6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria)
Tanaman temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) di berbagai
negara dikenal dengan nama white tumeric (Inggris), kencur atau ambhalad
(India) dan cedoaria (Spanyol). Klasifikasi tanaman temu putih adalah sebagai
berikut :
1. Divisio : Spermathopyta
2. Subdivisio : Angiospermae
3. Kelas : Monocotyledonae
4. Bangsa : Zingiberales
5. Suku : Zingiberaceae
6. Marga : Curcuma
7. Jenis : (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) (Sumarny,2008).
Tanaman temu putih tumbuh liar pada tempat-tempat terbuka yang
tanahnya lembab pada ketinggian 0-1.000 m di atas permukaan laut. Sosok
tanaman ini mirip dengan temulawak dan dapat dibedakan dari rimpangnya.
Tanaman ini tingginya dapat mencapai 2 m. Batangnya merupakan batang semu
yang dibentuk dari pelepah-pelepah daun yang tumbuh dari rimpangnya,
berbentuk silindris dan lunak. Salah satu ciri khas dari spesies ini adalah adanya
warna ungu di sepanjang ibu tulang daun. Helaian daun berwarna hijau muda
sampai hijau tua dengan punggung daun berwarna pudar dan berkilat (Dalimartha,
2003). Bentuk daunnya bundar, lonjong ke ujung, pertulangan daun menyirip,
warnanya hijau dengan panjang 25-70 cm dan lebar 8-15 cm. Mahkota bunga
6
7
berwarna putih, dengan tepi bergaris merah tipis atau kuning. Rimpang berwarna
putih atau kuning muda dengan rasa sangat pahit. Dari rimpangnya keluar akar-
akar yang kaku dan pada ujungnya terdapat kantong air (Dalimartha, 2003).
Gambar karakteristik rimpang temu putih dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Karakteristik rimpang temu putih
Temu putih banyak ditemukan di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sumatera, Ambon, dan Irian. Selain itu, temu putih dibudidayakan di
India, Banglades, Cina, Madagaskar, Filipina, dan Malaysia (Pdpersi, 2006).
2.2 Khasiat dan Kegunaan
Rimpang temu putih rasanya sangat pahit, pedas, sifatnya menghangatkan,
dan berbau aromatik. Berbagai manfaat dapat ditemukan dari seluruh bagian
tanaman temu putih, mulai dari daun, bunga, rimpang muda, dan rimpang tua.
Namun, rimpang merupakan bagian tanaman yang paling banyak dimanfaatkan.
Rimpang muda banyak digunakan untuk bumbu masak, sedangkan rimpang tua
digunakan sebagai bahan baku industri obat dan kosmetika terutama parfum
(Jaya, 2005). Di masyarakat, temu putih banyak digunakan sebagai obat kudis,
radang kulit, pencuci darah, perut kembung, dan gangguan lain pada saluran
8
pencernaan. Air perahan rimpang temu putih juga digunakan untuk membuang
angin dalam perut, merangsang pengeluaran air empedu, dan juga untuk
mengobati usus berdarah (Wikipedia, 2006).
Kurkumin yang terkandung dalam rimpang temu putih terbukti memiliki
efek antiradang. Aktivitas antiradang kurkumin pertama kali dilaporkan oleh
Grieve pada tahun 1971, kurkumin sangat aktif dalam menghambat peradangan
baik secara akut maupun kronis pada model hewan percobaan. Pada percobaan
akut, kurkumin memiliki potensi yang hampir sama dengan fenilbutason dan
kortison. Sedangkan pada percobaan kronis kurkumin hanya menunjukkan
setengah potensi fenilbutason (Wikipedia, 2006 dan Sumarny, 2008).
Selain sebagai antiradang, kurkumin juga diindikasikan sebagai
antioksidan. Keaktifan antioksidan kurkumin pertama kali dilaporkan oleh
Sharma (1972) melalui uji in vitro maupun in vivo, membuktikan kemampuan
kurkumin dalam menghambat lipid peroksidase (LPO) tanpa dan dengan
karagenin (Kunchandy and Rao, 1990).
2.3 Minyak Atsiri
Minyak atsiri disebut juga minyak esteris, minyak esensial, atau minyak
aromatik. Minyak atsiri merupakan kelompok besar minyak nabati yang berwujud
cairan kental pada suhu kamar, namun mudah menguap sehingga memberikan
aroma yang khas. Minyak atsiri mudah menguap pada suhu kamar tanpa
mengalami dekomposisi, berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya,
umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air (Galih, 2007).
Dalam bidang industri minyak atsiri digunakan dalam pembuatan
kosmetik, parfum, antiseptik, obat-obatan, flavouring agent dalam makanan atau
9
minuman, serta sebagai pencampur rokok kretek. Beberapa jenis minyak atsiri
digunakan sebagai bahan antiseptik internal dan eksternal, bahan analgesik,
hemolitik atau sebagai antizimatik, serta sebagai sedativa dan stimulans untuk
obat sakit perut (Galih, 2007).
Minyak atsiri merupakan suatu produk yang memiliki bau khas sebagai
perkembangan proses hidup tanaman. Minyak atsiri dihasilkan oleh sel tanaman
atau jaringan tertentu dari tanaman secara terus menerus sehingga dapat memberi
ciri tersendiri yang berbeda-beda antara tanaman satu dengan tanaman lainnya.
Para ahli biologi menganggap, minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang
biasanya berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan
(hama) ataupun sebagai agen untuk bersaing dengan tumbuhan lain dalam
mempertahankan ruang hidup (Wikipedia, 2007)
Sifat minyak atsiri ditentukan oleh persenyawaan kimia yang terdapat di
dalamnya, terutama persenyawaan tak jenuh (terpena), ester, asam, aldehida, serta
beberapa jenis persenyawaan lainnya. Beberapa proses yang mengakibatkan
perubahan sifat kimia minyak atsiri adalah oksidasi, hidrolisis polimerisasi, dan
penyabunan. Minyak atsiri yang baru diekstraksi biasanya tidak berwarna atau
berwarna kekuningan. Jika minyak atsiri lama di udara terbuka dan terkena
cahaya pada suhu kamar, maka minyak atsiri tersebut dapat mengabsorpsi oksigen
di udara sehingga menghasilkan warna minyak yang lebih gelap, bau minyak
berubah dari bau wangi alamiahnya dan minyak lebih kental dan akhirnya
membentuk sejenis resin. Minyak atsiri dapat menguap pada suhu kamar dan
penguapannnya semakin banyak seiring dengan kenaikan suhu (Galih, 2007).
10
Hidrokarbon penyusun utama minyak atsiri adalah persenyawaan terpen.
Terpen merupakan senyawa hidrokarbon tidak jenuh dan unit terkecil yang
terdapat dalam molekulnya disebut isopren (C5H8) seperti pada Gambar 2.2.
isopren kepala
ekor
satuan struktur isopren
Gambar 2.2 Kerangka dasar satu unit isopren
Satuan isopren umumnya tersusun dalam satuan urutan dari kepala ke
ekor, yaitu dari ujung bercabang dari satuan isopren yang dihubungkan dengan
ujung yang tidak bercabang dari satuan isopren yang lain (Robinson, 1995 dan
Soetarno, 1990). Terpen minyak atsiri dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
monoterpen dan seskuiterpen.
a. Monoterpen
Monoterpen terbentuk dari dua satuan isopren yang membentuk 10 atom
karbon. Monoterpena merupakan komponen utama dari minyak atsiri yang
berperan dalam menimbulkan bau dan rasa. Monoterpena berupa cairan yang
tidak berwarna, tidak larut dalam air, dapat disuling uap, dan berbau harum.
Monoterpena mempunyai titik didih berkisar antara 140 - 180°C. Berdasarkan
kerangka karbonnya monoterpen dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
asiklik, monosiklik, dan bisiklik. Asiklik misalnya mirsen, monosiklik misalnya
limonen, dan bisiklik misalnya pinen, dengan struktur seperti Gambar 2.3
(Robinson, 1995).
11
Mirsen Limonen alfa pinen
Gambar 2.3. Struktur contoh senyawa golongan monoterpen
b. Seskuiterpen
Seskuiterpen berasal dari tiga satuan isopren dengan 15 atom karbon.
Seskuiterpen terdapat sebagai minyak atsiri yang tersuling uap dan berperan
penting dalam memberi aroma pada buah dan bunga. Seskuiterpen memiliki
titik didih di atas 200 0C. Seskuiterpen dipilah berdasarkan kerangka karbon
dasarnya, yang umum adalah asiklik, monosiklik, dan bisiklik. Beberapa
contoh golongan seskuiterpen adalah farnesol (asiklik), bisabolen (monosiklik),
dan karatol (bisiklik) (Robinson, 1995). Struktur seskuiterpen disajikan pada
Gambar 2.4.
CH2OH
Farnesol Bisabolena Karatol
Gambar 2.4. Struktur contoh senyawa golongan seskuiterpen
2.4 Kandungan Kimia Minyak Atsiri Rimpang Temu Putih
Rimpang temu putih mengandung 1-2,5% minyak menguap dengan
komposisi utama seskuiterpen. Minyak menguap tersebut mengandung lebih dari
20 komponen seperti kurzerenon (zedoarin) yang merupakan komponen terbesar,
kurzerena, pirokurkuzerenon, kurkumin, kurkumenon, epikurkumenol, kurkumol
12
(kurkumenol), isokurkumenol, prokurkumenol, dehidrokurdon, furanodienon,
isofuranodienon, furanodiena, zederon, dan kurdion. Minyak atsiri yang terdapat
pada temu putih asli India juga mengandung 1,8-sineol (15,9%) dan germakron
(9,0%) (Pdpersi, 2006 dan Purkayastha et al, 2006). Pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Setiani, 2010 diperoleh senyawa yang terkandung dalam rimpang
temu putih antara lain : kamfen; beta pinen; 1,3,3-trimetil-sineol; kamfor; 1-etenil-
1-metil-2,4-bis(1-metietenil) sikloheksana; kurzeren; germakron; dan velleral.
Minyak atsiri temu putih berupa cairan kental kuning emas mengandung
monoterpen dan seskuiterpen. Monoterpen Curcuma zedoaria terdiri dari
monoterpen hidrokarbon (alfa pinen, d-kamfen), monoterpen alkohol (d-borneol),
monoterpen keton (d-kamfer), monoterpen oksida (sineol). Seskuiterpen dalam
Curcuma zedoaria terdiri dari berbagai golongan dan berdasarkan penggolongan
yang dilakukan terdiri dari golongan bisabolen, germakron, eudesman, guaian,
dan golongan spironolakton. Kandungan lain meliputi etil-p-metoksisinamat, 3,7-
dimetillindan-5-asam karboksilat (Windono et al, 2002). Adapun beberapa contoh
struktur senyawa yang terkandung dalam rimpang temu putih dipaparkan pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Contoh struktur senyawa kimia yang terkandung dalam rimpang temu putih
Nama senyawa Struktur senyawa Rumus molekul
Berat molekul
Kurzerenon
C15H20O2
232
13
Kurkumol
C15H22O2
234
Kurzerena
C15H20O
216
Isokurkumenol
C15H22O2
234
Furanodiena
C15H20O
216
Kamfen
CH2
Me Me
d-kamfen
C10H16
136
14
2.5 Teknik Isolasi Minyak Atsiri Temu Putih dengan Destilasi Uap
Metode yang banyak digunakan untuk memisahkan dan memurnikan
senyawa-senyawa organik dalam bentuk cair adalah dengan cara destilasi.
Terdapat tiga teknik destilasi, yang sering digunakan adalah destilasi sederhana,
destilasi uap, dan destilasi fraksi. Untuk mengisolasi minyak, biasanya digunakan
teknik destilasi uap. Destilasi uap didasarkan pada volatilitas dari beberapa
senyawa organik terhadap uap yang terjadi pada temperatur kurang dari 1000C
Nama senyawa Struktur senyawa Rumus molekul
Berat molekul
1,3,3-trimetil-
sineol O
CH3
CH3
CH3
C10H18O
154
Kamfor Me
O
CH3
d-kamfer
C10H16O
152
Germakron CMe
O
Me
Me
C15H22O
218
Velleral CH3
CH3
CH3
HC
HC
O
O
C15H20O2
232
Borneol
Me Me
OH
CH3
d-borneol
C10H18O
154
15
(Sastrohamidjojo, 2004). Destilasi juga bisa dikatakan sebagai suatu metode
pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan
menguap. Komponen yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap
terlebih dahulu (Wikipedia, 2008).
Prinsip destilasi uap adalah melibatkan kodestilasi campuran air dan
senyawa organik yang mudah menguap dan tidak bercampur dengan air. Salah
satu keuntungan isolasi minyak atsiri dengan menggunakan destilasi uap
diantaranya penetrasi uap ke dalam sel-sel tanaman cukup baik dan membagi uap
lebih merata ke seluruh bagian ketel. Selama proses destilasi berlangsung, uap air
masuk menembus jaringan material dan melarutkan sebagian minyak yang ada di
dalam sel. Uap air menembus dengan cara osmosis yang mengakibatkan
pembengkakan membran dan akhirnya minyak sampai pada permukaan.
Kemudian minyak langsung diuapkan bersama-sama dengan uap air. Proses ini
berlangsung terus menerus sampai semua minyak yang ada di dalam sel keluar.
(Sudjadi, 1992).
2.6 Uji Aktivitas Antikanker
Metode awal yang digunakan untuk menguji antikanker antara lain adalah
uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina Leach, sedangkan uji
lanjutannya adalah uji in vitro dan in vivo.
2.6.1 Uji toksisitas terhadap larva Artemia salina L
Uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina Leach
merupakan suatu metode skrining awal untuk menentukan sifat sitotoksik suatu
ekstrak ataupun senyawa. Penggunaan larva Artemia salina Leach sebagai
bioindikator pertama kali dilakukan pada tahun 1956, kemudian penggunaannya
16
meluas untuk toksin-toksin alami dan sebagai skrining umum untuk substansi
bioaktif yang terdapat pada eksrak tanaman (Meyer dkk, 1982 dan Steven 1993).
Metode pengujian dengan larva Artemia salina Leach merupakan cara
yang paling efektif dan sederhana karena ketersediaan telur-telur udang yang
mudah menetas, pertumbuhannya cepat dan relatif mudah pengaturan populasinya
pada kondisi laboratorium. Pengembangan metode ini didasarkan pada sifat khas
dari larva udang yang dapat menerima segala jenis zat dan bahan tanpa seleksi
terlebih dahulu, pengerjaannya mudah, cepat serta menggunakan sampel yang
relatif sedikit. Selain digunakan sebagai pendeteksi komponen yang dapat
membunuh kanker maupun hama, metode ini dapat juga digunakan sebagai
metode penapisan awal untuk menemukan komponen antikanker pada tumbuhan
tingkat tinggi (Mclaughlin, 1991 dan Meyer, 1982).
Uji ini menggunakan larva Artemia salina Leach yang telah berumur 48 jam
yang diuji pada konsentrasi ekstrak 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm selama 24
jam. Dalam setiap vial (tempat uji), percobaan ini diulang sebanyak 3 kali. Data
mortalitas larva selanjutnya dianalisis untuk memperoleh nilai LC50 (konsentrasi
yang menyebabkan kematian 50% larva). Apabila LC50 kurang dari 1000 ppm,
dikatakan mempunyai potensi sebagai antikanker (Steven, 1993 dan Meyer,
1982).
2.6.2 Uji in vitro terhadap sel mieloma mencit dan sel HeLa
Uji yang dilakukan selanjutnya adalah uji in vitro menggunakan sel
mieloma mencit dan sel HeLa. Sel mieloma merupakan sel kanker limfosit B yang
berasal dari tikus atau kanker dari plasma sel. Plasma sel banyak terdapat pada
sumsum tulang belakang dan merupakan bagian dari sistem imun yang
17
bertanggung jawab dalam produksi antibodi yang berupa imunoglobulin. Mieloma
akan menghasilkan imunoglobin abnormal yang disebut protein monoklonal. Sel
mieloma juga akan menyerang dan menghancurkan lapisan luar dari tulang
sehingga menyebabkan osteolisis (Wikipedia, 2010). Gambar sel mieloma dapat
dilihat pada Gambar 2.5.
Kultur sel HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line yang
diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita penderita
kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal akibat kanker pada
tahun 1951 (Alexander, 2006). Sel HeLa ini cukup aman dan merupakan sel
manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel (Rosita, 2000).
HeLa bersifat imortal yang tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah
secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup
masih ada. Sel HeLa telah mengalami transformasi akibat infeksi human
papillomavirus 18 (HPV 18) dan berbeda dengan sel leher rahim yang normal
(Wikipedia, 2006b).
Gambar 2.5. Sel mieloma mencit
18
Sel HeLa dapat tumbuh dengan agresif dalam media kultur. Media yang
digunakan adalah media RPMI 1640-serum. Di dalamnya terkandung nutrisi yang
cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam anorganik,
dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormon-hormon yang
mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport,
lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor
enzim (Freshney,1986). Gambar sel HeLa dapat dlihat pada Gambar 2.6.
Untuk menentukan jumlah sel yang mati digunakan pewarna larutan tripan
biru 0,4%. Sel yang mati akan menyerap tripan biru karena permeabilitas
membrannya telah rusak. Maka dari itu, sel yang mati akan terwarnai biru. Sel
yang akan dihitung kepadatannya, dirontokkan terlebih dahulu dari dasar botol
kultur dan dihomogenkan. Selanjutnya diambil suspensi sel dan larutan tripan biru
dengan perbandingan 1 : 9. Campuran tersebut dihomogenkan dan siap dihitung
dengan hemositometer. Sebelum dimasukkan ke hemositometer, sebaiknya
ditunggu minimal 3 menit dengan tujuan memberikan waktu untuk penyerapan
warna dan perhitungan harus diselesaikan dalam waktu kurang dari 10 menit agar
Gambar 2.6. Gambar sel HeLa
19
tidak ada sel yang mati karena pengaruh zat warna tersebut (Sukardiman, 2006).
Data hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan uji Anova satu arah untuk
mengetahui pengaruh penambahan ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda pada
kultur sel mieloma mencit dan sel HeLa.
Untuk mengetahui kelompok larutan percobaan mana saja yang berbeda
maka dilakukan uji LSD (Least Significant Difference). Selanjutnya ditentukan
harga LC50, yakni konsentrasi larutan uji yang menghambat 50% pertumbuhan sel
dengan menggunakan analisis probit (Sukardiman, 2006). Menurut Swanson
(1990) dan Ma’at (1998) dalam Hidayat (2002) ekstrak tanaman dianggap
memiliki aktivitas antikanker jika harga LC50 < 20 µg/mL terhadap kultur sel
kanker.
2.7 Metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) merupakan teknik
antibodi atau antigen pada suatu sampel. Metode ini pertama kali diperkenalkan
oleh Peter Perlmman dan Eva Engvall pada tahun 1971 (Wikipedia, 2008).
Dasar penggunaan ELISA dalam imunotoksikologi adalah untuk
mendeteksi penyebaran antibodi spesifik pada sampel serum yang dihasilkan dari
suatu materi yang telah disintesis dalam suatu antigen khusus. Uji ini dapat
dibentuk untuk beberapa golongan antibodi. Serum antibodi spesifik bereaksi
dengan antigen tertentu dalam keadaan permukaan tidak bergerak untuk
membentuk suatu kompleks. Berbagai macam teknik dapat digunakan untuk
mengikatkan suatu enzim ke dalam kompleks tersebut. Selanjutnya enzim
dreaksikan dengan substrat yang cocok untuk membentuk reaksi warna yang
20
dapat diukur secara spekktrofotometri. Intensitas dari reaksi warna tersebut dapat
dikorelasikan sebagai jumlah antibodi yang dihasilkan (Burleson, 1995).
Enzim yang digunakan untuk melabel antigen atau antibodi harus
memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya tidak boleh mengurangi sifat
imunologi antigen maupun antibodi, harus dapat diperoleh dalam keadaan murni
serta stabil untuk dapat disimpan selama jangka waktu tertentu. Enziim yang
banyak dipakai pada saat ini adalah peroksidase, fosfatase lindi, glukosa oksidase
dan β-galaktosidase (Kresno, 1996).
ELISA telah digunakan secara luas dalam ilmu pengobatann klinik untuk
mengidentifikasi adanya bakteri, virus, dan antigen-antigen parasitik. Baru-baru
ini, metode ELISA banyak digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminan-
konntaminan antigen atau antibodi (Wikipedia, 2008).
2.8 Identifikasi Minyak Atsiri Rimpang Temu Putih
Identifikasi minyak atsiri rimpang temu putih menggunakan teknik
spektroskopi kromatografi gas – spektroskopi massa (Harborne, 1987).
Kromatografi gas merupakan salah satu metode pemisahan yang baik untuk
memisahkan campuran yang rumit dengan tingkat kemurnian hasil pemisahan dan
sensitivitas yang tinggi. Kromatografi jenis ini menggunakan fase diam berupa
cairan yang sering disebut dengan kromatografi gas cair (GLC) dengan fase
geraknya adalah gas. Metode ini sering digunakan dalam identifikasi senyawa
karena memberikan waktu retensi yang khas untuk senyawa yang berbeda.
Metode ini biasanya digabungkan dengan metode identifikasi lainnya, yaitu
21
spektroskopi massa yang biasa disebut dengan GC-MS (Sastrohamidjojo, 1991
dan Gritter, 1991).
Pada identifikasi senyawa organik, molekul organik ditembak dengan
berkas elektron menjadi ion bermuatan positif yang berenergi tinggi (ion
molekuler), kemudian ion molekuler ini terpisah menjadi fragmen-fragmen yang
lebih kecil. Fragmen-fragmen yang terpisah dicatat sebagai suatu puncak yang
dinyatakan dalam satuan massa dibagi muatan (m/e). Spektrometer massa dapat
mengidentifikasi massa molekul relatif (BM), dan pemenggalan suatu senyawa
yang tidak diketahui, dengan membandingkannya terhadap senyawa yang dikenal
(standar). Dari data yang diperoleh bila ada kesamaan, dapat dianggap bahwa
senyawa tersebut identik (Silverstein, 1981 dan Gritter, 1991).