A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Dada berisi organ vital paru dan jantung. Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak
dinding dada. Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus yang mengembang dan mengempis
bergantung pada pergerakan rongga dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernapasan,
yaitu m. intercostalis dan diafragma yang menyebab rongga dada membesar dan paru
mengembang sehingga udara terisap ke alveolus melalui trakea dan bronkus.
Sebaliknya, jika m. intercostalis melemas, dinding dada akan mengecil hingga kembali
dan udara akan terdorong ke luar. Sementara itu, karena tekanan intraabdomen, diafragma akan
naik ketika m. intercostalis tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu kelenturan dinding toraks,
kekenyalan jaringan paru dan tekanan intraabdomen, menyebabkan ekspirasi jika otot
interkostalis dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan
demikian, ekspirasi merupakan kegiatan pasif.
Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi paru dapat dibuat
dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam toraks bersamaan dengan
mengembangnya toraks. Kekuatan tiupan harus melebihi kelenturan dinding dada, kekenyalan
jaringan paru, dan tekanan intraabdomen. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator atau
pada resusitasi dengan napas buatan mulut ke mulut.
Otot Kontraksi Saat Perangsangan InspirasiDiafragma Bergerak ke bawah, meningkatkan
dimensi vertical rongga dadaSetiap inspirasi, otot inspirasi utama
Interkostalis eksternus Menarik iga ke atas-luar, meningkatkan dimensi antero-posterior dan lateral rongga dada
Setiap inspirasi, otot inspirasi kedua
Skalenus, sternokleidomastoideus
Menarik sternum dan dua iga teratas, memperbesar bagian atas rongga dada
Inspirasi kuat , otot inspirasi tambahan
EkspirasiAbdominal Meningkatkan tekanan abdomen,
mendorong diafragma, mengurangi dimensi vertical rongga dada
Ekspirasi aktif
Interkostalis internus Menarik iga ke bawah-dalam, mengurangi dimensi tranversal rongga dada
Ekspirasi aktif
Tabel 1. Otot-otot yang berperan dalam Proses Pernapasan
Mekanika Sistem Pernapasan
1
Secara garis besar, system pernapasan terdiri dari respirasi eksternal dan respirasi
internal. Respirasi eksternal adalah proses pengambilan oksigen dari luar lingkungan untuk
selanjutnya ditukar dengan karbondioksida dari dalam tubuh. Respirasi internal pertukaran udara
dalam tingkat seluler.
Gambar 2 Tahapan proses Respirasi
Paru dan dinding dada merupakan struktur yang elastis. Pada keadaan normal. Antara
paru dan dinding dada dihubungkan oleh membran tipis pleura. Pleura terdiri dari dua bagian
pleura visceral yang melekat pada permukaan paru dan pleura parietal yang melekat pada
dinding thoraks dan diantara dua pleura ini terdapat ruang esensial cavum pleura. Cavum pleura
ini berisi sedikit cairan sehingga paru dapat bergerak dengan mudah namun sulit untuk
dipisahkan dengan dinding dada seperti halnya dua lempeng kaca basah yang dapat digeser
namun sulit dipisahkan. Dalam proses pernapasan sendiri ada tiga tekanan yang penting untuk
menimbulkan aliran udara yakni tekanan atmosfer, tekanan Intra-alveolar dan tekanan
intrapleura yang diilustrasikan pada gambar 3 di bawah ini.
2
Gambar 3 Tekanan yang berperan dalam Pernapasan
Gradien tekanan transmural adalah tekanan yang tercipta karena adanya perbedaan antara
dua tekanan. Gradient tekanan transmural yang pertama diciptakan oleh adanya perbedaan antara
tekanan intraalveolar dengan tekanan intrapleura dan kedua diciptakan oleh tekanan toraks
dengan tekanan intra pleura.
Tekanan di dalam paru lebih besar dibandingkan tekanan intrapleura sehingga adanya
dorongan dari dalam ke luar yang mengakibatkan paru selalu ditekan untuk mengembang.
Tekanan dinding toraks lebih besar daripada tekanan intrapleura sehingga ada dorongan dari luar
ke dalam yang menyebabkan rongga dada terkompresi.
Ketika inspirasi, terjadi kontraksi dari otot diafragma dan otot intercostal eksterna. Otot
diafragma akan mendatar dan melebarkan rongga dada dengan mendorong isi abdomen ke
bawah. Otot intercostal eksterna memperluas rongga toraks ke lateral, anterior maupun posterior.
Keadaan ini menciptakan penurunan dari tekanan intraalveolar sehingga udara mengalir dari luar
ke dalam.
Pada akhir inspirasi, otot inspirasi akan relaksasi. Otot diafragma kembali ke bentuk
awalnya dan paru mengalami recoil. Keadaan ini menciptakan kenaikan pada tekanan
intraalveolar sehingga udara keluar dari paru secara pasif dari tekanan yang tinggi ke tekanan
yang rendah.
3
B. ETIOLOGI
Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam.
Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam
trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping,
belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan
riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Trauma tajam
terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Trauma thoraks sering disertai dengan cedera
perut, kepala dan abdomen sehingga memerlukan perhatian khusus dalam penatalaksanaan.
C. KELAINAN PADA TRAUMA THORAKS
1. TENSION PNEUMOTHORAKS
Pneumotoraks terjadi akibat adanya udara yang masuk dalam ruang potensial antara
pleura viceralis dan parietalis. Baik trauma tembus maupun tidak tembus dapat menyebabkan
pneumotoraks. Dislokasi fraktur tulang belakang torakal juga dapat menyebabkan pneumotoraks.
Laserasi paru dengan kebocoran udara merupakan penyebab umum pneumotoraks akibat trauma
tumpul.
4
Gambar 4. Perbedaan Tekanan dalam Proses Inspirasi
Tension Pneumothoraks disebabkan oleh trauma tajam pada thoraks yang mengakibatkan
adanya aliran udara menuju rongga pleura tanpa adanya aliran keluar (One-Way Valve).
Akumulasi udara pada rongga pleura ini mengakibatkan terjadinya pergeseran mediastinum ke
arah yang berlawanan, menyebabkan terjadinya penurunan Venous Return dan dapat
menimbulkan henti jantung. Tension Pneumothoraks harus dapat diidentifikasi secepatnya pada
Survei Primer. Pasien akan bernapas pendek dan terlihat adanya deviasi trakea ke sisi
berlawanan. Pada perkusi akan ditemukan hipersonor pada hemithoraks yang bersangkutan dan
pada auskultasi suara napas tidak terdengar pada sisi yang terluka. Pada kasus ini pemeriksaan
radiologi tidak dilakukan. Terapi yang dilakukan adalah melakukan dekompresi pada rongga
pleura dengan membuat lubang sebagai tempat aliran udara. Jarum yang berukuran besar ditusuk
pada Spatium Intercosta II linea midaxilaris pada sisi yang terluka. Dekompresi dinyatakan
berhasil jika ditemukan adanya aliran udara melalui jarum yang ditusukkan. Tindakan ini dapat
mengubah keadaan dari Tension Pneumothoraks menjadi simple Pneumothoraks.
5
Gambar. (a) Deviasi Mediastinum pada Tension Pneumothoraks. (b) Keadaan tension Pneumothoraks setelah dilakukan insersi
kanul pada SIC II Dekstra
2. OPEN PNEUMOTORAKS(SUCKING CHEST WOUND)
Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau
sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer segera tercapai.
Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga diameter trakea, udara mengalir melalui
defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara cenderung mengalir kelokasi
yangtekanannya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu sehingga memicu terjadinya
hipoksia dan hiperkarbia.
Penatalaksanaan awal dariopen pneumotoraks dapat tercapai dengan menutup defek
tersebut dengan occlusive dressing yang steril. Penutup ini harus cukup besar untuk menutupi
seluruh luka dan kemudian direkatkan pada tiga sisi untuk memberikan feel “flatter type valve”.
Saat pasien inhalasi, penutup ini akan menyumbat luka, mencegah udara masuk dan saat
ekspirasi, lubang terbuka dari penutup inimemungkinkan udara keluar dari ruang pleura. chest
tube sebaiknya segera dipasang secepat mungkin. Bila semua sisi penutup tadi direkatkan, maka
semua udara akan terakumulasi dalam rongga toraks dan akan terjadi tension pneumotoraks
kecuali chest tube telah terpasang. Setiap occlusive dressing (misalnya plastic wrap atau
petrolatum gauze) dapat digunakan sebagai media sementara sehingga penilaian cepat dapat
terus dilakukan.
6
Gambar. Rontgen Thoraks menunjukkan adanya Simple Pneumothoraks Hemithoraks Dekstra
3. FLAIL CHEST DAN KONTUSIO PARU
Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang
sehingga terjadi defek pada thoraks cage. Kondisi ini biasanya terkait dengan fraktur coste
multiple yaitu dua aatau lebih tulang iga mengalami fraktur pada dua tempat atau lebih. Adanya
segment flail chest menyebabkan gangguan pergerakan dinding dada yang normal. Jika trauma
mengenai paru cukup bermakna maka dapat terjadi hipoksia. Kesulitan utama pada flail chest
akibat trauma paru (kontusio paru). Walaupun instabilitas dinding dada memicu pergerakan
paradoksal dinding dada pada saat inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak menyebabkan
hipoksia. Keterbatasan pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari
merupakan penyebab penting hipoksia.
Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya “splinting” pada
dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak
asimetrisdan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi tulang
iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan foto rongen toraks akan
dijumpai fraktur costae multiple tetapi dapat juga tidak dijumpai pemidahan costochondral.
Analisis gas darah arteri yang menunjukan kegagalan pernapasan dengan hipoksia juga akan
membantu menegakkan diagnosis flail chest.
Terapi awal meliputi ventilasi adekuat, pemberian oksigen dan resusitasi cairan. Bila
tidak dijumpai hipotensi sistemik, pemberian cairan kristaloid intravena harus diawasi secara
ketat agar tidak terjadi overhidrasi.
Penatalaksanaan definitive meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian cairan
secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. analgetik local dapat diberikan
dengan pertimbangan tidak menyebabkan depresi pernapasan. Pencegahan hipoksia juga
merupakan bagian penting dalam penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi pada
periode waktu yang singkat diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan
lengkap.
4. HAEMOTHORAKS
Trauma thoraks dapat juga mengakibatkan adanya akumulasi darah pada rongga pleura.
Haemothoraks sering terjadi pada laserasi dan disrupsi parenkim paru yang lebih sering
7
ditemukan pada luka tembus dibandingkan dengan trauma tumpul. Hemothoraks dapat sedikit
ataupun massif. Heamothoraks massif terjadi ketika akumulasi darah berjalan cepat lebih dari 1
liter. Keadaan ini mengakibatkan hipoksia dan juga hipovolemia pada pasien. Secara klinis,
hemothoraks massif ditandai dengan adanya hipoksia, penurunan tekanan darah, dan pada
pemeriksaan di daerah ipsilateral ditemukan ekspansi yang lebih lemah, perkusi redup dan suara
napas melemah. Manajemen awal yang dapat dilakukan adalah dengan menginsersi jarum
berukuran besar pada Spatium InterCostae VI Linea Aksilaris. Managemen lanjutan dilihat
berdasarkan jumlah darah yang keluar. Jika darah yang keluar lebih dari 1 Liter, maka dilakukan
tindakan Thoracotomy segera. Jika kehilangan dari 200 mL/ jam dalam 2-4 jam maka pasien
harus dilakukan tindakan pembedahan.
5. TAMAPONADE JANTUNG
Tamponade jantung biasanya terjadi akibat luka tembus. Trauma tumpul juga dapat
menyebabkan pericardium terisi darah yang berasal dari jantung, pembuluh darah besar maupun
pembuluh darah pericardium. Sakus pericardium manusia merupakan struktur fibrosis dengan
sejumlah darah relative kecil diperlukan untuk restriksi aktivitas jantung dan menggangu
pengisian jantung. Tamponade jantung terjadi secara perlahan sehingga memungkinkan evaluasi
yanglebih teliti, tetapi tamponade jantung juga dapat terjadi dalam waktu singkat sehingga
memerlukan diagnosis dan tatalaksana cepat. Diagnosis tamponade jantung kadang sulit
ditegakkan.
Triad Beck’s ialah diagnosis klasik yang terdiri dari peningkatan tekanan vena,
penurunan tekanan arteri dan suara jantung yang menjauh. Walaupun demikian, suara jantung
yang menjauh sulit untuk dinilai saat berada di ruang IGD yang ramai, sedangkan distensi vena
dapat menghilang akibat hypovolemia. Disamping itu, tension penumotoraks, khususnya pada
sisi kiri dapat menyerupai tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada
inspirasi saat bernapas spontan) merupakan gangguan tekanan vena paradoksal sejati yang
berhubungan dengan tamponade jantung. PEA dapat meningkatkankecurigaan tamponade
jantung tetapi dapat juga disebabkan keadaan lain.
Diagnosis tepat dan evakuasi darah pericardial merupakan indikasi pada pasien yang
tidak memberikan respon terhadap resusitasi syok hemoragik atau potensi terjadinya tamponade
8
jantung. Bila ada ahli bedah yang berkompetensi, tindakan bedah dapat dilakukan untuk
membebaskan tamponade. Tindakan ini terbaik dilakukan dikamar operasi jika kondisi pasien
memungkinkan, jika intervensi bedah tidak memungkinkan maka perikardiosentesis dapat
membantuk menegakkan diagnosis sekaligus sebagai terapi tetapi bukan sebagai terapi
definitive.
Saat tamponade jantung dicurigai kuat terjadi, pemberian awal cairan intravena akan
meningkatkan tekanan vena dan memperbaiki curah jantung sementara sambil mempersiapkan
tindakan bedah. Jika perikardiosentesis subxyphoid dilakukan sebagai maneuver sementara
dengan menggunakan jarum yang terbungkus plastic atau teknik Seldinger untuk pemasangan
kateter yang fleksibel, prioritas utama tetap pada upaya melakukan aspirasi darah dari sakus
pericardial. Jika tersedia pemeriksaan ultrasound maka dapat dijadikan sebagai panduan jarum
menuju ruang pericardial secara akurat. Aspirasi darah pericardial sendiri dapat membebaskan
gejala secara sementara. Tetapi, semua pasien dengan tamponade jantung akan memerlukan
tindakan bedah untuk pemeriksaan jantung dan repair trauma.
Maneuver terapeutik dapat dilakukan secara efektif bersama toraktomi resusitasi meliputi :
- Evakuasi darah perikardia yang memicu terjadinya temponade
- Kontrol langsung “exsanguinating” perdarahan intratorakal
- Pijat jantung terbuka
- Cross-clamping aorta descenden untuk memperlambat perdarahan dibawah diagfragma
dan meningkatkan perfusi menuju otak dan jantung.
Disamping manfaat maneuver ini, sejumlah laporan menyatakan bahwa torakotomi di
departemen gawat darurat pada pasien trauma tumpul dan henti jantung jarang sekali efektif.
D. SURVEI PRIMER
1. Jalan Napas (Airway)
Adanya trauma mayor yang mengenai jalan napas perlu segera dikenali saat melakukan
survey primer. Patensi jalan napas sebaiknya dinilai dengan mendengarkan pergerakan
udara melalui hidung, mulut dan lapang paru pada pasien. Melakukan inspeksi orofaring
9
untuk menilai adanya obstruksi benda asing dan mengamati adanya retraksi otot
intercostalis dan supraklavikular.
Trauma pada toraks atas dapat dinilai dengan adanya defek yang dapat dipalpasi pada
region persendian sternoklavikula dengan dislokasi posterior caput klavikula yang
menyebabkan obstruksi saluran napas atas. Identifikasi dapat dilakukan dengan
obseervasi adanya stridor atau perubahan bermakna pada kualitas suara.
2. Pernapasan (Breathing)
Dada dan leher pasien harus dinilai secara menyeluruh untuk menilai pernapasan dan
vena leher. Pergerakan dan kualitas respirasi dinilai dengan observasi, palpasi dan
pendengaran suara napas. Tanda trauma thoraks atau hipoksia yang penting namun
sering terlewatkan adalah peningkatan kecepatan dan pola pernapasan, khususnya
pernapasan yang makin dangkal. Sianosis merupakan tanda lanjut hipoksia pada pasien
trauma. Trauma thoraks dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan harus dikenali
dan ditangai saat survey primer termasuk adanya tension pneumothoraks, open
pneumothoraks (Sucking Chest Wound) dan Hemothoraks massif.
3. Sirkulasi
Pada pemeriksaan denyut nadi pasien harus dinilai akan kualitas, kecepatan dan
regularitas. Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi radialis dan dorsalis pedis
dapat tidak teraba akibat adanya deplesi volume. Pengawasan jantung dan oksimetri nadi
harus dilakukan pada pasien. Pasien yang mengalami trauma thoraks terutama pada area
sternum atau akibat trauma deselerasi cepat sangat rentan mengalami trauma miokard
yang dapat memicu terjadinya disaritmia. Hipoksia dan asidosis akan meningkatkan
kemungkinan ini. Pulseless Electric Activity (PEA) tampak pada EKG yang menunjukan
sebuah ritme saat pulsasi pasien tidak teraba. PEA dapat ditemukan pada tamponade
Jantung, Tension Pneumothoraks, Hipovolemia. Trauma thoraks dapat mempengaruhi
sirkulasi, sebaiknya dikenali dan ditatalaksana pada saat survey primer.
10
Penyebab kematian pada satu jam pertama setelah trauma adalah perdarahan. Oleh sebab
itu, setelah tercapai patensi jalan napas dan pernapasan yang adekuat, prioritas
selanjutnya adalah sirkulasi. Pemasangan IV line dengan jarum besar satu atau dua jalur
harus dilakukan untuk menjaga sirkulasi.
E. TINDAKAN TORAKOTOMI
Pada trauma penetrasi thoraks tindakan Torakotomi merupakan terapi yang dapat
menurunkan angka kematian. Tindakan resusitasi torakotomi ini dapat dilakukan pada instalasi
gawat darurat terutama pada RS level 1. Dari sebuah meta-analisis pada 24 laporan tentang
keberhasilan thorakotomi ditemukan bahwa tingkat survival penderita adalah 11 % (246 dari
2.294 pasien). penilaian Sign of Life (SOL) sangat berpengaruh dalam ketercapaian Torakotomi.
SOL antaralain adanya aktivitas elektrik Supraventrikular, reaksi pupil dan respirasi agonal. Dari
penelitian ini akhirnya dibuat sebuah algoritma untuk tindakan torakotomi yang dijelaskan pada
gambar 7.
Gambar 7. Algoritma Tindakan Torakotomi pada Pasien dengan Trauma Penetrasi
Thoraks
11
(ED= Emergency Departement, SOL= Sign of Life, DOA= Dead on Arrival, EDRT=
Emergency Departement Resusitative Toracotomy)
F. SURVEI SEKUNDER
Survey sekunder meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh dari kepala hingga ke kaki untuk
menilai jejas dan kelainan lain yang diderita oleh pasien. pemeriksaan lanjutan seperti Rontgen
dapat dilakukan jika memungkinkan, penilaian analisis gas darah dan pulse oxymetri serta
pengawasan EKG. Disamping menilai pengembangan paru dan cairan, pada pemeriksaan
rontgen dapat dinilai adanya pelebaran mediastinum, pergeseran midline, dan hilangnya
gambaran rinci anatomi. Fraktur tulang iga multiple dan fraktur pada costae pertama atau kedua
menunjukan adanya tekanan yang berat pada toraks dan jaringan dibawahnya.
12
Gambar 8. Teknik dan Tahap Tindakan
Torakostomi
G. SISTEM WATER SEALED DRAINAGE
Prinsip WSD
1. Gravitasi
Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih
rendah.
2. Tekanan Negatif
Udara atau cairan menghasilkan tekanan positif (763 mmHg atau lebih) dalam
rongga pleura. Udara dan cairan Water Sealed pada selang dada menghasilkan
tekanan positif yang kecil (761 mmHg).
3. Water Sealed
Tujuan utama dari water sealed adalah membiarkan udara keluar dari rongga pleura
dan mencegah udara dari atmosfer masuk ke rongga pleura.
Macam – macam WSD
1. Satu Botol
Digunakan satu botol untuk drainase dan water sealed. Sistem ini langsung
dihubungkan pada selang WSD dari pasien. system satu botol ini mempunyai
kelemahan yaitu penggunaan botol yang sama untuk dua tujuan berbeda. Bila cairan
dalam botol bertambah, maka tekanan untuk mengeluarkan cairan atau udara dari
dari rongga pleura juga harus bertambah dan system ini menjadi kurang efisien.
2. Dua Botol
Kelemahan sistem satu botol dapat ditanggulangi dengan sistem ini. Botol pertama
dapat digunakan sebagai tempat drainase, botol kedua sebagai water sealed.
3. Tiga Botol
Digunakan tiga buah botol, dimana botol ketiga digunakan sebagai pengatur tekanan
negatif bila dipergunakan mesin penghisap. Dengan manometer yang dapat dinaik-
turunkan, tekanan yang diinginkan dapat diatur. Botol pertama diguanakan sebagai
penampung cairan agar tidak mengganggu sistem water sealed pada botol kedua.
13
Ukuran Selang Dada
Selang dada (Chest tube) berukuran kecil lebih disukasi karena lebih nyaman digunakan
pada pasien dibandingan chest tubeberukuran besar. Untuk drainase cairan (serous, darah,
atau pus) sebaiknya digunakan selang dada berukuran besar (minimal 28 – 30 F), untuk
drainase udara dapat dipakai nomor 20 – 24 F. Ukuran chest tube berdasarkan usia adalah
sebagai berikut:
8 – 12 French untuk bayi dan anak
16 – 20 French untuk anak dan dewasa muda
24 – 32 French untuk dewasa
Indikasi WSD
Pemasangan WSD bertujuan untuk membuat tekanan dalam rongga thoraks menjadi negatif
kembali. Kondisi yang memerlukan pemasangan WSD adalah semua hal yang menyebabkan
tekanan intrapleura positif / meningkat, antaralain:
1. Pneumotoraks
2. Hematothoraks
3. Efusi Pleura
4. Empiema thoraks
5. Pasca Thoracotomy
Lokasi Pemasangan WSD
Selang dada yang dihubungkan dengan sistem WSD dapat dipasang pada bagian thoraks
manapun selama dapat membuat tekanan dalam rongga pleura menjadi negative. ATLS
menganjurkan pemasangan selang pada Spatium Intercostae V lateral baik sisi kiri maupun
kanan dengan pertimbangan bahwa lokasi itu paling aman pada kondisi gawat-darurat
dengan waktu yang terbatas.
Lokasi pemasangan WSD ideal adalah:
1. Kanan : Spatium Intercostae VII – VIII lateral diantara garis Aksilaris anterior dan
posterior
14
2. Kiri : Spatium Intercostae VIII – 1X lateral diantara garis Aksilaris anterior dan
posterior
Adapun alasan pemasangan pada daerah tersebut antaralain:
1. Pada sisi kanan terdapat hepar sehingga lokasi pemasangan lebih tinggi
2. Tempat paling rendah diantara dinding dada dan kubah diafragma sehingga mencegah
pengumpulan cairan yang terjebak diantara dinding dada dan kubah diafragma akibat
adanya gaya adhesi.
3. Cabang pembuluh darah intercostalis berjalan ditengah antara dua iga mualai dari garis
aksilaris anterior ke arah depan sehingga meminimalisir cidera yang mampu
mengakibatkan perdarahan.
Pemasangan WSD
Adapun langkah pemasangan WSD antaralain:
1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk. Jika tidak dapat dilakukan setengah duduk
atau dalam keadaan Left Lateral Decubitus
2. Identifikasi lokasi pemasangan selang. Batasan ditentukan dengan membuat garis dari
papilla mammae (pada laki-laki) atau lipatan terbawah mammae (pada perempuan) kea
rah tip inferior scapula, perpotongan garis tersebut pada linea aksilaris media adalah
kurang lebih setinggi sela iga V.
3. Secara steril diberikan tanda pada selang dada dari lubang terakhir selang dada.
4. Lakukan tindakan aseptic dan antiseptic di lokasi dan tutup dengan doek steril.
5. Daerah tempat masuk selang dada dan sekitarnya diberikan anastesi local secara
infiltrative dan blok.
6. Incise kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga. Irisan diteruskan secara tajam
menembus rongga pleura.
7. Dengan klem arteri lurus, lubang diperlebar secara tumpul.
8. Selang dada diklem dengan klem arteri dan didorong masuk ke rongga pleura.
9. Fiksasi selang dada sesuai dengan tanda pada selang dada, daerah luka dibersihkan dan
diberikan salep steril agar kedap udara.
10. Selang dada disambung dengan botol WSD.
15
Perawatan WSD
WSD berfungsi atau tidak ditandai dengan ada atau tidaknya undulasi (oscilasi). Bila
tekanan dalam rongga pleura negative, kolom cairan dalam selang akan naik turun sesuai
dengan gerakan respirasi. Dengan bertambah negatifnya tekanan dalam rongga pleura,
undulasi juga turut tambah tinggi. Undulasi akan hilang jika drain tersumbat atau terlipat,
atau bila paru sudah mengembang sempurna sehingga pleura parietal melekat pada pleura
visceral. Undulasi menyatakan patensi.
Adanya gelembung udara menandakan masih terjadinya pneumothoraks atau fistel
bronkopleura yang menyebabkan tekanan intrapleura meningkat. Ukuran fistel dapat
diperkirakan dengan memperhatikan saat timbulnya Bubble, yaitu:
1. Saat batuk, ekspirasi dan inspirasi maka fistel berukuran besar.
2. Saat batuk dan ekspirasi saja, maka ukuran fistel sudah berkurang
3. Saat batuk saja, maka fistelnya sudah mengecil atau mau menutup.
Jumlah cairan dan sifat cairan yang keluar ke dalam botol WSD harus diperhatikan. Pada
WSD hal yang harus diperhatikan dalam perawatan meliputi perawatan luka, perawatan
selang dan botol WSD. Perawatan luka minimal dilakukan dengan mengganti balutan
minimal satu kali per hari. Hal yang harus diperhatikan dalam perawatan antaralain:
1. Fiksasi selang drain pada kulit
2. Perubahan posisi drain
3. Infeksi pada kulit di sekitar tempat masuknya drain.
Pencabutan WSD
Pada dasarnya WSD harus diangkat sedini mungkin dan biasanya dalam 24-72 jam. WSD
dapat dipertahankan untuk waktu yang lebih lama, bila cairan yang keluar masih banyak dan
ditemukan adanya fistel yang belum menutup. Semakin lama drainase thoraks dibiarkan,
kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan timbulnya empyema semakin tinggi.
Fungsi WSD terutama adalah sebagai terapi. Terapi ini dihentikan setelah keadaan fisiologis
tercapai. WSD dapat dilepaskan bila keadaan intrapleura sudah fisiologis diantaranya:
16
1. Paru telah mengembang, sesuai dengan pemeriksaan klinis dan radiologis yang
menandakan tekanan intrapleura telah kembali negative
2. Produksi drain secara kuantitatif dan kualitatif telah tercapai. Kualitatif jika cairan telah
bersifat serous dengan kuantitas < 100 mL dalam 24 jam pada dewasa atau 25 – 40 cc/
jam pada anak usia 6 tahun ke atas.
3. Sudah tidak ada air bubleyang keluar, yang menunjukkan bahwa tidak ada fistula
bronco-pleura
Pencabutan WSD dapat dilakukan baik pada saat pasien ekspirasi maupun inspirasi dan
pasien diminta melakukan maneuver Valsava pada akhir inspirasi ataupun inspirasi dan
ditahan sampai selang WSD lepas dari dinding dada. Jika pencabutan dilakukan oleh satu
orang maka saat drain dilepaskan, luka bekas WSD segera ditutup dengan kassa yang telah
dibubuhi salep sebelumnya. Sedangkan jika pencabutan dilakukan oleh dua orang, saat
orang pertama mencabut WSD, orang kedua segera mengikat simpul pada jahitan yang
sebelumnya dipakai untuk fiksasi drain kemudian menutup dengan kasa yang telah dibubuhi
salep.
Komplikasi WSD
1. Infeksi, terjadi karena sterilitas yang kurang baik pada saat pemasangan maupun
perawatan, dapat terjadi infeksi dan abses pada lokasi pemasangan WSD. Apabila
pemasangan tidak baik, infeksi local dapat berkembang menjadi empyema. Untuk
mencegah hal tersebut maka prosedur aseptic dan antiseptic harus diperhatikan saat
pemasangan dan perawatan WSD. Jika dijumpai adanya tanda infeksi local maupun
sistemik maka selang harus diganti di lokasi yang berbeda.
2. Laserai jaringan paru, terutama pada kondisi paru yang mengalami perekatan dengan
dinding dada. Dapat dihindari dengan terlebih dahulu melakukan palpasi melakukan
palpasi digital ke dalam luka operasi WSD untuk meraba perlekatan sebelum memasang
selang.
3. Perdarahan, disebabkan oleh laserasi pada arteri intercostalis. Dapat dihindari dengan
memasang WSD menyusuri tepi atas costae dan menghindari tepi bawah costae di
atasnya.
17
BAB III
KESIMPULAN
1. Cedera dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumothoraks, open
pneumotoraks,flail chest, hematotoraks, tamponade jantung.
2. Hipoksia, dan asidosis seringkali terjadi akibat trauma thoraks.
3. Kaidah ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) merupakan hal yang terpenting
diperhatikan.
4. Tension Pneumothoraks disebabkan oleh trauma tajam pada thoraks yang mengakibatkan
adanya aliran udara menuju rongga pleura tanpa adanya aliran keluar (One-Way Valve).
5. Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau
sucking chest wound
6. Haemothoraks sering terjadi pada laserasi dan disrupsi parenkim paru yang lebih sering
ditemukan pada luka tembus dibandingkan dengan trauma tumpul
7. Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang
sehingga terjadi defek pada thoraks cage
8. Survey sekunder meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh dari kepala hingga ke kaki untuk
menilai jejas dan kelainan lain yang diderita oleh pasien
9. Pemasangan WSD bertujuan untuk membuat tekanan dalam rongga thoraks menjadi
negatif kembali
18
Top Related