STUDI PEMBUATAN BERAS ANALOG DARI BERBAGAI
SUMBER KARBOHIDRAT MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI HOT EXTRUSION
SKRIPSI
SUBA SANTIKA WIDARA
F24080046
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
STUDY OF RICE ANALOGUE PRODUCTION FROM VARIOUS
CARBOHYDRATE SOURCES USING HOT EXTRUSION
TECHNOLOGY
Suba Santika Widara and Slamet Budijanto
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural
Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220,
Bogor, West Java, Indonesia
Phone: +62 857 15872196, E-mail: [email protected]
Analog rice is artificial rice product made from non rice and non wheat raw
material by twin screw extruder. The objectives of this research were to formulate
and to characterize rice analog made from a mixture of sorghum, corn, mocaf,
maizena and aren sago. The method of rice analog production is hot extrusion by
twin screw extruder. The research steps were formulation of analog rice, hedonic
rating sensory evaluation to choose best sample, and characterization physico-
chemical of best sample. The best two samples were choosen. They were analog
rice made from sorghum flour 30% maizena 15% and aren sago 15% and analog
rice made from mocaf 30% and maizena 30%. Both of best samples had higher
carbohydrate and dietary fiber content than polished rice.
Keywords: analogue rice, extrusion, polished rice
SUBA SANTIKA WIDARA. F24080046. Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai
Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. Di bawah bimbingan Dr. Ir.
Slamet Budijanto, M. Agr. 2012.
RINGKASAN
Salah satu masalah diversifikasi pangan di Indonesia terutama diversifikasi makanan
pokok adalah ketergantungan masyarakat terhadap beras. Hal tersebut disebabkan oleh pergeseran
pola makanan pokok di Indonesia yang membuat beras sebagai makanan pokok tunggal (Ariani,
2010). Di lain pihak, Indonesia kaya akan produk sumber karbohidrat lain seperti jagung,
singkong, sorgum, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Bahan-bahan tersebut sudah digunakan
sebagai bahan pangan, namun masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok.
Kendala dalam mengonsumsi bahan tersebut sebagai bahan makanan pokok disebabkan
tidak tersedinya dalam bentuk bahan yang mudah diolah, kurangnya pengetahuan gizi masyarakat,
kurangnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti makanan pokok dan kurangya
ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat. Masyarakat merasa bosan dengan
cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga lebih memilih produk berbasis
gandum sebagai pengganti beras (Hidayah, 2011). Untuk meningkatkan konsumsi bahan-bahan
tersebut sebagai makanan pokok, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah mengolah bahan-
bahan tersebut menjadi produk yang dapat dikonsumsi seperti beras.
Salah satu produk olahan sumber karbohidrat non padi mirip beras yang dikembangkan
akhir-akhir ini adalah beras tiruan atau beras analog. Beras tiruan adalah produk pangan berbentuk
seperti beras dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang dapat terbuat dari
tepung-tepungan lokal maupun beras (Samad, 2003; Deptan, 2011). Beras analog merupakan beras
tiruan yang hanya terbuat dari tepung-tepungan selain beras (Budijanto dkk., 2011). Beras analog
dapat meningkatkan diversifikasi makanan pokok tanpa mengubah kebiasaan makan masyarakat.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi kandungan
gizi beras analog terbuat dari campuran tepung sorgum, mocaf, jagung, maizena dan sagu aren.
Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu (1) penelitian pendahuluan, (2) penelitian
utama pembuatan beras analog, dan (3) karakterisasi beras analog. Penelitian pendahuluan yang
dilakukan meliputi penentuan perbandingan jumlah tepung dan pati, penentuan jumlah air yang
ditambahkan, dan penentuan jumlah GMS yang ditambahkan. Penelitian utama meliputi
pembuatan beras analog, uji rating hedonik beras dan nasi beras analog untuk menentukan formula
terbaik, dan tahap terakhir adalah karakterisasi (uji kimia dan fisik) beras analog formula terbaik.
Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa perbandingan jumlah pati dan tepung
pada pembuatan beras tiruan adalah 30% pati dan 70% tepung. Pada penelitian pendahuluan juga
diketahui bahwa tidak dapat digunakan satu jenis tepung, sehingga digunakan dua jenis tepung
pada tiap formulasi yaitu tepung jagung dan tepung substitusi (sorgum dan mocaf) dengan
perbandingan 4:3. Hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan jumlah air optimum adalah
50% dan jumlah GMS optimum adalah 2% dari jumlah total bahan (tepung + pati).
Penelitian utama dilakukan meliputi pembuatan dan uji sensori beras analog. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan
membandingkan dua faktor yaitu jenis tepung substitusi dan jenis pati. Jenis tepung subtitusi yang
digunakan adalah tepung sorgum dan tepung mocaf. Jenis pati yang digunakan adalah pati (sagu)
aren, pati jagung (maizena) dan campuran keduanya. Kombinasi dari dua faktor tersebut
menghasilkan enam formula. Keenam formula yang telah dibuat kemudian diuji sensori dalam
bentuk beras dan dalam bentuk nasi. Uji yang dilakukan adala uji rating hedonik menggunakan
skala garis oleh 70 panelis tidak terlatih.
Berdasarkan uji rating hedonik, sampel yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi
adalah beras formula B dan formula F. Formula B terdiri dari tepung jagung 40%, tepung sorgum
30%, maizena 15%, pati sagu aren 15% dan GMS 2%. Formula F terdiri dari tepung jagung 40%,
mocaf 30%, maizena 30% dan GMS 2%. Formula terbaik dianalisis lebih lanjut sifat kimia dan
sifat fisiknya. Sifat kimia meliputi kandungan gizi (analisis proksimat dan serat pangan), kadar
pati dan amilosa. Sifat fisik meliputi warna, bobot 1000 butir dan densitas kamba.
Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula B mengandung 10.58% kadar air
(bk), 0.52% kadar abu (bk), 6.95% kadar protein (bk), 1.12% kadar lemak(bk), 91.60% kadar
karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras B adalah 4.00%. Kadar pati beras
formula B adalah 64.48% dan kadar amilosanya adalah 21.72%. Hasil uji proksimat menunjukkan
bahwa beras formula F mengandung 11.37% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 3.96% kadar
protein (bk), 0.86% kadar lemak(bk), 94.70% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat
pangan beras F adalah 4.21%. Kadar pati beras formula F adalah 65.10% dan kadar amilosanya
adalah 14.49%.
Hasil analisis warna beras analog mengugunakan alat Chromameter menunjukkan bahwa
beras formula B memiliki warna dengan nilai L 60.08, a + 3.88 dan b +23.67 sehingga warna beras
B berada pada kisaran warna kuning-merah. Beras formula F memiliki warna dengan nilai L
60.82, a + 5.05 dan b +25.93 sehingga warna beras F juga berada pada kisaran warna kuning-
merah. Hasil analisis bobot 1000 butir beras formula adalah 18.84 g sedangkan beras F adalah
15.94 g. Hasil analisis densitas kamba beras B adalah 0.63 g/ml sedangkan beras F 0.58g/ml.
STUDI PEMBUATAN BERAS ANALOG DARI BERBAGAI
SUMBER KARBOHIDRAT MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI HOT EXTRUSION
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TENOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SUBA SANTIKA WIDARA
F24080046
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat
Menggunakan Teknologi Hot Extrusion
Nama : Suba Santika Widara
NIM : F24080046
Tanggal lulus :
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
(Dr. Ir. Slamet Budijanto, M. Agr)
NIP. 19610502.198603.1.002
Mengetahui,
Ketua Departemen,
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc
NIP. 19680526. 199303. 1. 004
PERSYARATAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Studi Pembuatan Beras
Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion adalah
hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk
apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Yang membuat pernyataan
Suba Santika Widara
F24080046
© Hak cipta milik Suba Santika Widara, Tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin dari Institut Pertanian Bogor,
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm,
dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Nopember 1990 dari pasangan
Adang Bachtiar dan Susi Yanti. Penulis mempunyai seorang adik bernama
Siti Sekar Arum. Penulis mengenyam pendidikan di SDN Sirnagalih 5
(1996-2002), SMP Negeri 7 Bogor (2002-2005), SMA Negeri 3 Bogor
(2005-2008) dan pendidikan S1 di Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis juga aktif dalam berbagai
kegiatan kemahasiswaan di bidang keorganisasian maupun keilmuan.
Penulis pernah menjadi ibu RT di asrama TPB Rusunawa sekaligus
menjadi staf kominfo BEM TPB Pejuang 45 sebagai wakil pemimpin
redaksi buletin bulanan mahasiswa TPB. Penulis juga pernah menjadi sekretaris di Departeman
Agritek BEM Fakultas Teknologi Pertanian Merah Saga dan Departemen Halal Center Forum
Bina Islami Fateta.
Penulis juga pernah meraih beberapa penghargaan pada beberapa event yaitu menjadi finalis pada
Lomba Matematika yang diselenggarakan oleh Gumatika pada tahun 2009, menjadi penerima dana
penelitian pada Program Kreativitas Mahasiswa yang diselenggarakan oleh DIKTI pada tahun
2010 dengan judul penelitian “Pangan Darurat Berbasiskan Tepung Singkong, Tepung Talas Dan
Tepung Kacang Hijau Dengan Teknologi Intermediate Moisture Food” pada tahun 2010, dan
menjadi juara ke-4 lomba karya ilmiah INDEX pada tahun 2011.
Penelitian penulis dengan judul “Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber
Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion” telah mendapatkan berbagai apresiasi baik
dari media massa elektronik dan cetak maupun dari berbagai tokoh seperti Bapak Dahlan Iskan
(Menteri BUMN), Bapak Herry Suhardianto (Rektor IPB) dan khususnya Bapak Sam Herodian
(Dekan Fakultas Teknologi Pertanian).
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhana Wa Ta‟ala atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam juga semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad Salallahu „Alaihi Wassalam atas bimbingan dan teladan
yang telah diberikan. Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai
syarat mendapatkan gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor, berjudul “Studi Pembuatan Beras
Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion” yang telah
dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan sejak bulan
September 2011 hingga Mei 2012. Dengan selesainya kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi
ini, penulis ingin mengungkapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Adang Bachtiar, Ibu Susi Yanti yang telah merawat,
mengorbankan berbagai hal, memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tiada
henti hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang sarjana ini. Terima kasih
juga kepada adik penulis Siti Sekar Arum yang selalu jujur terhadap penulis dan menjadi
motivasi penulis untuk selalu menjadi yang terbaik.
2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr sebagai dosen pembimbing skripsi dan pembimbing
akademik penulis selama di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang selalu memberikan
bimbingan, kepercayaan, dukungan moril dan materil selama penulis menjalani perkuliahan
dan penelitian. Terima kasih juga Ibu Nur dan Sekar Athyah Salsabila atas kebaikan yang
diberikan selama berhubungan dengan penulis.
3. Bapak Faleh Setiabudi, ST, MT. dan Ibu Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, M.Sc sebagai dosen
penguji yang telah meluangkan waktu dan pikiran demi perbaikan skripsi ini.
4. Bapak Azis Boing Sitanggang, S.TP dan Ibu Waysima. M.Sc atas bimbingan dan dukungan
yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan dan penelitian.
5. Keluarga besar Abah Sumantri dan Mamah Aan Nurhanah yang tidak pernah berhenti
memberikan kasih sayang, dukungan moril dan materil, doa, kasih sayang sejak penulis masih
kecil.
6. Andri Ferbiyanto yang telah senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, doa dan
semangat sehingga penulis dapat termotivasi untuk selalu melakukan hal terbaik dalam
hidupnya.
7. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan pengajar TPB, segenap
guru penulis sejak duduk di SD Sirnagallih 5, SMP Negeri 7 Bogor, dan SMA Negeri 3 Bogor
yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang tidak ternilai bagi penulis.
8. Yulianti dan Annisa Kharunia sebagai teman satu tim penelitian beras analog atas dukungan,
kerjasama dan doa selama penelitian. Terima kasih juga karena telah membawa penelitian ini
ke ranah media sehingga mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi.
9. Sahabat-sahabat Wisma Kamila, Iin, Eka, Arum, Anik, Yessi, Wulan, Icha, Irma, Nurul, Nola,
Jihan, Dara, Nila, Febi, Atikah, Bangun, Yana, Intan, Vio, Neneng, Dian dan lainnya yang
telah membantu penulis untuk tetap bertahan dan bahagia selama menjalani perkuliahan dan
penelitian. Terimakasih juga atas dukungan, semangat dan doa yang telah diberikan.
10. Sahabat-sahabat ITP 45 Nurul, Priska, Ahmadun, Yufi, dan kelompok praktikum P3Taufiq,
Stefani, Shafiyyah, Tiur, Nisa, Mega, Ka Dede, Virza, Hilda, Fitrina, Denis, Irfan, segenap
ITP 45, 44 dan 46 yang telah menjadi kawan seperjuangan selama di ITP. Terima kasih atas
dukungan, doa dan tantangan untuk selalu melakukan hal yang terbaik.
11. Arum, Tsaqiba, Citra, Farhan, Kania, Dzikri, Ihsan, Rita, Rindu, Anwar, Bu Tini, Rifki,
Chichi, Dini, Desi, Ami, Emen, Prama, Aziz, Eris, Sovi, Nisa,seluruh teman SMA Negeri 3
iv
Bogor, teman BEM TPB Pejuang 45, BEM Fateta Merah Saga, FBI Fateta Simfoni Dakwah
dan teman-teman asrama Rusunawa.
12. Bapak Sam Herodian (Dekan Fateta) dan Bapak Heri Suhardianto (Rektor IPB) yang telah
memberikan apresiasi terhadap penelitian ini.
13. Teima kasih kepada Mbak Vera, Pak Rozak, Bu Rubiah, Pak Wahid, Pak Edi, Kak Aldi, Pak
Sobirin, Mbak Ani, Mbak Darsih, Bu Novi serta segenap teknisi dan staf UPT Departemen
ITP. Terimakasih juga kepada Pak Ujang, Pak Zaenal, Pak Asep dan Pak Hendra, Pak Jun,
Pak Iyas dan Bu Sri atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian di F-Technopark
dan Lab ITP dan Seafast.
14. Bapak Dahlan Iskan dan segenap media cetak dan elektronik yang telah memberikan apresiasi
terhadap penelitian penulis.
15. Segenap pihak yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada penulis selama
perkuliahan dan penelitian.
Semoga skripsi hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan terutama di bidang pangan.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... III
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1
1.2 TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................. 2
1.3 MANFAAT PENELITIAN ............................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................... 4
2.1 DIVERSIFIKASI PANGAN ........................................................................................... 4
2.2 BERAS ANALOG ........................................................................................................... 4
2.3 SORGUM ........................................................................................................................ 5
2.4 MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) ................................................................... 6
2.5 JAGUNG ......................................................................................................................... 7
2.6 MAIZENA (PATI JAGUNG) .......................................................................................... 9
2.7 SAGU AREN (PATI AREN) ......................................................................................... 10
2.8 GLYSEROL MONOSTEARAT ................................................................................... 10
2.9 EKSTRUSI .................................................................................................................... 11
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................ 14
3.1 BAHAN DAN ALAT ................................................................................................... 14
3.2 TAHAPAN PENELITIAN ........................................................................................... 14
3.3 PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG DAN TEPUNG SORGUM ................................ 14
3.4 PEMBUATAN BERAS ANALOG .............................................................................. 14
3.5 RANCANGAN FORMULASI ..................................................................................... 15
3.6 PROSEDUR ANALISIS ............................................................................................... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 22
4.1 PEMBUATAN BERAS ANALOG .............................................................................. 22
4.2 FORMULASI BERAS ANALOG ................................................................................ 22
4.3 PEMASAKAN BERAS ANALOG .............................................................................. 26
4.4 ANALISIS SENSORI BERAS ANALOG ................................................................... 27
4.5 ANALISIS KIMIA BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK ................................. 33
4.6 ANALISIS FISIK BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK ................................... 36
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................. 38
5.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 38
5.2 SARAN ......................................................................................................................... 38
VI. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 39
LAMPIRAN .................................................................................................................................... 43
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Mocaf dan Tepung Singkong ............................................ 7
Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Jagung (SNI 01-3727-1995) .............................................................. 8
Tabel 3. Kandungan Gizi Jagung ...................................................................................................... 9
Tabel 4. Kandungan Gizi Maizena dan Sagu Aren ........................................................................... 9
Tabel 5. Nilai oHUE dan Daerah Kisaran Warna Kromatisitas ....................................................... 20
Tabel 6. Profil Gelatinisasi Bahan Baku Beras Analog .................................................................. 23
Tabel 7. Kandungan Amilosa Bahan Baku Beras Analog .............................................................. 23
Tabel 8. Nilai L*ab Warna Bahan Baku Beras Analog................................................................... 24
Tabel 9. Formula Beras Analog ...................................................................................................... 25
Tabel 10. Kadar Proksimat Formula Terpilih ............................................................................... 34
Tabel 11. Kadar Serat Pangan Beras Analog .................................................................................. 35
Tabel 12. Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Beras Analog ...................................................... 36
Tabel 13. Hasil Analisis Warna Beras Analog ................................................................................ 36
Tabel 14. Hasil Analisis Bobot 1000 butir ...................................................................................... 37
Tabel 15. Hasil Analisis Densitas Kamba Beras Analog ................................................................ 37
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur Gliserol Monostearat ....................................................................................... 11
Gambar 2. Single Screw Extruder ................................................................................................... 12
Gambar 3. Twin Screw Extruder ..................................................................................................... 13
Gambar 4. Zona Proses Ekstrusi ..................................................................................................... 13
Gambar 5. Pembuatan Beras Analog .............................................................................................. 15
Gambar 6. Kompleks Amilosa dengan Lemak (Putseys et al. 2010) .............................................. 25
Gambar 7. Beras Analog ................................................................................................................. 26
Gambar 8. Nasi Beras Analog ......................................................................................................... 26
Gambar 9. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Beras Analog ........................................ 27
Gambar 10. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Beras Analog ..................................... 27
Gambar 11. Perbandingan Bentuk Beras Analog dengan Beras Padi ............................................. 28
Gambar 12. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Beras Analog ...................................... 28
Gambar 13. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Beras Analog ..................................... 29
Gambar 14. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Beras Analog ..................................... 30
Gambar 15, Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Nasi Beras Analog .............................. 30
Gambar 16. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Nasi Beras Analog ............................. 31
Gambar 17. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Nasi Beras Analog.............................. 31
Gambar 18. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Rasa Beras Beras Analog ............................... 32
Gambar 19. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Nasi Beras Analog ............................ 32
Gambar 20. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Nasi Beras Analog ............................. 33
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Analisis Warna Bahan Beras Analog ................................................................ 44
Lampiran 2. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Warna .................................................. 45
Lampiran 3. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Bentuk ................................................. 46
Lampiran 4. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Aroma .................................................. 47
Lampiran 5. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Tekstur ................................................. 48
Lampiran 6. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Overall ................................................. 49
Lampiran 7. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Warna .................................................... 50
Lampiran 8. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Bentuk ................................................... 51
Lampiran 9. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Aroma ................................................... 52
Lampiran 10. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Rasa ..................................................... 53
Lampiran 11. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Tekstur ................................................ 54
Lampiran 12. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Overall ................................................. 55
Lampiran 13. Hasil analisis Kadar air Beras Analog .................................................................... 56
Lampiran 14 Hasil Uji Independent T-test Kadar Air Beras Analog .............................................. 57
Lampiran 15. Hasil Analisis Kadar Abu Beras Analog .................................................................. 58
Lampiran 16. Hasil Uji Independent T-test Kadar Abu Beras Analog .......................................... 59
Lampiran 17. Hasil Analisis Kadar Lemak Beras Analog .............................................................. 60
Lampiran 18. Hasil Uji Independent T-test Kadar Lemak Beras Analog ....................................... 61
Lampiran 19. Hasil Analisis Kadar Protein Beras Analog .............................................................. 62
Lampiran 20. Hasil Uji Independent T-test Kadar Protein Beras Analog ...................................... 63
Lampiran 21. Hasil Analisis Kadar Karboidrat Beras Analog By Difference ................................ 64
Lampiran 22. Hasil Uji Independent T-test Kadar Karbohidrat Beras Analog ............................... 65
Lampiran 23. Hasil Analisis Kadar Serat Pangan Beras Analog .................................................... 66
Lampiran 24. Hasil Uji Independent T-test Kadar Serat Pangan Beras Analog ............................ 67
Lampiran 25. Hasil Analisis Kadar Pati Beras Analog ................................................................... 68
Lampiran 26. Hasil Uji Independent T-test Kadar Pati Beras Analog ........................................... 69
Lampiran 27. Kadar Amilosa Beras Analog ................................................................................... 70
Lampiran 28. Hasil Uji Independent T-test Kadar Amilosa ........................................................... 71
Lampiran 29. Hasil Analisis Warna Beras Analog ......................................................................... 72
Lampiran 30. Bobot 1000 butir beras Analog ................................................................................. 73
Lampiran 31. Densitas Kamba Beras Analog ................................................................................. 74
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Diversifikasi pangan adalah upaya penganekaragaman pola konsumsi pangan masyarakat
dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan
meningkatkan status gizi penduduk (Almatsier 2001). Program diversifikasi pangan meliputi
kegiatan pemanfaatan sumber daya alam hayati yang ada di Indonesia serta upaya promosi kepada
masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang beragam. Masalah utama diversifikasi pangan di
Indonesia terutama diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan masyarakat terhadap
beras.
Ketergantungan terhadap beras menjadi masalah disebabkan oleh tingkat konsumsi beras
yang sangat tinggi namun tidak diimbangi dengan peningkatan produksi padi. Meskipun
masyarakat di beberapa daerah di Indonesia masih ada yang mengonsumsi jagung atau sagu,
konsumsi rata-rata beras masyarakat Indonesia masih mencapai angka 120.02 kg per kapita per
tahun pada tahun 2007 (Muttaqin dan Martianto 2009). Tingginya tingkat konsumsi di Indonesia
selain disebabkan oleh jumlah penduduk yang terus meningkat juga disebabkan oleh pola
konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut disebabkan
oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari
status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika
jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Tarigan 2003).
Di lain pihak Indonesia kaya akan produk sumber karbohidrat lain seperti jagung,
singkong, sorgum, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Bahan-bahan tersebut sudah digunakan
sebagai bahan pangan, namun masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok.
Biasanya bahan tersebut lebih sering diolah menjadi penganan, kue atau jajanan pasar. Kendala
dalam mengonsumsi bahan tersebut sebagai bahan makanan pokok disebabkan kurangnya
pengetahuan gizi masyarakat, kurangnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti
makanan pokok dan kurangya ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat.
Masyarakat merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga
lebih memilih produk berbasis gandum sebagai pengganti beras (Hidayah 2011). Oleh karena itu,
diperlukan teknologi untuk mengolah bahan-bahan tersebut menjadi bentuk yang menyerupai
beras yang dapat diolah dan dikonsumsi seperti nasi.
Salah satu produk olahan sumber karbohidrat non padi yang dikembangkan akhir-akhir
ini adalah beras tiruan dan beras analog. Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari non padi
dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang terbuat dari tepung lokal atau
tepung beras (Samad 2003; Deptan 2011). Beras analog adalah beras tiruan yang hanya terbuat
dari tepung lokal non-beras (Budijanto et al. 2011). Hingga saat ini teknologi pembuatan beras
analog antara lain metode pembutiran atau granulasi (Yoshida et al. 1971; Kurachi 1995; Samad
2003) dan metode ekstrusi (Scella et al. 1987; Bett-Gaber et al. 2004; Moretti et al. 2005; Mishra
et al. 2012). Perbedaan metode tersebut menyebabkan perbedaan bentuk akhir produk. Pada
pembuatan beras analog menggunakan metode pembutiran beras akan memiliki bentuk bulat
seperti sagu mutiara, namun pada metode ekstrusi bentuk produk adalah lonjong dan hampir
menyerupai butir beras. Kelebihan lain penggunaan teknologi ekstrusi adalah kapasitas produksi
alat ekstruder yang tinggi sehingga dapat memperoduksi produk secara masal.
Pemanfaatan sumber karbohidrat non padi seperti jagung, sorgum, mocaf, dan sagu
sebagai alternatif makanan pokok memerlukan teknologi yang sesuai dan memiliki kapasitas
produksi yang tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pembuatan beras analog
2
berbahan dasar jagung, sorgum, mocaf, sagu dan maizena menggunakan teknologi ekstrusi.
Produk beras analog ini juga diharapkan dapat menjadi produk yang diterima oleh konsumen dan
dapat membantu upaya diversifikasi makanan pokok di Indonesia.
1.2 TUJUAN
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi beras analog terbaik
dengan menggunakan ekstruder ulir ganda yang dapat diterima konsumen secara sensori. Secara
spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kandungan gizi beras analog
formula terbaik.
1.3 MANFAAT
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pembuatan beras
analog yang berbasis bahan pangan lokal yang dapat menjadi alternatif makanan pokok dan
meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIVERSIFIKASI PANGAN
Diversifikasi konsumsi pangan menurut Peraturan Pemerintah RI No 68 Tahun 2002
Tentang Ketahanan Pangan Pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka
ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (BBKP 2002). Hasil penelitian Martianto et al. (2009)
mengenai percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal menunjukkan bahwa perspektif
diversifikasi pangan terdiri dari diversifikasi semua jenis pangan dan diversifikasi pangan pokok.
Salah satu kendala pada diversifikasi pangan adalah tingginya konsumsi beras.
Berdasarkan data BPS (2009), konsumsi pangan di Indonesia belum memenuhi pola pangan
harapan karena konsumsi beras masih sebesar 64.1% dibandingkan dengan anjuran konsumsi
beras yaitu 50% dari total asupan konsumsi. Tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia selain
pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut
disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras
termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau
tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Tarigan 2003).
Upaya penerapan diversifikasi pangan pokok di Indonesia berfokus pada pengurangan
konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi sumber karbohidrat lokal seperti jagung, sagu,
sorgum dan umbi-umbian. Salah satu contoh nyata program pemerintah yang saat ini dilaksanakan
adalah program “One Day No Rice” (Satu Hari Tanpa Nasi) di kota Depok. Namun, masih
terdapat kendala dalam program tersebut. Kendala yang ditemui adalah masyarakat masih belum
terbiasa mengonsumsi makanan tersebut bersama lauk karena makanan tersebut biasa dimakan
sebagai kudapan saja. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut diperlukan untuk menarik minat
masyarakat terhadap makanan tersebut dengan mengolahnya menjadi makanan yang dapat
diterima masyarakat. Salah satu upaya yang dapat menjadi solusi masalah tersebut adalah
pengoptimalan pengembangan teknologi pangan.
Adanya perkembangan teknologi pangan dapat membantu upaya diversifikasi dengan cara
mengolah bahan-bahan sumber karbohidrat menjadi produk yang diterima masyarakat. Salah satu
bentuk olahan dari bahan tersebut adalah beras analog. Karakteristik beras analog ini diharapkan
dapat lebih diterima masyarakat karena memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras sehingga
masyarakat tidak perlu mengubah pola makannya karena cara konsumsi beras analog sama seperti
beras yang berasal dari padi.
2.2 BERAS ANALOG
Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog adalah
beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras
dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal atau padi (Samad
2003; Deptan 2011). Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi
dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap
pencetakkan. Hasil cetakan metode granulasi adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode
ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras.
Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan metode
granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air, dan hidrokoloid sebagai bahan pengikat.
Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80oC sehingga sebagian adonan telah mengalami
gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian
dikukus (gelatinisasi) dan dikeringkan.
5
Metode pembuatan beras analog oleh Budijanto et al. (2011) dengan cara ekstrusi memiliki
sedikit perbedaan dengan metode granulasi yaitu adanya tahap penyangraian dan ekstrusi. Tahap
penyangraian bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian adonan (semigelatinisasi) atau
pengondisian (conditioning) adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi meliputi proses
pencampuran, pemanasan (gelatinisasi) dan pencetakan melalui die. Tahap berikutnya adalah
ekstrudat dikeringkan menggunakan oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam.
Teknologi pembuatan beras analog menggunakan metode ekstrusi juga dilakukan oleh
Mishra et al. (2012). Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pembentukkan
adonan, pengondisian adonan (pre-conditioning), ekstrusi dan pengeringan. Bahan yang digunakan
antara lain tepung beras, air, bahan pengikat (sodium alginate), setting agent (kalsium laktat dan
kalsium klorida), fotificants (multivitamin), antioksidan dan pewarna (titanium). Tujuan dari tahap
pre-conditioning adalah untuk mencampur dan mengadon air atau uap dengan bahan-bahan yang
telah mengalami pemanasan sebelumnya.
2.3 SORGUM
Sorgum (Sorgum bicolor L) merupakan salah satu tanaman serealia yang termasuk dalam
famili Graminae. Tanaman sorgum memiliki daya adaptasi yang tinggi karena dapat tahan
terhadap kekeringan, genangan air, masih dapat berproduksi pada lahan marginal dan relatif tahan
terhadap gangguan hama atau penyakit. Daerah penghasil sorgum di Indonesia adalah Jawa
Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon
Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolonggo) dan sebagian Nusa Tenggara
Timur (Sirappa 2003).
Tanaman sorgum dapat dimanfaatkan menjadi pangan, pakan dan bahan baku industri.
Bagian tanaman sorgum yang digunakan sebagai pangan adalah biji sorgum. Bagian daunnya
dapat digunakan sebagai pakan ternak dan batangnya dapat menghasilkan nira yang dapat diolah
menjadi bioetanol. Banyaknya manfaat yang dihasilkan tanaman sorgum dan kemampuan adaptasi
yang tinggi membuat tanaman sorgum memiliki nilai potensi yang tinggi untuk dikembangan.
Biji sorgum mengandung karbohidrat sebesar 80.42%, protein 10.11%, lemak 3.65%, serat
2.74% dan abu 2.24% (Suarni 2001). Dengan kandungan karbohidrat yang tinggi, sorgum juga
digunakan sebagai bahan makanan pokok alternatif maupun sebagai tepung substitusi beberapa
produk makanan. Sorgum juga mengandung protein glutenin dan gliadin tetapi protein sorgum
kurang dapat membentuk gluten jika dibandingkan protein tepung terigu (Suarnib 2004).
Salah satu kendala dalam pengolahan biji sorgum menjadi bahan makanan adalah
kandungan taninnya yang tinggi yaitu sekitar 3.67-10.66% (Suarni dan Singgih 2002). Tanin dapat
membuat rasa biji sorgum menjadi pahit. Kandungan tanin pada sorgum juga memberikan efek
warna gelap pada produk sehingga dibutuhkan upaya pengurangan kadar tanin dengan
penyosohan. Penyosohan sorgum dapat mengurangi kadar tanin hingga 75% (Suarnia 2004).
Produk berbasis sorgum yang asam warna gelap tanin memudar menjadi abu atau putih. Di
Namibia sorgum diolah menjadi bubur yang asam sehingga warna bubur menjadi lebih putih agar
lebih disukai.
Meskipun menimbulkan rasa pahit, tanin memberikan manfaat bagi tubuh karena dapat
bersifat sebagai antioksidan dan antikanker terutama kanker kolon. Sorgum dengan kadar tanin
yang tinggi lebih disukai di Afrika karena memberikan efek kenyang yang lama sehingga baik
bagi penderita diabetes (Dykes dan Rooney 2006). Namun, pada produk beras analog ini sorgum
yang digunakan adalah sorgum yang disosoh karena tidak dilakukan pengurangan tanin dan
produk juga tidak bersifat asam sehingga diharapkan tidak ada rasa pahit pada produk.
6
Sorgum dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Produk dari biji utuh adalah beras
sorgum dan beras sorgum instan. Biji utuh juga dapat digunakan sebagai pengganti barley dalam
pembuatan bir (Dykes dan Rooney 2006). Biji sorgum juga dapat digunakan sebagai bahan baku
industri gula, monosodium glutamate (MSG), asam amino dan industri minuman (Sirappa 2003).
Produk antara biji sorgum yang dapat diolah lebih lanjut adalah tepung sorgum. cara
pembuatan antara lain penyosohan (alternatif), perendaman dalam air, penirisan, penggilingan, dan
pengeringan tepung sorgum. Sorgum yang diolah menjadi tepung sorgum dapat diolah menjadi
berbagai produk. Tepung sorgum dapat diolah menjadi bahan baku snack ekstrusi, mi, maupun
sebagai tepung substirtusi pada berbagai produk seperti roti, cookies, pop sorgum, bubur, mie dan
snack ekstrusi (Sirappa 2003). Pembuatan cookies menggunakan tepung sorgum masih diperlukan
penambahan maizena untuk mengurangi rasa sepat dan sebagai bahan perekat (Suarnib 2004).
Sorgum juga memiliki sifat fungsional seperti antioksidan dan berpotensi sebagai anti-
kanker. Hasil penelitian Awika et al. (2009) menunjukkan bahwa sorgum mengandung kadar
antioksidan yang bervariasi tergantung varietasnya. Varietas yang memiliki kadar tanin paling
tinggi memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi. Varietas yang memiliki kadar tanin rendah
(white shorgum) memiliki aktivitas induksi enzim fase II yang menunjukkan aktivitas anti-kanker
(chemoprevention) yang tinggi terutama pada kanker kolon.
2.4 MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR)
Mocaf atau mocal adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung
singkong yang telah mengalami modifikasi. Singkong (Manihot utilisma) termasuk ke dalam
umbi-umbian yang berpotensi menjadi sumber karbohidrat alternatif. Mocaf dapat digolongkan
sebagai produk edible cassava flour berdasarkan Codex Standard, Codex Stan 176-1989 (Rev 1-
1995). Cara pembuatan mocaf yaitu singkong dikupas, dikerik lendirnya kemudian dicuci sampai
bersih. Singkong yang bersih dipotong-potong dan difermentasi selam 12-72 jam. Singkong yang
telah difermentasi kemudian dikeringkan dan ditepungkan sehingga dihasilkan tepung singkong
termodifikasi (Subagyo et al. 2008)
Proses modifikasi yang dimaksud adalah proses modifikasi sel-sel pada singkong melalui
fermentasi. Mikroorganisme yang berperan dalam proses modifikasi adalah bakteri asam laktat
(BAL) yang menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding
sel singkong sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses fermentasi pada pembuatan mocaf juga
mempengaruhi kandungan gizi mocaf. Perbedaan kandungan gizi mocaf dan tepung singkong
dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan gizi mocaf tidak terlalu berbeda dengan tepung singkong.
Namun, kandungan protein mocaf yang lebih sedikit mempengaruhi sifat fisiknya yaitu warna
yang lebih putih karena tidak mengalami reaksi browning.
Granula pati yang bebas dapat terhidrolisis menjadi monosakarida yang kemudian dapat
menjadi senyawa asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dengan tepung sehingga ketika
tepung tersebut diolah dapat menghasilkan cita rasa yang khas yang dapat menutupi cita rasa
singkong yang umumnya tidak disukai konsumen. Ketika proses fermentasi juga terjadi
kehilangan komponen pembentuk warna, terutama pigmen pada singkong kuning. Akibatnya
warna mocaf lebih putih dibandingkan tepung singkong (Subagio et al. 2008).
Mocaf dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara lain mie, roti, biskuit, cookies
dan snack. Mocaf dapat digunakan sebagai bahan baku maupun sebagai tepung substitusi. Mocaf
juga dapat digunakan dalam tepung campuran siap pakai dalam pembuatan keripik bayam. Dalam
pengolahan mocaf terkadang dibutuhkan modifikasi proses agar memiliki hasil yang mirip dengan
7
terigu. Dalam pengolahan muffin diperlukan proses pemanasan margarin dan garam agar muffin
yang dihasilkan mengembang dengan baik.
Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Mocaf dan Tepung Singkong
Kandungan gizi Mocaf Tepung Singkong
Kadar air (%) Max 13 Max 13
Pati (%) 85-87 82-85
Protein (%) Max 1.0 Max 1.2
Lemak (%) 0.4-0.8 0.4-0.8
Abu (%) Max 0.2 Max 0.2
Serat (%) 1.0-3.4 1.0-4.2
HCN (mg/kg) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
Sumber : Subagyo et al. (2008)
Mocaf juga dapat digunakan sebagai bahan baku beberapa kue seperti sponge cake,
brownish, kue kukus, dan kue basah. Namun, produknya tidak sama persis karakteristiknya dengan
tepung terigu beras, atau yang lainnya. Sehingga diperlukan sedikit perubahan dalam formula atau
prosesnya sehingga akan dihasilkan produk dengan mutu optimal. Untuk produk berbasis adonan
mocaf akan menghasilkan mutu prima jika menggunakan proses sponge dough method, yaitu
penggunaan biang adonan. Disamping itu, adonan dari mocaf akan lebih baik jika dilakukan
dengan air hangat (40-60oC).
2.5 JAGUNG
Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman jenis serealia yang termasuk dalam famili yang sama
seperti beras dan sorgum yaitu Graminae atau Poaceae. Tanaman ini merupakan bahan pangan
terpenting kedua setelah beras. Tanaman jagung banyak tumbuh di Indonesia. Berdasarkan data
BPS (2011), jumlah produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 17.23 juta ton
dan daerah penghasil jagung tertinggi yaitu Jawa Timur (5 juta ton) dan Jawa Tengah (2 juta ton).
Jumlah tersebut dapat meningkat seiring meningkatnya kapasitas produksi jagung yang mencapai
10 ton per hektar (Supit 2010). Hal tersebut menjadikan jagung berpotensi sebagai sumber
karbohidrat alternatif pengganti beras.
Peningkatan produksi jagung sebaiknya seiring dengan pemanfaatan produk jagung. Bagian
tanaman jagung yang dapat dimanfaatkan adalah daun, batang dan biji. Daun dan batang dapat
diolah menjadi pakan ternak maupun pupuk kompos. Biji jagung yang muda dapat diolah menjadi
sayur, sedangkan biji jagung yang tua dapat diolah menjadi emping, beras jagung, nasi jagung,
grits maupun tepung jagung. Biji jagung tua juga merupakan pakan sumber karbohidrat bagi
hewan ternak dan juga digunakan sebagai bahan baku etanol bagi industri (Supit 2010).
Tepung jagung menurut SNI adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji
jagung yang baik dan bersih (SNI 01-3727-1995). Syarat mutu tepung jagung dapat dilihat pada
Tabel 2. Proses pembuatan tepung jagung terdiri dari dua cara yaitu penggilingan basah dan
penggilingan kering. Pada penggilingan basah dilakukan perendaman dalam air bersih terlebih
dahulu. Tepung yang dihasikan melalui penggilingan basah biasanya memiliki rendemen yang
lebih tinggi namun kandungan gizinya lebih rendah dibandingkan tepung yang dihasilkan dengan
penggilingan kering (Suarni 2009). Tepung jagung juga dapat dimodifikasi dengan perlakuan
8
fermentasi oleh bakteri asam laktat dan dapat menghasilkan tepung dengan kualitas lebih baik
(Richana 2010).
Kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan kandungan gizi dipengaruhi
oleh varietas, faktor genetik dan kondisi penanaman. Selain mengandung karbohidrat dan protein
yang cukup, jagung yang berwarna kuning juga memiliki kelebihan yaitu mengandung betakaroten
(provitaminA). Jagung juga mengandung serat yang cukup tinggi terutama pada bagian bekatulnya
sehingga dapat berpotensi menjadi bahan baku untuk pembuatan makanan tinggi serat (Suarni
2009).
Tepung jagung dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baju pembuatan mi, cookies, muffin,
brownies maupun cake. Dengan kandungan gluten yang rendah (<1%) biasanya jagung hanya
digunakan untuk membuat produk yang tidak memerlukan pengembangan yang tinggi (Suarni
2009). Tingkat substitusi tepung jagung pada produk roti dan mi adalah sebesar 20%, sedangkan
tepung jagung termodifikasi dapat mensubstitusi hingga 40%. Pada produk cake, kue basah dan
kue kering tepung jagung dapat mensubstitusi hingga 100% (Richana 2010).
Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Jagung (SNI 01-3727-1995)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan:
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Normal
2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada
3. Serangga dalam bentuk stadia - Tidak boleh ada
4. Jenis pati lain selain pati jagung - Tidak boleh ada
5. Kehalusan
5.1 80mesh % Min 70%
5.2 60mesh % Min 99
6. Air % bb Maks 10
7. Abu % bb Maks 1,5
8. Silikat % bb Maks 0,1
9. Serat kasar % bb Maks 1.5
10. Derajat asam ml. N. NOH/100gr Maks 4,0
11. Cemaran logam mg/kg Maks 1,0
11.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 10
11.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 40
11.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 0,03
12. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 0,3
13. Cemaran mikroba
13.1 Angka lempeng total Koloni/gr Maks 106
13.2 E. coli APM/gr Maks 10
13.3 Kapang Koloni/gr Maks 104
9
Tabel 3. Kandungan Gizi Jagung
Kandungan
gizi
Jagung
Karbohidrat 73
Protein 9.2
Lemak 4.6
Serat 2.8
Ca (mg) 26
Fe (mg) 2.7
Sumber : FAO (1995)
2.6 MAIZENA (PATI JAGUNG)
Maizena adalah nama lain bagi pati jagung. Kandungan pati pada jagung mencapai 54,1-
71.7%. Pati jagung diperoleh melalui ekstraksi pati melalui penggilingan jagung, penambahan air,
pengendapan dan pengeringan pati. Pati jagung memiliki ukuran yang beragam yaitu 1-7 µm
untuk granua kecil dan 15-20 µm untuk granula besar. Granula pati yang kecil akan
memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula
yang besar.
Kandungan gizi pati jagung sebagian besar adalah karbohidrat, akan tetapi masih
mengandung zat gizi lainnya seperti protein, abu dan lemak. Data kandungan gizi pati jagung
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Gizi Maizena dan Sagu Aren
Jenis Pati Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Serat
Maizena
9.16 7.31 0.88 4.4 0.57
Sagu Aren
7.75 0.21 0.45 0.74 0.23
Sumber : Aini dan Haryadi (2007); Alam dan Saleh (2009)
Kadar amilosa dan amilopektin pada jagung juga sangat beragam. Berdasarkan kadar
amiosa dan amilopektinnya pati jagung dibagi menjadi empat yaitu jenis normal, waxy,
amilomaize, dan jagung manis. Pati jagung normal mengandung 24-46% amilosa dan 74-76%
amilopektin. Jagung waxy mengandung 99% amilopektin dan hampir tidak mengandung amilosa.
Jagung amilomaize mengandung 40-70% amilosa dan 20% amilopektin. Jagung manis
mengandung 42.6-67.8% amilosa dan mengandung sejumlah sukrosa disamping pati (Singh et al.
2006).
Amilosa merupakan polimer dari 490 unit glukosa dengan ikatan lurus 1-4 α glukosida
sedangkan amilopektin merupakan polimer dari 22 unit glukosa dengan ikatan rantai lurus1-4 α
glukosida dan ikatan cabang 1-6 α glukosida. Pati jagung waxy banyak dimanfaatkan karena sifat-
sifatnya yang khas (viskositas, stabilitas panas, dan pH), sedangkan pati amilomaize digunakan
dalam industri tekstil, permen, gum dan perekat papan. Kadar amilosa yang tinggi pada pati akan
menurunkan daya absorpsi dan kelarutan. Kadar amilopketin yang terlalu tinggi akan
menyebabkan suhu gelatinisai pati lebih tinggi (Richana dan Suarni 2006).
Pati jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku gula. Gula dari pati diperoleh
dari hidrolisis pati. Gula pati dapat berbentuk sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol dan
sorbitol. Gula dari pati memiliki rasa dan tingkat kemanisan yang hampir sama dengan gula tebu.
Sirup glukosa dapat diproduksi melalui hidrolisis enzimatis maupun hidrolisis asam. Rendemen
10
glukosa dipengaruhi oleh banyaknya amilosa. Semakin tinggi jumlah amilosa maka rendemen
sirup glukosa semakin tinggi (Richana dan Suarni 2006).
2.7 SAGU AREN (PATI AREN)
Sagu aren atau tepung aren merupakan pati yang diperoleh dari ekstraksi batang pohon aren
dengan spesies Arenga pinnata. Spesies ini tidak menghasilkan nira yang cukup banyak sehingga
petani menebang pohon ini dan mengirimkannya ke unit pengolahan agar dapat diolah menjadi
sagu aren. Cara pembuatan sagu aren dapat dilihat pada Gambar1. Kandungan gizi sagu aren dapat
dilihat pada Tabel 4.
Sagu aren juga dapat digunakan sebagai bahan baku bihun (starch noodle). Pengolahan
sagu aren menjadi bihun meliputi pengadonan, pemanasan, pencetakan dan pengeringan. Hasil
penelitian Rahim dan Hariyadi (2008) menunjukkan bahwa bihun sagu aren dapat dihasilkan
dengan formulasi sagu aren : air yang tepat. Sedangkan Alam (2008) memproduksi bihun sagu
aren dengan melakukan penambahan tepung tapioka untuk memperbaiki karakteristik produk.
Sagu aren dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti mihun, cendol, bakmi,
sohun dan hunkwe. Berdasarkan penelitian Kusumaningrum dan Rahayu (2007) sagu aren juga
dapat diolah menjadi makanan pendamping ASI (MP-ASI). Sagu aren digunakan untuk
mengurangi penggunaan beras.
2.8 GLYSEROL MONOSTEARAT
Gliserol Monostearat (GMS) adalah surfaktan non-ionik yang banyak digunakan oleh
industri stabilizer dan emulsifier. Nama IUPAC bagi senyawa ini adalah 2,4-dihidroksipropil
oktadekanoat dan dikenal dengan nama lain gliserin monostearat atau monostearin. Senyawa ini
secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan produk berlemak. Salah satu bahan baku
pembuatan GMS adalah asam lemak yang berasal dari minyak sawit. Surfaktan non-ionik adalah
suatu zat amfifil yang molekulnya terdiri dari 2 bagian, hidrofil dan lipofil. Zat ini bila dilarutkan
dalam air tidak memberikan ion. Kelarutannya dalam air disebabkan adanya bagian dari molekul
yang mempunyai afinitas terhadap pelarut. GMS adalah ester gliserol dengan asam lemak stearat
yang banyak digunakan dalam shampoo, pearlizing agent, emulsifier, lotion, dan sebagai opacifier
dalam cream, ice cream dan butter. Penambahan GMS pada pembuatan cookies juga dapat
memperbaiki kualitas karena meningkatkan kerenyahan dan meningkatkan kelembutan cookies
(Sindhuja et al. 2005)
Penggunaan GMS dalam proses pembuatan mi berbahan dasar jagung dan pati kentang
menunjukkan bahwa mi memiliki cooking time yang lebih tinggi namun memperbaiki produk
karena mengurangi cooking weight dan cooking loss selama pemasakan (Kaur et al. 2004). Jumlah
amilosa pada bahan pembuat mi sangat berpengaruh terhadap proses emulsifikasi GMS karena
GMS berikatan dengan amilosa. GMS yang ditambahkan membentuk kompleks dengan amilosa
untuk membentuk kompleks inklusi heliks, yang mencegah granula pati untuk mengembang yang
dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Lapisan yang tidak
larut dapat terbentuk pada permukaan granula pati, yang dapat menunda transpor air menuju
granula sehingga menurunkan pengembangan dan mencegah pelepasan amilosa.
Berdasarkan penelitian Singh et al. (2000), GMS juga berfungsi sebagai pelumas pada
barel ekstrusi sehingga dapat mengurangi panas proses ekstrusi. Pengaruh penambahan GMS
terhadap ekstrusi grits jagung yaitu mengurangi WSI (Water Solubility Index) atau indeks
kelarutan dalam air, SEC (Specific Energy Consumption), dan expansion (pengembangan produk)
tetapi meningkatkan WAI (Water Absorption Index). Fungsi-fungsi tersebut sangat dibutuhkan
11
untuk membuat beras analog yang diproses pada suhu ekstrusi yang tinggi dan menghasilkan
produk yang tidak mengembang serta tidak mudah larut dalam air.
Gambar 1. Struktur Gliserol Monostearat
2.9 EKSTRUSI
Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengombinasikan beberapa proses secara
berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan
pembentukan. Bahan pangan dipaksa mengalir di bawah pengaruh kondisi operasi melalui suatu
cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi dalam waktu singkat (Fellows 2000). Alat
dalam proses ekstrusi disebut ekstruder. Fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan
molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan pengeringan. Kombinasi satu atau lebih
fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi.
Munculnya teknologi ekstrusi telah membuka kesempatan bagi pengusaha makanan untuk
membuat produk pangan yang mempunyai bentuk dan tekstur yang beraneka ragam. Pemasakan
ekstrusi dipakai untuk menggantikan metode pemasakan konvensional karena berbagai sebab: (1)
dapat diubah-ubah sehingga mesin yang sama dapat memasakdan mengolah produk yang
mempunyai formula berbeda-beda, (2) member bentuk dan tekstur pada hasil produk, (3)
kemampuan produksi yang kontinyu, (4) pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energo dan
luas pabrik, (5) pasteurisasi produk akhir dan (6) proses dalam keadaan kering dengan sedikit atau
tanpa tumpahan (Muchtadi 2008).
Berdasarkan suhu prosesnya, teknologi ekstrusi dibagi menjadi dua yaitu Hot Extrusion
(Ekstrusi Panas) dan Cold Extrusion (Ekstrusi Dingin). Teknologi Hot Extrusion menggunakan
suhu di atas 70oC sedangkan Cold Extrusion menggunakan suhu di bawah 70
oC. Kedua teknologi
tersebut telah digunakan untuk memproduksi beras ekstrusi berbahan dasar tepung beras. Pada Hot
Extrusion bahan diproses pada suhu tinggi. Suhu bahan yang tinggi dapat diperoleh melalui proses
pre-conditioning dan atau transfer panas bahan selama proses ekstrusi.
2.9.1 Ekstruder
Ekstruder adalah alat yang digunakan untuk memproses suatu bahan menggunakan
teknologi ekstrusi. Ekstruder juga dapat diartikan sebagai mesin yang memiliki karakteristik ulir
Archimedean atau ulir yang bergerak di dalam sebuah silinder yang menggerakan fluida yang
memproses produk secara kontinyu (Riaz 2000). Ekstruder dapat didesain sedemikian rupa
sehingga dapat melakukan berbagai macam proses seperti grinding, mixing, homogenizing,
cooking, cooling, shaping, cutting, dan filling.
Proses ektrusi yang terjadi pada ektruder terdiri dari tiga tahap yaitu pra ekstrusi, ekstrusi
dan tahap setelah ekstrusi. Tahap pre-ekstrusi meliputi proses pencampuran, dan penambahan air.
Tahap ekstrusi meliputi perlakuan shear and stress pada adonan. Tahap terakhir adalah proses
pemberian tekanan ke arah die dan proses pencetakkan melalui die. Setelah produk keluar dari
12
die, alat pemotong otomatis akan berputar dan memotong produk sehingga produk akhir akan
memiliki bentuk seperti beras.
Ekstruder dapat digolongkan berdasarkan jumlah ulirnya menjadi dua kelompok yaitu
ekstruder berulir tunggal (Single Screw Extruder) dan ekstruder berulir ganda (Twin Screw
Extruder)
Single Screw Extruder
Single Screw Extruder atau ekstruder berulir tunggal memiliki satu buah ulir yang berputar
pada barel. Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam menghasilkan produk pasta,
permen, cookies dan pengembangan produk baru seperti snack, makanan bayi dan produk
modifikasi pati. Ekstruder jenis ini paling awal digunakan. Produk yang dihasilkan sangat
beragam meliputi snack, pasta, sereal hingga makanan hewan.
Gambar 2. Single Screw Extruder
Twin Screw Extruder
Ekstruder berulir ganda memiliki dua ulir silinder yang dapat bergerak searah, berlawanan
arah, baik berkaitan atau tidak. Ekstruder ini terbilang baru dibandingkan Single Screw Extruder.
Beberapa kelebihan Twin Screw Exstruder antara lain memiliki kontrol dan keseragaman produk
lebih baik, pemotongan (shear) lebih merata sehingga setiap partikel bahan dapat diproses dengan
lebih konsisten, dan fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan Single Screw Extruder.
Terdapat empat pembagian zona proses di dalam ekstruder. Pembagian zona proses dapat
dilihat pada Gambar 4. Zona pertama adalah zona feeding. Zona ini merupakan tempat bahan
memasuki awal proses ekstrusi. Zona kedua adalah zona kneading. Zona ini merupakan tempat
bahan mengalami proses pressing, shearing dan cooking. Bahan kemudian masuk ke zona ke-tiga
yaitu zona final cooking dan akan mengalami proses yang sama dengan zona kedua. Zona terakhir
adalah zona shaping dimana bahan akan melalui proses pressing sehingga dapat melalui die yang
akan mencetak bahan menjadi produk (Riaz 2000)
13
Ekstruder yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstruder berulir ganda. Ekstruder
berulir ganda dipiih karena proses ekstrusi untuk beras analog mirip dengan ektsrusi pasta. Proses
ekstrusinya adalah hot extrution atau dengan pemanasan karena produk yang diharapkan telah
mengalami gelatinisasi namun tidak mengembang seperti produk sereal.
Gambar 3. Twin Screw Extruder
Gambar 4. Zona Proses Ekstrusi
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk pembuatan beras
artificial dan bahan untuk analisis. Bahan untuk pembuatan beras terdiri dari tepung sorgum,
tepung mocaf, tepung jagung, tepung maizena, tepung sagu, air dan GMS (Gliserol Monostearat).
Bahan untuk analisis terdiri dari beras artificial dan bahan untuk analisis kimia.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat-alat untuk pembuatan beras
artificial dan alat-alat untuk analisis. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan beras artificial
adalah ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256), dough mixer, oven dryer, waskom, baki,
sendok, timbangan, neraca analitik, blender, saringan, disc mill, plastik, dan rice cooker. Alat-alat
yang digunakan untuk analisis yaitu neraca analitik, hot plate, oven, tanur, erlenmeyer, gelas piala,
sudip, cawan porselen, cawan alumunium, labu takar, gelas ukur, tabung reaksi bertutup, pipet
volumetrik 1 ml, pipet volumetrik 10 ml, kuvet, Spectrophotometer UV-Vis, pipet tetes, labu
Kjeldahl dan alat Sokhlet.
3.2 TAHAPAN PENELITIAN
Tahapan penelitian ini meliputi persiapan bahan, trial and error, pembuatan beras analog,
uji pemasakan, uji organoleptik, dan uji kimia dan fisik formula terpilih. Persiapan bahan meliputi
persiapan bahan tepung sorgum dan tepung jagung. Uji trial and error untuk mengetahui jumlah
air yang ditambahkan, jenis emulsifier, jumlah emulsifier, optimasi proses, dan optimasi cara
pemasakan.
Tahap berikutnya adalah pembuatan beras analog dengan membandingkan dua faktor yaitu
penambahan 30% tepung (sorgum dan mocaf) dan penambahan pati (sagu aren 30%; maizena
30%; dan campuran sagu 15% dan maizena 15%). Dari rancangan percobaan tersebut didapatkan
enam buah sampel beras yang diuji organoleptiknya dalam bentuk beras mentah dan nasi matang.
Formula terbaik adalah sampel yang memiliki nilai kesukaan paling tinggi. Formula terpilih akan
diuji lebih lanjut sifat kimianya yaitu melalui analisis proksimat, kadar pati dan amilosa dan sifat
fisik melalui analisis warna dan tekstur.
3.3 PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG DAN TEPUNG SORGUM
Tahapan pembuatan tepung sorgum yaitu perontokkan, penyosohan, penambahan air,
penyimpanan selama satu malam dalam wadah plastik, penggilingan, pengeringan dan pengayakan
60 mesh. Pembuatan tepung jagung meliputi pemipilan, penghancuran biji menjadi grits,
pemisahan dengan lembaga, penambahan air, penyimpanan selama satu malam dalam plastik,
penggilingan, pengeringan, pengayakan 100 mesh.
3.4 PEMBUATAN BERAS ANALOG
Pembuatan beras analog menggunakan teknologi ekstrusi dengan suhu tinggi (hot
extrusion). Tahap awal adalah penimbangan bahan-bahan sesuai formulasi. Setelah itu bahan-
bahan kering meliputi tepung, pati dan GMS dicampurkan dengan mixer selama 10 menit.
Kemudian air ditambahkan sedikit-demi sedikit hingga adonan rata. Adonan tersebut disangrai
selama 10 menit dan tahap berikutnya adalah proses ekstrusi menggunakan Twin Screw Extruder.
15
Tepung -
tepungan GMS
Air
Penimbangan sesuai
formulasi
Pencampuran bahan
kering 10‟
Penimbangan
sesuai formulasi Penambahan air 10‟
Penyangraian 10‟
Ekstrusi
Pengeringan dengan oven
60oC , 4 jam
Beras Analog
Suhu
Feed (T1) : 85oC
Compressing (T2) : 85oC
Metering (T3) : 85oC
KecepatanAuger : 18 Hz
Screw : 15Hz
Cutter : 50Hz
Produk hasil ekstrusi kemusian dikeringkan dalam over dryer pada suhu 60oC selama 4 jam.
Secara singkat alur pembuatan beras analog pada Gambar 5.
Gambar 5. Pembuatan Beras Analog
3.5 RANCANGAN FORMULASI
Rancangan formulasi pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial
dengan dua faktor, yaitu faktor A = tepung substitusi dan faktor B = jenis dan jumlah pati.
Tepung substitusi yang digunakan adalah :
t1 = Sorgum 30%
t2 = Mocaf 30%
Jenis pati yang digunakan adalah adalah :
p1 = Sagu Aren 30%
p2 = Sagu Aren 15% dan Maizena 15%
p3 = Maizena 30%
Sehingga formula yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Faktor p1 p2 p3
t1 A (t1p1) B (t1p2) C(t1p3)
t2 D (t2p1) E (t2p2) F(t2p3)
Keterangan :
Setiap formula ditambahkan tepung jagung 40%, GMS 2% dan air 50% (basis jumlah tepung)
16
3.6 PROSEDUR ANALISIS
3.6.1 Uji sensori Pemilihan Formula Terbaik
Uji sensori yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji rating hedonik pada atribut warna,
rasa dan tekstur. Sampel beras analog yang telah dimasak disajikan di atas pisin, kemudian
panelis diminta untuk memberikan penilaian. Skala yang digunakan adalah skala garis sepanjang
15 cm. Panelis yang diambil responnya adalah panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang. Data yang
diperoleh akan diolah dengan uji Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji ANOVA
menyatakan bahwa sampel yang diujikan berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0.05, maka akan
dilakukan uji lanjut Duncan.
3.6.2 Analisis Kimia
Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator
selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B)
dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6
jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya
dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan
persamaan berikut :
Kadar air (%bb) = ( )
Kadar air (%bk) ( )
( )
Dimana:
bb = basis basah
bk = basis kering
Kadar Abu (AOAC 2006)
Cawan porselen yang dipersiapkan untuk pengabuan dikeringkan dalam oven selama 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B)
dimasukkan ke dalm cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap
lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam
hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Abu berserta cawan didinginkan
dalam desikator, kemudian ditimbang (C). kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
Kadar abu (%bb) = ( )
Kadar abu (%bk) = ( )
( )
Kadar Lemak(AOAC 2006)
Sebanyak 1-2 gram contoh dimasukkan ke dalam kertas saring. Kertas saring berisi contoh
tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C hingga kering.Kertas saring yang telah
dikeringkan dimasukkan ke dalam selongsong dengan sumbat kapas. Selongsong tersebut
kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor dan labu
lemak. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut
hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6
17
jam. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak
yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga mencapai berat tetap. Kadar lemak dapat
diperoleh dengan persamaan berikut :
%100W
W2-W1 (%bb)Lemak Kadar x
Keterangan:
W : Bobot sampel (gram)
W1: Bobot labu+ lemak (gram)
W2: Bobot labu (gram)
Kadar Protein (AOAC 2006)
Sebanyak 0,1-0.25 gram contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0
+ 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 ml HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4, selanjutnya contoh didihkan sampai
cairan jernih kemudian didinginkan. Larutan jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi secara
kuantitatif. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata, kemudian air cuciannya dimasukan
ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Tambahkan 8-10 ml larutan 60%
NaOH – 5% Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi.
Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 jenuh dan 2-4
tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2% metilen red dan 1 bagian 0.2% metilen blue dalam etanol
95%). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3, kemudian dilakukan
destilasi sehingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi
dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Kadar protein
kasar dapat dihitung dengan persamaan :
%100contoh mg
14.007 x HCl N x blanko) HCl V -contoh HCl (V (%bb) NKadar x
Fk x N % bb) % (protein Kadar
Keterangan :
Fk : Faktor konversi (6.25 untuk tepung dan mi)
Kadar Karbohidrat (by difference)
Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference dengan persamaan :
Kadar karbohidrat = 100% - (% air + %abu + %protein + % lemak)
Serat Pangan Metode Multienzim (Asp et al. 1983)
Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml
larutan buffer Na-phospat pH 6 dan diaduk hingga terbentuk suspensi. Selanjutnya ditambahkan
0.1 ml enzim termamyl ke dalam erlenmeyer yang berisi sampel. Erlenmeyer kemudian ditutup
dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100oC selama 15 menit sambil
diaduk sesekali.
Sampel diangkat dan didinginkan, lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diturunkan
sampai 1.5 menggunakan HCl 4 N. Selanjutnya ditambahkan enzim pepsin sebanyak 100 mg ke
dalam sampel, lalu ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 40oC selama 1 jam.
Erlenmeyer kemudian diangkat, ditambahkan air destilata, dan pH diatur menjadi 6.8
menggunakan NaOH. Setelah pH 6.8 tercapai, ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100mg ke
dalam erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup, diinkubasikan pada suhu 40oC selama 1 jam. Selanjutnya
18
pH diatur sampai 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel tersebut kemudian disaring
menggunakan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5
gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan dua kali pencucian dengan
masing-masing 10 ml air destilata.
Residu (Serat pangan tidak larut)
Hasil yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton
lalu dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat tetap (sekitar 12 jam). Selanjutnya didinginkan
dalam desikator, lalu timabang. Setelah itu diabukan dalam tanur 500oC selama minimal 5 jam,
lalu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya.
Filtrat (serat pangan larut)
Volume filtrate diatur dengan air sampai 100 ml, kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95
% hangat (60oC) dan diendapkan selam 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering
(porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering, dicuci lagi dengan 2x 10 ml etanol 78 %, 2 x
10 ml etanol 95 %, dan 2 x 10 ml aseton, kemudian dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat
konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya. Selanjutnya diabukan
dalam tanur suhu 550oC selama 5 jam dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator.
Blanko
Penetapan blanko dapat dilakukan dengan cara seperti pada prosedur untuk sampel, tetapi
tanpa penambahan sampel.
Setelah mendapatkan berat sampel sebelum dan sesudah diabukan serta berat blanko, persamaan
untuk menghitung sebagai berikut :
% Serat tak Larut (IDF) = (
% Serat Larut (SDF) = (
% Total Serat (TDF) = (SDF + IDF) (%)
Keterangan :
D = berat setelah pengeringan (g)
I = berat setelah pengabuan (g)
B = berat blanko bebas abu (g)
Analisis Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al. 1997)
Pembuatan Larutan Luff Schoorl
Sebanyak 12.5 g CuSO4.5H2O dilarutkan dalam 50 ml air destilata (larutan A). sebanyak 25 g
asam sitrat dilarutkan dalam 25 ml air destilata (larutan B). Larutan C dibuat dengan melarutkan
194 g Na2CO3.10H2O dalam 150-200ml air mendidih. Larutan B kemudian dituang ke dalam
larutan C dan diaduk. Selanjutnya larutan A ditambahkan ke dalam campuran larutan B dan C.
Setelah dingin, ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml.
19
Standarisasi larutan Na2S2O3 0.01 N
Larutan Na2S2O3 0.1 N dibuat dengan mencampurkan 12.5 g Na2S2O3.5H2O dan 0.15 g Na2CO3,
kemudian ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml. standardisasi larutan Na2S2O3 0.1 N
dilakukan dengan menimbang 140-150 mg KIO3 ke dalam Erlenmeyer 300 ml. kemudian larut
kan dengan air destilata secukupnya dan tambahkan ± 2 mg KI. Tambahkan 10 ml HCl 2 N ke
dalam larutan (titrasi harus segera dilakukan setelah penambahan HCl). Titrasi dilakukan dengan
Na2S2O3 0.1 N yang akan distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi
kuning pucat. Selanjutnya tambahkan 1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru
menghilang. Normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N dapat dihitung dengan persamaan :
Normalitas Na2S2O3=
Pengukuran Sampel
Sebanyak ± 0.1 g sampel dan 5 ml HCl 25 % dimasukkan ke dalam gelas piala pendingan
balik, kemudian direfluks selama 3 jam. Setelah selesai, netralkan pH larutan dengan NaOH 45 %.
Tambahkan air destilata hingga volume larutan 100 ml. larutan tersebut kemudian disaring dengan
kertas saring. Sebanyak 25 ml filtrat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25
ml larutan Luff Schoorl. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan panaskan hingga larutan
mendidih. Lakukan pemanasan selama 10 menit sejak larutan mendidih. Selanjutnya tambakan 15
ml KI 20 % dan 25 ml H2SO4 26.5 %. Lakukan titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah
distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Tambahkan
1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Pengukuran blanko juga
dilakukan dengan mengganti 25 ml filtrat sampel dengan 25 ml air destilata.
Kadar pati contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Volume Na2S2O3 yang digunakan = ( – )
Kadar Gula (%) =
Kadar Pati (%) = Kadar gula x 0.9
Keterangan :
Vb = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko
Vs = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sampel
FP = Faktor pengenceran
Analisis Kadar Amilosa ( Apriyanto et al. 1989)
Pembuatan kurva standar
Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml., ditambahkan 1 ml
etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air
pada suhu 95oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera.
Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke
dalam labu takar 100 ml. Larutan asam asetan 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0
ml ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian tambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI
dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu takar, lalu ditera dengan air destilata.
20
Larutan dibiarkan 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 625 nm.
Pengukuran Sampel
Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml
etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian
dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke
dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan air destilata hingga tanda tera dan
dihomogenkan. Larutan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. tambahkan 1 ml asam
asetat dan 2 ml larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan
dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Kadar Amilosa (%)
Kadar Amilopektin (%) = Kadar pati – Kadar amilosa
3.6.3 Analisis Fisik
Analisis warna dengan Chromamater CR 300 Minolta (Firmansyah 2003)
Chromameter CR 300 Minolta adalah suatu alat untuk analisis warna secara tristimulus
untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Data pengukuran dapat berupa
nilai absolut maupun nilai selisih dengan standar. Cara kerjanya sebagai berikut, pertama lakukan
kalibrasi terlebih dahulu dengan menekan tombol „CALIBRATE‟; masukkan data kalibrasi Y, x
dan y yang terdapat pada penutup bagian plat kalibrasi. Kemudian letakkan measuring head pada
plat kalibrasi yang berwarna putih, tekan tombol „MEASURE‟. Biarkan alat bekerja secara
otomatis sebanyak tiga kali hingga pengukuran selesai. Setelah kalibrasi selesai, pengukuran
contoh atau sampel baru bisa dilakukan. Pertama letakkan measuring head pada contoh yang akan
diukur, dan tekan tombol „MEASURE‟, biarkan alat bekerja sendiri, tunggu beberapa saat hingga
pengukuran selesai. Pengujian warna dilakukan sebanyak dua kali ulangan.
Tabel 5. Nilai HUE dan Daerah Kisaran Warna Kromatisitas
Nilai oHUE Daerah Kisaran Warna Kromatisitas
342-18 Red Purple (RP)
18-54 Yellow Red (YR)
54-90 Yellow (Y)
90-126 Yellow Green (YG)
162-198 Green (G)
198-234 Blue Green (BG)
234-270 Blue (B)
270-306 Blue Purple (BP)
306-342 Purple (P)
Sumber : Hutchings (1999)
Hasil analisis uji warna kemudian dikonversi ke dalam nilai oHue. Nilai
oHue yang
didapat kemudian disesuaikan dengan tabel daerah kisaran warna kromatisasi. Rumus konversi
nilai L*ab ke nilai oHue sebagai berikut:
oHue = tan
-1(b/a)
21
Bobot Seribu Butir
Sampel yang dipilih memiliki butir yang utuh, baik, dan memiliki panjang hampir sama.
Sampel tersebut diambil sebanyak seribu butir kemudian ditimbang menggunakan timbangan
analitik untuk diketahui bobotnya. Bobot seribu butir tersebut dibagi 1000 sehingga diketahui
bobot rata-rata beras per butir.
Densitas Kamba
Sampel dengan ukuran yang sama dimasukkan ke dalam gelas ukur hingga volume 10 ml
dan diketuk-ketuk sebanyak 25 kali. Sampel tersebut kemudian ditimbang. Cara perhitungannya
adalah sebagai berikut:
Densitas Kamba (g/ml) = ( )
( )
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PEMBUATAN BERAS ANALOG
Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pencampuran, pregelatinisasi,
ekstrusi, dan pengeringan. Proses persiapan bahan meliputi persiapan tepung dan penimbangan
bahan. Bahan-bahan kering disiapkan secara terpisah dengan air. Tahap berikutnya adalah proses
pencampuran. Bahan-bahan kering dicampur terlebih dahulu hingga merata kemudian air
ditambahkan dan dicampur kembali hingga merata.
Tahap berikutnya adalah pre-gelatinisai dimana bahan mengalami pemanasan pada suhu
85oC selama 1-5 menit. Tahap ini berfungsi dalam menyeragamkan kadar air bahan dan membuat
bahan lebih higroskopis sehingga dapat membuat tahap ekstrusi lebih cepat (Scella et al., 1987).
Tahap berikutnya adalah tahap ekstrusi yang meliputi pencampuran, shearing dan pencetakkan
melalui die. Suhu yang digunakan adalah 85oC agar adonan mengalami gelatinisasi pati.
Proses ekstrusi menggunakan suhu tinggi (hot extrusion). Proses ekstrusi panas biasanya
digunakan untuk memproduksi produk serealia, confectionary dan produk berbasis protein. Alat
yang digunakan adalah Twin Screw Extruder (Berto BEX-DS-2256). Suhu yang digunakan pada
proses ekstrusi adalah 85oC di semua bagian (feed, compressing dan metering) dengan kecepatan
yang digunakan antara lain kecepatan auger 18Hz, screw 15Hz dan cutter 50Hz.
Proses yang digunakan adalah teknologi ekstrusi panas, tetapi produk yang dihasilkan tidak
mengembang seperti puffed sereal karena jumlah air yang ditambahkan cukup banyak. Ekstrusi
dengan penambahan air yang cukup banyak disebut ekstrusi kadar air tinggi (high moisture
extrusion). Kadar air bahan yang tinggi akan mencegah terjadinya viscous dissipation yang
menyebabkan terjadi kenaikan tekanan sehingga produk yang dihasilkan tidak mengembang
(Akdogan, 1999). Hasil cetakkan melalui die kemudian dikeringkan dalam oven dryer pada suhu
60oC selama 4 jam hingga kering. Proses pengeringan dilakukan agar beras analog dapat disimpan
lebih lama.
4.2 FORMULASI BERAS ANALOG
4.2.1 Sifat Fisik Bahan Baku
Bahan baku tepung yang digunakan pada penelitian ini antara lain tepung sorgum, mocaf
dan tepung jagung, sedangkan pati yang digunakan yaitu maizena dan sagu aren. Sifat fisik berupa
profil gelatinisasi dan amilosa dapat mempengaruhi pembuatan beras analog. Profil gelatinisasi
tepung dan pati tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar amilosa tepung dan pati dapat dilihat
pada Tabel 7. Sifat fisik lain yang dapat mempengaruhi produk akhir adalah warna. Hasil analisis
warna bahan dapat dilihat pada Tabel 8.
Parameter yang diketahui pada profil gelatinisasi meliputi Suhu Gelatinisasi (oC),
Viskositas Puncak (cP), Viskositas Pasta Panas(cP), Viskositas Breakdown(cP), Viskositas Pasta
Dingin(cP), Viskositas Setback(cP) dan Lama Gelatinisasi (m). Suhu gelatinisasi merupakan suhu
ketika mulai terdeteksi terjadinya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pengembangan
granula pati. Suhu gelatinisasi bahan dapat menentukan suhu yang paling baik digunakan selama
proses ekstrusi karena pada proses ekstrusi diharapkan terjadi gelatinisasi pati. Jika suhu proses
jauh lebih rendah dibandingkan suhu gelatinisasi, maka dapat menghasilkan beras analog yang
rapuh dan tidak dapat diolah menjadi nasi. Hasil penelitian pembuatan mi oleh Tam et al .(2004),
menunjukkan bahwa penggunaan suhu proses yang lebih rendah dibandingkan dengan suhu
gelatinisasi membuat adonan mi menjadi tidak elastis dan mi yang dihasilkan memiliki tekstur
23
yang kasar dan mudah patah. Tabel 6 menunjukkan bahwa tepung sorgum Pahat dan mocaf
memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan maizena, tepung jagung dan
sagu aren.
Viskositas puncak menggambarkan kemampuan pati untuk mengembang dengan bebas
sebelum mengalami breakdown. Nilai viskositas puncak dipengaruhi oleh kadar amilosa dan
amilopektin yang terkandung. Semakin tinggi kadar amilosa suatu bahan, maka viskositas
puncaknya semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh pengikatan amilosa dengan lemak yang
membentuk kompleks pengembangan granula terhambat. Sebaliknya, peningkatan kadar
amilopektin akan meningkatkan nilai Viskositas Puncak (Sang et al. 2008). Pengaruh kadar
amilosa dan viskositas maksimum dapat diketahui pada formulasi beras analog.
Tabel 6. Profil Gelatinisasi Bahan Baku Beras Analog
Profil gelatinisasi Satuan Sorgum
Pahat
Mocaf Maizena Jagung Sagu
Aren
Suhu Gelatinisasi (Pasting
Temperature, PT)
oC 86.58 86.1 73.70 76.37 70.5
Viskositas Maksimum (Peak
Viscosity, PV)
cP 1380.00 3239 4167 1334 1050
Viskositas Pasta Panas (Hot
Paste Viscosity, HPV)
cP 1235.50 1625 2081 972 -
Viskositas Breakdown (VB) cP 144.50 1614 2086 362 -
Viskositas Pasta Dingin (Cold
Paste Viscosity, CPV)
cP 2665.50 4042 1831 - -
Viskositas Setback (VS) cP 1430.00 2417 3912 863 -
Waktu Gelatinisasi menit 10.84 8.93 - 5.00 -
Sumber : Yuliyanti (2012); Pinasthi (2011); Panikulata (2008); Alam dan Saleh (2009)
Sifat fisik warna bahan diketahui melalui uji warna menggunakan alat Chromameter. Dapat
dilihat pada Tabel 8 bahwa semua bahan memiliki derajat oHue yang berada pada kisaran 54-90
yang menunjukkan bahwa bahan memiliki warna pada kisaran warna kuning. Namun, masing-
masing bahan memiliki tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Maizena memiliki tingkat
kecerahan tertinggi, sedangkan sorgum Pahat memiliki tingkat kecerahan yang paling rendah.
Tabel 7. Kandungan Amilosa Bahan Baku Beras Analog
Bahan baku Amilosa (%)
Sorgum Pahat 29.00
Mocaf 34.75
Jagung 24-46
Maizena 24-46
Sagu Aren 39.00
Sumber : Alam dan Saleh (2009) ;Yuliyanti (2012); Panikulata (2008); Singh et al. (2006)
24
Tabel 8. Nilai L*ab Warna Bahan Baku Beras Analog
Bahan L + a + b oHue Warna
Sorgum Pahat 58.20 2.03 7.34 74.54 Kuning
Mocaf 63.32 1.62 5.48 73.51 Kuning
Jagung 62.00 0.57 2.44 76.85 Kuning
Maizena 64.46 0.81 3.36 76.45 Kuning
Sagu Aren 58.80 1.90 5.63 71.35 Kuning
4.2.2 Formulasi
Tahap awal formulasi beras analog adalah penelitian pendahuluan untuk menentukan jenis
dan jumlah bahan yang digunakan dalam pembuatan beras analog. Penelitian pendahuluan
meliputi penentuan jumlah air, perbandingan tepung dan pati, serta penentuan jenis dan jumlah
bahan pengikat.
Air merupakan faktor penting dalam pembentukkan beras analog karena air berperan dalam
proses gelatinisasi. Jumlah air yang ditambahkan adalah 50% dari jumlah tepung dan pati. Jumlah
ini juga mengacu pada pembuatan beras analog metode granulasi yang dipatenkan oleh Kurachi
(1995) yang menambahkan air sebanyak 50% dari jumlah tepung dan pati (bahan kering).
Penentuan perbandingan jumlah tepung dan pati berdasarkan penelitian Lisnan (2008) yang
membuat beras tiruan berbasiskan tepung dan pati singkong. Beras tiruan dengan perbandingan
tepung dan pati sebanyak 70:30 merupakan beras dengan formula terpilih. Oleh karena itu, jumlah
pati yang digunakan adalah sebanyak 30% basis bahan kering. Pati yang digunakan pada
pembuatan beras analog ini adalah maizena dan sagu aren.
Tepung yang digunakan pada pembuatan beras analog ini pada awalnya adalah satu jenis
tepung yaitu tepung sorgum dan mocaf dan pati yang digunakan adalah maizena. Namun,
penggunaan satu jenis tepung membuat beras analog yang dihasilkan lengket satu sama lain dan
setelah dimasak menghasilkan nasi yang lengket. Berdasarkan penelitian Dewi (2012), tingginya
viskositas maksimum bahan baku seperti mocaf dan maizena dapat menyebabkan produk menjadi
lengket. Oleh karena itu, ditambahkan tepung jagung sebanyak 40% dan sagu aren pada formulasi
untuk memperbaiki tekstur. Tepung jagung digunakan diharapkan dapat mengurangi kelengketan
karena tepung jagung mengandung lemak yang cukup tinggi yaitu 4.6 % (FAO 1995).
Bahan pengikat yang digunakan dalam pembuatan beras analog ini adalah emulsifier
Gliserol Monostearat (GMS). GMS berfungsi untuk mengikat bahan, menjadi pelumas pada saat
ekstrusi, mencegah terjadinya pengembangan ekstrudat, membuat ekstrudat tidak lengket satu
sama lain, dan mengurangi cooking loss produk pada saat proses pemasakkan menjadi nasi (Kaur
et al. 2004; Singh et al. 2000). Jumlah yang ditambahkan sebanyak 2%. Jumlah ini sesuai dengan
paten Kurachi (1995) yang menyatakan jumlah bahan pengikat yang dapat ditambahkan adalah
0.1-10% dari jumlah tepung dan pati.
Gliserol Monostearat diketahui dapat membentuk kompleks inklusi heliks dengan amilosa.
Kompleks tersebut dapat mencegah granula pati untuk mengembang yang dapat menyebabkan
berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Kompleks amilosa dengan asam lemak
dapat dilihat pada Gambar 6. Asam lemak memiliki bagian yang hidrofobik dan hidrofilik seperti
GMS. Oleh karena itu, dapat diperkirakan amilosa dan GMS dapat membentuk struktur yang
sama.
Setelah didapatkan jumlah optimum pada masing-masing bahan kemudian dilakukan
formulasi. Rancangan formulasi yang dilakukan menggunakan Rancangan Acak Faktorial dengan
25
dua faktor yaitu tepung dan pati. Formulasi yang didapatkan dari penelitian pendahuluan dapat
dilihat pada Tabel 9.
Gambar 6. Kompleks Amilosa dengan Lemak (Putseys et al. 2010)
Tabel 9. Formula Beras Analog
Formula Komposisi
1 Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 30%
2 Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 15 % dan Sagu Aren 15%
3 Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Sagu Aren 30%
4 Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 30%
5 Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 15% dan Sagu Aren 15%
6 Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Sagu Aren 30%
Produk beras analog hasil ekstrusi kemudian diteliti kelengketan dan kemampuannya untuk
dapat dimasak. Hasil menunjukkan semua formula menghasilkan beras yang tidak lengket dan
dapat dimasak menjadi nasi. Oleh karena itu, seluruh formula diuji lebih lanjut penerimaannya
melalui uji rating hedonik. Produk dengan nilai kesukaan tertinggi dikarakterisasi sifak fisik dan
kimiannya. Produk beras analog dapat dilihat pada Gambar 7.
`
Amilosa
Lemak
26
A B C
D E F
Gambar 7. Beras Analog
4.3 PEMASAKAN BERAS ANALOG
Metode pemasakan beras analog tidak jauh berbeda dengan pemasakan beras biasa. Alat
yang digunakan untuk memasak beras analog pada penelitian ini adalah rice cooker. Jumlah air
yang ditambahkan pada pemasakan beras ini adalah dua bagian volume beras analog. Cara
pemasakannya adalah ukur beras sebanyak 200 ml, kemudian ukur air sebanyak 400 ml.
Masukkan air ke dalam rice cooker dan nyalakan alat. Didihkan air, setelah air mendidih beras
analog baru dapat dimasukkan. Waktu memasak beras analog adalah selama ± 15 menit. Nasi
yang telah matang adalah yang sudah tidak memiliki bintik warna putih di tengah dan tekstur yang
kenyal. Nasi beras analog dapat dilihat pada Gambar 8.
A B C
D E F
Gambar 8. Nasi Beras Analog
27
4.4 ANALISIS SENSORI BERAS ANALOG
4.4.1 Analisis Rating Hedonik Beras Analog
Hasil analisis sensori beras analog pada parameter warna menunjukkan rataan skor seperti
yang terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Beras Analog
Gambar 9 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji rating hedonik pada parameter warna,
beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut
menunjukkan penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah mulai menyukai. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter warna adalah
<0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.
Warna produk seperti terlihat pada gambar 7 adalah kuning dan cenderung gelap. Warna
kuning pada beras berasal betakaroten yang diperoleh dari jagung (Richana 2010), sedangkan
tingkat kecerahan beras juga dipengaruhi oleh komponen yang lain. Substitusi tepung sorgum pada
beras B dapat menimbulkan warna gelap karena sorgum masih mengandung tanin. Hal ini
disebabkan proses penyosohan sorgum tidak menghilangkan sorgum seluruhnya dan masih
meninggalkan minimal 25% kadar tanin awal (Suarni 2001). Selain itu, warna produk yang gelap
dapat disebabkan Meskipun nilai kesukaan panelis terhadap warna belum mencapai taraf suka atau
sangat menyukai beras berwarna kuning ini dapat berpeluang menjadi beras yang disukai seperti
beras merah dan beras hitam melalui proses edukasi.
Gambar 10. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Beras Analog
Hasil uji hedonik pada parameter bentuk pada Gambar 10 menunjukkan bahwa beras yang
memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan
4.8386a
9.2586c
7.9371b
4.7557a
7.9786b
9.47c
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
6.49a
9.06cd 8.11bc
6.4a
7.78b
9.28d
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
28
penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah mulai menyukai. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter bentuk adalah <0.05 yang berarti
skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.
a. Beras Analog b. Beras IR-64
Gambar 11. Perbandingan Bentuk Beras Analog dengan Beras Padi
Bentuk beras analog sangat dipengaruhi oleh proses ekstrusi karena pada proses ini terdapat
tahap pencetakkan. Bentuk beras analog ditentukan oleh die ekstruder. Gambar 11 menunjukkan
bahwa ukuran beras analog sedikit berbeda dengan beras padi. Beras analog berbentuk oval dan
pendek dibandingkan dengan beras padi yang lonjong dan panjang. Bentuk beras analog ini masih
belum sempurna, namun seiring perkembangan teknologi dapat dilakukan lagi pembuatan beras
analog dengan die yang lebih sesuai.
Gambar 12. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Beras Analog
Skor uji kesukaan panelis terhadap parameter aroma menunjukkan bahwa beras yang
memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan
penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah moderat menuju agak menyukai. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter aroma adalah
<0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.
Aroma beras analog sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi.
Aroma jagung paling mendominasi aroma beras analog karena proporsi tepung jagung (40%)
merupakan yang paling banyak dibanding tepung yang lain. Tepung sorgum, mocaf dan pati
6.42a
8.696b
6.99a 6.929a
8.21b 8.527b
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
29
cenderung tidak memiliki aroma yang tajam, namun setelah melalui proses pencampuran dan
pemasakan dapat terjadi interaksi bahan yang menimbulkan aroma yang khas.
Gambar 13. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Beras Analog
Penilaian kesukaan beras pada parameter tekstur meliputi kehalusan permukaan dan
kerapuhan beras. Hasil penilaian menunjukkan bahwa beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi
adalah beras D dan B. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada parameter tekstur
perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap skor kesukaan konsumen. Namun,
hasil penilaian menunjukkan konsumen telah mulai menyukai tekstur produk karena nilai
kesukaan konsumen terhadap tekstur adalah 7-9.
Tekstur beras analog meliputi kehalusan dan kerapuhan dipengaruhi oleh proses
pencetakkan dan pengeringan. Saat melalui proses pencetakkan dilakukan pemotongan oleh cutter.
Jika cutter tidak berputar dengan baik maka akan menyebabkan beras masih memiliki bagian yang
terlihat seperti ekor. Ekor tersebut dapat dihilangkan melalui proses penyosohan dan pengayakan,
namun proses tersebut akan menurunkan rendemen produk. Oleh karena itu, masih diperlukan
optimasi proses meliputi penentuan kecepatan screw yang mendorong adonan dan kecepatan
cutter yang memotong hasil cetakan pada ekstruder.
Proses pengeringan ekstrudat juga berpengaruh terhadap tekstur karena pada proses
pengeringan terjadi pengeluaran air pada ekstrudat. Ekstrudat pada pembuatan beras analog ini
dikeringkan pada oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam. Ekstrudat yang dikeringkan akan
mengalami perubahan porositas karena air juga berpengaruh terhadap tekstur beras. Semakin
banyak air pada ekstrudat yang teruapkan maka akan membuat beras semakin poros dan
permukaannya kasar. Beras yang poros akan lebih rapuh dibandingkan beras yang tidak poros.
Akan tetapi penambahan air juga berpengaruh terhadap proses gelatinisasi produk. Oleh karena itu
masih diperlukan analisis pengaruh penambahan air, suhu pengeringan dan lama pengeringan
produk.
7.4029a
8.5986a 8.2814a 9.0986a
7.8814a 8.2829a
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
30
Gambar 14. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Beras Analog
Hasil uji hedonik beras menunjukkan bahwa B dan F juga memiliki nilai kesukaan tertinggi
pada parameter overall. Hasil pengolahan data menggunakan SPSS menunjukkan bahwa
perlakuan berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada taraf kepercayaan 95 % dan uji
lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa beras B dan F berada pada subset yang sama. Penilaian
overall produk dipengaruhi oleh keseluruhan karakteristik beras meliputi warna, bentuk, aroma,
tekstur. Terlihat bahwa beras B dan F sudah memiliki skor penilaian diatas moderat dan sudah
mulai disukai.
4.4.2 Analisis Rating Hedonik Nasi Beras Analog
Hasil uji hedonik pada Gambar 15 menunjukkaan bahwa pada parameter warna nasi yang
memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi B, E dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan
penilaian panelis terhadap nasi B, E dan F adalah moderat-agak menyukai. Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter warna adalah <0.05 yang
berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.
Gambar 15, Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Nasi Beras Analog
Warna nasi seperti yang terlihat pada Gambar 7 adalah kuning kecoklatan dan agak berbeda
dengan warna nasi yang putih. Warna kuning pada nasi lebih pudar dibandingkan warna berasnya.
Perubahan warna tersebut terjadi karena proses pemasakan yang menimbulkan gelatinisasi pati.
Warna nasi dengan substitusi tepung sorgum menjadi agak kecoklatan dapat disebabkan
kandungan tanin pada nasi.
5.946a
9.197c
7.839b
6.359b
8.263b 9.449c
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Sko
r R
ataa
n H
ed
on
ik
6.067a
7.646bc 7.016b
5.511a
7.966bc 8.251c
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
31
Gambar 16. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Nasi Beras Analog
Gambar 16 menunjukkan bahwa pada parameter bentuk nasi yang memiliki nilai kesukaan
tertinggi adalah nasi E dan F. Bentuk nasi beras analog lebih besar dibandingkan dengan berasnya.
Perubahan bentuk tersebut disebabkan oleh proses pemasakan yang menggunakan air. Sebagian
besar komponen beras analog adalah karbohidrat berbentuk pati maka proses swelling tersebut
terjadi karena adanya gelatinisasi pati (Winarno 2008). Pati yang dipanaskan bersama air akan
menyerap air untuk memecah struktur pati. Setelah struktur pati pecah air diserap pati sehingga
viskositas akan meningkat. Proses pemanasan ini juga akan mengikat molekul air pada pati
sehingga air terserap dan menyebabkan ukuran nasi lebih besar dibandingkan beras.
Gambar 17. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Nasi Beras Analog
Gambar 17 menunjukan bahwa pada parameter aroma nasi yang memiliki nilai kesukaan
tertinggi adalah nasi A dan B. Aroma nasi merupakan salah satu parameter yang penting pada
penerimaan nasi. Umumnya di masyarakat nasi yang paling disukai adalah nasi beraroma pandan.
Beras beraroma pandan biasanya berkaitan dengan kepulenan nasi. Aroma nasi beras analog
dominan dipengaruhi oleh aroma jagung karena proporsi jagung yang paling besar. Oleh karena
itu, penerimaan panelis terhadap aroma nasi beras analog masih dibawah netral/moderat.
5.854a 6.461ab
6.883ab 6.093ab
7.241b 7.02b
0
2
4
6
8
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
6.614b 6.514b
4.389a
5.624b 6.154b 6.067b
0
1
2
3
4
5
6
7
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
32
Gambar 18. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Rasa Beras Beras Analog
Gambar 18 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji rating hedonik pada parameter rasa
nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi B dan F. Nilai kesukaan nasi
menggambarkan bahwa rasa nasi beras analog sudah mulai disukai. Rasa nasi beras analog sendiri
adalah hambar (plain) sehingga memiliki peluang untuk dikonsumsi dengan bentuk olahan yang
lain seperti nasi goreng dan nasi bakar.
Tekstur nasi juga merupakan faktor penting dalam penerimaan nasi. Penilaian tekstur nasi
meliputi kepulenan dan kelengketan. Diagram pada Gambar 19 dapat menunjukkan bahwa nasi
yang memiliki kesukaan tertinggi adalah nasi B, E dan F. Kepulenan dan kelengketan nasi
sebagian besar dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin. Beras yang mengandung kadar
amilosa rendah (10-15%) memiliki karakterisitik nasi yang pulen dan agak lengket. Beras yang
mengandung kadar amillosa sedang (16-24) memiliki karakteristik nasi yang tidak pera namun
tidak pulen dan agak lengket. Beras yang mengandung kadar amilosa tinggi (25-35%) memiliki
karakteristik pera dan tidak lengket (buyar).
Gambar 19. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Nasi Beras Analog
6.866a
8.063b
6.906a 7.097ab
7.756ab 7.763ab
6
6,5
7
7,5
8
8,5
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
6.921a 7.994bc
7.089ab 7.639ab 8.064bc
8.706c
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
ed
on
ik
33
Gambar 20. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Nasi Beras Analog
Hasil penilaian pada parameter overall nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah
berasasi B dan F. Hasil pengolahan data menggunakan SPSS menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada paremeter warna, aroma, tekstur dan
overall pada taraf kepercayaan 95 % dan uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa nasi B dan F
berada pada subset yang sama.
4.4.3 Pemilihan Formula Terbaik
Formula terbaik ditentukan oleh beras dan nasi yang memiliki skor kesukaan tertinggi.
Hasil uji skor kesukaan menunjukkan beras B dan F merupakan sampel yang paling sering
memiliki skor kesukaan tertinggi pada parameter spesifik yang diujikan seperti warna, bentuk,
aroma, tekstur dan juga parameter rasa. Penilaian pada sampel beras menunjukkan beras B dan F
memiliki skor tertinggi pada semua parameter sedangkan pada sampel nasi beras E juga memiliki
skor tertinggi pada beberapa parameter. Hasil penilaian overall sampel beras dan nasi
menunjukkan beras B dan F yang memiliki skor tertinggi. Oleh karena itu, beras yang dipilih
sebagai sampel terbaik adalah beras B dan F karena baik secara keseluruhan maupun secara
spesifik kedua beras tersebut memiliki skor kesukaan tertinggi.
4.5 ANALISIS KIMIA BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK
Beras analog formula terpilih adalah beras formula B dan formula F. Analisis kimia dan
fisik beras analog tersebut untuk mengetahui kandungan gizi dan sifat fisik beras analog. Sifat
kimia dan fisik dibandingkan dengan beras dari padai dengan varietas IR-64 karena beras tersebut
diharapkan dapat menunjukkan karakter beras yang umum dikonsumsi oleh masyarakat.
4.5.1 Analisis Proksimat
Kadar Air
Hasil analisis proksimat pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa kadar air (bk) beras B lebih
rendah dari beras sosoh sedangkan kadar air beras F sedikit lebih tinggi dari beras sosoh. Hasil uji
Independent T-test menunjukkan kadar air beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Kadar air
kedua beras tersebut sudah lebih rendah dari kadar air yang aman untuk penyimpanan beras yaitu
<14%bb. Dengan kadar air <14 % (bb) akan mencegah pertumbuhan kapang yang sering hidup
pada serealia/biji-bijian.
6.6543a
8.000 c
6.8971ab 6.8686ab 7.7514bc 7.93c
0
2
4
6
8
10
A B C D E F
Rat
aan
Sko
r H
Edo
nik
34
Tabel 10. Kadar Proksimat Formula Terpilih
Kadar
Proksimat
Beras
B
Beras
F
Beras
Sosoh*
Kadar Air (bk) 10.58±0.07 11.37±0.01 11.22±0.11
Kadar Abu (bk) 0.52±0.00 0.52±0.01 0.56±0.0
Kadar Lemak (bk) 1.12±0.01 0.86±0.01 1.46±0.1
Kadar Protein (bk) 6.95±0.17 3.96±0.05 7.40±0.0
Kadar karbohidrat (bk) 91.60±0.15 94.70±0.10 89.56
*sumber: Ohtsubo (2005)
Kadar Abu
Kadar abu beras B dan F hampir sama dengan beras sosoh. Hasil uji Independent T-test
menunjukkan kadar abu beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Kadar abu pada beras analog
cukup rendah karena mengandung pati yang cukup tinggi. Proses pembuatan pati yang melalui
ekstraksi oleh air dapat membuat kandungan mineral pada tepung larut dan terbuang. Oleh karena
itu, dapat dilakukan pengembangan produk yang mengandung mineral tinggi untuk memenuhi zat
gizi yang hilang selama pengolahan maupun dengan tujuan fortifikasi mineral tertentu.
Lemak
Kadar lemak beras B dan F lebih tinggi dari kadar lemak beras sosoh (0.60%). Hasil uji
Independent T-test menunjukkan kadar lemak beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Secara
umum kandungan lemak beras analog termasuk rendah. Kandungan lemak yang rendah dapat
mencegah beras analog menjadi tengik dan dapat membuat beras analog memiliki masa simpan
yang lebih lama.
Protein
Protein adalah senyawa polimer asam amino yang penting bagi tubuh. Kadar protein (bk)
beras B dan F lebih rendah dari beras sosoh. Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar
protein beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Meskipun jumlah proteinnya masih dibawah
kadar protein beras, diharapkan beras analog masih memberikan dukungan terhadap asupan
protein pada konsumsi sehari-hari. Sebenarnya beras bukan merupakan sumber protein karena
kadar proteinnya rendah. Namun, asupan protein masyarakat Indonesia paling tinggi berasal dari
padi-padian (BPS 2011). Hal ini disebabkan konsumsi masyarakat terhadap nasi sangat tinggi,
tetapi untuk memenuhi kekurangan protein sebaiknya beras dikonsumsi bersama sumber protein
seperti telur, daging , ikan, dan kacang-kacangan. Protein juga memiliki hubungan yang moderat
terhadap indeks glikemik. Makanan yang mengandung protein tinggi memiliki aktivitas glikemik
yang rendah karena komponen ini menunda proses pengosongan lambung sehingga pencernaan
pada usus halus akan menjadi lebih lambat (Widowati et al. 2006)
Karbohidrat
Kadar karbohidrat pada beras merupakan faktor yang penting untuk diketahui karena beras
diketahui sebagai sumber karbohidrat. Pada Tabel 9 dapat dilihat kadar karbohidrat (bk) beras
analog B dan F melebihi kadar karbohidrat beras sosoh. Hasil uji Independent T-test menunjukkan
kadar karohidrat beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Kadar karbohidrat yang tinggi
disebabkan oleh bahan baku yang digunakan sebagian besar tepung dan pati yang merupakan
sumber karbohidrat.
35
Karbohidrat merupakan komponen yang menyumbangkan energi terhadap tubuh. Asupan
kalori masyarakat Indonesia juga paling tinggi diperoleh dari karbohidrat jenis padi-padian yaitu
lebih dari 900Kal/hari/kapita (BPS, 2011). Karbohidrat juga memiliki hubungan dengan indeks
glikemik. Jenis karbohidrat yang dicerna secara cepat memiliki aktivitas glikemik yang lebih
tinggi dibandingkan karbohidrat yang lambat dicerna (Widowati et al, 2006).
4.5.2 Analisis Kadar Serat Pangan
Kadar serat pangan pada suatu produk dapat menentukan tingkat kekenyangan yang
dihasilkan oleh produk tersebut. Serat pangan juga berfungsi untuk melancarkan saluran
pencernaan dan membantu menghindari konstipasi pada usus. Kekurangan serat pangan dapat
menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker usus besar, jantung dan pembuluh darah,
diabetes mellitus dan batu empedu (Astawan et al. 2004).
Tabel 11. Kadar Serat Pangan Beras Analog
Kadar Serat Pangan Beras B (%) Beras F (%) Beras Sosoh* (%)
Serat Pangan Tak Larut 1.52 1.75 0.6
Serat Pangan Larut 2.48 2.46 <0.5
Total Serat Pangan 4.00 4.21 0.6
Hasil analisis serat pangan pada beras analog pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kadar
serat pangan tak larut beras B dan beras F lebih tinggi dibandingkan beras sosoh. Kadar serat
pangan larut beras B dan beras F lebih tinggi dibandingkan beras sosoh, sehingga total serat
pangan pada beras B dan F lebih tinggi dibandingkan total serat pangan beras sosoh. Kandungan
serat beras analog B dan F sekitar 4g per 100 g, sehingga konsumsi beras analog sebanyak 100g
dapat menyumbang 4 gram atau 16% kebutuhan serat sehari (25 g). Berdasarkan penelitian
Widowati et al. (2006), serat pangan larut lebih memiliki hubungan terhadap indeks glikemik
beras. Serat diketahui dapat menunda proses pengosongan lambung sehingga mengurangi laju
percernaan pada usus. Serat pangan juga berguna untuk menurunkan kolesterol pada serum darah.
Oleh karena itu, konsumsi pangan mengandung serat tinggi sangat berguna bagi penderita diabetes
maupun penderita kolesterol tinggi.
4.5.3 Analisis Kadar Pati dan Amilosa
Salah satu sifat kimia beras yang dapat menentukkan sifat fisik beras adalah kadar amilosa
beras. Kadar amilosa beras biasanya ditentukan untuk mengetahui tingkat kepulenan beras.
Namun, kadar amilosa tidak dapat menentukkan tingkat kesukaan beras karena selera masyarakat
akan kepulenan beras berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah masyarakat Sumatera cenderung
menyukai beras yang pera sedangkan masyarakat Jawa Barat cenderung menyukai beras yang
pulen.
Kadar pati beras analog juga dianalisis untuk mengetahui jumlah karbohidrat dalam bentuk
pati. Hasil analisis pati dan amilosa beras analog dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis
kandungan pati pada Tabel 12 menunjukkan bahwa total pati pada beras B dan F lebih rendah
dibandingkan beras sosoh. Kadar amilosa beras B (21.72 %) lebih tinggi dibandingkan beras IR-64
sosoh, namun masih termasuk ke dalam beras dengan kadar amilosa sedang (20-24%) yang
memiliki karakteristik beras yang sedang (agak pulen). Beras F mengandung kadar amilosa
sebesar 14.49% sehingga termasuk ke dalam beras amilosa rendah (10-20%) sehingga termasuk
36
beras yang pulen. Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar pati dan amilosa beras B dan F
berbeda nyata pada taraf 95%.
Tabel 12. Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Beras Analog
Kandungan
Pati
Beras
B (%)
Beras
F (%)
Beras
IR 64 *(%)
Total Pati 64.48 65.10 68.18
Amilosa 21.72 14.49 20.65
Sumber : *Wulan et al. (2007)
Amilosa adalah senyawa polimer glukosa yang memiliki rantai lurus dan tidak bercabang.
Analisis kadar amilosa pada beras biasanya bertujuan untuk mengetahui hubungannya dengan
kepulenan nasi beras tersebut. Oleh sebab itu, pengukuran kadar amilosa dijasikan salah satu
parameter karakterisasi beras varietas baru (Balai Penelitian Tanaman Padi 2004).
Berdasarkan penelitian Widowati et al. (2006), kadar amilosa memiliki korelasi yang cukup
tinggi dengan indeks glikemik. Semakin tinggi kadar amilosa beras maka indeks glikemiknya
semakin rendah. hal tersebut disebabkan amilosa merupakan senyawa polimer yang tidak memiliki
cabang sehingga ikatannya menjadi sangat kuat sehingga lebih sulit dicerna. Namun, kadar
amilosa tidak dapat menjadi satu-satunya parameter yang dapat menggambarkan indeks glikemik
beras karena masih memunginkan faktor lain seperti serat pangan, pati resisten dan ikatan
kompleks amilosa dengan komponen lain yang dapat mempengaruhi indeks glikemik beras.
4.6 ANALISIS FISIK BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK
4.4.3 Analisis Warna Beras Analog
Tabel 13. Hasil Analisis Warna Beras Analog
Beras L +a +b oHue Warna
Beras B 60.86 +3.88 +23.67 80.69 Kuning-Merah
Beras F 60.82 +3.82 +25.93 81.63 Kuning-Merah
Beras IR 64* 80.79 +5.05 +11.01 65.36 Kuning- Merah
*sumber: Setianingsih (2008)
Warna merupakan salah satu atribut penting yang menentukan penerimaan konsumen pada
produk. Analisis warna dilakukan menggunakan alat Chromameter Minota CR 300. Analisis
warna yang dilakukan untuk mengetahui derajat putih atau kecerahan beras berdasarkan nilai L
dan skema warna beras berdasarkan nilai a dan b. Hasil analisis warna produk beras analog terpilih
dapat dilihat pada Tabel 13.
Hasil analisis warna beras analog menggunakan alat Chromameter menunjukkan bahwa
beras formula B memiliki warna beras yang berada pada kisaran kuning-merah. Beras formula F
juga memiliki warna beras yang berada pada kisaran kuning-merah. Beras analog B dan F
memiliki nilai L lebih rendah dibandingkan dengan beras IR-64 sehingga beras analog memiliki
nilai derajat putih atau derajat kecerahan yang lebih rendah dibandingkan dengan beras sosoh.
Namun, berdasarkan nilai oHue berdasarkan nilai +a dan +b, baik beras analog maupun beras
sosoh termasuk ke dalam skema warna yang sama yaitu kuning-merah. Warna beras yang kuning
kemerahan dapat disebabkan oleh adanya penambahan tepung jagung yang berwarna kuning dan
penambahan tepung sorgum yang mengandung tanin, sehingga warnanya menjadi gelap.
37
4.5.3 Bobot Seribu Butir
Bobot seribu butir beras dapat menunjukkan bobot beras per butirnya. Bobot seribu butir
dilakukan untuk mengetahui keseragaman ukuran beras. Hasil analisis bobot seribu butir dapat
dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil Analisis Bobot 1000 butir
Beras Bobot 1000 Butir (g) Bobot per butir (g)
Beras B 18.84 0.01884
Beras F 15.94 0.01594
Beras IR-64* 19.00 0.01900
*sumber: Setianingsih (2008)
Hasil analisis bobot seribu butir pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa bobot seribu butir
beras analog formula B dan F lebih rendah dibandingkan dengan beras sosoh (Setianingsih 2008).
Hal ini dapat disebabkan ukuran beras analog yang lebih kecil dibandingkan beras sosoh. Bobot
per butir beras analog dapat dipengaruhi oleh proses pencetakkan beras analog menggunakan
ekstruder. Parameter proses yang paling berpengaruh adalah kecepatan screw dan kecepatan
cutter. Kombinasi kedua parameter tersebut dapat menentukan bentuk beras analog. Jika
kecepatan dikurangi maka ukuran beras analog menjadi besar dan begitu pula sebaliknya. Analisis
bobot per butir beras analog berkaitan dengan analisis densitas kamba untuk mengetahui volume
dan porositas beras.
4.6.3 Densitas Kamba
Densitas kamba adalah berat jenis produk kering yang dihitung berdasarkan bobotnya dalam
suatu wadah. Densitas kamba beras analog diketahui untuk mengetahui volume dan porositas
beras. Hasil analisis densitas kamba beras dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil Analisis Densitas Kamba Beras Analog
Beras Densitas Kamba (g/ ml)
Beras B 0.649
Beras F 0.699
Beras IR-64 sosoh* 0.790
Sumber : *Hawa et. al (2010)
Berdasarkan hasil analisis densitas kamba beras B memiliki densitas 0.63g/ml sedangkan
beras F memiliki densitas 0.58 g/ml. Dibandingkan dengan densitas kamba beras serang (0.79
g/ml) beras analog memiliki densitas yang lebih rendah. Sehingga dapat disimpulkan beras analog
memiliki berat yang lebih kecil dibandingkan beras padi yang disosoh pada volume yang sama.
Densitas kamba beras analog yang rendah juga menunjukkan beras analog memiliki porositas yang
tinggi. porositas yang tinggi dapat dipengaruhi oleh kandungan gizi beras analog maupun proses
pembuatan yang meliputi pengeringan. Pengeringan dapat membuat beras analog kehilangan air
dan matriks beras analog menjadi lebih poros.
Hasil analisis densitas kamba dapat juga mengetahui volume beras untuk mendapatkan 1 kg
beras. Jika densitas kamba beras B adalah 0.65g/ml maka untuk mendapatkan 1 kg beras B adalah
dengan mengukur 1538.46 ml atau sekitar 1.5 liter. Sedangkan beras F memiliki densitas kamba
0.69 g/ml sehingga untuk mendapatkan 1 kg beras F adalah dengan mengukur 1449.27 ml atau
sekita 1.5 liter.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uji rating hedonik, sampel yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi adalah
beras formula B dan formula F. Formula B terdiri dari tepung jagung 40%, tepung sorgum 30%,
maizena 15%, pati sagu aren 15% dan GMS 2%. Formula F terdiri dari tepung jagung 40%, mocaf
30%, maizena 30% dan GMS 2%. Formula terbaik dianalisis lebih lanjut sifat kimia dan sifat
fisiknya. Sifat kimia meliputi kandungan gizi (analisis proksimat dan serat pangan), kadar pati dan
amilosa. Sifat fisik meliputi warna, bobot 1000 butir dan densitas kamba.
Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula B mengandung 10.58% kadar air
(bk), 0.52% kadar abu (bk), 6.95% kadar protein (bk), 1.12% kadar lemak(bk), 91.60% kadar
karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras B adalah 4.00%. Kadar pati beras
formula B adalah 64.48% dan kadar amilosanya adalah 21.72%. Hasil uji proksimat menunjukkan
bahwa beras formula F mengandung 11.37% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 3.96% kadar
protein (bk), 0.86% kadar lemak(bk), 94.70% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat
pangan beras F adalah 4.21%. Kadar pati beras formula F adalah 65.10% dan kadar amilosanya
adalah 14.49%.
Hasil analisis warna beras analog mengugunakan alat Chromameter menunjukkan bahwa
beras formula B memiliki warna dengan nilai L 60.08, a + 3.88 dan b +23.67 sehingga warna beras
B berada pada kisaran warna kuning-merah. Beras formula F memiliki warna dengan nilai L
60.82, a + 5.05 dan b +25.93 sehingga warna beras F juga berada pada kisaran warna kuning-
merah. Hasil analisis bobot 1000 butir beras formula adalah 18.84 g sedangkan beras F adalah
15.94 g. Hasil analisis densitas kamba beras B adalah 0.63 g/ml sedangkan beras F 0.58g/ml.
Beras B dan F berada dalam kisaran warna yang sama dengan beras sosoh namun densitas dan
bobot 1000 butir beras analog tersebut lebih kecil dari beras sosoh.
5.2 SARAN
Bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan baku yang dapat diolah menjadi beras analog
yang digunakan pada penelitian ini masih terbatas pada sumber karbohidrat, sehingga pada
penelitian selanjutnya dapat ditambahkan bahan-bahan lain yang dapat meningkatkan nilai gizi
dan sifat fungsional beras analog.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Aini N dan Hariyadi P. 2007. Pasta Pati Jagung Putih Waxy dan Non-waxy yang Dimodifikasi
secara Oksidasi dan Asetilasi-Oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol.12 No.2 hlm
108-115.
Akdogan, H. 1999. High moisture food extrusion. International Journal of Food Science and
Technology 1999. 34; 195-207
Alam N dan Saleh MS. 2009. Karakteristik pati dari batang pohon aren pada berbagai fase
pertumbuhan. J Agroland 16 (3) : 199-205
Alavi S, Bugusu S, Cramer G, Dary O, Lee TC, Martin L, and McEntire J. 2008. Rice Fortification
in Developing Countries: A Critical Review of The Technical and Economic Feasibility.
Academy for Educational Development. Washington DC.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2006. Official Methods of Analysis of The
Association of Officiial Agriculture Chemist 16th edition. Virginia. AOAC International
Ariani, M. 2010. Diversifikasi pangan pokok mendukung swasembada beras. Prosiding Pekan
Serealia Nasional ISBN 978-979-8940-29-3.
Asp NG, CG Johanson, H Halimer, dan Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and
soluble dietary fiber. J. Agricultural Food Chemistry 31: 476-482.
Astawan M, Koswara S, dan Herdiani F. 2004. Pemanfaatan Rumput Laut (Eucheuma cottoni)
untuk Meningkatkan Kadar Iodium dan Serat Pada Selai dan Dodol. Jurna Teknol. Dan
Industri Pangan Vol XV, No.1
Awika JM, Yang L, Browning JD, and Faraj A. 2009. Comparative Antioxidant, Antiroliferative
and phase II enzyme inducing potential of Sorghum (Sorghum bicolor) Varieties. Journal
LWT-Food Science and Technology 42(2009) 1041-1046.
[BBKP Sumbar] Badan Bimas Ketahan Pangan Provinsi Sumatera Barat. 2006. Rencana Strategis
B2KP Provinsi Sumbar 2006-2010. B2KP. Padang.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Situasi Konsumsi Pangan Penduduk Tahun 2007. Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai (Angka Ramalan III).
Badan Resmi Statistik No.69/ 11/ Th XIV.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Rata-rata Konsumsi Kalori (gram) per Kapita Menurut
Kelompok Makanan 1999, 2002 – 2010.
http:// www.bps.go.id/sector/consumexc/table1.shtml. [2 Februari 2012]
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Rata-rata Konsumsi Protein (gram) per Kapita Menurut
Kelompok Makanan 1999, 2002 – 2010. Jakarta
http:// www.bps.go.id/sector/consumexp/table1.shtml. [2 Februari 2012]
[BSN] Badan Standar Nasional. 1992 SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman.
40
Budijanto S, dkk. 2011. Pengembang rantai nilai serelalia lokal (indegenous sereal) untuk
memperkokoh ketahanan pangan nasional. [Laporan Program Riset Strategi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Peranian Bogor
[DEPTAN] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum gerakan
penganekaragaman konsumsi pangan 2011. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Deptan.
Dewan Ketahan Pangan. 2006. Kebijakan Umun Ketahan Pangan. J Gizi dan Pangan Juli 2006
1(1) Hal 57-63
Dewi RK. 2012. Rekayasa Beras Nalog Berbahan Dasar Modified Cassava Flour (MOCAF)
dengan Teknologi Ekstrusi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
[FAO].1995. Sorghum and Millets in HumanNutrition. FAO Food and Nutrition Series, No. 27.
FAO, Roma.
Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practices, @nd ed. Boca Raton.
CRC Press
Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcell-Decker.Inc. New York
Firdayati M dan Handajani M. 2005. Studi Karakteristik Dasar Limbah Industri Tepung Aren.
Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan Vol. I. No 2. hlm 22-29
Firmansyah Y dan DR Adawiyah. 2003. Formulasi minuman instan fungsional antioksidan
berbasis efek sinergisme kayu secang terhadap pala danjahe. Seminar Nasional dan
Pertemuan Tahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) GM-16: 1-8
Hawa, L.C., Lastriyanto, A., dan Bangun S. 2010. Pengemasan atmosfer termodifikasi beras pecah
kulit dan sosoh. Jurnal Teknologi Pertanian Vol.11 No 3. Hal 177-183
Hayati, Wryaningsih, Anah L. 2001. Pembuatan Gliserol Mono Stearat dari Gliserol dan Asam
Staearat Minyak Sawit. Prosiding Seminar Nasiona X “Kimia dalam Industri dan
Lingkungan”
Hutchings JB. 1999. Food color and appearance. Aspen Publisher. Maryland.
Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylose. Cereal Science Today 16: 334-360.
Kaur L, Singh J, and Singh N. 2004. Effect of glycerol monostearat on the physic-chemical,
thermal, rheological and noodle making properties of corn and potato starch. Journal Food
Hydrocolloids 19 (2005) 839-849
Kharunia A. 2012. Pengembangan Beras Tiruan Berbasis Sorgum. [Skripsi]. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kurachi H. 1995. Process for Producing Artifical Rice. USA. 5403606.
Lestari OA. 2009. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Evaluasi Nilai Gizi Biologis Mi Jagung
Kering Yang Disustitusi Tepung Jagung Termodifikasi. Skripsi.
Lisnan V. 2008. Pengembangan Beras Artificial dari Ubi Kayu (Manihot esculenta) dan Ubi Jalar
(Ipoemea batatas) sebagai Upaya Diversifikasi Pangan. [Skripsi]. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor
41
Martianto D, Briawan D, Ariani M, dan Yulianis M. 2009. Percepatan Diversifikasi Konsumsi
Pangan Berbasis Pangan Lokal : Perspektif Pejabat Daerah dan Strategi Pencapaiannya.
Jurnal Gizi dan Pangan, Vol. 4 No. 3 :123-131
Mishra, A, Mishra, H.N., dan Rao, P.S. 2012. Preparation of rice analogues using extrusion
technology. Internationan Journal of Food Science and Technology.
Moretti, D., Lee, T.C., Zimmermann, M.B., Nuessli, J., dan Hurrell, R.F. 2005. Development and
evaluation of iron-fortified extruded rice grains. Journal Food Science 2005: 70; 330-6
Moretti, D., Zimmermann, M.B., Muthaya, S., Thankachan, P., Lee, T.C., Kurpad, A.V., dan
Hurell, R.F. 2006. Extruded rice fortified with ground ferric pyrophosphate reduces iron
deficiency in Indian school children: a double-blind randomized controlled trial. The
American Journal of Clinical Nutrition. 2006; 84:822-9
Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan.
Ohtsubo, K., Suzuki, K., Yasui, Y., dan Kasumi, T. 2005. Bio-functional components in the
processed pre-germinated brown rice by a twin-screw extruder. Journal of Food
Composition and Analysis 18 (2005) 303-316
Panikulata G. 2008. Potensi Modified Cassava Flour (MOCAF) sebagai Substituen Tepung Terigu
pada Produk Kacang Telur. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Pinasthi W. 2011. Pengaruh Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan Radiasi
Microwave terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tapioka dan Maizena.
Putseys JA, Lamberts L and Delcour JA. 2010. Amylose-inclusion complexes: formation, identity
and physic-chemical properties. J of Cereal Science 51(3): 238-247
Richana N. 2010. Tepung Jagung Termodifikasi sebagi Pengganti Terigu. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.` Vol 32 No. 6. Balai Besar Penelitian dan Pengemangan Pasca
Panen.
Riaz MN. 2000. Exrtruders In Food Applications. CRC Press. Boca Raton
Samad MY. 2003. Pemuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) Dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan
Sagu. J Saint dan Teknologi BPPT VII.IB.02
Sang Y, Bean S, Seib PA, Pedesrsen J, and Sci YC. 2008. Structure and functiona properties of
sorghum starches differing in amylase content. J Agric Food Chem 56: 6680-6685.
Scella, R.P., Hegedus, E., Giacone, J., Bruins, H.B., dan Benjamin, E.J. Extruded quick cooking
rice-like product. EP 0226375A1
Setianingsih P. 2008. Karakterisasi sifat fisiko kimia dan indeks glikemiks beras berkadar amilosa
sedang. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sindhuja A, Sudha ML, and Rahim A. 2005. Effect of incorporation of amaranth flour on the
quality of cookies. Journal Eur Food Res Technol (2005) 221 : 597-601
42
Singh N, Sharma S, and Singh B. 2000. The effect of sodium bicarbonate and glycerol
monostearate addition on the extrusion behaviour of maize grits. Journal of Food
Engineering 46 (2000) 61-66
Sirappa MS. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif
untuk pengan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Selatan, Makasar.
Suarni. 2001. Tepung Komposit Sorgum, Jagung, dan Beras untuk Pembuatan Kue Basah (cake).
Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Tanaman Jagung
dan Serealia, Maros. Vo 6. Hlm 55-60
Suarni dan S Singgih. 2002. Karakteristik Sifat Fisik dan Komposisi Kimia beberapa varietas/galur
biji sorgum. Jurnal Stigma X(2): 127-130.
Suarnia.2004. Evaluasi Sifat Fisik dan Kandungan Kimia Biji Sorgum setelah Penyosohan. Jurnal
Stigma XII (1): 88-91.
Suarnib. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum untuk Produk Olahan. Jurnal Litbang Pertanian 23(4)
2004
Subagyo A, Siti W, Witono Y dan Fahmi F. 2008. Prosedur Operasi Standar (POS) Produksi
Mocal Berbasis Klaster. Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok. Trenggalek.
Sudarmaji, S, Bambang Haryono dan Suhardi. 1997. Analisa Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Supit AJ. 2010. Pengembangan Jagung Nasional Mengantisispasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi
Dunia: Prospek dan Tantangan. Prosiding Pekan Sereal Nasional 2010.
Tam LM, Corke WIT, Li J, and Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodle from maize
starch differing in amylosa content. J Cereal Chemistry 81 (4): 475-480.
Tarigan H. 2003. Dilema Pangan Beras Indonesia. [terhubung berkala]. 5 Juni 2012.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/st230403-1.pdf
Widowati S, Astawan M, Muchtadi D, and Wresdiyati T. 2006. Hypoglycemic activity of some
Indonesian rice varieties and their physicochemical properties. Indonesian Journal of
Agricultural Science 7(2); 57-66
Wulan ST, Widyaningsih TD, dan Kasseri D. 2007.Modifikasi Pati Beras Alami dan Hasil
Pemutusan Rantai Cabang dengan Perlakuan Fisik/ Kimia Untuk Meningkatkan Kadar Pati
Resisten . J Teknologi Pertanian. Vol 8 No.1 Hal 61-70
Yoshida, T., Sagara, T., Ojima, T., Takahashi, R., dan Takahashi, M. 1971. Process For
Producing Artificial Rice. USA 3620762.
Yuliyanti. 2012. Pengaruh varietas sorgum terhadap penerimaan konsumen. [Skripsi]. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
44
Lampiran 1. Hasil Analisis Warna Bahan Beras Analog
Bahan Ulangan L a (+) b (+) Rata-
rata L
Rata-
rata
+a
Rata-
rata
+b
oHue Warna
Sorgum
Pahat
1 58.20 2.03 7.34 58.20
2.03
7.34
74.54
Kuning
2 58.20 2.03 7.34
Mocaf 1 63.32 1.62 5.48 63.32 1.62 5.48 73.51 Kuning
2 63.32 1.62 5.49
Jagung 1 62.01 0.58 12.45 62.00
0.57
2.44
76.85
Kuning
2 61.99 0.57 12.44
Maizena 1 64.46 0.81 3.66 64.46 0.81 3.36 76.45 Kuning
2 64.47 0.81 3.65
Sagu
Aren
1 58.78 1.90 5.63 58.80 1.90 5.63 71.35 Kuning
2 58.81 1.90 5.63
45
Lampiran 2. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Warna
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Warna
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 25714.074a 75 342.854 40.782 .000
Panelis 1348.021 69 19.537 2.324 .000
Sampel 1533.789 5 306.758 36.488 .000
Error 2900.436 345 8.407
Total 28614.510 420
a. R Squared = .899 (Adjusted R Squared = .877)
Warna
Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
D 70 4.7557
A 70 4.8386
C 70
7.9371
E 70
7.9786
B 70
9.2586
F 70
9.4700
Sig.
.866 .933 .666
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 8.407.
46
Lampiran 3. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Bentuk
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Bentuk
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 27957.978a 75 372.773 40.016 .000
Panelis 1450.208 69 21.018 2.256 .000
Sampel 536.753 5 107.351 11.524 .000
Error 3213.912 345 9.316
Total 31171.890 420
a. R Squared = .897 (Adjusted R Squared = .874)
Bentuk
Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3 4
D 70 6.4029
A 70 6.4886
E 70
7.7829
C 70
8.1100 8.1100
B 70
9.1214 9.1214
F 70
9.2757
Sig.
.868 .526 .051 .765
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 9.316.
47
Lampiran 4. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Aroma
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Aroma
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 25938.260a 75 345.843 43.317 .000
Panelis 1164.190 69 16.872 2.113 .000
Sampel 324.498 5 64.900 8.129 .000
Error 2754.470 345 7.984
Total 28692.730 420
a. R Squared = .904 (Adjusted R Squared = .883)
Aroma
Duncan
Sampel N
Subset
1 2
A 70 6.4243
D 70 6.9286
C 70 6.9900
E 70
8.2129
F 70
8.5271
B 70
8.6957
Sig.
.267 .345
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
7.984.
48
Lampiran 5. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Tekstur
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Tekstur
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 31564.072a 75 420.854 14.295 .000
Panelis 2806.222 69 40.670 1.381 .033
Sampel 118.775 5 23.755 .807 .545
Error 10157.328 345 29.442
Total 41721.400 420
a. R Squared = .757 (Adjusted R Squared = .704)
Tekstur
Duncan
Sampel N
Subset
1
A 70 7.4029
E 70 7.8814
C 70 8.2814
F 70 8.2829
B 70 8.5986
D 70 9.0986
Sig.
.108
Means for groups in
homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean
Square(Error) = 29.442.
49
Lampiran 6. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Overall
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Overall
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 27669.675a 75 368.929 50.008 .000
Panelis 1114.202 69 16.148 2.189 .000
Sampel 727.375 5 145.475 19.719 .000
Error 2545.225 345 7.377
Total 30214.900 420
a. R Squared = .916 (Adjusted R Squared = .897)
Overall
Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
A 70 5.9457
D 70 6.3586
C 70
7.8386
E 70
8.2629
B 70
9.1971
F 70
9.4486
Sig.
.369 .356 .584
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 7.377.
50
Lampiran 7. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Warna
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Warna
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 23221.614a 75 309.622 38.844 .000
Panelis 1773.479 69 25.703 3.225 .000
Sampel 417.698 5 83.540 10.481 .000
Error 2749.946 345 7.971
Total 25971.560 420
a. R Squared = .894 (Adjusted R Squared = .871)
Warna
Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
D 70 5.5114
A 70 6.0671
C 70
7.0157
B 70
7.6457 7.6457
E 70
7.9657 7.9657
F 70
8.2514
Sig.
.245 .060 .234
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 7.971.
51
Lampiran 8. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Bentuk
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Bentuk
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 20097.792a 75 267.971 27.097 .000
Panelis 1745.165 69 25.292 2.558 .000
Sampel 108.870 5 21.774 2.202 .054
Error 3411.838 345 9.889
Total 23509.630 420
a. R Squared = .855 (Adjusted R Squared = .823)
Bentuk
Duncan
Sampel N
Subset
1 2
A 70 5.8129
D 70 6.0929 6.0929
B 70 6.4943 6.4943
C 70 6.8829 6.8829
F 70
7.0200
E 70
7.2414
Sig.
.066 .053
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
9.889.
52
Lampiran 9. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Aroma
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Aroma
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 16915.458a 75 225.539 27.933 .000
Panelis 2092.097 69 30.320 3.755 .000
Sampel 233.825 5 46.765 5.792 .000
Error 2785.602 345 8.074
Total 19701.060 420
a. R Squared = .859 (Adjusted R Squared = .828)
Aroma
Duncan
Sampel N
Subset
1 2
C 70 4.3886
D 70
5.6243
F 70
6.0671
E 70
6.1543
B 70
6.5143
A 70
6.6143
Sig.
1.000 .066
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
8.074.
53
Lampiran 10. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Rasa
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Rasa
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 24612.028a 75 328.160 36.931 .000
Panelis 1468.692 69 21.285 2.395 .000
Sampel 92.306 5 18.461 2.078 .068
Error 3065.582 345 8.886
Total 27677.610 420
a. R Squared = .889 (Adjusted R Squared = .865)
Rasa
Duncan
Sampel N
Subset
1 2
A 70 6.8657
C 70 6.9057
D 70 7.0971 7.0971
E 70 7.7557 7.7557
F 70 7.7629 7.7629
B 70
8.0629
Sig.
.115 .081
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
8.886.
54
Lampiran 11. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Tekstur
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Tekstur
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 26880.549a 75 358.407 42.795 .000
Panelis 1594.270 69 23.105 2.759 .000
Sampel 154.491 5 30.898 3.689 .003
Error 2889.361 345 8.375
Total 29769.910 420
a. R Squared = .903 (Adjusted R Squared = .882)
Tekstur
Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
A 70 6.9214
C 70 7.0886 7.0886
D 70 7.6386 7.6386
B 70
7.9943 7.9943
E 70
8.0643 8.0643
F 70
8.7057
Sig.
.168 .069 .172
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 8.375.
55
Lampiran 12. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Overall
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Overall
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 24286.109a 75 323.815 47.549 .000
Panelis 1466.325 69 21.251 3.121 .000
Sampel 128.864 5 25.773 3.785 .002
Error 2349.481 345 6.810
Total 26635.590 420
a. R Squared = .912 (Adjusted R Squared = .893)
Overall
Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
A 70 6.6543
D 70 6.8686 6.8686
C 70 6.8971 6.8971
E 70
7.7514 7.7514
F 70
7.9300
B 70
8.0000
Sig.
.608 .058 .599
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 6.810.
56
Lampiran 13. Hasil analisis Kadar air Beras Analog
Samp
el
Ulangan W cawan
(g)
W sampel
(g)
W kering
(g)
KA
(%bb)
x
ulanga
n
x kadar air
(%bb)
SD RSD
A
RSD
H
KA
(%bk)
x
(%bk)
SD RSD
A
RSD
H
Beras
B
Ulangan
Perlakua
n
1 3.6187 1.1478 4.6583 9.42
9.53
9.57 0.0
6 0.59 2.85
10.53
10.58 0.0
7 0.65 2.80
2 3.4956 1.4002 4.7609 9.63
Ulangan
Pengukur
an
1 3.3373 1.2277 4.4454 9.74
9.61 10.63 2 4.5477 1.0877 5.5323 9.47
Beras
F
Ulangan
Perlakua
n
1 4.5766 1.0362 5.49 10.24
10.21
10.22 0.0
1 0.10 2.82
11.37
11.38 0.0
1 0.12 2.77
2 4.7274 1.1331 5.7252 10.18
Ulangan
Perlakua
n
1 3.7243 1.2394 4.8335 10.5
10.23 11.39 2 3.6200 1.0108 4.5302 9.95
57
Lampiran 14 Hasil Uji Independent T-test Kadar Air Beras Analog
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.air Formula B 2 10.5800 .07071 .05000
Formula F 2 11.3800 .01414 .01000
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
K.air Equal variances
assumed 1.289E16 .000 -15.689 2 .004 -.80000 .05099 -1.01939 -.58061
Equal variances
not assumed
-15.689 1.080 .033 -.80000 .05099 -1.34493 -.25507
58
Lampiran 15. Hasil Analisis Kadar Abu Beras Analog
Samp
el Ulangan
W cawan
(g)
W sampel
(g)
W cawan +
Abu(g)
KA
(%bb)
x
ulanga
n
x kadar
abu SD
RSD
A
RSD
H
KA
(%bk)
x
(%bk) SD
RSD
A
RSD
H
Beras
B
Ulangan
Perlakua
n
1 25.1817 1.378 25.1882 0.47 0.48
0.48 0.0
0 0.00 4.47
0.53
0.53 0.0
0 0.06 4.41
2 21.0575 1.4009 21.0645 0.48
Ulangan
Penguku
ran
1 24.131 1.4413 24.1372 0.43 0.48 0.53
2 24.1318 1.5181 24.1398 0.52
Beras
F
Ulangan
Perlakua
n
1 26.6045 1.6437 26.6124 0.47 0.475
0.4675 0.0
1 2.27 4.49
0.53
0.52 0.0
1 2.26 4.41
2 21.8641 1.8628 21.8692 0.48
Ulangan
Perlakua
n
1 24.1309 1.8973 24.1392 0.44 0.46 0.51
2 25.1806 1.6955 25.1889 0.48
59
Lampiran 16. Hasil Uji Independent T-test Kadar Abu Beras Analog
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.abu Formula B 2 .5300 .00000 .00000
Formula F 2 .5200 .01414 .01000
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
K.abu Equal variances
assumed 2.992E16 .000 1.000 2 .423 .01000 .01000 -.03303 .05303
Equal variances not
assumed
1.000 1.000 .500 .01000 .01000 -.11706 .13706
60
Lampiran 17. Hasil Analisis Kadar Lemak Beras Analog
Samp
el Ulangan
W sampel
(g)
W labu
(g)
W
labu+lemak
(g)
K.Lemak
(%bb)
x
ulanga
n
x kadar
Lemak SD
RSD
A
RSD
H
KA
(%bk)
x
(%bk) SD
RSD
A
RSD
H
Beras
B
Ulangan
Perlakua
n
1 2.1884 107.568
8 107.596 1.22
1.00
1.01 0.0
2 1.75 3.99
1.11
1.12 0.0
2 1.81 3.93
2 2.1549 115.901
5 115.908 0.78
Ulangan
Penguku
ran
1 2.121 94.1615 94.1785 0.8 1.03 1.13
2 2.176 83.5728 83.6 1.25
Beras
F
Ulangan
Perlakua
n
1 2.1711 101.807
7 101.827 0.89
0.77
0.775 0.0
1 1.82 4.16
0.85
0.86 0.0
2 1.84 4.09
2 2.1253 106.209
4 106.223 0.64
Ulangan
Perlakua
n
1 2.135 98.5114 98.5242 0.66
0.79 0.87 2 2.1535
105.616
1 105.636 0.91
61
Lampiran 18. Hasil Uji Independent T-test Kadar Lemak Beras Analog
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.lemak Formula B 2 1.1200 .01414 .01000
Formula F 2 .8600 .01414 .01000
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
K.lemak Equal variances
assumed .000 1.000 18.385 2 .003 .26000 .01414 .19915 .32085
Equal variances
not assumed
18.385 2.000 .003 .26000 .01414 .19915 .32085
62
Lampiran 19. Hasil Analisis Kadar Protein Beras Analog
Sam
pel Ulangan
W
sampel
(g)
HCl
blanko
(ml)
HCl
sampel
(ml)
N
HC
l
% N Protein
(%bb)
X
ulangan
(%)
x
(%b
b)
SD RSD
A
RSD
H
Protein
(%bk)
X
ulangan
(%)
x
(%b
k)
S
D
RS
D
A
RS
D
H
Ber
as B
Ulang
an
Perlak
uan
1 0.1059 0.1 3.9 0.0
214
1.07
559 6.72
6.22
6.11 0.15
5987
2.55
4335
3.04
6377
7.42
6.87
6.95 0.
17
2.4
1
2.9
9
2 0.123 0.1 3.85 0.0
214
0.91
387 5.71 6.32
Ulang
an
Pengu
kuran
1 0.1052 0.1 3.7 0.0
214
1.02
576 6.41
6.00
7.10
6.63
2 0.1074 0.1 3.3 0.0
214
0.89
311 5.58 6.17
Ber
as F
Ulang
an
Perlak
uan
1 0.1086 0.1 2.2 0.0
214
0.57
963 3.62
3.59
3.52 0.09
4485
2.68
4792
3.30
9869
4.03
3.99
3.96 0.
05
1.3
2
3.0
7
2 0.1082 0.1 2.15 0.0
214
0.56
792 3.55 3.95
Ulang
an
Perlak
uan
1 0.1048 0.1 1.9 0.0
214
0.51
484 3.22
3.45
3.65
3.92
2 0.1067 0.1 2.2 0.0
214
0.58
995 3.69 4.18
63
Lampiran 20. Hasil Uji Independent T-test Kadar Protein Beras Analog
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.protein Formula B 2 6.7500 .16971 .12000
Formula F 2 3.9550 .04950 .03500
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Differenc
e
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
K.protei
n
Equal variances
assumed 1.523E17 .000 22.360 2 .002 2.79500 .12500 2.25717 3.33283
Equal variances
not assumed
22.360 1.169 .018 2.79500 .12500 1.65846 3.93154
64
Lampiran 21. Hasil Analisis Kadar Karboidrat Beras Analog By Difference
Samp
el
Ulang
an
K.air
(%)
K.abu
(%)
K.Lemak
(%)
K.Protein
(%)
K.Karbohidrat
(%)
K.Karbohi
drat (%bk) SD
RSD
A
RSD
H
K.Karbohi
drat (%bk)
KA
(%b
k)
SD RSD
A
RSD
H
Beras
B 1 9.525 0.48 1.00 6.217065 82.78293
82.84 0.0
8 0.10 2.06
91.50 91.6
0
0.1
5 0.16 2.03
2 9.605 0.48 1.03 5.996466 82.89853 91.71
Beras
F 1 10.21 0.48 0.77 3.586077 84.96392
85.02 0.0
8 0.09 2.05
94.63 94.7
0
0.1
0 0.11 2.02
2 10.23 0.46 0.79 3.452455 85.07255 94.77
65
Lampiran 22. Hasil Uji Independent T-test Kadar Karbohidrat Beras Analog
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.karbohidrat Formula B 2 91.6050 .14849 .10500
Formula F 2 94.7000 .09899 .07000
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
K.karbohidrat Equal variances
assumed . . -24.526 2 .002 -3.09500 .12619 -3.63797 -2.55203
Equal variances not
assumed
-24.526 1.742 .003 -3.09500 .12619 -3.72269 -2.46731
66
Lampiran 23. Hasil Analisis Kadar Serat Pangan Beras Analog
Kode
Samp
el
Ulangan
Berat
samp
el
KS1 KS2 CW1 CW2 SMT
L KS3 KS4 CW3 CW4 SML TSM x
ulanga
n (%)
x
serat SD
RS
D
A
RS
D
H gram gram gram gram gram % gram gram gram gram % %
B
Ulangan
Perlakuan
1 1.376
6
0.872
6
0.908
1
20.051
8 20.066
1.547
3
0.794
2
0.836
6
19.823
9 19.831
2.564
3
4.111
6 4.06
4.02 0.0
6
1.3
7
3.2
4
2 1.009
7
0.771
6
0.796
2
29.109
1
29.118
2
1.535
1
0.781
2
0.809
7
17.989
1
17.992
6
2.476
0
4.011
1
Ulangan
Pengukur
an
1 1.656
7
0.874
2
0.912
2
21.558
0
21.570
7
1.527
1
0.835
7
0.881
3
19.993
4
19.999
1
2.408
4
3.935
5 3.98
2 1.089
1
0.781
9
0.806
4
16.928
9
16.936
8
1.524
2
0.783
3
0.813
4
15.878
2
15.881
0
2.506
7
4.030
9
E
Ulangan
Perlakuan
1 1.237
1
0.782
7
0.813
2
16.826
6
16.836
4
1.673
3
0.861
5
0.894
4
17.001
9
17.004
6
2.441
2
4.114
5 4.09
4.152
7
0.0
9
2.1
3
3.2
3
2 1.310
9
0.871
1
0.901
2
21.817
2
21.826
1
1.617
2
0.785
4
0.821
5
20.871
8
20.875
8
2.448
7
4.065
9
Ulangan
Pengukur
an
1 1.091
8
0.781
9
0.811
5
15.666
2
15.675
1
1.896
0
0.871
1
0.900
6
22.019
0
22.023
2
2.317
3
4.213
2 4.22
2 1.119
2
0.881
8
0.911
5
18.928
1
18.936
9
1.867
4
0.788
8
0.819
5
19.992
9
19.997
3
2.349
9
4.217
3
67
Lampiran 24. Hasil Uji Independent T-test Kadar Serat Pangan Beras Analog
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.serat Formula B 2 4.0200 .05657 .04000
Formula F 2 4.1550 .09192 .06500
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
K.serat Equal variances
assumed 1.731E16 .000 -1.769 2 .219 -.13500 .07632 -.46339 .19339
Equal variances not
assumed
-1.769 1.662 .244 -.13500 .07632 -.53635 .26635
68
Lampiran 25. Hasil Analisis Kadar Pati Beras Analog
Sampel Ulangan
W
sampel
(mg)
V b
(ml)
V s
(ml)
Vb-
Vs
(ml)
N
Na2SO3
V
Na2S2O3
(ml)
Kadar
Gula
(%)
Kadar
Pati
(%)
x ulangan (%)
x kadar
abu SD
RSD
A
RSD
H
Beras B
Ulangan
Perlakuan
1 124.9 24.75 15 9.75 0.1002 9.7695 78.36 70.52 68.55
68.48 0.10 0.15 2.12 2 124.9 24.75 15.5 9.25 0.1002 9.2685 73.97 66.58
Ulangan
Pengukuran
1 135.3 24.75 15 9.5 0.1002 9.519 72.33 65.10 68.40
2 135.3 24 13.25 10.75 0.1000 10.75 79.67 71.71
Beras F
Ulangan
Perlakuan
1 145.2 24.75 15 9.75 0.1002 9.7695 67.19 60.47 62.11
65.105 4.24 6.51 2.13 2 145.2 24.75 14.5 10.25 0.1002 10.27 70.84 63.75
Ulangan
Perlakuan
1 132.4 24.75 15 9.75 0.1002 9.7695 73.68 66.32 68.10
2 132.4 24.75 14.5 10.25 0.1002 10.27 77.65 69.88
69
Lampiran 26. Hasil Uji Independent T-test Kadar Pati Beras Analog
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.pati Formula B 2 68.4750 .10607 .07500
Formula F 2 65.1050 4.23557 2.99500
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
K.pati Equal variances
assumed 1.060E16 .000 1.125 2 .378 3.37000 2.99594 -9.52048 16.26048
Equal variances not
assumed
1.125 1.001 .462 3.37000 2.99594 -34.58452 41.32452
70
Lampiran 27. Kadar Amilosa Beras Analog
Sampel Ulangan W sampel (g) FP V sampel (ml) Abs Konsentrasi
amilosa
%
Amilosa x ulangan x amilosa (%) SD RSD A RSD H
Beras B
Ulangan
Perlakuan
1 0.1043 20 100 0.204 0.0111 21.24 21.29
21.72 0.60 2.77 2.52 2 0.1043 20 100 0.205 0.0111 21.34
Ulangan
Pengukuran
1 0.1095 20 100 0.224 0.0122 22.19 22.14
2 0.1095 20 100 0.223 0.0121 22.09
Beras F
Ulangan
Perlakuan
1 0.1069 20 50 0.278 0.0150 14.07 14.05
14.49 0.62 4.27 2.67 2 0.1069 20 50 0.277 0.0150 14.02
Ulangan
Perlakuan
1 0.1093 20 100 0.15 0.0082 14.97 14.92
2 0.1093 20 100 0.149 0.0081 14.87
Konsentrasi standar = 40mg/100ml
Konsentrasi Amilosa Absorbansi
0.004 0.049
0.008 0.117
0.012 0.198
0.016 0.245
0.02 0.318
71
Lampiran 28. Hasil Uji Independent T-test Kadar Amilosa
Group Statistics
Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
K.amilosa Formula B 2 21.7150 .60104 .42500
Formula F 2 14.4850 .61518 .43500
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
K.amilosa Equal variances
assumed 8.901E12 .000 11.888 2 .007 7.23000 .60815 4.61333 9.84667
Equal variances
not assumed
11.888 1.999 .007 7.23000 .60815 4.61197 9.84803
72
Lampiran 29. Hasil Analisis Warna Beras Analog
Sampel Ulangan L a (+) b (+) Ulangan
L Ulangan a Ulangan b L a (+) b (+)
oHue Warna
Beras B
Ulangan
Perlakuan
1 56.84 4.14 24.44 56.84 4.135 24.44
60.86 3.8825 23.675 80.68 Kuning-Merah 2 56.84 4.13 24.44
Ulangan
Pengukuran
1 64.88 3.63 22.91 64.88 3.63 22.91
2 64.88 3.63 22.91
Beras F
Ulangan
Perlakuan
1 57.38 4.25 27.54 57.38 4.25 27.535
60.815 3.815 25.9325 81.63 Kuning-Merah 2 57.38 4.25 27.53
Ulangan
Perlakuan
1 64.25 3.38 24.33 64.25 3.38 24.33
2 64.25 3.38 24.33
73
Lampiran 30. Bobot 1000 butir beras Analog
Sampel Ulangan Bobot 1000
butir x ulangan
Rata-rata bobot
1000 butir SD RSDA RSDH
Beras B
Ulangan Perlakuan 1 20.45
19
18.8425 0.222739 1.18 2.57 2 17.55
Ulangan Pengukuran 1 18.25
18.685 2 19.12
Beras F
Ulangan Perlakuan 1 15.76
16.205
15.945 0.367696 2.31 2.64 2 16.65
Ulangan Perlakuan 1 15.57
15.685 2 15.8
74
Lampiran 31. Densitas Kamba Beras Analog
Sampel Ulangan Densitas Kamba
(g/ml) X Ulangan
Rata-rata
Densitas Kamba SD RSDA RSDH
Beras B
Ulangan Perlakuan 1 0.643
0.6535
0.649 0.060104 0.93 3.02 2 0.664
Ulangan Pengukuran 1 0.66
0.645 2 0.63
Beras F
Ulangan Perlakuan 1 0.665
0.6915
0.699 0.113137 1.62 2.98 2 0.718
Ulangan Perlakuan 1 0.699
0.7075 2 0.716
Top Related