Systemic Lupus Erytematosus

26
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) Posted by joe pada 01/09/2009 Latar Belakang Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004). Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam

description

g

Transcript of Systemic Lupus Erytematosus

Page 1: Systemic Lupus Erytematosus

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik   (LES)

Posted by joe pada 01/09/2009

Latar Belakang

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau

inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE

termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem

muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan

pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi

sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).                              

Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan

tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke

dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit,

atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka

gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut,

anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).

Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi

pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003).

SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga

Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per

10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and

Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap

SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam  yang hidup di Afrika.  Di Inggris,

SLE mempunyai prevalensi 12 kasus  per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000

populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus              per 100.000

populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia

Page 2: Systemic Lupus Erytematosus

sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah

penderita SLE                      di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan

hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81

orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis,

dan low back pain. Di RSU             Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan

Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.

Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit

yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan

kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul

adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan

dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat

tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup

berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas             di bidang penelitian medik untuk

menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga

merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).

Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik,

neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyaisurvival rate yang lebih tinggi

daripada dengan manifestasi klinik renal dan central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival

rateyang berbeda, penderita   dengan   SLE   mempunyai   angka  kematian   tiga   kali   lebih   tinggi

dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun

mendekati 90%, dimana pada tahun 1955 survival rate penderita yang mencapai  5 tahun kurang dari 50%.

Peningkatan angka ini menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan

deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran

dan farmasi.

Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan

oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling

banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang

berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The

Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita SLE

mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard daripada wanita sehat. Penyebab

peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial,

mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi  arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan

penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab

Page 3: Systemic Lupus Erytematosus

mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari  11 tahun adalah lupus yang akif (34%),

infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).

Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan           yang tepat dan benar. Pengobatan

pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi  remisi serta mempertahankan remisi

selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka

pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum

digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-

obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat          obat-

obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan

transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat digunakan untuk

SLE ringan. Dosis yang digunakan harus memadai untuk menimbulkan efek antiinflamasi. Aspirin dosis

rendah dapat digunakan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Penggunaan NSAID dapat menyebabkan

penurunan fungsi ginjal, hal ini dapat memperparah terjadinya lupus nefritis (Delafuente, 2002).

Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi lupus dengan lesi

kulit berbentuk cakram. Selain itu obat ini juga dapat digunakan untuk terapi SLE terutama pada pasien

dengan keluhan manifestasi kulit, pleuritis, inflamasi perikardial ringan, anemia ringan dan leukopenia. Obat

ini digunakan umumnya dalam  jangka panjang. Selain NSAID dan antimalaria, kortikosteroid juga digunakan

pada terapi SLE. Penderita SLE tidak selalu memerlukan kortikosteroid, pasien dengan manifestasi klinis

yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain baru diberikan terapi

kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut

lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Tujuan pemberian kortikosteroid

adalah untuk menekan penyakit yang aktif dan mempertahankannya dengan dosis serendah mungkin.

Terapi kortikosteroid yang diberikan jangka pendek dan dosis tinggi intravena mempunyai tujuan yaitu untuk

menginduksi terjadinya remisi pada penderita SLE yang mempunyai manifestasi klinik serius. Untuk obat-

obat sitotoksik yang digunakan adalah kategori bahan pengalkilasi seperti siklofosfamid dan antimetabolit

azatioprin. Biasanya obat-obat tersebut dikombinasikan dengan kortikosteroid. Tujuan kombinasi ini adalah

untuk mengurangi dosis steroid dan meningkatkan efektivitas steroid (Delafuente, 2002). Selain obat-obat

yang digunakan untuk pengobatan penyakit SLE, perlu juga diwaspadai obat-obat yang dapat menginduksi

terjadinya penyakit SLE antara lain hidralazin, prokainamid, metildopa, klorpromazin, dll. (Herfindal et al.,

2000).

Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan ilmu terapi dan perubahan paradigma kefarmasian ke

arah pharmaceutical care, farmasis sebaiknya                 turut berperan dalam tim kesehatan dalam hal

pemilihan obat, penyediaan produk obat, monitor efek obat, mengidentifikasi problema obat yang

timbul                    maupun yang berpotensi untuk timbul serta pengobatan kompleks yang diberikan kepada

Page 4: Systemic Lupus Erytematosus

penderita SLE. Hal ini penting mengingat SLE adalah penyakit dengan banyaknya manifestasi klinik yang

muncul maka diperlukan penguasaan yang baik mengenai penggunaan obat di lapangan yang data-datanya

dapat diperoleh melalui studi penggunaan obat. Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian

untuk mempelajari pola penggunaan obat pada penderita SLE sehingga dapat diketahui bahwa terapi yang

diberikan tepat dan adekuat serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah pola penggunaan obat pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat

Inap RSU Dr. Soetomo Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pola penggunaan obat pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSU Dr.Soetomo

Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah  :

(1).    Menganalisis profil penggunaan obat meliputi macam obat, dosis, rute pemberian, frekuensi

penggunaan,  dan lama penggunaan.

(2).    Menganalisis hubungan penggunaan obat dengan data laboratorium dan data klinis

(3).    Mengidentifikasi drug related problem (DRP) yang mungkin timbul

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola penggunaan obat pada pasien SLE

sehingga mampu memberikan pelayanan terapi obat secara optimal pada penderita dan sebagai masukan

dalam upaya peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Tinjauan Tentang Studi Penggunaan Obat (DUS)

Page 5: Systemic Lupus Erytematosus

Studi penggunaan obat atau Drug Utilization Study (DUS) menurut           World Health Organization (WHO)

adalah peresepan dan penggunaan obat             yang mencakup pemasaran dan distribusi pada masyarakat

yang dititikberatkan khususnya pada konsekuensi ekonomis, sosial, dan kesehatan. Dari definisi di atas

dapat diketahui bahwa fokus dari studi pengunaan obat adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh

dan terlibat dalam peresepan, peracikan, pemberian, dan penggunaan obat. Tujuan umum dari studi

penggunaan obat adalah mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang berkaitan dengan pengambilan

keputusan dalam pengobatan. Pendekatan ini sebaiknya didasarkan pada tujuan dan kebutuhan penderita.

Studi penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Studi kualitatif digunakan untuk

mengevaluasi ketepatan penggunaan obat dengan cara mencari hubungan antara data peresepan dan

alasan pemberian terapi. Sedangkan secara kuantitatif, dilakukan dengan cara mengumpulkan secara rutin

data statistik dari penggunaan obat yang dapat digunakan untuk memperkirakan penggunaan obat pada

suatu populasi berdasarkan usia, kelas sosial, morbiditas, dan karakteristik lainnya                              serta

untuk mengidentifikasi adanya kemungkinan overutilization atau underutilization (Lee & Bergman, 2000).

2.2    Tinjauan Tentang SLE

2.2.1 Definisi

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem                       yang disebabkan oleh banyak

faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun

berupa peningkatan sistem   imun   dan    produksi    autoantibodi    yang    berlebihan    (Albar, 2003).

Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah,

dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan

komplemen (Epstein, 1998).

2.2.2   Epidemiologi

SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun

menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi        oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia

produktif                          yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang

tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap

etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam

1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di

Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per

100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.2.3 Etiologi

Page 6: Systemic Lupus Erytematosus

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE.

Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka

kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar            non-identik

(2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen                 yang berperan antara lain haplotip

MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi

pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T,

imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV            yang mengubah struktur DNA di

daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi

apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat

yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di

tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal ini direspon

sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk

menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang

mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat

menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan

pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi

sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).

2.2.4 Klasifikasi

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus,

dan lupus yang diinduksi oleh obat.

Discoid Lupus

Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema               yang meninggi, skuama,

sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul          di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung,

dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan

parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg

and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan

sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap

Page 7: Systemic Lupus Erytematosus

dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan

kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

Lupus yang diinduksi oleh obat

Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen

HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga

memberikan kesempatan obat

untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing              oleh tubuh sehingga

tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et

al., 2000).

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).

Definitely Possible Unlikely

Hidralazin

Prokainamid

Isoniazid

Klorpromazin

Metildopa

Antikonvulsan               Propitiourasil

Fenitoin                         Metimazol

Karbamazepin               Penisilinamin

Asam valproat               Sulfasalazin

Etosuksimid                   Sulfonamid

β-bloker                         Nitrofurantoin

Propranolol                    Levodopa

Metoprolol                     Litium

Labetalol                        Simetidin

Acebutolol                     Takrolimus

Kaptropil

Lisinopril

Enalapril

Griseofulvin

Penisilin

Garam emas

Page 8: Systemic Lupus Erytematosus

Kontrasepsi oral

Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

2.2.5 Patofisiologi

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel

yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks

imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik

yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang

berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau

berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida

dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan

sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B

dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4  (Epstein, 1998).

Gb.2.1  Patofisiologi SLE (Epstein, 1998)

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-

mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi

antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2                     

yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu    cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon

terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T  (Mok dan Lau,

2003).

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan

B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit

T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan

dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1

menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90  (hsp 90) pada sel B

dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan

terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+

(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan

CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+

(Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut

sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan

Page 9: Systemic Lupus Erytematosus

sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-)

mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa

mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel

sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu

pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan

komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen

jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan

jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan

aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan

dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap

kerusakan jaringan (Epstein, 1998).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan

kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan

klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2

dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi

komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen

terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun  (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam

organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi

komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi

radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan

seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau

beberapa obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah

apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan

fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam

membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan

CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor

membran seperti transporter ABC1, complement receptor(CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin,

dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi 

adalah

ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan

menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien

SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

Page 10: Systemic Lupus Erytematosus

Gb.2.2  Mekanisme apoptosis pada patofisiologi SLE (Bijl et al., 2001)

2.2.6 Kriteria SLE

Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE

yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat

ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :

(1)     Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.

(2)     Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin          yang melekat dan

sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.

(3)     Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap            cahaya matahari.

(4)     Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.

(5)     Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.

(6)     Serositis

a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.

b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.

(7)     Kelainan ginjal

a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+

b.Ditemukan  eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.

(8)     Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.

(9)     Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia                   (kurang dari 400/mm3) atau

limfopenia (kurang dari 1500/mm3),                   atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada

obat penginduksi gejala tersebut.

(10)   Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid

(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau

pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat                 dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma

lupus (Delafuente, 2002).

Page 11: Systemic Lupus Erytematosus

2.2.7 Data laboratorium

Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL

Negatif          : < 70 IU/mL

Positif             :  > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif                      dan jarang pada penderita

dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai

sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi

mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat

meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada

penyakit SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA

yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti

ss-DNA).         Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang

lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan

konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem

komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal                   maupun sistemik (Pagana

and Pagana, 2002).

.

Antinuclear antibodies   (ANA)

Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi

protein yang bereaksi menyerang inti            dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya

SLE,                   hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja

karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan

kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi

aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif

terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil 

tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien

Page 12: Systemic Lupus Erytematosus

tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-

SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).

Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada

penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-

histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar

komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis,           serum kreatinin, tes fungsi hepar,

kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

2.2.8 Manifestasi klinis

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam,

penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis,

atralgia, dan mialgia  umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi

interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan

kaki  (Delafuente, 2002).

Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan

diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk              kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak

edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa

bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena

hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang

timbul adalah vaskulitis  eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena

Raynaud                (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada jantung  sering ditandai adanya perikarditis,  miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya

aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan

kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE

(Delafuente, 2002).

Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi

pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada

paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25%

kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan

Page 13: Systemic Lupus Erytematosus

dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi  vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali

(Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik

yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif,

psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar

pasien  saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.

Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh.

Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura

terjadi pada  5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek

dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar

yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).

Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan                                antibodi antifosfolipid. Antikoagulan

ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan

plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL)

dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL  adalah trombositopenia, pembekuan

darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai

dengan hipoprotombinemia   atau   trombositopenia,   maka   dapat   terjadi     perdarahan.

Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi tersebut

tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005).

Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran

penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi

secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia  atau hipertensi yang

disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).                          Gejala

klinik  pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit

ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi

beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II

(mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous

glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke

kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi peningkatan

serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik

yang persisten (Delafuente, 2002).

Page 14: Systemic Lupus Erytematosus

2.3 Tinjauan Tentang Pengobatan SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan

kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor

manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang

manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi

klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi

klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al.,

2000).

2.3.1  Terapi nonfarmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara

istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok

karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya

SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE                        (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan

minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan

produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA

(Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk

penderita SLE  sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari

ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).

2.3.2  Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya

pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi

yang timbul pada setiap pasien.

2.3.2.1 NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan  termasuk salisilat dan NSAID yang lain

(Delafuente, 2002).  NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat

dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor

menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat

rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor

necrosing factor sedangkan  COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti

produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1

terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung,

Page 15: Systemic Lupus Erytematosus

2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,  nefrotoksik,  kulit 

kemerahan,  dan  alergi

lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non

selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul,

frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu

untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping

maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak

meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak

direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid

atau antimalaria  tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).

Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan

perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari

selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien

SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan

tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau

susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar

80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat.

Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan

yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam

bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis

melalui urin (McEvoy,2002).

Enzim fosfolipaseDihambat kortikosteroidAsam arakidonatEnzim siklooksigenaseEnzim lipoksigenaseHidroperoksidLeukotrienEndoperoksid

PGG2/PGH

PGE2,PGF2,PGD2

Tromboksan A2

ProstasiklinDihambat NSAID

Page 16: Systemic Lupus Erytematosus

Trauma/luka pada selGangguan pada membran sel

FosfolipdGambar 2-3. Biosintesis prostaglandin (Ganiswarna, 1995)

NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan

prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal

berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis

prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal.

NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu

penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat

merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh

NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung.  Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak

barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal,

2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat

gastroprotektif (Rahman, 2001).

Tabel II.2  NSAID lain yang digunakan pada SLE (Herfindal et al., 2000;

Burnham et al., 2001)

Obat Dosis sehari (mg)

Frekuensi Bioavai

labilitas

(%)

Half life

(hours)

Ikatan      Protein (%)

Eks.

Renal

(%)

Eks. Feses (%)

Diklofenak

Etodolac

Fenoprofen

Flurbiproven

Ibuprofen

Indometasin

Ketoprofen

100-200

400-900

1200-3200

200-300

1200-3200

50-200

150-300

BID-QID

BID-QID

TID-QID

BID-TID

TID-QID

BID-QID

TID-QID

50-60

> 80

NS

NS

> 80

98

90

2

7,3

3

5,7

1,8-2

4.5

2,1

> 99

90

99

> 99

99

> 99

90

65

60

90

> 70

45-79

60

80

-

33

-

-

-

33

-

Page 17: Systemic Lupus Erytematosus

Ketolorac

Meklofenamat

Nabumeton

Naproxen

Oxaprosin

Piroksikam

Sulindac

Tolmetin

Celecoxib

20-40

200-400

500-2000

500-1100

600-1800

10-20

200-400

600-2000

200-400

TID-QID

QID

BID-QID

BID

QID

QID

BID

QID

BID-QID

100

NS

> 80

95

95

NS

90

NS

NS

5-6

1,3

22,5

12-17

42-50

50

7,8

2-7

11

> 99

99

> 99

> 99

> 99

98,5

> 93

NS

97

91

70

80

95

65

NS

50

~ 100

27

6

30

9

-

35

NS

25

-

57

Keterangan : NS = Not Studied

2.3.2.2 Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis)

yang tidak menyebabkan kerusakan          organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat

antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat

DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan

aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1                                   dan tumor necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi         dan kebanyakan pasien

mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik

maka dosis diturunkan menjadi 50%  selama beberapa   bulan     sampai     manifestasi     SLE      teratasi.

Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis

rendah dua atau tiga kali per minggu.                     Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian

obat                       (Herfindal et al., 2000).

Obat malaria yang sering digunakan adalah :

Klorokuin

Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan pemberian secara parenteral

untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg  (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang

Page 18: Systemic Lupus Erytematosus

terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll.

Sebaiknya diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat).

Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat        sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat

dalam kulit dan mata, 50% – 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang

tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses (McEvoy, 2002).

Hidroksiklorokuin

Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama

dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy,

2002).

2.3.2.3 Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat

lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami  lupus

eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal

atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan

enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator –

mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat

melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi

jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari

kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi

dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon

antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan

aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk

antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal,

dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis

tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan

potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil

prednisolon dalam bentuk intravena  (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan

pemberian  prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam

beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood

urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid.          

Kadar    komplemen    dan   antibodi    DNA    dalam    serum    menurun    dalam

Page 19: Systemic Lupus Erytematosus

1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik,

abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam  5 sampai  19 hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih

mudah apabila akan diganti kealternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi

selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah

penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika

penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-

day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan

melakukan  tapering  dosis  prednison  20 mg  per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-

day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan

supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar                  (contoh demam, atralgia, lemas

atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau

hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran                     (contoh

nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih

efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga

diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini.

Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien

yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan

peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan

kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen

kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).

2.2.3.4 Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat

ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga

menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan

dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan

antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai

imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan

monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis

Page 20: Systemic Lupus Erytematosus

optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi

penyakit.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan  kadar

komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi

dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan

progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.

Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 ± 22% dari dosis oral. Siklofosfamid dimetabolisme oleh hepatic

microsomal mixed-function oxidasemenjadi bahan yang  aktif.  Obat   ini mempunyai ikatan  dengan 

protein  plasma

sebesar 13%, sedangkan metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk utuh sebesar

6,5 ± 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 ± 4 jam.

Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan

mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang

dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma

(Herfindal et al., 2000).

2.3.2.5 Obat lain

Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain                adalah azatioprin, intravena

gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.

Azatioprin

Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran

siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin

meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta

gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst,

1994). Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya

sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan

tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik

setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan

monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan

dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari

sampai beberapa minggu dan masih berlanjut  ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara

konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam

Page 21: Systemic Lupus Erytematosus

bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2 menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 ± 0,37

jam  (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum

tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya

dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko

hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan,

hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).

Metotreksat

Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA,

dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 – 15 mg secara oral satu kali

seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi

rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif

dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati,   kulit,  dan  saluran  kemih.  Lebih  dari  90% 

dari  dosis  oral  diekskresikan

melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat

pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15

jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal

dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).

Intravena gamma globulin

Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia

gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks

meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin,

menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari  sel T

dan sel B. Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4,

CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung,

2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena

imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).

Terapi hormon

Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria                       yang diproduksi pada saat masih

fetus dan berhenti setelah dilahirkan.               Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun,

mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai

kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan

Page 22: Systemic Lupus Erytematosus

mempunyai efek samping jerawat                         dan    pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998).

Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan

sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme

secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).

Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah

terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella,

dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus

asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 – 7 hari. Salmonella dapat diterapi

dengan antibiotik golongan  kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002).

Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan  karena  menyebabkan  rash yang  sensitif 

sehingga

dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi

dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol  (Katzung, 2002).

Mikofenolat   mofetil

Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon dan intoleran terhadap

siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan secara selektif

proliferasi  limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan

limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor

nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam

sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999). Toksisitas dari

mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri abdomen) dan

supresi myeloid (terutama neutropenia) (Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah

daripada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang diberikan dua

kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman,

2001).

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konseptual

Page 23: Systemic Lupus Erytematosus

SLE disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kerentanan individu melalui mekanisme yang

berbeda. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain faktor genetik, hormonal, lingkungan, ras dan induksi

obat tertentu. Faktor genetik mempunyai peran yang signifikan dalam perkembangan penyakit autoimun.

Hal ini disebabkan adanya gangguan pada haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen

komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen serta gen-gen yang mengkode

reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin. Hormonal juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit autoimun

melalui hormon estrogen dengan mekanisme menekan imunitas yang diperantarai oleh sel T  dan

menyebabkan proliferasi sel B limfosit. Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnnya SLE yaitu sinar UV

yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar dan dapat menyebabkan apoptosis dari sel

keratonosit sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut. Infeksi virus dapat

menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik. Adanya

induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan

asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat

untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh

membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Ras pada etiologi

SLE berkaitan dengan kerentanan genetik dan induksi obat.

Semua mekanisme tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas dari sistem imun berupa proliferasi

autoimun yang menyebabkan tejadinya produksi autoantibodi. Produksi tersebut juga dapat disebabkan

karena terjadinya defek pada apoptosis sehingga tejadi kematian sel secara besar-besaran. Autoantibodi

yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks imun. Gangguan klirens kompleks

imun yang dapat disebabkan oleh defisiensi  komplemen mengakibatkan kompleks imun semakin lama

berada di dalam tubuh dan terdeposisi sehingga dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan

kerusakan jaringan. Hal ini memicu lepasnya mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan

terjadinya inflamasi yang bersifat kronik. Inflamasi inilah yang menimbulkan penyakit SLE. Karena sistemik,

maka penyakit ini mempunyai manifestasi yang sangat luas meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran

cerna, hati dan limpa, kelenjar getah bening, kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi yang diberikan juga

sangat kompleks meliputi NSAID, kortikosteroid, imunosupresan, antimalaria, alternatif lain seperti antibodi

monoklonal, anti-DNA, intravena gamaglobulin, dll. Banyaknya obat yang diberikan menuntut peran farmasis

yang lebih besar dalam melakukan asuhan kefarmasian. Oleh karena itu dilakukan penelitian studi

penggunaan obat (drug utilization study) untuk mengetahui pola penggunaan obat dalam aplikasi praktis

dalam rangka peningkatan peran farmasis klinik di pelayanan.