1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sistem limfatik terdiri dari anyaman pembuluh limfe yang luas
dan berhubungan dengan kelompok kecil jaringan limfatik, yakni kelenjar
limfe (Moore, 2002).
Limfe adalah cairan bening, biasanya sedikit kekuningan, kadang
keruh, yang ditemukan di dalam pembuluh limfa, dan dikumpulkan dari
seluruh jaringan tubuh dan kembali ke darah melalui sistem limfatik.
Komponen selularnya terutama terdiri atas limfosit (Dorland, 2010).
Pembuluh limfa merupakan yang membantu sistem
kardiovaskular dalam mengembalikan cairan dari ruangan jaringan tubuh,
lalu pembuluh ini mengembalikan cairan ke dalam darah. Sistem limatik
pada dasarnya merupakan sistem penyaluran dan tidak memiliki sirkulasi.
Pembuluh limfatik ditemukan di seluruh jaringan dan organ tubuh,
kecuali sistem saraf pusat, bola mata, telinga dalam, epidermis kulit,
cartilago, dan tulang (Snell, 2006).
I.2. Tujuan dan Manfaat
I.2.1. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui
struktur makroskopis dan mikroskopis dari sistem limfovaskuler.
Memberi wawasan tentang major lymph pada manusia kepada
mahasiswa lain.
I.2.2. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini
adalah mampu memberikan pengetahuan dan wawasan tentang
limfovaskuler, terutama tentang major lymph-collecting vessels
bagi mahasiswa dan pembaca.
2
BAB II
SISTEM LIMFATIK
Sistem limfatik terdiri atas jaringan limfatik dan pembuluh limfatik.
Jaringan limfatik merupakan jenis jaringan ikat yang mengandung banyak sel
limfosit. Pembuluh limfe merupakan pembuluh yang membantu sistem
kardiovaskular dalam mengembalikan cairan dari ruangan jaringan tubuh, lalu
pembuluh ini mengembalikan cairan ke dalam tubuh (Snell, 2006).
II.1 Anatomi
II.1.1. Jaringan Limfatik
Jaringan limfatik merupakan jenis jaringan ikat yang
mengandung banyak sel limfosit. Jaringan limfatik didapatkan pada
organ-organ berikut ini: thymus, nodus lymphaticus, lien, dan
nodulus limfaticus. Jaringan limfatik penting untuk pertahanan
imunologik tubuh terhadap bakteri dan virus (Snell, 2006).
(Putz, R, 2007)
Gambar II.1 Jaringan Limfatik
3
Komponen struktural sistem limfatik terdiri atas :
1. Kapiler Limfatik yang berfungsi mengumpulkan kelebihan
cairan interstisial di jaringan.
2. Pembuluh Limfatik berfungsi Membawa cairan limfe dari
kapiler limfatik ke vena di leher yang akan dikemballikan ke
pembuluh darah.
3. Nodus Lilmfatik; Terdapat sepanjang pembuluh limfatik yang
berfungsi untuk menyaring material dari limfe sebelum masuk ke
pembuluh darah.
4. Tonsils berfungsi untuk menghancurkan benda-benda asing yang
memasuki saluran nafas bagian atas dan sistem pencernaan.
5. Limpa berfungsi menyaring benda-benda asing dari darah,
menghasilkan limfosit, menyimpan sel darqah merah, melepaskan
darah kedalam tubuh pada kasus kehilangan darah yang hebat.
6. Kelenjar timus: Membentuk antibodi pada bayi baru lahir,
memproduksi timosin, tempat differensiasi limfosit menjadi
limfosit T.
II.1.2. Pembuluh Limfe
Pembuluh limfe merupakan pembuluh yang membantu
sistem kardiovaskular dalam mengembalikan carian dari ruangan
jaringan tubuh, lalu pembuluh ini mengembalikan cairan ke dalam
darah. Sistem limfatik pada dasarnya merupakan sistem penyaluran
dan tidak memiliki sirkulasi. Pembuluh limfatik ditemukan di
seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali sistem saraf pusat, bola
mata, telinga dalam, epidermis kulit, cartilago, dan tulang. (Snell,
2006)
4
(www.doctorology.net)
Limfe adalah nama yang diberikan untuk cairan jaringan
yang masuk ke dalam pembuluh limfe. Kapiler limfe adalah
anyaman pembuluh-pembuluh halus yang mengalirkan limfe dari
jaringan. Kapiler ini mengalirkan limfe ke pembuluh limfe kecil
yang akan bergabung membentuk pembuluh limfe besar. Pembuluh
limfe berbentuk tasbih karena banyaknya katup yang terdapat
disepanjang perjalannya (Snell, 2006).
Sebelum limfe masuk ke aliran darah, cairan ini melalui
paling sedikit satu kelenjar limfe, bahkan seringkali lebih dari satu.
Pembuluh limfe yang membawa limfe ke kelenjar limfe dinamakan
pembuluh aferen. Pembuluh yang membawa limfe keluar dari
kelenjar limfe disebut pembuluh eferen. Limfe memasuki aliran
darah pada pangkal leher melalui pembuluh limfe besar yang
dinamakan ductus lymphaticus dexter dan ductus thoracicus (Snell,
2006).
Gambar II.2 Kapiler Limfe pada Jaringan
5
(Tortora, tanpa tahun)
1. Duktus Limfatikus Dexter
Pembuluh limfe kanan terbentuk dari cairan limfe yang
berasal dari daerah kepala dan leher bagian kanan, dada kanan,
lengan kanan, jantung dan paru-paru yang terkumpul dalam
pembuluh limfe. Pembuluh limfe kanan bermuara di pembuluh
balik (vena) di bawah selangka kanan (Snell, 2006).
2. Duktus Torakikus
Pembuluh limfe kiri disebut juga pembuluh dada.
Pembuluh limfe kiri terbentuk dari cairan limfe yang berasal
dari kepala dan leher bagian kiri dan dada kiri, lengan kiri, dan
tubuh bagian bawah. Pembuluh limfe ini bermuara di vena
bagian bawah selangka kiri (Snell, 2006).
Gambar II.3 sistem limfatik pada tubuh manusia
6
Peredaran limfe merupakan peredaran yang terbuka.
Peredaran ini dimulai dari jaringan tubuh dalam bentuk cairan
jaringan. Cairan jaringan ini selanjutnya akan masuk ke dalam
kapiler limfe. Kemudian kapiler limfe akan bergabung dengan
kapiler limfe yang membentuk pembuluh limfe yang lebih besar
dan akhirnya bergabung menjadi pembuluh limfe besar yaitu
pembuluh limfe kanan dan kiri. Kurang lebih 100 mil cairan
limfe akan dialirkan oleh pembuluh limfe menuju vena dan
dikembalikan ke dalam darah (Snell, 2006).
Hampir seluruh jaringan tubuh mempunyai saluran limfe
khusus yang mengalirkan kelebihan cairan secara langsung dari
ruang interstisial. Beberapa pengecualian antara lain bagian
permukaan kulit, sistem saraf pusat, endomisium otot, dan tulang.
Namun, bahkan jaringan-jaringan tersebut mempunyai pembuluh
interstisial kecil yang disebut saluran pralimfatik yang dapat dialiri
oleh cairan interstisial; pada akhirnya cairan ini mengalir kedalam
pembuluh limfe atau, pada otak, mengalir ke dalam cairan
cerebrospinal dan kemudian langsung kembali kedalam darah.
Pada dasarnya seluruh pembuluh limfe dari bagian bawah
tubuh pada akhirnya akan bermuara ke duktus torakikus, yang
selanjutnya bermuara kedalam sistem darah vena pada pertemuan
antara vena jugularis interna kiri dan vena subklavia kiri.
Cairan limfe dari sisi kepala, lengan kiri, dan sebagian daerah
thoraks juga memasuki duktus torakikus sebelum bermuara ke
dalam vena.
Cairan limfe dari sisi kanan leher dan kepala, lengan
kanan, dan bagian kanan toraks memasuki duktus limfatikus
kanan (jauh lebih kecil daripada duktus torakikus), yang akan
bermuara ke dalam sistem darah vena pada pertemuan antara
vena subklavia kanan dan vena jugularis interna (Snell, 2006).
7
II.1.3. Limfonodi Regional dan Pengumpul
Limfonodi regional menerima limfe langsung dari satu organ
atu regio tubuh. Limfe dari suatu organ dapat langsung dialirkan ke
beberapa bagian kumpulan limfonodi, dan gabungan antara
limfonodi regional dengan suatu organ tertentu hampir tidak pernah
bervariasi (Keith, 2002).
Limfonodi pengumpul menerima limfe dari berbagai
pembuluh limfe regional (Keith, 2002).
Gambar II.12 Pertemuan Antara Duktus Limfatikus dengan Vena
8
(Drake, 2010)
Pembuluh Limfe Superficialis
Pembuluh ini sangat bervariasi jumlah dan
perjalanannya, berjalan pararel dengan vena-vena subcutan
menuju nnl. Regional. Sebagian besar pembuluh limfe subcutan
berasal dari kapiler limfe dalam kulit. Pembuluh limfe ini
mudah robek oleh gerakan-gerakan menggeser kulit, dimana
sejumlah besar limfatik berkumpul, misalnya dalam telapak
tangan dan kaki, kerusakan menyebabakan efusi limfe di bawah
epitel dan membentuk lepuh. Luka pada kapiler limfatik
memainkan peranan yang besar dalam pembentukan lepuh yang
disebabkan oleh combustio, bekuan dan efek kimia. (Snell,
2006)
Pada kulit yang infeksi, pembuluh limfe subcutan
mungkin terlihat sebagai garis merah, kapiler limfe regional
akan membesar dan nyeri, karena kapsulnya teregang.
1. Noduli Limphatici subcutan Badan dan Ekstremitas
Nodi lymphatici regional subcutan badan dan ekstremitas
terletak pada sisi fleksor persendian. Ukuran sekitar 1mm, sulit
dipalpasi, nodus membesar pada:
Infeksi lokal
Reaksi immunologis umum
Infiltrasi oleh pertumbuhan ganas (kanker sekunder atau
metastase tumbuh dalam jangkauannya)
Pada keadaan ini kelenjar tersebut membesar 1 atau beberapa
sentimeter penampangnya, tonjolan terlihat dibawah kulit, dan
kelenjar dapat melekat tak beraturan menjadi masa kelenjar
yang tidak dapat digerakkan (Snell, 2006)
Gambar II.4 Limfonodi Regional dan Pengumpul
9
2. Noduli Limphatici Aksillaris
Noduli lymphatici axillaris dan nl. Inguinalis superficialis dalam
selangkangan, merupakan kelenjar limfe regional untuk kulit
yang melapisi badan di depan dan di belakang serta lengan dan
tungkai. (Snell, 2006)
Batas antara daerah-daerah aliran kelenjar limfe axillaris dan
inguinalis terbentang seperti ikat pinggang menggelilingi tubuh
setinggi pusat. Limfe dari kulit genitalia eksterna, perineum dan
anus mengalir ke dalam nl. Inguinalis. (Snell, 2006)
(Snell, 2006)
3. Noduli Limphatici Cubiti
Nl. Cubitalis superficialis dan nl. Cubitalis profunda
terletak di dalam fossa cubiti.
Pembuluh-pembuluh limfe profunda dari lengan, yang
mengikuti perjalanan arteri-arterinya, di tangan menerima
aliran limfe dari pembuluh limfe subcutan. Beberapa
pembuluh limfe dari sisi ibu jari serta sisi ekstensor
berjalan langsung menuju nodi lymphatici axillaris. (Snell,
2006)
4. Noduli Limphatici Poplitea
Gambar II.5 Noduli limphatici aksillaris dan Noduli Limphatici Cubiti
10
Fossa poplitea juga berisikan nl. Superficialis dan nl.
Profunda, yaitu nl. Poplitea.
Nl. Profunda yang terisolasi terletak di depan
membrana interossea dan di bawah patella.
Pembuluh-pembuluh limfe dari sisi ibu jari kaki dan
sisi dorsal (ekstensor) tungkai langsung mengalir ke dalam
nl. Inguinalis.
(Snell, 2006)
Pembuluh Limfe Kepala, Leher dan Noduli Limphatici
Profunda Badan:
1. Noduli Limphatici Dahi
Nl. Dahi dan kelopak mata atas terletak di depan telinga,
yaitu nl. Parotidea. Nl. Regio muka tengah dan bawah
termasuk gigi, maxilla dan mandibula, serta lidah terletak
pada bawah mandibula, yaitu nl. Submandibularis. Limfe
dari bibir bawah mengalir kedalam nl. Submentalis, nl.
Hidung bagian posterior terletak pada ruang retfaringeal di
depan columna vertebralis, yaitu nl. Retropharingealis
Gambar II.6 Noduli limphatici Poplitea
11
Limfe dari setengah kulit kepala posterior mengalir ke nl.
Occipitalis dan nl. Retroauricularis. Nl yang lebih distal
untuk daerah jengkauannya yaitu nl. Cervicales profunda,
mengelilingi truncus neurovaskular profunda dalam leher.
Limfe dari regio retrolingualis dan tonsil mengalir
langsung ke dalam bagian atas kumpulan ini yaitu, nl.
Cervicales profunda superior. (Snell, 2006)
2. Noduli Limphatici Aksillaris
Nl. Axillaris membentuk kumpulan yang menerima limfe
dari lengan, dinding thrax dan gld. Mammae. Terletak di
bawah m. Pectoralis minor, diatas otot tersebut lebih
dalam dari fascia clavipectoralis, pada batas bawah m.
Pectoralis major, dan diprofunda axilla nl. Lain dari gld.
Mammae adalah nl. Parasternalis, yang juga meneria limfe
dari hepar, diafragma, peikardium dan ruang sela iga.
Limfe dari bahu mengalir ke nl. Subscapularis. Nl.
Profunda dinding badan terletak segmental dengan
pembuluh darah sela iga dimana noduli lymphatici terletak
dalam tiap sisi columna vertebralis dan sternum. (Snell,
2006)
12
(Snell, 2006)
3. Noduli Limphatici Paru
Nl. Paru mengalir ke dalam kelenjar hilus, yaitu nl.
Bronchpulmonares, menuju nl. Di atas dan bawah
bifurcatio trachea dan sepanjang trachea, yaitu nl.
Trechealis (Snell, 2006)
4. Noduli Limphatici Inguinalis
Nl. Ini melanjut dalam kumpulan nl yang terletak
sepanjang a. Iliaca externa, a. Iliaca interna dan aorta.
Pembuluh afferen dari organ pelvis dan viscera
intraperitoneal dan retroperitoneal. Nl. Celiaci disekitar
truncus coelicus adalah tempat mengalirnya noduli
lymphatici dari hepar, kantung empedu, lambung, lien,
duodenum dan pancreas. (Snell, 2006)
(Snell, 2006)
5. Noduli Limphatici Rongga Abdomen
Gambar II.7 Noduli Limphatici aksillaris
Gambar II.8 Noduli limphatici Inguinalis
13
Nl. Ini mengalir melalui trunci lymphatici yang besar,
truncus interstinalis dan truncus lumbaris ke dalam
cisterna chyli. Ducts thoracicus berasal dari cisterna chyli,
naik di depan columna vertebralis sthoracis, menyilang di
belakang aorta menuju sis kiri dan masuk angulus venosus
kiri dari atas dan belakang. Pada perjalannya ductus
menerima pembuluh limfe intercostal. Nl berikut
bermuara langsung ke angulus venosus kiri yaitu:
1) Truncus jugularis sisnistra
2) Truncus brochomediastinalis
3) Truncus subclavius. (Snell, 2006).
II.2 Struktur Mikroskopis Pembuluh Limfe
II.2.1 Pembuluh Limfe
Kapiler limfe berasal dari berbagai jaringan sebagai
pembuluh buntu dan halus yang terdiri atas satu lapis endotel dan
lamina basal yang tak utuh. Kapiler limfe dipertahankan agar tetap
terbuka oleh sejumlah besar mikrofibril dari sistem elastin, yang
juga mengikatnya secara erat pada jaringan ikat disekitarnya.
(Junqueira, 2007).
Pembuluh-pembuluh limfe tipis secara berangsur-angsur
bergabung dan akhirnya membentuk 2 pembuluh besar-duktus
torakikus dan duktus limfatikus dextra dan masing-masing
bermuara ke perbatasan antara vena jugularis kiri dan vena
subklavia kiri, serta bermuara ke pertemuan vena subklivia kanan
dengan vena jugularisinterna kanan. (Junqueira, 2007).
Pembuluh limfe mempunyai struktur yang mirip dengan
struktur vena, kecuali dindingnya yang lebih tipis dan lapisan-
lapisan dengan batas yang tidak jelas (intima,media,adventitia).
Pembuluh ini juga memiliki lebih banyak katup didalamnya.
14
Pembuluh limfe membentuk pelebaran dan tampak nodular, atau
bermanik-manik, diantara katup.
Seperti di vena, sirkulasi limfe dibantu oleh daya yang
berasal dari luar (misalnya kontraksi otot rangka sekitar) pada
dindingnya. Daya ini tidak bekerja secara kontinu, dan aliran limfe
dalam satu arah itu terutama disebabkan adanya sejumlah besar
katup dalam pembuluh ini. Kontraksi otot polos dalam dinding
pembuluh limfe ke arah jantung.
(www.doctorology.net)
Struktur duktus limfatikus besar (duktus torakikus dan duktus
limfatikus kanan) mirip dengan struktur vena, dengan tambahan
otot polos di lapisan tengahnya. Pada lapisan ini, berkas otot
tersusun melingkar, terutama memanjang. Tunika adventitia relatif
kurang berkembang. Seperti halnya arteri dan vena, duktus
limfatikus besar juga memiliki vasa vasorum dan kaya akan
jaringan saraf. (Junqueira, 2007).
Gambar II.9 Limfonodi
15
(Tortora, tanpa tahun)
Pembuluh limfe aferen menerobos sampai nodus dan
mencurahkan cairan limfenya ke dalam sinus subskapularis. Dari
sini, cairan limfe melalui sinus trabekularis yang berjalan sejajar
dengan trabekula dan memasuki bagian dalam nodus, sampai ke
sinus medularis. Arsitektur rumit di sinus subkapsularis dan sinus
medularis memperlambat aliran limfe melalui nodus, yang akan
memudahkan penangkapan dan pencernaan materi asing oleh
makrofag dan sel dendritik. Sel penyaji-antigen ini ditandai dengan
banyaknya cabang sitoplasma. Sel tersebut dibentuk di dalam
sumsum tulang dan dibawa oleh sirkulasi ke kelenjar getah bening.
Limfe yang memasuki nodus mengalir perlahan dari korteks ke
medula dan ditampung oleh pembuluh limfe eferen di hilus. Katup
dalam pembuluh aferen dan eferen membantu terjadinya aliran satu
arah dari limfe (Junqueira, 2007).
Pembuluh-pembuluh limfe tipis secara berangsur-angsur
bergabung dan akhirnya membentuk 2 pembuluh besar yaitu
duktus thorasikus dan duktus limfatikus dan masing-masing
bermuara ke perbatasan antara vena jugularis kiri dan vena
subklavia kiri, serta bermuara ke pertemuan vena jugularis kanan
dan vena subklavia kanan. (Pearce, 1997)
Struktur duktus thorasikus dan duktus thorasikus limfatikus
kanan mirip dengan struktur vena, dengan tambahan otot polos di
lapisan tengahnya. Pada lapisan ini, berkas otot tersusun
memanjang dan melingkar, terutama memanjang.
Tunika adventisianya relatif kurang berkembang. Sama
seperti arteri dan vena, duktus thorasikus dan duktus thorasikus
Gambar II.10 Histologi dari Limfonodi
16
kanan juga memiliki vasa vasorum dan kaya akan jaringan saraf.
(Fawcett, 2002).
Kapiler limfe jauh lebih bervariasi bentuk dan potongan
melintangnya dibanding kapiler darah. Endotelnya sangat tipis dan
tepiannya sering saling meliputi sebagian. Pada sebagian besar
bagian yang saling meliputi terdapat celah intersel jelas, namun
biasanya terdapat satu atau dua daerah yang melekat lebih erat
sepanjang perbatasannya. Biasanya tidak terdapat lamina basal
utuh. (Fawcett, 2002)
Berkas ekstrasel filamen 5-10 nm berakhir pada membran
plasma abluminal. Filamen ini ternyata berakhir pada bercak-
bercak materi amorf berdensitas elektron rendah yang membentuk
lamina basal kapiler darah. (Pearce, 1997)
Pembuluh limfe yang lebih besar dapat dibedakan dari
pembuluh darah oleh ukuran lumennya yang lebih besar jika
dibandingkan dengan ketebalan dindingnya. Pada pembuluh limfe
berdiameter lebih besar dari 0,2 mm, beberapa ahli histologi
mengatakan bahwa lapisan tersebut adalah lapisan yang dapat
disamakan dengan intima, media, adventisia pembuluh darah,
namun batasannya tidak jelas. (Pearce, 1997)
Di luar endotel terdapat selapis tipis serat elastin, kemudian
selapis otot polos setebal satu atau dua sel, diikuti adventisia khas
dari serat elastin dan kolagen yang berbaur dengan jaringan ikat
sekitarnya. (Pearce, 1997)
Satu ciri khas pembuluh limfe ukuran kecil dan sedang
adalah adanya katup, Pada jarak-jarak cukup berdekatan sepanjang
jalannya. Seperti pada vena, katup itu memiliki dua daun pada sisi
berhadapan dari lumen dengan tepian bebasnya mengarah kearah
aliran limfe. Daun katup itu adalah lipatan intima terdiri atas
17
lapisan-lapisan endotel dipisahkan lapis tipis jaringan ikat dekat
pangkalannya. Meskipun tidak ditemukan di tempat lain, mungkin
ada sebuah lamina basal lemah yang menunjang endotel dinding
pembuluh pada tempat katup. Dinding itu sering sedikit melebar
distal terhadap setiap katup. Hal ini menyebabkan pembuluh limfe
utuh tampak bermanik-manik jelas. (Fawcett, 2002).
II.3 Fungsi Sistem Limfatik
II.3.1. Sistem Limfatik
Sistem limfatik merupakan suatu jalur tambahan tempat
cairan dapat mengalir dari ruang interstisial ke dalam darah. Hal
yang terpenting, sistem limfatik dapat mengangkut protein dan zat-
zat berpartikel besar keluar dari ruang jaringan, yang tidak dapat
dipindahkan dengan proses absorpsi langsung ke dalam kapiler
darah. Pengembalian protein ke dalam darah dari ruang interstisial
ini merupakan fungsi yang penting dan tanpa adanya fungsi
tersebut kita akan meninggal dalam waktu 24 jam (Guyton, 2007).
Di kebanyakan tempat, limfe juga mengandung protein yang
menembus kapiler-kapiler dan kembali ke dalam darah melalui
limfe itu sendiri.kadar protein limfe umumnya lebih rendah
dibandingkan dengan kadar protein dalam plasma, tetapi
kandungan protein limfe bervariasi sesuai daerah tempat aliran
limfe itu berasal. Lemak-lemak yang tak terlarut dalam air
diabsorpsi dari usus ke dalam pembuluh limfe, dan limfe di duktus
torakikus setelah makan berbentuk seperti susu karena kandungan
lemaknya yang tinggi (Ganong, 2008).
18
(Tortora, tanpa tahun)
Tekanan hidrostatik darah dalam pembuluh darah dari adanya
kontraksi ventrikel menyebabkan air dan protein kecil terdorong keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke interstisial. Kelebihan cairan di
interstisial ini dapat menyebabkan edema. Dalam keadaan normal
kelebihan cairan di interstisial akan masuk kedalam sirkulasi limfatik dan
akan dikembalikan kedalam pembuluh darah. Cairan ini disebut dengan
cairan limfe. (Guyton, 2007)
Sistem limfatik memiliki fungsi :
1. Mengumpulkan kelebihan cairan dan protein dari cairan tubuh dan
mengembalikannya ke dalam darah
2. Transportasi lemak dari jaringan sekitar usus halus ke darah
3. Menyaring dan menghancurkan mikroorganisme
Gambar II.11 Sistem Limfatik pada tubuh manusia
19
4. Perlindungan jangka panjang terhadap MO dan benda-benda asing
lainnya (Guyton, 2007)
II.4 Bagian-bagian Penyusun Limfe
Limfe adalah cairan berwarna kuning dengan potensi osmotik
yang jauh lebih kecil dari plasma, namun selain perbedaan itu
limfe cukup mirip dengan darah. Limfe diangkut dalam pembuluh-
pembuluh kapiler limfe, yang berasal dari jaringan-jaringan tubuh,
dan dalam pembuluh-pembuluh limfatik, yang menyerupai sistem
vena. Limfe kembali ke sirkulasi darah umum melalui duktus
thoracicus yang mengalir isinya ke vena subclavia. Cairan limfe
sebagian besar digerakan oleh otot-otot, yang memberikan efek
menekan. Katup-katup pada pembuluh-pembuluh limfatik
menyebabkan limfe mengalir dalam satu arah. Dalam sistem
limfatik, terdapat simpul-simpul jaringan glandular yang dikenal
sebagai nodus limfe. Nodus limfe diasosiasikan dengan sistem
pertahanan tubuh (Freid, 2005).
II.4.1 Organ dan sistem limfatik
A. Organ limfatik
Sejumlah organ limfoid dan jaringan limfoid yang
morfologis dan fungsional berlainan berperan dalam respon imun.
Organ limfoid tersebut dapat dibagi menjadi organ primer dan
sekunder. Timus dan sumsum tulang adalah organ primer yang
merupakan organ limfoid tempat pematangan limfosit
(Baratawidjaja, 2012).
1. Organ limfoid primer
20
Organ limfoid primer atau sentral terdiri atas tulang dan
timus. Sumsum tulang merupakan jaringan kompleks tempat
hematopoiesis dan depot lemak. Lemak merupakan 50% atau lebih
dari kompartemen rongga sumsum tulang. Organ limfoid primer
diperlukan untuk pematangan, diferensiasi dan proliferasi sel T dan
sel B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen.
Karena itu organ tersebut berisikan limfosit dalam berbagai fase
diferensiasi. Sel hematopoietik yang diproduksi di sumsum tulang
menembus dinding pembuluh darah dan masuk ke dalam sirkulasi
dan didistribusikan ke berbagai bagian tubuh (Baratawidjaja,
2012).
2. Organ limfoid sekunder
Limpa dan KGB merupakan organ limpoid sekunder yang
terorganisir tinggi. Yang akhir ditemukan sepanjang sisitem
pembuluh limfe. Jaringan limfoid yang kurang terorganisasi secara
kolektif disebut MALT (Mucosa Associated lymphoid Tissue)
yang ditemukan di berbagai tempat di tubuh. MALT meliputi
jaringan limfoid ekstranodul yang berhubungan dengan mukosa di
berbagai lokasi, seperti SALT (Skin Associated lymphoid Tissue)
di kulit, BALT (Broncus Associated lymphoid Tissue) di bronkus,
GALT (Gut Associated lymphoid Tissue) di saluran cerna
(meliputi plak peyer di usus kecil, appendiks, berbagai folikel
limfoid dalam lamina propria usus), mukosa hidung, tonsil, mame,
serviks uterus, membran mukosa saluran nafas atas, bronkus dan
saluran kemih. Ogan limfoid sekunder merupakan tempat SD (Sel
Dendritik) mempresentasikan antigen yang ditangkapnya di bagian
lain tubuh ke sel T yang memacunya untuk proliferasi dan
diferensiasi limfosit (Baratawidjaja, 2012).
21
(Baratawidjaja, 2012)
a. Limpa
Seperti hanya dengan kelenjar getah bening, limpa terdiri
atas zona sel T (senter germinal) dan zona sel B (zona folikel).
Arteriol berakhir dalam sinusoid vaskular yang mengandung
sejumlah eritrosit, makrofag, sel dendritik, limfosit dan sel plasma.
Antigen dibawa APC (Antigen Presenting Cell) masuk ke dalam
limpa melalui sinusoid vaskular. Limpa merupakan tempat respons
imun utama yang merupakan saringan antigen asal darah
(Baratawidjaja, 2012).
Mikroba dalam darah dibersihkan makrofag dalam limpa.
Limpa merupakan tempat utama fagosit memakan mikroba yang
diikat antibodi (opsonisasi). Individu tanpa limpa akan menjadi
Gambar II.13 Organ dan Jaringan Limfoid
22
rentan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti pneumokok dan
meningokok, oleh karena itu mikroba tersebut biasanya hanya
disingkirkan melalui opsonisasi dan fungsi fagositosis akan
terganggu bila limpa tidak ada (Baratawidjaja, 2012).
b. Kelenjar getah bening
KGB adalah agregat nodular jaringan limfoid yang terletak
sepanjang jalur limfe di seluruh tubuh. Sel dendritik membawa
antigen mikroba dari epitel dan mengantarkannya ke kelenjar getah
bening yang akhirnya dikonsentrasikan di KGB. Dalam KGB
ditemukan peningkatan limfosit berupa nodus tempat proliferasi
limfosit sebagai respons terhadap antigen (Baratawidjaja, 2012).
c. Skin-Associated Lymphoid Tissue
SALT merupakan alat tubuh terluas yang berperan dalam
sawar fisik terhadap lingkungan. Kulit juga berpartisipasi dalam
pertahanan pejamu, dalam reaksi imun dan inflamasi lokal. Banyak
antigen asing masuk tubuh melalui kulit dan banyak respons imun
sudah diawali di kulit (Baratawidjaja, 2012).
d. Mukosal Associated Lymphoid Tissue- sistem imun sekretori
Imunitas di tempat khusus seperti saluran napas dan saluran
cerna disebut MALT yang merupakan imunitas lokal. MALT
merupakan agregat jaringan limfoid atau limfosit dekat permukaan
mukosa. Baik antibodi lokal (IgA sekretorik) maupun sel limfosit
berperan respons imun spesifik. IgA sekretori yang diproduksi di
saluran cerna dapat bereaksi dengan makanan atau alergen lain
yang dicerna. Lapisan epitel mukosa yang terpajan langsung
dengan antigen berperan sebagai sawar mekanis(Baratawidjaja,
2012).
Jaringan-jaringan limfoid tersebut berperan dalam
pertahanan imun lokal dan regional melalui kontak langsung
23
dengan antigen asing. Oleh karena itu berbeda dari jaringan limfoid
yang berhubungan dengan kelenjar limfoid, limpa dan timus
(Baratawidjaja, 2012).
MALT ditemukan di jaringan mukosa saluran nafas bagian
atas, saluran cerna, saluran urogenital, dan jaringan mame berupa
jaringan limfoid tanpa kapsul, mengandung sel limfosit dan APC
yang mengawali respons imun terhadap antigen yang terhirup dan
termakan. Epitel mukosa yang merupakan sawar antara lingkungan
internal dan eksternal juga merupakan tempat masuknya mikroba
(Baratawidjaja, 2012).
i.
(Baratawidjaja, 2012)
Gambar II.14 Sistem Imun Sekretori
24
(Baratawidjaja, 2012)
Respons imun oral
Ludah tidak hanya membilas rongga mulut, tetapi juga
mengandung berbagai molekul seperti lisozim dan IgA sekretori yang
ikut melindungi rongga mulut. Sel PMN melindungi jaringan gusi dan
perio-dontium. Di samping IgA, respons imun humoral yang lain juga
berperan. Subyek dengan defisiensi imun sering disertai dengan
peningkatan infeksi mukosa oleh mikro-organisme oportunistik
seperti Kandida albikans. Sel Thl dan Th2 berperan dalam respons
imun terhadap bakteri patogen juga penting pada penyakit
periodontal. Reaksi hipersensitivitas Tipe II, III dan IV dapat
menimbulkan periodontitis progresif kronis. Vaksin diharapkan dapat
dikem-bangkan di masa mendatang dalam pen-cegahan atau
Gambar II.15 Letak anatomis MALT
25
mengontrol karies gigi dan penyakit periodontal. Namun penyakit yang
kompleks menyulitkan pembuatan vaksin (Baratawidjaja, 2012).
Lapisan epitel mukosa merupakan sawar mekanis terhadap
antigen asing dan mikroorganisme. Sistem imun khusus yang terletak
di permukaan epite! kadang disebut CMIS. Sistem imun mukosa
terdiri atas TgA sekretori yang diproduksi sel plasma di lamina propria
dan kemudian di-angkut melalui sel epitel dengan bantuan reseptor
poliimunoglobulin. Baik sel Ta|3 dan Ty5 ditemukan di lapisan
mukosa epitel sebagai limfosit intraepitel dan di lamina propria
mukosa (Lihat Bab 5: Sel-sel Sistem Imun Spesiftk) (Baratawidjaja,
2012).
Respons imun terhadap antigen oral berbeda dari respons
imun terhadap antigen yang diberikan parenteral. Toleransi oral
dapat terjadi terhadap beberapa antigen protein yang dicerna, tetapi
respons mukosa lokal dengan produksi kadar IgA tinggi dapat
terjadi setelah pemberian vaksin terpilih seperti vaksin polio
Sabin(Baratawidjaja, 2012).
ii. Bronchial Associated Lymphoid Tissue
Belum banyak hal yang sudah diketahui mengenai respons
imun mukosa saluran napas dibanding saluran cerna, namun diduga
bahwa respons imunnya adalah serupa. Struktur berupa cincin
banyak ditemukan di berbagai tempat, berisikan nodul yang terletak
sekitar bronkus dan ber-hubungan dengan epitel seperti plak sel
limfoid. Sel plasma ditemukan di bawah epitel. Sel-sel
BALTmemiliki kemampuan pergantian yang tinggi dan nampaknya
tidak memproduksi IgG. Sel-sel BALT diduga bermigrasi dari daerah
limfoid lain. BALT berperan dalam respons terhadap antigen kuman
yang terhirup (Baratawidjaja, 2012)..
iii. Gut Associated Lymphoid Tissue
26
GALT tersebar di mukosa saluran cerna. Saluran cema orang
dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 400m2. Permukaan yang
luas tersebut selalu terpajan dengan berbagai mikroba dan makanan
yang mungkin dapat menerangkan mengapa 2/3 seluruh sistem
imun ada di saluran cerna. Secara fungsional, GALT terdiri atas dua
komponen, yang terorganisasi dan yang difus(Baratawidjaja, 2012).
iv. Micro/old cell
Micro/old cell atau sel M adalah sel epitel saluran cema yang
pinositik aktif, berperan dalam mengantarkan kuman dan bahan
makromolekul dari lumen intestinal ke plak Peyer. Sel tersebut
bukanlah APC, ditemukan di lapisan epitel plak Peyer yang
berperan dalam presentasi antigen. Sel tersebut memiliki permukaan
relatif besar dengan lipatan-Hpatan mikro yang menempel pada
mikroorganisme dan per-raukaan makromolekular (Gambar 3.11).
Penangkapan antigen melewati sawar usus terjadi di tempat-tempat
yang dikenal sebagai daerah induktif oleh sel peng-angkut kliusus
yang disebut sel M. Morfo-logi sel M unik karena adanya suatu
kantong besar pada membran basolateral yang berisikan limfosit daii
makrofag. Sel mengantarkan antigen dari lumen saluran cerna ke sel
imun yang ditemukan dalam kantong tersebut secara terus menerus.
Limfosit atau makrofag yang menangkap antigen meninggalkan sel M
untuk se-ternsnya berpindah menuju folikel limfoid setempat
(Baratawidjaja, 2012).
v. Tonsil dan plak Peyer
Jaringan limfoid mukosa seperti tonsil faring dan folikel
limfoid yang terisolasi, plak Peyer di usus kecil berperan pada fase
induksi respons imun. Di sekitar teng-gorok ditemukan 3 golongan
tonsil yaitu tonsil palatina, tonsil lingual dan tonsil faringeal atau
adenoid yang merupakan cincin jaringan limfoid sekitar faring
yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil faring juga merupakan
27
folikel limfoid mukosa yang analog dengan plak Peyer
(Baratawidjaja, 2012).
Respons imun terhadap antigen oral berbeda dari respons imun
terhadap antigen di tempat lain. Perbedaan utama disebab-kan oleh
adanya produksi kadar igA yang tinggi di jaringan mukosa dan
kecenderungan terjadinya imunisasi oral dengan antigen protein yang
menginduksi toleransi. Induksi respons imun terhadap antigen ter-tentu
di saluran cema, dapat menyebarkan limfosit ke jaringan mukosa lain
seperti saluran napas atas dan bawah, saluran kelenjar mame atau
saluran genital untuk selanjutnya memberikan respons terhadap antigen
setempat (Baratawidjaja, 2012).
Regio sentral plak Peyer diisi sel B. Seperti halnya dengan
folikel limfoid di limpa dan kelenjar getah bening, Plak Peyer juga
mengandung sel CD4+. Beberapa sel epitel yang menutupi plak Peyer
mengandung sel M yang khusus. Plak Peyer merupakan agregat folikel
limfoid di mukosa gastrointestinal yang ditemukan di seluruh jejunum
dan ileum (terbanyak di ileum terminal). Plak Peyer merupakan
tempat sel B prekursor yang dapat mengalihkan produksi IgA. Sel T
naif juga terpajan dengan alergen di plak peyerr dan berkembang
menjadi sel T memori yang kemudian bermigrasi ke mukosa lebih
distal dan tempat-tempat nonmukosal (Baratawidjaja, 2012).
Limfosit B dan T di plak Peyer yang antigen reaktif, keluar
melalui eferen limfatik dan bermigrasi ke kelenjar getah bening
mesenterik, lalu ke duktus torasikus dan akhirnya ke pembuluh darah.
Selanjutnya sel-sel tersebut mencari tempat- tempat tertentu (homing)
di berbagai tempat ter-utama di lamina propria berbagai jaringan
mukosa saluran cerna (Baratawidjaja, 2012).
vi. Sistem imun mukosa difus
Sistem imun mukosa difus terdiri atas limfosit intraepitel
dan limfosit di lamina propria. Limfosit intraepitel ditemukan dalam
28
epitei mukosa dan di atas lamina propria. Sel-sel tersebut tersebar dirus
di jaringan mukosa dan tidak memiliki struktur jelas seperti yang didapat
pada sistem imun mukosa yang terorganisasi. Limfosit intraepitel
terbanyak adalah sel T (> 90%) yang dapat berupa CD8~ atau CD8"
(Baratawidjaja, 2012).
Lamina propria terletak tepat di bawah epitei yang
strukturnya longgar. Fungsi efektor lamina propria adalah sekresi
antibodi terutama IgA yang diproduksi sejumlah besar sel plasma. TgA
diangkut dari lamina propria ke sel epitei melalui reseptor
imunoglobulin polimerik untuk selanjutnya disekresi ke lumen.
Lamina propria mengandung banyak sel CD4+ dan CD8+ (CD4*
2x lebih banyak CD8'), juga sel B, terbanyak dengan ekspresi IgM
dan hanya sebagian kecil dengan ekspresi IgA. Meskipun hanya
sedikit jumlah sel B yang ada di lamina propria, tetapi jumlah sel B
tersebut dapat me-ningkatkan produksi igG dengan cepat bila
diperlukan (Baratawidjaja, 2012).
(Baratawidjaja, 2012)
Gambar II.16 Sel M
29
(Baratawidjaja, 2012)
B. Sistem limfatik-resirkulasi limfosit
Sirkulasi darah ada dibawah tekanan dan komponennya
(plasma) masuk melalui dinding kapiler yang tipis ke jaringan
sekitar. Cairan ini disebut cairan inter-stisial yang membasahi
semua jaringan dan sel. Bila cairan ini tidak dikembalikan ke
sirkulasi dapat terjadi edema, pembengkakanprogresifyang dapat
mengancam nyawa. Hal itu tidak terjadi oleh karena cairan
dikembalikan ke darah melalui dinding venul. Jadi sistem tersebut
me-nampung cairan yang keluar dari pembuluh darah dan masuk ke
dalam jaringan, dan mengembalikannya ke pembuluh darah Hal itu
memastikan adanya keseimbangan cairan dalam sistem sirkulasi. Sel
limfosit, SD, makrofag dan sel lainnya juga dapat masuk melalui
Gambar II.17 Sistem Imun Mukosa
30
dinding tipis sel endotel yang longgar dari pembuluh limfe primer
dan masuk ke dalam arus limfe (Baratawidjaja, 2012).
Jantung tidak memompa limfe melalui sistem ltmfatik, tetapi
arus perlahan dicapai dengan tekanan rendah limfe. Pembuluh
limfe diperas oleh gerakan otot tubuh dan sejumlah katup satu
arah sepanjang pembuluh limfe memastikan arus limfe bergerak ke
satu arah. Antigen asing yang masuk ke dalam jaringan akan
ditangkap oleh sel sistem imun dan dibawa ke berbagai jaringan
limfoid regional yang terorganisasi seperti KGB. Jadi sistem
limfatik juga berperan sebagai alat transpor limfosit dan antigen dari
jaringan ikat ke jaringan limfoid yang terorganisasi, tempat
limfosit diaktifkan (Baratawidjaja, 2012).
Keuntungan dari resirkulasi limfosit ialah bahwa sewaktu
terjadi infeksi non-spesifik, banyak limfosit akan terpajan dengan
antigen/kuman. Keuntungan lain dari resirkulasi limfosit ialah bahwa
bila ada organ limfoid misalnya limpa yang defisit limfosit karena
infeksi, radiasi atau trauma, limfosit dari jaringan limfoid lainnya
melalui sirkulasi akan dapat dikerahkan ke dalam organ limfoid tersebut
dengan mudah. Hanya iradiasi yang mengenai selumh tubuh akan
dapat menghentikan pertum-buhan sel sistem imun seluruhnya
(Baratawidjaja, 2012).
Sel T naif (sel matang yang belum terpajan dengan antigen
dan belum ber-diferensiasi) cenderung meninggalkan sirkulasi darah dan
menuju kelenjar getah bening dalam daerah sel T. SD/APC dari
berbagai bagian tubuh yang membawa antigen juga bermigrasi dan
masuk ke dalam kelenjar getah bening dan mempresentasikan antigen
ke sel T. Sel T yang diaktifkan SD/ APC tersebut keluar dari kelenjar
limfoid dan melalui aliran darah bergerak ke tempat infeksi dan bekerja
sebagai sel efektor. Tidak seperti leukosit, limfosit terus menerus di-
resirkulasikan melalui darah dan limte ke berbagai organ limfoid
(Baratawidjaja, 2012).
31
1. HEV-tempat ekstravasasi limfosit
Beberapa tempat di endotel vaskular dalam venul
poskapilar berbagai organ limfoid terdiri atas sel khusus, gemuk
dan tinggi yang disebut HEV. Sel-selnya berlainan sekali dengan sel
endotel yang gepeng yang membatasi kapiler lainnya. Setiap organ
limfoid sekunder, kecuali limpa mengandung HEV. Bila potongan
beku kelenjar limfoid plak Peyer atau tonsil diinkubasikan
dengan limfosit, lalu dicuci untuk menyingkirkan sel yang tidak
diikat, sekitar 85% sel diikat HEV, meskipun HEV hanya
merupakan 1-2% dari total area (Baratawidjaja, 2012).
HEV mengekspresikan sejumlah besar molekul adhesi.
Seperti sel endotel vaskular lainnya, HEV mengekspresikan CAM
famili selektin (selektin E dan P), famili musin (GlyCAM-I dan
32
CD34) dan superfamili imunoglobulin (ICAM-1, ICAM-2, ICAM-
3, VCAM-1 dan MAdCAM-1). Beberapa molekul adhesi disebut
adresin vaskular, oleh karena berperan dalam mengarahkan
ekstravasasi berbagai populasi limfosit dalam resirkulasi ke organ
limfoid khusus (Baratawidjaja, 2012).
(Baratawidjaja, 2012)
2. Homing atau trafficking
Pada keadaan normal terjadi lintas arus limfosit aktif terus
menerus melalui kelenjar getah bening, tetapi bila ada antigen
masuk, ants limfosit dalam kelenjar getah bening akan berhenti
sementara. Sel yang antigen spesifik akan ditahan dalam kelenjar
getah bening. Dalam menghadapi antigen tersebut, kelenjar dapat
membengkak seperti yang sering ditemukan pada infeksi. Hal
tersebut me-rupakan hal yang esensial untuk respons imun yang
efektif terhadap antigen asing (Baratawidjaja, 2012).
Gambar II.18 Resirkulasi Jalur Limfosit
33
Limfosit cenderung untuk bermigrasi ke tempaMempat yang
selektif. Homing mukosa adalah kembalinya se! limfoid reaktif
imunologis ke asalnya di folikel mukosa. Homing limfosit diatur oleh
profil reseptor dan sinyal. Proses umum ekstra-vasasi limtbsit adalah
sama dengan neutrofil. Perbedaan yang penting dalam kedua proses
itu adalah subset limfosit yang bermigrasi ke berbagai jaringan
dengan cara yang berbeda. Hal tersebut terjadi melalui ikatan antara
molekul adhesi dan kemokin, reseptor yang mengarahkan berbagai
populasi limfosit ke jaringan limfoid khusus atau inftamasi yang disebut
dengan reseptor homing. L-selektin atau CD62L adalah molekul pada
permukaan limfosit yang berperan pada homing limfosit. Adresin
mukosa adalah salah satu adresin yang mengikat integrin pada sel T
yang memilih homing di saluran cerna. Reseptor pada permukaan
limfosit tersebut akan memberikan arah dan tujuan kembali ke plak
Peyer. Limfosit yang awalnya disen-sitasi oleh antigen di plak Peyer
akan di-aktitkan dan memproduksi sel memori yang akan bermigrasi
kembali ke tempat yang semula mensensitasinya (Baratawidjaja,
2012).
3. Sel NK, Sel Null, Sel K.
Limfosit terdiri atas sel B, sel T (Th, Tc/ CTL, Tr) dan sel
NK. Yang akhir adalah golongan limfosit ketiga sesudah sel T
dan sel B. Jumlahnya sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi
dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Sel NK berkembang dari se!
asal progenitor yang sama dari sel B dan sel T, namun bukan sel
progenitor sel B dan sel T (Gambar 4.18). Istilah NK berasal dari
kemampuannya yang dapat membunuh berbagai sel tanpa bantuan
tambahan untuk aktivasinya. Sel NK tidak memiliki petanda sel B
atau sel Tatauimunoglobulinpermukaan. SelNK juga bermigrasi ke
organ limfoid perifer seperti limpa dan kelenjar getah bening
34
meskipun hanya merupakan sebagian kecil dari sel T. Di semua
bagian tubuh, sel null hanya hidup 5-6 hari (Baratawidjaja, 2012).
Ciri-cirinya memiliki banyak sekali sitoplasma (limfosit T
dan B hanya se-dikit mengandung sitoplasma), granul sitoplasma
azurofilik, pseudopodia dan nukleus eksentris. Bila diaktifkan,
berkembang menjadi sel limfosit dengan granul besar. Oleh karena
itu sel NK sering pula di-sebut LGL. Sel NK merupakan sumber
IFN-y yang mengaktifkan makrofag dan berrungsi dalam imunitas
nonspesifik ter-hadap virus dan sel tumor (Baratawidjaja, 2012).
Sel NK mengandung perforin atau sitolisin, sejenis C9 yang
dapat membuat lubang-lubang kecii (pertbrasi) pada membran sel
sasaran. Membran sel NK mengandung protein (prolaktin) yang
mengikat perforin, mencegah insersi dan polimerasi dalam membran
sehingga sel NK sendiri terhindar dari efek perforin.
Perforin/sitolisin dilepas setelab terjadi kontak dan menimbulkan
influks ion abnormal dan kebocoran metabolit esensial dari
sitoplasma (Baratawidjaja, 2012).
Sel NK juga mengandung dan me-lepas granul-granul
berisikan TNF-p dan protease serin yang disebut granzim,
eontohnya fragmentin yang merupakan protein sitotoksik.
Sitotoksisitas serupa diekspresikan oleh sel CTL/Tc yang juga
mengandung perforin (Baratawidjaja, 2012).
Sel NK mengenal dan membunuh sel terinfeksi atau sel
yang menunjukkan transformasi ganas, tetapi tidak membunuh sel
sendiri yang normal oleh karena dapat membedakan sel sendiri dari
sel yang potensial berbahaya. Hal tersebut dimungkinkan oleh
reseptoraya berupa reseptor inhibitori dan reseptor aktivasi
(Baratawidjaja, 2012).
Sel NK mengenal MHC-I yang diekspresikan semua sel
sehat dan tidak oleh sel terinfeksi virus dan kanker. Reseptor yang
35
diaktifkan dapat mengenal struktur yang ada pada sel sasaran yang
rentan terhadap sel NK dan sel normal. Pengaruh reseptor
inhibitori akan dominan dan mengikat MHC-I yang normal
diekspresikan pada sel sehat (Baratawidjaja, 2012).
Reseptor aktivasi berperan dalam kemampuan sel NK
untuk membunuh berbagai sasaran seperti sel tumor. Ikatan
ligan dengan reseptor tersebut memacu produksi sitokin yang
mening-katkan migrasinya ke tempat infeksi dan membunuh sel
sasaran yang meng-ekspresikan ligannya (Baratawidjaja, 2012).
Sel NK yang memiliki reseptor akti-vasi dapat merupakan
pembunuh poten sel terinfeksi virus, jamur dan tumor dengan
direk, tanpa bantuan komplemen. Fenomena itu disebut ADCC
(Gambar 4.19). Makrofag dan neutrofil juga dapat berperan pada
ADCC (Baratawidjaja, 2012).
Pada umumnya tumor mengekspresi-kan antigen yang dapat
imun, tetapi mungkin tidak dapat dikenai sel CTL. Sel tumor dapat
berkembang dan menjadi varian tumor yang secara genetik tidak
stabil, dengan ekspresi MHC yang kurang pada permukaan sel,
sehingga sel CD8+ tidak mampu mengenalnya. Juga beberapa jenis
virus dapat mengurangkan ekspresi molekul MHC-I pada sel
terinfeksi sebagai strategi untuk mencegali pembunuhan oleh sel
CD8+. Sel NK dapat membunuh sel pejamu yang mengekspresikan
molekul MHC-I abnomial. Dalam hal ini, sel NK dengan reseptor
aktivasinya yang me-ngenal molekul MHC-I abnormal pada sel
sasaran dapat membunuh sel tumor ian memusnahkan sel terinfeksi
virus tmraselular, sehingga dapat menying-kirkan sumber infeksi
(Baratawidjaja, 2012).
Sel NK memproduksi IFN-y dan TNF-a yang merupakan
dua sitokin pro-inflamasi poten dan dapat merangsang pematangan
sel dendritik yang merupakan sei koordinator imunitas nonspesifik
36
dan spesifik. IFN-y juga merupakan mediator poten aktivasi makrofag
dan penting pada regulasi perkembangan Th (Tabel 4.8). Dengan
demikian sel NK juga bekerja sama dengan imunitas spesifik
(Baratawidjaja, 2012).
Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah
orang dewasa adalah limfosit yang terdiri atas sel F dan sel B yang
merupakan kunci pe-g 'iilrol sistem imun. Secara morfologik sangat
sulit untuk membedakan berbagai sel limfosit dan diferensiasi
subkelas sel B dan sel T. Sel-sel tersebut dapat mengenal benda asing
dan membedakannya dari sel jaringan sendiri. Biasanya sel
limfosit hanya memberikan reaksi terhadap benda asing, tetapi tidak
terhadap sel sendiri (Baratawidjaja, 2012).
Dalam tubuh ada sekitar 10'2 limfosit yang disirkulasikan
terus menerus dalam darah dan limfe, dapat bermigrasi ke rongga
jaringan dan organ limfoid serta merupakan perantara berbagai
bagian sistem imun. Sel limfosit merupakan sel yang berperan
utama dalam sistem imun spesifik, selTpada imunitas selulardan sel
B pada imunitas humoral. Pada imunitas humoral, sel T CD4+
berinteraksi dengan sel B dan merangsang proliferasi dan
diferensiasi sel B. Pada imunitas selular, sel T CD4+ mengaktifkan
makrofag untuk menghancurkan mikroba atau CD8+ untuk
membunuh mikroba intrase-lularyang menginfeksi sel. Kedua
sistem imun, nonspesifik dan spesifik bekerja sangat erat satu
dengan yang lainnya (Baratawidjaja, 2012).
Pada respons imun spesifik, limfosit naif asal sumsum tulang
atau timus bermigrasi ke organ limfoid sekunder tempat di-aktifkan
oleh antigen, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
efektor, sel memori dan beberapa diantaranya bermigrasi ke
jaringan Limfosit naif efektor dan memori selalu ditemukan di
berbagai tempat di seluruh tubuh dan populasi sel tersebut dapat
37
dibedakan dalam beberapa fungsi dan kriteria fenotip
(Baratawidjaja, 2012).
C. Reseptor Sel
Berbagai sel limfosit yang berperan dalam respons imun
spesifik terlihat pada Tabel5.1. Sel B dan T yang matang
mengekspresikan reseptor (BCR dan TCR) pada permukaan sel
yang berperan dalam diversitas, spesifisitas dan memori
(Baratawidjaja, 2012).
Ciri-ciri antigen yang dikenal sel T terlihat pada Tabel 5.3.
Sel B menggunakan antibodi sebagai reseptor sel yang dapat
mengenal antigen bebas, sedang TCR hanya mengenal antigen
yang di-ikat molekul MHC. Ada 2 jenis MHC yaitu MHC-I yang
diekspresikan oleh hampir semua sel bernukleus dan MHC-II yang
diekspresikan APC. Perbedaan antara molekul-molekul permukaan
sel imunokompeten T dan B terlihat jelas pada permukaan sel
(Baratawidjaja, 2012).
1. SEL B
Sel B merupakan 5-25% dari limfosit dalam darah yang berj
umlah sekitar 1000-2000 sel/mm3. Terbanyak merupakan limfosit
asal sumsum tulang (hampir 50%) sisanya sekitar 1/3-nya berasal
dari KGB, limfe dan kurang dari 1% di timus (Baratawidjaja, 2012).
a. Pematangan sel B
Pada unggas, sel B berkembang dalam bnrsafabricius yang
terbentuk dari epitel kloaka. Pada manusia belum didapatkan hal
yang analog dengan bursa tersebut dan pematangan terjadi di
sumsum tulang atau di tempat yang belum dike-tahui. Setelah
matang, sel B bergerak ke organ-organ seperti limpa, kelenjar getah
bening dan tonsil (Baratawidjaja, 2012).
38
Sel B diproduksi pertama selama fase embrionik dan
berlangsung terus selama hidup. Sebelum lahir yolk sac, hati dan
sumsum tulang janin merupakan tempat pematangan utama sel B
dan setelah lahir pematangan sel B terjadi di sumsum tulang.
Pematangan sel B terjadi dalam berbagai tahap. Fase-fase pema-
tangan sel B berhubungan dengan Ig yang diproduksi. Perkembangan
dan seleksi klon sel B terlihat pada (Baratawidjaja, 2012).
Pematangan limfosit terjadi melalui proses yang disebut
seleksi (positif dan negatif). Seleksi pematangan primer terjadi
dalam organ limfoid primer yaitu sumsum tulang untuk sel B dan
timus untuk sel T. Oleh karena beberapa self-antigen tidak
dilemukan dalam sumsum tulang, sel B yang mengekspresikan
mlg spesifik untuk antigen tersebut, tidak dapat disingkirkan
oleh seleksi negatif dalam sumsum tulang. Untuk mencegah
terjadinya reaksi autoimun, diperlukan proses eliminasi atau yang
menjadikan inaktif di jaringan limfoid perifer (Baratawidjaja,
2012).
Sel B dan sel T berasal dari sel prekursor yang sama,
diproduksi dalam sumsum tulang, termasuk pembentukan reseptor.
Pematangan,sel B terjadi dalam sumsum tulang, sedang progenitor
sel T bermigrasi ke dan raenjadi matang di timus. Masing-masing
sel berproliferasi terutama atas pengaruh sitokin IL-12 yang
meningkatkan jumlah sel imatur (Baratawidjaja, 2012).
Perkembangan sel B mulai dari sel prekursor limfoid yang
berdiferensiasi menjadi sel progenitor B (pro-sel B) yang
mengekspresikan transmembran tirosin-fosfatase (CD45R).
Proliferasi dan diferensiasi pro-B menjadi prekursor B memerlukan
lingkungan mikro dari stroma sel sumsum tulang. Bila sel pro-B
dibiakkan in vivo, tidak akan tumbuh menjadi sel yang matang,
kecuali ada sel sumsum tulang, yang akhir melepas IL-17 yang
menolong proses perkembangan sel. (Baratawidjaja, 2012).
39
Pematangan progenitor sel B disertai modifikasi gen yang
berperan dalam diversitas produk akhir dan penentuan spesifisitas
sel B. Pematangan dalam sumsum tulang tidak memerlukan anti-
gen, tetapi aktivasi dan diferensiasi sel B matang di KGB perifer
memerlukan antigen. Aktivasi sel B diawali dengan pengenaian
antigen spesifik oleh reseptor permukaan. Antigen dan perangsang
lain termasuk Th yang merangsang proliferasi dan diferensiasi klon
sel B spesifik. Dalam perkembangannya, sel B mula-mula
memproduksi lgM atau isotipe Ig lain (seperti IgG), menjadi
matang atau menetap sebagai sel memori (Gambar 5.4). Fase-
fasepematangan sel B terlihat pada (Baratawidjaja, 2012).
b. Reseptor sel B
3CR yang mengikat antigen multivalen asing, akan memacu
4 proses: proliferasi, diferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi, membentuk sel memori dan
mempresentasikan antigen ke sel T. Proliferasi sel B merupakan senter
germinal KGB. Seperti halnya dengan TCR, BCR mengawali sinyal
transduksi yang efeknya ditingkatkan oleh molekul kostimulator
yang kompleks (Baratawidjaja, 2012).
Ada ribuan kopi yang identik pada permukaan sel B
tunggai. BCR me-rupakan kompleks protein transmembran yang
terdiri atas mlg dan disulfida heterodimer yang disebut Ig-a/Ig-p.
Molekul heterodimer ini berhubungan dengan molekul mlg yang
berbentuk BCR (Baratawidjaja, 2012).
i. Ig permukaan
Sel B termuda sudah ditemukan dalam hati janin dan
sumsum tulang dan belum mengekspresikan imunoglobulin atau
petanda pennukaan. Kebanyakan sel B yang matang dan belum
diaktifkan me-ninggalkan sumsum tulang. Mula-mula dibentuk
40
IgM dalam sitoplasma sel yang dapat digunakan sebagai ciri
dari sel pre-B. Dalam stadium selanjutnya, IgM bergerak ke arah
membran sel dan kemudian dijadikan reseptor monomerik
pennukaan slgM. Sekarang sel dapat mengenal antigen untuk
pertama kali (Baratawidjaja, 2012).
Kontak antara antigen dan sel B muda ini tidak
menimbulkan ekspansi dan diferensiasi lebih lanjut. Dalam per-
kembangan selanjutnya, dibentuk IgD yang kemudian juga
bergerak ke arah membran sel. Sel yang sudah memiliki IgM dan
IgD sebagai reseptor dianggap matang. Berbagai perkembangan
respons humoral (Baratawidjaja, 2012).
Perkembangan sel B dalam sumsum tulang adalah antigen
independen tetapi perkembangan selanjutnya memerlukan
rangsangan antigen. Sel B dalam keada-an istirahat berukuran kecil
dan memiliki sitoplasma sedikit sekali. Sel B yang diaktifkan akan
berkembang menjadi limfoblas. Beberapa di antaranya menjadi
matang/ sel plasma yang mampu mem-produksi antibodi bebas dan
lainnya berkembang menjadi sel memori (Baratawidjaja, 2012).
ii. Reseptor Fc
Semua sel B memiliki reseptor untiik fraksi Fc dari IgG
(Fcy-R). Reseptor tersebut dapat diperlihatkan dengan
menambahkan sel darah merah biri-biri yang dilapisi antibodi IgG
ke larutan sel B yang akan membentuk roset. FcR yang
menunjukkan afinitas terhadap bagian Fc dari Ig yang dilepas.
Reseptor ini adalah esensial untuk banyak fungsi biologis antibodi.
FcR berperan dalam gerakan antibodi melewati membran sel dan
transfer IgG dari ibu ke janin melalui plasenta. Reseptor tersebut
dapat diikat pasif oleh berbagai sel seperti sel B dan sel T,
neutrofil, sel mast, eosinofil, makrofag dan sel NK (Baratawidjaja,
2012).
41
Dengan bantuan antibodi, FcR dapat mengerahkan komponen
selular imunitas nonspesifik seperti makrofag dan sel NK. Ikatan
antibodi dengan antigen oleh FcR pada makrofag atau neutrofil
merupakan sinyal efektif untuk fagositosis (opsoni-sasi atau ADCC)
kompleks antigen-anti-bodi yang efisien. Di sarnping fungsi efektor
tersebut, ikatan antigen-FcR-antibodi juga dapat memacu sinyal
imunoregulator yang mengaktifkan sel, induksi diferensiasi dan
pada beberapa hal menekan respons selular (Baratawidjaja, 2012).
iii. Reseptor C3
Sel B memiliki pula reseptor untuk kora-ponen komplemen
yang diaktifkan C3b. Oleh karena itu sel B dapat pula diper-lihatkan
dengan cara roset seperti di atas dengan menggunakan sel darah
merah biri-biri yang dilapisi dengan C3 (Baratawidjaja, 2012).
iv. Reseptor Epstein Barr Virus
EBV dapat diikat sel B melalui reseptor spesifik (RC3d).
Infeksi EBV sering me-nimbulkan replikasi sel B yang stabil dan
terus menerus (Baratawidjaja, 2012).
v. Determinan antigenik imuno-globulin
Molekul imunoglobulin sendiri, bila di-suntikkan ke spesies
hewan lain, dapat berfungsi sebagai imunogen poten yang
menginduksi respons imun. Detenninan antigen atau epitop pada
imunoglobulin terdiri atas tiga kategori mayor, determinan isotip.
alotip dan idiotip, yang terletak dalam bagian khas molekul
(Baratawidjaja, 2012).
c. Aktivasi sel B
Sel B dapat diaktifkan sel T melalui dua cara, yang T
dependen dan T independen (Baratawidjaja, 2012)..
42
i. Aktivasi sel B yang T dependen
Setelah antigen diikat mlg, sel B me-makan antigen,
memproses dan meng-ekspresikan epitop antigen di celah MHC,
dan mempresentasikannya ke sel T. Sel T memodulasi fungsi sel
B melalui sejumlah cara. Sitokin asal sel T seperti 1L-4, IL-5,
IL-6, IL-2 dan IFN-y meningkatkan proliferasi sel B dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi.
Interaksi tisik antara sel B dan sel T memberikan sinyal melalui
koreseptor CD40L-CD40 yang atas pengaruh 1L-4 berperan penting
dalam imunoregulasi dan pengalihan kelas Ig. Sel B naif
mempresentasikan IgM dan _D pada permukaannya dan atas pengaruh
rangsangan, sel B mengalihkan kelas Ig >ang memproduksi IgG, IgA
atau IgE. mlgM dan mlgD memiliki ekor sito-
plasmayangrelatifpendeksehinggatidak dapat mentransduksi sinyal.
Rangsangan antigen pertama merangsang sel B untuk emproduksi
IgM dan rangsangan ulangan antigen yang sama akan mengalihkan
sel 3 ke produksi IgG atau IgA atau IgE. Semua sel B hanya
memiliki satu jenis molekul Ig saja pada permukaannya, hanya IgM,
IgG dan sebagainya (Baratawidjaja, 2012).
Aktivasi sel B oleh antigen protein larut memerlukan
bantuan sel Th. Tanpa adanya interaksi dengan TCR dan sitokin.
ikatan antigen dengan mlg pada sel B sendiri tidak akan
menginduksi proliferasi dan diferensiasi. Pada waktu yang sama,
sebagian sel B akan kembali ke dalam fase istirahat, sebagian
sel menjadi matang, menjadi sel B memori yang dapat memberikan
respons imun dengan lebih cepat pada pajanan ulang dengan antigen
yang sama (Baratawidjaja, 2012).
Ikatan antigen juga mengawali sinyal melalui BCR yang
menginduksi sel B meningkatkan ekspresi sejumlah molekul
membran sel seperti MHC-II dan ligan kostimulator B.
Peningkatan ekspresi kedua protein membran tersebut meningkatkan
43
kemampuan sel B berfungsi se-bagai APC dalam aktivasi sel Th.
Pada umumnya diperlukan 30-60 memt untuk memproses dan
mempresentasikan antigen melalui MHC-II pada permukaan sel
(Baratawidjaja, 2012).
Oleh karena sel B mengenal dan me-makan antigen melalui
ikatan dengan mlg, selBdapatmempresentasikanantigenkesel T dalam
kadar yang 100-10.000 kali lebih rendah dibanding kadar yang
diperlukan untuk presentasi oleh makrofag atau SD. Bila kadar
antigen tinggi, makrofag dan SD merupakan APC efektif, tetapi bila
kadar antigen rendah atau turun, sel B akan mengambil alih dan
berperan sebagai APC utama untuk sel Th (Baratawidjaja, 2012).
Sel B yang diaktifkan mulai meng-ekspresikan reseptor
membran untuk berbagai sitokin seperti IL-2, IL-4, IL-5. Shokin-
sitokin tersebut berikatan dengan reseptornya pada sel B dan
memacu proliferasi dan diferensiasi menjadi sel plasma dan sel
memori, pengalihan kelas dan pematangan afinitas. Urutan kejadian
aktivasi sel B yang sel T dependen (Baratawidjaja, 2012).
ii. Aktivasi sel B yang T independen
Pada keadaan tertentu sel B juga dapat memberikan
respons dan berproli-ferasi melalui mekanisme yang tidak me-
merlukan sel T (T independen), biasanya pada antigen dengan epitop
yang berulang dan panjang sehingga memungkinkan terjadinya
ikatan silang dengan reseptor imunoglobulin pada permukaan sel B
(Baratawidjaja, 2012).
Kejadian seiular dini yang diinduksi kompleks ikatan silang
antara antigen-sel B mengawali proliferasi dan diferensiasi sel B
untuk selanjutnya berinteraksi dengan sel Th (Baratawidjaja,
2012).
44
Antigen yang sel T independen dapat dibagi menjadi dua tipe
antigen. Antigen tipe 1 berasal dari bagian luar membran bakteri
negatif-Gram dan asam nukleat bakteri yang lebih merangsang sel B
me-lalui TLR dibanding BCR. Antigen tipe 2 adalah polisakarida kapsul
yang mempunyaj subunit multipel berulang dan merangsang sel B
melalui ikatan silang dengan beberapa BCR bersama (Baratawidjaja,
2012).
Sel B yang T independen lebih me-milih hidup di tempat
khusus seperti limpa dan peritoneum dibanding di KGB. Sel B
tersebut dirangsang oleh antigen non-protein khusus. Beberapa
bakteri misalnya spesies pneumokok dan haemofilus me miliki
kapsul luar yang mengandung polisakarida (dan tidak protein) untuk
dapat melawan fagositosis, koraplemen dan sel T. Sel B yang T
independen memproduksi antibodi terhadap bakteri tersebut. Sel B
demikian hanya memproduksi Ig dengan afinitas rendah yang
mempunyai kecen-derungan untuk bereaksi dengan antigen Iain,
misalnya, antibodi yang dipacu sakarida asal bakteri dapat bereaksi
silang dengan antigen sakarida asal permukaan sel darah merah
(Baratawidjaja, 2012).
iii. Peran komplemen CR2/CD21 pada aktivasi sel B
Aktivasi sel B ditingkatkan oleh sinyal asal protein
komplemen dan CD21 ko-reseptor yang menunjukkan interaksi
antara imunitas nonspesifik dan spesifik (Baratawidjaja, 2012).
iv. Pengalihan imunoglobulin
Sebagai respons terhadap ikatan CD40 dengan sitokin,
beberapa progeni sel B yang mengekspresikan IgM dan IgD
menunjukkan pengalihan isotip (kelas) yang menghasilkan
antibodi dengan rantai berat dari berbagai kelas seperti a, p1 dan y
(Baratawidjaja, 2012).
45
2. SEL T
Progenitor sel asal sumsum tulang yang bermigrasi ke timus
berdiferensiasi men-jadi sel T. Sel T yang nonaktif disirkulasi-kan
melalui KGB dan limpa yang di-konsentrasikan dalam folikel dan
zona marginal sekitar folikel (Baratawidjaja, 2012).
a. Pematangan sel T
Sel T imatur dipersiapkan dalam timus untuk. memperoleh
reseptor. Timosit imatur hanya dapat menjadi matang bila
reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self
antigen) yang diikat MHC dan dipresentasikan APC. Sawar darah-
timus melindungi timosit dari kontak dengan antigen sendiri. Sel
T yang self reaktif akan mengalami apoptosis (Gambar 5.14).
Proses tersebut disebut seleksi positif timosit yang menghasilkan
sel Tc atau Th (lihat Bab 11: Toleransi imun dan Autoimunitas)
(Baratawidjaja, 2012).
Diferensiasi sel berhubungan dengan petanda permukaan dan
terjadi proliferasi timosit subkapsular yang luas. Sebagian besar sel
tersebut mati, tetapi sisanya terus berdiferensiasi. Sel yang akhir
menjadi lebih kecil. Timosit yang berkembang penuh, melewati
dinding venul poskapilar, mencapai sirkulasi sistemik dan menem-
pati organ limfoid perifer. Beberapa di-antaranya diresirkulasikan.
Sel T akan berdiferensiasi bila terpajan dengan antigen spesifik
yang dipresentasikan APC dalam organ limfoid sekunder seperti
limpa, kelenjar limfoid dan MALT (Baratawidjaja, 2012).
Pematangan sel T dari progenitornya melibatkan
serangkaian dan ekspresi gen TCR, proliferasi sel, seleksi yang
diinduksi antigen dan perolehan ke-mampuan untuk berfungsi.
Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan fase pematangan dari
sel induk dalam sumsum rulang menjadi sel T matang
(Baratawidjaja, 2012).
46
b. Reseptor sel T
Kemampuan limfosit T matang untuk mengenal benda
asing dimungkinkan oleh ekspresi molekul unik pada mem-
brannya yang disebut TCR. Reseptor tersebut memiliki sifat
diversitas, spe-sifitas, memori dan berperan dalam imu-nitas spesifik
(Baratawidjaja, 2012).
Saru sel limfosit hanya mengekspresi-kan reseptor untuk satu
jenis antigen se-hingga sel tersebut hanya dapat mengenal saru jenis
antigen saja Reseptor sel T di-lemukan pada semua sel T matang,
dapat mengenal peptida antigen yang diikat MHC dan dipresentasikan
APC (Baratawidjaja, 2012).
Sel T perifer terbanyak mengeks-presikan rantai a atau p
pada per-mukaannya. Sel yang mengekspresikan rantai y dan 5
hanya merupakan 5% dari sel T dalam sirkulasi orang sehat
(Gambar 5.18 dan 5.19). Perbedaan antara regio yang mengikat
antigen dari TCRap dan TCRyS tidaklah ekstrim, meskipun
antigen yang dapat dikenalnya berbeda. Diduga juga mempunyai
fungsi yang berbeda (Baratawidjaja, 2012).
c. Molekul asesori
Baik pada fase induksi maupun fase efektor, responsselT
naif dipacu oleh kom-pleks antigen-MHC yang dipresentasikan APC/
SD. SD seperti sel Langerhans di kulit yang menangkap antigen
akan bermigrasi ke kelenjar limfoid dan mem-rresentasikan antigen
ke sel T. Ikatan spesifik TCR dengan antigen relevan yang sudah
diproses dan dipresentasikan melalui MHC-II oleh APC belum
cukup untuk memberikan sinyal aktivasi sel T. Berbagai molekul
seperti CD80 (B7-1) ian CD86 (B7-2) dan beberapa molekul adhesi
lainnya masili diperlukan sebagai molekul kostimulator
(Baratawidjaja, 2012).
47
Sel T yang mengenal flagmen peptida Jan kompleks
antigen-MHC yang di presentasikan APC akan berproliferasi
menjadi sel T efektor dan metnori. Ciri APC seperti sel B, makrofag
dan SD adalah kemampuannya untuk mengekspresikan MHC-II dan
memproduksi sitokin yang mengaktifkan sel T. Interaksi antara APC
dan sel T terjadi melalui berbagai molekul adhesi/asesori dan ligannya,
namun untuk aktivasi sel T penuh, masih diperlukan molekul-
molekul kostimulator. Ikatan hanya dengan TCR tanpa disertai
sedikitnya dua sinyal kostimulator (B7) akan menimbulkan anergi.
Berbagai molekul asesori yang bcrperan dalam interaksi sel T dengan
APC (Baratawidjaja, 2012).
d. Fungsi sel T
Sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi fagositosis
makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi.
Sel T juga berperan dalam genalan dan penghancuran sel yang
lerinfeksi virus. Sel T terdiri atas sel Th yang mengaktilkan
makrofag untuk membunuh mikroba dan sel CTL/Tc yang
membunuh sel terinfeksi mikroba/ virus dan menyingkirkan sumber
infeksi (Gambar 5.21). Fungsi heterogen sel T dan spesifisitas
imunologi serum anti-sel T (Baratawidjaja, 2012).
e. Subset sel T
Sel T terdiri atas sel CD4", CD8+, sel T naif, NKT dan
Tr/Treg/Ts/Th3. Sel T naif yang terpajan dengan kompleks
antigen MHC dan dipresentasikan APC atau rangsangan
sitokin spesifik, akan berkembang menjadi subset sel T berupa
CD4+ dan CD8"1" dengan fungsi efektor yang berlainan. Paradigma
lama mengklasifikasikan T helper menj adi Th 1 dan Th2 (Gambar
5.22). .Dari timus, sel T naif dibawa darah ke organ limfoid
perifer. Sel naif yang terpajan dengan antigen akan berkembang
menjadi sel ThO yang selanjutnya dapat berkembang menjadi sel
48
efektor Thl yang berperan pada infeksi dan Th2 yang berperan pada
alergi (Gambar 5.23). Dewasa ini, paradigma Thl dan Th2
diabaikan setelah ditemukannya berbagai sel T helper seperti Thl, 2,
9,17, 22 yang masing-masing memiliki peran sendiri dalam proses
inflamasi (Baratawidjaja, 2012).
i. Sel T naif (sel T virgin)
Sel limfosit naif adalah sel limfosit matang yang
meninggalkan timus dan belum berdiferensiasi, belum
pernah terpajan dengan antigen, menunjukkan molekul permukaan
CD45RA (Baratawidjaja, 2012).
ii. Sel CD4+, asal berbagai sel T efektor
Sel T efektor CD4 dibedakan dalam reberapa subset atas
dasar sitokin yang diproduksinya. Sel Th yang juga disebut KI
linducer merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi
respons imun terhadap antigen asing. Antigen yang ditangkap,
diproses dan dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke
sel CD4+. Selanjutnya sel CD4+ diaktifkan dan niengekspresikan IL-
2R disamping memproduksi IL-2 yang autokrin (melalui ikatan
dengan IL-R) dan merangsang sel CD4+ untuk berproliferasi. Sel
CD4+ yang berproliferasi dan berdiferensiasi, berkembang menjadi
beberapa subset yaitu TFH, Thl, Th2, Th9, Thl7 dan Th22. Sel
CD4+ naif yang diaktifkan dan berdiferensiasi menjadi sel efektor
juga menjadi sel memori yang dapat menetap di organ limfoid
atau bermigrasi ke kelenjar nonlimfoid. Sel T naif dapat menetap di
dalam organ limfoid seperti KGB untuk bertahun-tahun sebelum ter-
pajan dengan antigen atau mati (Baratawidjaja, 2012).
Setiap sel melepas sitokin subset fenotipik yang raemacu
respons efektor. Sekresi sitokin juga memacu modulasi respons
subset yang lain dan mencegah perkembangan fungsi alternatif
(Baratawidjaja, 2012).
49
Th1
IL-12 yang dilepas makrofag dan SD menginduksi
perkembangan Thl melalui jalur yang STAT4 dependen, sedang IL-4
yang terutaraa diproduksi sel T sendiri, meningkatkan induksi Th2
melalui jalur yang STAT6 dependen. Faktor trans-kripsi T-bet
yang diproduksi sebagai respons terhadap IFN-y meningkatkan
respons Thl. GATA-3 sangat diperlukan untuk diferensiasi Th2
(Baratawidjaja, 2012).
IFN-y dan IL-12 yang diproduksi APC seperti makrofag
dan sel dendritik yang diaktifkan mikroba merangsang diferensiasi
sel CD4' menjadi Thl/Tdth yang berperan dalam reaksi hipersen-
sitivitas lambat (reaksi Tipe 4 Gell dan Coombs). Sel Tdth berperan
untuk me-ngerahkan makrofag. Diferensiasi Thl merupakan
respons terhadap infeksi mikroba atau atas pengaruh aktivasi sel
NK, rangsangan antigen bakteri intra-selular seperti listeria dan
mikobakteri, beberapa parasit seperti leismania dan semua
mikroba yang menginfeksi makrofag serta rangsangan virus dan
antigen protein yang diberikan dengan ajuvan (Baratawidjaja,
2012).
Perkembangan sel T prekursor menjadi sel Thl memacu
reaksi sitotoksik dan hipersensitifitas lambat serta meng-aktifkan
makrofag yang meningkatkan proteksi terhadap patogen
intraselular. Sel prekursor juga memproduksi faktor trans-kripsi
spesifik STAT4, STAT6 dan GATA-3 yang mempengaruhi
perkembangan sel.
Infeksi dan imunisasi memacu imuni-tas nonspesifik yang
merangsang makrofag untuk memproduksi IL-12. Beberapa mikroba
diikat reseptor (Toll-like) pada makrofag dan SD yang diaktifkan
untuk segera memproduksi IL-12 (Baratawidjaja, 2012).
Th2
50
Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas
sel mast yang ter-pajan dengan antigen atau cacing, Tho
berkembang menjadi sel Th2 yang merangsang sel B untuk
meningkatkan produksi antibodi. Kebanyakan sel Th adalah CD4"
yang mengenal kompleks antigen MHC-II yang dipresentasikan APC.
Akti-vasi sel B oleh protein tarut memerlukan bantuan sel Th. Ikatan
antigen dengan sel B-mlg tidak menimbulkan proliferasi dan
diferensiasi sel menjadi sel efektor tanpa bantuan interaksi dengan
molekul mem-bran pada sel Th dan sitokin yang benar
(Baratawidjaja, 2012).
Th9
Th9 dihasilkan oleh IL-9 dengan bantuan sinyal TGF-p dan
diduga ikutberperan dalam patofisiologi penyakit alergi saluran
napas (Baratawidjaja, 2012).
Thl7
Paradigma Thl/Th2 dipertahankan sampai beberapa tahun
yang lalu waktu subset sel Th efektor CD4 ketiga yaitu Thl7
ditemukan. Sel Thl7 merupakan sel yang belum lama
diidentifikasi dalam tikus dan manusia. Sel tersebut terutama
memproduksi famili IL-17 (IL-17A dan IL-17F)yang berperan dalam
pengerahan, aktivasi dan migrasi neutrofil. Sel ini berperan
dalam inflamasi asma yang lebih melibatkan neutrofil
dibandingkan eosinofil dan juga da'am autoimunitas, infeksi
berbagai bakteri dan fungus (Baratawidjaja, 2012).
Th22
Sel Th22 dapat ditemukan pada lapisan epidermal dan
berperan pada penyakit inflamasi kulit. Strategi pengobatan
51
inflamasi kronis kulit masa depan ditujukan terhadap Th22
(Baratawidjaja, 2012).
T folikular (Tfh)
Tfh adalah kelas efektor Th yang mengatur
perkembangan secara bertahap imunitas sel B antigen spesifik. Sel
Tfh berfungsi khusus untuk perkembangan sel B. Pengetahuan
mengenai fungsi Tfh dalam sentrum germinativum serta regulasi
respons sel B memori terhadap antigen merupakan hal yang dapat
diperhatikan dalam riset untuk membuat vaksin potensial di masa
depan (Baratawidjaja, 2012).
iii. Sel T CD8+ (Cytotoxic TICytolytic T/CTL)
Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus disebut juga CTL/Tc.
CD8" mengenal kompleks antigen MHC-I yang dipresen-tasikan
APC. (Gambar 5.27). Molekul MHC-1 ditemukan pada semua sel
tubuh yang bernukleus. Fungsi utama sel CD8+ adalah
menyingkirkan sel terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan
sel histoin kompatibel yang menimbulkan penolakan pada
transplantasi. Dalam keadaan tertentu, CTL/Tc dapat juga
menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular. Sel Tc
menimbulkan sitolisis melalui perforin/granzim, FasL/ Fas
(apoptosis), TNF-a dan memacu produksi sitokin Thl dan Th2
(Baratawidjaja, 2012).
Istilah sel T inducer digunakan untukmenunjukkan aktivitas
sel Th dalam mengaktifkan sel subset T lainnya. Sel CTL/Tc
mengekspresikan koreseptor CD8+ dan menghancurkan sel
terinfeksi secara antigen spesifik yang MHC-1 dependen. CTL/Tc
dapat membunuh sel secara direk dan melalui induksi apoptosis
(Baratawidjaja, 2012).
52
Induksi apoptosis sel Tc terjadi melalui 2 proses:
1. Sel Tc yang diaktifkan mengekspresi kan
molekulyangdisebutperforinyang menyerupai MAC dari
komplemen. Perforin membuat lubang-lubang di permukaan
sel T. Enzim yang disebut granzim selanjutnya dimasukkan ke
sel sasaran dan selanjutnya meng aktifkan kaspase
2. Sel Tc yang diaktifkan juga mengekspresikan molekul yang
disebut FasL yang mengikat Fas di permukaan sel sasaran. Fas
memiliki domen mati sitoplasma yang mengaktifkan kaspase
(Baratawidjaja, 2012).
3. Sel Treg atau sel Ts
Sel Th kelas lainnya yaitu Treg/ Tr/ Ts atau Th3
diduga berperan dalam toleransi oral dan regulator imunitas
mukosa, imunoregulasi dengan menekan sejumlah respons
imun sepetti respons terhadap self-antigen, atoantigen, antigen
tumor dan patogen (Baratawidjaja, 2012).
Treg yang dibentuk dari timosit di timus (Gambar
5.29) mengekspresikan dan melepas TGF-p dan IL-10
yang diduga merupakan petanda supresif. IL-10 menekan
fungsi APC dan aktivasi makrofag sedang TGF-p menekan
proliferasi sel T dan aktivasi makrofag (Baratawidjaja,
2012).
4. Sel Top dan Tγ8
Ada 2 jalur diferensiasi sel T yang dapat dibedakan
dari ekspresi CTR yang ber-lainan yaitu terbanyak Ta|3 dan
TγS yang merupakan populasi minor dan terutama
ditemukan di kulit dan mukosa jaringan saluran cerna.
Struktur domen a|3 dan yd" TCR adalah sama dengan
53
imunoglobulin dan digolongkan sebagai anggota super-
famili imunoglobulin (Baratawidjaja, 2012).
Sel Tap mengenal kompleks antigen yang diproses
dengan MHC yang dipre-sentasikan APC. Sel Tγ5 tertentu
dapat bereaksi dengan antigen protein yang tidak diproses
atau dipresentasikan oleh MHC. Oleh karena itu, kedua
reseptor tersebut diduga mempunyai fungsi yang berlainan.
Sel Tγ5 tidak memerlukan proses dan presentasi antigen
melalui MHC untuk dapat dikenal. Fungsi Tγ5 sebenarnya
belum jelas dan peran dalam imunitas terhadap patogen
asing atau dalam autoimunitas masih perlu diteliti lebih
lanjut (Baratawidjaja, 2012).
Jumlah sel Tγ6 dalam sirkulasi adalah kecil dibanding
sel Tap. Kebanyakan sel Tγ6 dalam sirkulasi mengenal
antigen fosfolipid mikroba seperti M. tuberku-losis, bakteri
dan parasit lainnya. Oleh karena itu diduga bahwa Tγ5
berperan dalam imunitas nonspesifik yang dapat
memberikan respons dengan cepat tanpa diproses terlebih
dahulu (Baratawidjaja, 2012).
Infeksi M.tuberkulosis, H. influenza, malaria dan
leismania disertai dengan peningkatan jumlah sel Ty<5. Sel
tersebut dapat membunuh sel terinfeksi atau orga-nisme
dengan mekanisme seperti CTL (granulisin dan perform).
SelanjutnyaTγS diduga berperan pada penyakit autoimun
kronis seperti LES, miositis dan sklerosis multipel. Data
menunjukkan bahwa sel Tγ5 dapat melepas sejumlah
kemokin dan sitokin yang diduga memiliki peran
lmunomodulasi dalam mengerahkan sel Tap ketempat in vasi
patogen. Sel a|3 yang menunjukkan reseptor dengan spektrum
luas dan afinitas tinggi akan mengaktifkan dan meningkatkan
eliminasi patogen (Baratawidjaja, 2012).
54
Sel T γS berperan dalam pertahanan terdepan untuk
mengenal mikroba yang masuk kulit dan di lamina propria
saluran cerna dan diduga membantu proteksi ter-
r.adapmikroorganisme yang masuk tubuh melalui permukaan
mukosa epitel. Sel tersebut melepas sitokin yang mengawali
respon inflamasi, menolong sel B, mengaktifkan makrofag dan
menghancurkan sel terinfeksi virus. Secara fimgsional hal
itu sama dengan sel Tap. Perbedaan yang mencolok, sel Tγ8
dapat mengenal antigen nonpeptida seperti fosfolipid
dinding bakteri tanpa memerlukan pre-sentasi dan proses
terlebih dahulu oleh APC. Respons Tγ8 terhadap antigen
adalah terbatas yaitu terhadap antigen mikobakterium dan
heat shock protein. Sel memproduksi sitokin seperti halnya
sel Tap. Perbandingan Tap dan TγS (Baratawidjaja, 2012).
Diagram skematis mengenai ke-samaan struktural
antara sel Tap dan IgM yang berikatan dengan membran
pada sel B. Sel Tγ5 homing ke lamina propria usus dan
fungsinya belum di-ketahui (Baratawidjaja, 2012).
5. Sel NKT
Dewasa ini diketahui adanya sel NKT yang
memiliki ciri-ciri sel NK dan sel T. Sel NKT memiliki
TCR yang tidak seperti pada kebanyakan selT. TCRpada
sel NKT berinleraksi dengan molekul serupa MHC yang
disebut CD1 (bukan MHC-I atau MHC-II). Seperti halnya
dengan sel NK, sel NKT memiliki ber-bagai tingkat CD 16
dan reseptor lain yang khas untuk sel NK dan dapat
membunuh sel sasaran. Sel NKT yang diaktifkan dapat
dengan cepat melepas sejumlah besar sitokin yang
diperlukan untuk membantu produksi antibodi, inflamasi
dan ekspansi sel Tc (Gambar 5.32). Kelas-kelas limfosit,
fungsi, reseptor dan pertandanya (Baratawidjaja, 2012).
55
D. Perbedaan Sel B dan Sel T
Reseptor permukaan sel B dan T adalah anggota superfamili
gen imunoglobulin. Gen dalam famili ini menyandi protein dengan
motif yang disebut domen imunoglobulin. Anggota famili gen ini
adalah imunoglobulin (BCR), TCR, MHC, molekul T asesori
(CD4), molekul adhesi (ICAM-1, ICAM-2) reseptor poli Ig, Ig-a,
Ig-p heterodimer. Ciri-ciri sel T dan B terlihat pada Tabel 5.14,
sedang ciri-ciri limfosit naif, efektor dan memori terlihat pada Tabel
5.15 (Baratawidjaja, 2012).
E. Selek Siklon
Klon adalah segolongan sel yang ber-asal dari satu sel dan
karenanya genetik identik. Selama perkembangannya dalam jaringan
limfoid primer, sel B dan T meniperoleh reseptor permukaan spesifik
untuk satu antigen yang akan memberi-kan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen tersebut. Reseptor sel T (TCR) tersebut
akan menetap selama sel hidup, tetapi imunoglobulin permukaan
pada sel B dapat berubah oleh mutasi somatik. Hal tersebut terlihat
dari pengalihan produksi imunoglobulin bila sel terpajan dengan
antigen spesifik. Sel yang berikatan dengan antigen spesifik akan
berproliferasi, ber-diferensiasi dan menjadi sel efektor yang matang.
Sel yang dirangsang antigen dan berproliferasi akan menurunkan
sel-sel yang genetik identik (== klon). Fenomena tersebut disebut
seleksi klon (Baratawidjaja, 2012).
Sel memori merupakan sel B dan sel T yang pernah
dirangsang antigen dan hidup lama. IgG ditemukan pada per-
mukaan sel memori B yang berfungsi sebagai reseptor antigen
dengan afinitas yang lebih besar dibanding dengan lgD dan IgM. Sel
memori T memiliki molekul CD45R.O dan menunjukkan peningkatan
molekul LFA-3 dan VLA-4 (Baratawidjaja, 2012).
56
Sel perawan yang belum dirangsang antigen terpajan dengan
antigen yang dipresentasikan APC, akan berkembang menjadi sel
efektor. Sebagian sel perawan beserta sel memori tersebut disebar ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi darah dan limfe sehingga
dapat memantau jaringan tubuh terhadap serangan mikro-organisme.
Proliferasi sel efektor dan sel memori tersebut di atas disebut
respons primer (Gambar 5.33). Akhirnya, sel B berkembang
menjadi sel plasma. Sel plasma jarang terlihat dalam sirkulasi
(kurang dari 0.2% seluruh jumlah leukosit) dan biasanya
terbatas pada organ limfoid sekunder dan jaringan. Imunoglobulin
yang dibentuk set plasma dapat ditemukan dalam sitoplasma dan
permukaan sel dengan teknik imuno-fluoresen. Biasanya sel B
akan dirangsang menjadi sel plasma yang memben-tuk antibodi atas
pengaruh antigen dan sel T (T dependen). Sel B dapat pula mem-
bentuk antibodi atas rangsangan antigen tanpa bantuan sel T (T
independen) (Baratawidjaja, 2012).
Respons imun humoral dapat dicegah oleh umpan batik
antigen; ikatan kompleks antigen dan antibodi oleh reseptor Fey
mencegah sinyal BCR (Baratawidjaja, 2012).
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Sistem limfatik merupakan suatu jalur tambahan tempat cairan
dapat mengalir dari ruang interstisial ke dalam darah. Hal yang
terpenting, sistem limfatik dapat mengangkut protein dan zat-zat
57
berpartikel besar keluar dari ruang jaringan, yang tidak dapat
dipindahkan dengan proses absorpsi langsung ke dalam kapiler darah.
Pembuluh limfe merupakan pembuluh yang membantu sistem
kardiovaskular dalam mengembalikan cairan ke dalam darah. Sistem
limfatika pada dasarnya merupakan sistem penyaluran dan tidak
memiliki sirkulasi.
Struktur pembuluh limfe serupa dengan vena kecil, tetapi
memiliki lebih banyak katup sehingga pembuluh limfe tampaknya
seperti rangkaian petasan. Pembuluh limfe yang terkecil atau kapiler
limfe lebih besar dari kapiler darah dan terdiri hanya atas selapis
endotelium. Limfe dalam salurannya digerakkan oleh kontraksi oleh
otot disekitarnya dan dalam beberapa saluran limfe yang gerakkannya
besar itu dibantu oleh katup.
Limfonodi pengumpul menerima limfe dari berbagai pembuluh
limfe regional. Limfonodi terdiri dari, Noduli Limphatici subcutan
Badan dan Ekstremitas, Noduli Limphatici Aksillaris, Noduli
Limphatici Cubiti, Noduli Limphatici Poplitea, Noduli Limphatici
Dahi, Noduli Limphatici Paru, Noduli Limphatici Inguinalis, dan
Noduli Limphatici Rongga Abdomen.
Sejumlah organ limfoid dan jaringan limfoid yang morfologis
dan fungsional berlainan berperan dalam respon imun. Organ limfoid
tersebut dapat dibagi menjadi organ primer dan sekunder.
III.2. Saran
Penulis berpesan, untuk para pembaca agar yang ditulis dan
yang dituangkan ini, semoga mempunyai manfaat bagi diri penulis
sendiri, maupun bagi para pembaca dan juga penulis anjurkan agar
pembaca dapat mencari referensi yang lainnya. Penulis sadar, dalam
referat ini khususnya mengenai sistem limfatik beserta struktur,
komponen utama, fungsi, dan organ limfoidnya, masih memiliki banyak
58
sekali kekurangan. Baik dari segi penulisan, bahasa penulisan dan juga
tinjauan pustakanya yang masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
memperbaiki kekurangan tersebut, sehingga agar lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Sistem Limfatik (on-line).www.doctorology.net. diakses pada
tanggal 18 Maret 2012.
Baratawidjaja, Karnen G. 2012. Imunologi Dsar Edisi 10. FKUI. Jakarta
Dorland, W.A.N.2010. Kamus Kedokteran Dorland.Ed 31. EGC. Jakarta. 636 hal.
Drake, Richard L (dkk). 2010. Gray’s Anatomy for Student. Ed 2. Elsevier.
Canada. 154 hal.
Fawcett, Don W. 2002. Buku Ajar Histologi Edisi 12. EGC. Jakarta
Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 22. EGC. Jakarta. 565
hal.
Guyton, Arthur C. and John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed
11. EGC. Jakarta. 199-202 hal.
Janqueira, Luiz Carlos dan Jose Carneiro.2007. Histologi Dasar:teks dan atlas.
EGC. Jakarta.
59
Moore, Keith L.dan Anne M.R. Agur.2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates.
Jakarta. 22-24 hal.
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson.2005. Patofisiologi :konsep klinis proses-
proses penyakit. Ed 6. Vol 1. EGC. Jakarta. 60, 120 hal.
Putz, R dan R. Pabst. 2007. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Ed 22. Jakarta. EGC.
23 hal.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed 5. EGC.
Jakarta. 21, 118, 523, 570, 601 hal.
Tortora, Gerard J and Bryan Derrickson.tanpatahun. Principles of Anatomy and
Physiology. Ed 13.WILEY. USA. 875-883 hal.
Freid, GH., Hademenos, GJ. 2005. Schaum’s Out Lines Biologi. Edisi Kedua.
Erlangga. Jakarta.