Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
Posted by joe pada 01/09/2009
Latar Belakang
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE
termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi
sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan
tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke
dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit,
atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka
gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut,
anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi
pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003).
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga
Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per
10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and
Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap
SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris,
SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000
populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia
sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah
penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan
hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81
orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis,
dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan
Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit
yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul
adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat
tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup
berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk
menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga
merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik,
neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).
Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyaisurvival rate yang lebih tinggi
daripada dengan manifestasi klinik renal dan central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival
rateyang berbeda, penderita dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi
dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun
mendekati 90%, dimana pada tahun 1955 survival rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%.
Peningkatan angka ini menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan
deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran
dan farmasi.
Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan
oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling
banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang
berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The
Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita SLE
mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard daripada wanita sehat. Penyebab
peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial,
mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan
penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab
mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang akif (34%),
infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan
pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi
selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka
pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-
obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-
obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan
transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat digunakan untuk
SLE ringan. Dosis yang digunakan harus memadai untuk menimbulkan efek antiinflamasi. Aspirin dosis
rendah dapat digunakan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Penggunaan NSAID dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal, hal ini dapat memperparah terjadinya lupus nefritis (Delafuente, 2002).
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi lupus dengan lesi
kulit berbentuk cakram. Selain itu obat ini juga dapat digunakan untuk terapi SLE terutama pada pasien
dengan keluhan manifestasi kulit, pleuritis, inflamasi perikardial ringan, anemia ringan dan leukopenia. Obat
ini digunakan umumnya dalam jangka panjang. Selain NSAID dan antimalaria, kortikosteroid juga digunakan
pada terapi SLE. Penderita SLE tidak selalu memerlukan kortikosteroid, pasien dengan manifestasi klinis
yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain baru diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut
lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Tujuan pemberian kortikosteroid
adalah untuk menekan penyakit yang aktif dan mempertahankannya dengan dosis serendah mungkin.
Terapi kortikosteroid yang diberikan jangka pendek dan dosis tinggi intravena mempunyai tujuan yaitu untuk
menginduksi terjadinya remisi pada penderita SLE yang mempunyai manifestasi klinik serius. Untuk obat-
obat sitotoksik yang digunakan adalah kategori bahan pengalkilasi seperti siklofosfamid dan antimetabolit
azatioprin. Biasanya obat-obat tersebut dikombinasikan dengan kortikosteroid. Tujuan kombinasi ini adalah
untuk mengurangi dosis steroid dan meningkatkan efektivitas steroid (Delafuente, 2002). Selain obat-obat
yang digunakan untuk pengobatan penyakit SLE, perlu juga diwaspadai obat-obat yang dapat menginduksi
terjadinya penyakit SLE antara lain hidralazin, prokainamid, metildopa, klorpromazin, dll. (Herfindal et al.,
2000).
Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan ilmu terapi dan perubahan paradigma kefarmasian ke
arah pharmaceutical care, farmasis sebaiknya turut berperan dalam tim kesehatan dalam hal
pemilihan obat, penyediaan produk obat, monitor efek obat, mengidentifikasi problema obat yang
timbul maupun yang berpotensi untuk timbul serta pengobatan kompleks yang diberikan kepada
penderita SLE. Hal ini penting mengingat SLE adalah penyakit dengan banyaknya manifestasi klinik yang
muncul maka diperlukan penguasaan yang baik mengenai penggunaan obat di lapangan yang data-datanya
dapat diperoleh melalui studi penggunaan obat. Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian
untuk mempelajari pola penggunaan obat pada penderita SLE sehingga dapat diketahui bahwa terapi yang
diberikan tepat dan adekuat serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah pola penggunaan obat pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat
Inap RSU Dr. Soetomo Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pola penggunaan obat pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSU Dr.Soetomo
Surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
(1). Menganalisis profil penggunaan obat meliputi macam obat, dosis, rute pemberian, frekuensi
penggunaan, dan lama penggunaan.
(2). Menganalisis hubungan penggunaan obat dengan data laboratorium dan data klinis
(3). Mengidentifikasi drug related problem (DRP) yang mungkin timbul
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola penggunaan obat pada pasien SLE
sehingga mampu memberikan pelayanan terapi obat secara optimal pada penderita dan sebagai masukan
dalam upaya peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Studi Penggunaan Obat (DUS)
Studi penggunaan obat atau Drug Utilization Study (DUS) menurut World Health Organization (WHO)
adalah peresepan dan penggunaan obat yang mencakup pemasaran dan distribusi pada masyarakat
yang dititikberatkan khususnya pada konsekuensi ekonomis, sosial, dan kesehatan. Dari definisi di atas
dapat diketahui bahwa fokus dari studi pengunaan obat adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh
dan terlibat dalam peresepan, peracikan, pemberian, dan penggunaan obat. Tujuan umum dari studi
penggunaan obat adalah mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan dalam pengobatan. Pendekatan ini sebaiknya didasarkan pada tujuan dan kebutuhan penderita.
Studi penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Studi kualitatif digunakan untuk
mengevaluasi ketepatan penggunaan obat dengan cara mencari hubungan antara data peresepan dan
alasan pemberian terapi. Sedangkan secara kuantitatif, dilakukan dengan cara mengumpulkan secara rutin
data statistik dari penggunaan obat yang dapat digunakan untuk memperkirakan penggunaan obat pada
suatu populasi berdasarkan usia, kelas sosial, morbiditas, dan karakteristik lainnya serta
untuk mengidentifikasi adanya kemungkinan overutilization atau underutilization (Lee & Bergman, 2000).
2.2 Tinjauan Tentang SLE
2.2.1 Definisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah,
dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan
komplemen (Epstein, 1998).
2.2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun
menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia
produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang
tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap
etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam
1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di
Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
2.2.3 Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE.
Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka
kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik
(2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di
tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan
pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi
sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
2.2.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus,
dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama,
sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung,
dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg
and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen
HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000).
Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely Possible Unlikely
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa
Antikonvulsan Propitiourasil
Fenitoin Metimazol
Karbamazepin Penisilinamin
Asam valproat Sulfasalazin
Etosuksimid Sulfonamid
β-bloker Nitrofurantoin
Propranolol Levodopa
Metoprolol Litium
Labetalol Simetidin
Acebutolol Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Griseofulvin
Penisilin
Garam emas
Kontrasepsi oral
Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah
2.2.5 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel
yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks
imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik
yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang
berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau
berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida
dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan
sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B
dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Gb.2.1 Patofisiologi SLE (Epstein, 1998)
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-
mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi
antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2
yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon
terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau,
2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan
B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit
T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan
dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1
menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B
dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan
terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan
CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+
(Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan
sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-)
mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa
mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel
sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu
pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan
jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan
aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan
dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap
kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan
kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan
klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2
dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi
komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen
terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam
organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi
radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau
beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah
apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan
fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam
membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan
CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor
membran seperti transporter ABC1, complement receptor(CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin,
dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi
adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan
menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien
SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
Gb.2.2 Mekanisme apoptosis pada patofisiologi SLE (Bijl et al., 2001)
2.2.6 Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE
yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat
ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
(1) Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
(2) Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan
sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
(3) Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
(4) Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
(5) Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.
(6) Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
(7) Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
b.Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
(8) Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
(9) Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau
limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada
obat penginduksi gejala tersebut.
(10) Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid
(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma
lupus (Delafuente, 2002).
2.2.7 Data laboratorium
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai
sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada
penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA
yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti
ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang
lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem
komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana
and Pagana, 2002).
.
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi
protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya
SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja
karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan
kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi
aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil
tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-
SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada
penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-
histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar
komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar,
kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.2.8 Manifestasi klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam,
penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis,
atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan
kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak
edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang
timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena
Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya
aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan
kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE
(Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi
pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada
paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25%
kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan
dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali
(Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik
yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif,
psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar
pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh.
Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura
terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek
dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar
yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan
ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan
plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL)
dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia, pembekuan
darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai
dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka dapat terjadi perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi tersebut
tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran
penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi
secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang
disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002). Gejala
klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit
ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II
(mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous
glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke
kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi peningkatan
serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik
yang persisten (Delafuente, 2002).
2.3 Tinjauan Tentang Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan
kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor
manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang
manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi
klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi
klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al.,
2000).
2.3.1 Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara
istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok
karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya
SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan
minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA
(Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari
ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2.3.2 Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya
pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi
yang timbul pada setiap pasien.
2.3.2.1 NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain
(Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat
dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor
menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat
rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor
necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti
produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1
terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung,
2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit
kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non
selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul,
frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu
untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping
maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak
meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid
atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan
perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari
selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien
SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan
tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau
susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar
80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat.
Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan
yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam
bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis
melalui urin (McEvoy,2002).
Enzim fosfolipaseDihambat kortikosteroidAsam arakidonatEnzim siklooksigenaseEnzim lipoksigenaseHidroperoksidLeukotrienEndoperoksid
PGG2/PGH
PGE2,PGF2,PGD2
Tromboksan A2
ProstasiklinDihambat NSAID
Trauma/luka pada selGangguan pada membran sel
FosfolipdGambar 2-3. Biosintesis prostaglandin (Ganiswarna, 1995)
NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan
prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal
berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis
prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal.
NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu
penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat
merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh
NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak
barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal,
2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat
gastroprotektif (Rahman, 2001).
Tabel II.2 NSAID lain yang digunakan pada SLE (Herfindal et al., 2000;
Burnham et al., 2001)
Obat Dosis sehari (mg)
Frekuensi Bioavai
labilitas
(%)
Half life
(hours)
Ikatan Protein (%)
Eks.
Renal
(%)
Eks. Feses (%)
Diklofenak
Etodolac
Fenoprofen
Flurbiproven
Ibuprofen
Indometasin
Ketoprofen
100-200
400-900
1200-3200
200-300
1200-3200
50-200
150-300
BID-QID
BID-QID
TID-QID
BID-TID
TID-QID
BID-QID
TID-QID
50-60
> 80
NS
NS
> 80
98
90
2
7,3
3
5,7
1,8-2
4.5
2,1
> 99
90
99
> 99
99
> 99
90
65
60
90
> 70
45-79
60
80
-
33
-
-
-
33
-
Ketolorac
Meklofenamat
Nabumeton
Naproxen
Oxaprosin
Piroksikam
Sulindac
Tolmetin
Celecoxib
20-40
200-400
500-2000
500-1100
600-1800
10-20
200-400
600-2000
200-400
TID-QID
QID
BID-QID
BID
QID
QID
BID
QID
BID-QID
100
NS
> 80
95
95
NS
90
NS
NS
5-6
1,3
22,5
12-17
42-50
50
7,8
2-7
11
> 99
99
> 99
> 99
> 99
98,5
> 93
NS
97
91
70
80
95
65
NS
50
~ 100
27
6
30
9
-
35
NS
25
-
57
Keterangan : NS = Not Studied
2.3.2.2 Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis)
yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat
antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat
DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan
aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien
mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik
maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi.
Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis
rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian
obat (Herfindal et al., 2000).
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan pemberian secara parenteral
untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang
terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll.
Sebaiknya diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat).
Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat
dalam kulit dan mata, 50% – 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang
tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses (McEvoy, 2002).
Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama
dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy,
2002).
2.3.2.3 Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat
lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus
eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal
atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan
enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator –
mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi
jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari
kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi
dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon
antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan
aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk
antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal,
dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis
tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan
potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil
prednisolon dalam bentuk intravena (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan
pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam
beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood
urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid.
Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam
1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik,
abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih
mudah apabila akan diganti kealternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi
selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah
penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika
penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-
day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan
melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-
day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan
supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas
atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau
hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh
nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih
efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga
diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini.
Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien
yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan
peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan
kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen
kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
2.2.3.4 Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat
ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga
menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan
dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan
antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai
imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan
monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis
optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi
penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar
komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi
dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan
progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 ± 22% dari dosis oral. Siklofosfamid dimetabolisme oleh hepatic
microsomal mixed-function oxidasemenjadi bahan yang aktif. Obat ini mempunyai ikatan dengan
protein plasma
sebesar 13%, sedangkan metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk utuh sebesar
6,5 ± 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 ± 4 jam.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan
mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang
dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma
(Herfindal et al., 2000).
2.3.2.5 Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena
gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.
Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran
siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin
meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta
gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst,
1994). Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya
sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan
tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik
setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan
monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan
dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara
konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam
bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2 menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 ± 0,37
jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum
tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya
dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko
hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan,
hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).
Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA,
dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 – 15 mg secara oral satu kali
seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi
rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif
dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Lebih dari 90%
dari dosis oral diekskresikan
melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat
pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15
jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal
dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).
Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia
gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks
meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin,
menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T
dan sel B. Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4,
CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung,
2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena
imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).
Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih
fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun,
mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai
kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan
mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998).
Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan
sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme
secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah
terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella,
dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus
asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 – 7 hari. Salmonella dapat diterapi
dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002).
Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif
sehingga
dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi
dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon dan intoleran terhadap
siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan secara selektif
proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan
limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor
nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam
sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999). Toksisitas dari
mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri abdomen) dan
supresi myeloid (terutama neutropenia) (Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah
daripada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang diberikan dua
kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman,
2001).
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konseptual
SLE disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kerentanan individu melalui mekanisme yang
berbeda. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain faktor genetik, hormonal, lingkungan, ras dan induksi
obat tertentu. Faktor genetik mempunyai peran yang signifikan dalam perkembangan penyakit autoimun.
Hal ini disebabkan adanya gangguan pada haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen serta gen-gen yang mengkode
reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin. Hormonal juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit autoimun
melalui hormon estrogen dengan mekanisme menekan imunitas yang diperantarai oleh sel T dan
menyebabkan proliferasi sel B limfosit. Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar dan dapat menyebabkan apoptosis dari sel
keratonosit sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut. Infeksi virus dapat
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik. Adanya
induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Ras pada etiologi
SLE berkaitan dengan kerentanan genetik dan induksi obat.
Semua mekanisme tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas dari sistem imun berupa proliferasi
autoimun yang menyebabkan tejadinya produksi autoantibodi. Produksi tersebut juga dapat disebabkan
karena terjadinya defek pada apoptosis sehingga tejadi kematian sel secara besar-besaran. Autoantibodi
yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks imun. Gangguan klirens kompleks
imun yang dapat disebabkan oleh defisiensi komplemen mengakibatkan kompleks imun semakin lama
berada di dalam tubuh dan terdeposisi sehingga dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Hal ini memicu lepasnya mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi yang bersifat kronik. Inflamasi inilah yang menimbulkan penyakit SLE. Karena sistemik,
maka penyakit ini mempunyai manifestasi yang sangat luas meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran
cerna, hati dan limpa, kelenjar getah bening, kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi yang diberikan juga
sangat kompleks meliputi NSAID, kortikosteroid, imunosupresan, antimalaria, alternatif lain seperti antibodi
monoklonal, anti-DNA, intravena gamaglobulin, dll. Banyaknya obat yang diberikan menuntut peran farmasis
yang lebih besar dalam melakukan asuhan kefarmasian. Oleh karena itu dilakukan penelitian studi
penggunaan obat (drug utilization study) untuk mengetahui pola penggunaan obat dalam aplikasi praktis
dalam rangka peningkatan peran farmasis klinik di pelayanan.
Top Related