Download - BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Transcript

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 1 of 11

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYUDARI DESA LAPE, KABUPATENSANGGAU 1

oleh Dr. Edi, M.SiDosen FISIP UNTAN

A. PENDAHULUANDi dalam benak penulis selama lebih dari 15 tahun silam, memandang

Kabupaten Sanggau hanya berisi kebun sawit dan tidak sama sekalimengetahui bahwa di kabupaten ini masih terdapat hutan perawan tropis(rainy virgin forest). Pengetahuan penulis mengenai keberadaan hutanperawan ini pun setelah penulis menginap selama 5 (lima) hari di Desa Lape,Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau dalam rangka mendampingikegiatan Kemah Bhakti Sosial Mahasiswa (KBSM) FISIP UNTAN 2015 yangberlangsung sejak 3 hingga 7 Juni 2015 di desa itu dengan peserta lebih dari200 mahasiswa.

Berikut ini adalah cerita tentang upaya berbagai pihak dalam upayamelestarikan keberadaan hutan yang mungkin dapat menjadi model bagipenyelamatan hutan alam di negeri ini setelah popularitas HPH tergantikanoleh desakan tanaman (komoditi) perkebunan; terutama sawit dan karetyang tentunya didahului dengan pembersihan lahan (land clearing/LC) dansebagian lagi tidak hanya dengan LC, tetapi juga pembabatan hutan(deforestation).

B. PERUNTUKAN LAHAN DI DESA LAPEPerubahan tatanan pemanfaatan lahan dan hutan dalam kontek

kebijakan disebut Land-Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF) yangkemudian diaplikasikan pemerintah ke dalam kebijakan tata guna lahan danhutan (lihat Penman dkk, 2003). LULUCF di Desa Lape seperti diakui oleh KadesLape, Bp. Yohanes Yan sudah tidak akan terjadi perubahan karena sudahmenjadi ikrar bersama masyarakat sejak dari zaman nenek moyang yang kinidiwujudkan ke dalam Keputusan Kepala Desa mulai tahun 2012. Lahan yangdipertahankan lestari ini disebut lahan tutupan adat yang terdiri dari RimbaSayu dan Rimba Tawang serta Hutan Lalau dengan luas 1012 Ha. Masyarakatdan aparatur desa yang telah kompak seperti fenomena di Desa Lape ini, biladihubungkan dengan pendapat Goetz dkk (2005) dapat diidentifikasi sebagaimasyarakat hebat karena mampu membangun kesepakatan dalam rangka

1 Telah dimuat pada harian Tribun Pontianak pada kolom Opini dengan judul “BelajarMelestarikan Rimba Sayu” terbitan hari Selasa, 30 Juni 2015 halaman 18. Mengingatketerbatasan ruang, maka artikel tersebut diedit dan disesuaikan dengan ruang yang tersedia.Sementara upload ini adalah versi lengkap dari artikel tersebut. Untuk kelengkapan dimaksud,juga disertakan edisi Korannya.

Salah Satu Tegakandi Rimba Sayu, Desa Lape

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 2 of 11

meminimalkan konflik diantara para pihak terkait dengan kepentingan danpemanfaatan lahan, terutama hutan yang kini lebih dipandang sebagaikomoditi ekonomi belaka.

Dari monografi desa, tercatat bahwa terdapat sekitar 1.012 Ha hutanyang dipertahankan sebagai kawasan tembawang. Seluas 800 Hadiantaranya adalah hutan hujan tropis (rain forest) yang bernama RimbaSayu; selebihnya seluas 200 Ha disebut Rimba Tawang; dan seluas 12 Halainnya adalah rimba sisipan yang dekat dengan pemukiman penduduk danbahkan berada di pinggir jalan raya yang disebut Hutan Lalau (Lihat Gambar1). Ketiga jenis rimba ini ternyata bersebelahan dengan kebun karet rakyat(Lihat Gambar 2) dan juga berbatasan langsung dengan kebun sawit miliktiga perusahaan sawit di desa ini (lihat Gambar 3); yakni 2 Perusahaan BesarSwasta Nasional (PBSN), masing-masing Agri Sentra Lestari (ASL) dan AgrinaSawit Perdana (ASP); dan 1 perusahaan Negara, yakni PT. PerkebunanNusantara XIII Unit Kebun Rimba Belian.

Gambar 1Letak rimba yang berada di Jalur Sutera di Desa Lape,

Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau

Pohon Lalau yang ikut dilestarikan adat di Desa Lape.Kayu ini biasa dihinggapi oleh ribuan sarang lebah

Penulis dan salah satu pohon yang dilindungi adatpada lintasan sutera di Desa Lape, Sanggau

Foto oleh Sulaiman FISIP UNTAN, 2015

Gambar 2Letak Rimba Sayu seluas 800 Ha yang bersebelahan dengan Kebun Karet Rakyat

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 3 of 11

Garis demarkasi tanpa patok antara kebun karetrakyat dengan Rimba Sayu

Rombongan Penulis saat memasuki Rimba Sayumelalui kebun karet rakyat

Foto oleh Thelang S.Sos, Warga Desa Lape, 2015.

Gambar 3Letak Rimba Sayu 800 Ha yang bersebelahan dengan Kebun Sawit PN dan PBSN

Kebun Sawit Berdampet dan tanpa jarakdengan Rimba Sayu yang dipertahankan

sebagai inclave oleh rakyat

Penulis harus melanjutkan perjalan denganmenumpang sepeda motor Kades Lape,

Bapak Yohanes Yan dkk

Foto oleh Sumari Ihsan, S.Sos. FISIP UNTAN, 2015.

Ketiga perusahaan sawit ini telah menguasai lahan sebanyak 2.000 ha;seluas 1.000 ha lainnya dikuasai rakyat untuk perladangan dan persawahan;seluas 250 ha dalam bentuk pemukiman dan emplacement; sekitar 2.500 Hatelah dimanfaatkan dalam bentuk perkebunan karet dan buah local sepertirambutan, jambu, nenas, mangga dan lain-lain serta seluas 2.042 Ha adalahlahan untuk penggunaan lain termasuk kebun kayu komoditas local seperti

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 4 of 11

durian, tengkawang, mentawak dan lain-lain. Dengan rincian di atas, makagenap sudah peruntukan lahan di Desa Lape menjadi 8.804 Ha.

Namun, ada yang menarik perhatian penulis, yakni tetap lestarinya hutandi tengah adanya gerakan dan desakan konversi yang dimaknai sebagai“gerakan pemushanan hutan” untuk diganti dengan kebun sawit dan karet.Bagaimana gerakan itu tidak sukses menggoda komitmen masyarakat DesaLape untuk masuk ke dalam gerakan itu? Paper ini akan menjelaskannyasecara detil.

C. SEJARAH KELESTARIAN HUTAN LAPESekitar tahun 1997, Rimba Sayu pernah dialokasikan oleh Menteri

Kehutanan RI sebagai Hutan Produksi yang dikonsesikan kepada salah satuperusahaan HPH yang berasal dari Kalbar. Dengan berbekal surat konsesi dariMenteri Kehutanan, orang perusahaan kemudian masuk hutan dan hendakmemulai kerja “membersihkan atau menebang kayu besar” dari hutantersebut.

Dewan Adat Desa Lape yang saat itu diketuai oleh Jhon Luh, telah setujudengan konsesi HPH dari Menhut dan kemudian mempersilakan perusahaanuntuk bekerja. Namun, belum sempat menebang, tokoh masyarakat asalDesa Lape yang bermukim di Pontianak seperti Willy Brodus, Christian danJudah (Alm) yang bernaung di bawah LSM Oyong Pangkodan memproteskonsesi HPH itu. Para tokoh ini kemudian mengumpulkan kekuatan, yaknimengajak semua orang Lape yang bermukim di Pontianak untuk bersama-sama berdemo ke DPRD, Gubernur Kalbar dan Kanwil Kehutananan dengantuntutan membatalkan SK Menhut demi kelestarian Rimba Sayu yang sudahmenjadi milik adat di desa itu sejak zaman nenek moyang mereka.

Kuatnya desakan masyarakat akhirnya membawa hasil; selainperusahaan tidak berani masuk hutan untuk menggarap Rimba Sayu, ketuaAdat yang semula setuju dengan HPH; kini berbalik arah dan mengerahkanmasyarakat desa untuk menolak konsesi HPH seperti yang dilakukan parapemuda Desa Lape di Pontianak. Akhirnya, Mehut pun mencabut ijin itu dansejak itu pula; Rimba Sayu tetap lestari hingga saat ini.

Hingga tahun 2012, masyarakat masih dibolehkan untuk menebang kayuatau mengambil kayu yang tumbang dari Rimba Sayu dengan terlebih dahulumembuat permohonan kepada Pemangku Adat Desa. Sebelum mendapatijin dari Dewan Adat, tidak boleh ada penebangan, walaupun itu dilakukanoleh warga desa yang notabene juga adalah anggota majelis adat. DewanAdat terlebih dahulu bersidang untuk menelaah pengajuan warga dankemudian menentukan lokasi penebangan serta jumlah dan jenis pohon yangboleh ditebang.

Sebelum diangkut ke luar hutan, kayu hasil tebangan yang telah diprosesmenjadi papan dan persegi ditumpuk menjadi satu untuk diukur oleh KetuaAdat. Bilamana jumlah tebangan melebihi dari putusan adat, makapenebang akan dikenakan denda adat sebesar 6 tail atau kalau dinilaidengan uang saat ini sekitar Rp 1,8 juta rupiah. Ruwetnya aturan dan ketatnyaprosedur adat, membuat warga yang berkecukupan secara ekonomi lebih

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 5 of 11

memilih untuk membeli bahan baku rumah mereka ke Kota Sanggaudibanding menebang kayu di Rimba Sayu, Rimba Tawang dan Hutan Lalau.

Sejak tahun 2012, penebangan dimaksud tidak lagi dibolehkan dansepenuhnya hutan tersebut dipertahankan kelestariannya. Bahkan, ketikapenulis masuk Rimba Sayu, disana ditemukan pohon yang tumbang danmembusuk serta dibiarkan lapuk untuk kembali ke alam. Gambar 4 berikutmembuktikan fenomena ini.

Penulis mencoba bertanya kepada Pak Kades setelah melihat fenomenaini. Penulis tanyakan “apakah tidak sayang kalau kayu yang tumbang ataumati tetap dibiarkan lapuk tak termanfaatkan?” Pak Kades dengan tegasmenjawab bahwa “sekali tidak boleh, tetap tidak boleh. Ketika dibolehkansekali saja, dikhawatirkan akan menjadi preseden boleh di masa mendatangdan akan membawa kita pada ketidak-adilan; tidak hanya pada anggotamasyarakat yang telah mempercyai saya; tetapi juga pada keputusan adatyang telah menjadi stardar moral bagi orang Lape” demikian jawab PakKades yang saya balas dengan angguk-angguk pertanda saya telah faham!

Masih darinya “Sebenarnya, banyak akal untuk membuat pohonmenjadi mati. Salah satunya adalah dengan disiram minyak, diinpuskan obatatau racun ke dalam akar dan batang; maka hanya dalam waktu tiga bulan,pohon akan mati. Ketika pohon mati, maka akan ada niat untuk menebangdan memotongnya menjadi papan dan persegi. Namun, ketika pohonpungkar (tumbang) pun tidak boleh diambil, maka akan tidak ada niat untukmengambil kayu dari rimba ini hingga waktu yang tidak ditentukan” demikianpungkas tegas, jujur dan sistematis dari Pak Kades Yohanes Yan pada penulis.Pak Yan, saya harus akui bahwa Anda Luar Biasa!

Gambar 4Pohon Tumbang atau Pungkar yang dibiarkan lapuk di Rimba Sayu

Bagian akar pada pohon pungkar padasalah satu titik di Rimba Sayu

Bagian batang pohon tumbang yangmenjadi titian jalan di Rimba Sayu

Foto oleh Drs. Sabran Achyar, M.Si; FISIP UNTAN, 2015.

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 6 of 11

D. Perangkat Desa dan Lembaga Adat Seperti Uang KoinDari theory people power seperti dituliskan oleh Drysek, Honing dan Philips

(2006) dalam The Oxford Handbook of Political Theory, disebutkan bahwakekuasaan yang sebenarnya adalah berasal dari rakyat yang kemudiandidelegasikan kepada pemimpin (formal dan non formal) untuk digunakanpemimpin bagi melindungi seluruh masyarakat dari berbagai bentukintervensi, pembodohan, tekanan dan criminal. Dari pendapat ini, makakesepakatan masyarakat pada kelestarian hutan tutupan Rimba Sayu di DesaLape adalah keputusan dari 3.395 warga desa yang bermukim di tiga dusun:Lape, Keladan dan Beroncat.

Oleh karena itu, Kades menjaga amanah rakyat itu dengan baik danadil. Urusan hutan selama ini menjadi urusan adat, maka Kadesmendelegasikan kewenangannya ini kepada Pemangku Hutan Adat Desadengan satu Keputusan Kepala Desa untuk masa kerja 4 tahun. SK pertamadikeluarkan di tahun 2012 dan pada tahun 2015 ini, SK lama akan dicabut dandiganti dengan SK baru tentang Pengangkatan, Kewenangan danPerlindungan Rimba Adat Di Desa Lape. Susunan pengurus rimba di SK yangbaru ini akan tidak sama dengan pengurus pada SK lama agar memberikesempatan kepada masyarakat lainnya untuk berbuat hal yang sama bagikepentingan masyarakat. Tidak ada warga yang protes dengan SK Kades inikarena Kades ternyata tidak hanya berdialog dengan Badan Perwakilan Desa(BPD), tetapi juga menyertakan para pengurus adat desa untukmembicarakan hal ini sebelum menetapkannya ke dalam SK Kepada Desa.

Dengan SK Kades ini, maka kewenangan melestarikan Rimba Sayu danRimba Tawang di Lingkungan Desa Lape tidak hanya menjadi urusan parapengurus Pemangku Hutan Adat Desa, tetapi juga menjadi bagian darikepentingan masyarakat.

E. Adat Menjadi Perisai bagi Kelestarian RimbaMenurut Kades Yan, “Orang Dayak boleh saja tidak beragama, tetapi

pantang (tabu) untuk tidak beradat”. Kepercayaan dan keyakinan terhadapadat telah membawa pribadi orang Dayak pada kepatuhan dan norma adatyang bersifat dinamis dan berakumulasi dalam kehidupan mereka.

Ketika menebang kayu di Rimba Sayu dapat membawa seseorang padapelanggaran adat dan harus didenda sebesar Rp 1.8 juta; maka sanksi ataudenda uang akan tiada artinya. Uang sebesar itu bagi masyarakat di DesaLape saat ini sudah mudah dicari. Cukup memanen sawit 1.8 ton saja sudahterbayarkan semua denda sebesar 6 tails itu. Namun, status sebagaipelanggar adat tidak dapat dihapus begitu saja dari ingatan masyarakat.Dan oleh karena itu, ketetapan lembaga adat yang memvonis pelakupenebangan kayu di semua rimba di Desa Lape: Rimba Sayu, Rimba Tawangdan Hutan Lalau adalah sebagai pelanggar adat dan dianggap tidakberadat; maka warga Desa Lape secara ikhlas menghindari penebangandimaksud. Dengan begitu, adat menjadi perisai tanpa demarkasi bagikelestarian rimba di desa ini yang berlangsung hingga kini.

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 7 of 11

F. Penutup: Himkah dari LapeDi dalam hutan ini, bukan hanya kayu dan binatang yang terlindungi,

tetapi juga menjadi sumber cadangan air bagi masyarakat di saat kemaraupanjang melanda Desa. Namun, cadangan air dimaksud ternyata belumdapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena jarak rimba sejauh 5 Km menujupemukiman juga membuat masyarakat repot untuk mengambil air. Yangjelas, masyarakat Desa Lape telah berbuat sesuatu yang sebenarnya selarasdengan program Clean Development Mechanism (CDM), yakni mekanismepembangunan bersih sebagaimana butir-butir kesepakatan pada The KyotoProtocols tahun 1997 (Kim, 2004). The Kyoto Protocols adalah tindak-lanjut darikeputusan Konfrensi Bumi tahun 1992 di Rio de Jeneiro, Brazil.

Kesediaan masyarakat, lembaga adat dan institusi desa dalam menjagaRimba Sayu, Rimba Tawang dan Hutan Lalau di Desa Lape tetap lestari adalahimplementasi dari CDM sector kehutanan yang cocok dengan kontek dankonten pengurangan emisi gas rumah kaca (The Green House Gashes/GHG).Dengan hutan yang lestari (hasil implementsi CDM), berarti msyarakat DesaLape telah berperan global, yakni mengurangi emisi gas rumah kaca yangtelah menimbulkan pemanasan global (lihat Erdi, 2003).

Menurut penulis, apa yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Lapedengan melestarikan hutan adalah juga telah mengurangi efek rumah kacasebagai konsekwensi dari satu dunia (Cline, 2007 dan Singer, 2002). Namun,usaha yang sudah nyata ini masih belum mendapat penghargaan berarti,tidak saja dari Negara Luar yang tergabung dalam United Nations FrameworkConvention on Climate Change (UNFCCC), tetapi juga dari pemerintahIndonesia sendiri; khususnya Kementerian Kehutanan, KementerianLingkungan Hidup dan juga Kementerian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata.

Mudahan, Gubernur Kalbar dan atau Bupati Sanggau segera dapatmeneruskan harapan masyarakat Desa Lape kepada tiga kementeriantersebut di atas. Pertama, kepada Kementerian Kehutanan agar dapatmengalokasikan anggaran dari pos Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan (RRL)untuk program rehabilitasi lahan di Desa Lape. Kedua, dari Meneg LH agardapat mengalokasikan dana untuk penyediaan sarana air bersih dari RiamRimba Sayu ke pusat pemukiman masyarakat sepanjang 5 Km. Ketiga, dariKementerian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata untuk dapat menyediakan danauntuk mengembangkan paket wisata alam dari dan ke Rimba Sayu, DesaLape.

Jika, ketiga kementerian di atas tidak mampu berbuat untuk masyarakatDesa Lape, maka diharapkan ketiga kementerian di atas dapat membawainformasi dan harapan Masyarakat Desa Lape ini kepada UNFCCC diWashington, Amerika Serikat (http://unfccc.int/2860.php). Kabarkan kepadamereka bahwa masyarakat Desa Lape telah siap untuk menghibahkanpohon-pohon besar yang masih kokoh di Rimba Sayu sana untuk dimiliki dantetap dilestarikan bagi penyerapan gas rumah kaca dunia. Dana dari hasilhibah ini akan dimanfaatkan untuk mewujudkan tiga harapan besarmasyarakat di atas.

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 8 of 11

Penulis yakin, tiga paket program sebagaimana tersebut di atas dapatmenjadi pemacu bagi daerah lain untuk berbuat sama dengan apa yangtelah dilakukan masyarakat di Desa Lape, Kecamatan Kapuas, KabupatenSanggau dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca melaluikelestarian hutan dan lahan. Semoga!

Referensi

Cline, William R. 2007. Global Warming and Agriculture: Impact Estimates byCountry. Center for Global Development. Paterson Institute forInternational Economic. Washington.

Dryzek, John S; Bonnie Honing dan Anne Philips (Edt.). 2006. The OxfordHandbook of Political Theory. Oxford. New York

Erdi, Abidin; Chandra Panjiwibowo; Imran Rachman dan Wisnu Rusmantoro.2003. From Place to Planet: Local Problematique of CleanDevelopment Mechanism in the Forestry Sector. Pelnagi. Jakarta.

Goets, Stephan J; James S.Shortle and John C.Bergstrom (Edt.). 2005. Land UseProblems and Conflicts: Causes, Consequences and Solutions.Routledge, London.

Kim, Joy A. 2004. “Sustainable Development and the Clean DevelopmentMechanism: A South Case Study” dalam The Journal of Environmentand Development. Sage Publication No. 13; 201. Dapat diunduh darihttp://jed.sagepub.com/cgi/content/refs/13/3/201

Penman, Jim; Michael Gytarsky; Taka Hiraishi; Thelma Krug; Dina Kruger; RiittaPipatti; Leandro Buendia; Kyoko Miwa; Todd Ngara; Kiyoto Tanabedan Fabian Wagner (Edt.). 2003. Intergovernmental Panel onClimate Change: Good Practice Guidance for Land Use, Land-UseChange and Forestry. IPCC National Greenhouse Gas InventoriesProgramme. Kanagawa, Japan.

Singer, Peter. 2002. One World: The Ethics of Globaization. Yale University Press.New Heaven.

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 9 of 11

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 10 of 11

BELAJAR MELESTARIKAN RIMBA SAYU DARI DESA LAPE, KABUPATEN SANGGAU

Page 11 of 11