12013
mht—pageprint
—SURVEILANS EPIDEMIOLOGI—Surveilans Kesehatan Masyarakat
2SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT
— SURVEILANS EPIDEMIOLOGI —
UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN
Jalan Raya Pondok Gede (Hek) No. 23-25, Kramat Jati,
Jakarta Timur
3SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT
— SURVEILANS EPIDEMIOLOGI —
Dosen Pembimbing :
drg. Trisna Budy Widjayanti, MARS
Koordinator Penyusun :
Nur Putri Lavenia Permata Sari
Tim Penyusun :
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat — Reguler 7
UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN
Jalan Raya Pondok Gede (Hek) No. 23-25, Kramat Jati,
Jakarta Timur
TAHUN 2013
4KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan petunjuk dan rahmat-Nya kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan diktat yang berjudul Surveilans Kesehatan
Masyarakat (Surveilans Epidemiologi).
Diktat ini secara khusus bertujuan untuk menunjang proses pembelajaran
matakuliah Surveilans Kesehatan Masyarakat (Surveilans Epidemiologi). Selain
itu, diktat ini bermanfaat bagi para mahasiswa Kesehatan Masyarakat untuk
memahami tentang pelaksanaan Epidemiologi yang diaplikasikan melalui sebuah
tahapan-tahapan penelitian pada suatu penyakit di daerah tertentu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu drg. Trisna Budy Widjayanti,
MARS yang telah memberi dorongan dan membantu kami dalam mempelajari
Ilmu tentang Surveilans Kesehatan Masyarakat (Surveilans Epidemiologi) dan
kami mengucapkan terimakasih pula kepada Ibu Inggit Melianan Anggarini,
SKM, M.CommHealth selaku kepala program studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Mohammad Husni Thamrin serta tidak lupa kami berterimakasih
kepada orang tua kami yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun
materil dan doa tulusnya kepada kami, sehingga kami dapat melajutkan studi kami
ke jenjang yang lebih baik dari sebelumnya.
Kami menyadari bahwa diktat ini jauh dari kata sempurna. Dengan
demikian, kami sangat menunggu kritik dan saran yang positif dari para pembaca
untuk memperbaiki segala kekurangan yang terdapat pada diktat ini.
Koordinator Penyusun,
Nur Putri Lavenia Permata Sari
5DAFTAR ISI
COVER MAKALAH 1
JUDUL MAKALAH 2
KATA PENGANTAR 4
DAFTAR ISI 5
BAB I : Elemen dalam Surveilans Epidemiologi 11
oleh Dahlia Ratnasari, Diana, Egatha Vini Aprisa, dan Supriyanto
Sejarah Surveilans 11
Sejarah Perkembangan Surveilans 11
Pengertian Surveilans Epidemiologi 13
Konsep Surveilans 14
Perbedaan Survei, Monitoring, dan Surveilans 15
Konsep Surveilans 15
Jenis Surveilans 16
Indikator Kinerja Surveilans 18
Sumber Data dan Sumber Daya Surveilans 18
Sarana yang Diperlukan untuk Melaksanakan Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi 19
Jejaring Surveilans Epidemiologi 21
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi 21
BAB II : Langkah-Langkah Surveilans Epidemiologi 24
6oleh Apristya Dewi, Kurnia Rahmawati, dan Listyowati
Pengumpulan Data Surveilans Epidemiologi 24
Pengolahan Data Surveilans Epidemiologi 28
Analisis Data Deskriptif Surveilans Epidemiologi 35
Interpretasi secara Deskriptif dan Inferensial 36
Desiminasi Data Surveilans Epidemiologi 37
BAB III : Standar Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi menurut World Health
Organization 38
oleh Dwi Pungki Oktaviana, Evita Shafanida, dan Marliyana Safitri
Standar Pendekatan Surveilans menurut World Health Organization 38
Perencanaan Surveilans 39
Pelaksanaan Surveilans menurut World Health Organization 40
Desiminasi Surveilans 41
BAB IV : Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World Health
Organization 43
oleh Ardikal, Aulia Ulfa Arsyidyanti, dan Nur Putri Lavenia Permata Sari
Pengertian Surveilans 43
Pengertian Surveilans Kesehatan Masyarakat 43
Pengertian Surveilans Epidemiologi 44
Standar Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World
Health Organization 45
Perencanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut
World Health Organization 45
7Jenis Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World
Health Organization 46
Elemen Data Minimum pada Penyakit Campak menurut World Health
Organization 47
Analisis Data, Interpretasi, dan Laporan Surveilans Epidemiologi pada
Penyakit Campak menurut World Health Organization 49
Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut
World Health Organization 50
Point Penting dalam Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit
Campak menurut World Health Organization 52
Desiminasi Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World
Health Organization 53
BAB V : Surveilans dan Kejadian Luar Biasa 55
oleh Erika Yuni Lumban Tobing, Mertisin Laoli, Wahyuni Megawati, dan
Yayang Belya Oktaviani
Definisi Surveilans Epidemiologi 55
Surveilans dan Kejadian Luar Biasa (KLB) 55
Ruang Lingkup Kejadian Luar Biasa (KLB) 56
Kriteria dan Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) 57
Penyaki-Penyakit Menular yang Berpotensi Wabah atau Kejadian Luar
Biasa (KLB) 59
Peringatan Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB) 50
Langkah-Langkah Menghadapi Kejadian Luar Biasa (KLB) 66
8Metode Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) 69
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) 74
BAB VI : Surveilans pada Penyakit Kanker 76
oleh Erika Yuni Lumban Tobing, Mertisin Laoli, Wahyuni Megawati, dan
Yayang Belya Oktaviani
Definisi Kanker 76
Faktor-Faktor Penyebab Kanker 77
Surveilans Kanker 80
Kegiatan Pengendalian Kanker di Indonesia 81
Surveilans Mammograpic Meningkatkan Hasil Pasien Kanker
Payudara 85
BAB VII : Surveilans Perinatal 88
oleh Erika Yuni Lumban Tobing, Mertisin Laoli, Wahyuni Megawati, dan
Yayang Belya Oktaviani
Definisis Perinatal 88
Penyebab Kematian Perinatal 89
Kematian Ibu 90
Kematian Bayi 92
Surveilans Perinatal 92
Surveilans dan Sumber Informasi Kematian Ibu 95
BAB VIII : Surveilans of Occupational Health 100
oleh Chrysiane Florensia Sillety, Hari Pranindyo, Hartanti, dan Ria
Azhariah
9Ruang Lingkup Surveilans Keselamatan dan Kesehatan Kerja 100
Metode Surveilans Keselamatan dan Kesehatan Kerja 100
Persyaratan dan Teknik Pelaksanaan Surveilans Keselamatan dan Kesehatan
Kerja 102
Persiapan Pelaksanaan Surveilans Kesehatan Kerja 104
Contoh Surveilans Keselamatan dan Kesehatan Kerja 107
Data dan Informasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja 108
Dasar Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja 109
Konsep dan Lingkup Sistem Informasi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja 109
Data Dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Input) 110
Data dan Indikator Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(Proses) 112
Data dan Indikator Keberhasilan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(Output) 113
Sumber Data dan Pengumpulan Informasi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja 115
Pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data Keselamatan dan Kesehatan
Kerja 117
Sumber Pembelajaran, Metode, dan Media 118
BAB IX : Physical and Chemical Hazard of Enviroment 120
oleh Chrysiane Florensia Sillety, Hari Pranindyo, Hartanti, dan Ria
Azhariah
10Pengertian Bahaya Fisik 120
Macam-Macam Bahaya Fisik 122
Pengertian Bahaya Kimia 130
Macam-Macam Bahaya Kimia 131
DAFTAR PUSTAKA 133
BAB I
Elemen dalam Surveilans Epidemiolgi
11OLEH DAHLIA RATNASARI, DIANA, EGATHA VINI APRISA, DAN SUPRIYANTO
Sejarah Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang
epidemiologi. Namun, dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi
surveilans diluar bidang epidemiologi surveilans manjadi cabang ilmu tersendiri
yang diterapkan secara luas dalam bidang kesehatan masyarakat.
Kata surveilans semula berasal dari bahasa Perancis ‘surveillance‘ yang
secara harfiah dapat diartikan sebagai kata ‘mengamati tentang sesuatu’, yang
dalam bidang kesehatan masayarakat dapat diartikan sebagai upaya monitoring
kondisi kesehatan dimasyarakat, dimana hal tersebut bisa dipakai sebagai dasar
perencanaan. Namun dalam perjalanannya terjadi beberapa permasalahan yaitu
pertama perlu acuan dengan konsep dan definisi serta isi kegiatan yang dimengerti
oleh semua pihak, sebab ilmu kesehatan masyarakat melibatkan berbagai macam
keilmuan dan keahlian selain epidemiologi. Kedua masih sedikitnya informasi
atau tulisan yang secara sistematis melaporkan kegiatan surveilans di indonesia.
Sejarah Perkembangan Surveilans
Ada enam masa perkembangan surveilans
1. Abad keempat belas dan kelima belas
Dimulainya beberapa tindakan yang dianggap sebagai tindakan surveilans
antara lain pada tahun 1348 saat terjadi wabah penyakit pneumonia
(Pneumonia plague) diangkatlah pengawas kesehatan di negara republik
Venesia yang tugasnya mendeteksi dan menolak penumpang yang terkena
penyakit ini. Lalu tahun 1377 di Marseilles dan di Venise tahun 1403
dilakukan tindakan penahanan atau dikenal sebagai tindakan karantina yang
pertama kali dilakukan bagi penderita dan yang diduga sebagai penyebar
penyakit ini.
2. Abad keenam belas
Undang – undang kematian di London atau lebih dikenal dengan “London
Bills of Mortality” pada tahun 1532, namun untuk bidang kesehatan
12masyarakat beberapa abad kemudian manfaat ilmiahnya baru dirasakan, dan
di perkenalkan oleh Jhon Graunt
3. Abad ketujuhbelas
Pada abad ini pencatatan dilakukan secara sporadis dan hanya dilakukan bila
ada wabah pes, yang dilaporkan setip minggunya tentang orang – orang
yang dikubur dan penyebab kematiannya, lalu di susun laporan statistik
kematian dari beberapa paroki dan interpretasikan bagaimana keadaan
wabah pes di kota london. Laporan ilmiah pertama disusun oleh Jhon
Graunt pada tahun 1662, beliau memperlajari konsep jumlah dan pola
penyakit secara epidemiolagis, dalam buku yang berjudul Natural and
Political Observation on the Bills of Mortality
4. Abad kedelapan belas
Tahun 1776 Johan Peter Frank Melaksanakan tindakan surveilans dengan
mengangkat polisi kesehatan di Jerman, yang tugasnya berkaitan dengan
pengawasan kesehatan anak sekolah, pencegahan Kecelakaan, pengawasan
kesehatan ibu dan Anak, pemeliharaan sanitasi air dan limbah. Yang
dikemudian disusun menjadi buku yang menyajikan secara jelas dan rinci
tentang kebijaksanaan dalam kesehatan.
5. Abad kesembilan belas
Dalam buku “Superintendant of statistical Departement of the General
Registrar’s Office” pada tahun 1839 – 1879 di Inggris William Farr
mengumpulkan, mengolah, menganalisa, dan menginterpretasikan statistik
Vital serta menyebarluaskan hasilnya dalam bentuk laporan mingguan,
bulanan, dan tahunan. Karena Wiliian Farr dikenal sebagai pendiri Konsep
Surveilans secara modern.
6. Abad dua puluh
Peningkatan pemakaian konsep surveilans untuk pendekatan epidemi dan
pencegahan penyakit mulai dikenal pada abad dua puluh. Sebenarnya
beberapa negara sudah mulai dari tahun 1878, dan tahun 1925 di amerika
semua negara bagian harus melaporkan beberapa penyakit seperti penyakit –
13penyakit infeksi, demam kuning, pes dan cacar air. Dan untuk saat ini
penyakit yang dilaporkan bertambah banyak termasuk HIV dan AIDS.
Pengertian Surveilans Epidemiologi
Epidemiologi menurut WHO (World Health Organization) yaitu
Epidemiology is the study of the distribution and determinants of health-related
states or events (including disease), and the application of this study to the control
of diseases and other health problems. Various methods can be used to carry out
epidemiological investigations: surveillance and descriptive studies can be used
to study distribution; analytical studies are used to study determinants atau
Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan negara yang
berhubungan dengan kesehatan atau kejadian (termasuk penyakit), dan aplikasi
penelitian ini untuk pengendalian penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Berbagai metode dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan epidemiologi
pengawasan dan deskriptif studi dapat digunakan untuk mempelajari distribusi,
studi analitis digunakan untuk mempelajari faktor-faktor penentu. Sedangkan
Surveilans menurut WHO yaitu Public health surveillance is the continuous,
systematic collection, analysis and interpretation of health-related data needed
for the planning, implementation, and evaluation of public health practice. Such
surveillance can:
1. Serve as an early warning system for impending public health emergencies
2. Document the impact of an intervention, or track progress towards
specified goals
3. Monitor and clarify the epidemiology of health problems, to allow
priorities to be set and to inform public health policy and strategies.
atau dapat diartikan Surveilans kesehatan masyarakatadalahterus menerus,
pengumpulan, analisis dan interpretasi data yang berhubungan dengan kesehatan
yang diperlukan untukperencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi praktik kesehatan
masyarakat. Pengawasan tersebut dapat berupa:
1. Berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk keadaan darurat kesehatan
masyarakat yang akan datang.
142. Mendokumentasikan dampak intervensi atau melacak kemajuan menuju
tujuan tertentu.
3. Memantau dan memperjelas epidemiologi masalah kesehatan, untuk
memungkinkan prioritas harus ditetapkandan untuk menginformasikan
kebijakan kesehatan masyarakat dan strategi.
Jadi, Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit dan masalah-masalah kesehatan serta kondisi
yang memperbesar risiko terjadinya peningkatan dan penularan penyakit serta
masalah-masalah kesehatan tersebut. Agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan data dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggaraan
program kesehatan. Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur
penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit
penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat
penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan meliputi tata
hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah kabupaten/kota, profinsi dan
pusat.
Fungsi Surveilans
1. Menjelaskan pola penyakit yang sedang berlangsung.
2. Melakukan monitoring kecendrungan penyakit endemis.
3. Mempelajari riwayat alamiah penyakit.
4. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi yayasan kesehatan
dimasa yang akan dating.
5. Memantau pelaksanaan dan daya guna program pengendalian.
6. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas (frekuensi kejadian :
kegawatan, biaya, dapat dicegah, dapat dikomukasikan, public intrest).
7. Dapat mengidentifikasi kelompok resiko tinggi.
Perbedaan Survei , Surveilans, dan Monitoring
1. Surveilans :
15A. Penilaian status kesehatan
B. Mengumpulkan, interprestasi data untuk mendeteksi kemungkinan
alternative penyelesain masalah kesehatan.
C. Tidak spesifik pada penyakit tapi beberapa factor yang menyebabkan
timbulnya penyakit.
2. Monitoring :
A. Penilaianstatuskesehatan
B. Evaluasi intervensi (tindakan)
C. Penilaiansecara terusmenerusprogrampelayanan
D. Penilaian secara terus menerus pada program pelayanan kesehatan
profesi kesehatan
3. Survei :
Kegiatan pengumpulan informasi yang berasal dari populasi dan sampel
A. Survei pemeriksaan atau penilitian secara komprehensif.
B. Survei yang dilakukan dalam melakukan penelitian biasanya
dilakukan dengan menyebarkan kuesioner atau wawancara, dengan
tujuan untuk mengetahui: siapa mereka, apa yang mereka pikir,
rasakan, atau kecenderungan suatu tindakan. Mereka pikir, rasakan,
atau kecenderungan suatu tindakan.
C. Survei lazim dilakukan dalam penelitian kuantitatif maupun
kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, survei lebih merupakan
pertanyaan tertutup, sementara dalam penelitian kualitatif berupa
wawancara mendalam dengan pertanyaan terbuka.
Konsep Surveilans
1. Surveilans : kegiatan yang terus menerus dalam pengumpulan, analisis,
interprestasi dan diseminasi data kesehatan
2. Pelayanan Kesehatan memakai data surveilans untuk menjelaskan dan
memonitor masalah dengan menyusun prioritas masalah, perencanaan,
implementasi dan evaluasi program kesehatan.
163. Proses penyakit : Patogen, host, reservoir, vector dan lingkungan, transmisi
penyakit, penyebarluasan penyakit.
4. Data prospektif dan dapat digunakan
5. Sistem dalam surveilans didasarkan pada informasi yang berasal dari
“Health Care Provide”, “Health care Agencies”, “Public Agencies”
Jenis Surveilans
1. Penerapan metode surveilans epidemiologi, tentu disesuaikan dengan kajian
atau dasar kejadian yang memerlukan kegiatan surveilans itu sendiri.
Sedikitnya ada 6 jenis surveilans dalam epidemiologi yang sering
digunakan, diantaranya sebagai berikut:
a. Surveilans Individu (individual surveillance) yaitu jenis surveilans
epidemiologi yang mendeteksi dan memonitor individu individu yang
mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar,
tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap
kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan.
b. Surveilans Penyakit (disease surveillance) yaitu jenis surveilans
epidemiologi yang melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-
laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus
perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
c. Surveilans Sindromik (syndromic /multiple disease surveillance) yaitu
kegiatan yang melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit.
Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator
kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda,
17atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber,
sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
d. Surveilans Laboratorium, jenis surveilans berbasis laboratorium
digunakan untuk mendeteksi dan memonitor penyakit infeksi. Sebagai
contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti
salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk
mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak
penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang
mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik.
e. Surveilans Terpadu (integrated surveillance) yaitu menata dan
memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi
(negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan
personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi
yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun
pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan
kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu.
f. Surveilans Global, yang terakhir adalah surveilans yang dilakukan
secara serempak di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi
kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-
batas negara. Kegiatannya ditujukan untuk mengawasi ancaman aneka
penyakit menular yang menyebar pada skala global, baik penyakit-
penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun
penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti
HIV/AIDS, flu burung, dan SARS.
Indikator Kinerja Surveilans
18Indikator kinerja surveilansmerupakan ukuran kualitas suatu sistem kerja.
Secara operasional, suatu unit program apabila menyatakan besarnya masalah
program, maka wajib didukung oleh sistem kerja informasi yang baik. Baik atau
tidak baiknya sistem kerja informasi ini, dinyatakan dengan ukuran atau indikator
kinerja surveilans.
Misalnya, angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) di Jakarta
adalah sebesar 225 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2010. Penyataan
besarnya angka kesakitan DBD ini, diperoleh dari pengumpulan data dari semua
rumah sakit atau hanya sebagian rumah sakit (kelengkapan laporan) ?, seberapa
akurat kasus DBD itu sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan (keakuratan
pengisian variabel) ?, dsb. Kelengkapan laporan dan tingkat keakuratan pengisian
variabel DBD tersebut diatas merupakan indikator kinerja untuk mengukur mutu
laporan angka kesakitan DBD di Jakarta. Indikator kinerja ini yang disebut
“indikator kinerja surveilans DBD”
Indikator kinerja surveilans dapat digunakan sebagai bagian dari monitoring
dan evaluasi penyelenggaraan sistem surveilans. Data indikator kinerja surveilans
menurut karakteristik waktu dan tempat, dapat menuntun kepada sumber data
yang perlu mendapat pembinaan dan dukungan dalam penyelenggaraan sistem
surveilans yang lebih baik
Indikator kinerja surveilans ini sering rancu dengan tujuan surveilans, dan
indikator kinerja program. Kerancuan ini dapat mengakibatkan timbulnya
kelemahan manajemen penyelenggaraan sistem surveilans, terutama
penyelenggaraan sistem surveilans yang berada dalam satu paket dengan
penyelenggaraan intervensi program.
Sumber Data Surveilans dan Sumber Daya Surveilans
1. Sumber Data Surveilans
Secara umum dalam sistem surveilans ada 10 elemen sumber data, yaitu :
a. Laporan Kematian
b. Laporan Penyakit
c. Laporan Wabah
19d. Laporan Hasil Pemeriksaan Laboratorium
e. Laporan Penyelidikan Peristiwa Penyakit
f. Laporan penyelidikan Wabah
g. Laporan Survey
h. Laporan Penyelidikan Dstribusi Vektor dan Reservoir Penyakit pada
Hewan
i. Laporan Penggunaan Obat Vaksin
j. Laporan Penduduk dan Lingkungan
2. Sumber Daya Surveilans
1. Sumber Daya Surveilans
Sumber daya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi
kesehatan meliputi:
a. Tenaga ahli epidemiologi (S1, S2, dan S3).
b. Tenaga pelaksana surveilans epidemiologi terlatih asisten
epidemiologi lapangan, dan petugas puskesmas terlatih
surveilans epidemiologi.
c. Manajer unit kesehatan yang mendapat orientasi epidemiologi
d. Jabatan fungsional epidemiologi.
e. Jabatan fungsional entomologi
f. Jabatan fungsional sanitarian
g. Jabatan fungsional statistisi
h. Sumber daya manusia laboratorium
i. Sumber daya manusia lainnya yang terkait
2. Sumber Daya Manusia
Sarana yang Diperlukan untuk Melaksanakan Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi
1. Administrasi Sarana Pusat
a. Jaringanelektromedia
b. Komunikasi(telepon,faksimili,SSBdantelekomunikasi lainnya)
c. Komputer dan perlengkapannya
20d. Referensisurveilansepidemiologi,penelitiandankajian kesehatan
e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi
komputer
f. Peralatan kegiatan surveilans
g. Sarana transportasi
2. Administrasi Sarana Propinsi
a. Jaringan elektromedia
b. Komputerdanperlengkapannya
c. Komunikasi (telepon, faksimili, SSB dantelekomunikasi lainnya)
d. Referensi surveilans epidemiologi,penelitian dan kajian kesehatan
e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi
computer
f. Peralatan pelaksanaan surveilans
g. Sarana transportasi
3. Administrasi Sarana Kabupaten/ Kota
a. Jaringan elektromedia
b. Komunikasi (telepon, faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya)
c. Komputer dan perlengkapannya
d. Referensi surveilans epidemiologi,penelitian dan kajian kesehatan
e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program
aplikasi komputer
f. Formulir perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan
pedoman
g. Peralatan pelaksanaan surveilans
h. Sarana transportasi
4. Administrasi Sarana Puskesmas dan Rumah Sakit
a. Komputer dan perlengkapannya
b. Komunikasi (telepon, faksimili dan SSB)
c. Referensi surveilans epidemiologi, penelitian dan kajian kesehatan
d. Pedoman pelaksnaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi
komputer
21e. Formulir perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan
pedoman
f. Peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi diPuskesmas dan
Rumah Sakit
g. Sarana transportasi
5. Pembiayaan
Sumber biaya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan
terdiri sumber dana APBN, APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi,
Bantuan Luar Negeri, Bantuan Nasional dan Daerah, dan swadaya
masyarakat.
Jejaring Surveilans Epidemiologi
Jejaring Kerja Surveilans Epidemiologi adalah pertukaran data dan informasi
epidemiologi, analisis dan peningkatan kemampuan surveilans epidemiologi yang
terdiri dari :
a. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan penyelenggara
pelayanan kesehatan, laboratorium dan unit penunjang lainnya.
b. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan pusat-
pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit
surveilans lainnya.
c. Jaringan kerjasama unit-unit surveilans epidemiologi antara kabupaten/kota,
provinsi dan nasional.
d. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sector terkait nasional,
bilateral Negara, regional dan internasional.
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi
Berdasarkan Metode Pelaksanaan
a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi terhadap beberapa kejadian,
permasalahan,dan ataufaktor risiko kesehatan.
b. Surveilans Epidemiologi Khusus
22Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi terhadap suatukejadian,
permasalahan, faktor risiko atau situasikhusus kesehatan.
c. Surveilans Epidemiologi Sentinel
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi padapopulasi dan wilayah
terbatas untuk mendapatkan signal adanyamasalah kesehatan pada suatu
populasi atau wilayah yglebih luas.
d. Studi Epidemiologi
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi untuk mengetahui gambaran
epidemiologi penyakit.
Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
a. Surveilans Aktif
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi, dimana unit surveilans
mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan,
masyarakat atau sumber datalainnya.
b. Surveilans Pasif
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi, dimana unit surveilans
mengumpulkandata dengan cara menerima data tersebut dari unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
Berdasarkan Pola Pelaksanaan
a. Pola kedaruratan
Kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk
penanggulangan KLB dan atau wabahdan atau bencanadan atau bencana
b. Pola selain kedaruratan
Kegiatansurveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk
keadaan diluar KLB dan atau wabah dan atau bencana
Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan
Kegiatan surveilans dimana data diperolehberdasarkan pemeriksaan klinis
atau tidak menggunakan peralatan pendukungpemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus
23Kegiatan surveilans dimana data diperolehberdasarkan pemeriksaan
laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya.
BAB II
Langkah-Langkah Surveilans Epidemiologi
24OLEH APRISTYA DEWI, KURNIA RAHMAWATI, DAN LISTYOWATI
Pengumpulan Data Surveilans Epidemiologi
Pengumpulan Data adalah pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah
sakit, puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans
di lapangan, laporan masyarakat, dan petugas kesehatan lain. Survei khusus, dan
pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang
diamati.Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara dan
pemeriksaan.Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk.
Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya).Menentukan reservoir
Transmisi Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.
A. Sumber Data Surveilans
Salah satu system pengumpulan data yang dilakukan secara terus menerus
dalam epidemiologi dikenal dengan surveilans. Sebagai sumber data
surveilans, WHO merekomendasikan 10 macam sumber data yang dapat
dipakai :
1. Data mortaliatas
2. Data morbiditas
3. Data pemeriksaan laboratorium
4. Laporan penyakit
5. Penyelidikan peristiwa penyakit
6. Laporan wabah
7. Laporan penyelidikan wabah
8. Survey penyakit, vector dan reservoir
9. Pengunaan obat, vaksin dan serum
10. Demografi dan lingkungan
B. Macam-macam sumber data menurut (Kepmenkes RI
No.1116/Menkes/SK/VIII/2003):
1. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
252. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
serta laporan kantor pemerintah dan masyarakat.
3. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan
dan masyarakat
4. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan
geofisika
5. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
6. Data kondisi lingkungan
7. Laporan wabah
8. Laporan penyelidikan wabah/KLB
9. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
10. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya
11. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh
dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
12. Laporan kondisi pangan
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam surveilans, data dikumpul melalui sistem pelaporan yang
ada.Berdasarkan keperluannya, pengumpulan data untuk surveilans
dibedakan menurut sumber data yaitu primer dan sekunder.Data primer
dikumpulkan secara langsung dari penderita di lokasi dan sarana kejadian
penyakit. Data sekunder dikumpulkan dari sumber data laporan rutin yang
ada atau sumber khusus tambahan lain sesuai variabel yang diperlukan.
Surveilans secara rutin sering menggunakan cara ini. Ada data tersier yaitu
data yang diambil dari hasil kajian, analisis data atau makalah yang telah
dipublikasikan.Besarnya sumber data sangat tergantung pada populasi, yaitu
data yang diambil dari semua penduduk merupakan data yang diamati atau
yang berisiko terkena penyakit (reference population) di suatu wilayah
dimana penyakit terjadi (desa, kecamatan, kebupaten, provinsi atau negara).
Sistem surveilans rutin di kabupaten menggunakan cara ini melalui
laporan sarana kesehatan (Puskesmas) yang menjangkau seluruh wilayah
26kabupaten. Dalam survei khusus, cara ini jarang dilakukan karena mahal
dan membutuhkan waktu lama. Untuk data sampel, yaitu data yang diambil
dari sebagian penduduk atau sebagian puskesmas yang dianggap mewakili
seluruh penduduk atau wilayah dimana kejadian penyakit berlangsung atau
berisiko terkena penyakit. Dalam survei khusus cara ini sering dilakukan
karena lebih cepat dan murah. Bila menggunakan sampel, pemilihan sampel
basanya dilakukan mengikuti ketentuan statistik. Pertama, perlu menentukan
unit sampel yang akan dipilih yaitu sampel perorangan atau kelompok
(kluster), sehingga langkah selanjutnya dapat membuat daftar unit sampel
secara berurutan, dan menetapkan besar atau jumlah sampel.
Besar sampel ditentukan oleh populasi penduduk yang akan diwakili
dan perkiraan besarnya prevalensi dari penyakit yang dipantau. Umumnya
makin besar jumlah sampel, maikin baik informasi yang dihasilkan tentang
penduduk yang diwakilinya.Bandingkan besar sampel dan ketepatan hasil
(lebar range prevalensi yang dihasilkan) pada tabel tertentu. Kemudian unit
sampel dipilih sesuai jumlah yang ditentukan, yang bisa dilakukan secara
aak (random), sistematik (pilihan berselang seling) atau kombinasi cara
tersebut. Cara ini memberikan sampel yang dapat mewakili semua populasi
yang diamati.Kadang-kadang sampel terpaksa dipilih sesuai kepentingan
pengamatan (selektif, purposive), biasanya bila penyakit sangat jarang
terjadi.Cara ini mewakili populasi yang diamati.
Sampel dapat berganti setiap waktu dan setiap pengamatan, atau dapat
berupa sampel tetap untuk diikuti terus selama periode pengamatan
(sentinel, kohort).Data dapat dikumpulkan sesaat, yaitu data tentang
kejadian penyakit atau kematian yang dikumpul pada tempat dan saat
kejadian penyakit sedang berlangsung (cross sectional).Data penyakit sesaat
tersebut (prevalens) dapat dikumpul dalam suatu periode waktu yang
singkat (misalnya 1 hari, disebut point prevalence) atau periode yang lebih
panjang (minggu, bula, tahun, disebut period prevalence).Data kejadian di
waktu lalu, yaitu data yang dikumpul tentang kejadian penyakit atau
kematian yang sudah terjadi pada waktu lalu (restrospective).
27Untuk mencari faktor risiko penyebab penyakit atau kematian
sedangkan data kejadian di waktu mendatang, yaitu data yang dikumpul
tentang kejadian penyakit atau kematian yang sedang berlangsung dan akan
terjadi pada waktu mendatang yang periodenya telah ditetapkan sebelumnya
(prospective). Tujuannya adalah memantau besarnya pengaruh suatu faktor
risiko atau intervensi program tertentu timbulnya penyakit atau
kematian.Sifat kejadian penyakit yang dipantau berdasarkan data kasus
lama, yaitu penderita yang sudah menderita sakit (dan saat ini masih sakit,
sudah sembuh atau sudah meniggal) sejak sebelum pengumpulan data
dilakukan.Penemuan kasus lama dapat dipakai untuk menialai efektivitas
pengobatan, pelaksanaan pengobatan standar, resistensi, adanya pengaruh
faktor risiko lingkungan dan perilaku sehingga sakit berlangsung lama.
Sedangkan kasus baru, yaitu penderita yang baru menderita sakit pada saat
peiode pengumpulan data dilakukan selanjutnya cara penemuan kasus baru,
terutama bila terjadi dalam waktu singkat. Dipakai untuk menilai adanya
KLB atau wabah di suatu tempat, yang memerlukan tindak lanjut.
D. Alat pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data surveilans diprlukan alat bantu yang harus
disiapkan lebih dulu. Alat bantu pengumpulan data dapat berupa daftar
register penderita, kuesioner, formulir, tabel atau cheklist yang memuat
variabel yang berkaitan dengan penyakit yang diamati. Alat bantu baku
disediakan untuk pengumpulan data rutin. Pada KLB/ wabah perlu
dibuatkan alat bantu baru tentang faktor penyebab dan faktor risiko
penularan yang berkaitan dengan penyakit pada KLB/wabah tersebut.
Pengumpulan data membutuhkan serangkaian kegiatan pengelolaan
tersendiri oleh tim surveilans meliputi perencanaan kegiatan,
pengorganisasian, pembiayaan dan penjadwalan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi hasil pengumpulan data. Pengumpulan data pada Surveilans
Epidemilogi Terpadu pada unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
menyimpulkan data dari :
1. Laporan bulanan Puskesmas (form 4, STP.Plus)
282. Laporan bulanan rumah sakit (form 5a dan 5b, STP.RS)
3. Laporan bulanan laboratorium (form 6a. STP.Lab 1 dan form 6b.
STP.Lab 2)
4. Laporan mingguan PWS-KLB (form 3. PWS-KLB).
Pada Puskesmas dan rumah sakit sentinel melaporkan laporan bulanan
dari pelayanan kesehatan swasta. Praktik pengumpulan data dari laporan
puskesmas, meringkas dalam bentuk tabel.Dari penjelasan tersebut maka
dapat dirumuskan tujuan dari pengumpulan data adalah menentukan
kelompok/golongan populasi yang berisiko (umur, sex, bangsa, pekerjaan
dan lainnya), menentukan jenis agent dan karakteristiknya, menentukan
reservoir infeksi, memastikan penyebab trasmisi, dan mencatat kejadian
penyakit.
E. Waktu Pengumpulan Data
Waktu pengumpulan data pada sistem surveilans meliputi :
1. Rutin bulanan. Laporan yang berkaitan dengan perencanaan dan evaluasi
program dari sumber data yang dilakukan oleh Puskesmas yaitu SP2TP
(Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas).
2. Rutin harian dan mingguan. Laporan tersebut berkaitan dengan Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) dari kejadian Luar Biasa (KLB).
3. Insidensitil adalah laporan sewaktu-waktu seperti laporan W1 untuk
Kejadian Luar Biasa (KLB).
4. Laporan berdasarkan hasil survei.
Pengolahan Data Surveilans Epidemiologi
Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam metode
ilmiah, karena dengan pengolahan data, data tersebut dapat diberi arti dan makna
yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Data mentah yang telah
dikumpulkan perlu dipecah-pecahkan dalam kelompok-kelompok, diadakan
kategorisasi, dilakukan manipulasi serta diperas sedemikian rupa sehingga data
tersebut mempunyai makna untuk menjawab masalah dan bermanfaat untuk
menguji hipotesa atau pertanyaan penelitian.
29Mengadakan manipulasi terhadap data mentah berarti mengubah data
mentah tersebut dari bentuk awalnya menjadi suatu bentuk yang dapat dengan
mudah memperlihatkan hubungan-hubungan antara fenomena. Beberapa tingkatan
kegiatan perlu dilakukan, antara lain memeriksa data mentah sekali lagi,
membuatnya dalam bentuk tabel yang berguna, baik secara manual ataupun
dengan menggunakan komputer.
Setelah data disusun dalam kelompok-kelompok serta hubungan-hubungan
yang terjadi dianalisa, perlu pula dibuat penafsiran-penafsiran terhadap hubungan
antara fenomena yang terjadi dan membandingkannya dengan fenomena-
fenomena lain di luar penelitian tersebut. Berdasarkan pengolahan data tersebut,
perlu dianalisis dan dilakukan penarikan kesimpulan hasil penelitian.
Pengolahan data secara sederhana diartikan sebagai proses mengartikan
data-data lapangan sesuai dengan tujuan, rancangan, dan sifat penelitian. Misalnya
dalam rancangan penelitian kuantitatif, maka angka-angka yang diperoleh melalui
alat pengumpul data tersebut harus diolah secara kuantitatif, baik melalui
pengolahan statistik inferensial maupun statistik deskriptif. Lain halnya dalam
rancangan penelitian kualitatif, maka pengolahan data menggunakan teknik non
statitistik, mengingat data-data lapangan diperoleh dalam bentuk narasi atau kata-
kata, bukan angka-angka. Mengingat data lapangan disajikan dalam bentuk narasi
kata-kata, maka pengolahan datanya tidak bisa dikuantifikasikan. Perbedaan ini
harus dipahami oleh peneliti atau siapapun yang melakukan penelitian, sehingga
penyajian data dan analisis kesimpulan penelitian relevan dengan sifat atau jenis
data dan prosedur pengolahan data yang akan digunakan. Di atas dikatakan bahwa
pengolahan data diartikan sebagai proses mengartikan data lapangan, yang berarti
supaya data lapangan yang diperoleh melalui alat pengumpul data dapat dimaknai,
baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga proses penarikan kesimpulan
penelitian dapat dilaksanakan.
Makna penelitian yang diperoleh dalam pengolahan data, tidak sampai
menjawab pada analisis “kemengapaan” tentang makna-makna yang diperoleh.
Misalnya dalam rancangan penelitian kuantitatif, maka angka-angka yang
30diperoleh melalui alat pengumpul data tersebut harus diolah secara kuantitatif,
baik melalui pengolahan statistik inferensial maupun statistik deskriptif.
A. Statistik deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
keadaan yang berkaitan dengan penyakit dan kesehatan masyarakat
berdasarkan hasil pengamatan yang nyata. Misalnya, jumlah kematian
karena penyakit tertentu yang terjadi disuatu rumah sakit, banyaknya
penderita yang membutuhkan rawat inap dalam satu tahun, atau jumlah
tempat tidur yang tersedia di suatu rumah sakit, dan lain-lain. Informasi
demikian bersifat administratif.
B. Statistik inferensial yang ditujukan untuk menarik kesimpulan ciri-ciri
populasi yang dinyatakn dengan parameter populasi melalui perhitungan-
perhitungan statistik sampel. Hal ini dilakukan untuk menguji hipotesis
berdasarkan teori estimasi dan distribusi probabilitas (to extrapolate) atau
untuk membandingkan khasiat obat, prosedur pengobatan, metode
pengobatan, dan lain-lain (to contrast).
1. Jenis Data
a. Data kualitatif
Data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik berwujud
pertanyaan atau berupa kata-kata.Contonya wanita itu cantik, pria itu
tampan, baik, buruk, rumah itu besar dan sebagainya. Data ini
biasanya didapat dari wawancara yang bersifat subyektif sebab data
tersebut ditapsirkan lain oleh orang yang berbeda. Data kualitatif
dapat diangkakan dalam bentuk ordinal atau rangking.
b. Data kuantitatif
Data kuantitaif merupakan data yang dihasilkan dari pengukuran,
dapat berupa bilangan bulat atau desimal. Berbeda dengan data
kualitatif, data kuantitatif hasilnya dinyatakan dalam kuantitas
numerik terhadap ciri tertentu yang disebut variabel, misalnya jumlah
bakteri yang terdapat dalam sampel air. Pada umumnya, dalam studi
tentang perjalanan penyakit terdapat sejumlah variabel, baik yang
berkaitan langsung dengan penyakitnya maupun yang tidak berkaitan
31langsung dengan penyakit yang diderita. Misalnya, jenis kelamin,
temperatur, umur pendidikan, dan pekerjaan. Dari uraian diatas
jelaslah bahwa meringkas data kuantitatif lebih kompleks dan tidak
semudah meringkas data kualitatif
2. Langkah-Langkah Pengolahan Data
a. Penyusunan data
Data yang sudah ada perlu dikumpulkan semua agar mudah untuk
mengecek apakah semua data yang dibutuhkan sudah terekap
semua.Kegiatan ini dimaksudkan untuk menguji hipotesis
penelitian.Penyusunan data harus dipilih data yang ada hubungannya
dengan penelitian, dan benar-benar otentik.Adapun data yang diambil
melalui wawancara harus dipisahkan antara pendapat responden dan
pendapat interviwer.
b. Klasifikasi data
Klasifikasi data merupakan usaha menggolongkan, mengelompokkan,
dan memilah data berdasarkan pada klasifikasi tertentu yang telah
dibuat dan ditentukan oleh peneliti. Keuntungan klasifikasi data ini
adalah untuk memudahkan pengujian hipotesis.
c. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah
dirumuskan. Hipotesis yang akan diuji harus berkaitan dan
berhubungan dengan permasalahan yang akan diajukan. Semua jenis
penelitian tidak harus berhipotesis akan tetapi semua jenis penelitian
wajib merumuskan masalahnya, sedangkan penelitian yang
menggunakan hipotesis adalah metode eksperimen. Jenis data akan
menentukan apakah peneliti akan menggunakan teknik kualitatif atau
kuantitatif. Data kualitatif diolah dengan menggunakan teknik
statistika baik statistika non parametrik maupun statistika parametrik.
Statistika non parametrik tidak menguji parameter populasi akan tetapi
yang diuji adalah distribusi yang menggunakan asumsi bahwa data
yang akan dianalisis tidak terikat dengan adanya distribusi normal
32atau tidak harus berdistribusi normal dan data yang banyak digunakan
untuk statistika non parametrik adalah data nominal atau data ordinal.
d. Interpretasi hasil pengolahan data
Tahap ini menerangkan setelah peneliti menyelesaikan analisis
datanya dengan cermat. Kemudian langkah selanjutnya peneliti
menginterpretasikan hasil analisis akhirnya peneliti menarik suatu
kesimpulan yang berisikan intisari dari seluruh rangkaian kegiatan
penelitian dan membuat rekomendasinya. Menginterpretasikan hasil
analisis perlu diperhatikan hal-hal antara lain: interpretasi tidak
melenceng dari hasil analisis, interpretasi harus masih dalam batas
kerangka penelitian, dan secara etis peneliti rela mengemukakan
kesulitan dan hambatan-hambatan sewaktu dalam penelitian.
3. Pengolahan Data Penelitian Secara Kualitatif dan Kuantitatif
a. Pengolahan Data Kualitatif
Pengolahan data kualitatif dalam penelitian akan melalui tiga kegiatan
analisis yakni sebagai berikut.
i. Reduksi Data
Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan
data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data,
pengabstrakan data, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dalam kegiatan reduksi
data dilakukan pemilahan-pemilahan tentang: bagian data yang
perlu diberi kode, bagian data yang harus dibuang, dan pola
yang harus dilakukan peringkasan. Jadi dalam kegiatan reduksi
data dilakukan: penajaman data, penggolongan data, pengarahan
data, pembuangan data yang tidak perlu, pengorganisasian data
untuk bahan menarik kesimpulan. Kegiatan reduksi data ini
dapat dilakukan melalui: seleksi data yang ketat, pembuatan
ringkasan, dan menggolongkan data menjadi suatu pola yang
lebih luas dan mudah dipahami.
ii. Penyajian Data
33 Penyajian data dapat dijadikan sebagai kumpulan
informasi yang tersusun sehingga memberikan kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.Penyajian yang sering digunakan adalah dalam bentuk
naratif, bentuk matriks, grafik, dan bagan.
b. Pengolahan Data Kuantitatif
i. Mengelompokkan Data
Ada dua jenis data, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif tidak memerlukan perhitungan matematis.
Sebaliknya, data kuantitatif memerlukan adanya perhitungan
secara matematis. Oleh sebab itu, data kuantitatif perlu diolah
dan dianalisis antara lain dengan statistik. Untuk mengolah dan
menganalisis data, ada dua macam statistik, yaitu statistik
deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan
untuk mendeskripsikan variabel penelitian melalui
pengukuran.Statistik inferensial digunakan untuk menguji
hipotesis dan membuat generalisasi.
ii. Kegiatan Awal dalam Mengelompokkan Data
Agar data dapat dikelompokkan secara baik, perlu dilakukan
kegiatan awal sebagai berikut.
Editing, yaitu memeriksa data yang telah dikumpulkan
baik berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register.
Kegiatan memerikasa data ialah :
Menjumlah data, menghitung banyaknya lembaran
daftar pertanyaan yang telah diisi untuk mengetahuia
apakah sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
Bila terdapat kekurangan maka dapat segera dicari
sebabnya lalu diatasi. Sebaliknya, bila terdapat
jumlah berlebih yang mungkin terjadi karena
pencatatan ganda atau pencacatan subjek studi yang
34tidak termasuk dalam sampel maka dapat segera
diketahui dan diambil tindakan.
Melakukan koreksi, proses membenarkan atau
menyelesaikan hal-hal yang salah atau kurang jelas.
Misalnya, memeriksa apakah semua pertanyaan
telah diisi dan apakah isi jawaban sesuai dengan
pertanyaan atau terdapat tulisan yang kurang jelas
atau terdapat kesalahan dalam pengisian, misalya,
umur balita 4,5 tahun ditulis 45 tahun. Untuk
menyelesaikan masalah tersebut dapat dinyatakan
kembali kepada responden, tetapi bila cara tersebut
tidak dapat dilakukan karena responden tidak dapat
dihubungi maka penyelesaian dilakukan oleh
peneliti, apakah dibuang atau diganti dengan yang
lain.
Coding, yaitu kegiatan memberikan kode pada setiap data
yang terkumpul di setiap instrumen penelitian. Kegiatan
ini bertujuan untuk memudahkan dalam penganalisisan
dan penafsiran data. Contohnya, misalkan tingkat
pendidikan diberi kode seperti ini :
Tidak sekolah kode 0
SD kode 1
SLTP kode 2
SLTA kode 3
PT/Akademi kode 4
Lain-lain kode 5
Tabulating (penyusunan data), yaitu pengorganisasian data
sedemikian rupa agar degan mudah dapat dijumlah,
disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Proses
tabulasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
35dengan metode Tally, menggunakan kartu, dan
menggunakan komputer.
iii. Pengolahan Statistik Sederhana
Pengolahan statistik adalah cara mengolah data kuantitatif
sehingga data mempunyai arti. Biasanya pengolahan data
dilakukan dengan beberapa macam teknik, misalnya
distribusi frekuensi (sebaran frekuensi) dan ukuran
memusat (mean, median, modus).
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Sejak langkah awal dalam pengumpulan data, peneliti sudah mulai
mencari arti tentang segala hal yang telah dicatat atau disusun menjadi
suatu konfigurasi tertentu. Pengolahan data kualitatif tidak akan
menarik kesimpulan secara tergesa-gesa, tetapi secara bertahap
dengan tetap memperhatikan perkembangan perolehan data.
Analisis Deskriptif Data Surveilans Epidemiologi
Analisis Deskriptif merupakan bentuk analisis data penelitian untuk menguji
generalisasi hasil penelitian berdasarkan satu sample.
A. Jenis-Jenis Analisis Deskriptif Data
1. Analisis Data Menurut Waktu
Analisis ini membandingkan jumlah kasus yang diterima selama
interval waktu tertentu dan membandingkan jumlah kasus selama
periode waktu sekarang dengan jumlah yang dilaporkan selama
interval waktu yang sama dalam periode waktu tertentu.
2. Analisis Data Menurut Tempat
Yaitu dengan mengetahui tempat pemajan terjadi, bukan tempat
laporan berasal, mengetahui kemungkinan sumber-sumber
pencegahan akan menjadi sasaran yang efektif, menggunakan
computer dan perangkat lunak untuk pemetaan spasial,
memungkinkan analisis yang lebih canggih.
36Analisis deskriptif karakteristik tempat mengacu pada kasus
pemetaan.Jika jumlah kasus aktual digunakan, peta dot density paling
cocok.Namun, tingkat sering digunakan untuk menjelaskan populasi
yang mungkin berbeda di seluruh wilayah geografis.Peta ini disebut
daerah-peta atau peta choropeth.Setiap kali struktur penduduk
mungkin berbeda di seluruh wilayah geografis, harga standar perlu
digunakan untuk membandingkan pola penyakit.
3. Analisis Data Menurut Orang
Analisis ini menggunakan data umur, jenis kelamin, rasa tau entitas,
status perkawinan, pekerjaan, tingkat pendapatan, dan
pendidikan.Semua data dari orang tersebut harus terlengkapi untuk
dapat mengetahui sebab kasus terjadi.
Interpretasi secara Deskriptif dan Interferensial
Interpretasi Data merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan hasil
analisis dengan pernyataan,kriteria ,atau standar tertentu untuk menemukan
makna dari data yang dikumpulkan untuk menjawab permasalahan pembelajaran
yang sedang diperbaiki.
Interpretasi data perlu dilakukan peneliti untuk memberikan arti mengenai
bagaimana tindakan yang dilakukan mempengaruhi peserta didik.
Interpretasi data juga penting untuk menantang guru agar mengecek
kebenaran asumsi atau keyakinan yang dimilikinya
A. Teknik Dalam Melakukan Interpretasi Data
1. Menghubungkan data dengan pengalaman diri guru atau peneliti
2. Mengaitkan temuan (data) dengan hasil kajian pustaka atau teori
terkait.
3. Memperluas analisis dengan mengajukan pertanyaan mengenai
penelitian dan implikasi hasil penelitian.
4. Meminta nasihat teman sejawat jika mengalami kesulitan
Diseminasi Data Surveilans Epiemiologi
37Menurut Depkes RI (2003), diseminasi adalah suatu kegiatan yang
ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka
memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan
informasi tersebut. Dan diseminasi data Surveilans adalah penyebar luasan
informasi, yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti
dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya
pengendalian serta evaluasi program,contohnya:
1. Membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan
2. Membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan
3. Membuat suatu tulisan di majalah rutin
4. Memanfaatkan media internet
BAB III
38Standar dan Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi
menurut Standar World Health Organization
OLEH DWI PUNGKI OKTAVIANA, EVITA SHAFANIDA, DAN MARLIYANA SAFITRI
Standar Pendekatan Surveilans Menurut WHO
1. Pendekatan Surveilans Individu
Pada jaman dahulu, Pendekatan Surveilans yang digunakan adalah
Mendeteksi dan Memonitor individu – individu yang mempunyai kontak
dengan penyakit – penyakit serius, seperti misalnya Pes, Cacar, TBC,
Typhus, Demam Kuning, dll. Hal ini disebut ”Individual Surveillance
Approach”. Rasionalisasinya adalah Bahwa pendeteksian gejala pada
kesempatan pertama (dini) memungkinkan isolasi segera terhadap kontak,
dan penyakit dapat dikendalikan. Contoh klasik pendekatan surveilans
individu adalah Karantina.
2. Pendekatan Surveilans Penyakit
Sejak tahun 1950, Amerika Serikat telah menerapkan pendekatan baru
dalam Surveillance yang disebut ”Disease Surveillance Approach”
(Langmuir 1976). Pendekatan ini mencakup kegiatan antara lain :
a. Pengumpulan data yang relevan secara sistematis,
b. Evaluasi data terus – menerus,
c. Desiminasi data kepada pihak terkait.
Rasionalisasipendekatan ini adalah bahwa institusi / instansi yang
berwenang yang memiliki informasi yang baik dan lengkap tentang
distribusi dan kecenderungan penyakit, akan mampu mengambil tindakan
perbaikan/penanggulangan yang tepat.
3. Pendekatan Surveilans Terpadu
WHO (2001/2002) mengintroduksikan suatu pendekatan baru yaitu :
”Integrated Surveillance Approach” dengan Multi-Disease Approach ;
39Syndromic Surveillance Approach. Pendekatan ini menekankan Koordinasi,
Integrasi dan Sinergi dari semua kegiatan surveilans. Ciri – ciri Pendekatan
Surveillans Terpadu adalah Memonitor Kumpulam Gejala, bukan
memonitor suatu penyakit. Contoh : Sistem Surveilans Terpadu melaporkan
Accute Flaccid Paralysis = AFP bukan Folio ;
Keuntungan Pendekatan ini adalah :
a. Mencegah keterlambatan pemeriksaan laboratorium lintas penyakit,
b. Mengisi kesenjangan surveilans antar penyakit
Perencanaan Surveilans
Perencanaan kegiatan surveilans dimulai dengan penetapan tujuan surveilan
dilanjutkan dengan penentuan definisi kasus, perencanaan perolehan data, teknik
pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi.
Mind mapping dari Pertimbangan dalam Perencanaan Sistem Surveilans
Pelaksanaan Surveilans Menurut WHO
Pelaksanaan sistem surveilans (WHO,1999) adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
40Pengumpulan data merupakan komponen yang sangat penting karena
kualitas informasi yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang
dikumpulkan. Data yang dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada
hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk
dapat menjalankan surveilans yang baik pengumpulan data harus
dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus. Tujuan pengumpulan data:
1 Menentukan kelompok atau golongan populasi yang mempunyai
resiko terbesar terkena penyakit seperti jenis kelamin, umur, suku,
pekerjaan dan lain-lain.
2 Menentukan jenis agent atau penyebab penyakit dan karakteristiknya.
3 Menentukan reservoir infeksinya
4 Memastikan keadaan yang menyebabkan kelangsungan transmisi
penyakit.
5 Mencatat kejadian penyakit, terutama pada kejadian luar biasa.
Sumber data yang dikumpulkan barlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber
data system surveilans terdiri dari 10 elemen yaitu:
a. Pencatatan kematian
b. Laporan penyakit, merupakan elemen yang terpenting dalam
surveilans. Data yang diperlukan : nama penderita, umur, jenis
kelamin, alamat, diagnosis dan tanggal mulai sakit.
c. Laporan kejadian luar biasa atau wabah.
d. Hasil pemeriksaan laboratorium.
e. Penyelidikan peristiwa penyakit menular.
f. Penyidikan kejadian luar biasa atau wabah.
g. Survey : memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas.
h. Penyelidikan tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada
hewan.
i. Data penggunaan obat- obatan, serum dan vaksin.
j. Data kependudukan dan lingkungan.
b. Pengolahan, analisa dan interpretasi data
41Data yang terkumpul segera diolah, dianalisa dan sekaligus diinterpretasikan
berdasarkan waktu, tempat dan orang, kemudian disajikan dalam bentuk
teks, tabel, spot map dan lain-lain agar bisa menjawab masalah-masalah
yang ada, sehingga segera dilakukan tindakan yang cepat dan tepat.
Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data, dibuat tanggapan dan saran-
saran dalam menentukan tindakan pemecahan masalah yang ada.
c. Penyebarluasan Informasi dan umpan balik.
Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh
unit kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk
disebarkluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi
lebih lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit
kesehatan pemberi laporan. Umpan balik atau pengiriman informasi kembali
kepada sumber-sumber data (pelapor) mengenai arti data yang telah
diberikan dan kegunaannya setelah diolah, merupakan suatu tindakan yang
penting, selain tindakan follow up.
Diseminasi Surveilans
Diseminasi (Bahasa Inggris: Dissemination) adalah suatu kegiatan yang ditujukan
kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul
kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.Diseminasi
adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola.
Tahap - tahap diseminasi data antara lain:
a. Menetapkan yang hendak dikomunikasikan dengan tujuan untuk
menentukan etiologi dan riwayat aiamiah penyakit serta untuk mendeteksi
dan mengendalikan epidemic.
b. Menentukan kepada siapa infomasi harus disampaikan : praktisi kesehatan
masyarakat, penyedia yankes, organisasi profesi dan organisasi sukarela,
pembuat kebijakan, media, public, pendidik.
c. Memilih sarana publikasi apakah media elektronik,atau media massa
d. Memaparkan pesan. Pesan seharusnya dinyatakan : dengan menggunakan
format grafik dan peragaan visual lainnya (harus jelas dan sederhana),
42pertimbangan satu penolakan tujuan komunikasi (apa yang baru ? ; siapa
yang dipengaruhi ? ; apa pekerjaan yang terbaik ? )
e. Menilai dampak dari pesan yang dibuat : apakah informasi surveilans telah
dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi
(evaluasi proses) dan apakah informasi itu mempunyai efek yang
menguntungkan atas masalah kesmas atau kondisi yang menjadi perhatian
(evaluasi dampak).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam diseminasi data kita
mempunyai komponen kunci antara lain: · Media · Audiens · Respon · Penilaian
proses.
BAB IV
43Standar dan Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi
pada Penyakit Campak
menurut World Health Organization
OLEH ARDIKAL, AULIA ULFA ARSYIDYANTI, DAN NUR PUTRI LAVENIA PERMATA SARI
Pengertian Surveilans
Menurut World Health Organization (2004), surveilans adalah proses
pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus
menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat
mengambil tindakan.
Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu
kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis
terhadap kejadian dan distribusi penyakit serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan
untuk dapat mengambil tindakan efektif.
Pengertian Surveilans Kesehatan Masyarakat
Menurut The Centers for Disease Control, surveilans kesehatan masyarakat
adalah : “The ongoing systematic collection, analysis and interpretation of health
data essential to the planning, implementation, and evaluation of public health
practice, closely integrated with the timely dissemination of these data to those
who need to know. The final link of the surveillance chain is the application of
these data to prevention and control.”
Pengertian Surveilans Epidemiologi
44Menurut Karyadi (1994), surveilans epidemiologi adalah : Pengumpulan
data epidemiologi yang akan digunakan sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan
dalam bidang penanggulangan penyakit, yaitu :
1. Perencanaan program pemberantasan penyakit. Mengenal epidemiologi
penyakit berarti mengenal masalah yang kita hadapi. Dengan demikian
suatu perencanaan program dapat diharapkan akan berhasil dengan baik.
2. Evaluasi program pemberantasan penyakit. Bila kita tahu keadaan
penyakit sebelum ada program pemberantasannya dan kita menentukan
keadaan penyakit setelah program ini, maka kita dapat mengukur dengan
angka-angka keberhasilan dari program pemberantasan penyakit tersebut.
3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB). Suatu sistem surveilans yang
efektif harus peka terhadap perubahan-perubahan pola penyakit di suatu
daerah tertentu. Setiap kecenderungan peningkatan insidens, perlu
secepatnya dapat diperkirakan dan setiap KLB secepatnya dapat diketahui.
Dengan demikian suatu peningkatan insidens atau perluasan wilayah suatu
KLB dapat dicegah”.
Menurut Nur Nasry Noor (1997), surveilans epidemiologi adalah
pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit
tertentu, baik keadaan maupun penyabarannya dalam suatu masyarakat tertentu
untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya.
Menurut World Health Organization, surveilans epidemiologi adalah suatu
proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara
sistematis, terus menerus dan penyebarluasan informasi kepada pihak terkait
untuk melakukan tindakan.
Menurut The Center of Disease Control, surveilanns epidemiologi adalah
pengumpulan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara sistematis dan terus
menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi upaya
kesehatan masyarakat, dipadukan dengan diseminasi data secara tepat waktu
kepada pihak-pihak yang perlu mengetahuinya.
45Standar Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak Menurut World
Health Organization
Global Measles Mortality and Regional Elimination Strategic Plan 2001-
2005 (WHO/V&B/01.13) berusaha untuk mengurangi jumlah kematian akibat
campak hingga setengahnya pada tahun 2005 (dibandingkan dengan perkiraan
sampai dengan tahun 1999) dan untuk mencapai dan mempertahankan gangguan
transmisi campak adat (indigenous) di daerah geografis yang luas dengan tujuan
diadakannya tahap eliminasi.
Surveilans untuk campak harus berkembang dengan setiap fase control
campak. Negara-negara di fase penurunan angka kematian, dimana penyakit ini
endemik pada Negara-negara tersebut sebaiknya berkonsentrasi pada peningkatan
cakupan imunisasi campak rutin dan fokus upaya imunisasi supplemtal di daerah
dengan angka kematian campak yang tinggi.
Negara-negara dengan kontrol lebih lanjut untuk campak pada tahap
eliminasi yang mencapai tingkat tinggi kekebalan populasi campak dan insiden
rendah dengan atau tanpa wabah periodik. Surveilans di negara-negara ini harus
digunakan untuk mengidentifikasi populasi tinggi resiko dan untuk memprediksi
dan mencegah wabah potensial. Negara-negara dimana tujuannya untuk benar-
benar mengganggu transmisi campak (atau negara dengan kejadian yang sangat
rendah) memerlukan surveilans berbasis kasus intensif untuk mendeteksi,
menyelidiki dan mengkonfirmasi setiap kasus campak yang dicurigai di
masyarakat.
Perencanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak Menurut
World Health Organization
Definisi Kasus pada Penyakit Campak menurut World Health Organization
1. Kasus Klinis
Setiap orang yang didiagnosa oleh dokter mengalami infeksi campak atau
setiap orang dengan demam, terdapat ruam makulo papular (non-vesikular),
batuk, coryza (hidung meler) atau konjungtivitis (mata merah).
2. Klasifikasi Kasus
46Negara disarankan untuk menggunakan skema klasifikasi klinis sampai
program mereka memenuhi dua kriteria berikut:
a. Rendahnya tingkat insiden campak.
b. Akses ke laboratorium campak mahir.
Skema klasifikasi laboratorium harus digunakan oleh negara-negara dalam insiden
rendah atau fase eliminasi.
I. Skema klasifikasi klinis
a. Dikonfirmasi secara klinis: Sebuah kasus yang memenuhi definisi
kasus klinis
b. Discarded : Sebuah kasus yang tidak memenuhi definisi kasus klinis.
II. Klasifikasi laboratorium
Klasifikasi laboratorium juga dapat digunakan untuk investigasi wabah.
a. Dikonfirmasi secara laboratorium : Sebuah kasus yang memenuhi
definisi kasus klinis dan dikonfirmasi laboratorium.
b. Dikonfirmasi secara epidemiologi : Sebuah kasus yang memenuhi
definisi kasus klinis dan terkait dengan kasus dikonfirmasi
laboratorium.
c. Dikonfirmasi secara klinis : Sebuah kasus yang memenuhi definisi
kasus klinis dan yang tidakada spesimen darah yang memadai diambil.
d. Bukan kasus campak (discarded) : Sebuah kasus tersangka yang tidak
memenuhi definisi klinis atau laboratorium.
Jenis Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World Health
Organization
1. Fase Penurunan Angka Kematian (Mortality Reduction Phase)
Ketika campak endemik, pelaporan bulanan rutin data agregat pada kasus
campak klinis direkomendasikan oleh kabupaten, kelompok usia dan status
imunisasi. Hanya wabah (tidak tiap kasus) harus diselidiki. Selama wabah
itu berguna untuk mencoba untuk mendokumentasikan kematian campak.
Konfirmasi laboratorium dapat dicoba dengan sampling sekitar 10 kasus per
wabah. Dalam keadaan khusus, isolasi strain liar dari kasus-kasus tertentu
47yang terjadi dalam wabah dapat dilakukan untuk mengaktifkan karakterisasi
genetik beredar virus campak dan menentukan pola ekspor dan impor bagi
negara-negara di insiden rendah atau fase eliminasi.
2. Fase Rendahnya Kejadian atau Eliminasi (Low-Incidence or Elimination
Phase)
Kasus berbasis surveilans harus dilakukan dan setiap kasus harus dilaporkan
dan diselidiki segera (dan juga termasuk dalam sistem pelaporan mingguan).
Spesimen laboratorium harus dikumpulkan dari setiap kasus tersangka
sporadis. Diduga wabah campak harus dikonfirmasi dengan melakukan
serologi pada 5-10 kasus pertama saja. Urin, nasofaring maupun limfosit
spesimen (untuk pendeteksian virus dan Karakterisasi genetik) harus
dikumpulkan dari kasus sporadic/wabah (sekitar 10 kasus dari setiap rantai
penularan) mengkarakterisasi virus dan sirkulasi pola impor.
3. Selama Semua Fase (During All Phase)
Situs pelaporan yang ditunjuk di semua tingkatan harus melaporkan pada
frekuensi tertentu (misalnya mingguan atau bulanan) bahkan jika ada nol
kasus (sering disebut sebagai "pelaporan nol").
Elemen Data Minimum pada Penyakit Campak menurut World Health
Organization
1. Pengumpulan Data Penyakit Campak
a. Jumlah kasus menurut kelompok usia dan status imunisasi;
b. Jumlah campak dosis vaksin diberikan kepada bayi usia di bawah 12
bulan dan anak usia 12-23 bulan.
2. Basis Data Kasus
a. Unik identifier.*
b. Wilayah geografis (misalnya, kabupaten dan provinsi).*
c. Tanggal lahir.*
d. Sex 1 = laki-laki, Sex 2 = perempuan, Sex 9 = tidak diketahui
e. Tanggal timbulnya ruam.*
48f. Jumlah campak sebelum dosis vaksin yang diterima : 9 = tidak
diketahui.*
g. Tanggal penerimaan dosis terakhir.
h. Tanggal pemberitahuan.
i. Tanggal pemeriksaan perkara.**
j. Tanggal pengambilan spesimen darah.*
k. Tanggal spesimen darah dikirim ke laboratorium.
l. Tanggal spesimen darah yang diterima oleh laboratorium.
m. Kondisi darah spesimen pada penerimaan: 1 = memadai; 2 = tidak
memadai; 9 = tidak diketahui.
n. Tanggal campak hasil serologi dilaporkan.
o. Hasil serologi campak : 1 = positif; 2 = negatif; 3 = tidak diuji; 4 = tak
tentu; 9 = tidak diketahui.*
p. Hasil diferensial Serologi (membuat variabel terpisah untuk setiap
penyakit): 1 = positif; 2 = negative; 3 = tidak diuji; 4 = tak tentu; 9 =
tidak diketahui.
q. Koleksi spesimen untuk kultur virus atau identifikasi: 1 = ya; 2 = tidak.
r. Spesimen tipe : 1 = urin; 2 = pernafasan; 3 = limfosit.
s. Tanggal spesimen diterima untuk biakan virus atau identifikasi.
t. Hasil campak virus budaya atau identifikasi: 1 = positif; 2 = negative;
3 = tidak diuji; 9 = tidak diketahui.
u. Klasifikasi akhir: 1 = klinis dikonfirmasi; 2 = yang dikonfirmasi
laboratorium; 3 = epidemiologis terkait dengan kasus dikonfirmasi
laboratorium; 9 = dibuang.*
v. Sumber infeksi diidentifikasi: 1 = ya; 2 = tidak; 9 = tidak diketahui.
Catatan :
Dalam setiap tahap, kelengkapan dan ketepatan waktu bulanan (fase
penurunan angka kematian) atau (insiden rendah atau fase penghapusan)
mingguan pelaporan campak sebaiknya dipantau. Untuk menghindari
perubahan-perubahan dalam bentuk dan instrumen pengumpulan data
lainnya, negara-negara cenderung segera bergerak ke fase eliminasi,
49mungkin ingin pindah ke data berbasis kasus sementara masih dalam fase
kontrol jika hal ini tidak terlalu memberatkan.
Keterangan :
* Variabel penting untuk dikumpulkan
** Investigasi harus mencakup kunjungan rumah tangga dan mencari
kasus tambahan dalam rumah tangga
Analisis Data, Interpretasi, dan Laporan Surveilans Epidemiologi pada
Penyakit Campak menurut World Health Organization
1. Fase Penurunan Angka Kematian (Mortality Reduction Phase)
a. Jumlah kasus dan angka insiden per bulan dan tahun, dan wilayah
geografis
b. Usia tertentu, tingkat kejadian spesifik, jenis kelamin dan kabupaten
khusus
c. Campak cakupan vaksin tahun dan wilayah geografis.
d. Tingkat putus sekolah campak DTP1 dan campak BCG.
e. Kelengkapan atau ketepatan pelaporan waktu bulanan.
f. Proporsi wabah yang dikenal dikonfirmasi oleh laboratorium
g. Proporsi kasus menurut kelompok umur dan status imunisasi.
Kelompok usia inti disarankan: 0-8 bulan , 9-11 bulan , 1-4 tahun , 5-9
tahun , 10-14 tahun , 15-19 tahun , 20-24 tahun, 25 tahun ke atas.
2. Fase Rendahnya Kejadian atau Eliminasi (Low-Incidence or Elimination
Phase)
Fase ini sama seperti fase penurunan angka kematian, yakni Kasus
berbasis surveilans harus dilakukan dan setiap kasus harus dilaporkan dan
diselidiki segera (dan juga termasuk dalam sistem pelaporan mingguan).
Spesimen laboratorium harus dikumpulkan dari setiap kasus tersangka
sporadis. Diduga wabah campak harus dikonfirmasi dengan melakukan
serologi pada 5-10 kasus pertama saja. Urin, nasofaring maupun limfosit
spesimen (untuk pendeteksian virus dan Karakterisasi genetik) harus
dikumpulkan dari kasus sporadic/wabah (sekitar 10 kasus dari setiap
50rantai penularan) mengkarakterisasi virus dan sirkulasi pola impor. Lalu di
tambah dengan Indikator Kinerja dengan target ≥ 80%
a. Persentase dari laporan mingguan yang diterima.
b. Persentase kasus* diberitahukan ≤ waktu 48 jam setelah onset ruam.
c. Persentase kasus* diselidiki dengan kunjungan rumah ≤ waktu 48
jam setelah pemberitahuan.
d. Persentase kasus* dengan** spesimen yang memadai dan hasil
laboratorium dalam waktu 7 hari.
e. Persentase dari kasus yang dikonfirmasi dengan sumber infeksi
diidentifikasi.
Keterangan :
* Semua kasus yang memenuhi definisi kasus klinis
** Sebuah spesimen adekuat adalah spesimen darah dalam waktu 28 hari
dikumpulkan dari timbulnya ruam
Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut
World Health Organization
Kegiatan surveilans campak dalam program eradikasi campak adalah :
1. Surveilans Rutin, dilaksanakan terutama oleh surveilans puskesmas serta
surveilans kabupaten/kota.
2. Sistem Kewaspadaan Dini KLB Campak. Dalam mengantisipasi
kemungkinan terjadinya KLB perlu dilaksanakan kegiatan kewaspadaan
dini KLB. Strategi dalam SKD-KLB campak adalah :
a. Pemantauan Populasi Rentan
Populasi rentan (susceptible) atau tak terlindungi imunisasi campak
dapat dihitung dengan rumus :
Prc = Px – 0,85 ( Cix .Px ) – BS – AM
Keterangan :
Prc = Jumlah populasi rentan campak pada tahun (x)
Px = Jumlah populasi bayi pada tahun (x)
Ci.x = % cakupan imunisasi tahun (x)
51BS = Jumlah Bayi sakit campak selama periode thn x
AM = Jurnlah Bayi meninggal selama periode tahun (x)
Batas nilai populasi rentan adalah = 5%. contoh perhitungan lihat
lampiran.
Dalam pemantauan populasi rentan dilakukan juga pemantauan
terhadap :
i. Status Gizi Balita
ii. Keterjangkaun Pelayanan Kesehatan (Asesibilitas)
iii. Kelompok Pengungsi
b. Pemantauan Kasus Campak melalui PWS Campak
Apabila ditemukan satu (1) kasus pada desa dengan cakupan tinggi
(>90%), masih perlu diwaspadai pula mengingat adanya kemungkinan
kesalahan rantai dingin vaksin atau karena cakupan imunisasi yang
kurang dipercaya.
Menurut WHO, apabila ditemukan satu (1) kasus pada satu wilayah,
maka kemungkinan ada 17-20 kasus di lapangan pada jumlah
penduduk rentan yang tinggi.
3. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB
Dalam tahap reduksi campak maka setiap KLB campak harus dapat
dilakukan penyelidikan epidemiologi baik oleh surveilans puskesmas
maupun bersama-sama dengan surveilans dinas kesehatan. lndikasi
penyelidikan KLB Campak dilakukan apabila hasil pengamatan SKD
KLB/PWS kasus campak ditemukan indikasi adanya peningkatan kasus
dan penyelidikan Pra KLB menunjukkan terjadi KLB, atau adanya laporan
peningkatan kasus atau kematian campak dari masyarakat, media masa dll.
4. Strategi penanggulangan KLB Campak :
a. Penyelidikan Epidemiologi KLB campak
KLB campak harus segera diselidiki untuk melakukan diagnosa secara
dini (early diagnosis), agar penanggulangan dapat segera
dilaksanakan.
b. Penanggulangan KLB campak
52Penanggulangan KLB campak didasarkan analisis dan rekomendasi
hasil penyelidikan KLB campak, dilakukan sesegera mungkin agar
transmisi virus dapat dihentikan dan KLB tidak meluas serta
membatasi jumlah kasus dan kematian. KLB campak harus segera
didiagnosa secara dini (early diagnosis) dan segera ditanggulangi (out
break respons) agar KLB tidak meluas dan membatasi jumlah kasus
dan kematian.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendukung diagnosa campak pada saat KLB, maka perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan mengambil
spesimen. darah sebanyak 10-15 penderita baru, dan waktu sakit kasus
kurang dari 21 hari, serta beberapa sampel urine kasus campak untuk
isolasi virus.
Point Penting dalam Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit
Campak menurut World Health Organization
1. Tahap Penurunan Angka Kematian
Memantau kejadian, cakupan menilai kemajuan, (yaitu penurunan insiden
dan meningkatkan coverage) dan mengidentifikasi daerah beresiko tinggi
atau dengan kinerja program rendah. Menggambarkan epidemiologi
perubahan campak dalam hal usia, status imunisasi dan periode
interepidemic . Membantu dalam penentuan kelompok usia yang optimal
untuk menjadi sasaran kesempatan kedua untuk imunisasi campak
(termasuk kampanye vaksinasi massal)
2. Tahap Rendahnya Kejadian atau Eliminasi (Low Insidence or Elimination
Phase)
Mengidentifikasi rantai penularan. Memantau epidemiologi (kelompok
usia beresiko, periode interepidemic, status imunisasi) campak dan
mempercepat kegiatan imunisasi sesuai untuk mencegah mewabahnya.
Gunakan data epidemiologi untuk mengklasifikasikan kasus ( lihat bagian
aspek khusus). Gunakan indikator kinerja untuk menilai kualitas
53pengawasan dan mengidentifikasi daerah-daerah yang memerlukan
penguatan.
3. Selama Semua Fase (During All Phase)
Mendeteksi dan menyelidiki wabah untuk memastikan manajemen kasus
yang tepat, dan menentukan mengapa KLB terjadi (misalnya kegagalan
untuk vaksinasi, kegagalan vaksin atau akumulasi susceptibles).
Diseminasi Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World
Health Organization
Diseminasi adalah Penyebarluasan informasi surveilans kepada pihak yang
berkepentingan (stakeholders), agar dapat dilakukan action secara cepat dan tepat.
Stakeholder adalah adalah orang-orang dan atau badan yang berkepentingan atau
terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Berikut beberapa
stakeholder dan peranannya dalam Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I).
PD3I adalah salah satu program Nasional yang indikator keberhasilannya
tergantung dari kabupaten/kota untuk menggerahkan desa-desanya agar dapat
mencapai UCI (Universal Child Immunization) yaitu cakupan imunisasi harus
mencapai diatas 80% dari seluruh sasaran populasinya. Penyakit campak termasuk
ke dalam PD3I, karena penyakit ini disamping dapat menimbulkan kematian,
kesakitan juga kecatatan, bahkan apabila tidak ditangani secara maksimal dapat
menular dan mengakibat kejadian luar biasa (KLB). Ada beberapa stakeholder
yang dapat berperan dalam penyakit campak antara lain :
a. Dinas kesehatan, membuat dan menetapkan kebijakan tentang
pemberian imunisasi, penyebarluasan informasi (misal promosi
kesehatan melalui iklan/poster tentang program imunisasi massal),
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan imunisasi, penyediaan vaksin
serta alat suntik.
b. Dinas pendidikan membuat program pemberian imunisasi pada
sekolah dasar.
54c. Puskesmas, membuat program pengontrolan pemberian imunisasi pada
masyarakat, pembinaan kader posyandu, pendistribusian vaksin serta
alat suntik bagi posyandu, serta pengawasan pelaksanaan kegiatan
imunisasi posyandu.
d. Posyandu, membuat program pemberian imunisasi dasar secara
berkala kepada bayi dan balita,serta membuat program penyuluhan
pemberian imunisasi kepada ibu dan remaja maupun masyarakat
e. Kelurahan, bekerjasama dengan RW mengadakan program posyandu.
f. Kader kesehatan, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang
pentingnya imunisasi sehingga diharapkan masyarakat bersedia
mengikuti imunisasi.
g. Keluarga, mengikutsertakan anggota keluarganya dalam kegiatan
imunisasi.
55BAB V
Surveilans dan Kejadian Luar Biasa (KLB)
OLEH ERIKA YUNI LUMBAN TOBING, MERTISIN LAOLI, WAHYUNI MEGAWATI,
DAN YAYANG BELYA OKTAVIANI
Defenisi Surveilans Epidemiologi
World Health Organization (1968), mengemukakan pengertian surveilans
sebagai suatu kegiatan pengumpulan data yang sistematis dan menggunakan
informasi epidemiologi untuk perencanaan, implementasi, dan penilaian
pemberantasan penyakit. Oleh karena itu perlu di kembangkan suatu definisi
surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian
epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan
pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
Dapat disimpulkan , surveilans atau surveilans epidemiologi adalah kegiatan
analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-
masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat
melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.
Surveilans dan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan
daerah tertentu. (Kep. Dirjen PPM&PLP No.451-I/PD.03.04/1991 Pedoman
Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB). Untuk penyakit-penyakit
endemis, maka KLB didefinisikan sebagai : suatu peningkatan jumlah kasus yang
melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu. Pada penyakit yang lama
56tidak muncul atau baru pertama kali muncul di suatu daerah (non-endemis),
adanya satu kasus belum dapat dikatakan sebagai suatu KLB.
Untuk keadaan tersebut definisi KLB adalah : suatu episode penyakit dan
timbulnya penyakit pada dua atau lebih penderita yang berhubungan satu sama
lain. Hubungan ini mungkin pada faktor saat timbulnya gejala (onset of illness),
faktor tempat (tempat tinggal, tempat makan bersama, sumber makanan), faktor
orang (umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lainnya).
Uraian tentang batasan Wabah atau KLB tersebut di atas terkandung arti
adanya kesamaan pada ciri-ciri orang yang terkena, tempat dan waktunya. Untuk
itu dalam mendefinisikan KLB selalu dikaitkan dengan waktu, tempat dan orang.
Selain itu terlihat bahwa definisi KLB ini sangat tergantung pada kejadian
(insidensi) penyakit tersebut sebelumnya (Barker, 1979; Kelsey, et al., 1986).
Di Indonesia definisi wabah dan KLB diaplikasikan dalam Undang-undang
Wabah, 1984 sebagai berikut :
Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian, yang meluas
secara cepat baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat
menimbulkan malapetaka.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya suatu kejadian
kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian
yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun
waktu tertentu. Terlihat adanya perbedaan definisi antara Wabah dan KLB.
Wabah harus mencakup jumlah kasus yang besar, daerah yang luas dan waktu
yang lebih lama, dengan dampak yang timbulkan lebih berat.
Ruang Lingkup Kejadian Luar Biasa
Ruang lingkup KLB tidak hanya sebatas pada penyakit infeksi menular saja, ada
tiga kategori penyakit yang masuk dalam KLB, yaitu :
1. Penyakit menular :misalnya Flu Burung (Avian Influenza).
2. Penyakit tidak menular : misalnya gizi buruk, keracunan makanan,
keracunan pestisida.
573. Bencana alam disertai dengan wabah penyakit : misalnya bencana alam
banjir yang menimbulkan penyakit penyakit kencing tikus (Leptospirosis).
Kriteria dan Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
1. Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB)
Kejadian luar biasa meliputi hal yang sangat luas, maka untuk
mempermudah penetapan diagnosis KLB, ada 7 kriteria Kejadian Luar
Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010 adalah :
A. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak
ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
B. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya.
C. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau
minggu menurut jenis penyakitnya.
D. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata
jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
E. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-
rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
F. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
G. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
582. Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
A. Menurut Penyebab
Toksin InfeksiToksin
BiologisToksin Kimia
Entero toxin,
missal yang
dihasilkan oleh
Staphylococus
aurerus, Vibrio,
Kholera,
Eschorichia,
Shigella
Virus Racun jamur
Zat kimia
organic : logam
berat seperti air
raksa, timah,
logam, dll…
Exotoxin (bakteri),
misal yang
dihasilkan oleh
Clostridium
botulinum
Bakteri Racun ikan Cyanide
Clostridium
perfringensProtozoa Alfatoxin Nitrit, pestisida
Endotoxin Cacing,
planktonPlankton CO ,CO2 , HCN
B. Menurut Sumber Kejadian Luar Biasa (KLB)
1. Manusia
Misalnya : jalan napas, tenggorokan, tangan, tinja, air seni,
muntahan, seperti : Salmonella, Shigella, Staphylococus,
Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.
2. Kegiatan manusia
misalnya : Toxin biologis dan kimia (pembuangan tempe
bongkrek, penyemprotan, pencemaran lingkungan, penangkapan
ikan dengan racun).
593. Binatang
seperti : binatang piaraan, ikan, binatang mengerat, contoh :
Leptospira, Salmonella, Vibrio, Cacing dan parasit lainnya,
keracunan ikan/plankton
4. Serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya)
misalnya : Salmonella, Staphyloccoccus, Streptoccoccus.
5. Udara
misalnya : Staphyloccoccus, Streptococcus, Virus, pencemaran
udara.
6. Permukaan benda-benda/alat-alat
misalnya : Salmonella.
7. Air
misalnya : Vibrio Cholerae, Salmonella.
8. Makanan atau Minuman
misal : keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
C. Menurut Wabah Penyakit
Kholera
Demam
Berdarah
Dengue
Rabies Meningitis
PES Campak Malaria Encephalitis
Demam Kuning Polio Influensa SARS
Demam
Bolak-BalikDifteri Hepatitis Anthrax
Tifus Bercak
WabahPertusis Tipus Perut
Penyakit-Penyakit Menular yang Berpotensi Wabah atau Kejadian Luar
Biasa (KLB)
1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting, meliputi : DHF, Campak,
Rabies, Tetanus Neonatorum, diare, pertusis, poliomyelitis.
602. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau
mempunyai mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk program
eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera, meliputi : Malaria,
Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus,abdominalis,
meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
3. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting.
4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan
KLB tetapi diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan
melalui RR terpadu Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara
berjenjang sampai ke tingkat pusat. Penyakit tersebut meliputi : Cacing,
Lepra, Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe, Filariasis & AIDS, dll.
Jika peristiwa Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah dari penyakit yang
bersangkutan sudah berhenti (insidensi penyakit sudah kembali pada keadaan
normal), maka penyakit tersebut tidak perlu dilaporkan secara mingguan lagi.
Sementara itu, laporan penyakit setiap bulan perlu dilaporkan ke Puskesmas oleh
Bidan desa/petugas di Poskesdes.
Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB
pada daerah tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3-6 bulan yang akan
datang) dan disampaikan kepada semua unit terkait di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi, Departemen Kesehatan, sektor terkait
dan anggota masyarakat, sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan terhadap KLB di Unit Pelayanan Kesehatan dan program terkait
serta peningkatan kewaspadaan masyarakat perorangan dan kelompok.
Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap penyakit
berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yang akan datang), agar
terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat menjadi acuan perumusan
perencanaan strategis program penanggulangan KLB.
Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
61Kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan
kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB; peningkatan kegiatan
surveilans untuk deteksi dini KLB; penyelidikan epidemiologi adanya dugaan
KLB; kesiapsiagaan menghadapi KLB dan mendorong segera dilaksanakan
tindakan penanggulangan KLB.
1. Deteksi Dini Kondisi Rentan KLB
Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap
timbulnya kerentanan masyarakat, kerentanan lingkungan-perilaku, dan
kerentanan pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara-
cara surveilans epidemiologi atau Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)
kondisi rentan KLB.
Identifikasi timbulnya kondisi rentan KLB dapat mendorong
upayaupaya pencegahan terjadinya KLB dan meningkatkan kewaspadaan
berbagai pihak terhadap KLB.
A. Identifikasi Kondisi Rentan KLB
Mengidentifikasi secara terus menerus perubahan kondisi lingkungan,
kuwalitas dan kwantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan
masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB di daerah.
B. Pemantauan Wilayah Setempat Kondisi Rentan KLB
Setiap Sarana Pelayanan Kesehatan merekam data perubahan kondisi
rentan KLB menurut desa atau kelurahan atau lokasi tertentu lainnya,
menyusun tabel dan grafik pemantauan wilayah setempat kondisi
rentan KLB.
Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus menerus dan sistematis
untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB.
Penyelidikan Dugaan Kondisi Rentan KLB dilakukan dengan cara
a. Sarana Pelayanan Kesehatan secara aktif mengumpulkan informasi
kondisi rentan KLB dari berbagai sumber termasuk laporan perubahan
kondisi rentan oleh masyarakat perorangan atau kelompok.
b. Di Sarana Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti serta
mengkaji data kondisi rentan KLB, data kondisi kesehatan lingkungan
62dan perilaku masyarakat, status kesehatan masyarakat, status
pelayanan kesehatan.
c. Petugas kesehatan mewawancarai pihak-pihak terkait yang patut
diduga mengetahui adanya perubahan kondisi rentan KLB.
d. Mengunjungi daerah yang dicurigai terdapat perubahan kondisi rentan
KLB.
2. Deteksi Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)
Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLB
dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah
setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan
dugaan KLB.
A. Identifikasi Kasus Berpotensi KLB
Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke Unit Pelayanan
Kesehatan, diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain di
sekitar tempat tingggal, lingkungan sekolah, lingkungan perusahaan
atau asrama yang kemudian dapat disimpulkan dugaan adanya KLB.
Adanya dugaan KLB pada suatu lokasi tertentu diikuti dengan
penyelidikan.
B. Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB
Setiap Unit Pelayanan Kesehatan merekam data epidemiologi
penderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan.
Setiap Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafik
pemantauan wilayah setempat KLB sebagaimana lampiran grafik
PWS-KLB.
C. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis terus menerus
dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yang berpotensi KLB
di daerahnya untuk mengetahui secara dini adanya KLB. Adanya
dugaan peningkatan penyakit dan faktor resiko yang berpotensi KLB
diikuti dengan penyelidikan.
D. Penyelidikan Dugaan KLB
Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara :
63a. Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan menanyakan
setiap pengunjung Unit Pelayanan Kesehatan tentang
kemungkinan adanya peningkatan sejumlah penderita penyakit
yang diduga KLB pada lokasi tertentu.
b. Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti
register rawat inap dan rawat jalan terhadap kemungkinan
adanya peningkatan kasus yang dicurigai pada lokasi tertentu
berdasarkan alamat penderita, umur dan jenis kelamin atau
karakteristik lain.
c. Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama
dan setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang
adanya peningkatan penderita penyakit yang diduga KLB.
d. Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLB dan
menganalisis data penderita berobat untuk mengetahui
kemungkinan adanya peningkatan penyakit yang dicurigai.
e. Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai atau
kunjungan dari rumah ke rumah terhadap semua penduduk
tergantung pilihan tim penyelidikan.
3. Deteksi Dini KLB melalui Pelaporan Kewaspadaan KLB oleh Masyarakat
Laporan kewaspadaan KLB merupakan laporan adanya seorang atau
sekelompok penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi KLB
pada suatu daerah atau lokasi tertentu. Isi laporan kewaspadaan terdiri dari
jenis penyakit; gejala-gejala penyakit; desa/lurah, kecamatan dan
kabupaten/kota tempat kejadian; waktu kejadian; jumlah penderita dan
jumlah meninggal. Perorangan dan organisasi yang wajib membuat Laporan
Kewaspadaan KLB antara lain :
A. Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita
penyakit berpotensi KLB, yaitu orang tua penderita atau tersangka
penderita, orang dewasa yang tinggal serumah dengan penderita atau
tersangka penderita, Ketua Rukun Tetangga, Ketua Rukun Warga,
64Ketua Rukun Kampung atau Kepala Dukuh yang mengetahui adanya
penderita atau tersangka penderita tersebut.
B. Petugas kesehatan yang memeriksa penderita, atau memeriksa bahan-
bahan pemeriksaan penderita penyakit berpotensi KLB, yaitu dokter
atau petugas kesehatan, dokter hewan yang memeriksa hewan sumber
penyakit menular berpotensi KLB dan petugas laboratorium yang
memeriksa spesimen penderita atau tersangka penderita penyakit
berpotensi KLB.
C. Kepala stasiun kereta api, kepala pelabuhan laut, kepala bandar udara,
kepala terminal kendaraan bermotor, kepala asrama, kepala sekolah,
pimpinan perusahaan, kepala kantor pemerintah dan swasta, kepala
Unit Pelayanan Kesehatan.
D. Nakhoda kapal, pilot pesawat terbang, dan pengemudi angkutan
darat.
4. Kesiapsiagaan Menghadapi KLB
Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap sumber daya
manusia, sistem konsultasi dan referensi, sarana penunjang, laboratorium
dan anggaran biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB serta jejaring
kerja tim penanggulangan KLB Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.
A. Kesiapsiagaan Sumber Daya Manusia.
Tenaga yang harus disiapkan adalah tenaga dokter, perawat,
surveilans epidemiologi, sanitarian dan entomologi serta tenaga lain
sesuai dengan kebutuhan. Tenaga ini harus menguasai pedoman
penyelidikan dan penanggulangan KLB yang diprioritaskan di
daerahnya.Pada daerah yang sering terjadi KLB harus memperkuat
sumber daya manusia sampai di Puskesmas, Rumah Sakit dan bahkan
di masyarakat, tetapi pada KLB yang jarang terjadi memerlukan
peningkatan sumber daya manusia di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan atau di Departemen
Kesehatan saja.
B. Kesiapsiagaan Sistem Konsultasi dan Referensi
65Setiap KLB mempunyai cara-cara penyelidikan dan penanggulangan
yang berbeda-beda, bahkan setiap daerah memiliki pola KLB yang
berbeda-beda juga. Oleh karena itu, setiap daerah harus
mengidentifikasi dan bekerjasama dengan para ahli, baik para ahli
setempat, Kabupaten/Kota atau Propinsi lain, nasional dan
internasional, termasuk rujukan laboratorium. Kesiapsiagaan juga
dilakukan dengan melengkapi kepustakaan dengan referensi berbagai
jenis penyakit berpotensi KLB.
C. Kesiapsiagaan Sarana Penunjang dan Anggaran Biaya
Sarana penunjang penting yang harus dimiliki adalah peralatan
komunikasi, transportasi, obat-obatan, laboratorium, bahan dan
peralatan lainnya, termasuk pengadaan anggaran dalam jumlah yang
memadai apabila terjadi suatu KLB.
D. Kesiapsiagaan Strategi dan Tim Penanggulangan KLB
Setiap daerah menyiapkan pedoman penyelidikanpenanggulangan
KLB dan membentuk tim penyelidikanpenanggulangan KLB yang
melibatkan lintas program dan UnitUnit Pelayanan Kesehatan.
E. Kesiapsiagaan Kerjasama Penanggulangan KLB
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota; Dinas Kesehatan Propinsi dan Departemen
Kesehatan melalui Ditjen PPM&PL serta unit terkait membangun
jejaring kerjasama penanggulangan KLB.
5. Tindakan Penanggulangan KLB Yang Cepat dan Tepat.
Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap kejadian KLB dapat
terdeteksi dini dan dilakukan tindakan penanggulangan dengan cepat dan
tepat.
6. Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD-KLB
Penyelenggaraan SKD-KLB dilaksanakan terus menerus secara
sistematis di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan di masyarakat
yang membutuhkan dukungan politik dan anggaran yang memadai di
66berbagai tingkatan tersebut untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan
dengan kinerja yang tinggi.
7. Pengembangan SKD-KLB Darurat
Apabila diperlukan untuk menghadapi ancaman terjadinya KLB
penyakit tertentu yang sangat serius dapat dikembangkan dan atau
ditingkatkan SKD-KLB penyakit tertentu dan dalam periode waktu terbatas
dan wilayah terbatas.
Langkah Langkah Mengahadapi KLB
Didalam epidemiologi prinsip dasar dalam mengahadapi wabah umumnya sama,
pada penyakit menular maupun pada penyakit tidak menular.
1. Garis besar pelacakan wabah / Kejadian Luar Biasa
Pengumpulan data dan informasi secara saksama langsung di lapangan
/ tempat kejadian, yang disusul dengan analisis data yang teliti dengan
ketajaman pemikiran merupakan landasan dari suatu keberhasilan
pelacakan. Dengan demikian maka dalam usaha pelacakan suatu peristiwa
luar biasa atau wabah, diperluakan adanya suatu garis besar tentang
sistematika langkah langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dan
dikembangkan dalam setiap usaha pelacakan.
Langkah langkah ini hanya merupakan pedoman dasar yang kemudian
harus dikembangkan sendiri oleh setiap investigator (pelacak) dalam
menjawab setiap pertanyaan yang mungkin timbul dalam kegiatan
pelacakan tersebut. Walaupun penentuan langkah langkah tersebut sangat
bergantung pada tim pelacak, namun beberapa hal yang bersifat prinsip
dasar seperti penentuan diagnosis serta penentuan adanya wabah harus
mendapatkan perhatian lebih awal dan harus ditetapkan sedini mungkin.
2. Analisis situasi awal
Pada tahap awal pelacakan suatu situasi yang diperkirakan bersifat wabah
atau situasi luar biasa, diperlukan sekurang kurangnya empat kegiatan awal
yang bersifat dasar dari pelacakan.
a. Penentuan / penegakan diagnosis
67Untuk kepentingan diagnosis maka diperlukan penelitian/ pengamatan
klinis dan pemeriksaan laboratorium. Harus diamati secara tuntas
apakah laporan awal yang diperoleh sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya (perhatikan tingkat kebenarannya). Umumnya wabah
penyakit demam berdarah harus jelas secara klinis maupun
laboratorium. Hal ini mengingat bahwa gejala demam berdarah dapat
didiagnosis secara tidak tepat, di samping itu pemeriksaan
laboratorium kadang kadang harus dilakukan lebih dari satu kali.
b. Penentuan adanya wabah
Sesuai dengan definisi wabah atau kejadian luar biasa (KLB) maka
untuk menentukan apakah situasi yang sedang dihadapi adalah wabah
atau tidak, perlu diusahakan untuk melakukan perbandingan keadaan
jumlah kasus sebelumnya untuk melihat apakah terjadi kenaikan
frekuensi yang istimewa atau tidak. Artinya apakah jumlah kasus yang
dihadapi jauh lebih banyak dari sebelumnya, atau apakah jumlah
kasus lebih tinggi dari yang diperkirakan (estimated) sebelumnya.
c. Uraian keadaan wabah
Bila keadaan dinyatakan wabah ,segera melakukan uraian keadaan
wabah berdasarkan tiga unsur utama yakni waktu, tempat dan orang.
Membuat kurva epidemic dengan menggambarkan penyebaran kasus
menurut waktu mulainya timbul gejala penyakit. Di samping itu,
gambarkan penyebaran sifat epidemic berdasarkan penyebaran kasus
menurut tempat/ secara geografis (spot map epidemi).
3. Analisis lanjutan
Setelah melakukan analisis awal dan menetapkan adanya situasi
wabah maka selain tindak pemadaman wabah, perlu dilakukan pelacakan
lanjut serta analisis situasi secara berkesinambungan.
Ada beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada
tindak lanjut tersebut.
A. Usaha penemuan kasus tambahan
68Untuk usaha penemuan kasus tambahan, harus ditelusuri
kemungkinan dengan menggunakan berbagai cara, antara lain :
a. Adakan pelacakan ke rumah sakit dan ke dokter praktik umum
setempat untuk mencari kemungkinan mereka menemukan
penderita penyakit yang sedang diteliti dan belum termasuk
dalam laporan yang ada.
b. Adakan pelacakan dan pengawasan yang intensif terhadap
mereka yang tanpa gejala atau mereka dengan gejala ringan/
tidak spesifik, tetapi mempunyai potensi menderita atau
termasuk kontak dengan penderita. Keadaan ini sering dijumpai
pada beberapa penyakit tertentu yang selain penderita dengan
klinis jelas, juga kemungkinan adanya penderita dengan gejala
ringan dan tanpa gejala kunig, di mana diagnosis pastinya hanya
mungkin ditegakkan dengan melalui pemeriksaan laboratorium
B. Analisis data
Lakukan analisis data secara berkesinambunagn sesuai dengan
tambahan informasi yang didapatkan dan laporkan hasil interpretasi
data tersebut.
C. Menegakkan hipotesis
Berdasarkan hasil analisis dari seluruh kegiatan, dibuatlah keputusan
hasil analisis yang bersifat hipotesis tentang keadaan yang
diperkirakan. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa kesimpulan dari
semua fakta yang ditemukan dan diketahui harus sesuai dengan apa
yang tercantum dalam hipotesis tersebut.
D. Tindakan pemadaman wabah dan tindak lanjut
Tindakan pemadaman suatu wabah diambil berdasarkan hasil analisis
dan sesuai denga keadaan wabah yang terjadi. Harus diperhatikan
bahwa setiap tindakan pemadaman wabah disertai dengan berbagai
kegiatan tindak lanjut ( follow up) sampai keadaan sudah normal
kembali. Biasanya kegiatan tindak lanjut dan pengamatan dilakukan
sekurang kurangnya dua kali masa tunas penyakit yang mewabah.
69Setelah keadaan normal, maka untuk beberapa penyekit tertentu yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah (keadaan luar biasa)
susulan, harus disusunkan suatu program pengamatan yang
berkesinambungan dalam bentuk surveilans epidemiologi, terutama
pada kelompok dengan resiko tinggi.
Pada akhir setiap pelacakan wabah, harus dibuat laporan lengkap yang
kemudian dikirim kepada semua instansi terkait. Laporan tersebut meliputi
berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya wabah, analisis dan evaluasi upaya
yang telah dilakukan serta saran saran untuk mencegah berulangnya kejadian luar
biasa untuk masa yang akan datang.
Metodologi Penyelidikan KLB
Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan,
sehingga metoda yang dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut
Kelsey et al., 1986; Goodman et al., 1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut
meliputi :
1. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau
retrospektif tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat
merupakan suatu penelitian deskriptif, analitik atau keduanya.
2. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif),
3. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya
(Rumah sakit, klinik, laboratorium dan lapangan).
Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu
mencegah meluasnya dan terulangnya KLB di masa yang akan datang dengan
tujuan khusus :
1. Diagnosis kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab
penyakit.
2. Memastikan keadaan tersebut merupakan Kejadian Luar Biasa.
3. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan.
4. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa.
705. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan
terjadi Kejadian Luar Biasa (CDC, 1981; Bres, 1986).
Metodologi atau langkah-langkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB,
seperti berikut :
Tabel 1 : langkah-langkah Penyelidikan KLB
NO Langkah-langkah Penyelidikan KLB
1 Persiapan penelitian lapangan
2 Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB
3 Memastikan Diagnose Etiologis
4 Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
5 Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat
6 Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)
7 Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran
8 Mengidentikasi keadaan penyebab KLB
9 Merencanakan penelitian lain yang sistematis
10 Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan
11 Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi
12Melaporkan hasil penyelidikan kepada Instansi kesehatan setempat dan
kepada sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi
Sumber : CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985;
Kelsey et al., 1986; Goodman et al., 1990.
Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus
dikerjakan secara berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan
secara serentak. Pemastian diagnose dan penetapan KLB merupakan langkah awal
yang harus dikerjakan (Mausner and Kramer, 1985; Vaughan and Marrow, 1989).
1. Persiapan Penelitian Lapangan
Sebelum penyelidikan KLB dilaksanakan perlu adanya persiapan dan
rencana kerja. Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin,
dalam 24 jam pertama sesudah adanya informasi (Kelsey., 1986), Greg
71(1985) dan Bres (1986) mengatakan bahwa persiapan penelitian lapangan
meliputi :
A. Pemantapan (konfirmasi) informasi.
Informasi awal yang didapat kadang-kadang tidak lengkap, sehingga
diperlukan pemantapan informasi untuk melengkapi informasi awal,
yang dilakukan dengan kontak dengan daerah setempat. Informasi
awal yang digunakan sebagai arahan untuk membuat rencana kerja
(plan of action), yang meliputi informasi sebagai berikut :
a. Asal informasi adanya KLB. Di Indonesia informasi adanya
KLB dapat berasal dari fasilitas kesehatan primer (laporan W1),
analisis sistem kewaspadaan dini di daerah tersebut (laporan
W2), hasil laboratorium, laporan Rumah sakit (Laporan KD-RS)
atau masyarakat (Laporan S-0).
b. Gambaran tentang penyakit yang sedang berjangkit, meliputi
gejala klinis, pemeriksaan yang telah dilakukan untuk
menegakan diagnosis dan hasil pemeriksaannya, komplikasi
yang terjadi (misal kematian, kecacatan. Kelumpuhan dan
lainnya).
c. Keadaan geografi dan transportasi yang dapat digunakan di
daerah/lokasi KLB.’
B. Pembuatan rencana kerja
Berdasar informasi tersebut disusun rencana penyelidikan (proposal),
yang minimal berisi :
a. Tujuan penyelidikan KLB
b. Definisi kasus awal
c. Hipotesis awal mengenai agent penyebab (penyakit), cara dan
sumber penularan
d. Macam dan sumber data yang diperlukan
e. Strategi penemuan kasus
f. Sarana dan tenaga yang diperlukan.
72Definisi kasus : definisi kasus sangat berguna untuk arahan pada
pencarian kasus nantinya. Mengingat informasi yang didapat mungkin
hanya merupakan persangkaan penyakit tertentu atau gejala klinis yang
ditemui, maka definisi kasus sebaiknya dibuat longgar, dengan
kemungkinan kasus-kasus lain akan masuk. Perbaikan definisi kasus akan
dilakukan setelah pemastian diagnosis, pada langkah identifikasi kasus dan
paparan.
Hipotesis awal, hendaknya meliputi penyakit penyebab KLB, sumber
dan cara penularan. Untuk membuat hipotesis awal ini dapat dengan
mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis penyakit tersangka.
Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada
waktu penyelidikan (Bres, 1986).
Tujuan penyelidikan KLB selalu dimulai dengan tujuan utama mengadakan
penanggulangan dan pengendalian KLB, dengan beberapa tujuan khusus, di
antaranya :
A. Memastikan diagnosis penyakit
B. Menetapkan KLB
C. Menentukan sumber dan cara penularan
D. Mengetahui keadaan penyebab KLB
Pada penyelidikan KLB diperlukan beberapa tujuan tambahan yang
berhubungan dengan penggunaan hasil penyelidikan. Misalnya untuk
mengetahui pelaksanaan program imunisasi, mengetahui kemampuan sistem
surveilans, atau mengetahui pertanda mikrobiologik yang dapat digunakan
(Goodman et al., 1990).
2. Strategi dalam Penyelidikan KLB
Strategi penemuan kasus, strategi penemuan kasus ini sangat penting
kaitannya dengan pelaksanaan penyelidikan nantinya. Pada penyelidikan
KLB pertimbangan penetapan strategi yang tepat tidak hanya didasarkan
pada bagaimana memperoleh informasi yang akurat, tetapi juga harus
dipertimbangkan beberapa hal yaitu :
A. Sumber daya yang ada (dana, sarana, tenaga)
73B. Luas wilayah KLB
C. Asal KLB diketahui
D. Sifat penyakitnya.
Beberapa strategi penemuan kasus yang dapat digunakan pada
penyelidikan KLB dengan beberapa keuntungan dan kelemahannya (Bres,
1986) :
Tabel 2. Strategi Pencarian Kasus
NO Strategi Keuntungan Kerugian
1 Penggunaan data fasilitas kesehatan Cepat Terjadi bias seleksi kasus
2Kunjungan ke RS atau fasilitas kesehatan Lebih mudah untuk
mengetahui kasus dan kontak Hanya kasus-kasus yang berat
3Penyebaran kuesioner pada daerah yang terkena Cepat, tidak ada bias
menaksir populasi Kesalahan interpretasi pertanyaan
4
Kunjungan ke tempat yang diduga sebagai sumber penularan Mudah
untuk menge-tahui hubungan kasus dan kontak Terjadi bias seleksi
dan keadaan sudah spesifik
5
Survai masyarakat (survai rumah tanggal, total survai) Dapat dilihat
keadaan yang sebenarnya Memerlukan waktu lama, memerlukan
organisasi tim dengan baik
6Survai pada penderita Jika diketahui kasus dengan pasti Memerlukan
waktu lama, hasil hanya terbatas pada kasus yang diketahui
7
Survai agent dengan isolasi atau serologi Kepastian tinggi, di-
gunakan pada penyakit dengan carrier Mahal, hanya dilakukan jika
pemerik saan lab dapat dikerjakan
Sumber : Bres, 1986.
3. Pertemuan dengan pejabat setempat.
Pertemuan dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan pelaksanaan
penyelidikan KLB, kelengkapan sarana dan tenaga di daerah, memperoleh
izin dan pengamanan.
A. Pemastian Diagnosis Penyakit
74Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan
mencocokan gejala /tanda penyakit yang terjadi pada individu,
kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya.
Cara menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-
gejala yang ada pada kasus adalah sebagai berikut :
a. Buat daftar gejala yang ada pada kasus
b. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
c. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya.
B. Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi
penyakit yang tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam
keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap berisiko, pada
tempat dan waktu tertentu.
Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu
harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa
(endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit).
Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk
penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan
kecenderungan jangka panjang (periode tahunan – pola maksimum
dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat kenaikan
frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit
pada tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun
berbeda (CDC, 1979).
Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini
(SKD-KLB), yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan
penanggulangan KLB secara dini dengan melakukan kegiatan untuk
mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan yang
sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang cepat
dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan
75yang dilakukan adalah pengumpulan data kasus baru dari penyakit-penyakit yang
berpotensi terjadi KLB secara mingguan sebagai upaya SKD-KLB. Data-data
yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data untuk penyusunan
rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi (Dinkes Kota Surabaya,
2002).
Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta
Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989, maka penyakit DBD harus
dilaporkan segera dalam waktu kurang dari 24 jam. Undang-undang No. 4 tahun
1984 juga menyebutkan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu
penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini,
dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan lebih dini
terhadap kejadian wabah. Tetapi kelemahan dari sistem ini adalah penentuan
penyakit didasarkan atas hasil pemeriksaan klinik laboratorium sehingga
seringkali KLB terlambat diantisipasi (Sidemen A., 2003).
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan
suatu sistem surveilans dengan menggunakan teknologi informasi (computerize)
yang disebut dengan EWORS (Early Warning Outbreak Recognition System).
EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang
bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu
daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS secara cepat (Badan Litbangkes,
Depkes RI). Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui
dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini
mungkin. Dalam masalah DBD kali ini EWORS telah berperan dalam hal
menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit,
tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia
(Sidemen A., 2003)
76BAB VI
Surveilans pada Prnyakit Kanker
OLEH ERIKA YUNI LUMBAN TOBING, MERTISIN LAOLI, WAHYUNI MEGAWATI,
DAN YAYANG BELYA OKTAVIANI
Definisi Kanker
Kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat
mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor
ganas dan neoplasma. Salah satu fitur mendefinisikan kanker adalah
pertumbuhan sel - sel baru secara abnormal yang tumbuh melampaui batas
normal, dan yang kemudian dapat menyerang bagian sebelah tubuh
dan menyebar ke organ lain (National Cancer Institute, 2009).
Kanker adalah suatu istilah untuk penyakit di mana sel - sel membelah
secara abnormal tanpa kontrol dan dapat menyerang jaringan di
sekitarnya. Proses ini disebut metastasis. Metastasis merupakan penyebab utama
kematian akibat kanker (WHO, 2009).
Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri jika ada penggantian
sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya sel kanker akan membelah terus
meskipun tubuh tidak memerlukannya, sehingga akan terjadi penumpukan sel
baru yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak
jaringan normal, sehingga mengganggu organ yang ditempatinya. Kanker dapat
terjadi diberbagai jaringan dalam berbagai organ di setiap tubuh, mulai dari kaki
sampai kepala. Bila kanker terjadi di bagian permukaan tubuh, akan mudah
diketahui dan diobati. Namun bila terjadi didalam tubuh, kanker itu akan sulit
diketahui dan kadang - kadang tidak memiliki gejala. Kalaupun timbul gejala,
biasanya sudah stadium lanjut sehingga sulit diobati.
77Jenis - jenis kanker yang telah dikenal saat ini yaitu :
1. Karsinoma
Yaitu jenis kanker yang berasal dari sel yang melapisi permukaan tubuh
atau permukaan saluran tubuh, misalnya jaringan seperti sel kulit, testis,
ovarium, kelenjar mucus, sel melanin, payudara, leher rahim, kolon, rectum,
lambung, pancreas, dan esofagus.
2. Limfoma
Yaitu jenis kanker yang berasal dari jaringan yang membentuk darah,
misalnya jaringan limfe, lacteal, limfa, berbagai kelenjar limfe, timus, dan
sumsum tulang. Limfoma spesifik antara lain adalah penyakit Hodgkin
(kanker kelenjar limfe dan limfa)
3. Leukemia
Kanker jenis ini tidak membentuk massa tumor, tetapi memenuhi pembuluh
darah dan mengganggu fungsi sel darah normal.
4. Sarkoma
Yaitu jenis kanker dimana jaringan penunjang yang berada dipermukaan
tubuh seperti jaringan ikat, termasuk sel - sel yang ditemukan diotot dan
tulang.
5. Glioma
Yaitu kanker susunan syaraf, misalnya sel-sel glia (jaringan penunjang) di
susunan saraf pusat.
6. Karsinoma in situ
Yaitu istilah yang digunakan untuk menjelaskan sel epitel abnormal yang
masih terbatas di daerah tertentu sehingga masih dianggap lesi prainvasif
(kelainan/luka yang belum menyebar)
Faktor-Faktor Penyebab Kanker
Penyebab kanker biasanya tidak dapat diketahui secara pasti karena
penyebab kanker dapat merupakan gabungan dari sekumpulan faktor, genetik dan
lingkungan. Namun ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan resiko
terjadinya kanker, sebagai berikut :
781. Faktor keturunan
Faktor genetik menyebabkan beberapa keluarga memiliki resiko lebih
tinggi untuk menderita kanker tertentu bila dibandingkan dengan keluarga
lainnya. Jenis kanker yang cenderung diturunkan dalam keluarga adalah
kanker payudara, kanker indung telur, kanker kulit dan kanker usus besar.
Sebagai contoh, risiko wanita untuk menderita kanker meningkat 1,5 s/d 3
kali jika ibunya atau saudara perempuannya menderita kanker payudara.
2. Faktor Lingkungan
a. Merokok sigaret meningkatkan resiko terjadinya kanker paru - paru,
mulut, laring (pita suara), dan kandung kemih.
b. Sinar Ultraviolet dari matahari.
c. Radiasi ionisasi (yang merupakan karsinogenik) digunakan dalam
sinar rontgen dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga nuklir dan
ledakan bom atom yang bisa menjangkau jarak yang sangat jauh.
Contoh, orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki pada Perang Dunia II, berisiko tinggi menderita kanker sel
darah, seperti Leukemia.
3. Faktor Makanan yang mengandung bahan kimia.
Makanan juga dapat menjadi faktor risiko penting lain penyebab kanker,
terutama kanker pada saluran pencernaan. Contoh jenis makanan yang
dapat menyebabkan kanker adalah :
a. Makanan yang diasap dan diasamkan (dalam bentuk acar)
meningkatkan resiko terjadinya kanker lambung.
b. Minuman yang mengandung alkohol menyebabkan berisiko lebih
tinggi terhadap kanker kerongkongan.
c. Zat pewarna makanan.
d. Logam berat seperti merkuri yang sering terdapat pada makanan laut
yang tercemar seperti: kerang, ikan, dsb.
e. Berbagai makanan (manis,tepung) yang diproses secara berlebihan.
4. Virus
Virus yang dapat dan dicurigai menyebabkan kanker antara lain :
79a. Virus Papilloma menyebabkan kutil alat kelamin (genitalis) agaknya
merupakan salah satu penyebab kanker leher rahim pada wanita.
b. Virus Sitomegalo menyebabkan Sarkoma Kaposi (kanker sistem
pembuluh darah yang ditandai oleh lesi kulit berwarna merah).
c. Virus Hepatitis B dapat menyebabkan kanker hati.
d. Virus Epstein - Bar (di Afrika) menyebabkan Limfoma Burkitt,
sedangkan di China virus ini menyebabkan kanker hidung dan
tenggorokan. Ini terjadi karena faktor lingkungan dan genetik.
e. Virus Retro pada manusia misalnya virus HIV menyebabkan limfoma
dan kanker darah lainnya.
5. Infeksi
a. Parasit Schistosoma (bilharzia) dapat menyebabkan kanker kandung
kemih karena terjadinya iritasi menahun pada kandung kemih. Namun
penyebab iritasi menahun lainnya tidak menyebabkan kanker.
b. Infeksi oleh Clonorchis yang menyebabkan kanker pankreas dan
saluran empedu.
c. Helicobacter Pylori adalah suatu bakteri yang mungkin merupakan
penyebab kanker lambung, dan diduga bakteri ini menyebabkan
cedera dan peradangan lambung kronis sehingga terjadi peningkatan
kecepatan siklus sel.
6. Faktor perilaku
a. Perilaku yang dimaksud adalah merokok dan mengkonsumsi makanan
yang banyak mengandung lemak dan daging yang diawetkan juga
peminum minuman beralkohol.
b. Perilaku seksual yaitu melakukan hubungan intim diusia dini dan
sering berganti ganti pasangan.
7. Gangguan keseimbangan hormonal
Hormon estrogen berfungsi merangsang pertumbuhan sel yang cenderung
mendorong terjadinya kanker, sedangkan progesteron melindungi
terjadinya pertumbuhan sel yang berlebihan. - Ada kecenderungan bahwa
kelebihan hormon estrogen dan kekurangan progesteron menyebabkan
80meningkatnya risiko kanker payudara, kanker leher rahim, kanker rahim
dan kanker prostat dan buah zakar pada pria.
8. Faktor kejiwaan, emosional
Stres yang berat dapat menyebabkan ganggguan keseimbangan seluler
tubuh. Keadaan tegang yang terus menerus dapat mempengaruhi sel,
dimana sel jadi hiperaktif dan berubah sifat menjadi ganas sehingga
menyebabkan kanker.
9. Radikal bebas
Radikal bebas adalah suatu atom, gugus atom, atau molekul yang
mempunyai electron bebas yang tidak berpasangan dilingkaran luarnya.
Sumber - sumber radikal bebas yaitu :
a. Radikal bebas terbentuk sebagai produk sampingan dari proses
metabolisme.
b. Radikal bebas masuk ke dalam tubuh dalam bentuk racun-racun
kimiawi dari makanan , minuman, udara yang terpolusi, dan sinar
ultraviolet dari matahari.
c. Radikal bebas diproduksi secara berlebihan pada waktu kita makan
berlebihan (berdampak pada proses metabolisme) atau bila kita dalam
keadaan stress berlebihan, baik stress secara fisik, psikologis, maupun
biologis.
Surveilans Kanker
Surveilans Kanker memberikan potret kuantitatif kanker dan penentu dalam
populasi tertentu. Fungsi inti surveilans kanker adalah pengukuran kejadian
kanker, morbiditas, kelangsungan hidup, dan kematian bagi orang-orang dengan
kanker. Ini juga mencakup penilaian predisposisi genetik, faktor risiko lingkungan
dan perilaku, praktek skrining, dan kualitas perawatan dari pencegahan melalui
paliatif. Surveilans Kanker memberitahu kita di mana kita berada dalam upaya
untuk mengurangi beban kanker dan juga menghasilkan pengamatan yang
81membentuk dasar untuk penelitian kanker dan intervensi untuk pencegahan
kanker dan kontrol.
Kegiatan Pengendalian Kanker di Indonesia
Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian yang
mendapatkan perhatian serius dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Beberapa program pengendalian pun telah disusun dan diterapkan sejak lima
tahun yang lalu.
Program pengendalian kanker secara terorganisir sudah dilakukan sejak
sekitar lima tahun terakhir di Indonesia, sejalan dengan dibentuk dan aktifnya
Direktorat Pengedalian Penyakit Tidak Menular di DitJen P2PL.
Beban ekonomi pengobatan kanker tidak hanya berdampak terhadap sistem
kesehatan, tetapi juga untuk individu dan rumah tangga mereka yang terkena
kanker. Dampak ini akan dirasakan paling kuat di kelompok sosioekonomi
rendah, khususnya (meskipun tidak secara eksklusif) di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah di mana jaring pengaman sosial, seperti
asuransi kesehatan universal kurang tersedia. Sebagai konsekuensinya, kanker
bisa menjadi penyebab utama kemiskinan.
Mengingat pasien kanker membutuhkan perawatan jangka panjang, maka
dibutuhkan tambahan beban ekonomi tersendiri bagi diri pasien dan keluarga.
Oleh karenanya, diperlukan upaya pengendalian dari adanya penyakit ini.
Berikut lima kegiatan pengendalian kanker yang telah disusun dan
dilaksanakan di Indonesia, yaitu:
1. Program promotif dan pencegahan
Penyebab utama kanker adalah penerapan gaya hidup yang tak sehat.
Maka, promotif dan pencegahan merupakan salah satu program penting
sebagai upaya pengendalian kanker. “Kementerian Kesehatan telah
memperkuat sosialisasi pengendalian kanker di berbagai daerah. Pedoman
pengendalian faktor risiko kanker telah disusun untuk petugas kesehatan,
kader, anak usia sekolah, dan masyarakat yang berisiko tinggi,” jelas
Tjandra.
82Program promotif dan pencegahan dilaksanakan Kementerian
Kesehatan bekerja sama dengan lintas program, lintas sektor, organisasi
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Konten program promotif dan
pencegahan yang telah dilaksanakan meliputi Kampanye Nasional Program
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan advokasi kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok (KTR). “Upaya pengendalian merokok, peningkatan aktivitas
fisik, dan peningkatan konsumsi sayur buah telah terintegrasi dalam
program PHBS,” jelas Tjandra.
Selain kampanye PHBS, program lainnya adalah advokasi kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR telah dilakukan Kementerian
Kesehatan kepada Pemerintah Daerah. Setiap daerah diharapkan
mempunyai kebijakan KTR pada fasilitas pelayanan kesehatan, sekolah,
tempat bermain anak, dan tempat ibadah. “Pada saat ini, sebanyak 43
Kabupaten/Kota di 21 provinsi telah mempunyai peraturan penerapan KTR
di daerah masing-masing,” katanya.
2. Program Deteksi dan Tindak Lanjut Dini
Program deteksi dini dilaksanakan untuk beberapa kanker yang dapat
dideteksi secara dini, seperti kanker leher rahim, kanker payudara, kanker
kolorektal, kanker orofaring, dan retinoblastoma. Beberapa jenis kanker
yang telah diadakan program deteksi dini oleh pemerintah adalah kanker
payudara dan kanker leher rahim.
Deteksi dini dan skrining kanker leher rahim dilakukan dengan
metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan jika ditemukan IVA positif,
maka dilakukan krioterapi dengan metode kunjungan tunggal. Pertimbangan
menggunakan metode IVA didasarkan pada efisiensi, efektivitas, dan
fisibilitas dalam pelaksanaan skrining kanker leher rahim di seluruh pelosok
Tanah Air, yang umumnya belum terjangkau fasilitas pemeriksaan patologi
anatomi. Pada daerah perkotaan yang mempunyai atau dekat dengan
fasilitas pemeriksaan patologi anatomi, sebagian masyarakat melakukan
deteksi dini kanker leher rahim dengan pemeriksaan pap smear.
83Deteksi dini kanker payudara menggunakan metode pemeriksaan
klinis payudara oleh petugas terlatih/Clinical Breast Examination (CBE)
dan SADARI. Kegiatan ini dilaksanakan di puskesmas, praktik dokter, bidan
swasta, dan rumah sakit. Provider kegiatan ini adalah dokter umum dan
bidan. Mammografi digunakan untuk pemeriksaan lanjutan kanker payudara
pada fasilaitas kesehatan lebih tinggi (rumah sakit). “Program deteksi dan
tindak lanjut dini kanker payudara dan kanker leher rahim telah
dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui kerja sama dengan
berbagai profesi dan pihak lainnya. Program deteksi dini kanker dapat
dikembangkan berdasarkan prevalensi kanker di masing-masing daerah dan
ketersediaan sumber daya,” lanjut Tjandra.
Program deteksi dini kanker telah dicanangkan oleh Ibu Negara
Indonesia sebagai program nasional pada 21 April 2008. Sampai 2011,
program telah dikembangkan di 310 Puskesmas pada 84 kabupaten/kota di
17 provinsi, yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, DKI
Jakarta, Bali, Kaimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimanatan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Lampung, dan Banten.
“Program deteksi dini kanker dapat dikembangkan berdasarkan prevalensi
kanker di masing-masing daerah dan ketersediaan sumber daya. Selain
deteksi dini, buku saku untuk masyarakat untuk dapat melakukan deteksi
dini sendiri pun dibagikan,” tutupnya.
Sebagai penyakit penyebab kematian, pemerintah menyusun beberapa
program pengendalian terhadap kanker. Terdapat lima program yang telah
diupayakan untuk dapat mengendalikan peningkatan pasien kanker. Risiko
kanker dapat terjadi sepanjang usia kehidupan, mulai janin dalam
kandungan hingga lanjut usia. Faktor risiko kanker dapat ditemukan di
mana-mana, baik disadari maupun tidak. Karena itu, sasaran pengendalian
faktor risiko kanker diterapkan untuk semua kelompok usia. Kementerian
Kesehatan telah memperkuat sosialisasi pengendalian kanker di berbagai
daerah. Pedoman pengendalian faktor risiko kanker telah disusun untuk
84petugas kesehatan, kader, anak usia sekolah, dan masyarakat yang berisiko
tinggi. Berikut lanjutan lima kegiatan pengendalian kanker yang telah
disusun dan dilaksanakan di Indonesia yang dipaparkan Prof dr Tjandra
Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian
Kesehatan RI dalam rilis yang diterima Okezone.
3. Surveilans dan Registrasi Kanker
Surveilans dan registrasi kanker merupakan langkah penting lainnya
dalam program pengendalian kanker. “Registrasi kanker telah dimulai sejak
1970-an. Pertama kali, dilakukan survai frekuensi kanker di Semarang pada
1970. Kemudian dikembangkan registrasi kanker berbasis populasi di Kota
Semarang sampai 1989. Terdapat juga beberapa registrasi kanker berbasis
rumah sakit yang mempunyai sarana patologi anatomi,” tutur Tjandra. Lebih
lanjut, Tjandra menjelaskan, bahwa salah satu upaya dalam program
surveilans pada 2006, Yayasan Kanker Indonesia bekerja sama dengan
Ikatan Ahli Patologi Anatomi Indonesia mengembangkan registrasi kanker
berbasis data patologi anatomi yang didapat dari 13 RS di Indonesia yang
memiliki unit kanker.
Walaupun baru diterapkan di DKI Jakarta, Rumah Sakit Kanker
Dharmais telah mengembangkan Sistim Registrasi Kanker di Indonesia atau
disebut Srikandi. “Pada 2007 Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan
World health Organization (WHO) Indonesia mengembangkan suatu model
registrasi kanker, berbasis rumah sakit dan populasi di DKI Jakarta.
Untuk kepentingan validnya dan komprehensifnya data kanker,
kegiatan registrasi kanker berbasis rumah sakit dan populasi perlu
dilaksanakan secara berkesinambungan. Data tersebut akan menjadi sumber
informasi untuk mengembangkan dan mengevaluasi program pengendalian
kanker. Kegiatan tersebut perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak
terkait,” paparnya.
4. Diagnosis dan Pengobatan
85Pada saat ini berbagai rumah sakit di Indonesia sudah mempunyai
kemampuan untuk diagnosis dan pengobatan berbagai jenis kanker.
“Diagnosis pasti kanker dengan pemeriksaan patologi anatomik dapat
dilakukan di banyak laboratorium di negara kita. Pembedahan kanker dan
pemberian kemoterapi juga sudah lama dilakukan di berbagai rumah sakit di
Indonesia,” jelasnya. Tjandra memaparkan bahwa saat ini Indonesia telah
mempunyai 21 pusat radiasi, dengan 16 LINAC, 17 telecobalt, dan 45
radiologis kanker yang tersebar di beberapa rumah sakit yang mempunyai
unit kanker. Kendati demikian, diakui Tjandra, bahwa peningkatan kualitas
dan kuantitas sumberdaya dan fasilitas diagnostik dan pengobatan masih
perlu ditingkatkan. “Tentu kita masih memerlukan lebih banyak lagi
kelengkapan fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan kanker, serta sumber
daya manusia untuk menangani kanker di banyak rumah sakit, terutama di
luar pulau Jawa,” katanya.
5. Pelayanan Paliatif
Perawatan paliatif sangat diperlukan karena sebagian besar penderita
kanker yang berada pada stadium lanjut sulit disembuhkan, sehingga usaha
mengatasi gejala dan mencukupi kebutuhan penderita, serta keluarga dalam
fase terminal menjadi penting. “Pada saat akhir kehidupannya, penderitaan
terhadap rasa sakit, nyeri, atau hal-hal lainnya perlu segera dicarikan jalan
keluarnya. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan pedoman
pelayanan paliatif di rumah sakit. Ikatan pelayanan paliatif yang
berkontribusi dalam pelayanan paliatif sudah dibentuk. Namun, pelayanan
paliatif untuk terus meningkatkan kegiatan maka diperlukan pengembangan
program pelayanan paliatif baik di rumah sakit maupun di masyarakat,”
tutup Tjandra.
Surveilans Mammograpic Meningkatkan Hasil Pasien Kanker Payudara
Surveilans adalah Pengamatan terus menerus dan dilaksanakan secara
sistematis terhadap penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya agar dapat dilakukan tindakan perbaikan atau penelitian ,
86melalui kegiatan pengumpul-an, pengolahan dan analisis/interpretasi data,
desiminasi informasi dan komunikasi keberbagai pihak terkait. Manfaat surveilans
mengamati kecenderungan penyakit dan masalah kesehatan, memperkirakan besar
masalah penyakit dan masalah kesehatan Prediksi adanya KLB Mengamati
kemajuan Program Pencegahan/pemberantasan yang sedang dilaksanakan
Perencanaan.
Mammograpic adalah Mammografi adalah proses pemeriksaan payudara
manusia menggunakan sinar-X dosis rendah (umumnya berkisar 0,7 mSv).
Mammografi digunakan untuk melihat beberapa tipe tumor dan kista, dan telah
terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat kanker payudara. Selain mammografi,
pemeriksaan payudara sendiri dan pemeriksaan oleh dokter secara teratur
merupakan cara yang efektif untuk menjaga kesehatan payudara.
Beberapa negara telah menyarankan mammografi rutin (1-5 tahun sekali)
bagi perempuan yang telah melewati paruh baya sebagai metode screening untuk
mendiagnosa kanker payudara sedini mungkin.
Penelitian baru yang dipublikasikan dalam Teknologi Kesehatan Penilaian
2011; vol. 15:34 telah menemukan bahwa pengawasan menggunakan mamografi
meningkatkan peluang kelangsungan hidup pasien kanker payudara. Penelitian ini
didanai oleh Institut Kesehatan Nasional Penelitian Kesehatan Teknologi
Penilaian (NIHR HTA) program. Sekitar 45.000 wanita didiagnosa menderita
kanker payudara di Inggris setiap tahun. Hasil yang membaik dan banyak wanita
tidak menderita kekambuhan. Untuk memastikan bahwa setiap kambuh terdeteksi
dini, perempuan diberikan rutin menindaklanjuti janji sampai tiga tahun.
Penelitian yang dipimpin oleh Profesor Fiona Gilbert dari University of Aberdeen,
bertujuan untuk menentukan metode yang paling efektif dan hemat biaya
pengobatan surveilans kanker payudara berikut, dalam hal frekuensi, keamanan
efektivitas, dan efisiensi. "Saat ini perdebatan seputar proses tindak lanjut dalam
hal frekuensi dan metode deteksi," komentar Profesor Gilbert. "Deteksi dini
kanker primer dan sekunder meningkatkan kemungkinan bertahan hidup, tetapi
frekuensi mammographic bahwa pengawasan harus digunakan tidak jelas. "Para
peneliti melakukan dua tinjauan sistematis dan disurvei ahli bedah payudara dan
87ahli radiologi untuk menentukan praktik saat ini dan perkiraan biaya-efektivitas.
Mereka juga model data pasien dari sejumlah sumber, termasuk Kanker West
Midlands Satuan Intelijen Registry Kanker Payudara.
Hasil survei menunjukkan bahwa sementara ada kesamaan, penggunaan
pengawasan mammographic berbeda dalam hal memulai, durasi frekuensi, dan
debit. Data dari tinjauan sistematis menunjukkan bahwa pengawasan
mammographic meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dibandingkan untuk
mengikuti-up yang tidak termasuk ini dan MRI adalah cara yang paling akurat
untuk mendeteksi pertumbuhan baru. Namun, khasiat kombinasi mode surveilans
lain, seperti pemeriksaan klinis, tidak jelas. Data pasien menunjukkan bahwa
wanita yang memiliki tumor sekunder yang lebih kecil (kurang dari 10mm
diameter) memiliki kesempatan lebih tinggi untuk bertahan hidup.
Mammographic surveilans ditemukan untuk biaya-efektif bila diberikan
secara 12 bulan. Hal ini paling baik digunakan untuk perempuan yang lebih
mungkin untuk mengembangkan tumor sekunder atau primer, tetapi lebih biaya
efektif bila digunakan setiap tiga tahun untuk perempuan yang mungkin untuk
mengembangkan pertumbuhan yang lain. "Hasil penelitian kami menunjukkan
bahwa pengawasan mammographic adalah cara yang efektif dan biaya-efektif
untuk mendeteksi pertumbuhan baru," kata Profesor Gilbert. "Penelitian kami
memiliki potensi untuk mempengaruhi cara di mana tindak lanjut janji diatur di
masa depan."
Sebagai hasil dari pertanyaan yang diajukan oleh penelitian ini, program
HTA telah mengeluarkan panggilan untuk proposal pada rezim surveilans kanker
payudara dini.
88BAB VII
Surveilans Perinatal
OLEH ERIKA YUNI LUMBAN TOBING, MERTISIN LAOLI, WAHYUNI MEGAWATI,
DAN YAYANG BELYA OKTAVIANI
Definisi Perinatal
Perinatal atau parilahir merupakan periode yang muncul sekitar pada waktu
kelahiran (5 bulan sebelumnya dan satu bulan sesudahnya). Perinatal mempunyai
periode yang dinamakan periode perinatal. Periode perinatal didefinisikan sebagai
masa sejak janin mampu hidup di luar kandungan hingga akhir hari ke-7 setelah
kelahiran. Menentukan usia janin sebenarnya merupakan hal sulit karena hal
tersebut tergantung pada umur kehamilan dan fasilitas pelayanan khusus yang
tersedia. Oleh sebab itu, akan lebih mudah untuk menggunakan berat lahir dalam
menentukan usia janin. Di Negara maju, bayi dapat bertahan hidup sejak usia 22
minggu umur kehamilan (berat mencapai 500 gram) sedangkan di Negara
berkembang, bayi di harapkan untuk mampu bertahan hidup sejak usia kehamilan
28 minggu (dimana berat telah mencapai 1000 gram) (WHO,2001).
Kematian perinatal adalah kematian dalam masa kehamilan 28 minggu
sampai bayi lahir dan berusia 7 hari. Kematian perinatal ditentukan dengan
menghitung jumlah kematian masa perinatal tersebut di bagi dengan jumlah bayi
lahir hidup dan lahir mati. Sedangkan angka kematian perinatal adalah (AKP)
adalah jumlah kematian perinatal di kalikan 1000dan kemudian dibagi dengan
jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati pada tahun yang sama. AKP = jumlah
kematian perinatal x 1000 jumlah lahir mati + jumlah lahir hidup. AKP perlu
diketahui karena dapat merefleksikan tingkat kesehatan ibu hamil dan bayinya
89serta standar pelayanan yang di berikan. Angka ini juga merupakan salah satu
indicator terbaik dari status social ekonomi masyarakat, daerah, dan Negara.
Wiknjosastro (2005) menyatakan bahwa untuk dapat memahami kematian
perinatal maka ada definisi-definisi yang lazim dipakai seperti kelahiran hidup,
kematian janin, kelahiran mati, kematian perinatal dini, dan kematian perinatal.
A. Kelahiran hidup (live birth) adalah keluarnya hasil konsepsi secara
sempurna dari ibunya tanpa memandang lamanya kehamilan dan sudah
terpisah dari ibunya bernafas atau menunjukan tanda-tanda kehidupan
seperti denyutan tali pusat atau pergerakkan otot, tidak peduli apakah tali
pusat telah dipotong atau belum.
B. Kematian janin (foetal death) adalah kematian hasil konsepsi sebelum
dikeluarkan dengan sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya
kehamilan. Kematian dinilai dengan fakta bahwa sedudah di pisahkan dari
ibunya janin tidak bernafas atau menunjukkan tanda-tanda kehidupan
seperti denyut jantung, kontraksi otot, dll.
C. Kelahiran mati (stillbirth) adalah kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan
mati yang telah mencapai umur kehamilan 28 minggu (atau berat badan
lahir lebih atau sama dengan 1000 gram).
Kematian perinatal dini (early neonatal death) adalah kematian bayi dalam
7 hari pertama kehidupannya. Sedangkan kematian perinatal (perinatal mortality)
adalah bayi lahir mati dan kematian bayi dalam 7 hari pertama sesudah lahir.
Penyebab Kematian Perinatal
Masalah kematian ibu dan bayi di Indonesia yang masih tinggi merupakan
fokus utama pemecahan masalah kesehatan di Indonesia. Mortalitas dan
morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara
berkembang. Menurut SDKI (2003) terdata 307 per 100.000 kelahiran hidup dan
angka kematian perinatal adalah 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian
Ibu (AKI) tahun 2005 mencapai 262/100000 kelahiran hidup, tahun 2006
mencapai 255/100000 kelahiran hidup dan tahun 2007 mencapai 248/100000
kelahiran hidup (SDKI 2006/2007).
90Ini berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan masih
memerlukan perbaikan kesehatan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan
indikator penting untuk menilai tingkat kesejahteraan suatu negara dan status
kesehatan masyarakat. Angka kematian bayi sebagian besar adalah kematian
neonatal yang berkaitan dengan status kesehatan ibu saat hamil, pengetahuan ibu
dan keluarga terhadap pentingnya pemeriksaan kehamilan dan peranan tenaga
kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan.
Kematian Ibu
Kematian pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara
berkembang. Di negara berkembang sekitar 25 – 50% kematian terjadi pada
wanita usia subur. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama
kematian wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Angka kematian ibu
merupakan tolok ukur untuk menilai keadaan pelayanan obstetri disuatu negara.
Bila AKI masih tinggi berarti sistim pelayanan obstetri masih buruk, sehingga
memerlukan perbaikan.
Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil,
bersalin dan masa nifas (dalam 42 hari) setelah persalinan. Jumlah kematian ibu
melahirkan di Indonesia mencapai angka yang spektakuler yaitu 307 per 100.000
kelahiran dari rata – rata kelahiran sekitar 3-4 juta setiap tahun.
Angka yang dihimpun dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2003 menunjukkan sekitar 15.000 ibu meninggal karena melahirkan
setiap tahun atau 1.279 setiap bulan atau 172 setiap pekan atau 43 orang setiap
hari atau hampir 2 orang ibu meninggal setiap jam.
Berdasarkan penyebabnya Kematian ibu bisa dibedakan menjadi langsung dan
tidak langsung.
1. Penyebab Langsung.
a. Perdarahan (42%).
b. Keracunan kehamilan/eklamsi (13%).
c. Keguguran/abortus (11%).
91d. Infeksi (10%).
e. Partus lama/persalinan macet (9%).
f. Penyebab lain (15%).
2. Penyebab tidak langsung
a. Pendidikan ibu-ibu terutama yang ada di pedesaan masih rendah.
Masih banyaknya ibu yang beranggapan bahwa kehamilan dan
persalinan merupakan sesuatu yang alami yang berarti tidak
memerlukan pemeriksaan dan perawatan, serta tanpa mereka sadari
bahwa ibu hamil termasuk kelompok risiko tinggi. Ibu hamil memiliki
risiko 50 % dapat melahirkan dengan selamat dan 50 % dapat
mengakibatkan kematian.
b. Sosial ekonomi dan sosial budaya Indonesia yang mengutamakan
bapak dibandingkan ibu, sebagai contoh dalam hal makanan, sang
bapak didahulukan untuk mendapat makanan yang bergizi sedangkan
bagian yang tertinggal diberikan kepada ibu, sehingga angka anemia
pada ibu hamil cukup tinggi mencapai 40 %.
c. “4 terlalu “dalam melahirkan, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu
sering dan terlalu banyak.
d. “3 terlambat”, yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat untuk
dikirim ke tempat pelayanan kesehatan dan terlambat mendapatkan
pelayanan kesehatan.
Selain itu 60 – 70% ibu yang melahirkan masih ditolong oleh dukun
tradisionil. Tiga terlambat ini juga sangat dipengaruhi oleh dana dari keluarga ibu
bersalin, walaupun cepat dirujuk, tetapi oleh karena tidak tersedianya uang maka,
niat merujuk dibatalkan sendiri oleh keluarganya. Dana yang diperlukan tidak saja
untuk transportasi dan biaya perawatan di puskesmas atau RS, tetapi diperlukan
juga untuk keluarga yang mengantar, sehingga jumlah dana yang dibutuhkan
cukup besar. Dana sehat yang diperoleh dari masyarakat dan pemerintah masih
sangat terbatas (20%), sehingga faktor dana ini masih merupakan kendala yang
memerlukan perhatian yang serius.
92Kematian Bayi
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi saat setelah bayi lahir sampai
bayi belum berusia tepat 1 tahun. Angka Kematian Bayi (AKB) 35 per 1.000
kelahiran hidup. Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan angka kematian
balita (Akba) pada kurun waktu yang sama cukup tajam, yaitu AKB dari 51 per
1.000 menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup, dan Akba 82,6 per 1.000 menjadi 46
per 1.000 kelahiran hidup pada kurun waktu yang sama. Angka kematian bayi
baru lahir (neonatal) penurunannya lambat, yaitu 28,2 per 1.000 menjadi 20 per
1.000 kelahiran hidup.
Target nasional 2010 Angka Kematian Bayi adalah 40/1.000 sedangkan
target nasional 2010 Angka Kematian Balita adalah 58/1.000. Penyebab Kematian
Bayi meliputi asfiksi, infeksi, hipotermi, BBLR, trauma persalinan, penyebab lain
pemberian makan secara dini, pengetahuan yang kurang tentang perawatan bayi,
tradisi (masyarakat tidak percaya pada tenaga kesehatan), serta sistem rujukan
yang kurang efektif.
Surveillans Perinatal
Kegiatan Pengendalian Perinatal di Indonesia
1. Pengendalian Angka Kematian Ibu
Pendekatan yang dikembangkan untuk menurunkan angka kematian
ibu yang disebut MPS atau Making Pregnancy Safer. Tiga pesan kunci
dalam MPS yang perlu diperhatikan adalah :
a. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
b. Setiap komplikasi obstetric dan neonatal mendapat pelayanan yang
adekuat (memadai).
c. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi
keguguran.
93Sedangkan strategi dalam menurunkan AKI adalah Peningkatan
cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang cost
efektif dan didukung oleh:
a. Kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait, mitra lain,
pemerintah dan swasta.
b. Pemberdayaan perempuan dan keluarga.
c. Pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan dalam menurunkan AKI yaitu :
a. Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan, melalui:
1) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan antara lain berupa
penyediaan tenaga bidan di desa, kesinambungan keberadaan
bidan desa, penyediaan fasilitas pertolongan persalinan pada
polindes/pustu dan puskesmas, kemitraan bidan dan dukun bayi,
serta berbagai pelatihan bagi petugas.
2) Penyediaan pelayanan kegawatdaruratan yang berkualitas dan
sesuai standar, antara lain bidan desa di polindes/pustu,
puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency
Dasar), Rumah sakit PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergency Kualitas) 24 jam.
3) Mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanganan komplikasi keguguran, antara lain dalam bentuk
KIE untuk mencegah terjadinya 4 terlalu, pelayanan KB
berkualitas pasca persalinan dan pasca keguguran, pelayanan
asuhan pasca keguguran, meningkatkan partisipasi aktif pria.
4) Pemantapan kerjasama lintas program dan sektor, antara lain
dengan jalan menjalin kemitraan dengan pemda, organisasi
profesi (IDI, POGI, IDAI, IBI, PPNI), Perinasia, PMI, LSM dan
berbagai swasta.
5) Peningkatan partisipasi perempuan, keluarga dan masyarakat,
antara lain dalam bentuk meningkatkan pengetahuan tentang
tanda bahaya, pencegahan terlambat 1 dan 2, serta menyediakan
94buku KIA. Kesiapan keluarga dan masyarakat dalam
menghadapi persalinan dan kegawatdaruratan (dana,
transportasi, donor darah), jaga selama hamil, cegah 4 terlalu,
penyediaan dan pemanfaatan yankes ibu dan bayi, partisipasi
dalam jaga mutu pelayanan.
b. Peningkatan kapasitas manajemen pengelola program, melalui
peningkatan kemampuan pengelola program agar mampu
melaksanakan, merencanakan dan mengevaluasi kegiatan (P1 – P2 –
P3) sesuai kondisi daerah.
Sosialisasi dan advokasi, melalui penyusunan hasil informasi cakupan
program dan data informasi tentang masalah yang dihadapi daerah sebagai
substansi untuk sosialisasi dan advokasi. Kepada para penentu kebijakan
agar lebih berpihak kepada kepentingan ibu dan anak.
2. Pengendalian Angka Kematian Bayi
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kematian bayi yaitu :
a. Peningkatan kegiatan imunisasi pada bayi.
b. Peningkatan ASI eksklusif, status gizi, deteksi dini dan pemantauan
tumbuh kembang.
c. Pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi.
d. Program Manajemen Tumbuh kembang Balita sakit dan Manajemen
Tumbuh kembang Balita Muda.
e. Pertolongan persalinan dan penatalaksanaan Bayi Baru lahir dengan
tepat.
f. Diharapkan keluarga memiliki pengetahuan, pemahaman, dan
perawatan pasca persalinan sesuai standar kesehatan.
g. Menerapkan program ASUH (Awal Sehat Untuk Hidup Sehat) yang
memfokuskan kegiatan pada keselamatan dan kesehatan bayi baru
lahir (1-7 hari).
h. Keberadaan Bidan Desa.
i. Perawatan neonatal dasar meliputi perawatan tali pusat, pencegahan
hipotermi dengan metode kanguru, menyusui dini, usaha bernafas
95spontan, pencegahan infeksi, penanganan neonatal sakit, audit
kematian neonatal.
j. Mengintensifkan kegiatan kunjungan rumah 7 hari pertama pasca
persalinan berisi pelayanan dan konseling perawatan bayi dan ibu
nifas yang bermutu.
Partisipasi masyarakat dalam mencegah kematian bayi yaitu dengan :
a. Menyebarluaskan pengetahuan tentang pentingnya 7 hari pertama
pasca persalinan bagi kehidupan bayi selanjutnya.
b. Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kunjungan rumah 7 hari
pertama pasca persalinan oleh Bidan di Desa.
c. Mencatat dan melaporkan adanya ibu hamil, ibu melahirkan, dan bayi
meninggal pada bidan di Desa, agar diperoleh masukan untuk
merencanakan tindakan/ kunjungan dan memecahkan sekaligus
mengantisipasi masalah kematian bayi.
d. Mendukung dan mempertahankan keberadaan bidan di desa.
Surveilans dan Sumber Informasi Kematian Ibu
Surveilans kematian ibu selain merupakan sebuah komponen sistem
informasi kesehatan, juga merupakan suatu proses yang berlangsung terus
menerus secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kematian ibu terkait
kehamilan, mengkaji faktor-faktor penyebab kematian, mengumpulkan,
menganalisis dan menginterpretasikan data, melaporkan temuan dan membuat
rekomendasi tindakan berdasarkan informasi yang diperoleh dengan tujuan untuk
pengendalian dan mencegah kejadian kasus kematian berulang dimasa mendatang.
Dalam pelaksanaannya, surveilans kematian melakukan empat tahapan
proses kegiatan, antara lain : (a) identifikasi kasus kematian terkait kehamilan. (b)
investigasi terhadap penyebab kematian baik medis dan non medis. (c) analisis
data. (d) tindakan (diseminasi rekomendasi, intervensi dan evaluasi). setiap
kematian ibu harus diselidiki. Penyelidikan memberikan informasi tentang
permasalahan yang memicu kematian dan memberi petunjuk intervensi untuk
mencegah kematian semacam itu di masa mendatang. Ketika kematian wanita usia
96reproduksi ditemukan dan dipastikan berhubungan dengan kehamilan, investigasi
kematian ibu harus dilakukan seperti berikut:
1. Penyebab medis kematian, investigasi harus menentukan penyebab medis
atau pathophysiologis kematian sespesifik mungkin dan
menggolongkannya sebagai kematian obstetric langsung atau tidak
langsung. Mekanisme penentuan penyebab medis kematian dipengaruhi
apakah wanita itu dirawat di rumah sakit atau tidak.
2. Penyebab non-medis kematian, penyebab kematian non-medis lebih
penting dalam menentukan apakah seorang wanita hidup atau meninggal
daripada kondisi medisnya sendiri. Sehingga, penyelidikan perlu
dilakukan untuk mengurangi kematian ibu, seperti keterlambatan
penemuan masalah dan pengambilan keputusan, dan akses terhadap
pelayanan rujukan dan Logistik.
Menurut Berg, dkk (1998) sumber informasi kasus kematian ibu dapat diperoleh
dari empat sumber antara lain :
1. Akte kematian adalah catatan vital berfungsi sebagai landasan surveilans
epidemiologi kematian ibu. Secara teoritis, temuan kematian ibu
seharusnya mudah jika setiap kematian didaftarkan dan memiliki sebab
kematian yang akurat tercantum dalam akta kematian.
2. Pencatatan RS adalah kematian ibu yang terjadi di RS biasanya lebih
mudah diidentifikasi. Umumnya, catatan rumah sakit berisi informasi
berharga mengenai faktor-faktor penyebab kematian. Cara rumah sakit
menemukan dan melaporkan kematian ibu tergantung pada ukuran
pelayanan persalinan, apakah catatan medis pasien dan catatan
kematiannya disimpan secara manual atau dalam computer.
3. Identifikasi kematian masyarakat adalah Kematian ibu yang terjadi di luar
rumah sakit adalah hal yang paling sulit untuk diidentifikasi dan
memerlukan pendekatan yang kreatif saat dilakukan surveilans. Namun
demikian, penting dilakukan untuk mengidentifikasi kematian itu dan
menyelidikinya, khususnya di wilayah dimana persalinan dilakukan di
rumah.
974. Sistem Surveilans Formal adalah kematian wanita usia reproduksi atau
kematian karena kehamilan dan komplikasinya terdapat pada daftar
penyakit yang bisa dicatat dalam akte kematian (pencatatan sipil) yang
harus dilaporkan kepada sistem surveilans yang dilakukan pemerintah.
Jika sistem itu berfungsi sebagaimana yang direncanakan, sistem ini bisa
mengatasi kelemahan yang berkaitan dengan metode identifikasi kematian.
Data hasil surveilans kematian ibu dapat dianalisa dan dimanfaatkan untuk
kepentingan program. Data dalam bentuk jumlah kematian dan informasi dari
investigasi, dapat dianalisa baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Analisis secara kuantitatif, dilakukan dengan mengkaji kasus berdasarkan
karakteristik dasar kaidah pendekatan epidemiologi, seperti faktor orang, tempat
dan faktor waktu. Pada faktor ORANG antara lain meliputi aspek usia, suku,
status pendidikan, status sosial ekonomi, faktor TEMPAT seperti aspek tempat
tinggal, tempat persalinan, kematian; faktor WAKTU seperti tahun, musim, hari,
jam, dan lainnya. Analisa data dilakukan dengan melakukan perbandingan dan
mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan kematian ibu meliputi: a) menilai
kecenderungan kematian ibu sepanjang waktu di wilayah tertentu b)
membandingkan resiko kematian ibu diantara wilayah yang berbeda c)
membandingkan data diantara kelompok populasi berbeda, yang ditentukan oleh
karakteristik seperti usia, suku, tempat tinggal, dan lain-lain.
Pada analisis data surveilans kematian ibu, setiap kasus harus dinilai satu
per satu untuk menentukan faktor-faktor medis dan non medis yang menyebabkan
kematian, khususnya faktor-faktor yang bisa dicegah. kemudian dapat
dikelompokkan untuk menemukan pola atau faktor yang sama. Hal ini bisa
dilakukakan secara kuantitatif (misal, menentukan apakah kelompok tertentu
adalah wanita yang mungkin meninggal) dan secara kualitatif (misal, menentukan
skenario mana yang menyebabkan kematian).
Selain itu, salah satu tujuan utama surveilans adalah pemanfaatan informasi
yang terkumpul untuk merencanakan, menerapkan dan mengevaluasi strategi-
strategi intervensi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan mengurangi kematian
dan kesakitan ibu. Data surveilans membantu mengidentifikasi dan
98memprioritaskan permasalahan di semua tingkat sistem pelayanan kesehatan.
Informasi ini dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi-intervensi dalam
meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu.
Dengan pemanfaatan informasi, tenaga kesehatan dapat memprioritaskan faktor-
faktor yang paling berpengaruh terhadap kematian ibu dan yang berpotensi dapat
dicegah.
Untuk kepentingan pengolahan data diatas, penting untuk memastikan
didapatkannya data kematian ibu ini. Data ini antara lain diperoleh dari data
Pelaporan Kematian Ibu. Menurut Depkes (1996) sistem pencatatan dan pelaporan
kematian ibu menggunakan beberapa instrument berikut :
a) Register kohort ibu (RKI).Register ini digunakan untuk mencatat seluruh
ibu hamil di wilayah kerja bidan di desa. Data ibu hamil ini kemudian
dimasukkan ke dalam RKI, dengan mencantumkan nama ibu dan
suaminya, alamat dan umur ibu. Dengan RKI, memungkinkan
terpantaunya kejadian komplikasi obstetri yang menjadi penyebab
kematian ibu pada masa hamil/ bersalin/ nifas.
b) Otopsi verbal kematian ibu (OM). Kuesioner ini digunakan oleh bidan
untuk menelusuri penyebab kematian ibu yang terjadi di masyarakat dan
faktor-faktor yang melatarbelakangi kematiannya. Bidan di desa yang
telah memantau ibu sejak hamil secara kohort sampai melewati masa nifas
dengan menggunakan RKI diharapkan akan mengetahui setiap kejadian
kematian ibu yang terjadi di wilayahnya. Setiap kematian ibu ini perlu
ditelusuri penyebab dan faktor yang melatarbelakanginya, dengan
menggunakan kuesioner otopsi verbal kematian ibu.
Sedangkan menurut Depkes (2002) bahwa pencatatan dan pelaporan kasus
kematian ibu, meliputi tahap pencatatan dan tahap pelaporan:. Pada tahap
pencatatan, dilakukan pada tingkat Puskesmas maupun tingkat Rumah Sakit. Pada
tingkat Puskesmas, dilakukan dengan menggunakan Form R (Formulir Rujukan
Maternal dan Perinatal). Formulir ini dipakai oleh puskesmas, bidan di desa
maupun swasta, untuk merujuk kasus ibu maupun perinatal. Juga dengan Form
99OM (Formulir Otopsi Verbal Maternal) : digunakan untuk otopsi verbal ibu
hamil/ bersalin/ nifas yang meninggal.
Sedangkan pada tingkat Rumah Sakit, menggunakan Form MP (Formulir
Maternal dan Perinatal), untuk mencatat data dasar semua ibu bersalin/ nifas/ dan
perinatal yang masuk ke Rumah Sakit. Pengisian dapat dilakukan oleh bidan dan
perawat. Juga dengan Form MA (Formulir Medical Audit), untuk menulis hasil/
kesimpulan dari audit maternal maupun audit perinatal, yang diisi oleh dokter
yang bertugas di Bagian Kebidanan dan Kandungan (kasus ibu) atau Bagian Anak
(kasus perinatal).
Pada tahap pelaporan, dilakukan secara berjenjang, yaitu :
1. Laporan dari RS Kabupaten/Kota ke Dinkes (Lap RS). Laporan bulanan
ini berisi informasi mengenai kesakitan dan kematian serta sebab kematian
ibu dan bayi baru lahir Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan serta
Bagian Anak.
2. Laporan dari Puskesmas ke Dinkes Kabupaten/ Kota (Lap Pusk). Laporan
bulanan ini berisi informasi yang sama diatas, dan jumlah kasus yang
dirujuk ke RS kab./ kota.
Laporan dari Dinkes Kabupaten/Kota ke Dinkes Propinsi. Laporan triwulan ini berisis informasi mengenai kasus ibu dan perinatal yang ditangani oleh RS Kab/ Kota, Puskesmas, dan unit pelayanan KIA lainya (bila ada), serta tingkat kematian dari tiap jenis komplikasi.
100BAB VIII
Surveilans of Occupational Health
OLEH CHRYSIANE FLORENSIA SILETTY, HARI PRANINDYO, HARTANTI, DAN RIA AZHARIAH
Ruang Lingkup Surveilans K3
Secara garis besar ruang lingkup surveilans K3 terbagi dua, yaitu :
1. Surveilans Efek Kesehatan dan Keselamatan
Pengumpulan, analisis & diseminasi/komunikasi data kesehatan (data
penyakit) dan data keselamatan (data kecelakaan) spesifik untuk populasi
pekerja berisiko dengan cara sitematik dan berksinabungan yang dapat
digunakan bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia
usaha dan dunia kerja
2. Surveilans Hazard Kesehatan dan Keselamatan
Identifikasi hazard, pengukuran pajanan, analisis dan diseminasi atau
komunikasi hazard kesehatan dan keselamatan yang spesifik bagi populasi
pekerja berisiko dengan cara sistematik dan berkesinambungan digunakan
bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia usaha dan
dunia kerja
Metode Surveilans K3
Dalam rangka pemantauan hazard dan risiko yang ada di tempat kerja, maka
hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan Surveilans Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Surveilans K3 terdiri dari strategi-strategi dan metode untuk
mendeteksi dan menilai secara sistematis dampak dari suatu pekerjaan terhadap
kesehatan dan keselamatan pekerja. Dengan surveilans maka dilakukanlah
pengumpulan, analisis, interpretasi data, dan penyebaran informasi agar dapat
101diambil tindakan segera yang diyakini dapat mencegah pekerja dari penyakit dan
kecelakaan.
Step awal dalam kegiatan ini adalah dengan melakukan rekognisi faktor
risiko, kemudian melakukan analisis, dan komunikasi yang nantinya diharapkan
dapat dikembangkannya sistem pengumpulan, analisis dan diseminasi serta
komunikasi data kesehatan dan keselamatan di tempat kerja
Kegiatan Program meliputi rekognisi, analisis data kesehatan seluruh
pekerja berisiko, dan komunikasi pada seluruh pihak yang berkepentingan.
Metode yang digunakan untuk pelaksanaan Program Occupational Health
surveilans adalah dengan melakukan identifikasi faktor risiko di tempat kerja dan
identifikasi pekerja di populasi yang berisiko, yaitu:
1. Data Faktor Risiko Lingkungan Kerja
2. Data Pemantauan Higiene Industri
3. Data Pemantauan Ergonomi
4. Data Pemantauan Stres Kerja
5. Data Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Bekerja, Berkala, Khusus, Return to
Work, PHK/Pensiun
6. Analisis & Komunikasi Trend Faktor Risiko & Status Kesehatan, Hubungan
Antara Faktor Risiko & Efek Kesehatan
Objek Surveilans Kesehatan Kerja adalah sebagai berikut;
1. Pekerja
2. Lingkungan kerja
3. Pekerjaan
Pengukuran Pajanan pada Pekerja:
1. Noise dosimeter
2. Personal dust sampler
3. Pengukuran dengan Spirometer
4. Pengukuran logam berat di urine & darah
Pengukuran Pajanan pada Lingkungan Kerja:
1. Kebisingan di lingkungan kerja
2. Debu di lingkungan kerja
1023. Temperatur di lingkungan kerja`
4. Logam berat di lingkungan kerja
Berdasarkan pekerjaan, tergantung lama pajanan orang pada pekerjaan
tersebut, dijelaskan dalam bentuk hitungan atau fungsi dari pajanan dan tahun,
yaitu:
“Pajanan X Tahun = Person–Years”
Adapun pengukuran Pajanan juga ada dua macam, yakni:
1. Pajanan sesaat
2. Pajanan kumulatif
Pajanan rata-rata berdasarkan:
1. Sampel area
2. Sampel individu (toksikan), misalnya:
a. azide iodide pada urine karena karbondisulfida
b. asam t-t mukonat dalam urine karena benzene
Persyaratan dan Teknik Pelaksanaan
Persyaratan untuk Mengadakan Surveilans K3 di Tempat Kerja adalah sebagai
berikut:
1. Ada penyakit maupun cedera yang dapat diidentifikasi atau adanya
dampak negatif pada pekerja lain yang dinilai dapat merugikan
2. Efek penyakit dan/atau cedera tersebut terkait dengan eksposur/pajanan di
tempat kerjanya.
3. Ada kemungkinan atau probability bahwa efek penyakit dan/atau cedera
tersebut berpotensi dapat terjadi
4. Ada beberapa teknik yang berlaku untuk mendeteksi indikasi dari efek
penyakit dan/atau cedera tersebut.
Teknik Surveilans kesehatan harus:
1. Sensitif
2. Spesifik
3. Mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan
1034. Aman
5. Non-invasif
6. Dapat diterima.
Manfaat sumber data yang tersedia untuk keperluan aksi. Data yang
tersedia atau didapat, digunakan untuk mengatasi masalah K3 berdasarkan
evidence, dengan menyusun upaya promotif, prevetif, kebijakan, perencanaan
program antara lain seperti berikut.
1. Mengolah data sebagai alat/metode guna pemantauan penyakit atau
masalah K3 di wilayah setempat
2. Memantau kemajuan pelayanan K3 dan cakupan indikator K3 secara
teratur (bulanan) dan terus menerus.
3. Menilai kesenjangan pelayanan K3 terhadap standar pelayanan K3.
4. Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator K3 terhadap target
yang ditetapkan, antara lain seperti berikut:
a. Konsentrasi debu, pelarut organik, pestisida, uap logam atau bahan
kimia lainnya di udara lingkuan kerja dibandingkan dengan nilai
ambang batas yang diperkenankan
b. Tingkat pajanan bising, panas, atau getaran pada individu
kelompok pekerja berisiko dibandingkan dengan nilai ambang
batas yang diperkenankan.
c. Hasil pantauan biomarker timah hitam, benzene, aseton, inhibitor
kolinesterase atau bahan kimia lainnya dalam spesimen cairan
tubuh pekerja dibandingkan dengan indeks pajanan biologik
d. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan absenteisme yang
terekam dibandingkan dengan standar atau target yang ditetapkan
e. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan kecelakaan yang terekan
dibandingkan dengan stanar atau target yang ditetapkan
5. Menilai Prevalens dan insiden penyakit spesifik yang diduga berkaitan
dengan pajanan hazard di tempat kerja
1046. Menentukan sasaran individu, kelompok kerja, jenis pekerjaan dan
wilayah prioritas yang akan ditangani secara intensif berdasarkan besarnya
kesenjangan.
Menilai keberhasilan pencapaian target, mengevaluasi dan menyusun strategi
perbaikan secara terus menerus.
Persiapan Pelaksanaan Surveillans Kesehatan Kerja
1. Penilaian risiko kesehatan atau HRA yang dilakukan berdasarkan hazard
yang teridentifikasi oleh tim HI. Apabila belum ada, proses identifikasi
hazard dan penilaian risiko serta HRA dilakukan oleh tim multidisiplin
yang anggotanya terdiri dari wakil pimpinan dan pelaksana dari unit kerja
terkait bagian kesehatan, keselamatan, HI ataupun lingkungan dan
ergonomis.
2. Perencanaan program
Setelah mendapatkan HRA, penaggungjawab surveilans Kesja yang adalah
Dokter Kesehatan kerja Dan HI yang akan menyusun program awalan
hingga menetapkan pekerja yang berisiko, penetapan jenis hazard dan efek
kesehatan.
3. Penetapan pekerja yang beresiko
4. Penetapan jenis Hazard dan efek kesehatan yang dipantau.
Tabel 1 Cara penyajian data mengenai jenis Hazard yang dipantau.
AktivitasHazard
Teridentifikasi
Hazard yang
dipantau
Antisipasi efek
kesehatan
Survei dan
pembukaan
hutan
Racun flora
fauna
Debu dari
kerak bumi
Vibrasi
kendaraan
Bising
kendaraan
Racun flora
Debu
Vibrasi
Bising
Postur
Janggal
Iritasi kulit
Pneumokoniosis
Gangguan syaraf
tepi
Penurunan
pendengaran
CTD
105Ergonomik
Pengupasa
n kerak
bumi
Debu
Vibrasi
Bising
Postur
janggal
Pneumokoniosis
Gangguan syaraf
tepi
Penurunan
pendengaran
CTD
5. Penetapan Jenis pemeriksaan kesehatan
Tabel 2 Contoh Jenis pemeriksaan kesehatan berdasarkan hazard spesifik
Hazard Jenis pemeriksaan
Bising Audiometri, kuesioner
Debu Spirometri. Foto toraks dan kuesioner
Ultra Violet Mata dan kuit
Virus Hepatitis
B
HBsAg, HBcAg, SGOT dan SGPT
Pelarut organik Nerologic, iritasi mata dan saluran pernafasan,
fungsi ginjal dan hati, spirometri, dan pemantauan
biologic
Tabel 3 Contoh Jenis pemeriksaan kesehatan berdasarkan hazard spesifik
Jabatan Jenis pemeriksaan
Pengguna
respirator
Fungsi paru
Off shore Audiogram, Fungsi paru, drugs dan alcohol
Supir Visus, audiogram, drugs dan alcohol
Welders Urinalisis dan Biomonitoring
Fire fighter Audiogram dan fungsi paru
6. Komunikasi untuk mendapatkan dukungan dan komitmen
Melibatkan seluruh pemangku kepentingan khusunya pemimpin tertinggi
dan pekerja. Sebelum penyusunan proposal program, hendaknya dilakukan
komunikasi berjenjang.
7. Pembentukan tim surveilans
106Profesi utama yang bertanggungjawab dalah doketr, perawat kesja, HI dan
ergonomis. Dan membutuhkan keterlibatan manajer SDM untuk
menentukan penempatan SDM. Supervisor untuk mengawas hazard dan
pekerja serta memastikan pekerja terlibat aktif dalam surveilans kesehatan
kerja.
8. Hasil pemeriksaan kesehatan dan informed concern.
Tahapan Pelaksanaan Surveillans Kesehatan Kerja:
1) Tahap pengumpulan data
a. Data Faktor Risiko
Dikumpulkan dengan survey jalan selintas, interview, chemical
inventory, tinjauan dokumen seperti safet data sheet.
b. Data gangguan kesehatan
Dikumpulkan dengan survey jalan selintas, notulen rapat P2K3
dan data pemeriksaan kesehatan pekerja.
c. Data pemantauan biologic
Biasanya data ini didapat dari HI atau pengukuran dengan
melibatkan Laboratorium Provider. Sedangkan Informasi
penanda kimia didapat dari ACGIH dan NIOSH
2) Tahap analisis data dan surveilans PAK
Dilakukan analisis trend dan interaksi pajanan, hasil pemantaun
biologic dan efek kesehatan yang ditimbulkan, baik perorangan
maupun kelompok.
Analisis hasil surveilans hazard adalah membandingkan dengan
nilai ambang batas.
Analisis hasil surveilans efek kesehatan akan didapat apa,
siapa, di mana, bilamana gangguan kesehatan terjadi sehingga
didapat data distribusi frekuensi penyakit berdasarkan beberapa
factor risiko.
Surveilans hazard kesehatan di lingkungan dapat menjawab
intensitas, pajanan dan surveilans efek kesehatan pada pekerja
menyediakan data status kesehatan pekerja.
107Menggabungkan data surveilans hazard dan surveilans efek
kesehatan dapat dilakukan analisis epidemiologi untuk
menjelaskan mengapa dan bagaiman suatu gangguan kesehatan
timbul.
Lebih lanjut dapat dilakukan pebandigan risiko relative pada
pekerja terpajan dan tidak terpajan maka akan lebih jelas hubungan
atau asosiasi antara factor risiko dan efek yang ditimbulkan.
3) Tahap pelaporan dan pemanfaatan hasil surveilans untuk perbaikan
Pelaporan ini dilakukan pada forum yang melibatkan semua
manajemen.Hasil analisis dikomunikasikan dalam bentuk agregat
dengan kode etik dan menjunjung privasi.
Penyampaian manfaat yang tinggi dan menguntungkan banyak pihak harus
dilakukan untuk kesuksesan pelaksanaan rekomendasi, terkait program kesehatan
yang diencanakan.
Contoh Surveilans K3
1) Pada suatu perusahaan minyak dan gas bumi, ditemukan peningkatan dari
tahun ke tahun penyakit Jantung Koroner, setiap tahunnya ada sekitar 11-
12 kasus baru yang terdiagnosa positif PJK. Melihat pekerja yang terpajan
dengan bahan kimia BTX, adanya bising, panas serta stress pada pekerja
yang cukup tinggi, maka lakukan telaah terhadap surveilans Kesehatan
Kerja yang sudah dilakukan perusahaan.
Metode surveilan, sumber data, teknik dan instrumen yang
digunakan dalam pengumpulan data sehingga tindakan segera yang dapat
mencegah pekerja dari penyakit dan kecelakaan.
2) Pada suatu perusahaan konstruksi, ingin diketahui keluhan akan efek
kesehatan pada operator alat berat berdasarkan ketajaman pendengaran,
fungsi pendengaran, fungsi pernafasan serta keluhan gangguan otot dan
tulang.
108Metode surveilan, sumber data, teknik dan instrumen yang
digunakan dalam pengumpulan data sehingga tindakan segera yang dapat
mencegah pekerja dari penyakit dan kecelakaan dapat diambil
3) Pada sebuah perusahaan tambang batubara, sudah tersedia Program
Surveilans Kesehatan pada Pekerja, pelajari dengan detil program, yang
meliputi :
a. Program Surveillance'X-ray Pekerja Batubara
Informasi tentang disediakannya rontgen dada gratis untuk
penambang batu bara bawah tanah.
b. Program Nasional Otopsi Pekerja Batubara
Ketika seorang penambang batubara meninggal, keluarga dapat mengatur untuk
minta dilakukan otopsi gratis. Hasilnya dapat membantu mendapatkan klaim dan
juga membantu para ilmuwan dan dokter belajar lebih banyak tentang penyakit
pada pekerja batubara 'pneumokoniosis atau' penyakit Black lung.
Data dan Informasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Belum tersedianya gambaran permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) di tingkat nasional, propinsi dan Kota maka diperlukan tersedianya data yang
benar benar nyata di masyarakat. Petugas kesehatan yang bertanggung jawab pada
wilayah kerjanya, memerlukan data dasar tentang masyarakat pekerja di wilayah
kerjanya.
Data dasar dibutuhkan sebagai dasar dari Penilaian Risiko atau dikenal Risk
Assesment. Secara teoritis peniliaian risiko merupakan fokus utama dalam
penyelenggaraan pelayanan K3 berbasis bukti (Evidence based). Beraneka
ragamnya jenis dan tempat kerja di masyarakat Indonesia menjadikan beraneka
ragam pula jenis bahaya (hazard) yang ada di tempat kerja hingga jenis risiko
yang diterima masyarakat pekerjapun menjadi spesifik yang berakibat pola
penyakit dan cedera yang ada di tempat kerja sangat tergantung dari perubahan
kondisi yang ada di tempat kerja tersebut.
Selanjutnya, dari data dasar ditentukan data yang perlu terus dipantau, maka perlu
dikembangkan sisterm informasi K3, yang mencakup input, proses dan output.
109Implementasi pelaksanaan sistem informasi K3 berdasarkan kebutuhan data
berbasis bukti (Evidence based) yang dapat memberi data akurat cepat, tepat dan
secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan dengan jalan melakukan kegiatan
survei Baseline Data (survei cepat) yang difokuskan pada wilayah setempat, yang
selanjutnya dapat digunakan di tingkat kabupaten/kota atau sebagai angka
propinsi atau nasional jika digabung dari berbagai Kabupaten/Kota.
Dasar Hukum
1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan pasal 11 yang menyatakan bahwa
pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat
kerja yang dipimpinnya.
2. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab XII tentang Kesehatan Kerja
yang terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 164-166, antara lain menetapkan pengelola
tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja dan menjamin lingkungan
kerja yang sehat, bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja, wajib
melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan,
peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1075 / MENKES /
SK / VII / 2003 tentang Pedoman Sistem Informasi Manajemen Kesehatan
Kerja, maka diperlukan informasi yang akurat, tepat waktu dalam sistem
informasi sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan.
4. Keputusan Presiden No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul Karena
Hubungan Kerja
Keputusan Menteri Kesehatan No. 691 A/MENKES/SK/XII/1980 tentang
Pelaporan Rumah Sakit.
Konsep dan Lingkup Sistem Informasi K3
Sistem informasi K3 adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
informasi kesehatan yang telah ada di Departemen Kesehatan seperti Sistem
Informasi Kesehatn (SIK), Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), dan Sitem
110Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang khusus menangani komunitas
pekerja baik di sector usaha formal maupun informal.
Untuk memperoleh berbagai data dan informasi K3 perlu dilakukan
kegiatan pencatatan dan pelaporan secara baik dan benar serta profesional tentang
data dasar kesehatn kerja dan penyakit akibat kerja serta kejadian kecelakaan kerja
terutama yang menumbulkan penyakit atau cedera pada pekerja, agar dapat
diketahui peta masalah K3 di suatu wilayah kerja yang merupakan sumber
informasi yang vital bagi pelaksanaan program K3 setempat. Secara keseluruhan,
data ini dapat digunakan oleh penentu kebijakan di tingkat yang lebih tinggi,
tentunya dengan kompilasi seluruh data, seperti di tingkat Kabupaten/Kota bahkan
ke tingkat nasional.
Lingkup Sistem Informasi K3 mencakup informasi kesehatan dan informasi
keselamatan di tempat kerja. Secara sistem, dalam lingkup wilayah kerja terbatas
seperti desa yang menjadi tanggung jawab Bidan di Desa, informasi K3 mencakup
informasi dasar (input), informasi pelaksanaan pelayanan (proses), informasi
tingkat keberhasilan jangka pendek yang langsung dapat diukur (output), dan
tingkat keberhasilan jangka panjang yang memerlukan waktu untuk mencapainya
(outcome).
Data Dasar (Input)
Data Dasar Wilayah Kerja digunakan sebagai dasar analisis kebutuhan dan
pemetaan masalah, data dasar wilayah kerja yang terkait dengan K3 antara lain
mencakup data seperti berikut.
a. Data Demografi
Data dan informasi tentang keadaan penduduk usia kerja, angkatan kerja,
penyebaran pekerja berdasarkan jenis pekerjaan yang ada di setiap desa, bila
memungkinkan data di kecamatan dan Kabupaten/Kota. Di samping itu,
data tentang jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status sosial pekerja
dapat membantu dalam perencanaan program agar lebih fokus.
b. Data Jenis dan Jumlah Perusahaan
111Data jenis dan jumlah perusahaan baik di sector formal maupun informal,
diperlukan untuk membuat peta hazard di tempat kerja dan pekerja berisiko.
1) Jumlah dan jenis perusahaan/industri besar
2) Perusahaan atau tempat kerja yang tinggi tingkat risikonya (hazardous
or high tisk)
3) Perusahaan atau tempat kerja yang padat karya
4) Perusahaan atau tempat kerja yang menghasilkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) tertinggi
5) Jumlah dan demografi pekerja di tempat kerja tertentu.
Klasifikasi tempat kerja yang sering digunakan adalah berdasarkan
Klasifikasi Industri yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik)
yaitu 18 (delapan belas) klasifikasi tempat kerja, seperti berikut.
1) Pertanian, perburuan dan kehutanan
2) Perikanan
3) Pertambangan dan penggalian
4) Industri pengolahan
5) Listrik, gas dan air
6) Konstruksi
7) Perdagangan besar dan eceran
8) Penyediaan akomodasi dan penyediaan makan dan minum
9) Transportasi, pergudangan dan komunikasi
10) Perantara keuangan
11) Real estate, usaha persewaan dan jasa perusahaan
12) Administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib
13) Jasa pendidikan
14) Jasa Kesehatan dan kegiatan sosial
15) Jasa kemasyarakatan, sosial, budaya dan perorangan lainnya
16) Jasa perorangan yang melayani rumah tangga
17) Badan internasional dan ekstrainternasional
18) Pekerjaan lain
a. Akses pelayanan K3
112Termasuk keberadaan dan kemudahan akses fasilitas kesehatan kerja
seperti Klinik Peursahaan, Klinik Kesehatan Kerja, rumah sakit dan
Puskesmas yang memberi pelayanan K3; serta fasilitas penanggulangan
kebakaran, kesiapan penanggulangan bencana atau keadaan darurat
(emergency preparedness).
b. Akses jaminan sosial
Jaminan sosial dibutuhkan bila upaya pencegahan gagal dan pekerja jatuh
sakit, cedera, cacat atau meninggal, diperlukan data jumlah pekerja yang
tercakup dalam jaminan Askes bagi PNS, pensiun dan TNI polri; jumlah
peserta PT Jamsostek, askes mandiri, yang terdata sebagai peserta
Jamkesmas, serta berapa persen yang belum memiliki asuransi kesehatan.
c. Gambaran wilayah/lokasi kerja
Selain batas kerja, diperlukan denah wilayah (upayakan gambar GPS)
kerja dan penyebaran tempat kerja terutama yang padat karya dan/atau
berisiko tinggi.
Data dan Indikator Pelaksanaan K3 (Proses)
Upaya K3 menekankan upaya promotif dan preventif, pelaksanaan K3
yang baik menentukan keberhasilan dalam pengendalian risiko. Di sektor formal
ada instrumen audit, yaitu di tingkat nasional berupa Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan di tingkat internasional dikenal
dengan Occupational Health and Safety Adminstration Series (OHSAS 18000).
Intinya adalah pelaksanaan manajemen risiko dari semua hazard di tempat kerja,
yaitu penilaian risiko dan pengendalian hazard. Di Indonesia, pelaksanaan SMK3
adalah wajib dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Data ini perlu
dimutkhirkan minimal satu kali dalam satu tahun yang dilakukan auditor internal,
satu kali dalam tiga tahun oleh auditor eksternal. Data audit ini digunakan untuk
tindakan perbaikan dan pencegahan.
Di ranah publik, terutama di sektor informal dan sentra industri UMKM,
pelaksanaan K3 dilakukan oleh Puskesmas setempat bila tersedia SDMnya. Data
dan indikator pelaksanaan K3 di Puskesmas seperti berikut.
113a. Tersedianya data yang terkait dengan input, proses dan output upaya K3
b. Persentasi sarana pelayanan kesehatan dasar yang telah melaksanakan
pelayanan kesehatan kerja atau K3
c. Persentase jumlah Puskesmas yang telah mendapatkan pembinaan upaya
kesehatan kerja (UKK) atau K3
d. Persentase jumlah Puskesmas yang telah melaksanakan UKK atau K3
e. Persentase jumlah tempat kerja yang telah mendapatkan pembinaan UKK atau
K3
f. Persentase jumlah tempat kerja yang telah melaksanakan UKK atau K3
g. Jenis pelayanan K3 komprehensif yang diberikan yaitu promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif
h. Data dan informasi tentang penyebaran tenaga kesehatan kerja atau tenaga K3
bagi upaya pengembangan Program Kesehatan Kerja atau K3 di setiap
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.
i. Persentase pekerja yang mendapatkan pelayanan kesehatan kerja atau K3.
j. Persentase pekerja yang mendapatkan Jaminan sosial di bidang K3 baik askes
Jamsostek atau asuransi lainnya.
Data dan Indikator Keberhasilan K3 (Output)
Keberhasilan upaya K3 biasanya berupa output atau luaran dari upaya K3
yang dilaksanakan, diukur dari beberapa indikator seperti berikut.
a. Kadar atau intensitas pajanan di lingkungan kerja berada di bawah Nilai
Ambang Batas
b. Kadar biomarker bahan kimia di bawah Indeks Pajanan Biologik
c. Jumlah kunjungan pekerja ke poliklinik atau berobat jalan.
d. Jumlah pekerja yang dirawat di rumah sakit.
e. Biaya pengobatan dan perawatan
f. Pola penyakit pekerja, tren prevalensi dan insiden penyakit akibat kerja dan
penyakit terkait kerja, cedera atau penyakit akibat kecelakaan kerja
g. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan kejadian kecelakaaan di tempat
kerja
114I. Tingkat Kekerapan Kecelakaan (Accident Frequency Rate), yaitu rata-
rata jumlah kecelakaan dalam 1 periode dibandingkan dengan jumlah
pekerja berisiko. Formula perhitungan frequency rate adalah sebagai
berikut.
Jumlah kejadian kecelakaan dalam 1 periode
Frequency Rate = ----------------------------- x 100%
Jumlah pekerja (populasi berisiko)
II. Tingkat Keparahan Kecelakaan (Accident Severity Rate), ialah rata-rata
jumlah hari sakit dalam waktu tertentu. Formula perhitungan severity
rate adalah sebagai berikut.
Jumlah hari hilang akibat kecelakaan
Severity Rate = --------------------------------- x 1.000.000
Jumlah hari kerja total + hari lembur
h. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan absenteisme
I. Non Effective Rate, yaitu rata-rata waktu kerja yang hilang, dalam
satuan hari atau jam, dibandingkan dengan waktu kerja total. Formula
perhitungannya seperti berikut.
Hari hilang karena absen sakit
Non Effective Rate = ---------------------------- x 100%
Hari kerja total + hari lembur
II. Frekuensi Rate Absensi Sakit (Sickness Abcence Frequency Rate),
yaitu rata-rata jumlah insidens absensi (surat keterangan sakit) per
orang atau jumlah spell dalam 1 periode dibandingkan dengan jumlah
pekerja. Formula perhitungan frequency rate adalah sebagai berikut.
115 Jumlah spell dalam 1 periode
Frequency Rate = ---------------------------- x 100%
Jumlah pekerja (populasi berisiko)
III. Durasi Absensi Sakit (Severity Rate atau disebut Sickness Abcence
Rate), ialah rata-rata jumlah hari sakit dalam waktu tertentu. Formula
perhitungan severity rate adalah sebagai berikut.
Jumlah hari hilang akibat absensi sakit
Severity Rate = ------------------------------ x 100%
(Jumlah hari kerja total x jumlah pekerja) + hari Lembur
IV. Durasi Spell, merupakan rata-rata jumlah hari absen sakit tiap spell
(surat keterangan sakit). Formula perhitungan durasi spell adalah
sebagai berikut.
Jumlah hari hilang karena absensi sakit
Durasi Spell = --------------------------------- x 100%
Jumlah spell absensi dalam 1 periode
Sumber Data dan Pengumpulan Informasi K3
Data yang dibutuhkan untuk pemantauan wilayah setempat di bidang K3,
bisa didapat dari berbagai sumber baik di desa maupun di perusahaan. Data dasar
di ranah publik bisa didapat dari Kantor Desa, atau di Kantor Kabupaten/Kota,
seperti demografi, denah lokasi atau wilayah perusahaan. Sedangkan di
perusahaan formal bisa didapat dari bagian personalia atau Human Resource
Department (HRD). Data tentang kegiantan K3 yang telah dilaksanakan di ranah
publik bisa didapat dari Puskesmas setempat, Dinas Kesehatan atau Dinas
Ketenaga-kerjaan ditingkat Kabupaten/Kota; sedangkan di sector formal bisa
116didapat dari bagian Kesehatan, Keselamatan dan Lingkunga (HSE) atau Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3).
Data demografi tidak terlalu sulit didapat, namun data jumlah dan jenis
perusahaan serta kegiatna dan indikator K3 sering kali tidak ada. Bidan di desa
dapat berkeliling untuk mengenal kegiatan ekonomi yang dominan di desa, sering
kali secara kasat mata dapat diidentifikasi, dengan melakukan suvei cepat dan
mewawancarai beberapa orang di jalan dan diverifikasi dengan tokoh masyarakat
atau pamong di desa. Bila memungkinkan, cara yang terbaik untuk pengumpulan
data adalah menggunakan kuesioner dengan teknik self assessment dan
diverifikasi oleh pewawancara dan/atau surveior, ceklis survei jalan selintas (SJS)
atau dikenal dengan walk through survei,dan observasi.
Tabel 1 Contoh Sumber dan Instrumen Pengumpulan Data
No Data yang dikumpulkan Sumber/Instrumen
1 Demografi pekerja F - Data dari HRD
- Kuesioner
I- Data dari Desa
- Kuesioner
2 Data faktor risiko di tempat
kerja
F - Data dari HSE/ P2K3
- Kuesioner dan SJS
I
- Data dari Puskesmas/Desa
- Kuesioner dan SJS
3 Data keluhan gangguan
kesehatan dan pola penyakit F
- Data rekam medik, medikal cek
up
- Klim asuransi
- Kuesioner dan SJS
I- Data Puskesmas
- Kuesioner dan SJS
1174 Data kecelakaan
F- Data HSE/ P2K3
- Klim asuransi
- Kuesioner dan SJS
I- Data Puskesmas
- Kuesioner dan SJS
5 Gambaran kebijakan dan
program K3F
- Kuesioner, bukti fisik
dariHSE/P2K3
I - Puskesmas, Dinkes / Disnaker
6 Gambaran kebijakan dan
program K3 di Puskesmas,
Dinkes/ Disnaker
Bukti fisik dan wawancara
7 Pelaksanaan K3 F
I
Kuesioner, wawancara, bukti fisik
dan observasi
Pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data K3
Data frekuensi distribusi, disajikan dalam bentuk tabulasi dan diagram
(Gambar 3.1, Tabel 3.2). Analisis tingkat asosiasi atau hubungan antara tingkat
pajanan atau tingkat risiko (yang bersifat multifaktor) sebagai variabel
independen, dan tingkat kekerapan kecelakaan atau tingkat keparahan absensi dan
indikator output lainnya sebagai variabel dependen, dilakukan dengan
menggunakan kaidah epidemiologi.
Data disajikan dalam bentuk yang komunikatif, ternyata rangkuman
eksekutif dan one sheet diagram yang komunikatif sangat disenangi karena
memacu orang berpikir holistik dan komprehensif; namun perlu dilampirkan
dengan narasi yang komprehensif dan komunikatif pula. Diperlukan keterampilan
komunikasi efektif baik lisan maupun tulisan dalam menyampaikan informasi
yang didapat dari hasil surveilans.
118Tabel 2. Distribusi Karakteristik Demografi Responden di Desa X 2009
berdasarkan Sektor Formal dan Informal.
Umur
Sektor Umur
<15
tahun
15-24
tahun
25-34
tahun
35-44
tahun
45-54
tahun
55-64
tahun
>=65
tahun
formal
(211) N 0 19 77 67 42 6 0
% 0% 9% 36% 32% 20% 3% 0%
informal
(96) N 1 29 28 19 7 8 4
% 1% 30% 29% 20% 7% 8% 4%
Tabel 3 Gambaran faktor risiko di Puskesmas berdasarkan hasil SJS
Urutan Faktor Risiko di Tempat Kerja Populasi Berisiko
1 Ergonomi 26 %
2 Biologi 20 %
3 Kimia 12 %
4 Stres kerja 25 %
5 Lain-lain 11 %
6 Bising dan Panas 6 %
Sumber Pembelajaran, Metode, dan Media
1. Sumber Pembelajaran
a. Buku referensi
b. Modul Komunikasi Efektif
c. Internet
2. Metoda Pembelajaran:
a. Kuliah
b. Tanya Jawab
c. Diskusi Kelompok,
d. Main peran
119e. Praktik Lapangan
f. Tugas Kelompok
g. Latihan Kasus
3. Media Pembelajaran:
a. Flip chart
b. Flash card
c. Komputer-LCD,
d. Sarana bermain peran
BAB IX
120Physical and Chemical Hazard of Enviroment
OLEH CHRYSIANE FLORENSIA SILETTY, HARI PRANINDYO, HARTANTI, DAN RIA AZHARIAH
Pengertian Bahaya Fisik
Potensi bahaya fisik, yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan
gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya:
terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu ekstrim (panas & dingin),
intensitas penerangan kurang memadai, getaran, radiasi.
a. Radiasi
Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang
dalam bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik/cahaya
(foton) dari sumber radiasi. Ada beberapa sumber radiasi yang kita
kenal di sekitar kehidupan kita, contohnya adalah televisi, lampu
penerangan, alat pemanas makanan (microwave oven), komputer, dan
lain-lain
b. Kebisingan
Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki
ataupun yang merusak kesehatan, saat ini kebisingan merupakan
salah satu penyebab penyakit lingkungan (Slamet, 2006). Sedangkan
kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara
yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau
aktifitas- aktifitas alam (Schilling, 1981). Kebisingan dapat diartikan
sebagai segala bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat memberi
pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang
maupun suatu populasi.Aspek yang berkaitan dengan kebisingan
antara lain : jumlah energi bunyi, distribusi frekuensi, dan lama
pajanan.
c. Penerangan/Pencahayaan (Illuminasi)
121Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja akan
menambah beban kerja karena mengganggu pelaksanaan pekerjaan
tetapi juga menimbulkan kesan kotor. Oleh karena itu penerangan
dalam lingkungan kerja harus cukup untuk menimbulkan kesan yang
higienis. Disamping itu cahaya yang cukup akan memungkinkan
pekerja dapat melihat objek yang dikerjakan dengan jelas dan
menghindarkan dari kesalahan kerja. Berkaitan dengan pencahayaan
dalam hubungannya dengan penglihatan orang didalam suatu
lingkungan kerja maka faktor besar-kecilnya objek atau umur pekerja
juga mempengaruhi. Pekerja di suatu pabrik arloji misalnya objek
yang dikerjakan sangat kecil maka intensitas penerangan relatif harus
lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas penerangan di pabrik
mobil. Demikian juga umur pekerja dimana makin tua umur
seseorang, daya penglihatannya semakin berkurang. Orang yang
sudah tua dalam menangkap objek yang dikerjakan memerlukan
penerangan yang lebih tinggi daripada orang yang lebih muda.
Akibat dari kurangnya penerangan di lingkungan kerja akan
menyebabkan kelelahan fisik dan mental bagi para karyawan atau
pekerjanya. Gejala kelelahan fisik dan mental ini antara lain sakit
kepala (pusing-pusing), menurunnya kemampuan intelektual,
menurunnya konsentrasi dan kecepatan berpikir. Disamping itu
kurangnya penerangan memaksa pekerja untuk mendekatkan
matanya ke objek guna memperbesar ukuran benda. Hal ini
akomodasi mata lebih dipaksa dan mungkin akan terjadi penglihatan
rangkap atau kabur.
d. Getaran
Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising
seperti: frekuensi, amplitudo, lama pajanan dan apakah sifat getaran
terus menerus atau intermitten.
122Metode kerja dan ketrampilan memegang peranan penting dalam
memberikan efek yang berbahaya. Pekerjaan manual menggunakan “powered
tool” berasosiasi dengan gejala gangguan peredaran darah yang dikenal
sebagai ”Raynaud’s phenomenon” atau ”vibration-induced white fingers
(VWF)”.
Peralatan yang menimbulkan getaran juga dapat memberi efek negatif
pada sistem saraf dan sistem musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan
cengkram dan sakit tulang belakang. Contoh : Loaders, forklift truck,
pneumatic tools, chain saws.
Efek getaran terhadap tubuh tergantung besar kecilnya frekuensi yang
mengenai tubuh:
1. 3 . 9 Hz
Akan timbul resonansi pada dada dan perut.
2. 6 . 10 Hz
engan intensitas 0,6 gram, tekanan darah, denyut jantung, pemakaian O2
dan volume perdenyut sedikit berubah. Pada intensitas 1,2 gram terlihat
banyak perubahan sistem peredaran darah.
3. 10 Hz
Leher, kepala, pinggul, kesatuan otot dan tulang akan beresonansi.
4. 13 . 15 Hz
Tenggorokan akan mengalami resonansi.
5. < 20 Hz
Tonus otot akan meningkat, akibat kontraksi statis ini otot menjadi lemah,
rasa tidak enak dan kurang ada perhatian.
Macam–Macam Bahaya Fisik
1. Kebisingan
Bunyi adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan
sehari-hari, termasuk di tempat kerja.Bahkan bunyi yang kita tangkap
melalui telinga kita merupakan bagian dari kerja misalnya bunyi telepon,
bunyi mesin ketik / komputer, mesin cetak, dan sebagainya.Namun sering
123bunyi-bunyi tersebut meskipun merupakan bagian dari kerja kita tetapi
tidak kita inginkan, misalnya teriakan orang, bunyi mesin diesel yang
melebihi ambang batas pendengaran, dan sebagainya.Bunyi yang tidak
kita inginkan atau kehendaki inilah yang sering disebut bising atau
kebisingan.Kebisingan dapat diartikan sebagai segala bunyi yang tidak
dikehendaki yang dapat memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan dan
kesejahteraan seseorang maupun suatu populasi.Kualitas bunyi ditentukan
oleh 2 hal yakni frekuensi dan intensitasnya.Frekuensi dinyatakan dalam
jumlah getaran per detik yang disebut hertz (Hz), yaitu jumlah gelombang-
gelombang yang sampai di telinga setiap detiknya.Biasanya suatu
kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang dari berbagai
macam frekuensi. Sedangkan intensitas atau arus energi per satuan luas
biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmis yang disebut desibel (dB).
Selanjutnya dengan ukuran intensitas bunyi atau desibel ini dapat
ditentukan apakah bunyi itu bising atau tidak.Dari ukuran-ukuran ini dapat
diklasifikasikan seberapa jauh bunyi-bunyi di sekitar kita dapat diterima/
dikehendaki atau tidak dikehendaki/bising.
Skala Intensitas Kebisingan/Skala Intensitas Desibel Batas Dengar
Tertinggi
No. SumberSkala DB Batas
Dengar Tertinggi
1. Halilintar 120 DB
2. Meriam 110 DB
3. Mesin Uap 100 DB
4. Jalan yang ramai 90 DB
5. Pluit 80 DB
6. Kantor Gaduh 70 DB
7. Radio 60 DB
8. Rumah Gaduh 50 DB
9. Kantor pada umumnya 40 DB
10. Rumah Tenang 30 DB
12411. Kantor perorangan 20 DB
12.Sangat tenang , Suara daun jatuh,
Tetesan air 10 DB
Aspek yang berkaitan dengan kebisingan antara lain : jumlah energi bunyi,
distribusi frekuensi,dan lama pajanan. Kebisingan dapat menghasilkan
efek akut seperti masalah komunikasi, turunnya konsentrasi, yang pada
akhirnya mengganggu job performance tenaga kerja.Pajanan kebisingan
yang tinggi (biasanya >85 dBA) pada jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan tuli yang bersifat sementara maupun kronis. Tuli permanen
adalah penyakit akibat kerja yang paling banyak di klaim .Contoh :
Pengolahan kayu, tekstil, metal, dll. Kebisingan mempengaruhi kesehatan
antara lain dapat menyebabkan kerusakan pada indera pendengaran sampai
kepada ketulian. Dari hasil penelitian diperoleh bukti bahwa intensitas
bunyi yang dikategorikan bising dan yang mempengaruhi kesehatan
(pendengaran) adalah diatas 60 dB. Oleh sebab itu, para karyawan yang
bekerja di pabrik dengan intensitas bunyi mesin diatas 60 dB maka harus
dilengkapi dengan alat pelindung (penyumbat) telinga guna mencegah
gangguan pendengaran.Disamping itu kebisingan juga dapat mengganggu
komunikasi. Dengan suasana yang bising memaksa pekerja berteriak
didalam berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau
pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi (miss
communication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Oleh karena
sudah biasa berbicara keras di lingkungan kerja sebagai akibat lingkungan
kerja yang bising ini maka kadang-kadang di tengah-tengah keluarga juga
terbiasa berbicara keras. Bisa jadi timbul salah persepsi di kalangan
keluarga karena dipersepsikan sebagai sikap marah.Lebih jauh kebisingan
yang terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi pekerja
yang akibatnya pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya
menurunkan produktivitas kerja. Kebisingan terutama yang berasal dari
alat-alat bantu kerja atau mesin dapat dikendalikan antara lain dengan
menempatkan peredam pada sumber getaran atau memodifikasi mesin
125untuk mengurangi bising. Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga
dapat mengurangi kebisingan sekitar 20-25 dB. Tetapi penggunaan
penutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi oleh pekerja karena
terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu penyuluhan
terhadap mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi
kesehatannya dan akhirnya mau memakainya.
2. Getaran
Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising seperti:
frekuensi, amplitudo, lama pajanan dan apakah sifat getaran terus menerus
atau intermitten. Metode kerja dan ketrampilan memegang peranan
penting dalam memberikan efek yang berbahaya. Pekerjaan manual
menggunakan “powered tool” berasosiasi dengan gejala gangguan
peredaran darah yang dikenal sebagai ”Raynaud’s phenomenon” atau
”vibration-induced white fingers (VWF)”. Peralatan yang menimbulkan
getaran juga dapat memberi efek negatif pada sistem saraf dan sistem
musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan cengkram dan sakit tulang
belakang.Contoh : Loaders, forklift truck, pneumatic tools, chain saws.
3. Radiasi Non Mengion
Radiasi non mengion antara lain : radiasi ultraviolet, visible radiation,
inframerah, laser, medan elektromagnetik (microwave dan frekuensi
radio).
a. Radiasi infra merah dapat menyebabkan katarak.
b. Laser berkekuatan besar dapat merusak mata dan kulit.
c. Medan elektromagnetik tingkat rendah dapat menyebabkan kanker.
Contoh :
i. Radiasi ultraviolet : pengelasan.
ii. Radiasi Inframerah : furnacesn atau tungku pembakaran
iii. Laser : komunikasi, pembedahan
4. Pencahayaan atau Penerangan (Illuminasi)
Tujuan pencahayaan :
126a. Memberi kenyamanan dan efisiensi dalam melaksanakan pekerjaan
b. Memberi lingkungan kerja yang aman
Efek pencahayaan yang buruk
mata tidak nyaman, mata lelah, sakit kepala, berkurangnya kemampuan
melihat, dan menyebabkan kecelakaan.
Keuntungan pencahayaan yang baik
meningkatkan semangat kerja, produktivitas, mengurangi kesalahan,
meningkatkan housekeeping, kenyamanan lingkungan kerja, mengurangi
kecelakaan kerja.
Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja akan
menambah beban kerja karena mengganggu pelaksanaan pekerjaan tetapi
juga menimbulkan kesan kotor. Oleh karena itu penerangan dalam
lingkungan kerja harus cukup untuk menimbulkan kesan yang higienis.
Disamping itu cahaya yang cukup akan memungkinkan pekerja dapat
melihat objek yang dikerjakan dengan jelas dan menghindarkan dari
kesalahan kerja.
Berkaitan dengan pencahayaan dalam hubungannya dengan
penglihatan orang didalam suatu lingkungan kerja maka faktor besar-
kecilnya objek atau umur pekerja juga mempengaruhi. Pekerja di suatu
pabrik arloji misalnya objek yang dikerjakan sangat kecil maka intensitas
penerangan relatif harus lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas
penerangan di pabrik mobil.Demikian juga umur pekerja dimana makin
tua umur seseorang, daya penglihatannya semakin berkurang. Orang yang
sudah tua dalam menangkap objek yang dikerjakan memerlukan
penerangan yang lebih tinggi daripada orang yang lebih muda. Akibat dari
kurangnya penerangan di lingkungan kerja akan menyebabkan kelelahan
fisik dan mental bagi para karyawan atau pekerjanya. Gejala kelelahan
fisik dan mental ini antara lain sakit kepala (pusing-pusing), menurunnya
kemampuan intelektual, menurunnya konsentrasi dan kecepatan berpikir.
Disamping itu kurangnya penerangan memaksa pekerja untuk
mendekatkan matanya ke objek guna mmeperbesar ukuran benda. Hal ini
127akomodasi mata lebih dipaksa dan mungkin akan terjadi penglihatan
rangkap atau kabur.
Untuk mengurangi kelelahan akibat dari penerangan yang tidak cukup
dikaitkan dengan objek dan umur pekerja ini dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Perbaikan kontras dimana warna objek yang dikerjakan kontras dengan
latar belakang objek tersebut. Misalnya cat tembok di sekeliling tempat
kerja harus berwarna kontras dengan warna objek yang dikerjakan.
2. Meningkatkan penerangan, sebaiknya 2 kali dari penerangan diluar
tempat kerja. Disamping itu di bagian-bagian tempat kerja perlu
ditambah dengan dengan lampu-lampu tersendiri.
3. Pengaturan tenaga kerja dalam shift sesuai dengan umur masing-masing
tenaga kerja. Misalnya tenaga kerja yang sudah berumur diatas 50 tahun
tidak diberikan tugas di malam hari.Disamping akibat-akibat
pencahayaan yang kurang seperti diuraikan diatas, penerangan /
pencahayaan baik kurang maupun cukup kadang-kadang juga
menimbulkan masalah apabila pengaturannya kurang baik yakni silau.
Silau juga menjadi beban tambahan bagi pekerja maka harus dilakukan
pengaturan atau dicegah.
Pencegahan silau dapat dilakukan antara lain :
1. Pemilihan jenis lampu yang tepat misalnya neon. Lampu neon
kurang menyebabkan silau dibandingkan lampu biasa.
2. Menempatkan sumber-sumber cahaya / penerangan sedemikian rupa
sehingga tidak langsung mengenai bidang yang mengkilap.
3. Tidak menempatkan benda-benda yang berbidang mengkilap di
muka jendela yang langsung memasukkan sinar matahari
4. Penggunaan alat-alat pelapis bidang yang tidak mengkilap.
5. Mengusahakan agar tempat-tempat kerja tidak terhalang oleh
bayangan suatu benda. Dalam ruangan kerja sebaiknya tidak terjadi
bayangan-bayangan.
128Penerangan yang silau buruk (kurang maupun silau) di lingkungan
kerja akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Kelelahan mata yang akan berakibat berkurangnya daya dan efisiensi
kerja.
2. Kelemahan mental
3. Kerusakan alat penglihatan (mata).
4. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas maka dalam mendirikan
bangunan tempat kerja (pabrik, kantor, sekolahan, dan sebagainya)
sebaiknya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan antara lain
sebagai berikut :
a. Jarak antara gedung dan abngunan-bangunan lain tidak
mengganggu masuknya cahaya matahari ke tempat kerja.
b. Jendela-jendela dan lubang angin untuk masuknya cahaya matahari
harus cukup, seluruhnya sekurang-kurangnya 1/6 daripada luas
bangunan. Apabila cahaya matahari tidak mencukupi ruangan
tempat kerja, harus diganti dengan penerangan lampu yang cukup.
c. Penerangan tempat kerja tidak menimbulkan suhu ruangan panas
(tidak melebihi 32 derajat celsius).
d. Sumber penerangan tidak boleh menimbulkan silau dan bayang-
bayang yang mengganggu kerja.
e. Sumber cahaya harus menghasilkan daya penerangan yang tetap
dan menyebar serta tidak berkedip-kedip.
5. Bau-Bauan
Yang dimaksud bau-bauan dalam kaitannya dengan kesehatan
kerja Yang dimaksud bau-bauan dalam kaitannya dengan kesehatan kerja
adalah bau-bauan yang tidak enak di lingkungan kerja dan mengganggu
kenyamanan kerja.Selanjutnya bau-bauan ini dapat mengganggu kesehatan
dan produktivitas kerja.Bau-bauan sebenarnya merupakan jenis
pencemaran udara yang tidak hanya mengganggu penciuman tetapi juga
dari segi higiene pada umumnya.
129Cara pengukuran bau-bauan yang dapat mengklasifikasikan derajat
gangguan kesehatan belum ada sehingga pengukurannya masih bersifat
objektif.Hal ini disebabkan karena seseorang yang mencium bau tertentu
dan merasa tidak biasa dengan bau tersebut, apabila sudah lama atau biasa
mencium bau aneh tersebut maka akhirnya menjadi terbiasa dan tidak
mencium bau yang aneh tersebut. Orang yang bekerja di lingkungan yang
berbau bensin atau oli, mula-mula merasakan bau tersebut tetapi lama-
kelamaan tidak akan merasakan bau tersebut meskipun bau tersebut tetap
di lingkungan kerja itu. Hal ini disebut penyesuaian penciuman.Dalam
kaitannya dengan kesehatan kerja atau dalam lingkungan kerja, perlu
dibedakan antara penyesuaian penciuman dan kelelahan
penciuman.Dikatakan penyesuaian penciuman apabila indera penciuman
menjadi kurang peka setelah dirangsang oleh bau-bauan secara terus-
menerus, seperti contoh pekerja tersebut diatas.
Sedangkan kelelahan penciuman adalah apabila seseorang tidak
mampu mencium kadar bau yang normal setelah mencium kadar bau yang
lebih besar. Misalnya orang tidak mencium bau bunga setelah mencium
bau yang kuat dari bangkai binatang.Ketajaman penciuman seseorang
dipengaruhi oleh faktor psikologis sewaktu-waktu, misalnya emosi,
tegangan, ingatan, dan sebagainya. Orang yang sedang mengalami
ketegangan psikologis atau stress, ia tidak dapat mencium bau-bauan yang
aneh, yang dapat dicium oleh orang yang tidak dalam keadaan tegang.
Disamping itu penciuman juga dapat dipengaruhi oleh kelembaban
udara.Pada kelembaban antara 40-70 % tidak mempengaruhi penciuman
tetapi dibawah atau diatas kelembaban itu dapat mempengaruhi
penciuman. Pengendalian bau-bauan di lingkungan kerja dapat dilakukan
antara lain :
1. Pembakaran terhadap sumber bau-bauan misalnya pembakaran butil
alkohol menjadi butarat dan asam butarat.
1302. Proses menutupi yang didasarkan atas kerja antagonistis diantara zat-zat
yang berbau. Kadar zat tersebut saling menetralkan bau masing-masing.
Misalnya bau karet dapat ditutupi atau ditiadakan dengan paraffin.
3. Absorbsi (penyerapan), misalnya penggunaan air dapat menyerap bau-
bauan yang tidak enak.
4. Penambahan bau-bauan kepada udara yang berbau untuk mengubah zat
yang berbau menjadi netral (tidak berbau). Misalnya menggunakan
pengharum ruangan.
Alat pendingin ruangan (air conditioning) disamping untuk menyejukkan ruangan
juga sebagai cara deodorisasi (menghilangkan bau-bauan yang tidak enak) di
tempat kerja.
Pengertian Bahaya Kimia
Potensi bahaya kimia, yaitu potensi bahaya yang berasal dari bahan-bahan
kimiayang digunakan dalam proses produksi. Potensi bahaya ini dapat
memasuki atau mempengaruhi tubuh tenga kerja melalui : inhalation (melalui
pernafasan), ingestion (melalui mulut ke saluran pencernaan), skin contact
(melalui kulit). Terjadinya pengaruh potensi kimia terhadap tubuh tenaga kerja
sangat tergantung dari jenis bahan kimia atau kontaminan, bentuk potensi
bahaya debu, gas, uap. asap; daya racun bahan (toksisitas); cara masuk ke
dalam tubuh. Jalan masuk bahan kimia ke dalam tubuh dapat melalui:
1. Pernapasan (inhalation)
2. kulit (skin absorption)
3. Tertelan (ingestion)
4. Racun dapat menyebabkan efek yang bersifat akut,kronis atau kedua-
duanya.
Macam–Macam Bahaya Kimia
Adapun potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh bahan kimia adalah
131a. Korosi
Bahan kimia yang bersifat korosif menyebabkan kerusakan pada
permukaan tempat dimana terjadi kontak. Kulit, mata dan sistem
pencernaan adalah bagain tubuh yang paling umum terkena.
Contoh : konsentrat asam dan basa , fosfor.
b. Iritasi
Iritasi menyebabkan peradangan pada permukaan di tempat kontak. Iritasi
kulit bisa menyebabkan reaksi seperti eksim atau dermatitis. Iritasi pada
alat-alat pernapasan yang hebat dapat menyebabkan sesak napas,
peradangan dan oedema (bengkak)
Contoh :
1. Kulit : asam, basa, pelarut, minyak .
2. Pernapasan : aldehydes, alkaline dusts, amonia, nitrogen dioxide,
phosgene, chlorine ,bromine, ozone.
c. Reaksi Alergi
Bahan kimia alergen atau sensitizers dapat menyebabkan reaksi alergi
pada kulit atau organ pernapasan.
Contoh :
1. Kulit : colophony (rosin), formaldehyde, logam seperti chromium atau
nickel, epoxy hardeners, turpentine.
2. Pernapasan : isocyanates, fibre-reactive dyes, formaldehyde, nickel.
d. Asfiksiasi
Asfiksian yang sederhana adalah inert gas yang mengencerkan atmosfer
yang ada, misalnya pada kapal, silo, atau tambang bawah tanah.
Konsentrasi oksigen pada udara normal tidak boleh kurang dari 19,5%
volume udara.Asfiksian kimia mencegah transport oksigen dan oksigenasi
normal pada darah atau mencegah oksigenasi normal pada kulit.Contoh :
1. Asfiksian sederhana : methane, ethane, hydrogen, helium.
2. Asfiksian kimia : carbon monoxide, nitrobenzene, hydrogen cyanide,
hidrogen sulphide.
132e. Kanker
Karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas telah
terbukti pada manusia.Kemungkinan karsinogen pada manusia adalah
bahan kimia yang secara jelas sudah terbukti menyebabkan kanker pada
hewan.
Contoh :
1. Terbukti karsinogen pada manusia : benzene (leukaemia); vinylchloride
(liver angiosarcoma); 2-naphthylamine, benzidine (kanker kandung
kemih); asbestos (kanker paru-paru , mesothelioma);
2. Kemungkinan karsinogen pada manusia : formaldehyde, carbon
tetrachloride, dichromates, beryllium.
f. Efek Reproduksi
Bahan-bahan beracun mempengaruhi fungsi reproduksi dan seksual dari
seorang manusia.Perkembangan bahan-bahan racun adalah faktor yang
dapat memberikan pengaruh negatif pada keturunan orang yang terpapar,
sebagai contoh :aborsi spontan.
Contoh : Manganese, carbondisulphide, monomethyl, dan ethyl ethers dari
ethylene glycol, mercury. Organic mercury compounds, carbonmonoxide,
lead, thalidomide, pelarut.
g. Racun Sistemik
Racun sistemik adalah agen-agen yang menyebabkan luka pada organ atau
sistem tubuh.
Contoh :
Otak : pelarut, lead, mercury, manganese
Sistem syaraf peripheral : n-hexane, lead, arsenic, carbon disulphide
Sistem pembentukan darah : benzene, ethylene glycol ethers
Ginjal :cadmium,lead, mercury, chlorinated hydrocarbons
Paru-paru : silica, asbestos, debu batubara (pneumoconiosis)
DAFTAR PUSTAKA
133Abu Zhafran (2011) – diunduh melalui
abuzhafran.blogspot.com/2011/01/diskripsi-sistem- surveilans.html?m1
nurfaizinyunus.blogspot.com/2011/11/surveilans-epidemiologi.html?m=1
www.kesehatanmasyarakat.com/2009/04/surveilans-kesehatan-masyarakat-hal-
hal.html?m=1)
Abu Zafran (2011) Diskripsi Sistem Surveilans diunduh melalui
http://abuzhafran.blogspot.com/2011/01/diskripsi-sistem-surveilans.html
pada 16 September 2013
Analisis Deskriptif Data Surveillans Epidemiologi. Diunduh dari : Fahra (2012)
http://fahrarien.blogspot.com.
Anonim (-) - diunduh melalui http:// hand-out -surveilans-epidemiologi-smt-iv-
20082
Anonim (-) - diunduh melalui
http://dunia-khayalanqyu.blogspot.com/2010/12/kejadian-luar-biasa.html,
pada tanggal 03 November 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui
http://ajenglyandra.blogdetik.com/2013/04/09/surveilans-epidemiologi-dan-
kejadian-luar-biasa/, pada tanggal 03 November 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui
http://pramana-d-t-fkm11.web.unair.ac.id/artikel_detail-71308-Umum-
Kejadian%20Luar%20Biasa%20(KLB).html, pada tanggal 2013.
134 Anonim (-) - diunduh melalui http://www.who.int/tobacco/research/youth/
health_effects /en/index.html . [di akses 28 Des 2012], pada tanggal 30
September 2013.
Anonim (-) American Industrial Hygiene Association, Biological Monitoring
Committee diunduh melalui http://www.aih.org pada 3 Oktober 2013
Anonim (-) - diunduh melalui www.who.org.int/en/
Anonim (-) - diunduh melalui
http://dynastyuzays.blogspot.com/2013/03/pengertian-diseminasi.html
Anonim (-) - diunduh melalui
http://cutlelacassanova.blogspot.com/2013/05/surveilan-epidemiologi.html,
pada tanggal 03 November 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK No. 1116 ttg
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Anonim (-) - diunduh melalui
http://agus34drajat.files.wordpress.com/2011/03/jenis-penyelenggaraan-se
Anonim (-) http://okleqs.wordpress.com/category/identifikasi-bahaya/ pada 3
Oktober 2013
Anonim (-) - diunduh melalui
http://www.who.int/topics/public_health_surveillance/en/
Anonim (-) - diunduh melalui www.cancerhelps.com/ kanker .htm pada tanggal 03
november 2013
135Anonim (-) - diunduh melalui
http://ajenglyandra.blogdetik.com/2013/04/09/surveilans-epidemiologi-dan-
kejadian-luar-biasa/, pada tanggal 03 November 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui http://www.muslimedica.com/2012/11/pengertian-
kejadian-luar-biasa-klb.html pada tanggal 03 NOVEMBER 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui www.wordpress.com, pada tanggal 03 November
2013
Anonim (-) - diunduh melalui www.datakompas.com, pada tanggal 03 November
2013
Anonim (-) - diunduh melalui http://akmal-rsfr.blogspot.com/2013/01/makalah-
kanker-paru.html, pada tanggal 30 September 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui
http://www.news-medical.net/news/20110929/13775/Indonesian.aspx pada
tanggal 30 September 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui http://www.news-medical.net/news, pada tanggal 03
November 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui http://kesmas-unsoed.info/2011/05/makalah-
kanker-gizi-diit.html, pada tanggal 03 November 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui http://www.surveillance.cancer.gov/html, pada
tanggal 03 November 2013.
136Anonim (-) - diunduh melalui
http://helpingpeopleideas.com/publichealth/index.php/2012/10/investigasi-
dan-data-kematian-ibu/ml, pada tanggal 30 September 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/html, di
unduh pada tanggal 30 September 2013.
Anonim (-) - diunduh melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Perinatal/html, pada
tanggal 30 September 2013.
Anonim (2008) IDENTIFIKASI BAHAYA. diunduh melalui – pada 3 Oktober
2013
Anonim (2012) Surveilans Campak diunduh melalui
http://surveilansmaros.wordpress.com/2011/08/09/surveilans-campak/ pada
2 Oktober 2013
Aria Gusti (2011) Manajemen Risiko dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja
diunduh melalui http://ariagusti.wordpress.com/2011/01/07/manajemen-
risiko-dalam-keselamatan-dan-kesehatan-kerja/ pada 3 Oktober 2013
Behrman. Kliegman. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of
Pediatrics). EGC. Jakarta.
Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.
Budiarto,Eko,Dewi Anggraeni.2003.Pengantar Epidemiologi.Jakarta:EGC.
Bung ‘okles (2008) Pengenalan Bahaya di Lingkungan Kerja diunduh melalui
http://okleqs.wordpress.com/2008/05/23/pengenalan-bahaya-di-lingkungan-
kerja/ pada 3 Oktober 2013
137Departemen Kesehatan Republik Indonesia & WHO Indonesia, 2003. diunduh
melalui
http://www.litbang.depkes.go.id/tobaccofree/media/FactSheet/FactInd/
7_konsumsi_prevalensi.pdf. [diakses 29 des 2012], pada tanggal 30
September 2013.
Depkes RI. (2006). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan
Anak (PWS-KIA). Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina
Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Depkes RI, (2006) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit, Direktorat Bina
Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Depkes. (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Bidan Poskesdes dan
Pengembangan Desa Siaga. Depkes. Jakarta.
Depkes RI. (2007) Rumah Tangga Sehat Dengan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat. Pusat Promosi Kesehatan.
Depkes RI. (2003). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.
Diseminasi diunduh dari : http://www.wikiapbn.com/artikel/Diseminasi Referansi
dari : Jennet, P. A., & Premkumar, K. (1996). Technology-based
dissemination. Canadian Journal of Public Health, 87(6), S5-S10.
Ellis Septianessi (2011) Epidemiologi Penyakit Menular di unduh melalui
http://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/campak.html pada 2
Oktober 2013
138Escuderol, H.G., Chen, M.I., Leo, Y.S. Surveillance of Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) in the Postoutbreak Period. Singapore Medical Journal.
2005:165.
Gordis, Leon. Epidemiology. USA: Saunders Company, 1996.
Isolation Techniques for Use in Hospitals, 2d ed., Atas kebaikan Center for
Disease Control, Atlanta, Ga., 1975.
Keputusan menteri kesehatan republik indonesia, nomor 1479/menkes/sk/x/2003
tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit
menular dan penyakit tidak menular terpadu
Khairil Ardhi (-) Surveilans Epidemiologi Campak diunduh melalui
http://id.scribd.com/doc/110152124/Surveilans-Epidemiologi-Campak pada
16 September 2013
Kunoli, Firdaus J.2013.Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular : Untuk
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.Jakarta:CV. Trans Info Media
Kurniawidjaja, L.Meily. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta : UI Press.
2010
Kurniawidjaja LM. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta: UI Press: 2010
Lauwerys, R.R., Hoet, P. Industrial Chemical Exposure Guidelines for Biological
Monitoring 3rd Edition. USA: CRC Press LLC; 2001.
Macam – Macam Sumber Data. Diambil dari : Kepmenkes RI Nomor :
1116/Menkes/SK/VIII/2003.
139Metode Pengumpulan Data. Diambil dari : Weraman, Pius.2010.Dasar
Surveillans Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Gramata Publishing
Mukono, 2000, Surveilans Epidemiologi, -
NIOSH (2012) Coal Workers' Health Surveillance Program diunduh melalui –
pada 3 Oktober 2013
NIOSH Surveillance, Content source: Centers for Disease Control and Prevention,
2011
Noor, Nur Nasry. 2008. EPIDEMIOLOGI. PT. Rineka Cipta : Jakarta.
Occupational Health Surveillance, Department of Health New York, 2008
Pelczar,Michael J.2005.Dasar-dasar Mikrobiologi.Jakarta:UI-Press.
Pengertian Pengumpulan Data SE, Diunduh dari : Blog Kesmas (2013)
http://www.blogkesmas.com.
Pengolahan data dan kegitan pengolahan data diambil dari : Budiarto
Eko.2001.Biostatistika.Bandung : Penerbit Buku Kedokteran
Pengolahan Data Surveillans Epidemiologi. Diunduh dari : Nurfaizin Yunus
(2011) http://Nurfaizin Yunus blogspot.com.
Prof.DR.Nur Nasry Noor,M.PH. 2008. EPIDEMIOLOGI. PT. Rineka Cipta :
Jakarta.
Pius Weraman.2010. DASAR SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT. PT.
Gramata Publishing : Jakarta.
140Rusli Mustar (2008) Pengaruh Kebisingan Dan Getaran Terhadap Perubahan
Tekanan Darah Masyarakat Yang Tinggal Di Pinggiran Rel Kereta Api
Lingkungan XIV Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun
2008.Managemen Kesehatan Lingkungan Industri.USU. Sumatera Utara.
Simadibrata, M.K., Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam .Ed 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sumber Data Surveillans diunduh dari : Tri Numiningsih (2011) http://
Trihantala.Blogspot.com.
Sutomo,Adi Heru,dkk.2007.Epidemiologi Kebidanan.Yogyakarta:Fitramaya.
Weraman, Pius.2010.Dasar Surveilans Kesehatan Masyarakat.Jakarta:Gramata
Publising
WHO.1997.WHO Recommended Surveillance Standart.Geneva.
WHO.1999.WHO Recommended Surveillance Standards, The united Kingdom of
Great Britain.
WHO.2004.WHO comprehensive assessment of the National Disease surveilans
in Indonesia.Washington DC
Top Related