Trauma Thorak

26
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI Dada berisi organ vital paru dan jantung. Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus yang mengembang dan mengempis bergantung pada pergerakan rongga dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernapasan, yaitu m. intercostalis dan diafragma yang menyebab rongga dada membesar dan paru mengembang sehingga udara terisap ke alveolus melalui trakea dan bronkus. Sebaliknya, jika m. intercostalis melemas, dinding dada akan mengecil hingga kembali dan udara akan terdorong ke luar. Sementara itu, karena tekanan intraabdomen, diafragma akan naik ketika m. intercostalis tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu kelenturan dinding toraks, kekenyalan jaringan paru dan tekanan intraabdomen, menyebabkan ekspirasi jika otot interkostalis dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan demikian, ekspirasi merupakan kegiatan pasif. Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi paru dapat dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam toraks bersamaan dengan mengembangnya toraks. Kekuatan tiupan harus melebihi kelenturan dinding dada, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intraabdomen. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator atau pada resusitasi dengan napas buatan mulut ke mulut. Otot Kontraksi Saat Perangsangan Inspirasi 1

description

Tension pneumotorak

Transcript of Trauma Thorak

Page 1: Trauma Thorak

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Dada berisi organ vital paru dan jantung. Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak

dinding dada. Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus yang mengembang dan mengempis

bergantung pada pergerakan rongga dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernapasan,

yaitu m. intercostalis dan diafragma yang menyebab rongga dada membesar dan paru

mengembang sehingga udara terisap ke alveolus melalui trakea dan bronkus.

Sebaliknya, jika m. intercostalis melemas, dinding dada akan mengecil hingga kembali

dan udara akan terdorong ke luar. Sementara itu, karena tekanan intraabdomen, diafragma akan

naik ketika m. intercostalis tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu kelenturan dinding toraks,

kekenyalan jaringan paru dan tekanan intraabdomen, menyebabkan ekspirasi jika otot

interkostalis dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan

demikian, ekspirasi merupakan kegiatan pasif.

Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi paru dapat dibuat

dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam toraks bersamaan dengan

mengembangnya toraks. Kekuatan tiupan harus melebihi kelenturan dinding dada, kekenyalan

jaringan paru, dan tekanan intraabdomen. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator atau

pada resusitasi dengan napas buatan mulut ke mulut.

Otot Kontraksi Saat Perangsangan InspirasiDiafragma Bergerak ke bawah, meningkatkan

dimensi vertical rongga dadaSetiap inspirasi, otot inspirasi utama

Interkostalis eksternus Menarik iga ke atas-luar, meningkatkan dimensi antero-posterior dan lateral rongga dada

Setiap inspirasi, otot inspirasi kedua

Skalenus, sternokleidomastoideus

Menarik sternum dan dua iga teratas, memperbesar bagian atas rongga dada

Inspirasi kuat , otot inspirasi tambahan

EkspirasiAbdominal Meningkatkan tekanan abdomen,

mendorong diafragma, mengurangi dimensi vertical rongga dada

Ekspirasi aktif

Interkostalis internus Menarik iga ke bawah-dalam, mengurangi dimensi tranversal rongga dada

Ekspirasi aktif

Tabel 1. Otot-otot yang berperan dalam Proses Pernapasan

Mekanika Sistem Pernapasan

1

Page 2: Trauma Thorak

Secara garis besar, system pernapasan terdiri dari respirasi eksternal dan respirasi

internal. Respirasi eksternal adalah proses pengambilan oksigen dari luar lingkungan untuk

selanjutnya ditukar dengan karbondioksida dari dalam tubuh. Respirasi internal pertukaran udara

dalam tingkat seluler.

Gambar 2 Tahapan proses Respirasi

Paru dan dinding dada merupakan struktur yang elastis. Pada keadaan normal. Antara

paru dan dinding dada dihubungkan oleh membran tipis pleura. Pleura terdiri dari dua bagian

pleura visceral yang melekat pada permukaan paru dan pleura parietal yang melekat pada

dinding thoraks dan diantara dua pleura ini terdapat ruang esensial cavum pleura. Cavum pleura

ini berisi sedikit cairan sehingga paru dapat bergerak dengan mudah namun sulit untuk

dipisahkan dengan dinding dada seperti halnya dua lempeng kaca basah yang dapat digeser

namun sulit dipisahkan. Dalam proses pernapasan sendiri ada tiga tekanan yang penting untuk

menimbulkan aliran udara yakni tekanan atmosfer, tekanan Intra-alveolar dan tekanan

intrapleura yang diilustrasikan pada gambar 3 di bawah ini.

2

Page 3: Trauma Thorak

Gambar 3 Tekanan yang berperan dalam Pernapasan

Gradien tekanan transmural adalah tekanan yang tercipta karena adanya perbedaan antara

dua tekanan. Gradient tekanan transmural yang pertama diciptakan oleh adanya perbedaan antara

tekanan intraalveolar dengan tekanan intrapleura dan kedua diciptakan oleh tekanan toraks

dengan tekanan intra pleura.

Tekanan di dalam paru lebih besar dibandingkan tekanan intrapleura sehingga adanya

dorongan dari dalam ke luar yang mengakibatkan paru selalu ditekan untuk mengembang.

Tekanan dinding toraks lebih besar daripada tekanan intrapleura sehingga ada dorongan dari luar

ke dalam yang menyebabkan rongga dada terkompresi.

Ketika inspirasi, terjadi kontraksi dari otot diafragma dan otot intercostal eksterna. Otot

diafragma akan mendatar dan melebarkan rongga dada dengan mendorong isi abdomen ke

bawah. Otot intercostal eksterna memperluas rongga toraks ke lateral, anterior maupun posterior.

Keadaan ini menciptakan penurunan dari tekanan intraalveolar sehingga udara mengalir dari luar

ke dalam.

Pada akhir inspirasi, otot inspirasi akan relaksasi. Otot diafragma kembali ke bentuk

awalnya dan paru mengalami recoil. Keadaan ini menciptakan kenaikan pada tekanan

intraalveolar sehingga udara keluar dari paru secara pasif dari tekanan yang tinggi ke tekanan

yang rendah.

3

Page 4: Trauma Thorak

B. ETIOLOGI

Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam.

Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam

trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping,

belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan

riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Trauma tajam

terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Trauma thoraks sering disertai dengan cedera

perut, kepala dan abdomen sehingga memerlukan perhatian khusus dalam penatalaksanaan.

C. KELAINAN PADA TRAUMA THORAKS

1. TENSION PNEUMOTHORAKS

Pneumotoraks terjadi akibat adanya udara yang masuk dalam ruang potensial antara

pleura viceralis dan parietalis. Baik trauma tembus maupun tidak tembus dapat menyebabkan

pneumotoraks. Dislokasi fraktur tulang belakang torakal juga dapat menyebabkan pneumotoraks.

Laserasi paru dengan kebocoran udara merupakan penyebab umum pneumotoraks akibat trauma

tumpul.

4

Gambar 4. Perbedaan Tekanan dalam Proses Inspirasi

Page 5: Trauma Thorak

Tension Pneumothoraks disebabkan oleh trauma tajam pada thoraks yang mengakibatkan

adanya aliran udara menuju rongga pleura tanpa adanya aliran keluar (One-Way Valve).

Akumulasi udara pada rongga pleura ini mengakibatkan terjadinya pergeseran mediastinum ke

arah yang berlawanan, menyebabkan terjadinya penurunan Venous Return dan dapat

menimbulkan henti jantung. Tension Pneumothoraks harus dapat diidentifikasi secepatnya pada

Survei Primer. Pasien akan bernapas pendek dan terlihat adanya deviasi trakea ke sisi

berlawanan. Pada perkusi akan ditemukan hipersonor pada hemithoraks yang bersangkutan dan

pada auskultasi suara napas tidak terdengar pada sisi yang terluka. Pada kasus ini pemeriksaan

radiologi tidak dilakukan. Terapi yang dilakukan adalah melakukan dekompresi pada rongga

pleura dengan membuat lubang sebagai tempat aliran udara. Jarum yang berukuran besar ditusuk

pada Spatium Intercosta II linea midaxilaris pada sisi yang terluka. Dekompresi dinyatakan

berhasil jika ditemukan adanya aliran udara melalui jarum yang ditusukkan. Tindakan ini dapat

mengubah keadaan dari Tension Pneumothoraks menjadi simple Pneumothoraks.

5

Gambar. (a) Deviasi Mediastinum pada Tension Pneumothoraks. (b) Keadaan tension Pneumothoraks setelah dilakukan insersi

kanul pada SIC II Dekstra

Page 6: Trauma Thorak

2. OPEN PNEUMOTORAKS(SUCKING CHEST WOUND)

Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau

sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer segera tercapai.

Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga diameter trakea, udara mengalir melalui

defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara cenderung mengalir kelokasi

yangtekanannya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu sehingga memicu terjadinya

hipoksia dan hiperkarbia.

Penatalaksanaan awal dariopen pneumotoraks dapat tercapai dengan menutup defek

tersebut dengan occlusive dressing yang steril. Penutup ini harus cukup besar untuk menutupi

seluruh luka dan kemudian direkatkan pada tiga sisi untuk memberikan feel “flatter type valve”.

Saat pasien inhalasi, penutup ini akan menyumbat luka, mencegah udara masuk dan saat

ekspirasi, lubang terbuka dari penutup inimemungkinkan udara keluar dari ruang pleura. chest

tube sebaiknya segera dipasang secepat mungkin. Bila semua sisi penutup tadi direkatkan, maka

semua udara akan terakumulasi dalam rongga toraks dan akan terjadi tension pneumotoraks

kecuali chest tube telah terpasang. Setiap occlusive dressing (misalnya plastic wrap atau

petrolatum gauze) dapat digunakan sebagai media sementara sehingga penilaian cepat dapat

terus dilakukan.

6

Gambar. Rontgen Thoraks menunjukkan adanya Simple Pneumothoraks Hemithoraks Dekstra

Page 7: Trauma Thorak

3. FLAIL CHEST DAN KONTUSIO PARU

Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang

sehingga terjadi defek pada thoraks cage. Kondisi ini biasanya terkait dengan fraktur coste

multiple yaitu dua aatau lebih tulang iga mengalami fraktur pada dua tempat atau lebih. Adanya

segment flail chest menyebabkan gangguan pergerakan dinding dada yang normal. Jika trauma

mengenai paru cukup bermakna maka dapat terjadi hipoksia. Kesulitan utama pada flail chest

akibat trauma paru (kontusio paru). Walaupun instabilitas dinding dada memicu pergerakan

paradoksal dinding dada pada saat inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak menyebabkan

hipoksia. Keterbatasan pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari

merupakan penyebab penting hipoksia.

Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya “splinting” pada

dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak

asimetrisdan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi tulang

iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan foto rongen toraks akan

dijumpai fraktur costae multiple tetapi dapat juga tidak dijumpai pemidahan costochondral.

Analisis gas darah arteri yang menunjukan kegagalan pernapasan dengan hipoksia juga akan

membantu menegakkan diagnosis flail chest.

Terapi awal meliputi ventilasi adekuat, pemberian oksigen dan resusitasi cairan. Bila

tidak dijumpai hipotensi sistemik, pemberian cairan kristaloid intravena harus diawasi secara

ketat agar tidak terjadi overhidrasi.

Penatalaksanaan definitive meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian cairan

secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. analgetik local dapat diberikan

dengan pertimbangan tidak menyebabkan depresi pernapasan. Pencegahan hipoksia juga

merupakan bagian penting dalam penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi pada

periode waktu yang singkat diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan

lengkap.

4. HAEMOTHORAKS

Trauma thoraks dapat juga mengakibatkan adanya akumulasi darah pada rongga pleura.

Haemothoraks sering terjadi pada laserasi dan disrupsi parenkim paru yang lebih sering

7

Page 8: Trauma Thorak

ditemukan pada luka tembus dibandingkan dengan trauma tumpul. Hemothoraks dapat sedikit

ataupun massif. Heamothoraks massif terjadi ketika akumulasi darah berjalan cepat lebih dari 1

liter. Keadaan ini mengakibatkan hipoksia dan juga hipovolemia pada pasien. Secara klinis,

hemothoraks massif ditandai dengan adanya hipoksia, penurunan tekanan darah, dan pada

pemeriksaan di daerah ipsilateral ditemukan ekspansi yang lebih lemah, perkusi redup dan suara

napas melemah. Manajemen awal yang dapat dilakukan adalah dengan menginsersi jarum

berukuran besar pada Spatium InterCostae VI Linea Aksilaris. Managemen lanjutan dilihat

berdasarkan jumlah darah yang keluar. Jika darah yang keluar lebih dari 1 Liter, maka dilakukan

tindakan Thoracotomy segera. Jika kehilangan dari 200 mL/ jam dalam 2-4 jam maka pasien

harus dilakukan tindakan pembedahan.

5. TAMAPONADE JANTUNG

Tamponade jantung biasanya terjadi akibat luka tembus. Trauma tumpul juga dapat

menyebabkan pericardium terisi darah yang berasal dari jantung, pembuluh darah besar maupun

pembuluh darah pericardium. Sakus pericardium manusia merupakan struktur fibrosis dengan

sejumlah darah relative kecil diperlukan untuk restriksi aktivitas jantung dan menggangu

pengisian jantung. Tamponade jantung terjadi secara perlahan sehingga memungkinkan evaluasi

yanglebih teliti, tetapi tamponade jantung juga dapat terjadi dalam waktu singkat sehingga

memerlukan diagnosis dan tatalaksana cepat. Diagnosis tamponade jantung kadang sulit

ditegakkan.

Triad Beck’s ialah diagnosis klasik yang terdiri dari peningkatan tekanan vena,

penurunan tekanan arteri dan suara jantung yang menjauh. Walaupun demikian, suara jantung

yang menjauh sulit untuk dinilai saat berada di ruang IGD yang ramai, sedangkan distensi vena

dapat menghilang akibat hypovolemia. Disamping itu, tension penumotoraks, khususnya pada

sisi kiri dapat menyerupai tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada

inspirasi saat bernapas spontan) merupakan gangguan tekanan vena paradoksal sejati yang

berhubungan dengan tamponade jantung. PEA dapat meningkatkankecurigaan tamponade

jantung tetapi dapat juga disebabkan keadaan lain.

Diagnosis tepat dan evakuasi darah pericardial merupakan indikasi pada pasien yang

tidak memberikan respon terhadap resusitasi syok hemoragik atau potensi terjadinya tamponade

8

Page 9: Trauma Thorak

jantung. Bila ada ahli bedah yang berkompetensi, tindakan bedah dapat dilakukan untuk

membebaskan tamponade. Tindakan ini terbaik dilakukan dikamar operasi jika kondisi pasien

memungkinkan, jika intervensi bedah tidak memungkinkan maka perikardiosentesis dapat

membantuk menegakkan diagnosis sekaligus sebagai terapi tetapi bukan sebagai terapi

definitive.

Saat tamponade jantung dicurigai kuat terjadi, pemberian awal cairan intravena akan

meningkatkan tekanan vena dan memperbaiki curah jantung sementara sambil mempersiapkan

tindakan bedah. Jika perikardiosentesis subxyphoid dilakukan sebagai maneuver sementara

dengan menggunakan jarum yang terbungkus plastic atau teknik Seldinger untuk pemasangan

kateter yang fleksibel, prioritas utama tetap pada upaya melakukan aspirasi darah dari sakus

pericardial. Jika tersedia pemeriksaan ultrasound maka dapat dijadikan sebagai panduan jarum

menuju ruang pericardial secara akurat. Aspirasi darah pericardial sendiri dapat membebaskan

gejala secara sementara. Tetapi, semua pasien dengan tamponade jantung akan memerlukan

tindakan bedah untuk pemeriksaan jantung dan repair trauma.

Maneuver terapeutik dapat dilakukan secara efektif bersama toraktomi resusitasi meliputi :

- Evakuasi darah perikardia yang memicu terjadinya temponade

- Kontrol langsung “exsanguinating” perdarahan intratorakal

- Pijat jantung terbuka

- Cross-clamping aorta descenden untuk memperlambat perdarahan dibawah diagfragma

dan meningkatkan perfusi menuju otak dan jantung.

Disamping manfaat maneuver ini, sejumlah laporan menyatakan bahwa torakotomi di

departemen gawat darurat pada pasien trauma tumpul dan henti jantung jarang sekali efektif.

D. SURVEI PRIMER

1. Jalan Napas (Airway)

Adanya trauma mayor yang mengenai jalan napas perlu segera dikenali saat melakukan

survey primer. Patensi jalan napas sebaiknya dinilai dengan mendengarkan pergerakan

udara melalui hidung, mulut dan lapang paru pada pasien. Melakukan inspeksi orofaring

9

Page 10: Trauma Thorak

untuk menilai adanya obstruksi benda asing dan mengamati adanya retraksi otot

intercostalis dan supraklavikular.

Trauma pada toraks atas dapat dinilai dengan adanya defek yang dapat dipalpasi pada

region persendian sternoklavikula dengan dislokasi posterior caput klavikula yang

menyebabkan obstruksi saluran napas atas. Identifikasi dapat dilakukan dengan

obseervasi adanya stridor atau perubahan bermakna pada kualitas suara.

2. Pernapasan (Breathing)

Dada dan leher pasien harus dinilai secara menyeluruh untuk menilai pernapasan dan

vena leher. Pergerakan dan kualitas respirasi dinilai dengan observasi, palpasi dan

pendengaran suara napas. Tanda trauma thoraks atau hipoksia yang penting namun

sering terlewatkan adalah peningkatan kecepatan dan pola pernapasan, khususnya

pernapasan yang makin dangkal. Sianosis merupakan tanda lanjut hipoksia pada pasien

trauma. Trauma thoraks dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan harus dikenali

dan ditangai saat survey primer termasuk adanya tension pneumothoraks, open

pneumothoraks (Sucking Chest Wound) dan Hemothoraks massif.

3. Sirkulasi

Pada pemeriksaan denyut nadi pasien harus dinilai akan kualitas, kecepatan dan

regularitas. Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi radialis dan dorsalis pedis

dapat tidak teraba akibat adanya deplesi volume. Pengawasan jantung dan oksimetri nadi

harus dilakukan pada pasien. Pasien yang mengalami trauma thoraks terutama pada area

sternum atau akibat trauma deselerasi cepat sangat rentan mengalami trauma miokard

yang dapat memicu terjadinya disaritmia. Hipoksia dan asidosis akan meningkatkan

kemungkinan ini. Pulseless Electric Activity (PEA) tampak pada EKG yang menunjukan

sebuah ritme saat pulsasi pasien tidak teraba. PEA dapat ditemukan pada tamponade

Jantung, Tension Pneumothoraks, Hipovolemia. Trauma thoraks dapat mempengaruhi

sirkulasi, sebaiknya dikenali dan ditatalaksana pada saat survey primer.

10

Page 11: Trauma Thorak

Penyebab kematian pada satu jam pertama setelah trauma adalah perdarahan. Oleh sebab

itu, setelah tercapai patensi jalan napas dan pernapasan yang adekuat, prioritas

selanjutnya adalah sirkulasi. Pemasangan IV line dengan jarum besar satu atau dua jalur

harus dilakukan untuk menjaga sirkulasi.

E. TINDAKAN TORAKOTOMI

Pada trauma penetrasi thoraks tindakan Torakotomi merupakan terapi yang dapat

menurunkan angka kematian. Tindakan resusitasi torakotomi ini dapat dilakukan pada instalasi

gawat darurat terutama pada RS level 1. Dari sebuah meta-analisis pada 24 laporan tentang

keberhasilan thorakotomi ditemukan bahwa tingkat survival penderita adalah 11 % (246 dari

2.294 pasien). penilaian Sign of Life (SOL) sangat berpengaruh dalam ketercapaian Torakotomi.

SOL antaralain adanya aktivitas elektrik Supraventrikular, reaksi pupil dan respirasi agonal. Dari

penelitian ini akhirnya dibuat sebuah algoritma untuk tindakan torakotomi yang dijelaskan pada

gambar 7.

Gambar 7. Algoritma Tindakan Torakotomi pada Pasien dengan Trauma Penetrasi

Thoraks

11

Page 12: Trauma Thorak

(ED= Emergency Departement, SOL= Sign of Life, DOA= Dead on Arrival, EDRT=

Emergency Departement Resusitative Toracotomy)

F. SURVEI SEKUNDER

Survey sekunder meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh dari kepala hingga ke kaki untuk

menilai jejas dan kelainan lain yang diderita oleh pasien. pemeriksaan lanjutan seperti Rontgen

dapat dilakukan jika memungkinkan, penilaian analisis gas darah dan pulse oxymetri serta

pengawasan EKG. Disamping menilai pengembangan paru dan cairan, pada pemeriksaan

rontgen dapat dinilai adanya pelebaran mediastinum, pergeseran midline, dan hilangnya

gambaran rinci anatomi. Fraktur tulang iga multiple dan fraktur pada costae pertama atau kedua

menunjukan adanya tekanan yang berat pada toraks dan jaringan dibawahnya.

12

Gambar 8. Teknik dan Tahap Tindakan

Torakostomi

Page 13: Trauma Thorak

G. SISTEM WATER SEALED DRAINAGE

Prinsip WSD

1. Gravitasi

Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih

rendah.

2. Tekanan Negatif

Udara atau cairan menghasilkan tekanan positif (763 mmHg atau lebih) dalam

rongga pleura. Udara dan cairan Water Sealed pada selang dada menghasilkan

tekanan positif yang kecil (761 mmHg).

3. Water Sealed

Tujuan utama dari water sealed adalah membiarkan udara keluar dari rongga pleura

dan mencegah udara dari atmosfer masuk ke rongga pleura.

Macam – macam WSD

1. Satu Botol

Digunakan satu botol untuk drainase dan water sealed. Sistem ini langsung

dihubungkan pada selang WSD dari pasien. system satu botol ini mempunyai

kelemahan yaitu penggunaan botol yang sama untuk dua tujuan berbeda. Bila cairan

dalam botol bertambah, maka tekanan untuk mengeluarkan cairan atau udara dari

dari rongga pleura juga harus bertambah dan system ini menjadi kurang efisien.

2. Dua Botol

Kelemahan sistem satu botol dapat ditanggulangi dengan sistem ini. Botol pertama

dapat digunakan sebagai tempat drainase, botol kedua sebagai water sealed.

3. Tiga Botol

Digunakan tiga buah botol, dimana botol ketiga digunakan sebagai pengatur tekanan

negatif bila dipergunakan mesin penghisap. Dengan manometer yang dapat dinaik-

turunkan, tekanan yang diinginkan dapat diatur. Botol pertama diguanakan sebagai

penampung cairan agar tidak mengganggu sistem water sealed pada botol kedua.

13

Page 14: Trauma Thorak

Ukuran Selang Dada

Selang dada (Chest tube) berukuran kecil lebih disukasi karena lebih nyaman digunakan

pada pasien dibandingan chest tubeberukuran besar. Untuk drainase cairan (serous, darah,

atau pus) sebaiknya digunakan selang dada berukuran besar (minimal 28 – 30 F), untuk

drainase udara dapat dipakai nomor 20 – 24 F. Ukuran chest tube berdasarkan usia adalah

sebagai berikut:

8 – 12 French untuk bayi dan anak

16 – 20 French untuk anak dan dewasa muda

24 – 32 French untuk dewasa

Indikasi WSD

Pemasangan WSD bertujuan untuk membuat tekanan dalam rongga thoraks menjadi negatif

kembali. Kondisi yang memerlukan pemasangan WSD adalah semua hal yang menyebabkan

tekanan intrapleura positif / meningkat, antaralain:

1. Pneumotoraks

2. Hematothoraks

3. Efusi Pleura

4. Empiema thoraks

5. Pasca Thoracotomy

Lokasi Pemasangan WSD

Selang dada yang dihubungkan dengan sistem WSD dapat dipasang pada bagian thoraks

manapun selama dapat membuat tekanan dalam rongga pleura menjadi negative. ATLS

menganjurkan pemasangan selang pada Spatium Intercostae V lateral baik sisi kiri maupun

kanan dengan pertimbangan bahwa lokasi itu paling aman pada kondisi gawat-darurat

dengan waktu yang terbatas.

Lokasi pemasangan WSD ideal adalah:

1. Kanan : Spatium Intercostae VII – VIII lateral diantara garis Aksilaris anterior dan

posterior

14

Page 15: Trauma Thorak

2. Kiri : Spatium Intercostae VIII – 1X lateral diantara garis Aksilaris anterior dan

posterior

Adapun alasan pemasangan pada daerah tersebut antaralain:

1. Pada sisi kanan terdapat hepar sehingga lokasi pemasangan lebih tinggi

2. Tempat paling rendah diantara dinding dada dan kubah diafragma sehingga mencegah

pengumpulan cairan yang terjebak diantara dinding dada dan kubah diafragma akibat

adanya gaya adhesi.

3. Cabang pembuluh darah intercostalis berjalan ditengah antara dua iga mualai dari garis

aksilaris anterior ke arah depan sehingga meminimalisir cidera yang mampu

mengakibatkan perdarahan.

Pemasangan WSD

Adapun langkah pemasangan WSD antaralain:

1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk. Jika tidak dapat dilakukan setengah duduk

atau dalam keadaan Left Lateral Decubitus

2. Identifikasi lokasi pemasangan selang. Batasan ditentukan dengan membuat garis dari

papilla mammae (pada laki-laki) atau lipatan terbawah mammae (pada perempuan) kea

rah tip inferior scapula, perpotongan garis tersebut pada linea aksilaris media adalah

kurang lebih setinggi sela iga V.

3. Secara steril diberikan tanda pada selang dada dari lubang terakhir selang dada.

4. Lakukan tindakan aseptic dan antiseptic di lokasi dan tutup dengan doek steril.

5. Daerah tempat masuk selang dada dan sekitarnya diberikan anastesi local secara

infiltrative dan blok.

6. Incise kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga. Irisan diteruskan secara tajam

menembus rongga pleura.

7. Dengan klem arteri lurus, lubang diperlebar secara tumpul.

8. Selang dada diklem dengan klem arteri dan didorong masuk ke rongga pleura.

9. Fiksasi selang dada sesuai dengan tanda pada selang dada, daerah luka dibersihkan dan

diberikan salep steril agar kedap udara.

10. Selang dada disambung dengan botol WSD.

15

Page 16: Trauma Thorak

Perawatan WSD

WSD berfungsi atau tidak ditandai dengan ada atau tidaknya undulasi (oscilasi). Bila

tekanan dalam rongga pleura negative, kolom cairan dalam selang akan naik turun sesuai

dengan gerakan respirasi. Dengan bertambah negatifnya tekanan dalam rongga pleura,

undulasi juga turut tambah tinggi. Undulasi akan hilang jika drain tersumbat atau terlipat,

atau bila paru sudah mengembang sempurna sehingga pleura parietal melekat pada pleura

visceral. Undulasi menyatakan patensi.

Adanya gelembung udara menandakan masih terjadinya pneumothoraks atau fistel

bronkopleura yang menyebabkan tekanan intrapleura meningkat. Ukuran fistel dapat

diperkirakan dengan memperhatikan saat timbulnya Bubble, yaitu:

1. Saat batuk, ekspirasi dan inspirasi maka fistel berukuran besar.

2. Saat batuk dan ekspirasi saja, maka ukuran fistel sudah berkurang

3. Saat batuk saja, maka fistelnya sudah mengecil atau mau menutup.

Jumlah cairan dan sifat cairan yang keluar ke dalam botol WSD harus diperhatikan. Pada

WSD hal yang harus diperhatikan dalam perawatan meliputi perawatan luka, perawatan

selang dan botol WSD. Perawatan luka minimal dilakukan dengan mengganti balutan

minimal satu kali per hari. Hal yang harus diperhatikan dalam perawatan antaralain:

1. Fiksasi selang drain pada kulit

2. Perubahan posisi drain

3. Infeksi pada kulit di sekitar tempat masuknya drain.

Pencabutan WSD

Pada dasarnya WSD harus diangkat sedini mungkin dan biasanya dalam 24-72 jam. WSD

dapat dipertahankan untuk waktu yang lebih lama, bila cairan yang keluar masih banyak dan

ditemukan adanya fistel yang belum menutup. Semakin lama drainase thoraks dibiarkan,

kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan timbulnya empyema semakin tinggi.

Fungsi WSD terutama adalah sebagai terapi. Terapi ini dihentikan setelah keadaan fisiologis

tercapai. WSD dapat dilepaskan bila keadaan intrapleura sudah fisiologis diantaranya:

16

Page 17: Trauma Thorak

1. Paru telah mengembang, sesuai dengan pemeriksaan klinis dan radiologis yang

menandakan tekanan intrapleura telah kembali negative

2. Produksi drain secara kuantitatif dan kualitatif telah tercapai. Kualitatif jika cairan telah

bersifat serous dengan kuantitas < 100 mL dalam 24 jam pada dewasa atau 25 – 40 cc/

jam pada anak usia 6 tahun ke atas.

3. Sudah tidak ada air bubleyang keluar, yang menunjukkan bahwa tidak ada fistula

bronco-pleura

Pencabutan WSD dapat dilakukan baik pada saat pasien ekspirasi maupun inspirasi dan

pasien diminta melakukan maneuver Valsava pada akhir inspirasi ataupun inspirasi dan

ditahan sampai selang WSD lepas dari dinding dada. Jika pencabutan dilakukan oleh satu

orang maka saat drain dilepaskan, luka bekas WSD segera ditutup dengan kassa yang telah

dibubuhi salep sebelumnya. Sedangkan jika pencabutan dilakukan oleh dua orang, saat

orang pertama mencabut WSD, orang kedua segera mengikat simpul pada jahitan yang

sebelumnya dipakai untuk fiksasi drain kemudian menutup dengan kasa yang telah dibubuhi

salep.

Komplikasi WSD

1. Infeksi, terjadi karena sterilitas yang kurang baik pada saat pemasangan maupun

perawatan, dapat terjadi infeksi dan abses pada lokasi pemasangan WSD. Apabila

pemasangan tidak baik, infeksi local dapat berkembang menjadi empyema. Untuk

mencegah hal tersebut maka prosedur aseptic dan antiseptic harus diperhatikan saat

pemasangan dan perawatan WSD. Jika dijumpai adanya tanda infeksi local maupun

sistemik maka selang harus diganti di lokasi yang berbeda.

2. Laserai jaringan paru, terutama pada kondisi paru yang mengalami perekatan dengan

dinding dada. Dapat dihindari dengan terlebih dahulu melakukan palpasi melakukan

palpasi digital ke dalam luka operasi WSD untuk meraba perlekatan sebelum memasang

selang.

3. Perdarahan, disebabkan oleh laserasi pada arteri intercostalis. Dapat dihindari dengan

memasang WSD menyusuri tepi atas costae dan menghindari tepi bawah costae di

atasnya.

17

Page 18: Trauma Thorak

BAB III

KESIMPULAN

1. Cedera dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumothoraks, open

pneumotoraks,flail chest, hematotoraks, tamponade jantung.

2. Hipoksia, dan asidosis seringkali terjadi akibat trauma thoraks.

3. Kaidah ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) merupakan hal yang terpenting

diperhatikan.

4. Tension Pneumothoraks disebabkan oleh trauma tajam pada thoraks yang mengakibatkan

adanya aliran udara menuju rongga pleura tanpa adanya aliran keluar (One-Way Valve).

5. Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau

sucking chest wound

6. Haemothoraks sering terjadi pada laserasi dan disrupsi parenkim paru yang lebih sering

ditemukan pada luka tembus dibandingkan dengan trauma tumpul

7. Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang

sehingga terjadi defek pada thoraks cage

8. Survey sekunder meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh dari kepala hingga ke kaki untuk

menilai jejas dan kelainan lain yang diderita oleh pasien

9. Pemasangan WSD bertujuan untuk membuat tekanan dalam rongga thoraks menjadi

negatif kembali

18