BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Melasma 2.1.1 Definisi ... - UNUD

28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Melasma 2.1.1 Definisi Melasma Istilah melasma berasal dari bahasa Yunani yaitu “melas” yang memiliki arti hitam. Melasma merupakan hipermelanosis umum akuisita yang terdapat pada area kulit yang sering terpapar sinar matahari. Keluhan melasma biasanya terjadi secara simetris. Area predileksi melasma yaitu paling sering pada pipi, bagian atas bibir, dagu dan dahi, namun area lainnya juga dapat terkena. Istilah kloasma (berasal dari bahasa yunani “chloazein” artinya kehijauan) sering digunakan untuk menggambarkan keluhan melasma saat kehamilan. Bagaimanapun juga pigmentasi tersebut tidak pernah berwarna kehijauan sehingga istilah melasma lebih tepat digunakan (Debabrata, 2009; Handel dkk., 2014). 2.1.2 Epidemiologi Melasma Melasma pada dasarnya dapat mengenai semua ras terutama penduduk yang terpajan sinar matahari dengan intensitas cukup tinggi (daerah tropis) (Soepardiman, 2009). Balkrishnan dkk. (2003) menyatakan bahwa salah satu kondisi yang paling umum terjadinya melasma terutama pada individu keturunan Hispanik dan Asia. Sedangkan Sachdeva (2006) dan Dogra dkk. (2006) menjelaskan tipe kulit Fitzpatrick IV-V merupakan individu yang umum terkena penyakit ini. Melasma terutama dijumpai pada wanita usia reproduksi dengan riwayat langsung terpajan sinar matahari, meskipun didapatkan pula pada pria (± 10%). Di Indonesia, perbandingan kasus wanita dan pria yaitu 24 : 1. Insiden terbanyak pada

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Melasma 2.1.1 Definisi ... - UNUD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Melasma

2.1.1 Definisi Melasma

Istilah melasma berasal dari bahasa Yunani yaitu “melas” yang memiliki arti hitam.

Melasma merupakan hipermelanosis umum akuisita yang terdapat pada area kulit

yang sering terpapar sinar matahari. Keluhan melasma biasanya terjadi secara

simetris. Area predileksi melasma yaitu paling sering pada pipi, bagian atas bibir,

dagu dan dahi, namun area lainnya juga dapat terkena. Istilah kloasma (berasal dari

bahasa yunani “chloazein” artinya kehijauan) sering digunakan untuk

menggambarkan keluhan melasma saat kehamilan. Bagaimanapun juga pigmentasi

tersebut tidak pernah berwarna kehijauan sehingga istilah melasma lebih tepat

digunakan (Debabrata, 2009; Handel dkk., 2014).

2.1.2 Epidemiologi Melasma

Melasma pada dasarnya dapat mengenai semua ras terutama penduduk yang terpajan

sinar matahari dengan intensitas cukup tinggi (daerah tropis) (Soepardiman, 2009).

Balkrishnan dkk. (2003) menyatakan bahwa salah satu kondisi yang paling umum

terjadinya melasma terutama pada individu keturunan Hispanik dan Asia. Sedangkan

Sachdeva (2006) dan Dogra dkk. (2006) menjelaskan tipe kulit Fitzpatrick IV-V

merupakan individu yang umum terkena penyakit ini.

Melasma terutama dijumpai pada wanita usia reproduksi dengan riwayat

langsung terpajan sinar matahari, meskipun didapatkan pula pada pria (± 10%). Di

Indonesia, perbandingan kasus wanita dan pria yaitu 24 : 1. Insiden terbanyak pada

wanita usia 30-44 tahun (Soepardiman, 2009). Berdasarkan penelitian Febrianti,

Aryani Sudharmono, Irma Bernadette (2006) di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit

dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,

menunjukkan hasil bahwa epidemiologi melasma 97,93% wanita dan 2,07% pria.

Sebuah studi cross sectional dilakukan oleh Nkwo (2011), dengan pemeriksaan

klinis dan kuesioner pada 400 wanita hamil. Dengan hasil prevalensi melasma adalah

15,8%. Pola malar terlihat pada 65,9% kasus, sedangkan 33,8% dari pasien memiliki

pola sentrofasial. Tidak ditemukan kasus dengan pola mandibula. Pada 54,7% kasus

dipengaruhi juga oleh riwayat keluarga atau genetik. Sedangkan menurut Achar Arun

dan Rathi SK (2011), pola melasma yang tersering adalah pola sentrofasial (54,44%).

Dengan pemeriksaan dermoskopi didapatkan tipe dermal merupakan tipe tersering

(54,48 %), sedangkan tipe epidermal sebanyak 21,4 % dan tipe campuran sebanyak

24,03 %.

2.1.3 Etiopatogenesis Melasma

2.1.3.1 Biologi Melanosit

Jumlah seluruh sel pigmen dalam tubuh yaitu sebanyak 1,5 gram. Sebagian besar

melanosit ini terletak di dalam epidermis. Proses produksi melanin di dalam melanosit

melibatkan tidak hanya produksi melanosom di dalam melanosit yang dikenal dengan

melanogenesis, namun juga merekrut dan mentransfer granul pigmen ini melalui

dendrit bercabang menuju ke keratinosit epidermis. Tiap melanosit epidermis bersama

dengan sel-sel epidermis membentuk suatu unit melanin epidermis. Walaupun jumlah

unit melanin epidermis aktif berbeda di tiap area tubuh (gambar 2.1), namun jumlah

keratinosit yang dilayani oleh melanosit tetap sama. Diperkirakan satu melanosit

mengirimkan melanosom ke 30-40 keratinosit viabel. Hubungan antara melanosit

dengan keratinosit ini penting dalam proses pigmentasi kulit (Anstey, 2010).

Gambar 2.1. Variasi Regional Distribusi Melanosit Epidermis. Pada gambar nilainya per mm2 ± standar eror rata-rata. Tampak wajah memiliki distribusi melanosit terbanyak (dikutip dari Anstey, 2010).

2.1.3.2 Migrasi dan diferensiasi Melanoblas menjadi Melanosit

Melanosit merupakan sel yang memproduksi pigmen yang berasal dari bagian dorsal

tuba neural pada embryo vertebrata. Sel neural pluripoten kemudian berdiferensiasi

menjadi sel neuron, glia, otot polos, tulang kraniofasial, kartilago, dan melanosit.

Progenitor melanoblas bermigrasi secara dorsolateral diantara lapisan mesodermal

dan ektodermal untuk mencapai tujuan utamanya di folikel rambut dan kulit serta

koklea telinga dalam, koroid, badan siliar, dan iris (Gambar 2.2) (Bolognia, 2012). Sel

yang memproduksi pigmen dapat ditemukan di epidermis janin yang berumur 50 hari.

Migrasi dan diferensiasi melanoblas menjadi melanosit dipengaruhi oleh berbagai

molekul sinyal. Molekul sinyal ini termasuk Wnt, endotelin (ET)-3, protein

morfogenetik tulang (BMPs), steel factor (SF)(stem cell factor, c-Kit ligand), dan

hepatocyte growth factor (HGF/scatter factor) (Vidiera dkk., 2013).

Gambar 2.2. Migrasi Melanosit dari Neural Crest

(Dikutip dari Bolognia, 2012).

2.1.3.3 Proses Pembentukan Melanin dan Transportasinya ke Keratinosit

Fungsi diferensiasi melanosit yang utama yaitu memproduksi melanin di dalam

organelnya yaitu melanosom, dan mentransfer melanosom ke keratinosit untuk

perlindungan terhadap radiasi ultraviolet (UV). Melanogenesis, sintesis dan distribusi

melanin ke epidermis, melibatkan beberapa langkah: transkripsi protein yang

diperlukan untuk melanogenesis (tirosinase, tirosinase related protein, dan protein

struktural Pmel17 dan Melan A), biosintesis melanin di dalam melanosom,

transportasi melanosom ke ujung dendrit melanosit, dan transfer melanosom ke

keratinosit (Xufeng dkk., 2012).

Gambar 2.3 Biosintesis Melanin. DHI: 5,6 dihydroxyindole; DHICA: 5,6 dihydroxyindole-2-carboxylic acid; DOPA: 3,4 dihidroxy-phenylalanine; MW: Molecular Weight; TRIP: Tyrosinase Related proterin (Dikutip dari Park et Mina, 2012).

Pada biosintesis melanin terdapat dua tipe melanin yang disintesis di dalam

melanosom : (1) eumelanin dan (2) pheomelanin. Eumelanin merupakan pigmen

berwarna hitam atau kecoklatan, dan tidak larut, sedangkan pheomelanin merupakan

pigmen berwarna terang, merah kekuningan yang mengandung sulfur, dan bersifat

larut. Melanin merupakan devatif indole dari 3,4 dihidroxy-phenylalanine (DOPA)

dan terbentuk didalam melanosom melalui beberapa langkah oksidatif (Gambar 2.3).

Sintesis kedua tipe melanin ini melalui langkah katalitik dimana asam amino tyrosine

dioksidase oleh enzim tyrosinase menjadi DOPA, yang merupakan langkah pertama

yang dikenal sebagai jalur Raper-Mason. Kemudian DOPA dioksidasi menjadi

DOPAquinone, yang kemudian diubah menjadi DOPAchrome. DOPAchrome dapat

diubah menjadi 5,6 dihydroxyindole (DHI) atau 5,6 dihydroxyindole-2-carboxylic

acid (DHICA). Reaksi ini dikatalisis oleh enzim DOPAchrome tautomeras atau TRP-

2. Tingkat warna eumelanin apakah berwarna coklat atau hitam berhubungan dengan

rasio DHI/DHICA, dimana rasio yang lebih tinggi akan memproduksi eumelanin

hitam dibandingkan coklat. DOPAquinone juga dapat bergabung dengan glutathione

atau cysteine untuk membentuk cysteinylDOPA, yang membentuk pheomelanin.

(Park et Mina, 2012). Setelah terbentuk melanin, maka selanjutnya melanin di dalam

melanosom akan ditransfer ke keratinosit melalui dendrit melanosit. Melanosom yang

terakumulasi pada ujung dendrit akan digenerasikan oleh mekanisme transport

kooperatif yang memfasilitasi pemanjangan dendrit sehingga mencapai keratinosit.

(Xufeng, 2012)

Fungsi utama melanin yaitu melindungi sel dari kerusakan DNA yang

disebabkan paparan sinar UV(280-400 nm) dengan mengabsorbsi radiasi UV tersebut.

Melanin mengabsorbsi radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas yang

bersifat kurang toksik (Orazio dkk., 2013). Secara fisiologis radiasi sinar UV

diketahui dapat merangsang sintesis melanin di melanosit. Beberapa studi melaporkan

bahwa radiasi sinar UV dapat meningkatkan produksi faktor parakrin seperti

Adrenocorticotropin hormone (ACTH), endothelin-1, Fibroblast Growth Factor β (β

FGF), Melanocyte Stimulating Hormone α (α MSH), yang memegang peranan

penting dalam patogenesis UV mencetuskan melasma. Melanocyte Stimulating

Hormone α dapat mengurangi pembentukan fotoproduk DNA yang distimulasi UV

dengan meningkatkan nucleotide excision repair (NER) dan mengurangi kerusakan

DNA oksidatif dengan mengurangi ROS. Selain menginduksi faktor parakrin, UV

dapat menginduksi faktor transkripsi Upstrain Transcription Factor 1 (USF-1),

Micropthalmia Transcription Factor (Mitf), Activating Transcription Factor 2 (ATF

2), Nuclear factor erythroid 2 related factor 2 (Nrf-2), p53, serta inhibisi Nuclear

Factor κβ (NFκB). Efek akut sinar UV yaitu via NER menyebabkan survival

mealnosit. Dinamika melanogenesis diinduksi oleh paparan berulang tergantung dosis

UV, interval dan emisi spektrum UVA atau UVB. Dikatakan bahwa peningkatan

dosis UV diatas dosis paparan kumulatif tidak singnifikan meningkatkan

melanogenesis yang diinduksi UV. Seperti yang terlihat di keratinosit, UV dapat

menginduksi cell cycle arrest, aktivasi antioksidan dan enzym perbaikan DNA, serta

regulasi jalur apoptotik melanosit untuk menjaga integritas genomik dan survival

melanosit. Proses regulasi ini dapat meningkatkan melanogenesis sebagai fotoproteksi

pada epidermis dalam melawan sinar UV (Gambar 2.4) (Lee dkk., 2013).

Gambar 2.4 Radiasi Ultraviolet menginduksi pembentukan melanin yang akan ditransportasi ke

keratinosit sebagai fotoproteksi (Dikutip dari Lee dkk., 2013).

2.1.3.4 Pengaruh Faktor Genetik dan Ras dalam Mencetuskan Melasma

Predisposisi genetik dikatakan sangat berperanan dalam patogenesis melasma

dikarenakan adanya laporan tingginya insiden melasma diantara anggota keluarga

pada kelompok ras tertentu. Insidennya berkisar antara 10-70 % di Iran (54,7 %),

Singapore (10,2 %), dan laki-laki latin/Brazil (56,3 %-61%) (Sonthalia & Sarkar,

2015). Negara bagian Asia Tenggara sendiri, memiliki prevalensi bervariasi antara 40

% pada perempuan, 20 % pada laki-laki. Survei global oleh Ortonne dkk. (2009) yang

meneliti perempuan dari 9 negara melaporkan bahwa suseptibilitas untuk menderita

melasma lebih tinggi terdapat pada individu dengan tipe kulit III dan IV dan juga

dilaporkan terdapat prevalensi tinggi dalam hal riwayat keluarga yang positif sebagai

pencetus melasma pada ras afrika amerika.

Hal yang mendasari faktor genetik dalam mencetuskan melasma belum jelas,

namun terdapat perbedaan yang signifikan pada predominansi tipe melasma pada ras

yang berbeda. Secara umum, pola sentrofasial merupakan pola yang paling sering

dilaporkan diikuti dengan pola malar. Namun pada penelitian di India, pasien

melasma dilaporkan lebih banyak mengalami melasma tipe malar dibandingkan

sentrofasial (61 % : 29.3 %) (Sarkar, 2010). Pada penelitian yang dilakukan di Korea,

didapatkan hubungan antara regulasi gen yang terlibat dalam jalur sinyal

melanogenesis dengan melasma, yaitu ekspresi gen ADIPOQ yang mengatur

adiponektin (terlibat dalam melanogenesis) dan gen yang berperanan dalam fungsi

barier kulit seperti S100A8(S100 calcium binding protein A8), SPRR2A (Small

Proline Rich Protein 2A), SPRR2B (Small Proline Rich Protein 2B) dan KLK6

(Kalikrein related Peptidase 6). (Chung, 2014). Kang dkk. (2011) melaporkan adanya

peningkatan ekspresi gen yang berperanan dalam melanogenesis seperti TYRP1

(tyrosinase related protein 1).

2.1.3.5 Pengaruh Faktor Hormonal dalam Mencetuskan Melasma

Melasma terjadi pada 10-15 % perempuan hamil dan 10-25 % pada perempuan yang

memakai kontrasepsi oral. Dalam beberapa dekade, melasma dikenal sebagai topeng

kehamilan, dengan asumsi bahwa penyebabnya adalah peningkatan hormon

perempuan yang berhubungan dengan kehamilan atau pil kontrasepsi. Pada penelitian

yang dilakukan di Korea, didapatkan peningkatan ekspresi reseptor estrogen pada lesi

melasma dermis, dan peningkatan ekspresi reseptor progesteron pada lesi melasma

epidermis. (Jang dkk., 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahmood dkk.

(2011) menemukan hubungan yang signifikan antara peningkatan jumlah estrogen

dengan melasma. Diperkirakan estrogen dapat meningkatkan jumlah Mc1R, yang

merupakan reseptor yang akan berikatan dengan MSH yang selanjutnya dapat

merangsang melanogenesis. Estrogen juga dapat meningkatkan tirosinase, walaupun

mekanisme yang mendasarinya belum jelas. (Mahmood, 2011).

2.1.3.6 Pengaruh Sinar Ultraviolet dalam Mencetuskan Melasma

Radiasi ultraviolet merupakan faktor lingkungan utama yang berperanan dalam

patogenesis melasma. Hal ini berkaitan dengan sinar ultraviolet dalam menghasilkan

stress oksidatif (Miller & Tsao, 2011). Menurut Nishigori (2015), sinar ultraviolet

dapat mempengaruhi sel keratinosit yang nantinya akan berperanan dalam proses

terbentuknya ROS serta NO. Foton pada sinar UV dapat bereaksi dengan atom

oksigen membentuk derivatif radikal bebas seperti superoksid, hidrogen peroksida,

dan radikal hidroksil reaktif. Radikal bebas dapat menyerang makromolekul seperti

protein, lipid, DNA, dan RNA sehingga membentuk fotoproduk pirimidin atau

menyebabkan peroksidase lipid yang akhirnya menghasilkan NO, serta sitokin dan

enzim yang berperanan dalam proses inflamasi (Gambar 2.5). Selanjutnya radikal

bebas serta sitokin inflamasi ini dapat merangsang keratinosit untuk melepaskan

molekul sinyal seperti αMSH, prostaglandin E2 (PGE2), hormon adrenokortikotropin

(ACTH), dan endothelin-1 yang dapat meningkatkan aktivitas tirosinase. Aktivitas

tirosinase yang meningkat dapat menyebabkan peningkatan proses melanogenesis

yang berperanan dalam patogenesis terjadinya melasma. (Kadekaro, 2003).

Gambar 2.5 Sinar Ultraviolet menginduksi pembentukan ROS sebagai penanda stres oksidatif

dalam tubuh (Dikutip dari Nishigori, 2015).

2.1.3.7 Pengaruh Faktor lainnya dalam Mencetuskan Melasma

Faktor lainnya yang dapat menginduksi melasma yaitu paling banyak banyak dibahas

adalah inflamasi. Mediator inflamasi seperti nitric oxide synthase (iNOS), vascular

endothelial growth factor (VEGF), Granulocyte macrophage colony stimulating

factor (GM-CSF), endothelin 1, dan stem cell factor ditemukan meningkat pada lesi

kulit pasien melasma, dan menginduksi peningkatan angiogenesis dan sel inflamasi.

(Passeron, 2013).

Kosmetik dan perawatan seperti peeling serta laser dapat menginduksi

timbulnya melasma. (Duarte & Campos, 2007). Obat-obatan juga dapat menyebabkan

timbulnya melasma karena bersifat fotosensitisasi. Obat-obatan tersebut diantaranya

antikonvulsan, antimalaria, tetrasiklin, amiodarone, sulfonylurea, besi, tembaga,

emas, perak, arsenik, dan bismuth. Namun patogenesisnya masih menjadi perdebatan.

(Guarneri, 2014). Faktor pikologis dan neural juga diperkirakan berhubungan dengan

melasma. Menurut Bak dkk. (2009) yang membandingkan kulit dengan lesi melasma

dengan kulit tanpa lesi melasma pada 6 pasien perempuan dengan melasma,

menemukan terdapat peningkatan ekspresi nerve growth factor receptor (NGFR),

endopeptidase neural, dan serabut saraf pada dermis superfisial lesi melasma.

Saat ini beberapa penelitian juga mengemukakan kemungkinan peranan

gangguan metabolisme lipid dalam patogenesis melasma. Menurut Kang dkk. (2011)

mendapatkan bahwa terdapat penurunan ekspresi gen metabolisme lipid dengan

konsekuensi gangguan fungsi barier kulit pada penderita melasma.

2.1.4 Gambaran Klinis Melasma

Karakteristik melasma memiliki ciri khas berupa makula kecoklatan dengan bentuk

ireguler dan batas yang tegas. Lesi melasma timbul pada area yang sering terpapar

sinar matahari, khususnya pada wajah dan leher, dan kadang-kadang juga terdapat

pada lengan atas dan daerah sternal. (Miot dkk., 2009).

Onset melasma biasanya timbul pada perempuan usia reproduktif (20-40 tahun).

Gambaran pigmen meningkat saat musim panas. Setidaknya terdapat 3 distribusi

klinis pada melasma di wajah yaitu sentrofasial (64 %), malar (27 %), dan mandibular

(9 %). Perjalanan penyakitnya biasanya kronis, memudar saat paparan UV berkurang.

(Jennifer dkk., 2009). Pada pola sentrofasial, lesinya terutama terdapat pada bagian

tengah wajah seperti glabela, frontal, nasal, zigomatik, bibir atas dan dagu. Untuk

melasma tipe malar, lesinya sebagian besar di daerah kedua pipi dan batang hidung,

sedangkan pola mandibular lesinya sebagian besar terletak di daerah ramus

mandibula. Melasma ekstrafasial sangat jarang terjadi dan dapat bermanifestasi pada

lengan atas, lengan bawah, leher, sternum dan kadang-kadang pada punggung.

(Handel, 2014).

Berdasarkan pemeriksaan lampu wood, tipe melasma dibedakan menjadi tipe

epidermal, dermal, dan tipe campuran. Pada melasma tipe epidermal ditandai dengan

tepi yang tegas, lesinya berwarna coklat tua, tampak lebih jelas di bawah pemeriksaan

lampu wood, dan respon terhadap terapi cukup baik. Pada melasma tipe dermal,

ditandai dengan tepi yang tidak terlalu tegas, lesinya berwarna coklat terang atau

kebiruan. Pada pemeriksaan lampu wood tampak tidak berubah. Lesi melasma dermal

memberikan respon yang buruk terhadap terapi. Pada melasma tipe campuran,

merupakan tipe yang paling sering, kombinasi makula berwana coklat gelap, coklat

terang, dan kebiruan. Pada pemeriksaan lampu wood tampak pola yang bercampur.

Terdapat perbaikan sebagian dengan pengobatan (Sarkar dkk., 2014).

2.1.5 Derajat Keparahan Melasma

Derajat keparahan melasma dapat diukur dengan menggunakan alat ukur The

Melasma Area and Severity Index (MASI) (Gambar 2.6) (Pallavi dkk., 2015). Alat

ukur ini memberikan pengukuran derajat keparahan melasma yang lebih akurat secara

kuantitas. Skor MASI diukur dengan menggunakan pemeriksaan subjektif yang

meliputi 3 faktor: luas area keterlibatan (A), tingkat kegelapan (D), dan Homogenitas

(H). Luas keterlibatan diukur sesuai area yaitu area dahi (f) : 30 %, area malar kanan

(rm) : 30 % , area malar kiri (lm) : 30 %, dan area dagu (c) : 10 %. Skor luas

keterlibatan dikategorikan menjadi 0-6. Skor 0 = tidak ada keterlibatan, 1 = <10%, 2 =

10-29 %, 3 = 30-49 %, 4= 50-69 %, 5 = 70-89 %, dan 6 = 90-100 %. Tingkat

kegelapan dan homogenitas diukur dengan skala 0-4 (0 = tidak ada; 1 = ringan, 2 =

sedang, 3 = jelas terlihat, 4 = maksimal/berat). Homogenitas juga dapat diukur dengan

skala 0-4, yaitu 0 = tidak ada hiperpigmentasi, 1 = terdapat titik-titik hiperpigmentasi

(specks), 2 = area kecil hiperpigmentasi dengan diameter < 1,5 cm, 3 = diameter area

yang terlibat > 2cm, 4 = tidak ada area yang jernih dalam area yang terlibat (Bhor &

Pande, 2006). Skor MASI dihitung dengan menjumlahkan skala keparahan untuk

tingkat kegelapan dan homogenitas, lalu dikalikan dengan nilai area keterlibatan

setiap area wajah. Skor Total MASI = 0,3 A(f) [D(f) + H(f)] + 0,3 A(lm) [D(lm) +

H(lm)] + 0,3A(rm) [D(rm) + H(rm)] + 0,1A(c) [D(c) + H(c)]. Skor total adalah 0-48

(Kimborough dkk., 1994). Penentuan derajat keparahan melasma menurut Ali, dkk

(2013), yaitu derajat ringan 0-16,9 ; derajat sedang 17-32,9 ; dan derajat berat 33-48.

Gambar 2.6.

Melasma Area and Severity Index (MASI) (dikutip dari Pallavi dkk., 2015).

Karena sulitnya untuk menilai tingkat homogenitas lesi melasma, maka

dikembangkan skor MASI modifikasi (tanpa menghitung homogenitas). Skor MASI

modifikasi ini ternyata cukup valid dan reliabel dibandingkan skor MASI

konvensional, bahkan lebih efisien. Skor total MASI modifikasi = 0,3 A(f) D(f) + 0,3

A(lm) D(lm) + 0,3A(rm) D(rm) + 0,1A(c) D(c). Jumlah skor total adalah 0-24.

(Pandya dkk., 2011).

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis melasma dapat

dilakukan dengan pemeriksaan lampu wood, dermoskopi, serta pemeriksaan

histopatologi. Pemeriksaan lampu wood merupakan pemeriksaan paling

sederhana yang dapat membantu dalam klasifikasi melasma. Pada pemeriksaan

lampu wood akan menujukkan aksentuasi yang semakin jelas pada melasma tipe

epidermal. Sedangkan pada melasma tipe dermal, tidak terdapat aksentuasi pada

penyinaran menggunakan lampu wood. Pada melasma tipe campuran dapat dijumpai

aksentuasi yang semakin jelas dan juga lesi yang tidak terdapat aksentuasi. Beberapa

ahli juga menambahkan tipe 4 yaitu pada individu dengan tipe kulit fitzpatricks V-VI,

dengan kulit yang gelap, lampu wood tidak dapat dievaluasi, karena pada pasien ini,

memiliki melanosit yang banyak dan merata, dimana sebagian besar sinar lampu

wood terserap oleh melanin yang banyak, sehingga tidak menimbulkan aksentuasi

(Tamler dkk., 2009).

Pemeriksaan dermoskopi merupakan teknik noninvasif dimana prinsip kerjanya

menggunakan alat optikal yang memperbesar obyek dari 6-400x. Alat ini terbukti

sebagai alat yang reliabel untuk visualisasi langsung pada kelainan pigmentasi kulit.

Dengan pemeriksaan ini, warna melanin tergantung dari kuantitas, kepadatan, dan

lokasinya. Hitam dengan pigment network yang teratur apabila terletak di stratum

korneum, coklat tua terletak di lapisan epidermis yang lebih bawah, dan biru atau

keabuan dengan pigment network yang tidak teratur apabila terletak di dermis. Tipe

campuran, memiliki gambaran campuran dari kedua tipe di atas (Braun dkk., 2005).

Pemeriksaan histopatologi merupakan pemeriksaan yang paling sensitif

dibandingkan pemeriksaan lainnya, namun kurang disukai, karena bersifat invasif.

Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena sebagian besar lesi melasma di wajah,

sedangkan pemeriksaan invasif pada wajah akan menimbulkan banyak

ketidaknyamanan bagi pasien. Pada pemeriksaan histopatologi lesi melasma tipe

epidermal akan tampak deposit pigmen melanin terbatas pada lapisan stratum basal

dan suprabasal, kadang-kadang tersebar sampai ke stratum korneum. Tipe dermal,

akan menunjukkan pigmentasi terdapat di bagian atas dan bawah dermis dengan

infiltrat limfositik perivaskular pada dermis atas (Sarkar dkk., 2014).

2.1.7 Penatalaksanaan Melasma

Penatalaksanaan pada melasma terdiri dari perlindungan terhadap sinar UV,

menghilangkan faktor predisposisi seperti kontrasepsi oral, dan kombinasi antara

terapi topikal dan prosedural (Gambar 2.7). Pada fase intensif, krim kombinasi tripel,

baik formulasi Kligman atau formulasi Kligman modifikasi, digunakan setiap malam.

Apabila perbaikan pada melasma berjalan lambat, dapat dikombinasi dengan terapi

prosedural seperti pengelupasan kimiawi, intense pulse light, dan mikrodermabrasi.

Apabila terjadi perbaikan, maka dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan

hidrokuinon (maksimal 6 bulan), asam kojik, niasinamid, dan arbutin. Pada lesi

melasma yang resisten dapat dilakukan terapi laser menggunakan laser ablatif, namun

dengan risiko terjadi hiperpigmentasi paska inflamasi. Laser lainnya yang terbukti

efektif yaitu QS 1064-nm Nd:YAG laser (Jennifer, 2009).

Gambar 2.7. Penatalaksanaan Melasma. Agen terapeutik untuk hiperpigmentasi bekerja pada berbagai tempat dari sistem pigmentasi, termasuk pengikisan keratinosit (pengelupasan kimiawi : asam glikolat, asam salisilat, asam trikloroasetat, asam retinoat (tretinoin); transfer melanosom (tretinoin); inhibitor tirosinase (hidrokuinon, mequinol, asam azeleik, asam kojik); fungsi sekresi melanosit (kortikosteroid topikal – mekanisme belum jelas) (dikutip dari Jennifer, 2009).

2.2 Glutathione

2.2.1 Biologi Glutathione

Glutathione merupakan susunan thiol intraseluler yang paling utama, sebagian besar

diproduksi oleh sel mamalia dan fungsi utamanya sebagai pertahanan antioksidan

dalam melawan oksigen reaktif spesies (ROS) dan elektrofil. Glutathione terdiri dari

tripeptida yaitu 3 asam amino : glutamate, cysteine, dan glycine yang merupakan

antioksidan yang paling banyak terdapat di tubuh manusia (Sriharsha, 2014).

Konsentrasi glutathione intraseluler dan sel darah diukur dalam satuan milimolar,

sedangkan konsentrasi plasma diukur dalam satuan mikromolar. Bentuk Glutathione

tripeptida dapat berupa glutathione bebas (GSHt), tereduksi (GSH), teroksidasi

(GSSG), ataupun berikatan dengan protein. Kadar Glutathione sebagian besar dalam

bentuk tereduksi yaitu 98 % dari total glutathione. Konsentrasi normal glutathione

(GSH) pada sel darah orang sehat yaitu sebesar 849 ± 163 µ mol/L untuk individu

berusia 18-73 tahun tanpa memandang jenis kelamin. Sedangkan konsentrasi GSH

plasma yaitu sebesar 3,39 ± 1,04 µ mol/L untuk kelompok umur yang sama (Michelet

dkk., 1995). Penelitian lainnya menunjukkan kadar normal GSH yang berbeda apabila

dilakukan pemeriksaan di darah (whole blood) yaitu 0.684 - 2.525 mmo/L, dan 0.002

- 0.1136 mmol/L. Konsentrasi GSH di dalam plasma ataupun whole blood

dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang, yaitu merokok (>10 batang rokok/ hari) dan

konsumsi alkohol (1-50 mg/hari). Kebiasaan merokok akan meningkatkan kadar GSH

sebanyak 26 % dibandingkan individu yang tidak merokok. Kebiasaan minum alkohol

juga akan meningkatkan kadar GSH. Hal ini dikarenakan peningkatan produksi

radikal bebas oleh gaya hidup ini, menyebabkan peningkatan kebutuhan sintesis GSH

oleh tubuh untuk menetralisir radikal bebas ini, sehingga tidak sampai terjadi

kelainan. (Michelet dkk., 1995). Beberapa penyakit kronis juga dapat menyebabkan

penurunan kadar glutathione di dalam tubuh. Penelitian berkelanjutan menunjukkan

beberapa penyakit berhubungan dengan rendahnya kadar glutathione yaitu penyakit

paru obstruktif kronis (terutama emfisema), asma, penyakit hati kronis, sindroma

metabolik, kanker, autisme, cystic fibrosis, psoriasis, vitiligo, alopesia areata,

polymorphic light eruption, akne vulgaris (Sonthalia dkk., 2016). Menurut Perricone

dkk. (2009), kadar GSH juga menurun pada berbagai penyakit degeneratif kronis

lainnya terutama pada penyakit inflamasi dan penyakit yang dimediasi imunologi,

misalnya penyakit alzheimer, parkinson, depresi, artritis rematoid, aterosklerosis,

angina pektoris, hipertensi, stroke, gangguan fungsi tiroid dan pankreas.

2.2.2 Homeostasis Glutathione

Glutathione disintesis secara de novo dalam dua tahap reaksi enzimatik yang

memerlukan ATP. Pada langkah pertama, cysteine dan glutamate terhubung melalui

reaksi yang dikatalisis oleh γ-glutamylcysteine synthase (γ-GCS) membentuk γ-

glutamylcysteine. Reaksi pertama ini merupakan sintesis GSH yang bersifat terbatas

karena tergantung dari ketersediaan cysteine. Sintesis GSH selanjutnya dikatalisis

oleh glutathione synthetase (GS), dalam reaksi dimana γ-glutamyl-cysteine secara

kovalen berikatan dengan glycine. Fungsi antioksidan GSH ditentukan oleh

redoxactive thiol (-SH) dari cysteine yang teroksidasi saat GSH mereduksi molekul

target. Saat terjadi reaksi dengan ROS atau elektrofil, maka GSH akan teroksidasi

membentuk GSSG, yang dapat kembali menjadi bentuk GSH karena tereduksi oleh

GSSG reductase (GR) (Gambar 2.9) (Luschak, 2012). Keseimbangan siklus redoks

daripada glutathione dapat digambarkan pada gambar 2.8 (Sonthalia dkk., 2016).

Gambar 2.8. Homeostasis Glutathione meliputi baik mekanisme intra maupun ekstraseluler. Glutathione disintesis baik secara de novo maupun jalur sintesis alternatif. Sintesis de novo membutuhkan 3 asam amino dan energi dalam bentuk ATP. Glutamate mungkin tersedia dalam bentuk konversi dari γ-glutamyl amino acid menjadi 5-oxoproline, yang kemudian diubah menjadi glutamate. Dua molekul ATP digunakan untuk biosintesis satu molekul GSH. Sintesis alternatif meliputi baik reduksi dari GSSG atau penggunaan prekursor yang dibentuk dari hidrolisis GSH atau konjugatnya oleh γ-L-glutamyl transpeptidase pada permukaan eksternan plasma membran yang dikirim kembali ke sel dalam bentuk asam amino atau dipeptida. GSH terdegradasi dalam berbagai proses. Dalam hal detoksifikasi reaktif spesies dan elektrofil seperti methyglyoxal, GSH terlibat dalam glutathionylation protein dan beberapa proses lainnya, seperti biosintesis leukotrien dan prostaglandin, dan reduksi ribonukleotida (dikutip dari Lushchak, 2012).

Gambar 2.9. Siklus redoks Glutathione menggambarkan perubahan glutathione teroksidasi dan

tereduksi (Sonthalia dkk., 2016).

2.2.3 Fungsi Glutathione

Glutathione merupakan protein yang secara alami diproduksi di dalam tubuh dan

memiliki 3 fungsi perlindungan yang esensial yaitu : sebagai antioksidan,

meningkatkan sistem imunitas, dan sebagai detoksifikasi. Selain itu glutathione

memiliki fungsi tambahan pada sel yaitu : sebagai cadangan cysteine, menyimpan dan

menghantarkan nitric oxide, berpartisipasi dalam metabolisme estrogen, leukotrien,

dan prostaglandin, serta mereduksi ribonukleotida menjadi deoksiribonukleotida,

maturasi kelompok iron-sulfur dari protein yang berbeda, terlibat dalam proses faktor

transkripsi tertentu (khususnya yang terlibat dalam sinyal redoks), dan detoksifikasi

berbagai susunan endogenus dan xenobiotik (Zhang & Forman, 2009).

2.2.4 Glutathione dalam Eliminasi Oksigen Reaktif dan Nitrogen Spesies.

Glutathione merupakan antioksidan yang sangat penting, yang bereaksi secara

langsung dengan ROS, RNS, dan spesies reaktif lainnya khususnya HO�, HOCl, RO�,

RO2�, 1O2, dan ONOO- (Gambar 2.10). Glutathione juga berperan dalam detoksifikasi

produk dari oksidasi lipid oleh ROS seperti Malonic dialdehyde (MDA) dan 4-

hydroxy 2-nonenal, dan mungkin juga produk interaksi ROS dengan komponen

seluler lainnya (Luschack, 2012).

Gambar 2.10. Keterlibatan Glutathione dalam eliminasi ROS dan RNS. Radikal hidroksil dan nitric oxide (setelah oksidasi menjadi bentuk NO+) atau peroxynitrite dapat berinteraksi secara langsung dengan GSH membentuk GSSG. Hidrogen peroksida dapat dipecah oleh katalase atau oleh glutathione peroxidase (Gpx). Selanjutnya akan membutuhkan GSH untuk mengurangi peroksida (Luschack, 2012). 2.2.5 Peranan Glutathione dalam Patogenesis Melasma

Peran glutathione pada patogenesis melasma dikatakan melalui beberapa mekanisme

yaitu baik berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada aktivitas enzim

tirosinase. Tirosinase secara langsung dihambat melalui chelation copper site oleh

grup thiol pada GSH. Kedua GSH menghambat transfer seluler tirosinase ke

premelanosome, yang merupakan tempat awal untuk sistesis melanin. Ketiga, inhibisi

tirosinase secara tidak langsung didapatkan melalui efek antioksidan dari GSH.

Glutathione mengubah melanogenesis dari sintesis eumelanin menjadi phaemelanin

melalui reaksi antara grup thiol dan dopaquinone membentuk konjugat sulfhydryl

dopa (Sonthalia dkk., 2016).

Pada proses biosintesis melanin, dikatakan bahwa pada saat terdapat GSH

ataupun cysteine, maka akan terjadi ikatan dengan DOPAquinone dan mengalihkan

sintesis pigmen dari eumelanin menuju ke pheomelanin melalui cysteinylDOPA

(Gambar 2.11 dan 2.12) (Ito & Wakamatsu, 2008 ; Sonthalia, 2016).

Gambar 2.11. Biosintesis Melanin. Pembentukan Pheomelanin

(dikutip dari Ito & Wakamatsu, 2008).

Gambar 2.12. Jalur Raper-Mason, sintesis melanin. Perhatikan bagaimana Glutathione/cysteine dapat menginduksi perubahan produksi eumelanin menjadi pheomelanin (dikutip dari Sonthalia, 2016).

Selain dapat mengalihkan proses biosintesis melanin dari eumelanin menjadi

pheomelanin, peran GSH dalam melanogenesis juga berhubungan dengan menetralisir

stres oksidatif, seperti yang digambarkan pada gambar 2.9. Produksi melanin, karena

adanya radiasi ultraviolet menyebabkan terbentuknya ROS yaitu H2O2, radikal

hidroksil dan radikal superoksida (O2�−) pada melanosit. Oksidatif ini sebagai

perantara quinones reaktif, yang bersifat sitotoksik terhadap protein dan DNA di

dalam sel. Akumulasi H2O2 pada melanosit normal dapat mempengaruhi sintesis

melanin. Sementara melanin dapat memberikan efek fotoprotektif, situasi ini menjadi

kompleks karena status antioksidan dan prooksidan tampak terdapat pada status

redoks di melanosit. Saat produksi melanin itu sendiri dapat menjadi sumber utama

pembentukan ROS, di pihak lain, keberadaan ROS dapat menyebabkan

melanogenesis yang abnormal termasuk overproduksi melanin. Penelitian-penelitian

sebelumnya telah menunjukkan bahwa peningkatan pembentukan ROS dapat terjadi

akibat overproduksi prooksidan di dalam sel, dan atau penurunan kapasitas

antioksidan seluler. Pembentukan ROS dapat diproduksi oleh mitokondria dan

peroksisom ketika proses metabolik seluler normal. Produksi ROS akan meningkat

saat terjadi kondisi patologis seperti inflamasi dan kanker, serta paparan terhadap

faktor lingkungan seperti bahan kimia dan radiasi UV (Gambar 2.13) (Denat dkk.,

2014). Kulit merupakan organ terluas yang berhadapan langsung dengan lingkungan,

sehingga merupakan sumber utama dari ROS yang diinduksi radiasi UV.

Pembentukan ROS/RNS yang diinduksi radiasi UV berhubungan dengan peningkatan

melanogenesis melalui peningkatan aktivitas tirosinase, protein dan mRNA dalam

melanosit. Pembentukan H2O2 atau NO dan kerusakan oksidatif juga dapat

meningkatkan produksi melanin dalam melanosit melalui aktivasi α MSH/Mc1r atau

jalur sinyal MITF, yang penting dalam proses melanogenesis (Dong dkk., 2010).

Gambar 2.13. Sumber pembentukan ROS dari eksogenus dan endogenus. Adanya pertahanan antioksidan baik itu yang bersifat nonenzimatik (diantaranya glutathione) atau enzimatik dapat menjaga kondisi melanosit tetap dalam status normal (dikutip dari Denat, 2014).

Antioksidan endogenus kulit termasuk GSH, memiliki potensi dalam menjaga

keseimbangan redoks dan juga sebagai sumber substrat untuk Gpx atau glutathione S-

transferase (GST), serta antioksidan enzimatik seperti katalase (CAT) dan Gpx

berperanan dalam netralisasi H2O2. Apabila terjadi penurunan antioksidan GSH dapat

menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan status redoks yang nantinya akan

menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA, lipid dan protein, produksi produk

fotoreaksi yang menyebabkan fotooksidasi melanin dan gangguan sinyal sel (jalur

melanogenesis). Kesemuanya ini dapat menyebabkan gangguan pigmentasi (Gambar

2.14) (Panich, 2011).

Gambar 2.14. Radiasi UV memicu stres oksidatif atau penurunan antioksidan dapat memicu ketidakseimbangan status redoks yang akan menyebabkan gangguan pigmentasi (dikutip dari Panich, 2011).

Peran GSH dalam patogenesis melasma telah diteliti oleh beberapa peneliti.

Shuja dkk. (2005) mendapatkan penurunan jumlah GSH darah yang signifikan pada

penderita melasma dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian yang dilakukan oleh

Hamadi dkk. (2009), yang membandingkan peranan melatonin pada terapi melasma,

bahwa didapatkan GSH serum pada penderita melasma lebih rendah dibandingkan

kontrol dan kadar ini meningkat setelah diberikan perlakuan berupa melatonin baik

topikal maupun oral. Hal serupa juga didapatkan oleh Katiyar (2014) yang meneliti

efikasi terapi kombinasi pada pasien melasma dengan menggunakan kadar

antioksidan sebagai markernya. Pada penelitiannya, dijumpai kadar GSH darah yang

menurun secara signifikan pada penderita melasma apabila dibandingkan dengan

kontrol sebelum diberikannya terapi kombinasi.

Menurut Villarama & Maibach (2005) Glutathione merupakan senyawa yang

poten sebagai agen pemutih; dimana cara kerjanya dengan inaktivasi langsung

daripada enzim tirosinase; melalui mekanisme peralihan dari produksi eumelanin

menjadi pheomelanin; melalui reduksi dari radikal bebas dan peroksida; dan dengan

memodulasi kemampuan depigmentasi dari agen melanositotoksik. Hal serupa juga

didukung oleh Arjinpathana & Asawanoda (2012).

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian-penelitian tersebut adalah GSH

merupakan antioksidan poten nonenzimatik yang sangat berperan dalam proses

patogenesis melasma. Adanya penurunan kadar GSH pada penderita melasma,

membuka kemungkinan dikembangkannya lebih banyak lagi penelitian mengenai

efektivitas terapi dengan menggunakan glutathione pada penderita melasma.