unud-222-1435371230-bab ii

48
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aging ( Penuaan ) Menurut Constantinindes, proses penurunan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normal secara perlahan, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita disebut penuaan ( Darmojo, 2009). Penuaan adalah merupakan suatu proses yang menyebabkan atresi dan perburukan selular seiring usia yang pada akhirnya berakhir pada penurunan viabilitas dan kematian, dipengaruhi baik oleh suatu program genetik mau pun juga oleh peristiwa lingkungan dan endogen kumulatif yang berlangsung di sepanjang rentang usia organisme. Proses penuaan perlu dipahami, sebagian karena proporsi individu berumur 55 tahun ke atas terus meningkat, diprediksikan sebesar 31% di Amerika Serikat pada tahun 2030 ( Yaar, 2003 ), dengan pergeseran demografi serupa diprediksikan untuk Eropa dan Jepang. Persentase orang berusia 60 tahun ke atas akan meningkat dua atau tiga kali lipat pada 2050. Ketika harapan hidup meningkat, yang memaksa individu tua untuk menunda pensiun mereka dan/atau merencanakan pensiun panjang, kaum manula mencari modalitas intervensi untuk memperbaiki penampilan mereka dan mengembalikan tanda penuaan. Oleh karena itu, jumlah kunjungan ke dokter estetik, dokter kulit dan dokter bedah plastik diperkirakan meningkat pesat di masa mendatang. Untuk menangani penyakit kulit pada manula secara efektif dan untuk menggunakan modalitas intrevensi yang tepat untuk membalikkan penuaan kulit, penting bagi kita untuk mengerti dengan perubahan klinis dan histologis yang menyertai penuaan kulit. 2.1.1. Penuaan Kulit Kronologis 6

Transcript of unud-222-1435371230-bab ii

Page 1: unud-222-1435371230-bab ii

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aging ( Penuaan )

Menurut Constantinindes, proses penurunan kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri / mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normal

secara perlahan, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan

tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita disebut penuaan ( Darmojo, 2009).

Penuaan adalah merupakan suatu proses yang menyebabkan atresi dan

perburukan selular seiring usia yang pada akhirnya berakhir pada penurunan

viabilitas dan kematian, dipengaruhi baik oleh suatu program genetik mau pun juga

oleh peristiwa lingkungan dan endogen kumulatif yang berlangsung di sepanjang

rentang usia organisme. Proses penuaan perlu dipahami, sebagian karena proporsi

individu berumur 55 tahun ke atas terus meningkat, diprediksikan sebesar 31% di

Amerika Serikat pada tahun 2030 ( Yaar, 2003 ), dengan pergeseran demografi

serupa diprediksikan untuk Eropa dan Jepang. Persentase orang berusia 60 tahun ke

atas akan meningkat dua atau tiga kali lipat pada 2050.

Ketika harapan hidup meningkat, yang memaksa individu tua untuk menunda

pensiun mereka dan/atau merencanakan pensiun panjang, kaum manula mencari modalitas

intervensi untuk memperbaiki penampilan mereka dan mengembalikan tanda penuaan.

Oleh karena itu, jumlah kunjungan ke dokter estetik, dokter kulit dan dokter bedah plastik

diperkirakan meningkat pesat di masa mendatang. Untuk menangani penyakit kulit pada

manula secara efektif dan untuk menggunakan modalitas intrevensi yang tepat untuk

membalikkan penuaan kulit, penting bagi kita untuk mengerti dengan perubahan

klinis dan histologis yang menyertai penuaan kulit.

2.1.1. Penuaan Kulit Kronologis

6

Page 2: unud-222-1435371230-bab ii

2

Penuaan kulit kronologis meliputi perubahan kulit yang terjadi sebagai

akibat dari perjalanan waktu saja. Perubahan ini sebagian terjadi sebagai akibat

dari kerusakan endogen kumulatif karena pembentukan terus-menerus reactive

oxidative species (ROS) yang diproduksi selama metabolisme oksidatif selular.

Meski terdapat sistem pertahanan anti-oksidan selular yang rumit, ROS yang

diproduksi tersebut merusak beberapa unsur selular yang meliputi membran,

enzim dan DNA, dan juga mengganggu interaksi DNA dan protein dan protein vs

protein.

Telomere, bagian ujung dari kromosom eukaryote, terlibat dalam

perubahan terjadi sebagai akibat dari penuaan kronologis. Pada tiap pembelahan

sel, panjang telomere manusia memendek. Bahkan pada fibroblast kulit yang

relatif tak aktif, lebih dari 30% panjang telomere hilang selama masa dewasa.

Telomere yang terlalu pendek menyinalkan penghentian (arrest) siklus sel atau

apoptosis, bergantung pada jenis sel, yang turut andil dalam menyebabkan

penipisan selular seiring penuaan ( Pangkahila, 2007 ).

Hal yang sama dengan penuaan pada sistem lain, penuaan kulit

kronologis dipengaruhi oleh modifikasi beberapa growth factor dan hormon yang

menurun seiring usia. Penurunan yang terdokumentasi dengan baik adalah

penurunan steroid seks seperti estrogen, testosterone, dehydroepiandosterone

(DHEA) dan sulfate ester (DHEAs) ( Wespes E, 2002 ). Beberapa hormon lain

yang meliputi melatonin, cortisol, thyroxine, hormon pertumbuhan dan insulin-

like growth factor I juga turun. Bentuk aktif Vitamin D, yakni 1,25-

dihydroxyvitamin D3, suatu molekul yang mempengaruhi berbagai jaringan yang

meliputi kulit dengan cara yang berbeda dari efek terhadap homeostasis kalsium ,

turun seiring usia ( Arlt , 2004 ). Disamping penurunan kadar dari tiap unsurnya,

Page 3: unud-222-1435371230-bab ii

3

kadar induksi dari beberapa molekul penghantar sinyal tertentu yang meliputi

sitokin dan kemokin mengalami penurunan seiring usia yang mengakibatkan

beberapa fungsi kulit memburuk ( Swift, 2001 ).

Atresi dan perburukan selular yang menandakan proses penuaan

diakibatkan oleh perubahan molekular baik pada lingkungan selular mau pun

juga pada DNA dan protein didalam sel. Perubahan ini mengakibatkan respons

selular yang menyimpang terhadap perubahan lingkungan, yang pada akhirnya

menyebabkan penurunan viabilitas dan kematian.

2.1.2 Manifestasi klinis dan histologis penuaan kulit kronologis

Manifestasi klinis dari penuaan kulit kronologis meliputi xerosis, kendor,

keriput, lamban dan munculnya seborrheic keratosis dan cherry angioma. Relatif

sedikit terjadi perubahan ketebalan di epidermis, bentuk keratinosit dan kohesi

korneosit, dan terjadi banyak kehilangan melanosit dan sel Langerhans. Perubahan

kulit yang besar pada penuaan kulit kronologis terlihat pada dermoepidermal junction

yang memperlihatkan perataan rete ridges yang menyebabkan reduksi kontak antara

epidermis dan dermis menyebabkan reduksi pertukaran nutrien dan metabolit diantara

kedua kompartemen ini.

Epidermis Dermis Jaringan LainPerataan dermoepidermal

junction

Athropy ( kurangnya volume

dermis )

Depigmentasi rambut

Perubahan ketebalan Perubahan jaringan penunjang Rambut rontok

Page 4: unud-222-1435371230-bab ii

4

kulitBentuk dan ukuran sel yang

bervariasi

Fibroblast yang berkurang Konversi dari rambut terminal

menjadi vellusTerdapat atipik nuclear Mast cell berkurang Nailplates abnormalMelanosit berkurang Sel Darah berkurang Kelenjar berkurangSel Langerhans berkurang Pemendekan loop kapiler

Pembuluh saraf abnormal

Tabel 2.1 Manifestasi histologis dari penuaan kulit kronologis. (Yaar M, 2006 )

.

Dermis tampak hiposelular dengan lebih sedikit fibroblast dan mast cells dan

hilangnya volume dermis. Penelitian dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa

serabut kolagen menjadi longgar dan terjadi peningkatan moderat dan penebalan

serabut elastis dengan resorpsi sebagian besar serabut sub-epidermis. Selain itu,

terjadi penurunan jumlah pembuluh darah dermis, pemendekan capillary loop, dan

penurunan densitas Pacinian corpuscles dan Meissner’s corspuscles, yakni organ-

ujung kulit yang bertanggung jawab terhadap persepsi tekanan dan sentuhan ringan.

Kehilangan inervasi sensorik dan otonom yang melibatkan epidermis maupun dermis

( Ulfhak, 2002 ).

Modifikasi appendage kulit meliputi rontok rambut yang mencerminkan konversi

rambut utama menjadi rambut vellus ( Yaar, 2003 ). Juga terjadi pengubanan rambut

sebagai akibat hilangnya melanosit dari akar rambut dan penyimpangan fungsi

melanosit yang meliputi penurunan aktivitas tyrosinase, penurunan dan kurang

efisiennya transfer melanosom dan rusaknya migrasi dan/atau proliferasi melanosit

dari area penyimpanan ke area yang berdekatan dengan dermal papilla.

1. Keriput ( Wrinkle )

Faktor intrinsik yang mempengaruhi struktur wajah dan turut menyebabkan

Page 5: unud-222-1435371230-bab ii

5

pembentukan keriput muka meliputi perubahan otot ekspresi, hilangnya lemak

subkutan, gaya gravitasi persisten dan hilangnya tulang dan cartilago muka. Garis

ekspresi terjadi sebagai akibat dari traksi berulang yang dikerahkan oleh otot muka

yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan lipatan yang dalam pada dahi dan

diantara alis mata, sekitar lekuk mata (periorbital) dan pada lipatan nasolabial.

Gambar 2.1 Keriput karena Ekspresi. Pengulangan gerakan pada otot wajah menghasilkan terjadi garis tegas pada dahi (A) dan diantara alis mata ( B ).

Secara histologis, untai jaringan konektif tebal hipodermis yang mengandung sel

otot terdapat dibawah keriput. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa seiring penuaan,

terjadi perubahan pada struktur musculoaponeurosis yang mengakibatkan peningkatan

kelemasan dan menyebabkan pembesaran keriput ekspresi tertentu seperti keriput

pada lipatan nasolabial. Seperti otot yang ditandai dengan striae, otot muka juga

menunjukkan akumulasi “pigmen umur” yakni lipofuscin, suatu petanda kerusakan

selular, dan pemburukan otot seiring umur yang diperburuk oleh berkurangnya

kontrol neuromuskular ini ikut menyebabkan pembentukan keriput ( Dayan, 1988 ).

Gaya gravitasi yang terus bekerja terhadap tubuh mempengaruh kulit yang

mempengaruhi distribusi jaringan lunak muka sehingga menyebabkan pengenduran

kulit. Ketika kulit menjadi semakin kendur seiring usia dan penopang jaringan lunak

berkurang, gaya gravitasi juga menjadi faktor penting. Gravitasi mengerahkan gaya

mekanik yang menarik kulit muka sehingga mengakibatkan pembentukan kulit yang

kendur dan lentur.

Page 6: unud-222-1435371230-bab ii

6

Gambar 2.2 Keriput karena Gravitasi ( Mina Yaar,2002 )

Seiring penuaan, lemak memang menyusut dari area muka tertentu yang

meliputi dahi, daerah preorbital, buccal, temporal dan perioral. Sebaliknya, terjadi

peningkatan bagian besar jaringan lemak secara menyolok pada area lain yang

meliputi daerah submental, pipi bawah, dan lipatan nasolabial dan area lateral pipi.

Berbeda dari tampilan muka muda yang lemaknya tersebar secara dffuse, pada kulit

muka yang menua lemak cenderung terakumulasi dalam kantong wajah, dan

kemudian ketika kelebihan lemak ini terkena gaya gravitasi, maka kulit menjadi

kendor dan melorot ( Donofrio, 2000 ).

Tulang muka memperlihatkan penurunan massa seiring usia, resorpsi tulang

sangat mempengaruhi rahang bawah, rahang atas dan tulang frontal. Hilangnya tulang

pada area ini membuat kulit muka semakin kendor dan turut menyebabkan hilangnya

batas antara kontur rahang dan leher yang begitu jelas pada individu dewasa muda

( Yaar M, 2003 ).

Kulit individu tua juga memperlihatkan sederetan garis permukaan halus yang

hilang secara khas ketika kulit diregangkan. Secara histologis, epidermis terlihat

atrofik sebagai akibat dari penurunan laju pergantian epidermis. Terjadi resorpsi

jaringan serabut elastis pada area sub-epidermis, dan dermis retikulum

memperlihatkan ‘bundel’ kolagen atrofik. Pada dermis, fibroblast yang tersisa

terlihat berkerut ( Yaar, 2003 ).

Page 7: unud-222-1435371230-bab ii

7

2. Neoplasma jinak terkait usia

a. Seborheic Keratosis : Neoplasma epitel jinak yang mulanya monoklonal,

terlihat sebagai makula hiperpigmen rata dan berlanjut menjadi plak verruca

hiperkeratotik yang sangat bervariasi ukuran dan warnanya. Seborrheic

keratosis muncul pertama kalinya pada dekade usia keempat hingga kelima

dan menjadi semakin banyak sepanjang hidup, terlepas dari paparan sinar

matahari. Dianggap sebagai biomarker terbaik untuk penuaan kulit intrinsik.

Direpresentasikan hilangnya homeostasis secara fokal, dengan

mengakibatkan proliferasi keratinosit dan melanosit secara berlebihan, meski

patogenesisnya belum diketahui. Keratinosit bermorfologi masaloid pada

seborrheic keratosis baru-baru ini dilaporkan mengekspresikan endothelin-1

(ET-1) dengan kadar tinggi, yang dikaitkan dengan peningkatan ekspresi

tyrosinase pada melanosit, dibanding kulit perilesional kontrol. Menunjukkan

bahwa melanogenesis yang diinduksi ET-1, dendrisitas, dan proliferasi

melanosit bisa berperan dalam evolusi neoplasma ini.

b. Cherry Angioma adalah malformasi vaskular kecil berwarna merah hingga

ungu yang terdiri dari kapiler vena dan venula post-kapiler yang terdapat pada

papila dermis dan terhubung satu sama lain dan terhubung dengan bagian venula

dari plexus vascular superficial

2.1.3 Photoaging : Penuaan kulit biologis

Photoaging meliputi perubahan kulit yang diakibatkan oleh paparan sinar

matahari kronik diatas lapisan penuaan kulit kronologis. Photoaging dihasilkan dari

kerusakan kumulatif dari radiasi sinar UV yang menyebabkan kelainan kulit yang

parah. Radiasi ini dibagi menjadi UVA (320-400 nm), UVB (280-320 nm) dan

Page 8: unud-222-1435371230-bab ii

8

UVC (100-280 nm). Bagian UVC dari spektrum tersebut tidak terdapat pada

sinar mahatari di bumi, kecuali pada garis bujur tinggi, karena bagian UVC

tersebut diserap oleh lapisan ozon atmosfer melalui absorpsi sinar UVA dan UVB

oleh kromofor seluler seperti urocanic acid, riboflavin dan precursor melanin yang

bekerja sebagai fotosensitizer berperan utama untuk produksi reactive oksigen

species (ROS) dan radikal bebas.

Penelitian oleh Lavker et al. menunjukkan bahwa radiasi UVA, jika

diberikan terus-menerus, dapat menginduksi perubahan yang sama dengan

yang diinduksi oleh UVB, termasuk hiperplasia dermis, penebalan stratum

corneum, penipisan sel langerhans, inflamasi dermis dan akumulasi lisozim

diatas serabut dermis. Kulit yang mengalami photoaging secara klinis

menunjukkan karakteristik kasar, kerutan halus dan kasar, hiperpigmentasi yang tidak

merata dapat berupa lentigen atau bercak (freckles), kelemahan, bengkak, dan

teleangiektasis (Rigel , 2004).

Iradiasi UVB utamanya mengenai epidermis. Ini diserap langsung oleh DNA

selular, mengakibatkan pembentukan lesi DNA, utamanya dimer cyclobutane dan

photoproduct pyrimidine (6-4) pyrimidone. Meski mempunyai sistem perbaikan

kerusakan nuclear DNA, kerusakan DNA jarang diperbaiki secara menyeluruh. Jika

sel terus menyimpan banyak DNA rusak, maka mereka mengalami apoptosis, suatu

proses yang utamanya diperantarai oleh protein tumor suppressor p53 ( Kulms,

2000) . P53 juga ikut serta dalam perbaikan kerusakan DNA dan dalam penghentian

siklus sel transien sesudah kerusakan DNA. Sel yang tidak mengalami apoptosis dan

yang kerusakannya tidak diperbaiki secara menyeluruh akan beresiko mutasi dan

pada akhirnya menjadi kanker. Ini sangat penting mengingat beberapa penelitian

epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 90% squamous cell carcinoma

Page 9: unud-222-1435371230-bab ii

9

pada epidermis dan lebih dari 50% basal cell carcinoma (BCC) memperlihatkan

mutasi terinduksi UV yang menonaktifkan actinic keratosis . Selanjutnya, mutasi

p53 terdapat pada premalignant actinic keratosis , menunjukkan bahwa mutasi p53

terjadi secara dini, meningkatkan risiko transformasi ganas pada sel yang terserang.

Terlepas dari efek langsungnya terhadap DNA epidermis, beberapa penelitian

pada sistem mencit menunjukkan bahwa iradiasi UVB mempengaruhi respons

imun kulit dan sistemik yang menyebabkan presentasi antigen defektif dan

pembentukan suppressor T-cells, sehingga memungkinkan penyebaran sel kanker

yang akan ditolak ( Kulms, 2000). Dalam hal ini, UVB dengan menginduksi

peroksidasi lipid menstimulasi migrasi keluar sel respons imun dari epidermis dan

dengan demikian turut menyebabkan imunospuresi. Iradiasi UVB juga

menginduksi sekresi sitokin epidermis, dan bukti menunjukkan bahwa, diantara

sitokin yang terinduksi, tumor necrosis factor-α dan interleukin-10 berperan

penting dalam imunosupresi terinduksi UVB ( Granstein , 2003 ).

Terkait dengan mekanisme yang memperantarai perubahan kulit normal yang

mengalami photodamage, iradiasi UV mengaktifkan reseptor permukaan sel. Ini

menyebabkan penyebaran sinyal intraselular dan sintesis transcription factors, yakni

protein nukleus yang berikatan dengan DNA untuk memacu atau menghambat

transkripsi gen. Satu transcription factors yang diinduksi dengan cepat dan

menyolok oleh iradiasi UV adalah AP-1. AP-1 mengganggu transkripsi gen kolagen

pada fibroblast, menurunkan kadar prokolagen utama yakni prokolagen I dan III.

Selain itu, AP-1 menstimulasi transkripsi gen yang mengkodekan enzim pengurai

matriks seperti metalloproteinase ( Kosmadaki, 2004 ).

2.1.4 Manifestasi klinis dan histologis photoaging kulit

Page 10: unud-222-1435371230-bab ii

10

Karena area kulit yang terpapar sinar matahari juga adalah area yang dapat

dilihat jelas, persepsi atas umur seseorang utamanya dipengaruhi oleh banyaknya

photodamage kulitnya. Respons terhadap kerusakan yang diinduksi UV tampaknya

bergantung pada tipe kulit individu. Individu dengan tipe kulit III-V menunjukkan

respons hiperplastik memperlihatkan kulit tebal dan keras dengan keriput kesat.

Kadangkala, juga terdapat nodularitas halus (elastosis) dan komedo (maladie

de

Favre et Racouchot). Kulit terlihat hyperpigmented permanen atau kecoklatan

dengan corak kuning hingga kemerahan dan kulit memperlihatkan banyak makula

hyperpigmented ( lentigines). Keriput elastotik mencirikan photodamage kulit

pada individu bertipe kulit III-V. Secara klinis, mereka membentuk pola rhomboid

silang-menyilang dan kulit kasar memperlihatkan nodularitas halus.

Gambar 2.3 Keriput elastotik, menggambarkan adanya garis kerutan yang

dalam dan terdapat nodul penuaan.

Secara histologis, terdapat tebalan epidermis tak beraturan. Dermis papilla

memperlihatkan agregasi nodular elastotik abnormal berbentuk serabut hingga tak

berbentuk. Jumlah glikosaminoglikan dan proteoglikan pada zat dasar dermis

meningkat sedangkan serabut kolagen menurun dan sebagian terurai sebagai akibat

dari sintesis dan sekresi metalloproteinase pengurai matriks melalui induksi oleh

UV ( Kulms , 2000 )

Page 11: unud-222-1435371230-bab ii

11

Elastosis adalah suatu bahan yang terdiri dari jalinan massa besar dari

jaringan elastis yang terurai. Terdapat pita tipis yang mengandung suatu zat

eosinofilik yang utamanya terdiri dari glikosaminoglikan dan kolagen yang baru

terbentuk dan disebut Green zone. Zona ini dianggap sebagai suatu area tempat

berlangsungnya perbaikan aktif photodamage dan secara histologis mengingatkan

akan jaringan parut pada luka. Lebih dalam lagi pada dermis, serabut kolagen

tampak terurai, menggumpal dan terfragmentasi. Dermis juga sering memperlihatkan

banyak infiltrat inflamatorik yang terdiri dari mast cells, histiosit dan sel

mononukleus lain ( Fisher et al, 2002 ).

Ciri klinis dan histologis dari photodamage kulit diringkas pada tabel berikut

ini.

Tabel 2.2 Dampak klinis dan histologis dari photodamage ( dikutip dari Mina Yaar ,

2002 )

Abnormal Klinis Abnormal HistologisKering ( Kasar )

Actinic Keratoses

IRREGULER PIGMENTASI

1. Freckles

2. Lentigo

3. Hipomelanosis gutata

4. Hiperpigmentasi persisten

Kerutan

Pseudoscar stelata

Nodul

InelastisitasTelangiektasiaVenous LakePurpura ( Gampang Memar )Makrokomedo ( maladie de Favre et Racouchot )

Peningkatan kompaksi dari stratum korneum, ketebalan lapisan granular sel meningkat,berkurangnya kadar mucin epidermis

Atipik nuklear; maturasi keratinosit secara progressif; epidermal hyperplasia yang tidak beraturan dan atau hypolasia; kadang terdapat inflamasi dermis.

Peningkatan jumlah dari hypertrofi, dopa-positif melanosit secara kuatElongasi dari rete ridge epidermal ; peningkatan jumlah dan melanisasi dari melanositPenurunan jumlah dari melanosit atipikPeningkatan jumlah dopa-positif melanosit dan peningkatan content melanin tiap unit area; peningkatan jumlah melanofag dermal

Penurunan dan degradasi kolagen; peningkatan matrix-degradasi metaloproteinase ; kontraksi dari septa yang ada di subkutan.Kehilangan pigmentasi epidermal;colagen dermis terpecah pecah

Agregasi nodular dari jaringan fibrotik menjadi suatu elastotic material pada papilary dermisDermal elastotikPelebaran pembuluh darah di wajah diikuti dengan atropi dinding pembuluh darahnya.Pelebaran pembuluh darah yg lebih besar dengan atropi dinding pembuluhnya.Ektravasasi dari eritrosit dan peningkatan inflamasi perivaskularPelebaran porsi superfisial dari folikel pilosebaceous

Hyperplasia konsentrik dari kelenjar sebaseus

Page 12: unud-222-1435371230-bab ii

12

Hyperplasi sebaceous

Salah satu ciri histologis paling menyolok dari photodamage adalah solar elastosis

Premalignant neoplasma: Actinic Keratosis

Actinic keratosis merupakan neoplasma epidermis yang memperlihatkan

proliferasi keratinosit yang sitologinya abnormal. Secara klinis, mereka terlihat

sebagai makula dan papula erythematous dengan sisik kasar yang melekat pada

latar kulit yang mengalami photodamage. Keratinosit abnormal pada actinic

keratosis diakibatkan oleh mutasi terinduksi UV pada gen supresor tumor p53

( Ortonne, 2002 ). Adanya mutasi p53 memungkinkan sel yang terpengaruh

untuk berproliferasi meski terus mengalami kerusakan DNA, sehingga berisiko

Gambar 2.4. Gambaran Histologis Photodamage. Pewarnaan HE menunjukkan adanya masa keunguan yang meliputi serat fibrotik, lapisan subepidermal yang tipis yang disebut ‘Green Cone’ tampak terlihat jelas ( diambil dari Mina Yaar,2002 )

Page 13: unud-222-1435371230-bab ii

13

membentuk mutasi lain dan pada akhirnya berkembang menjadi squamous cell

carcinoma.

2.1.5 Kemunduran fungsi kulit terkait usia

1. Penggantian sel dan penyembuhan luka

Keratinosit mencakup 90% populasi sel epidermis. Seiring waktu, mereka

kehilangan kapasitas proliferatifnya, dan kemampuan untuk berdiferensiasi

terminal sebagaimana mestinya untuk membentuk stratum korneum protektif

( Granstein, 2003 ) , serta kemampuan untuk mengelaborasi sitokin dan sinyal

antar sel lain sebagai respons terhadap stimulus lingkungan ( Yaar, 2004 ).

Pemburukan ini mungkin ikut menyebabkan lambatnya penyembuhan trauma

minor dan parut bedah yang lebih lemah, maupun juga kecenderungan terhadap

tidak sembuhnya ulkus. Terancamnya penyembuhan luka tampaknya juga

dipengaruhi oleh penurunan fungsi makrofag dan sel T yang kemampuannya

untuk menembus dasar luka terancam. Ini diperparah oleh penurunan fungsi

produksi kemokin ( Swift, 2001 ) dan penurunan inflamasi neurogenik yang

disertai oleh penurunan sintesis dan sekresi neuropeptide, semuanya penting

untuk perbaikan jaringan yang sesuai.

2. Fungsi Sensorik

Seiring penuaan, terjadi peningkatan persepsi sensorik terhadap sentuhan

ringan, sensasi getar, kemampuan untuk membedakan dua titik dan ketajaman

spasial, serta peningkatan ambang sakit. Mekanisme pasti yang mendasari

perubahan ini belum dipahami secara menyeluruh, beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pada orang berusia 60 tahun keatas terjadi penurunan

densitas serabut syaraf ber-myelin maupun tanpa myelin yang mengirimkan

sensasi panas dan bahaya. Selain itu, terjadi penurunan sintesis dan transpor

Page 14: unud-222-1435371230-bab ii

14

beberapa neuropeptide seperti zat P dan calcitonin gene-related peptide. Secara

keseluruhan, perbedaan persepsi sensorik antara individu muda dan tua tampak

sangat besar jika stimulus durasinya pendek dan jika stimulus tersebut

melibatkan ekstremitas ( Khalil ,1996 ).

3. Perbaikan Kerusakan DNA

Terdapat dokumentasi yang jelas bahwa frekuensi kerusakan dan mutasi

DNA meningkat seiring usia. Meski akumulasi mutasi dapat diakibatkan oleh

berjalannya waktu saja, data menunjukkan bahwa kapasitas untuk memperbaiki

kerusakan DNA menurun seiring usia. Kapasitas untuk memperbaiki DNA

diketahui turun sebesar 0,61% per tahun pada limposit darah periferal, dan orang

yang mengidap basal cell carcinoma (BCC) pada usia lebih muda mengalami

penurunan kapasitas perbaikan dibanding individu yang mengidap BCC pada usia

lebih tua. Ini dapat diakibatkan oleh penurunan terkait usia dalam hal kadar

protein yang ikut serta dalam perbaikan eksisi nukleotid, sebagaimana dilaporkan

untuk fibroblast dermis tua ( Goukassan, 2000 ).

4. Fungsi Imun

Seiring penuaan, terjadi penurunan jumlah Langerhans cells epidermis, yakni

sel efektor pembawa antigen imun pada kulit ( Yaar, 2003 ). Terjadi juga

penurunan produksi sitokin epidermis yakni interleukin (IL-1α) dan akibatnya

terjadi produksi sitokin yang antara lain meliputi IL-6, granulocyte-macrophage

colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-8 . Bukti menunjukkan bahwa

seiring penuaan, imunitas yang diperantarai sel maupun imunitas humoral

mengalami pemburukan, dengan sel T memperlihatkan penurunan kapasitas

proliferatif dan produksi sitokin sebagai respons T dan kegagalan untuk

Page 15: unud-222-1435371230-bab ii

15

menyeleksi antigen-activated B-cells pada pusat-pusat germinal dari lymph

nodes.

Penurunan ini mengancam sistem imum manula, membuat mereka lebih

rentan terhadap infeksi dan, sebagai akibat dari penurunan pengawasan imun,

mungkin juga lebih rentan terhadap terjadinya kanker.

5. Produksi Vitamin D

Epidermis manusia berperan dalam produksi bentuk aktif vitamin D, yakni

1,25(OH)2D3. Disamping perannya dalam homeostasis kalsium dan pemeliharaan

tulang, juga terlibat dalam proses imun, mempengaruhi fungsi makrofag dan

mengatur pelepasan sitokin inflamatorik. Dalam konteks ini, penting untuk

dicatat bahwa individu tua mengalami penurunan kadar vitamin D serum,

sebagian disebabkan oleh penurunan konsumsi vitamin D dalam diet mereka, dan

sebagian disebabkan oleh kurangnya paparan sinar matahari. Selain itu, kadar

prekursor vitamin D pada epidermis, yakni D-7 dehydrocholesterol per unit

permukaan kulit, menurun secara linear sebesar kira-kira 75% antara masa

dewasa awal dan akhir, menunjukkan bahwa disebabkan oleh kurangnya

prekursor, individu tua bisa gagal dalam mensintesis 1,25(OH)2D3 dalam jumlah

cukup. Suplementasi vitamin D dan kalsium dengan demikian sangat penting

pada segmen populasi ini ( Yaar , 2003 ).

Untuk menyelidiki hubungan antara tingkat vitamin Dphotodamage dan 25(OH)

di kulit akibat UV, dilakukan studi Cross-sectional pada 45 wanita berusia > 40

tahun . Status menopause, merokok, riwayat kanker kulit, penggunaan suplemen

oral , dan diukur kadar serum 25 (OH) D . Pertama , kulit dievaluasi standar dengan

gambar wajah digital untuk keseluruhan photodamage, eritema/telangiectasias,

hiperpigmentasi, jumlah lentigines, dan kerutan. Perempuan dengan photodamage

Page 16: unud-222-1435371230-bab ii

16

skor lebih rendah yang terkait dengan peluang peningkatan 5-fold menjadi vitamin D

tidak cukup (atau 5.0, 95% CI: 1.1, 23). Skor yang didapat untuk parameter tertentu

yaitu photodamage , kerut dan termasuk eritema/telangiectasias, hiperpigmentasi,

yang juga secara signifikan dikaitkan dengan kekurangan vitamin D. Hasil tersebut

menunjukkan hubungan antara penuaan kulit dan 25 tingkat D-OH ( Chang , 2010).

2.2. Sel Punca ( Stem cell )

Sel punca, lebih dikenal dengan nama Stem cell merupakan sel yang belum

berdiferensiasi dan mempunyai potensi untuk dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel lain.

Potensi tersebut memungkinkan sel induk menjadi sistem perbaikan tubuh dengan

menyediakan sel baru selama organisme bersangkutan itu hidup.

Sel Punca merupakan dasar dari kehidupan, dikemukakan oleh Rudolph Virchow

bahwa ‘ All Cell come from Cells ‘. Stem cell merupakan sel tunggal yang dapat

mengubah diri menjadi sel yang spesifik, baik dari jaringan embrio maupun dewasa, yang

dikenal dengan totipoten.

Perkembangan sel punca sebagai terapi sel semakin mendapat perhatian dari sejumlah

peneliti yang ada di seluruh dunia. Berbagai kemajuan dan manfaat yang telah

dipublikasikan secara ilmiah juga sudah dapat dirasakan oleh masyarakat dunia. Selain itu

juga mengundang sejumlah kontroversi yang secara etika belum dapat diterima di

sebagian negara.

Sel Punca dapat berdiferensiasi menjadi lebih dari satu jenis sel, satu

karakteristik yang disebut dengan plastisitas. Plastisitas sel punca variasi bergantung

pada apakah ia berasal dari embrio ataukah dari organisme dewasa. Sel punca dari

Page 17: unud-222-1435371230-bab ii

17

embrio biasanya mempunyai plastisitas lebih besar dibanding dari organisme

dewasa, meski perbedaan ini bisa berubah dalam waktu tak lama. Sepanjang dekade

1990-an, ketika para ilmuwan meneliti stem cell dari hewan pengerat, beberapa

protokol standar dikembangkan untuk membiakkan, menguji, dan memanipulasi

sel ini. Stem cell lain, dari spesies berbeda atau dari jaringan dewasa, kini diteliti

dengan menggunakan protokol itu, sehingga satu jenis stem cell dapat mudah

dibandingkan dengan jenis lain. Protokol tersebut meliputi perilaku stem cell

secara in vivo (didalam organisme hidup) dan in vitro (dalam kultur sel).

Karakteristik in vitro yang paling penting meliputi kemampuan sel untuk

berproliferasi (tumbuh dan membelah) selama kurun waktu tak terbatas sekaligus

mempertahankan fenotip embrio. Fenotip yang digunakan dalam konteks ini

mengacu pada semua karakteristik yang bisa diamati pada sel: bentuk atau

morfologinya , perilakunya yaitu dalam berinteraksi dengan sel lain dan caranya

dalam berkomunikasi dengan sel itu dan terakhir, komposisi glycocalyx, yakni

massa padat molekul yang menutupi permukaan semua sel. Glycocalyx bervariasi

bergantung pada status diferensiasi sel. Tipe protein yang melekat pada membran

dari suatu sel embrio berbeda dari tipe protein yang melekat pada membran dari sel

dewasa yang berdiferensiasi penuh. Dengan kata lain, diferensiasi suatu sel adalah

terkait dengan restrukturisasi dan maturasi glycocalyx ( Stewart Sell, 2004).

Karakteristik in vitro penting dari stem cell adalah kemampuannya untuk

berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel. Diferensiasi bisa terjadi secara spontan

atau melalui suatu proses yang disebut dengan diferensiasi terarah, yang terjadi jika

sel dibiarkan saling berkontak, atau jika growth factor tertentu dimasukkan ke

medium kultur. Perilaku in vivo bakal stem cell diketahui dengan mengisolasi sel

Page 18: unud-222-1435371230-bab ii

18

tersebut dan kemudian menginjeksikan mereka ke seekor mencit untuk mengetahui

mereka akan berdiferensiasi.

Gambar 2.5 Diagram diferensiasi Stem Cell Embrio dan progenitornya (dikutip dari

Stem cell Handbook, Stewart Sell ,2004)

Berdasarkan statistik yang ada, penelitian ilmiah dengan menggunakan Adult stem

cell ini hampir menembus angka 1373, dibanding dengan Embryonic stem cell,

dikarenakan dari segi etika dan kesulitan untuk mendapatkan sel progenitor .

Sampai saat ini , progenitor sel dari bone marrow dipercayai bersifat pluripoten, dapat

berkembang menjadi sel stromal dan limfosit, sebagaimana yaitu RBC, white blood cells

(WBCs), dan megakariosit (Platelets) . Selain sebagai prekursor pada susunan

hematopoetik, bone marrow juga mengandung mesenkim sel progenitor yang dapat

berkembang juga menjadi tipe sel yang lain seperti osteosit, sel otot, astrosit dan neuron

seperti halnya sel stromal sebagai pendukung hematopoesis.

2.2.1 Stem cell ( sel punca ) Embrio

Stem cell yang paling akhir adalah adalah telur yang sudah dibuahi, yang karena

totipotent, dapat menghasilkan organisme lengkap yang terdiri dari ratusan jenis sel.

Page 19: unud-222-1435371230-bab ii

19

Blastomer amfibi, dari embrio dua atau empat sel, juga mempertahankan totipotensi

mereka dan merupakan contoh yang tepat untuk stem cell embrio ( Shi et al, 2006 ).

Stem cell embrio mamalia diperoleh hanya dari inner mass cell (ICM)

blastocyst, dan jika dimasukkan dalam kultur sel, mereka dapat berdiferensiasi

menjadi banyak jenis sel, mewakili tiga lapisan germ embrio (ectoderm, mesoderm,

dan endoderm). Tetapi, sesudah asosiasi antara ICM dan trophoblast terganggu

(seperti ketika stem cell embrio dimasukkan dalam kultur), stem cell embrio tidak

dapat berkembang menjadi embrio. Karena alasan ini, mereka dikatakan pluripoten

bukan totipoten. Dalam kultur, stem cell embrio hidup selamanya, berproliferasi

selama jangka waktu tak terbatas yang selama itu mempertahankan fenotip embrio

( Shi et al, 2006 ).

Dalam percobaan lain, stem cell embrio diletakkan dalam piring kultur dan

dibiarkan untuk berdiferensiasi secara spontan (dalam hal ini, sel dikatakan telah

berdiferensiasi secara in vitro). Tahapan pertama dan sangat penting pada

diferensiasi in vitro melibatkan agregasi sel menjadi gumpalan kecil yang disebut

embryoid bodies. Kontak diantara sel diperlukan agar diferensiasi terjadi dan

mengulang peristiwa embriogenesis normal, dimana kontak dan interaksi antar sel

diantara ketiga lapisan germ menentukan nasib perkembangan sekelompok sel

tertentu ( Shi et al, 2006 ).

Dalam kultur, komunikasi antar sel didalam embryoid body mengakibatkan

pembentukan neuron, sel kulit, jaringan otot kontraksi, dan jenis sel lain. Meski

embryoid body mempunyai organisasi yang longgar, beberapa diantara mereka mirip

blastocyst.

Ketika stem cell embrio yang dikulturkan beragregasi membentuk embryoid

body, atau teratoma, mereka mencoba untuk membentuk gastrula dan ketiga lapisan

Page 20: unud-222-1435371230-bab ii

20

germ, sebagaimana yang mereka lakukan selama perkembangan embrio normal.

Tetapi tanpa trophoblast disekeliling mereka dan sinyal yang biasa mereka terima

sesudah menempel pada dinding uterus, sel ini seperti anak kecil yang mencoba

untuk menemukan jalan pulang di malam yang gelap. Sel tersebut kehilangan

“penglihatan”, dan tidak mempunyai peta yang memandunya. Sel punca dapat

membuat semua sel yang akan selalu dibutuhkan oleh tubuh, tetapi mereka tidak

tahu dimana sel tersebut akan diletakkan atau cara untuk menghubungkan mereka

( Shi et al, 2006 ).

Tabel 2.3 Stem cell embrio

SEL-SEL YANG DIPRODUKSI MELALUI DIFERENSIASI STEM CELL EMBRIO

Jenis Sel Deskripsi

Adiposit Sel yang membuat dan menyimpan senyawa lemak

Astrosit Tipe sel glia (lem) yang menopang neuron secara struktural dan metabolik

Kardiomiosit Sel yang membentuk jantung; juga disebut dengan miosit

Condrosit Sel yang membuat tulang rawan

Sel dendritik Sel pembawa antigen pada sistem imun

Sel endotel Sel yang membentuk lapisan bagian dalam (endothelium) semua pembuluh darah

Sel hematopoietik ss yang berdiferensiasi menjadi sel darah merah dan putih

Keratinosit Sel yang membentuk rambut dan kuku

Mast cell Dikaitkan dengan jaringan konektif dan pembuluh darah

Neuron Sel yang membentuk otak, spinal cord, dan sistem syaraf peripheral

Oligodendrosit Sel glia pembentuk myelin pada sistem syaraf pusat

Osteoblast Menghasilkan osteoblast, atau sel pembentuk tulang

Pancreatic islet cells Sel endokrin yang mensintesis insulin

Otot halus Otot yang melapisi pembuluh darah dan saluran pencernaan

2.2.2 Stem cell dewasa

Belum lama ini, para ilmuwan meyakini semua perbaikan tubuh dewasa

Page 21: unud-222-1435371230-bab ii

21

dilaksanakan oleh jaringan yang rusak: Jika kulit teriris, sel kulit lain disepanjang

area yang rusak akan membelah dan bermigrasi untuk menutup luka tersebut; jika

kaki patah, maka kondrosit (sel pembentuk tulang) akan memperbaiki kerusakan

tersebut. Organ lain, seperti otak dan jantung, diduga tidak mampu memperbaiki diri

sendiri, karena miosit dan neuron diketahui sebagai sel post-mitosis.

Meski stem cell embrio didefinisikan dan diidentifikasikan melalui isolasi dari

ICM blastocyst, identifikasi stem cell dewasa dan penentuan asalnya sangatlah sulit

dilakukan. Beberapa ahli mengemukakan bahwa mereka adalah sel embrio, yang

disisihkan selama perkembangan tiap jaringan, sedangkan ahli lain meyakini mereka

mungkin adalah bagian dari suatu populasi migran sel embrio yang yang mendiami

berbagai bagian tubuh selama proses neurulasi dan organogenesis. Kemungkinan

yang ketiga adalah bahwa stem cell dewasa diproduksi sesudah perkembangan embrio

selesai melalui de-diferensiasi sekelompok sel pilihan didalam berbagai jaringan

tubuh. Tidaklah jelas mengapa sel-sel ini mampu memperbaiki beberapa jaringan

tetapi tidak mampu memperbaiki jaringan yang lain

( Shi et al, 2006 ).

Tabel 2.4 Stem cell dewasa

JARINGAN DAN ORGAN DEWASA YANG DIKETAHUI MENGANDUNG STEM CELL

Asal Deskripsi

Otak Stem cell otak dapat berdiferensiasi menjadi ketiga jenis jaringan syaraf astrosit,

oligodendrosit, dan neuron dan, pada beberapa kasus, prekursor sel darah.

Sumsum tulang Ini terdapat sebagai stem cell hematopoietik, yang menghasilkan semua sel darah, dan sebagai sel stoma, yang berdiferensiasi menjadi tulang rawan dan tulang.

Endothelium Stem cell ini disebut hemangioblast dan diketahui berdiferensiasi menjadi pembuluh darah dan kardiomiosit. Mereka bisa berasal dari sumsum tulang, tetapi ini belum pasti.

Otot kerangka Stem cell ini bisa diisolasi dari otot atau sumsum tulang. Mereka memperantarai pertumbuhan otot dan bisa berproliferasi sebagai respons terhadap injuri atau aktivitas fisik (exercise).

Kulit Stem cell kulit dikaitkan dengan sel epitel, sel epidermis, sel folikel rambut, dan lapisan dasar epidermis.

Sistem pencernaan Terletak di rongga usus, atau invaginasi. Stem cell ini bertanggung jawab meremajakan lapisan epitel usus.

Page 22: unud-222-1435371230-bab ii

22

Pankreas Banyak jenis sel ini diyakini ada, tetapi contoh-contohnya belum diisolasi. Beberapa

stem cell syaraf diketahui menghasilkan sel β pankreas.

Liver Identitas stem cell liver masih belum jelas. Stem cell dari sumsum tulang bisa memperbaiki beberapa kerusakan liver, tetapi sebagian besar perbaikan tampaknya dilaksanakan oleh hepatosit (sel liver) itu sendiri.

Plastisitas sel punca dewasa tampaknya lebih rendah dibanding

plastisitas sel punca embrio. Perbedaan ini ditunjukkan dengan mengetahui

nasib kedua jenis sel tersebut sesudah diinjeksikan ke dalam mencit. Stem cell

embrio, karena belum berdiferensiasi, tidak memperlihatkan kecenderungan

untuk menemukan “rumah” yakni, untuk kembali ke jaringan asal mereka.

Sebaliknya, stem cell dewasa telah cukup berdiferensiasi sehingga mereka tahu

dimana rumahnya, dan disitulah mereka berkumpul: Stem cell yang berasal dari

sumsum tulang kembali ke sumsum tulang, dan stem cell yang berasal dari

syaraf bermigrasi ke otak atau spinal cord. Dalam kultur, stem cell embrio dapat

berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, mewakili semua lapisan germ,

sedangkan stem cell (sel punca) dewasa berdiferensiasi menjadi lebih sedikit

ragam sel, mewakili satu atau dua lapisan germ.

Page 23: unud-222-1435371230-bab ii

23

Gambar 2.6 Sejarah pemanfaatan stemcell, dikutip dari

http://okebanget.net/2009/05/18/kultur-sel-sebagai-teknik-pengobatan-di-masa-depan/

Stem cell dewasa pertama yang ditemukan pada sumsum tulang dan

diketahui bertanggung jawab mengisi kembali sel darah. Sebelum penemuan stem

cell, sel darah diasumsikan hanya digantikan oleh sel precursor yakni sel yang

dapat menjadi dewasa menjadi sel darah tetapi tidak dapat berdiferensiasi

menjadi jenis sel lain. Stem cell dewasa lain, yang ditemukan di kulit, bisa

terlibat dalam perbaikan luka. Pada sebagian besar kasus, pembelahan dan

pergerakan sel kulit memperbaiki luka gores, sedangkan luka yang lebih dalam

bisa mengaktifkan stem cell untuk memperbaiki kerusakan. Roh dan Lyle pernah

membuktikan sel punca yang diambil dari bulge region dapat berdiferensiasi menjadi

folikel rambut, sel epidermal dan kelenjar sebacea secara in vitro ( Roh , 2006 )

Keberadaan stem cell dewasa sangatlah penting, karena penggunaan

mereka untuk mengobati penyakit menghilangkan masalah etika yang terkait

dengan penggunaan stem cell embrio. Keterbatasan plastisitas stem cell dewasa

menjadi penghalang utama yang harus diatasi sebelum mereka akan menjadi

alternatif praktis atas stem cell embrio, tetapi banyak ahli yakin prestasi ini akan

dicapai ketika penelitian tentang sel ini yang dipelihara dalam kultur jaringan,

akan meningkat.

2.2.2.1 Hematopoetic stem cells

HSC (Hematopoetic Stem cell) adalah sel yang diisolasi dari darah dan bone

marrow yang dapat menggantikan diri sendiri, dapat berdiferensiasi menjadi varian dari

sel tertentu, dapat berpindah keluar dari bone marrow menuju sirkulasi darah,dan dapat

mengalami kematian sel, dinamakan apoptosis yaitu suatu proses dimana sel akan

Page 24: unud-222-1435371230-bab ii

24

mengalamai kemunduran atau kerusakan karena tidak digunakan. HSC ditemukan pada

bone marrow dewasa, termasuk femur, panggul, iga, tulang dada dan lainnya. Sumber

lainnya yang digunakan dalam klinis dan penelitian termasuk juga darah tali pusat,

plasenta, darah perifer. Untuk keperluan eksperimen, hati dan limpa bayi dari binatang

berkemampuan sebagai sumber dari HSC.

Secara umum problem dalam pemeriksaan stem cell ini adalah mengidentifikasi stem

cell progenitor jangka panjang dan jangka pendek dikarenakan sulit, mahal , dan memakan

waktu serta tidak dapat dilakukan pada manusia. Dibeberapa penelitian dikatakan bahwa sel

yang ditest pada kultur memiliki kemampuan membentuk asal usul dan koloni koloni dari sel,

akan tetapi ragam test tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti bahwa merupakan stem cell

jangka panjang.

Kesulitan pada penentuan HSC meliputi dua hal yang selalu timbul dalam penelitian :

1. Identifikasi pasti dari HSC,

2. Membuat proliferasi atau meningkatkan jumlah sel pada media kultur.

Gambar 2.7 Diferensiasi dari Hematopoetic dan Stromal Stem Cell ( dikutip dari

http/stemcell information.com , chapter 5, 2010 )

Page 25: unud-222-1435371230-bab ii

25

Irving Weissman di Universitas Stanford pertama kali mengisolasi sel

hematopoetik tikus tahun 1988, juga orang pertama yang dapat membedakan Stem

cell Jangka Panjang (LT-HSC) dan Jangka Pendek (ST-HSC).

Gambar 2.8 Diferensiasi Hematopoetic Stemcell dikutip dari Stem Cell & Anti Cancer

Technology for Better life.

2.3 Stem cell “ Niche “

Stem cell niche adalah frase yang dipakai secara umum dalam komunitas ilmiah

untuk menjelaskan lingkungan mikro dimana stem cells ditemukan, yang

berinteraksi dengan stem cells untuk meregulasi nasib stem cells. Kata ‘niche’

dapat mengacu pada lingkungan mikro stem cells in vivo atau in vitro. Selama

perkembangan embrio, berbagai faktor niche bekerja terhadap stem cells embrio

untuk mengubah ekspresi gen, dan menginduksi proliferasi dan diferensiasi untuk

perkembangan fetus. Dalam tubuh manusia, stem cell niche mempertahankan stem

cells dewasa dalam keadaan diam, namun sesudah trauma jaringan, lingkungan mikro

sekitarnya aktif mengirim sinyal ke stem cells untuk memacu peremajaan diri atau

diferensiasi membentuk jaringan baru.

Page 26: unud-222-1435371230-bab ii

26

Beberapa faktor berperan penting meregulasi karakteristik stem cells di dalam

niche ini adalah interaksi antar sel baik diantara stem cells, maupun juga interaksi

antara stem cells dan sel sekitar yang sudah berdiferensiasi, interaksi antara stem

cells dan molekul adhesi, komponen matriks ekstraselular, oksigen, growth factor,

sitokin, dan faktor ikatan-kimia lingkungan seperti pH, kuat ion (contohnya,

konsentrasi Ca2+) dan metabolit, seperti ATP, juga penting. Stem cells dan niche bisa

saling menginduksi selama perkembangan dan saling mengirim sinyal secara timbal-

balik selama masa dewasa ( Scadden , 2006 )

Para ilmuwan kini tengah mempelajari berbagai komponen niche dan mencoba

untuk mereplikasi kondisinya in vivo secara in vitro. Ini karena, untuk terapi

regenerasi, proliferasi dan diferensiasi sel harus dikendalikan dalam flask atau plat,

sehingga tipe sel yang tepat diproduksi dalam jumlah cukup sebelum dimasukkan

kembali ke pasien untuk terapi.

Stem cells pada embrio manusia sering dibiakkan dalam media yang ditambah

dengan fetal bovine serum berkandungan fibroblastic growth factor-2. Mereka

dibiakkan pada lapisan feeder dari sel, yang diyakini mendukung pemeliharaan

karakteristik pluripotent dari stem cells embrio. Tetapi, kondisi ini pun tidak bisa

seluruhnya meniru kondisi niche in vivo.

Stem cells dewasa tetap dalam kondisi belum berdiferensiasi sepanjang

kehidupan dewasa. Tetapi, ketika mereka dikulturkan secara in vitro, mereka sering

mengalami proses ‘penuaan’ dimana morfologi mereka berubah dan kemampuan

proliferasi mereka menurun. Kondisi kultur yang benar untuk stem cells dewasa

diyakini harus disempurnakan sehingga stem cells dewasa dapat terus

mempertahankan ‘stemness’ mereka.

Page 27: unud-222-1435371230-bab ii

27

Sebuah tinjauan di Nature Insights mendefinisikan niche sebagai berikut:

“Populasi stem cells terbentuk di ‘niche’ yaitu lokasi anatomik spesifik yang

meregulasi bagaimana mereka ikut serta dalam pembentukan, pemeliharaan dan

perbaikan jaringan. Niche menyelamatkan stem cells dari pengosongan, sekaligus

melindungi induk dari proliferasi stem cells yang terlalu banyak. Merupakan unit

dasar dari fisiologi jaringan, mengintegrasikan sinyal yang memperantarai respons

seimbang stem cells terhadap kebutuhan organisme. Namun bisa juga menginduksi

patologi dengan memaksakan fungsi menyimpang terhadap stem cells atau target

lain. Interaksi antara stem cells dan niche mereka menciptakan sistem dinamis yang

diperlukan untuk menyokong jaringan, dan pada akhirnya untuk desain terapeutik

stem cells ( Scadden, 2006 ).

2.3.1 Sejarah stem cell ‘ niche ‘

Meski konsep stem cell niche berlaku pada vertebrata, karakterisasi pertama

terhadap stem cell niche in vivo dilaksanakan pada perkembangan germinal

Drosophila. Germline stem cells (GSCs) ditemukan pada organisme yang terus-

menerus memproduksi sperma dan telur sampai mereka steril. Stem cells yang

berspesialisasi ini terletak di GSC niche, yakni lokasi awal untuk produksi gamet,

yang terdiri dari GSCs, stem cells somatik, dan sel somatik lain. Secara khusus, GSC

niche dikaji secara mendalam pada organisme model genetik Drosophila

melanogaster dan memberikan pemahaman yang luas mengenai basis molekular dari

regulasi stem cells.

Pada Drosophila melanogaster, GSC niche terletak pada bagian paling anterior

dari tiap ovariole, yang dikenal sebagai germarium. GSC niche terdiri dari somatic

cells-terminal filament cells, cap cells, escort cells, dan stem cells lain yang berfungsi

mempertahankan GSCs ( Xie et al, 2000 ). GSC niche mengandung rata-rata 2-3

Page 28: unud-222-1435371230-bab ii

28

GSCs, yang langsung melekat ke somatic cap cells dan escort cells, yang

mengirimkan sinyal secara langsung ke GSCs. GSCs mudah diidentifikasi melalui

histological staining terhadap protein vasa (untuk mengidentifikasi germ cells) dan

protein 1B1 (untuk mengetahui bentuk luar dari struktur sel dan struktur fusome

spesifik germline). Perlekatan fisik mereka ke cap cells diperlukan untuk

pemeliharaan dan aktivitas mereka ( Song et al, 2009 ).

2.3.2 Mekanisme Molekular pada Germ Stem Cells

Sinyal Sistemik yang Meregulasi GSCs yaitu diet atau insulin-like signaling

mengendalikan proliferasi GSCs secara langsung pada Drosophila melanogaster.

Diet meningkatkan kadar Drosophila insulin-like peptide (DILP) menyebabkan

peningkatan proliferasi GSCs. Up-regulasi DILPs pada GSCs tua dan niche mereka

menyebabkan peningkatan pemeliharaan dan proliferasi. DILPs juga terbukti

meregulasi kuantitas cap cells dan meregulasi perlekatan fisik GSCs ke cap cells

( Hsu, 2009 ).

Mekanisme Peremajaan pada stem cells dibagi dua, yakni pembelahan simetri

GSCs atau de-diferensiasi cystoblast. GSCs biasanya membelah secara asimetris

untuk memproduksi satu cystoblast anakan, tetapi ada pendapat yang menyatakan

bahwa pembelahan simetris dapat terjadi pada dua sel anakan yang tetap menjadi

GSCs ( Pan et al, 2007 ) . Jika GSCs dibuang untuk menciptakan niche kosong dan

cap cells masih ada dan mengirimkan sinyal pemeliharaan, maka cystoblast yang

sudah berdiferensiasi dapat direkrut ke ceruk itu dan berde-diferensiasi menjadi

GSCs fungsional.

Ketika betina Drosophila mengalami penuaan, stem cell niche mengalami

hilangnya keberadaan dan aktivitas GSCs secara age-dependent. Kehilangan ini diduga

disebabkan oleh penguraian beberapa faktor pensignalan penting dari niche yang

Page 29: unud-222-1435371230-bab ii

29

mempertahankan GSCs dan aktivitas mereka. Penurunan aktivitas GSCs sebagian

dapat disebabkan oleh adanya reduksi aktivitas jalur pensinyalan pada GSC niche yaitu

reduksi penyinalan Dpp dan Gbb akibat penuaan. Selain penurunan sinyal yang

berasal dari niche, GSCs mengalami penuaan secara intrinsic yaitu ada reduksi adhesi

GSCs ke cap cells secara age-dependent dan ada akumulasi reactive oxygen species

(ROS) yang menyebabkan kerusakan selular yang ikut andil dalam menyebabkan

penuaan GSCs. Ada reduksi jumlah cap cell dan perlekatan fisik GSCs ke cap cells

akibat penuaan. Shg diekspresikan dengan kadar lebih rendah secara signifikan pada

GSC niche tua dibanding GSC niche muda ( Pan et al, 2007 ).

2.4 Kulit Sebagai Organ Limfoid

Kulit merupakan alat tubuh terluas yang berperan dalam sawar fisik terhadap

lingkungan dan inflamasi. Banyak antigen asing masuk tubuh melalui kulit dan respons

imun sudah diawali di kulit. Kulit terdiri atas lapisan dermis dan epidermis. Epidermis yang

merupakan bagian terluar mengandung keratinosit, melanosit, sel langerhans, sel T dan

dermis mengandung sel T intraepitel dan makrofag.

Gambar 2.9 Kulit sebagai organ limfoid ,Dikutip dari Karnen Garna Baratawidjaja,

Imunologi Kulit , 2004

Page 30: unud-222-1435371230-bab ii

30

Antigen Presenting Cell (APC)/Sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag,

sel T yang memiliki TCR dan Fc-R memberikan spesifitas dari respon imun.

Limfosit epidermal yang merupakan sekitar 2% dari limfosit kulit (sisanya didalam

dermis) terbanyak berupa sel T CD 8+. Sel T intradermal mengekspresikan reseptor

yang lebih terbatas dibanding dengan sel T di luar kulit.

2.4.1 Sel Langerhans

Sel Langerhans ditemukan tersebar diseluruh epidermis dalam stratum Malphigi

merupakan suatu antigen dendritik proses dan presenting sel di epidermis. Jumlah sel

ini sekitar 2 sampai 8 persen dari total populasi sel di epidermis. Sel

dendritik di epidermis, yang berisi butiran besar disebut butiran Birbeck. Mereka

biasanya hadir dalam kelenjar getah bening dan organ lainnya, termasuk stratum

spinosum lapisan epidermis. Mereka bisa ditemukan di tempat lain, terutama dalam

hubungannya dengan kondisi histiocytosis ( Valladeau, 2003 ).

Sel tersebut berperan dalam induksi aktivasi sel T pada dermatitis alergi,

dermatitis kontak, penolakan transplantasi dan respon imun lainnya, baik normal

maupun patologik. Sel Langerhans/ sel dendritik yang ditemukan di bagian suprabasal

epidermis merupakan sel dendritik imatur dari sistem imun kulit ( Karnen, 2004 ).

Sel Langerhans hanya merupakan kurang dari 1% populasi sel epidermis, namun

sel tersebut tersusun serupa jala disamping mempunyai proyeksi sitoplasma sehingga

menempati 25% dari luas permukaan kulit dan memungkinkan menangkap antigen

yang masuk ke kulit dengan mudah. Pengaruh dari sitokin proinflamasi, sel

langerhans mulai diaktifkan dan melepaskan diri dari susunan jala untuk bermigrasi

ke dermis dan memasuki sistem aferen limfatik, dan masuk ke kelenjar getah bening

Page 31: unud-222-1435371230-bab ii

31

untuk berpartisipasi dalam respon imun primer dan mempresentasikan antigen ke sel

T ( Karnen, 2004 ).

Sel Langerhans ini dinamai oleh Paulus Langerhans , seorang dokter

Jerman dan ahli anatomi , yang menemukan sel-sel pada usia 21, sementara dia

adalah mahasiswa kedokteran. Pada infeksi kulit, sel Langerhans setempat akan

mengambil dan proses mikroba antigen untuk menjadi fungsi menyajikan antigen-sel.

Umumnya, sel dendritik di jaringan yang aktif dalam penangkapan, pengambilan dan

pemrosesan antigen. Setelah sel dendritik tiba di jaringan limfoid sekunder, mereka

kehilangan sifat ini, sementara memperoleh kemampuan untuk berinteraksi

dengan sel-T naif.

Gambar 2.10 Representasi dari sel-sel Langerhans di Ontologi Cell. sel.

Dari Masci et al, 2009.

Sel Langerhans berasal dari diferensiasi selular dari monosit dengan penanda

"Gr-1" (juga dikenal sebagai "Ly-6G/Ly-6C"). Diferensiasi membutuhkan stimulasi

oleh faktor stimulasi koloni (CSF)-1 yang serupa dalam morfologi dan fungsi

makrofag ( Ginhoux et al, 2006 ) . Langerin adalah protein yang ditemukan dalam

sel-sel Langerhans dan jenis-jenis sel dendritik ( Jansson, 2008 ) .

Sel Langerhans ditemukan terbanyak dibagian tubuh yang banyak terpajan

dengan antigen. Oleh karena itu Sel Langerhans dipersenjatai dengan reseptor-

reseptor khusus seperti reseptor untuk manosa, dinding bakteri, IgG, dan IgE. Sel

Page 32: unud-222-1435371230-bab ii

32

Langerhans dapat mempresentasikan baik antigen ekstraselular yang MHC-II

dependen, maupun intraselular ( antigen dari sitosol, sel yang apoptosis dan dimakan,

sel alogenik ) yang MHC-I dependen.

Setelah memakan antigen, Sel Langerhans akan menginduksi sel T naif yang

berlokasi di kelenjar getah bening. Sel dendritik melepas sejumlah besar sitokin dan

kemokin. Pematangan sel dendritik diinduksi oleh berbagai rangsangan, beberapa dari

dalam sel ( sel nekrotis, mediator inflamasi seperti GM-CSF, IL-1b, TNF-alfa dan

PGE2 ), rangsangan lainnya yang berasal dari luar sel seperti mikroba ( LPS, dsRNA

virus, DNA Bakteri ).

2.4.2 Sel T helper ( Th )

Berbagai faktor berperan dalam pematangan sel Th0 untuk menentukan profil

respons imun yang akan terjadi ( profil Th1 atau Th2 ). Berbagai sel nonspesifik yaitu

makrofag, sel mast, sel NK atau sel epitel ikut berperan dalam menentukan profil

respons tersebut.

Faktor terpenting adalah sitokin sendiri, derajat faktor ko-stimulator asal sel

dendritik, densitas molekul MHC pada sel dendritik dan faktor genetik penjamu.

Dalam respons Th1, IL 12 merupakan produk sel dendritik terpenting. Sel

dendritik memproduksi IL-12, IL-18, dan IFN-γ dalam kadar yang tinggi. Pemberian

PGE dan IL-10 akan menurunkan produksi IL-2 dan menimbulkan switching

(pengalihan jalur respons) ke respon profil Th2. Produksi IL-6 yang berlebihan juga

berperan dalam respons Th2 ( Karnen, 2004 ).

2.5 Imunologi Darah

Page 33: unud-222-1435371230-bab ii

33

Semua sel darah dibentuk dalam sumsum tulang. Proses pembentukan

hematopoesis tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian. Setiap bagian melibatkan jenis sel

yang berbeda yaitu sel yang pluripoten (stem cell), sel progenitor dan sel matang.

Gambar 2.11 Tiga Tahap Hematopoesis ( dikutip dari Karnen Garna Baratawidjaja,

Imunologi Kulit ,2004 ).

Hematopoetik stem cell adalah pluripoten, berarti dapat berkembang menjadi

semua sel darah. HSC tidak mengekspresikan petanda spesifik seperti CD3 pada sel

T atau CD19 pada sel B, tetapi mengekspresikan molekul protein CD34. Selama

perkembangan embrionik, HSC bermigrasi ke hati dan sumsum tulang dan

selanjutnya diinduksi untuk berkembang atas pengaruh faktor pertumbuhan dalam

jaringan tersebut (CSF). SIH menjadi sel progenitor yang tidak terlalu primitif

dibanding sel HSC dan selanjutnya dapat berkembang menjadi sel yang khusus

( Karnen, 2004).

Page 34: unud-222-1435371230-bab ii

34

2.5.1. Sel progenitor

Ada 2 jenis sel progenitor yang dapat berkembang menjadi sel progenitor

limfoid dan myeloid. Sel – sel ini akan menjadi matang dan berdiferensiasi. Fase awal

perkembangan prekursor sel T ( timosit ) dipengaruhi IL-7 yang dilepas sel stroma

nonlimfoid sumsum tulang yang antara lain berupa makrofag dan adiposit.

Perkembangan sel B terjadi dalam sumsum tulang, sedang sel T berkembang dalam

timus dari prekursor timosit yang juga berasal dari sumsum tulang. Jalur

perkembangan sel NK belum diketahui.

2.5.1.1. Sel progenitor limfoid

Sel progenitor limfoid berkembang menjadi sel B dan sel T. Sel B merupakan

sel yang memproduksi antibodi, mengekspresikan imunoglobulin seperti reseptor

antigen spesifik bersama molekul lainnya seperti MHC-II dan molekul ko-reseptor

CD19. Sel T menyerupai sel B yang tidak dirangsang, kecil dengan nukleus besar dan

sitoplasma yang sedikit, dapat menjadi limfoblas bila dirangsang antigen banyak dan

organel. Sel T berkembang menjadi 2 subset sel yaitu CD4 + Th yang berkembang

menjadi sel Th1 dan Th2 dan CD8+ CTL/Tc. Sel T yang juga mengekspresikan

reseptor T spesifik yang berperan dalam proteksi spesifik terhadap infeksi virus dan

infeksi intraselular lain. Sel NK adalah limfosit yang berasal dari sel induk yang

berbeda dari sel B dan sel T merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik dan

menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan beberapa sel tumor.

Stimulasi sel Langerhans ( Sel Dendritik ) melalui Toll Like Receptors

(TLRs) menginduksi up-regulasi molekul MHC dan molekul ko-stimulatorik dan

sekresi beberapa sitokin, termasuk TNF-α, IL-12, IL-6, IL-10 dan type 1

interferon ( Iwasaki et al, 2004 ) .

Page 35: unud-222-1435371230-bab ii

35

Ada perbedaan ekspresi TLRs pada pDC, mDC darah dan mdDC ( Kurg et

al, 2001, Kadowaki et al,2001, Jarrossay, 2001 ) . pDC mengekspresikan TLR-1,

-7 dan -9, mDC darah mengekspresikan TLR-1, -2, -3, -5, -6, -8 dan -10, dan

mdDC mengekspresikan TLR-1, -2, -3, -4, -5, -6 dan -8. Baru-baru ini dilaporkan

persebaran TLR pada DC yang diisolasi langsung dari kulit, tetapi tidak ada

informasi serupa mengenai model yang banyak digunakan yakni CD34-derived

LC dan derived Dendritic cell ( dDC ) ( Flacher, 2006 ). Oleh karena itu, kita

menganalisis ekspres TLR oleh LC dan dDC yang dihasilkan dari CD34 stem

cells dan menyelidiki respons maturasional dan respons sitokin terhadap ligand

TLR terkait. Kita menunjukkan perbedaan ekspresi TLR antara LC dan dDC

yang berkorelasi dengan respons maturasional terhadap beberapa ligand mereka

yang asalnya sama (cognate) dan perbedaan menyolok dalam hal profil sitokin

yang disekresikan. Kita juga menunjukkan bahwa ada perbedaan antara profil

TLR yang dilaporkan untuk DC dan LC yang langsung diisolasi dari kulit, dan

dDC yang dihasilkan secara in vitro ( Flatcher, 2006 ).

2.5.1.2. Sel progenitor mieloid

Sel darah utama yang lain adalah granulosit dan monosit atau makrofag. Sel

tersebut berasal dari progenitor mieloid yang sama dari eritrosit dan trombosit.

Berbagai diferensiasi terjadi atas pengaruh berbagai faktor pertumbuhan.

Molekul Sumber selular utama Aktifitas biologik utama

CSF : granulosit Monosit,makrofag, fibroblas,

sel endotel

Merangsang pembentukan neutrofil

CSF : granulosit- Sel T, monosit, makrofag, Merangsang proliferasi dan diferensiasi

Page 36: unud-222-1435371230-bab ii

36

makrofag fibroblas, sel endotel progenitor mieloid

CSF : monosit –

makrofag

Monosit, makrofag, fibroblas,

sel endotel

Merangsang proliferasi dan diferensiasi

monosit dan makrofag

IL-3 Sel T Merangsang sel hematopoietik multipel

IL-4 Sel T,NK, Basofil, sel mast Merangsang proliferasi sel B

IL-5 Sel T Merangsang diferensiasi eosinofil

IL-7 Sel Stroma di sumsum tulang Merangsang proliferasi dan diferensiasi

progenitor sel T

Tabel 2.5 Colony Stimulating Factor dan sitokin penting pada hematopoiesis

2.6 Cross-presenting Antigen dari Sel Langerhans

Sel Dendritik secara efisien meng-cross-present antigen eksogen pada

molekul MHC-class I ke sel T CD8+. Tetapi, masih sedikit hal yang diketahui

tentang cross-presentation oleh Langerhans cells (LC), yakni Sel Dendritik pada

epidermis. Antigen yang diekspresikan dari epidermis diambil oleh LC selama

migrasi dari epidermis dan dipresentasikan ke sel T spesifik antigen secara in

vitro.

Cross-presentation merupakan mekanisme penting dalam menimbulkan

imunitas terhadap virus dan tumor maupun juga dalam menginduksi toleransi

terhadap self-antigen ( Pan et al, 2007 ). Sel dendritik meng-cross-present

antigen eksogen terlarut pada sel golongan I MHC ke sel T CD8+ spesifik

antigen. Antigen yang berasosiasi dengan sel, seperti sel yang terinfeksi virus,

sel tumor yang ditransfeksi, sel berselubung protein, dan sel yang hampir mati

dapat diambil dan di-cross-present oleh sel dendritik ke sel T CD8+.

Banyak patogen memasuki tubuh melalui kulit. Tetapi, sedikit hal yang

diketahui mengenai kemampuan sel Langerhans dalam menangkap dan

memproses antigen eksogen pada kulit utuh dan mempresentasikannya pada sel

Page 37: unud-222-1435371230-bab ii

37

MHC-class I ke sel T CD8+. Dua laporan terbaru menunjukkan bahwa imunisasi

epikutan dengan suatu MHC-class I restricted peptide atau dengan protein

ovalbumin ke kulit yang dikelupas dengan plester menginduksi aktivitas

sitotoksis sel T pada lymph nodes kering yang dapat semakin ditingkatkan

melalui pemberian toksin kolera secara bersamaan ( McGargill, 2003 ).

Penelitian lain melaporkan bahwa respons ini dapat juga ditingkatkan dengan

Toll-like receptor ligands, seperti misalnya oligonukleotid dan imiquimod. Jadi,

imunisasi epikutan membangkitkan respons sel T pada lymp nodes pengering,

tetapi inflamasi pada kulit diperlukan untuk mengoptimalkan respons. Tetapi,

peran pasti dari sel langerhans masih belum jelas.

2.7 Medium dan Kultur

2.7.1 Medium

Medium kultur merupakan komponen paling penting pada lingkungan kultur,

karena ia menyediakan nutrien yang diperlukan, growth factors, dan hormon

untuk growth faktor, maupun juga meregulasi pH dan tekanan osmosis pada

kultur. Meski eksperimen kultur sel awal dilaksanakan dengan menggunakan

medium alami yang diperoleh dari ekstrak jaringan dan cairan tubuh, kebutuhan

akan standarisasi, kualitas media, dan peningkatan kebutuhan mendorong

pengembangan media dengan definisi lebih tinggi. Tiga golongan dasar media

adalah basal media, reduced-serum media, dan serum-free media, yang yang

berbeda kebutuhannya akan suplementasi dengan serum.

1. Serum

Serum sangat penting sebagai sumber growth factor dan adhesion factor,

hormon, lipida dan mineral untuk kultur sel dalam basal media. Selain itu, serum

Page 38: unud-222-1435371230-bab ii

38

juga meregulasi permeabilitas membran sel dan berfungsi sebagai pembawa

lipida, enzim, mikro-nutrien, dan trace element ke sel. Tetapi, Penggunaan serum

dalam medium memiliki beberapa kelemahan yang meliputi biaya tinggi,

masalah standarisasi, spesifisitas, variabilitas, dan efek yang tak diinginkan

seperti stimulasi atau inhibisi fungsi pertumbuhan dan/atau fungsi selular pada

kultur sel tertentu. Jika serum tidak diperoleh dari sumber terpercaya, maka

kontaminasi juga menciptakan ancaman serius terhadap kesuksesan eksperimen

kultur sel.

Untuk menanggulangi ancaman ini, semua produk Invitrogen dan GIBCO,

termasuk serum, diuji untuk mengetahui ada-tidaknya kontaminasi dan dijamin

kualitas, keamanan, konsistensi, dan kepatuhannya pada regulasi.

Eagle's minimal essential medium (EMEM) adalah medium kultur yang digunakan untuk

mempertahankan sel pada kultur jaringan. Terdiri dari : asam amino, elektrolit (CaCl, KCl,

Magnesium sulfat, NaCl dan Monosodium Phosphat), glukosa, vitamin (asam folat,

nicotinamid, riboflavin, B12). Salah satu variasi dari EMEM yaitu Dulbecco/Vogt Modified

Eagle’s Minimal Essential Medium (DMEM), yang berisi 4 bahan yang sama seperti EMEM,

tetapi ditambah dengan Iron dan Phenol red yang sangat banyak dipakai pada sel manusia,

monyet, hamster, tikus, ayam, dan ikan

( Pombinho, 2004 ).

2. Basal media

Mayoritas cell line tumbuh dengan baik dalam basal media, yang

mengandung asam amino, vitamin, garam anorganik, dan sumber karbon seperti

glukosa, namun fiormulasi basal media ini harus disuplementasi dengan serum.

3. Reduced-serum media

Page 39: unud-222-1435371230-bab ii

39

Strategi lain untuk mereduksi efek tak diinginkan dari serum pada

eksperimen kultur sel adalah dengan menggunakan reduced-serum media.

Reduced-serum media merupakan formulasi basal media yang diperkaya dengan

nutrien dan animal-derived factors, yang mereduksi jumlah serum yang

dibutuhkan.

4. Serum-free media

Serum-free media (SFM) menghindari masalah-masalah yang terkait

dengan penggunaan serum hewan dengan mengganti serum dengan formulasi

nutrisi dan hormon yang tepat. Formulasi SFM ada untuk banyak kultur primer

dan cell line, termasuk protein rekombinan yang memproduksi jenis Chinese

Hamster Ovary (CHO), berbagai cell line hibridoma, jenis insekta Sf9 dan Sf21

(Spodoptera frugiperda), dan untuk cell line yang bertindak selaku inang untuk

produk virus , dan lain-lain. Salah satu kelebihan utama dari penggunaan SFM

adalah kemampuannya dalam membuat medium menjadi selektif untuk jenis sel

spesifik dengan memilih kombinasi growth factor yang tepat.

Tabel 2.6 Kekurangan dan Kelebihan Medium Serum Free Media.

Kelebihan Kelemahan

Definisi tinggi Kebutuhan akan formulasi media spesifik-tipe

Kinerja lebih konsisten Kebutuhan akan taraf kemurnian reagent yang lebih tinggi

Purifikasi dan pemrosesan hilir lebih mudah

Pertumbuhan lebih lambat

Presisi evaluasi fungsi selular

Produktivitas tinggi

Kontrol lebih baik terhadap respons fisiologis

Peningkatan deteksi mediator selular

Page 40: unud-222-1435371230-bab ii

40

2.7.2 Kultur Sel

Kultur sel adalah proses kompleks dimana sel dipelihara dalam kondisi terkontrol.

Dalam praktiknya, istilah ‘kultur sel’ mengacu pada pembiakan sel yang berasal dari

eukaryot multiselular, terutama sel hewan. Sejarah perkembangan dan metode kultur

sel terkait erat dengan sejarah perkembangan dan metode kultur jaringan dan kultur

organ. Kultur sel ( cell line ) juga dapat berarti suatu koloni sel yang telah mapan, sehingga

mampu melakukan proliferasi tanpa batas waktu. Koloni sel tersebut dapat bermutasi

menjadi koloni dengan kultur berbeda, atau merupakan sub-kultur hasil mutasi dari kultur

sel sebelumnya ( Schiff, 2002 ). Fisiolog Inggris abad ke-19 Sidney Ringer

mengembangkan larutan garam yang mengandung klorida sodium, potassium, kalsium

dan magnesium yang cocok untuk mempertahankan detak jantung hewan isolasi diluar

tubuh .

Beberapa konsep kultur sel mamalia adalah sbb:

1. Isolasi sel

Isolasi sel yang dimaksud yaitu dimana sel dapat diisolasi dari jaringan

untuk kultur secara ex vivo dengan beberapa cara. Sel dapat dimurnikan dengan

mudah dari darah, tetapi hanya sel darah putih saja yang mampu tumbuh dalam

kultur. Sel mononukleus dapat dibebaskan dari jaringan lunak melalui

penguraian enzimatik menggunakan enzim seperti collagenase, trypsin, atau

pronase, yang menguraikan matriks ekstraselular. Atau, potongan jaringan dapat

dimasukkan dalam medium pertumbuhan, dan sel yang tumbuh bisa dikulturkan.

Metode ini dikenal sebagai explant culture.

Page 41: unud-222-1435371230-bab ii

41

Sel yang dikulturkan langsung dari subjek dikenal sebagai sel primer.

Kecuali beberapa sel yang berasal dari tumor, sebagian besar sel primer

mempunyai rentang hidup terbatas. Sesudah sejumlah penggandaan populasi, sel

mengalami proses penuaan dan berhenti membelah, meski secara umum

mempertahankan viabilitasnya.

Cell line yang mapan atau awet (immortalized) memperoleh kemampuan

untuk berproliferasi untuk jangka waktu tak terbatas melalui mutasi acak atau

modifikasi terencana, misalnya ekspresi artifisial pada gen telomerase. Ada banyak

cell line mapan yang merepresentasikan tipe sel tertentu.

2. Memelihara sel dalam kultur

Sel dibiakkan dan dipelihara pada suhu dan campuran gas yang tepat

(biasanya, 37°C, CO2 5% untuk sel mamalia) dalam inkubator sel. Kondisi kultur

sangat bervariasi untuk tiap jenis sel, dan variasi kondisi untuk suatu jenis sel

tertentu dapat menyebabkan ekspresi fenotip berbeda.

Terlepas dari suhu dan campuran gas, faktor yang paling bervariasi adalah

medium pertumbuhan. Resep untuk medium pertumbuhan dapat bervariasi pH,

konsentrasi glukosa, growth factor, dan adanya nutrien lain.

Sel dapat dibiakkan dalam kultur suspensi atau adherent culture (kultur

menempel). Beberapa sel hidup alami dalam suspensi, tanpa menempel ke

permukaan, seperti sel yang ada pada aliran darah. Juga ada cell line yang

dimodifikasi untuk mampu bertahan hidup dalam kultur suspensi sehingga

mereka dapat dibiakkan hingga densitas lebih tinggi dibanding yang

dimungkinkan dengan kondisi menempel. Sel penempel memerlukan permukaan,

seperti plastik kultur jaringan atau microcarrier, yang bisa lapisi dengan

Page 42: unud-222-1435371230-bab ii

42

komponen matriks ekstraselular untuk meningkatkan sifat adesi dan memberikan

sinyal lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan diferensiasi. Sebagian besar

sel yang berasal dari jaringan padat bersifat menempel (adherent). Tipe kultur

menempel lainnya adalah kultur organotipik yang meliputi membiakkan sel

dalam lingkungan tiga dimensi bukan cawan kultur dua dimensi. Sistem kultur 3

dimensi ini secara biokimia dan fisiologis lebih mirip dengan jaringan in vivo,

namun sulit secara teknis dipelihara karena banyak faktor (contohnya, difusi).

3. Kontaminasi-silang cell line

Kontaminasi silang cell line dapat menjadi masalah bagi ilmuwan yang

bekerja dengan sel biakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 15-20%

dari waktu, sel yang digunakan dalam percobaan diidentifikasikan secara salah

atau terkontaminasi cell line lain. Masalah kontaminasi cell line terdeteksi dari

panel NCI-60, yang rutin digunakan untuk penelitian skreening obat (Chatterjee,

2007). Kontaminasi tersebut menciptakan masalah menyangkut kualitas

penelitian yang dihasilkan dengan menggunakan kultur cell line, dan beberapa

bank utama cell line kini tengah memeriksa otentisitas semua kiriman cell line

(Masters, 2002).

Untuk menanggulangi masalah kontaminasi silang cell line ini, para

peneliti dianjurkan untuk memeriksa otentisitas cell line mereka pada passage

(proses perbanyakan sel dalam medium kultur ) awal untuk menentukan identitas

cell line. Pemeriksaan otentisitas harus diulang sebelum membekukan stok cell

line, setiap dua bulan selama pengkultur aktif dan sebelum publikasi data

penelitian yang dihasilkan dengan menggunakan cell line. Ada banyak metode

untuk mengidentifikasi cell line yang meliputi isoenzyme analysis, human

Page 43: unud-222-1435371230-bab ii

43

lymphocyte antigen (HLA) typing dan STR analysis (Dunham, 2008). Satu

kontaminan silang cell line yang penting adalah cell line HeLa.

4. Manipulasi sel biakan

Karena sel pada umumnya membelah dalam kultur, mereka biasanya

berkembang memenuhi area atau volume yang tersedia. Ini dapat menimbulkan

beberapa masalah:

a. Pengosongan nutrien pada medium pertumbuhan

b. Akumulasi sel apoptotik/nekrotik

c. Kontak antar sel dapat menstimulasi penghentian siklus sel, menyebabkan sel

berhenti membelah yang dikenal sebagai inhibisi kontak atau senescence.

d. Kontak antar sel dapat menstimulasi diferensiasi selular.

Diantara manipulasi umum yang dilakukan pada sel kultur adalah

penggantian medium, perbanyakan sel, dan transfeksi sel. Manipulasi ini pada

umumnya dilakukan dengan menggunakan metode kultur jaringan yang

mengandalkan teknik steril. Teknik steril bertujuan untuk menghindari

kontaminasi oleh bakteri, ragi, atau cell line lain. Manipulasi biasanya

dilaksanakan dalam laminar flow cabinet untuk mencegah adanya mikro-

organisme kontaminan. Antibiotik (contohnya, penicillin dan streptomycin) dan

obat anti-jamur (contohnya, Amphotericin B) dapat juga ditambahkan pada

medium pertumbuhan.

Ketika sel mengalami proses metabolik, asam dihasilkan dan pH

mengalami penurunan. Indikator pH sering ditambahkan pada medium untuk

mengukur pengosongan nutrien.

a. Penggantian medium

Page 44: unud-222-1435371230-bab ii

44

Pada kultur menempel, medium dapat dibuang langsung melalui aspirasi

dan ditempatkan kembali.

b. Perbanyakan sel

Passaging (juga dikenal sebagai sub-kultur atau pembelahan sel) meliputi

memindahkan sejumlah kecil sel ke bejana baru. Sel dapat dikulturkan selama

waktu lebih panjang jika mereka membelah secara teratur, karena sel

menghindari senescence akibat densitas sel yang tinggi selama waktu yang

panjang. Kultur suspensi mudah di-passage dengan sedikit kultur yang

mengandung sedikit sel yang diencerkan dalam medium baru bervolume lebih

besar. Untuk kultur menempel, sel mula-mula harus dilepaskan; ini biasanya

dilakukan dengan campuran trypsin-EDTA, tetapi kini ada enzim lain yang bisa

dipakai untuk kepentingan ini. Sedikit sel yang sudah dilepaskan selanjutnya

dapat ditebar pada kultur baru.

c. Transfeksi dan Transduksi

Metode umum lainnya untuk memanipulasi sel meliputi memasukkan

DNA asing melalui transfeksi. Ini sering dilakukan untuk menyebabkan sel

mengekspresikan protein yang dimaksud.

DNA dapat juga dimasukkan ke sel dengan menggunakan virus, pada

metode yang disebut dengan transduksi, infeksi atau transformasi. Virus, atau

agen parasit, sangat cocok untuk memasukkan DNA ke sel, karena ini merupakan

bagian dari perjalanan normal reproduksi mereka.

d. Cell line mapan pada manusia

Cell line yang berasal dari manusia menimbulkan kontroversi dalam

bidang bioetika, karena mereka bisa hidup lebih lama dibanding organisme induk

Page 45: unud-222-1435371230-bab ii

45

mereka dan kemudian digunakan untuk menemukan obat medis yang

menguntungkan. Dalam putusan yang merintis bidang ini, Mahkamah Agung

California menyatakan dalam kasus Moore v. Regents of the University of

California bahwa pasien manusia tidak mempunyai hak milik atas cell line yang

berasal dari organ yang diambil atas persetujuan mereka ( Dunham, 2008 ).

e. Terjadinya Hibridoma

Sel normal dan cell line yang diawetkan bisa difusikan. Metode ini

digunakan untuk memproduksi antibodi monoklonal. Ringkasnya, limfosit yang

diisolasi dari limpa (atau mungkin darah) hewan yang telah diimunisasi

dikombinasikan dengan cell line mieloma awetan (B cell lineage) untuk

menghasilkan hibridoma yang mempunyai spesifisitas terhadap antibodi

sebagaimana pada limposit primer dan keawetan sebagaimana pada mieloma.

Medium pertumbuhan selektif digunakan untuk menyeleksi sel mieloma yang

tidak berfusi; limposit primer cepat mati dalam kultur dan hanya sel yang berfusi

saja yang bertahan hidup. Ini di-skreening untuk mengetahui produksi antibodi

yang diperlukan, yang pada umumnya berada dalam kumpulan (pool) awal dan

kemudian sesudah kloning tunggal.

2.8 Faktor penumbuh (Growth Factors)

Faktor pertumbuhan ( Growth factors ) adalah zat alami yang mampu

merangsang pertumbuhan selular, proliferasi dan diferensiasi selular. Umumnya

adalah protein atau hormon steroid. Faktor pertumbuhan penting untuk mengatur

ragam proses seluler dan bertindak sebagai pensinyalan molekul antara sel. Contoh

adalah sitokin dan hormon yang mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel target

mereka. Sistem kerjanya memromosikan diferensiasi sel dan pematangan. Sebagai

Page 46: unud-222-1435371230-bab ii

46

contoh, Bone Morphogenic Protein ( BMP ) merangsang diferensiasi sel tulang,

sementara fibroblast growth factors dan GF endotel vaskular ( VEGF ) merangsang

diferensiasi pembuluh darah /angiogenesis ( Thomas, 2007 ).

Perbedaan Growth Factors dan sitokin adalah sitokin yang terkait dengan

hematopoietic stem cell dan sistem kekebalan tubuh (misalnya, limfosit dan sel-sel

jaringan dari limpa, Timus, dan getah bening). Sistem peredaran darah dan sumsum

tulang di mana sel dapat terjadi dalam cairan suspensi dan tidak terikat pada jaringan

padat, memungkinkan bagi mereka untuk berkomunikasi dengan molekul protein

yang bersifat soluble.

Sementara faktor pertumbuhan ( Growth factors ) menyiratkan efek positif

pada pembelahan sel, sitokin adalah istilah netral terhadap sebuah molekul yang

mempengaruhi proliferasi. Sementara beberapa sitokin dapat menjadi faktor-faktor

pertumbuhan, seperti G-CSF dan GM-CSF.

2.8.1 Transforming Growth Factors ( TGF-β )

Transforming growth factor beta (TGF-β) merupakan protein yang mengontrol

proliferasi, diferensiasi sel, dan fungsi lainnya pada sel lain. Perannya penting pada imunitas,

kanker, penyakit jantung, diabetes, dan Sindroma Marfan.

TGF-β mensekresi protein yang terdiri dari 5 isoform yang dikenal sebagai TGF-β1, TGF-

β2 and TGF-β3. Selain nama originalnya yaitu TGF-β1, dimana menjadi penemu awal bagi

familinya. Sehingga bagian dari superfamili TGF-β ini dikenal transforming growth factor

beta superfamily, dimana termasuk didalamnya inhibins, activin, anti-müllerian hormone,

bone morphogenetic protein, decapentaplegic (dpp) and Vg-1.

Mekanisme utamanya terlibat dalam proses sel organisme dewasa dan embrio

yang berkembang termasuk didalamnya adalah pertumbuhan sel, diferensiasi sel,

apoptosis, homeostasis selular dan fungsi selular lain, terlepas dari berbagai proses

Page 47: unud-222-1435371230-bab ii

47

seluler TGF-β menandakan jalur mengatur, proses relatif sederhana. Superfamili

TGF-β ligan mengikat untuk jenis reseptor II, yang direkrut dan memfosforilasi jenis

reseptor tipe I. Reseptor type I ini kemudian memfosforilasi reseptor SMADs (R-

SMADs) yang sekarang dapat mengikat coSMAD /SMAD4. R-SMAD/coSMAD

kompleks terakumulasi di inti di mana mereka bertindak sebagai faktor transkripsi

dan berpartisipasi dalam regulasi target ekspresi gen .

Gambar 2.12 Regulasi Jalur TGF-β

(dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/TGF_beta_signaling_pathway)

2.8.2 Activin A

Activin A, anggota sitokin transformasi faktor pertumbuhan-beta Superfamili (TGF-

β), dinyatakan secara lokal oleh komponen mesenkimal lingkungan mikro-hemopoietik.

Ekspresi diatur pada tingkat mRNA oleh sitokin berbeda, dan aktivitas biologis protein yang

dikontrol ketat oleh beberapa penghambatan molekul. Activin A mempengaruhi sel

hemopoietic dari berbagai garis keturunan, sebagaimana dibuktikan oleh in vitro studi

leukemia dan limfoma sel baris, yang digunakan untuk menjelaskan mekanisme tindakan.

Dalam garis keturunan sel B, Activin A adalah inhibitor siklus sel, mediator apoptosis, dan

Page 48: unud-222-1435371230-bab ii

48

sitokin antagonis. Informasi terbatas tersedia pada efek Activin A pada sel hematopoetik

normal ( Shav-Tal, 2002 ).

Activin A merupakan famili dari TGF-β yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi

termasuk IL-12 dan berpengaruh dalam proses morfogenesis kulit dan penyembuhan luka,

menginduksi diferensiasi dari monosit manusia menjadi Langerhans cell ( Jones , 2004 ).