yang tidak
memiliki qualifikasi kemampuan politik; dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah (Maddick, 1963: 50-106).
Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to provide
training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang
kedua ini berangkat dari asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang
paling tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki
3 Seperti diakui Smith, tujuan desentralisasi yang disebut pertama ini sangat diilhami oleh ide dasar dari democratic decentralisation, karenanya tidak dapat dihindari bila kemudian Tocqueville diartikulasi sebagai tokoh utama premis tersebut. Di antara argumen yang sering dikemukakan untuk jastifikasi pentingnya political education sebagai bagian dari tujuan desentralisasi adalah pernyataan Tocqueville yang menyebutkan: “… town meetings are to liberty what primary school are to science, they bring it within the people, and they teach men how to use and how to enjoy it” (Smith,1985: 20). Argumen yang hampir sama juga dikemukakan oleh Maddick (1963). Dalam pandangan Maddick, tujuan hakiki desentralisasi, atau lebih luas lagi, pembentukan pemerintah daerah, adalah untuk menciptakan ‘pemahaman politik yang sehat’ (healthy political understanding) bagi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyelenggaraan negara.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
4
berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan
memotivasi dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional4.
Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to create
political stability (untuk menciptakan stabilitas politik). Para pendukung dari tujuan
desentralisasi yang ketiga ini percaya bahwa melalui kebijakan desentralisasi akan terwujud
kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith, 1985: 23). Lebih
jauh Sharpe (1981) mengatakan
“… one of the determinant factors constitutes the embodiment of a stable democracy at the national level, in many instances, preceded by the establishment of local democracy.”5
Kepentingan pemerintah daerah
Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah untuk
mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan lebih
membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik
di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith (1985: 24), dapat dengan elegan
mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi anggota partai politik
dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan kepentingan, dan
aktif dalam proses pengambilan kebijakan.6
Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local
accountability7. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat tercipta peningkatan
kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang
meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi
kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah.
4 Dengan dasar pemahaman seperti ini, Harold Laski (1931) mengatakan “… if the members of national legislative body has prior experiences at the local body, they would gain the feel of institution so necessary to success.” 5 Adanya postulat seperti ini, tentunya, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan tujuan desentralisasi yang disebut pertama dan kedua. Dengan kata lain, melalui tujuan desentralisasi yang pertama dan kedua, political education, dan, training in political leadership, maka diharapkan tidak saja akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, tetapi juga akan meningkatkan sensitivitas dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah daerah dalam mengakomodasi berbagai tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat. Kondisi ini, pada gilirannya, akan menjadi prasyarat penting bagi terciptanya stabilitas politik. 6 Argumentasi lain yang sering dikemukakan untuk menjastifikasi pentingnya political equality sebagai tujuan desentralisasi berkaitan dengan ide dasar konsep small is beautiful. Sering dikatakan bahwa komunitas masyarakat yang besar cenderung membuat realisasi demokrasi menjadi lebih sulit. Kebijakan desentralisasi diyakini akan mampu mempercepat terwujudnya political equality, yang pada akhirnya akan membawa ide demokrasi pada tingkat yang lebih realistik (Dahl, 1981: 47). 7 Dalam hal ini, terlihat ada sedikit variasi di antara para penulis dalam mengartikulasi istilah local accountability. Smith (1985: 26), misalnya, cenderung mengaitkannya dengan ide dasar liberty. Pada bagian lain, Ruland (1992) cenderung mengoperasionalkan istilah local accountability dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi. Menurut Ruland: “The accountability of local government remain necessary in the process of socio-economic development. It is through the proximity of local decision-makers to their constituency, the areal division of power is considered an additional assurance that demand will be heard and, accordingly, public services provided in line with people’s needs. Moreover, the dispersal of political power through areal division and the existence of strong self-reliance to local governments would thus guarantee a social development pattern that rest on the principe of diversity in unity” (1992: 3).
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
5
Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local
responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena
pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi
komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi
masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di
daerah.
Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi menurut perspektif desentralisasi
administrasi (administrative decentralisastion perspective)? Secara singkat dapat
dikatakan bahwa perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi di
daerah sebagai tujuan utama desentralisasi. Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkan
bahwa tujuan utama yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and
services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di
daerah. Pada bagian lain, Ruland (1992), lebih menekankan aspek partisipasi masyarakat
dalam pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama desentralisasi. Lebih jelasnya, Ruland
(1992:3) mengatakan
“Decentralisation, as a corollary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase people participation, which would eventually lead to socio-economic development” (1992: 3).
Hal penting lain, sekaligus sebagai catatan penutup diskusi bagian ini, adalah bahwa selain
memiliki beberapa perbedaan mendasar, antara perspektif desentralisasi politik dan
desentralisasi administrasi, juga memiliki persamaan. Keduanya mendudukkan
‘Pendapatan Asli Daerah (PAD)’ sebagai bagian dari faktor penentu pencapaian
keberhasilan atau kegagalan tujuan desentralisasi.
Perspektif State-Society Relation
Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif state-society relation, akan diketahui
bahwa sejatinya keberadaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan negara kepada
masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi yang
dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan
(Vincent Ostrom, 1991). Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini, tegas Ostrom,
maka diharapkan terwujud “… the features of governance that would be appropriate to
circumstance where people govern rather than presuming that government govern”
(1991:6).
Terlepas dari pro dan kontra dalam menyikapi argumentasi di atas, butir penting yang
menarik digarisbawahi adalah bahwa kerangka berfikir perspektif state-society relation
mengartikulasi desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
6
sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak dicapai
tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dengan kerangka
berfikir seperti ini sulit dipungkiri bahwa perspektif state-society relation cenderung tidak
memisahkan antara konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi dengan sistem
politik dan/atau tipe rezim yang sedang berkuasa.8
Desentralisasi dan pola interaksi state-society dalam rezim demokrasi
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam rezim demokrasi pola interaksi antara state
dan society sangat dinamis. Terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan society, baik
pada proses pengambilan keputusan (policy making) maupun pada tahap implementasi
kebijakan (policy implementation). Berbagai keputusan yang diambil oleh negara secara
prinsip merupakan persenyawaan antara tuntutan masyarakat (society) dan kepentingan
pihak state. Tegasnya, kalaupun negara secara legal formal memiliki otoritas untuk
‘menjatuhkan palu akhir’ atas berbagai keputusan, namun peran dalam proses pengambilan
keputusan lebih sebagai mediator atas kompleksitas dan perbedaan kepentingan kalangan
masyarakat9.
Praktik desentralisasi dalam rezim demokrasi tentunya memiliki hubungan interkoneksitas
dengan karakteristik pola interaksi state-society seperti dijelaskan di atas. Sebagai bagian
dari kebijakan nasional, baik perumusan konsep maupun implementasi kebijakan
desentralisasi didasarkan pada interaksi dua arah antara state dan society. Sehingga,
kalaupun pada akhirnya desentralisasi harus dihadirkan, keberadaannya merupakan
persenyawaan antara kepentingan pihak state dan society. Hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini lebih didasarkan pada prinsip saling-
ketergantungan dan saling membutuhkan. Lebih jauh, pengertian ‘daerah’ dalam konteks 8 Definisi rezim dan/atau sistem politik, merujuk pada formulasi Alagappa (1995), adalah: “Regime (or political system) refers to the formal and informal organization of the center of political power, and of its relations with the broader society. A regime determines who has access to political power, and how those who are in power deal with those who are not. In other words, it refers to the type of government, such as democracy, totalitarianism, and authoritarianism” (1995: 27). 9 Secara teoritis, argumentasi tentang pola interaksi state-society dalam rezim demokrasi tersebut dibangun berdasarkan konsepsi state (negara) menurut perspektif pluralism. Seperti dikemukakan Martin Smith (1995: 209-210): “The key feature of pluralism is difference or diversity. The complexity of the modern liberal state means that no single group, class or organisation can dominate society. Hence, the role of the state is to regulate conflicts in society rather than to dominate society in pursuit of particular interests.” Lebih jauh, David Marsh and Gerry Stoker (1995: 230) mengemukakan: “Within the pluralist paradigm, the polity is comprised of a multiplicity of competing groups, all of which seek to influence the decision-making process. Rule purports to be in the interest of all and not that of any one section or alliance of sections. The duty of government is to harmonise and co-ordinate.” Penting untuk dikemukakan di sini bahwa di dalam perspektif pluralism terdapat beberapa varian. Martin Smith (1995: 210) mencatat sedikitnya ada 4 (empat) varian perspektif pluralism, yaitu Classical Pluralism, Reformed Pluralism, Plural Elitism, dan Neo-Pluralism. Namun demikian, konsepsi dasar dari keempat varian perspektif pluralism seluruhnya menekankan bahwa state, atau lebih konkritnya, pemerintah, harus responsif terhadap tuntutan masyarakat. Selanjutnya, dalam studi state-society relation, konsepsi negara menurut perspektif pluralism banyak digunakan sebagai landasan teori dalam mengkaji dan menjelaskan karakteristik pola interaksi state-society dalam rezim demokrasi, yang secara metodologis lazim dikenal sebagai society-centred approach. Di antara para akademisi yang telah mengaplikasikan perspektif pluralism dalam studi state-society relation adalah Grindle and Thomas (1989). Dua penulis ini menyebutkan: “…the causes of decisions made to adopt, pursue, and change public policies lie in understanding relationship of power and competition among individuals, groups, or classes in society or in international extensions of class-based or interest-based societies” (hal. 216). Lebih jauh dikatakan: “In pluralist approaches to political analysis, public policy results from the conflict, bargaining, and coalition formation among a potentially large number of societal groups, organised to protect or advance particular interests common to their members” (hal. 218).
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
7
hubungan pusat-daerah lebih merujuk pada entitas yang terdiri dari pemerintah daerah dan
masyarakat daerah. Sehingga, pada tataran yang lebih mikro, kesetaraan interaksi antara
state dan society dapat tercipta, yakni antara pemerintah daerah dan komunitasnya.
Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan desentralisasi dalam rezim
demokrasi dapat dilihat pada Diagram 1.
Diagram 1. Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada rezim demokrasi
Desentralisasi dan pola interaksi state-society dalam rezim otoriter
Kecenderungan yang sebaliknya terjadi pada rezim otoriter. Ini karena pada umumnya
rezim otoriter ditandai oleh dominasi state, baik pada proses pengambilan keputusan
(policy making), maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation).
Peran society khususnya dalam proses pengambilan keputusan sangat dibatasi, untuk tidak
menyebut disingkirkan. Dengan karakteristik seperti ini dapat dimengerti bila pola interaksi
antara state dan society dalam rezim otoriter bersifat satu arah. Kalaupun terdapat
dinamika dalam proses pengambilan keputusan, hal tersebut lebih banyak diwarnai
kompetisi kepentingan, koalisi, kompromi, atau bahkan ‘perselingkuhan’ antara segelintir
elit di dalam negara (state actors), 10 bukan didasarkan atas interaksi kepentingan antara
10 Secara teoritis, argumentasi tentang pola interaksi state-society dalam rezim otoriter dibangun berdasarkan konsepsi state (negara) menurut perspektif elitism (lihat Marks Evans, 1995), dan pada tingkat tertentu, juga dipengaruhi oleh perspektif Maxism (lihat Gramsci, 1971; Poulantzas, 1976; Jessop, 1990; dan Skocpol, 1985). Seperti ditulis oleh Mark Evans (1995: 228) bahwa sedikitnya ada tiga tokoh utama yang banyak berperan dalam melahirkan ‘bibit awal’ perspektif elitism, yaitu: Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels. Dalam perkembangannya, perspektif elitism sangat dipengaruhi oleh dasar-dasar pemikiran dari tiga tokoh tersebut. Mosca (1939:30), misalnya, menyebutkan: “In all societies-from societies that are very meagrely developed and have barely attained the dawning of civilisation, down to the most advanced and powerful societies-two classes of people appear—a class that rules and a class that is ruled. The first class, always the less numerous, performs all political functions, monopolises power and enjoys the advantages that power brings, whereas the second, the more numerous class, is directed and controlled by the first.” Sementara, Pareto (1966) berargumen bahwa: “…historical experience provides testimony to the perpetual circulation of elites and oligarchy”. Premis yang hampir sama juga dikemukakan Michels (1962: 364): “… the practical ideal of democracy consisted in the self-government of the masses in conformity with the decision-making of popular assemblies. However, while this system placed limits on the extension of the principle of delegation, it fails, to provide any guarantee against the formation of an aligarchical camerilla [political structure]. In short, direct government by the masses was impossible.” Selanjutnya, dalam studi state-society relation, konsepsi negara menurut perspektif elitism tersebut
Pola interaksi state-society Kebijakan desentralisasi
State
Society
Pemerintah Pusat
Masyarakat
Pemda
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
8
state dan society. Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan
desentralisasi dalam rezim otoriter tersebut dapat dilihat pada Diagram 2.
Diagram 2.
Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada rezim otoriter
Desentralisasi, baik konsep maupun implementasi, yang lahir dan dibidani oleh rezim
otoriter, banyak dipengaruhi oleh sifat dasar ‘induknya’. Desentralisasi dalam rezim yang
otoriter lebih banyak diinisiasi oleh pihak state, lebih spesifiknya pemerintah pusat.
Dominasi peran pemerintah pusat tidak saja terjadi dalam proses perumusan kebijakan
desentralisasi tetapi juga dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan. Pemerintah daerah
lebih difungsikan sebagai pelaksana teknis kebijakan desentralisasi. Dalam konstelasi ini,
tidak mengherankan bila keberadaan desentralisasi lebih dipahami pemerintah daerah
sebagai kewajiban daripada sebagai hak.
banyak digunakan sebagai landasan teori dalam mengkaji dan menjelaskan karakteristik pola interaksi state-society dalam rezim otoriter, yang kemudian secara metodologis lazim dikenal sebagai state-centred approach. Di antara para akademisi yang telah mengaplikasikan perspektif elitism dalam analisa state-society relation adala Grindle and Thomas (1989). Menurut dua penulis ini, karakteristik utama pola interaksi antara state dan society dalam proses pengambilan keputusan (decision making) pada rezim otoriter adalah sebagai berikut: “…the perception and interactions of policy elites and the broad orientations of the state more generally account for policy choices and their subsequent pursuit” (hal. 216). Lebih jauh, dengan mengutip argumen dasar dari Rational Actor Model, Grindle and Thomas (1989), menulis: “…because of the complexity of perfectly rational choice, and its costs in terms of time and attention, decision makers (whether individuals or organisations) do not usually attempt to achieve optimal solutions to problems, but only to find ones that satisfy their basic criteria for an acceptable alternative or ones that meet satisfactory standards” (hal. 220). Nuansa dominasi negara (state) atas masyarakat (society) semakin kentara ketika Grindle and Thomas (1989) menjelaskan argumen dasar dari State Interest Approach. Secara singkat disebutkan: “…state are analytically separable from society and considered to have interests that they pursue or attempt to pursue. Among the interests of the state are the achievement and maintenance of its own hegemony vis-à-vis societal actors, the maintenance of social peace, the pursuit of national development as defined by policy elites representing particular regimes, and the particular interests of regime incumbents in retaining power” (hal. 220-221).
State
Society
Pemerintah Pusat
Pemda
Masyarakat
Pola interaksi state-society Kebijakan desentralisasi
Keterangan: Elit pemerintah (state actor) Hubungan kolusi dan tawar-menawar
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
9
Pada sisi lain, masyarakat (society) cenderung dipinggirkan, atau diposisikan sebagai objek
kebijakan desentralisasi. Interaksi dua arah antara state dan society dalam proses
pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah praktis tidak terjadi.
Dinamika dalam proses pengambilan keputusan lebih banyak ditandai oleh koalisi dan
tawar-menawar kepentingan antar elit pemerintah daerah (local-state actors). Kalaupun
kebijakan otonomi daerah harus diterapkan, sebagai konsekuensi logis dari kebijakan
desentralisasi, namun ia lebih berkarakter ‘otonomi pemerintah daerah’ atau bahkan
‘otonomi pejabat daerah’.
Desentralisasi dan pola interaksi state-society pada periode transisi
Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dalam rezim otoriter pola interaksi
antara state dan society cenderung satu arah. State mendominasi proses pengambilan
keputusan dan dalam implementasi kebijakan. Sementara society dikondisikan pada posisi
pasif dan perannya terpinggirkan. Dinamika dalam proses pengambilan keputusan lebih
merupakan refleksi dari kompetisi kepentingan antar sejumlah state actors (elit pemerintah
pusat).
Pada periode transisi menuju demokrasi, sifat dasar dari rezim otoriter seperti
dikemukakan di atas tentu belum secara total dapat dihilangkan. Kendati salah satu
tuntutan reformasi politik mengharuskan perluasan peran society, namun dalam banyak hal
state masih relatif mendominasi proses pengambilan keputusan nasional, bahkan dalam
kasus-kasus tertentu memaksakan kehendak. Pada sisi lain, ‘perselingkuhan’ antar state
actors dalam rangka perjuangan kepentingan pribadi dan kelompok masih tetap
berlangsung (lihat Diagram 3.)
Diperbesarnya peluang partisipasi masyarakat, sebagai bagian dari tuntutan reformasi
politik, memberi nuansa baru bagi pola interaksi antara state dan society pada periode
transisi menuju demokrasi. Bila sebelumnya (pada periode rezim otoriter) pola interaksi
antara state dan society cenderung satu arah, maka pada periode transisi menuju demokrasi
mulai bergeser ke pola interaksi yang bersifat dua arah. Praktik pola interaksi dua arah
tersebut cenderung tidak seimbang (lihat Diagram 3), karena dalam banyak hal state masih
memaksakan kehendak kepada society. 11
11 Dalam membangun premis tentang pola interaksi state-society pada periode transisi menuju demokrasi, landasan teoritis yang penulis gunakan, antara lain: konsep corporatism (Philippe Schmitter, 1974), restricted pluralism model (Liddle, 1985, 1987), dan preposisi yang dikemukakan MacIntyre (1992) dari hasil studinya tentang Business and Politics in Indonesia. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa, konsep dasar corporatism menurut Schmitter (1974: 93) adalah: “Corporatism can be defined as a system of interest representation in which the constituent units are organised into a limited number of singular, compulsory, non-competitive, hierarchically ordered and functionally differentiated categories, recognised or licensed (if not created) by the state and granted a deliberate representational monopoly within their respective categories in exchange for observing certain controls on their selection of leaders and articulation of demands and supports.” Schmitter selanjutnya membedakan bentuk corporatims dalam dua kategori utama, yaitu State Corporatims (yang lazimnya dijumpai pada rezim otoriter), dan Societal Corporatism (yang biasanya banyak dipraktek pada rezim demokrasi). Dengan merujuk pada kategorisasi korporasi menurut Schmitter ini, Alfred Stepen (1978) selanjutnya membedakan dua bentuk korporasi negara (State Corporatism), yaitu: Inclusionary Pole dan Exclusionary Pole.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
10
Selain itu, penting dicatat bahwa salah satu implikasi dari perluasan partisipasi masyarakat
pada periode transisi menuju demokrasi adalah semakin transparannya kompetisi
kepentingan antar ‘elit massa’ (lihat Diagram 3). Kecenderungan ini mudah dipahami,
karena society dalam arti civil society belum siap berperan, peluang partisipasi masyarakat
pada periode transisi menuju demokrasi lebih banyak ditangkap dan dimanfaatkan para elit
massa. Mereka berperan mewakili masyarakat atau ‘mengklaim’ mewakili masyarakat
dalam berhadapan dengan pihak negara.
Argumentasi yang hendak ditegaskan di sini adalah: pola interaksi antara state dan society
pada periode transisi menuju demokrasi merupakan interaksi antara elit penguasa (state
actors) dan elit massa (society actors). Karenanya, sulit dihindari bila kemudian kompetisi
kepentingan antar elit penguasa (pada satu sisi) dan antar elit massa (pada sisi lain)
mendominasi proses politik, baik dalam pengambilan keputusan maupun pada tahap
implementasi kebijakan. Sementara, kolusi dan persekongkolan politik antara dua kubu
elit tersebut (elit masa dan elit penguasa) dalam rangka perjuangan kepentingan masing-
masing, menjadi karakteristik utama dari pola interaksi antara state dan society. Praktik
negosiasi dan koalisi politik multi-level ini penulis sebut dengan terminologi poliarki
politik.
Pertanyaannya selanjutnya adalah, bagaimana karakteristik desentralisasi pada periode
transisi menuju demokrasi? Sebagai bagian dari kebijakan nasional, sulit dihindari bahwa
konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi memiliki hubungan interkoneksi dengan
pola interaksi antara state-society seperti dijelaskan di atas. Sedikitnya ada 3 (tiga)
karakteristik utama praktik desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi.
Pertama, dominasi peran pemerintah pusat dalam proses perumusan kebijakan
desentralisasi relatif berkurang. Bila pada periode rezim otoriter pemerintah pusat dominan
dalam inisiasi dan proses perumusan kebijakan desentralisasi, maka pada periode transisi
menuju demokrasi, peran pemerintah daerah mulai diperhitungkan. Namun perlu
ditegaskan bahwa pengurangan dominasi peran pemerintah pusat tersebut masih dalam
dimensi kuantitas, bukan kualitas. Ini secara implisit mengisyaratkan bahwa pemerintah
Seperti ditulis MacIntyre (1992: 246): “The exclusionary end of the spectrum is characterised by a more repressive approach and a heavy reliance by the state on coercion. At the inclusionary end, while the state remain dominant, there is much greater scope for societal participation.” Pada bagian lain, kendati Liddle (1985, 1987) tidak secara eksplisit memposisikan dirinya mendukung konsep Inclusionary Corporatism yang dikemukakan oleh Stepen di atas, argumentasinya menyebutkan: “kalaupun state actors di Indonesia (pada periode Orde Baru) tetap memainkan peran utama dalam proses pengambilan keputusan nasional, namun pada tingkat tertentu, masih didapat ruangan bagi extra state actors untuk mempengaruhi proses tersebut. Berbeda dengan Liddle, MacIntyre (1992) terlihat lebih eksplisit dalam memposisikan dirinya, sekaligus dalam membangun spekulasi teoritis tentang pola interaksi state-society berdasarkan perspektif corporatism tersebut. Secara singkat, dikemukakan oleh MacIntyre: “Indonesia seems to be in the proses of evolving from an exclusionary to a inclusionary style of corporatism” (hal. 246-247). Dengan asumsi bahwa periode transisi menuju demokrasi merupakan masa antara, terjadi pergeseran dari sistem politik yang bercorak otoriter menuju sistem politik demokrasi, maka, menurut hemat penulis, adalah terlalu dini untuk berharap bahwa pola interaksi antara state dan society akan berada pada apa yang Schmitter (1974) sebut sebagai societal corporatism. Yang paling mungkin terjadi adalah pergeseran dari pola exclusionary corporatism ke inclusionary corporatism seperti dikemukakan MacIntyre (1992).
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
11
pusat masih tetap dapat memaksakan kepentingan, kendati dilakukan dalam kemasan
demokrasi dan diperjuangkan melalui proses politik informal (lihat Diagram 3).
Medan konflik pada konteks ini terletak pada persoalan pembagian wewenang antara
pemerintah pusat dan daerah. Tuntutan reformasi politik menghendaki pelimpahan
wewenang yang lebih luas kepada daerah, namun pemerintah pusat masih enggan
kehilangan wewenang. Indikasi dari konflik kepentingan tersebut antara lain direfleksikan
oleh munculnya fenomena ‘tarik-ulur’ hubungan kekuasaan pusat-daerah, yang kemudian
melahirkan praktik ‘otonomi daerah setengah hati’. Untuk memenangkan kompetisi dalam
arena konflik kepentingan tersebut, dan dalam rangka meredam rasa ketidakpuasan daerah,
salah satu instrumen yang biasa digunakan pemerintah pusat adalah resource base
allocation, yakni alokasi subsidi pemerintah pusat (baik secara langsung atau tidak
langsung) kepada daerah.
Diagram 3. Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi
pada periode transisi menuju demokrasi
Kedua, pendekatan dalam implementasi kebijakan desentraliasi mulai bergeser dari pola
lama yang bersifat monolitik12 dengan semangat top-down, ke arah pola baru yang bersifat
12 Yang dimaksud dengan pendekatan monolitik di sini adalah suatu pendekatan yang bersifat satu arah dan parsial. Pendekatan seperti ini dibangun atas asumsi dasar bahwa inti persoalan hubungan pusat-daerah hanya terletak pada dua isu utama, yaitu: masalah pembagian wewenang dan pengaturan keuangan pusat-daerah. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah cenderung berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan-
Keterangan: Elit pemerintah dan elit massa (state and society actor) Hubungan kolusi dan tawar-menawar kepentingan
State
Society
Pemerintah Pusat
Masyarakat
Pemda
Pola interaksi state-society Kebijakan desentralisasi
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
12
holistik13, dengan semangat bottom-up. Salah satu konsekuensi logis dari pergeseran
pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi ini, pemerintah daerah mulai diberi
keleluasaan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi
kebijakan, sejauh tidak ‘melanggar’ kepentingan pemerintah pusat. Namun, pada tingkat
realitas, pergeseran pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi tersebut belum
diikuti pergeseran orientasi kalangan pemerintah daerah. Akibatnya, terjadi disorientasi
implementasi kebijakan desentralisasi, yang kemudian melahirkan praktik ‘otonomi daerah
kebablasan’.
Indikasi fenomena disorientasi desentralisasi antara lain direfleksikan oleh sikap
pemerintah daerah yang masih memposisikan pemerintah pusat sebagai sumber utama
energi politik dan ekonomi. Pada sisi lain, pemerintah daerah cenderung melakukan
penolakan atas intervensi pemerintah pusat, utamanya dalam implementasi berbagai
wewenang yang didefinisikan pemerintah daerah sebagai miliknya. Dalam konteks
Indonesia, menjamurnya Peraturan Daerah (Perda) ‘bermasalah’ di sejumlah daerah dapat
diartikulasi sebagai bagian dari manifestasi disorientasi desentralisasi.
Ketiga, masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan tetapi mulai
diikutsertakan dalam kebijakan desentralisasi, baik dalam proses pengambilan keputusan
maupun dalam pelaksanaan kebijakan di daerah. Namun, sejalan dengan karakteristik pola
interaksi antara state dan society pada periode transisi demokrasi, peran masyarakat belum
dalam arti civil society, tetapi lebih banyak diwakili oleh elit massa (lihat Diagram 3). Tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa pola interaksi antara state dan society dalam implementasi
kebijakan desentralisasi lebih berkarakterkan interaksi antara elit penguasa (state actors)
dan elit massa (society actors). Sementara, fenomena poliarki politik, yang ditandai kolusi
dan persekongkolan politik antara elit masa dan elit penguasa dalam perjuangan
kepentingan masing-masing, mendominasi proses politik di tingkat lokal. Praktik poliarki
politik tersebut tidak saja pada proses pengambilan keputusan, tetapi juga merambah pada
tingkat implementasi kebijakan.
kebijakan lainnya seperti kebijakan tentang partai politik, sistem pemilihan umum, pertahanan-keamanan, pertanahan, investasi, lingkungan, dan lain sebagainya. Semangat yang dikembangkan dalam pendekatan monolitik tersebut lebih bersifat top-down, di mana pemerintah daerah dan masyarakat di daerah diposisikan semata-mata hanya sebagai objek dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. 13 Terbalik dengan pendekatan monolitik, pendekatan holistik dibangun atas asumsi dasar bahwa untuk dapat mencapai tujuan desentralisasi dan otonomi daerah, maka kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus terkait dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Dalam pendekatan holistik, persoalan pembagian kekuasaan dan pengaturan keuangan pusat-daerah tetap didudukkan sebagai variabel penentu (determinant variables) bagi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, untuk dapat mencapai tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri, tidak hanya ditentukan oleh dua varibel (determinat variables) tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh sejumlah variabel lain yang disebut dengan istilah influential variables. Variabel berpengaruh ini tidak lain adalah kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Semangat yang dikembangkan dalam pendekatan holistik lebih bernuansa bottom-up, yang memposisikan peran pemerintah daerah dan masyarakatnya sebagai subjek sekaligus sebagai objek dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
13
Dinamika Desentralisasi Indonesia
Bahwa periode Orde Baru Indonesia dilabeli sebagian besar pengamat sebagai negara yang
dipimpin rezim otoriter adalah kenyataan yang sulit diingkari. Sedikitnya tercatat 5 (lima)
model pendekatan yang digunakan para pengamat dalam menjelaskan pola interaksi state-
society pada dekade pemerintahan rezim otoriter Soeharto.
Pertama, oleh R. O’G. Anderson (1983) disebut sebagai model state-qua state. Anderson
adalah salah satu penulis yang menganalisa karakteristik dari state-society relation di
Indonesia pada periode Orde Baru dikaitkan dengan karakteristik pemerintahan pada masa
kolonial. Berangkat dari asumsi dasar bahwa rezim kolonial secara keseluruhan
mengabaikan atau menekan aspirasi (interests) masyarakat, Anderson menyimpulkan
bahwa pola state-society relation pada periode Orde Baru memiliki karakteristik dasar yang
sama dengan pola state-society relation pada masa kolonial, yakni dominannya peran state
dan diabaikannya peran society dalam proses pengambilan keputusan (policy formulation).
Hampir semua kebijakan nasional, tegas Anderson, adalah refleksi dari the state interests
daripada refleksi dari societal and extra state interests.14
Model kedua yang digunakan dalam upaya menganalisa pola state-society relation pada
periode pemerintahan rezim Soeharto adalah bureaucratic polity and patrimonial cluster.15
Menurut Jackson, kendati ‘baju’ dari pemerintahan di Indonesia telah berubah dari Orde
Lama ke Orde Baru, namun sejak dekade Demokrasi Parlementer berakhir (1957), pola
state-society relation di Indonesia tetap berkarakteristikan bureaucratic polity, yakni:
A political system in which power and participation in the formulation of national policies is limited only to the employees of the state, particularly the officers corps and the highest levels of the bureaucracy, including especially the highly trained specialist known as the technocrats (Jackson, 1978: 3).
Model ketiga adalah bureaucratic authoritarian.16 Dengan modifikasi, King (1982)
menggunakan model ini dalam memahami pola state-society relation di Indonesia. Di
antara modifikasi yang dilakukan King adalah dengan memasukkan peran state-
corporatism, yaitu unit-unit instrumen (organisasi) yang dibentuk oleh state dengan tujuan
meregulasi mekanisme partisipasi masyarakat. Menurut King, state-corporatism
merupakan pendekatan yang paling relevan dalam memahami bagaimana Orde Baru telah
14 Pembahasan secara lebih rinci tentang hal ini dapat dilihat pada Anderson (1983), ‘Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective’, Journal of Asian Studies, Vol. XLII, No. 3. 15 Menurut MacIntyre (1992), ide dasar dari model ini bertumpu pada “… a notion of the head of the state operating in a manner comparable to that of traditional rulers in earlier times, preserving his or her position by dispensing material rewards and opportunities to leading members of the state. Meanwhile the gist of Bureaucratic Polity model is an argument that the bureaucratic elite is unconstrained by societal interests in the determination of policy” (MacIntyre, 1992: 7-8). 16 Argument dasar dari model ini berporos pada proposisi: “…the dramatic shift to political repression and the tight concentration of power in the hand of military and bureaucratic elites and to the exclusion of societal groups, especially the popular sectors” (MacIntyre, 1992: 11).
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
14
meregulasi, untuk tidak mengatakan ‘menekan’, partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan (King, 1982: 110-115).
Model yang keempat adalah bureaucratic pluralistic.17 Model ini digunakan oleh Emerson
(1983) dalam menganalisa peran dari ‘birokrat-militer’ dan ‘birokrat-sipil’ dalam proses
pengambilan keputusan untuk berbagai kebijakan nasional di Indonesia pada periode rezim
Orde Baru. Dari hasil analisanya, Emerson kemudian merumuskan beberapa kesimpulan, 2
(dua) yang menarik untuk digarisbawahi adalah:
(1) There is no a departmental administration that was totally dominated by military officials, (2) Suharto’s commitment to internal security and economic growth is reflected not only in careful military control of the most security-connected parts of bureaucracy, but also in willingness for the nation’s economic growth mainly in civilian hands (1993: 1231).
Model kelima, diberi lebel oleh MacIntyre (1992) dengan sebutan restricted pluralism
model, dan tokoh yang melahirkan model ini adalah Liddle (1987). Bila empat model
sebelumnya cenderung bertumpu pada argumen bahwa proses pengambilan keputusan atas
kebijakan nasional sangat dimonopoli oleh state actors, maka restricted pluralism model
berargumen: memang diakui state-actors memainkan peran utama, namun pada tingkat-
tingkat tertentu masih terdapat ‘ruang’ bagi extra state-actors untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan pada tingkat nasional.
Menurut Liddle, sulit dipungkiri bahwa elit politik di tingkat pusat memang telah
memainkan ‘peran kunci’ dalam merumuskan kebijakan nasional di Indonesia. Namun
perlu diketahui bahwa para elit politik tersebut tidak memonopoli proses pengambilan
keputusan, karena ternyata masih terdapat beberapa aktor penting yang lain, misalnya:
pemerintah daerah, organisasi produsen, organisasi konsumen, anggota parlemen, press,
dan kelompok intelektual, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
proses pengambilan keputusan pada tingkat nasional.
Ulasan singkat tentang pola interaksi antara state dan society pada periode rezim Orde Baru
di atas, memunculkan pertanyaan lanjut: apa yang dapat dijelaskan tinjauan literatur
tersebut mengenai karakteristik konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi pada
periode Orde Baru?
Bila kelima model state-society relation yang dikemukakan di atas dijadikan sebagai acuan,
secara teoritis paling sedikit ada 2 (dua) spekulasi yang mungkin dapat dibangun untuk
menjawab pertanyaan di atas. Empat model yang pertama (State-Qua-State, Bureaucratic
17 Model ini sebenarnya pertama kali dikenalkan oleh Emerson (1983) sebagai ‘counter point’ atas model State-qua-State dan Bureaucratic Polity. Yang membedakannya dengan model state-qua-state dan bureaucratic polity hanyalah pada proposisi dari model ini (Bureaucratic Pluralistic) yang menyebutkan: “…even if the national policy decision-making is highly monopolized by the ruling elites at the centre level, the politics at the national level in Indonesia is more regularised and more pluralistic than most observer have acknowledged” (Lihat MacIntyre, 1992: 10).
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
15
Polity and Patrimonial Cluster, Bureaucratic Authoritarian, dan Bureaucratic Pluralistic),
menyebutkan bahwa proses pengambilan keputusan atas kebijakan-kebijan nasional sangat
didominasi negara, bahkan oleh elit politik di tingkat pusat. Bila kecenderungan seperti ini
yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan atas kebijaksaan desentralisasi, maka
keberadaan desentralisasi tidak lebih hanya merupakan refleksi kepentingan pihak state.
Atau, lebih spesifiknya, refleksi kepentingan segelintir state-actors. Dalam format seperti
ini, maka dapat dimengerti bila kemudian implementasi kebijakan desentralisasi selalu
disertai kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah pusat. Kalaupun kebijakan otonomi
daerah diterapkan, kehadirannya lebih dalam bentuk ‘otonomi pemerintah daerah’, atau,
‘otonomi pejabat daerah’. Sementara, masyarakat (society) cenderung diposisikan hanya
sebagai objek dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Kemungkinan kedua, mengacu pada argumen dasar restricted pluralism. Model ini
menyebutkan, kendati elit-elit politik di tingkat pusat memainkan peran kunci, namun
mereka tidak memonopoli proses pengambilan keputusan, karena masih terdapat aktor-
aktor lain (extra state-actors) yang, secara langsung atau tidak langsung, dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Bila kondisi ini yang
terjadi dalam proses pengambilan keputusan atas kebijakan desentralisasi, maka dapat
dikatakan bahwa, walaupun kehadiran desentralisasi lebih banyak mewakili kepentingan
pihak state, namun kepentingan pihak society masih tetap terefleksikan, kendati dalam
kapasitas yang relatif terbatas.
Secara akademis, jawaban dari dua spekulasi teoritis di atas sebenarnya sudah banyak
ditulis para pengamat. Hanya menyebut beberapa contoh, Kuntjara Jakti (1981), misalnya,
menyebutkan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia pada periode Orde Baru
cenderung bergerak antara dua kutub, yaitu antara kutub desentralisasi pada satu sisi dan
sentralisasi pada sisi yang lain. Namun, kecenderungan untuk mengayun ke kutub
sentralisasi tampak lebih besar daripada ke kutub desentralisasi. Ada beberapa alasan
mendasar tentang mengapa kecenderungan ini terjadi. Secara politis, tulis Kuntjara Jakti,
hal tersebut sangat erat kaitannya dengan isu stabilitas politik dan ketahanan nasional.
Sedangkan alasan ekonomi, kecenderungan sentralisasi tersebut berkaitan dengan
kehadiran model Neo-Keynisian yang telah digunakan oleh para teknokrat dalam
‘mendesain’ kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru. Model ini, tak dapat dipungkiri
memang lebih menghendaki sentralisasi (lihat Kuntjara Jakti, 1981: 143-144).
Sementara, Michael Morfit (1986) mengkaji keterkaitan antara kebijakan desentralisasi
rezim Orde Baru dengan peningkatan kewenangan pemerintah daerah. Berdasarkan hasil
kajiannya, Morfit mencatat sedikitnya ada dua kendala mendasar desentralisasi di
Indonesia ketika itu. Pertama, ia sebut administrative and legal ambiguities. Persoalan ini,
tulis Morfit, ditunjukkan oleh ketidakjelasan pembagian tugas dan fungsi antara dinas-dinas
daerah dan instansi-instansi vertikal pemerintah pusat (Kanwil dan Kandep) yang
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
16
ditempatkan di daerah. Peran dari instansi-instansi vertikal pemerintah pusat cenderung
lebih dominan dibandingkan peran dinas-dinas daerah. Kendala kedua adalah kemampuan
keuangan pemerintah daerah yang sangat tidak memadai, terutama untuk mendukung
anggaran pembangunan. Akibatnya, pemerintah daerah selalu mengandalkan alokasi dana
dari pemerintah pusat, yang justru mengekalkan ketergantungan terhadap pemerintah
pusat.
Pada bagian lain, Dwight King (1988) menganalisa keterkaitan antara desentralisasi dan
kebijakan Orde Baru tentang pengaturan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan hasil
kajiannya, King (1988) menyebutkan bahwa kebijakan Orde Baru tentang PNS merupakan
salah satu bentuk dari strategi untuk mengendalikan pemerintah daerah melalui jalur
birokrasi. Pengendalian oleh pemerintah pusat tersebut dilakukan melalui Kantor Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Administrasi Kepegawaian Negara
(BAKN). Implikasi dari kebijakan kepegawaian ini, tulis King (1988: 253), antara lain,
menyebabkan Pegawai Negeri Sipil di daerah mengalami banyak kesulitan dalam
pengembangan karier mereka. Ini utamanya karena, baik jenjang kepangkatan maupun
jenjang jabatan (eselonisasi) ditentukan oleh pemerintah pusat.
Pada periode ‘Pasca Orde Baru’, secara legal formal, upaya untuk melakukan reformasi
kebijakan desentralisasi disimbolkan oleh kehadiran UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Pada
tingkat minimal, harus diakui bahwa UU No. 22 Tahun 1999 mencoba menggeser dominasi
perspektif desentralisasi administrasi dalam pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah
ke arah desentralisasi politik. Hal ini dapat terlihat dari antara lain: (a) diakomodasinya
aspek society dalam definisi otonomi daerah pada UU No. 22 Tahun 1999 (bandingkan
dengan UU No. 5 Tahun 1974), kendati pada bagian lain, definisi desentralisasi masih tetap
bertumpu pada konsep lama; (b) adanya keinginan untuk mendesentralisasikan wewenang
yang lebih luas kepada pemerintah daerah, ini dirumuskan secara eksplisit pada Pasal 7 (1)
UU No. 22 Tahun 1999; dan (c) adanya pemberdayaan DPRD dengan peningkatan peran
dan fungsi.
Namun, bila disimak secara lebih teliti, UU. No. 22 Tahun 1999 masih banyak diwarnai
ambivalensi, baik pada tataran konsep maupun pada tingkat implementasi. Satu diantara
contoh yang paling menarik adalah, pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah yang
dituangkan pada Pasal 7. Disebutkan:
Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.
Kutipan di atas bukan bermaksud untuk mempertanyakan keberadaan dari ‘kewenangan
bidang lainnya’ pada pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Ini karena, untuk tidak
menghilangkan nuansa ‘desentralisasi dalam negara kesatuan’, tidak dapat dipungkiri,
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
17
pemerintah pusat harus memiliki wewenang lain (terutama yang menyangkut hajat hidup
orang banyak), di samping wewenang pokok yang telah ditetapkan (5 wewenang). Yang
menjadi inti persoalan di sini adalah proses penetapan ‘wewenang bidang lainnya’ tersebut.
Secara teoritis, proses penetapan kewenangan bidang lain pemerintah pusat harus
dilakukan bersama dengan pemerintah daerah, berdasarkan prinsip ‘negosiasi’ dan tidak
saling memaksakan. Namun kenyataannya, proses penetapan kewenangan bidang lainnya
tersebut, yang dikonkritkan melalui PP. No. 25 Tahun 2000, dilakukan secara sepihak oleh
pemerintah pusat. Fenomena ini menguatkan kesan bahwa pengaturan hubungan
kekuasaan antara pusat-daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 tetap belum terbebas dari
apa yang Davey (1989) sebut dengan ambivalensi antara keinginan untuk mewujudkan
prinsip desentralisasi dan sentralisasi.
Kelemahan mendasar lain UU. No. 22 Tahun 1999 adalah cenderung mengabaikan
dinamika perubahan politik secara nasional: transisi menuju demokrasi. Konsep
desentralisasi dalam UU. No. 22 Tahun 1999 dibangun berdasarkan asumsi bahwa
Indonesia telah berada pada fase sistem politik demokrasi. Akibat pengabaian realitas
politik tersebut, pada tingkat implementasi telah menimbulkan banyak penyimpangan-
penyimpangan.
Pada bagian sebelumnya telah dipetakan secara umum bentuk-bentuk dari penyimpangan
tersebut. Beberapa contoh lain: berlipat gandanya biaya pembangunanan ekonomi sebagai
akibat dari meningkatnya ‘pungutan liar’ atas masyarakat dan pengusaha di daerah dan
semakin ‘menggilanya’ praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di daerah. Sementara
pada sisi lain, pemerintah pusat dengan kasat mata terlihat masih enggan kehilangan
kekuasaan atas daerah. Dalam istilah yang lebih populer, pemerintah pusat masih bersikap
‘setengah hati’ dalam mendukung implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menjelaskan, secara teoritis,
interkorelasi antara fenomena penyimpangan implementasi kebijakan desentralisasi
tersebut dengan proses transisional (dari rezim otoriter menuju rezim demokrasi) yang
sedang terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini tentu sulit diketemukan bila kerangka berfikir
hanya dilandaskan pada dua perspektif desentralisasi yakni perspektif desentralisasi politik
dan administrasi. Ini karena dua perspektif desentralisasi tersebut tidak eksplisit
memposisikan adanya hubungan korelasional antara kebijakan desentralisasi dan dinamika
perubahan sistem politik.
Penjelasan normatif atas jawaban dari pertanyaan di atas hanya mungkin didapat bila
realitas implementasi kebijakan desentralisasi dipahami dan diartikulasi sebagai bagian tak
terpisahkan dari dinamika perubahan politik. Dengan tidak bermaksud menisbikan dua
perspektif desentralisasi yang ada, kerangka berfikir dalam menjelaskan keterkaitan antara
penyimpangan implementasi kebijakan desentralisasi tersebut dengan periode transisi
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
18
menuju demokrasi yang sedang terjadi, dapat dipahami berdasarkan perspektif state-
society relation.
Bila tiga karakteristik utama praktik desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi
(seperti telah dipaparkan dalam pembahasan pada bagian sebelumnya) dapat dijadikan
sebagai rujukan,18 sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas jelas tergambarkan.
Misalnya, fenomena semakin maraknya praktik KKN seiring implementasi kebijakan
desentralisasi merupakan salah satu konsekuensi logis dari disorientasi pemahaman konsep
desentralisasi (lihat karakteristik kedua desentralisasi pada periode transisional). Hal ini
juga dapat dipahami sebagai salah satu implikasi dari pola interaksi antara state dan society
di tingkat lokal yang bersifat poliarki (lihat karakteristik yang ketiga). Sementara, sikap
pemerintah pusat yang setengah hati dalam mendukung implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah dapat diartikulasi sebagai indikasi masih cukup kuatnya
posisi tawar pemerintah pusat atas daerah, baik dalam proses pengambilan keputusan
maupun dalam implementasi kebijakan desentralisasi (lihat karakteristik pertama).
Rekonstruksi Konsep dan Implementasi Kebijakan Desentralisasi Rekonstruksi konsep Disimak dari rangkaian pembahasan sebelumnya terlihat bahwa keberadaan desentralisasi,
berdasarkan perspektif state-society relation, tidak lain hanya merupakan salah satu
sarana, bukan tujuan akhir, untuk mendekatkan state dengan society, agar antara keduanya
dapat berinteraksi secara dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan (policy
making) maupun dalam implementasi kebijakan (policy implementation). Sedangkan
tujuan akhir yang hendak dicapai kebijakan desentralisasi adalah terwujudnya
kemaslahatan bagi masyarakat di daerah melalui praktik demokrasi di tingkat lokal,
terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta
peningkatan pelayanan publik.
Argumentasi yang ingin ditegaskan adalah bahwa perspektif state-society relation terlihat
lebih komprehensif dalam mengartikulasi persoalan desentralisasi bila dibandingkan
dengan dua perspektif lain yang berkembang (desentralisasi politik dan desentralisasi
administrasi). Bahkan ia menawarkan solusi bagi polemik berkepanjangan antara dua
perspektif tersebut. Oleh karenanya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perspektif state-
society relation dapat dijadikan landasan berfikir dalam pengembangan konsep
desentralisasi pada umumnya, dan dalam rekonstruksi konsep desentralisasi di Indonesia
pada khususnya. Secara singkat kerangka berfikir rekonstruksi konsep desentralisasi
berdasarkan perspektif state-society relation tersebut dapat dilihat pada Diagram 4.
18 Simak kembali pembahasan tentang desentralisasi dan pola interaksi state-society pada periode transisi.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
19
Tanpa maksud melakukan simplifikasi akademis, landasan berfikir pada Diagram 4
menunjukkan bahwa antara dua perspektif desentralisasi yang berkembang saat ini
(perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi) sebenarnya dapat
disinergikan dalam bingkai perspektif state-society relation. Kerangka berfikir yang penulis
bangun ini sama sekali bukan bertujuan menafikan perbedaan antara dua perspektif
tersebut. Secara akademis sulit dipungkiri bahwa ada sejumlah perbedaan mendasar antara
perspektif desentralisasi politik dan perspektif desentralisasi administrasi, baik pada tataran
konseptual maupun pada tingkat operasional. Perbedaan tersebut, antara lain, tercermin
dari rumusan definisi desentralisasi dan tujuan yang hendak dicapai menurut masing-
masing perspektif (lihat pembahasan tentang polemik konseptual pada bagian awal tulisan
ini). Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan devolusi kekuasaan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, sementara perspektif desentralisasi adminsitrasi
mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Demikian juga dengan formulasi tujuan yang hendak dicapai kebijakan
desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan pada aspek demokratisasi
di tingkat lokal sebagai tujuan utama, sedangkan perspektif desentralisasi administrasi lebih
menitikberatkan pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah sebagai tujuan utama.
Diagram 4.
Rekonstruksi konsep desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation
Namun, bila substansi konseptual dari dua perspektif tersebut direnungkan dan dipahami
berdasarkan perspektif hubungan negara dan masyarakat (state-society relation), maka
sesungguhnya terdapat persamaan hakiki antara keduanya. Dalam hal definisi
desentralisasi, misalnya, kendati terdapat perbedaan dalam formulasi, keduanya memiliki
dasar filosofis yang sama yaitu untuk mendekatkan negara kepada masyarakat. Demikian
Political decentralisation perspective
Administrative decentralisation
perspective
State-society relation perspective
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
20
juga mengenai tujuan desentralisasi, walaupun terdapat perbedaan antara perspektif
desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi dalam memberikan tekanan atas
tujuan yang hendak dicapai, namun secara prinsipal terdapat persamaan antara keduanya,
yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat di daerah dalam bentuk
kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan demikian, perbedaan antara dua perspektif
tersebut, sebenarnya, lebih pada konteks metodologi, yakni cara dan mekanisme yang
diterapkan untuk mencapai kemaslahatan bagi masyarakat. Atas dasar pemahaman seperti
ini, penulis kemudian membangun preposisi, yaitu bahwa perspektif state-society relation
lebih komprehensif sebagai landasan berfikir dalam pengembangan konsep desentralisasi
secara umum, dan khususnya dalam rekonstruksi konsep desentralisasi di Indonesia.
Bila preposisi di atas dijadikan rujukan dalam rekonstruksi konsep desentralisasi, maka
sulit dipungkiri bila kemudian perspektif state-society relation lebih menghendaki definisi
desentralisasi dalam format penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Ini karena hanya dengan penyerahan kekuasaan, pemerintah daerah
dan masyarakatnya akan memiliki hak penuh (otonomi), baik dalam proses pengambilan
keputusan (policy making) maupun dalam implementasi kebijakan (policy
implementation). Demikian juga halnya dengan otonomi daerah, harus didefinisikan tidak
saja berdasarkan perspektif state, tetapi juga berdasarkan perspektif society. Lebih
spesifiknya, dari sisi kepentingan state, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai a
freedom which is assumed by a local government in both making and implementing itw
own decisions (Mawhood, 1987). Hal ini, pada konteks Indonesia selama ini, lebih populer
dimaknai sebagai hak, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur
rumah tangganya sendiri. Sedangkan dari sisi kepentingan society, otonomi daerah harus
didefinisikan sebagai hak masyarakat sipil (civil society) untuk mendapatkan kesempatan
dan perlakuan yang sama dalam mengekspresikan dan memperjuangkan kepentingannya
via-a-vis pemerintah, dan dalam ikut mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.
Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi? Perspektif state-society relation tidak
mendikotomikan antara tujuan politik dan tujuan administrasi, karena keduanya sama
penting untuk diwujudkan. Untuk itu, maka formulasi tujuan desentralisasi dikembalikan
pada konsep dasarnya (lihat Smith, 1985), yang diklasifikasikan dalam dua kategori utama,
yaitu untuk kepentingan nasional dan untuk kepentingan daerah19. Substansi dari masing-
masing kategori tersebut harus dapat mengakomodasi aspek sosial, ekonomi (Rondinelli,
1983; Ruland, 1992) dan aspek politik (Smith, 1985; Mawhood, 1987) yang hendak dicapai.
Berdasarkan kepentingan nasional tujuan utama dari desentralisasi adalah: (a) untuk
mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa; (b) sebagai sarana untuk training bagi
19 Ulasan lebih lengkap pemikiran Smith (1985) berkaitan dengan tujuan desentralisasi (termasuk penjelasan tentang masing-masing tujuan berdasarkan kategori kepentingan nasional dan daerah) dapat disimak pada pembahasan tentang polemik konseptual di bagian awal.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
21
calon-calon pemimpin nasional; dan (c) untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan utama dari
desentralisasi meliputi, antara lain: (a) mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal (political
equality, local accountability, dan local responsiveness); (b) peningkatan pelayanan publik;
dan (c) menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah.
Rekonstruksi Pendekatan Implementasi
Rekonstruksi pada tataran konseptual (normatif) seperti diutarakan di atas, tentu tidak
akan mencapai hasil optimal bila tidak diikuti upaya rekonstruksi pada tataran operasional,
yang antara lain menghendaki adanya reformasi pendekatan dalam implementasi kebijakan
desentralisasi. Pendekatan kebijakan yang harus diterapkan adalah pendekatan yang
bersifat holistik. Terminologi ‘holistik’ dapat dimaknai sedikitnya dalam dua dimensi.
Pertama, sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan
bernegara, maka kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri sendiri, namun harus terkait
dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain, sehingga dapat tercipta kondisi
saling dukung dan saling mengisi, bukan sebaliknya, antara kebijakan desentralisasi dengan
kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Kedua, ‘holistik’ juga berarti bahwa dalam
implementasi kebijakan desentralisasi harus memperhatikan karakteristik, potensi, dan
kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah. Skema pendekatan holistik
tersebut dapat dilihat pada Diagram 5.
Secara umum pendekatan holistik pada Diagram 5 dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kebijakan desentralisasi pada prisipnya lebih banyak mengatur dua variabel utama, yaitu
hubungan kekuasan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (lihat Kotak 1).
Dengan adanya penyerahan kekuasaan, termasuk didalamnya kekuasaan dalam hal
keuangan, akan terwujud otonomi daerah, yakni hak pemerintah daerah dan masyarakat
untuk mengambil keputusan dan mengimplementasikan kebijakan berdasarkan prakarsa
dan aspirasi masyarakat, serta kemampuan yang dimiliki daerah (lihat Kotak 2). Ini berarti,
secara implisit, mengindikasikan bahwa ruang lingkup otonomi yang dimiliki daerah sangat
ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi. Penulis mengandaikan
interkoneksi antara kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai dua sisi mata
uang: antara satu dan yang lain berbeda letak dan status, namun saling mengisi dan
memberi makna.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
22
Diagram 5.
Pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation
Selanjutnya, tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah, antara lain untuk mepertahankan integrasi bangsa, training kepemimpinan
nasional, mempercepat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, menciptakan
demokratisasi di tingkat lokal, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah, dan peningkatan pelayanan publik (lihat Kotak 3). Bila tujuan yang hendak dicapai
Desentralisasi 1) Pengaturan
tentang hubungan kekuasaan pusat dan daerah
2) Pengaturan tentang hubungan keuangan pusat dan daerah
Otonomi Daerah
Hak pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengambil keputusan
dan mengimplementasikan
berbagai kebijakan yang telah diambil,
berdasarkan prakarsa, aspirasi, dan
kemampuan yang dimiliki daerah
Tujuan Yang Hendak Dicapai
1. Mempertahankan
integrasi bangsa 2. Training
kepemimpinan nasional
3. Percepatan pencapaian kesejahteraan dan ke-makmuran rakyat
4. Demokratisasi di tingkat lokal
5. Efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah
6. Peningkatan pelayanan publik
• Persepsi para penyelenggara Pemda dan masyarakat tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
• Perilaku politik para penyelenggara Pemerintahan Daerah
• Kebijakan Partisipasi Masyarakat • Kebijakan Parpol, Kelompok
Kepentingan, Organisasi Kemasyarakatan, dan Media Massa
• Kebijakan Sistem Pemilihan Umum
• Kebijakan Kepegawaian • Kebijakan Pertahanan Keamanan
• Kebiajakan Hubungan Luar Negeri
• Kebijakan Penegakan Hukum • Kebijakan Peningkatan
Kualitas SDM di Daerah • Kebijakan Pengelolaan
Sumber Daya Ekonomi dan Lingkungan
• Kebijakan Investasi • Kebijakan Pertanahan • Kebijakan Peran Wanita • Dan lain sebagainya
• Karakteristik daerah • Kemampuan daerah
(pluralitas lokal)
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
23
tersebut dikaitkan dengan ide rekonstruksi konsep desentralisasi (seperti dikemukakan
pada bagian sebelumnya) maka, tiga tujuan yang disebut pertama tidak lain adalah tujuan
desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional, sementara tiga tujuan berikutnya adalah
tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan daerah.
Namur, penting untuk mendapat penekanan bahwa upaya untuk mencapai atau paling tidak
mendekati sejumlah tujuan ideal tersebut tidak mungkin terlaksana bila hanya bertumpu
pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semata tanpa terkait dan didukung oleh
kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Sebagai ilustrasi: apakah mungkin keinginan untuk
mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal, misalnya, dapat tercapai dengan hanya
bertumpu pada kebijakan pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah, tanpa terkait dan
didukung oleh kebijakan bidang partai politik, organisasi kemasyarakatan (Ormas), peran
press, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sistem Pemilihan Umum? Demikian juga
halnya dengan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mustahil
terwujud bila hanya didasarkan pada kebijakan pengaturan hubungan keuangan pusat-
daerah, tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan bidang investasi, pengelolaan sumber
daya Alam, dan lain sebagainya.
Argumentasi yang ingin ditegaskan di sini adalah: untuk dapat mewujudkan tujuan ideal
kebijakan desentralisasi, maka pada tingkat implementasi ia harus terkait dan didukung
oleh kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Itulah sebabnya mengapa pada skema alur
pendekatan holistik di atas, kebijakan pada bidang lainnya tersebut diberi status sebagai
intervening variables (variabel antara) (lihat Kotak 4). Dengan status ini, secara eksplisit
ditunjukkan bahwa keberadaan kebijakan bidang-bidang lain dapat berperan sebagai
varibel pendukung atau penghambat bagi pencapaian tujuan ideal desentralisasi (lihat
Kotak 3).
Faktor lain yang penting diperhitungkan dalam implementasi kebijakan desentralisasi
adalah karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing
daerah (lihat Kotak 5). Kebijakan desentralisasi yang ideal adalah jika penyerahan
kekuasaan kepada daerah disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan nyata masing-
masing daerah. Ini berarti, jumlah dan ruang lingkup kekuasaan yang diserahkan tidak
harus sama antara daerah satu dengan yang lain. Proses penyerahan kekuasaan seyogianya
dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing
daerah.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
24
Catatan Penutup
Bila substansi rekonstruksi konsep dan pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi
berdasarkan perspektif state-society relation di atas disimak kembali, akan terlihat jelas
bahwa, pada tataran konseptual, nuansa rekonstruksi tersebut ditunjukkan antara lain oleh
status desentralisasi, yang secara tegas diartikulasi hanya sebagai salah satu sarana (bukan
tujuan akhir) untuk mendekatkan state kepada society. Lebih jauh, nuansa rekonstruksi
koseptual tersebut juga diindikasikan oleh rumusan definisi dan tujuan desentralisasi.
Walaupun dalam hal ini formulasi definsi desentralisasi yang diajukan terlihat lebih
merujuk pada perspektif desentralisasi politik, dengan tekanan pada aspek penyerahan
kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, namun dalam formulasi
tujuan yang hendak dicapai tidak mendikotomikan antara tujuan menurut konsep
desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi.
Bagi perspektif state-society relation, baik tujuan politik maupun tujuan administrasi
adalah sama penting. Perbedaan lebih terletak pada metode dan tekanan prioritas untuk
mencapai tujuan. Itulah sebabnya tujuan desentralisasi pada rekonstruksi konseptual yang
dibangun lebih diformulasikan menurut kepentingan nasional dan daerah. Dari sisi
kepentingan nasional, tujuan desentralisasi meliputi, antara lain, memperkuat integrasi
bangsa; training bagi calon-calon pemimpin nasional; dan percepatan pencapaian
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan
desentralisasi meliputi, antara lain mewujudkan demokratisasi di tingkat local;
meningkatkan pelayanan publik; serta menciptakan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan.
Tujuan yang disebut pertama (tujuan secara nasional) perlu medapat penekanan, karena
dalam praktik desentralisasi di Indonesia sejauh ini, tujuan tersebut belum dirumuskan
secara eksplisit, baik pada tataran konsep maupun pada tingkat kebijakan. Implikasinya,
antara lain, pelaksanaan kebijakan desentralisasi sering dikaitkan dengan kekuaatiran
terancamnya integrasi bangsa. Kecenderungan ini dimengerti, karena apabila tujuan
desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional tersebut dikonkritkan pada level konsep
dan kebijakan akan mempersempit ruang gerak rezim yang berkuasa untuk melakukan
‘diskresi desentralisasi’, yaitu memanipulasi konsep dan kebijakan desentralisasi guna
membelenggu daerah. Saat ini, menurut hemat penulis, sudah waktunya bagi kita untuk
memutus rentang sejarah panjang praktek ‘diskresi desentralisasi’ tersebut melalui
reformulasi tujuan desentralisasi.
Pada tataran pendekatan kebijakan, nuansa rekonstruksi yang mesti dilakukan, antara lain,
tercermin dari pilihan terhadap pendekatan holistik sebagai model implementasi kebijakan
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
25
desentralisasi. Dengan pendekatan ini, implementasi kebijakan desentralisasi tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang
lain. Selain itu, implementasi kebijakan desentralisasi juga harus tidak mengabaikan
karakteristik masing-masing daerah.
Ide dasar dari rekonstruksi pendekatan desentralisasi secara holistik mengisyaratkan bahwa
persoalan hubungan pusat-daerah tidak dapat diselesaikan secara parsial, dengan hanya
mengutak-atik kebijakan tentang desentralisasi (pengaturan hubungan kekuasaan dan
keuangan pusat-daerah) dan kebijakan otonomi daerah, tetapi juga menghendaki perbaikan
kebijakan pada bidang-bidang lain. Ini adalah pekerjaan besar yang membutuhkan banyak
energi dan waktu. Namun tidak berarti mustahil diwujudkan. Dibutuhkan, antara lain,
komitmen politik (tidak cukup hanya keinginan politik [political will]) dan konsistensi
dalam aksi.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
26
Daftar Pustaka
Alagappa, Muthiah (1995) Political Legitimacy in Southeast Asia, California: Stanford University Press.
Anderson, B. (1983) Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective, Journal of Asian Studies, Vol. XLII, no.3 (May).
AntlOv, Hans (1998), Federation-of-intent in Indonesia, 1945-49, Makalah dalam International Conference Toward Srtuctural Reforms for Democratizoation in Indonesia; Problems and Prospects yang diselenggarakan oleh Center for Political Studies – Indonesia Institute of Sciences and The Ford Foundation di Jakarta tanggal 12-14 Agustus
Bums, Danny, Robin Hambleton, and Paul Hoggett (1994), The Politics of Decentralisation – Revitalising Local Democracy, London: MacMillan
Cheema G. Shabbir & Dennis A. Rondinelli (1983), Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills/London/New Delhi : sage publications
Conyer, D (1986) Decentralisation and Development: A Framework for Analysis, Community Development Journal, Vol. 21, no.2.
Conyers, D (1984) Decentralization and Development: a Review of the Literature, Public Administration and Development, Vol. 4.
Conyers, D. (1983) Decentralization: The Latest Fashion in Development Administration? Public Administration and Development, Vol. 3.
Dahl, R.A. (1981) The City in the Future of Democracy, in L.D. Feldman (ed) Politics and Government of Urban Canada, London: Methuen.
Dahl, Robert A. & Charles E. Linblom (1953), Politics, Economics and Welfare, New York: Harper and Bros
Davey, K. (1989) Central-Local Financial Relations, in Devas, N. (ed) (1989) Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University Center for International Studies, Monographs in International Studies, Southeast Asian Series No. 84.
Devas, N. (1989) Local Government Finance in Indonesia: An Overview, in Devas, N. (ed) (1989) Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University Center for International Studies, Monographs in International Studies, Southeast Asian Series No. 84.
Devas, N. (1997) Indonesia: What do we mean by decentralisation? Public Administration and Development, Vol. 17 (pp.351-367).
Elazar, Daniel J. (ed)(1981), Federal System Of The World, Harlow, Essex : Longman Group Emerson, D (1978) The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength, in Jackson,
K.D. & Pye, L.W. (eds) Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of California Press.
Emerson, D(1983) Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia, Asian Survey, Vol. XXIII, no.11 (November).
Evans, Marks (1995), “Elitism”, dalam Marash, D. and Stoker, G. (eds), Theory and Methods in Political Science, London: Macmillan Press.
Fesler, J.W.(1965), “Approaches to the Understanding of Decentralization”, Journal of Politics, Vol. 27 No. 4
Fried, Robert C (1963),. The Italian Prefect : An Administration Political Analisys : Yale University Press
Gramsci, A. (1971), Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, London: Lawrence & Wishart.
Griffin, K. (1981), “Economic Development in a Changing World”, World Development, 9 (3)
Grindle, M. and Thomas, J. (1989), “Policy Makers, Policy Choices, and Policy Outcomes: The Political Economy of Reform in Developing Countries”, Policy Science, No. 22.
Gunlicks, A.B. (ed) (1981) Local Government Reform and Reorganization: An International Perspective, London: National University Publication, Kennikat Press.
Halligan, John and Chris Aulich (1998), “Reforming Australian Gavernment: Impact and Implications for Local Public Administration” dalam Reforming Gavernment: New Concepts and Practices in Local Public Administration, Tokyo: EROPA Local Government Center
Hart, David K. (1976), Theories of government Related to Decentarlization and Citizen Participation”, Public Adminstration Review, January/February,
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
27
Jackson, K.D. & Pye, L.W (eds) (1978) Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of California Press.
Jessop, B. (1985), Nicos Poulantzas: Maxist Theory and Political Strategy, London: Macmillan
Kasfir N. (1987) Designs and Dilemmas: An Overview, in Mawhood, P. (ed) (1983) Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, Chichester: John Wiley & sons.
King, D. Y. (1982a) Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime, or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does it Make? in Anderson, B & Kahin, A. (eds) Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
King, D.Y. (1988) Civil Service Policies in Indonesia: an Obstacle to Decentralisation? Public Administration and Development, Vol. 8, No.3.
Kuntjara-Jakti, D. (1981) The political economy of development: The case of Indonesia under the New Order Government, 1966-1978, Berkeley: University of California (PhD Thesis).
Laski, H. (1931) A Grammar of Politics, London: Allen & Unwin. Leemans, A.F. (1970), Changing Pattems of Local Government, The hague, IULA Liddle, R. W (1987) The Politics of Shared Growth: Some Indonesian Cases, Comparative
Politics, vol. 19, no.2 (January). Linz, J. Juan (1998),. “Democracy, Multinationalism, and Federalism” paper presented
International Conference TOWARDS STRUCTURAL REFORMS FOR DEMOCRATIZATION IN INDONESIA: PROBLEMS AND PROSPECTS, held by Center for Political and Regional Studies Indonesian Institute Of Scinces and The Ford Foundation, Jakarta, August, 12-14
Maas, Arthur, (ed) (1959), Area and Power : A Theory of Local Government, Glencoe, Illinois: The Free Press
MacIntyre, A. (1992) Business and Politics in Indonesia, New South Wales: Asian Studies Association of Australia in association with Allen & Unwin.
Maddick, Henry (1963), Democracy, Decentralization and Development, London: Asia Publisihing House
Marash, D. and Stoker, G. (eds) (1995) Theory and Methods in Political Science, London: Macmillan Press.
Mariategui, J.C., (1952), Siete Ensayos de Interpretacion de la Realidad Peruana, Lima: Amauta Editorial.
Mathur, K. (1983) Administrative Decentralisation in Asia, in Cheema, G.S. and Rondinelli, D.A. (eds) (1983) Decentralisation and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills: Sage.
Mawhood P. (ed) (1987) Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, Chicheser: John Wiley & Sons.
Michel, R. (1962), Political Parties, New York: Free Press Morfit, M. (1986) Strengthening the Capacities of Local Government: Policies and
Constraints, in MacAndrew (ed) Central Government and Development in Indonesia, Singapore: Singapore University Press.
Mosca, G. (1939), The Ruling Class, New York: McGraw Hill Muthalib, MA & Mohd. Akbar Ali Khan (1982), Theory of Local Government , New Delhi:
Starling Publisher Private Limited Ostrom, Vincent (1991), The Mining of American Federalism: Constituting Self-Governing
Society, San Francisco: ICS Press. Pareto, V. (1966), Sociological Writings, London: Pall Mall Parson, T. et al. (eds) (1961) Theories of Sociology, Glencoe: The Free Press. Poulantzas, N. (1974), Political Power and Social Classes, London: New Left Books Poulantzas, N. (1978), State Power and Socialism, London: Verso Robison, R. (1988) Authoritarian States, Capital-Owning Classes and the Politics of Newly
Industrialising Countries: the Case of Indonesia, World Politics, Vol. XLI, No.1, October.
Rondinelli, D.A. (1990) Decentralisation, Territorial Power and the State: A Critical Response, Development and Change, Vol. 21 (pp.491-500).
Rondinelli, D.A. et al (1989) Analyzing Decentralization Policies in Developing Countries: a Political-Economy Framework, Development and Change, Vol. 20, No.1.
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
28
Rondinelli, Dennis A., John R. Nellis & G. Shabbir Cheema (1983),Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience, Washington D.C.: The World Bank
Ruland, J. (1993) Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government, Boulder: Westview Press.
Samoff, J. (1990) Decentralization: The Politics of Interventionism, Development and Change, Vol. 21, No.3.
Schmitter, P. (1974), “Still the Century of Corporatism”, Review of Politics, No. 36, pp. 85-131.
Sharpe, L.J. (1981) Theories of Local Government, in L.D. Feldman (ed) Political and Government of Urban Canada, London: Methuen.
Skocpol, T. (1985), “Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current Research’, dalam P.B. Evans, D. Rieschemeyer and Teda Skocpol, Bringing the State Back In, Cambridge: Cambridge University Press.
Slater, D and Watson, J (1989) Democratic Decentralization or Political Consolidation: The Case of Local Government Reform in Karnataka, Public Administration and Development, Vol. 9.
Slater, D. (1989) Territorial Power and The Peripheral State: issue of Decentralization, Development and Change, Vol. 20, No.3.
Slater, D. (1990) Debating Decentralisation: A Reply to Rondinelli, Development and Change, Vol. 21 (pp.501-512).
Smith, B.C. (1963), Field Administration: An Aspect of Decentralization, London: Asia Publishing House, 1963.
Smith, B.C. (1981) The Powers and Functions of Local Government in Nigeria 1966-1980, International Review of Administrative Sciences, Vol. 47, No.4.
Smith, B.C. (1985), Decentralization: The Territorial Dimension of The State. London: Asia Publishing House
Smith, B.C. (1986) Spatial Ambiguities: Decentralisation within the State, Public Administration and Development, Vol. 6 (pp.455-465).
Smith, Martin (1995), “Pluralism”, dalam Marash, D. and Stoker, G. (eds), Theory and Methods in Political Science, London: Macmillan Press.
Stoker, Gerry (1990), The Politics of Local Government, London: MachMillan Stepan, A. (1978), The State and Society: Peru in Comparative Perspective: Princeton:
Princeton University Press. Taylor, George (1995), “Maxism”, dalam Marash, D. and Stoker, G. (eds), Theory and
Methods in Political Science, London: Macmillan Press. Weare, K.G. (1963), Federal Government, London: Oxford University Press Werlin, Herbert H. (1970), “Elasticity of Control: An Analysis of Decentralization”, Journal
of Comparative Administration. Vol 2 Yluisker, P (1959) Some Criteria for a Proper Aerial Division of Government Power, in A.
Maas (ed) Aerial Power: A Theory of Local Government, New York: The Free Press. Zolberg, Aristide R. (1996), Creating Political Order, Chicago: Rand McNally
Top Related