SATUAN ACARA PENYULUHAN
EFEK OBAT ANTIPSIKOTIK
Oleh :
Kelompok Kenari
Desty Titasari Sagitaria 08.321.0073
Kadek Nevi Lesmana 08.321.0073
I Dw AA Sri Ariesti 08.321.0127
Ketut Yastrini 08.321.0143
Ni Md Elsi Mariyani 08.321.0151
Rida Ari Anggraeni 08.321.0218
PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA
PPNI BALI
2012
SATUAN ACARA PENYULUHAN
EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOTIK
Pokok bahasan : Efek samping obat antipsikotik
Sub pokok bahasan : Peran keluarga merawat pasien dengan efek samping obat antipsikotik
Sasaran : Keluarga Pasien di ruang Poliklinik Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya
Hari/tanggal : Oktober 2012
Waktu : 07.30-08.00 WIB
Ruangan : Ruang tunggu pasien Poliklinik Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya
I. LATAR BELAKANG
Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik
adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO,1966).
Antipsikotik atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis
akut maupunkronik.
Penggunaan dalam jangka panjang ataupun pendek antipsikotik dapat
menyebabkan efek samping yang meliputi sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan
otonomik, gangguan ekstrapiramidal, dan gangguan Endokrin, metabolik, hematologik,
Mengingat akibat yang ditimbulkan dapat membahayakan klien maka perlu
diberikan penyuluhan kepada keluarga klien agar dapat memberikan perawatan yang
sesuai akibat dari efek samping obat yang ditimbulkan.
II. TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti proses penyuluhan selama 30 menit diharapkan para keluarga
pasien yang berkunjung di Ruang Poliklinik Jiwa RSJ Menur Surabaya mempunyai
gambaran tentang cara merawat pasien dengan efek samping obat antipsikotik dan
mengetahui penanganan yang tepat.
III. TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit mahasiswa Stikes Wira Medika PPNI
Bali :
1. Menjelaskan secara singkat pengertian antipsikotik
2. Menjelskan secara singkat indikasi pemberian antipsikotik
3. Menyebutkan klasifikasi antipsikotik
4. Menjelaskan efek samping pemberian antipsikotik
5. Menjelaskan secara singkat peran keluarga dalam merawat pasien dengan efek
samping antipsikotik
IV. METODE
Ceramah dan Tanya jawab.
V. MEDIA
a. alat
1. leaflet
2. flipchart
3. spidol
b. Daftar pustaka
a. Keliat, B.A. (1999). Seri Keperawatan Gangguan Konsep Diri, Cetakan II,
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
b. Stuart, G.W & Sundeen, S.J, (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3,
EGC : Jakarta.
c. Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada
Keperawatan Psikitari. Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
c. Susunan panitia
Moderator : Ni Md Elsi Mariyani
Penyaji : Desty Titasari Sagitaria
Observer : I Dw AA Sri Ariesti
Fasilitator : Ketut Yastrini
Kadek Nevi Lesmana
Rida Ari Angrraeni
VI. ISI MATERI (materi lengkap terlampir)
1. Pengertian antipsikotik
2. Indikasi pemberian antipsikotik
3. Klasifikasi antipsikotik
4. Efek samping pemberian antipsikotik
5. Peran keluarga dalam merawat pasien dengan efek samping antipsikotik
VII. PROSES PELAKSANAAN
NO KEGIATAN RESPON PESERTA WAKTU
1 Pendahuluan
a.Menyampaikan salam
b.Menjelaskan Tujuan
c. Membagikan leaflet
Menjawab salam
Mendengarkan
Memperhatikan
5 menit
2 Isi
Penjelasan materi tentang :
1. Pengertian antipsikotik
2. Indikasi pemberian antipsikotik
3. Klasifikasi antipsikotik
4. Efek samping pemberian
antipsikotik
5. Peran keluarga dalam merawat
pasien dengan efek samping
antipsikotik
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
15 menit
3 Penutup
a. Kesimpulan
b. Evaluasi
c. Memberi salam penutup
Memperhatikan
Menjawab pertanyaan
Menjawab salam
10
11
VIII. SETTING TEMPAT
Setting / Tempat menyerupai huruf “U”
Keterangan :
4 O O 3 1. Flipchart
2 1 2. Penyaji
5 3. Moderator
4. Fasilitator
O O O O 5.Observer
O O O O 6. Peserta penyuluhan
6
IX. EVALUASI
1. Evaluasi kegiatan penyuluhan
Menilai langkah – langkah yang telah dijadwalkan dalam perencanaan
2. Evaluasi hasil kegiataan
Evaluasi perubahan pengetahuan yang dilakukan secara langsung setelah pemberian
penyuluhan, dengan memberikan pertanyaan sebagai berikut:
a. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat pengertian
antipsikotik?
b. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat indikasi pemberian
antipsikotik
c. Coba bapak-bapak/ibu-ibu sebutkan klasifikasi antipsikotik
d. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat efek samping
pemberian antipsikotik
e. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat peran keluarga dalam
merawat pasien dengan efek samping antipsikotik
Lampiran Materi
A. Pengertian Antipsikotik
Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah
obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO,1966). Antipsikotik
atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun
kronik. Antipsikotik bekerja dengan menduduki reseptor dopamin, serotonin dan beberapa
reseptor neurotransmiter lainnya.
B. Indikasi pemberian antipsikotik
Gejala sasaran (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS
Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis
Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality
testing ability), bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu,
daya nilai norma sosial ( judgment ) terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.
Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikaran yang tidak wajar (waham),gangguan
persepsi (halusinasi), gangguan perasaan
tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak dapat terkendali
(disorganized), dan gejala NEGATIF: gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi
minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis), gangguan
prossesberfikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang
stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri
(abulia).
Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam gejala:
tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan kegiatan rutin
C. Klasifikasi antipsikotik
Obat-Obatan Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.
1) Antipsikotik Tipikal
Penggunaan antipsikotik tipikal memberikan efek eleminasi gejala-gejala positif dan
gangguan organisasi isi pikir pasien pada 60-70% pasien skizofrenia maupun pasien psikotik
dengan gangguan afek. Efek antipsikotik ini terlihat beberapa hari hinga beberapa minggu
pemberian.
Metabolisme antispikotik tipikal umumnya berlangsung di sitokrom P450, yang berlangsung
di hepar melalui proses hidroksilasi dan demetilasi agar lebih larut dan mudah diekskresikan
melalui ginjal. Dikarenakan oleh banyaknya metabolit aktif pada antipsikotik tipikal maka sulit
untuk menemukan korelasi yang bermakna terhadap kadar metabolit dalam plasma dengan
respon klinis. Puncak komsentrasi didalam plasma umumnya 1-4 jam setelah dikonsumsi (obat
oral) atau sekitar 30-60 menit (secara parenteral). Antipsikotik yang memiliki potensial rendah
lebih memberikan efek sedatif, antikolinergik, dan lebih menyebabkan hipotensi postural.
Sedangkan antipsikotik potensial tinggi memiliki kecenderungan untuk memberikan gejala
ekstrapiramidal
Antipsikotik tipikal memiliki banyak pengaruh terhadap variabel fisiologis terkait dengan
mekanisme antagonis pada beberapa sistem neurotransmitter. Pengaruh antipsikotik pada
golongan tipikal ini terjadi melalui antagonisme di reseptor dopaminergik D-2 yang terdapat di
traktus dopaminergik di otak yang meliputi mesokortikal, mesolimbik, tuberoinfundibular dan
traktus nigrostriatal. Walaupun efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan
mesolimbik dipercaya sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab
utama timbulnya berbagai efek samping gangguan kognitif dan perilaku.
Antipsikotik tipikal terbagi menjadi 3 kelas yakni golongan phenotiazine, golongan
butyrophenone, dan golongan diphenyl buthyl piperidine.
Golongan phenotiazine terbagi menjadi tiga rantai yakni
- Rantai aliphatic contohnya Chlorpromazine dan levomepromazine
- Rantai piperazine contohnya Perphenazine, Trifluoperazine, dan Fluphenazine
- Rantai piperidin contohnya Thioridazine.
Golongan butyrophenone yakni Haloperidol
Golongan diphenyl buthyl piperidine yakni Pimozide.
Efek Antipsikotik Tipikal
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping
gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine,
dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan
potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.1 Gejala
bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu
diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal)
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia
akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson.
b. Reaksi distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah,
leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara,
krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan
keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat menimbulkan nyeri
hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia
akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat
terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan
lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi tinggi, seperti haloperidol,
trifluoperazine dan flufenazine.
c. Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk.
Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak
nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari
akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
d. Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng,
jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan
kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada
bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku
dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas
normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat
diteukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan
langkah yang kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
e. Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,
involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya berjalan,
berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi
dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau
jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya
waktu
f. Sindrom Neuropleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas, dan
disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari penggunaan obat
antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah observasi pasien yang
diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan dengan
sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor D-2 pada
hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya
peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.
Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik temperatur dan
gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di perifer
tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga
terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi dalam terjadinya
hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna baik
neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan penelitian SNM lebih
sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine.
Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan secara akurat sebagai
golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini. Contoh obat antipsikotik
atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna (SNM) seperti
olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan
antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,
penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,
kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga memiliki
resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian SNM yang
berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan terdapat insidens
0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di India terdapat
0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko kejadian
meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus terjadi pada
minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20% dan umumnya
resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel otot yang
menyebabkan rhabdomyolisis
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :
- Disfagia
- Resting tremor
- Inkontinensia
- Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level
kesadaran yang fluktuatif)
- Tekanan darah yang labil/berubah-ubah
- Sesak nafas, takipnea
- Agitasi psikomotrik
- Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)
- Rigiditas
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan SNM memperlihatkan peningkatan
Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-sel otot, peningkatan
aminotransferase (aminotransferasi aspartat/GOT dan aminotransferase
alanine/GPT), peningkatan Laktat dehidrogenase (LDH) yang juga menggambarkan
terjadinya nekrosis dan dapat dengan cepat berkembang menjadi rhabdomyolisis yang
memberikan hasil laboratorium hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia, dan
hipokalsemia. Selain itu bila terdapat peningkatan kadar myoglobin dalam darah atau
myoglobinuria merupakan tanda terjadinya kegagalan ginjal.
Sementara untuk pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis,
trombositosis, dan tanda-tanda dehidrasi.
g. Gangguan Fungsi Kognitif
Terdapat konsensus bahwa antipsikotik yang bersifat antimuskarinik kuat dapat
mengganggu fungsi memori. Gangguan untuk memusatkan perhatian, menyimpan
memori, dan memori semantik yang mungkin memang terdapat pada pasien skizofrenia
di episode awal penyakit dapat menjadi lebih berat. Selain itu kemampuan memecahkan
masalah sosial, keterampilan sosial juga memperlihatkan penurunan.
h. Efek Hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita.
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus dan
kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrine, yakni
peningkatan pelepasan hormone prolaktin.
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi seksual pada wanita
maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai galaktorrhea, amenorrhea dan
poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme,
gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria.
i. Efek samping pada sistem lainnya
Efek lain antipsikotik tipikal seperti efek antikolinergik baik sentral maupun
perifer melalui blokade reseptor muskarinik. Gejala pada efek sentral seperti
agitasi yang berat, disorientasi waktu, tempat dan orang, halusinasi, dan dilatasi
pupil. Sedangkan efek perifer antikolinergik berupa mulut dan hidung yang kering
umumnya dilaporkan pada pasien dengan pengobatan antipsikotik tipikal potensi
rendah, contohnya chlorpromazine dan mesoridazine. Efek antikolinergik
autonomik lainnya seperti konstipasi.
Fotosensitivitas dapat terjadi pada pasien yang mengkonsumsi golongan potensi
rendah seperti chlorpromazine sehingga pasien perlu diinstruksikan untuk berhati-
hati ketika terpapar sinar matahari. Selain itu dermatitis alergi dapat terjadi di
awal pengobatan.
Efek sedasi terjadi akibat mekanisme hambatan reseptor histamine H1 yang
mungkin akan berpengaruh dalam pekerjaan bila pasien merupakan orang yang
masih aktif bekerja. Akibat inhibisi psikomotorik menjadikan aktivitas
psikomotorik menurun, kewaspadaan berkurang dan kemampuan kognitif
menurun.
Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh blokade
adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial rendah seperti
chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan obat tipikal potensial
rendah intramuscular memerlukan pemantauan tekanan darah (saat berbaring dan
berdiri) untuk mencegah pasien pingsan ataupun jatuh saat berdiri.
Gangguan irama jantung merupakan efek antipsikotik yang mengganggu
kontraktilitas jantung, menghancurkan enzim kontraktilitas sel-sel miokardium.
Antipsikotik tipikal mampu menurunkan ambang batas seseorang untuk
mengalami kejang. Chlorpromazine dan thioridazine diperkirakan bersifat lebih
epiloeptogenik sehingga resiko untuk kejang selama masa pengobatan perlu
dipertimbangkan dalam gangguan kejang atau lesi pada otak.
Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan berat badan
yang kebanyakan terdapat pada pasien yang mengkonsumsi chlorpromazine dan
thioridazine.
Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah putih 3.500
sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis yang mampu
mengancam kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000 pasien yang dirawat dengan
antipsikotik tipikal.
2) Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik generasi kedua,
adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk mengobati kondisi jiwa. Beberapa
antipsikotik atipikal yan disetujui FDA untuk digunakan dalam pengobatan skizofrenia.
Beberapa disetujui FDA untuk indikasi mania akut, depresi bipolar, agitasi psikotik,
pemeliharaan bipolar, dan indikasi lainnya. Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir
reseptor dalam jalur dopamin otak, tetapi antipsikotik atypicals berbeda dari antipsikotik tipikal
karena cenderung dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang meliputi
penyakit gerakan Parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol. Gerakan-gerakan
tubuh yang abnormal bisa menjadi permanen obat bahkan setelah antipsikotik dihentikan.
Jenis-jenis obat atipikal
Berikut ini adalah antipsikotik atipikal disetujui dan dipasarkan di berbagai bagian dunia:
• Amisulpride (Solian)
• Aripiprazole (Abilify)
• Asenapine (Saphris)
• Blonanserin (Lonasen)
• Clotiapine (Entumine)
• Clozapine (Clozaril)
• Iloperidone (Fanapt)
• Mosapramine (Cremin)
• Olanzapine (Zyprexa)
• Paliperidone (Invega)
• Perospirone (Lullan)
• Quepin (Specifar)
• Quetiapine (Seroquel)
• Remoxipride (Roxiam)
• Risperidone (Risperdal)
• Sertindole (Serdolect)
• Sulpiride (Sulpirid, Eglonyl)
• Ziprasidone (Geodon, Zeldox)
• Zotepine (Nipolept)
Antipsikotik atipikal yang saat ini sedang dikembangkan tetapi belum berlisensi:
• Bifeprunox (DU-127,090)
• Lurasidone (SM-13,496)
• Pimavanserin (ACP-103)
• Vabicaserin (SCA-136)
Farmakologi Antipsikotik Atipikal
Mekanisme kerja dari antipsikotik atipikal sangat berbeda tiap obatnya. Antipsikotik
mengikat reseptor secara bervariasi, sehingga antipsikotik hanya memiliki kesamaan efek anti-
psikotik, efek sampingnya sangat bervariasi. Tidak jelas mekanisme di belakang aksi antipsikotik
atipikal. Semua antipsikotik bekerja pada sistem dopamin tapi semua bervariasi dalam hal
afinitas ke reseptor dopamin.
Ada 5 jenis reseptor dopamin pada manusia. Kelompok "D1-like" contohnya tipe 1 dan 5,
mirip dalam struktur dan sensitivitas obat. Kelompok "D2-like" termasuk reseptor dopamin 2, 3
dan 4 dan memiliki struktur yang sangat serupa tetapi sensitivitas sangat berbeda. reseptor "D1-
like" telah ditemukan bahwa tidak secara klinis relevan dalam tindakan terapeutik.
Jika reseptor D1 merupakan komponen penting dari mekanisme AAP, memblokir
reseptor D1 hanya akan meningkatkan gejala psikiatri yang tampak. Jika reseptor D1 mengikat
komponen penting dari antipsikotik, reseptor D1 perlu ada dalam pemeliharaan dosis. Ini tidak
terlihat. D-1 tidak ada atau mungkin ada dalam jumlah rendah atau dapat diabaikan, bahkan tidak
mempertahankan penghapusan gejala yang terlihat.
Kelompok reseptor dopamin "D2-like" diklasifikasikan berdasarkan strukturnya, bukan
berdasarkan sensitivitas obat. Telah ditunjukkan bahwa blokade reseptor D2 diperlukan untuk
tindakan. Semua antipsikotik mengeblok reseptor D2 sampai taraf tertentu, tetapi afinitas
antipsikotik bervariasi antar obat. Afinitas yang bervariasi menyebabkan perubahan pada
efektivitas.
Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori "cepat-off". AAP memiliki
afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya mengikat pada reseptor secara longgar dan cepat
dilepaskan. AAP secara cepat mengikat dan memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk
memungkinkan transmisi dopamin normal. Mekanisme pengikat sementara ini membuat tingkat
prolaktin normal, kognisi tidak terpengaruh, dan menyingkirkan EPS (Höschl, C. 2006).
Dari sudut pandang historis telah ada penelitian terhadap peran serotonin dan pengobatan
dengan menggunakan antipsikotik. Pengalaman dengan LSD menunjukkan bahwa blokade
reseptor 5-HT2A mungkin merupakan cara yang menjanjikan untuk mengobati skizofrenia.Satu
masalah dengan hal ini adalah kenyataan bahwa gejala psikotik yang disebabkan oleh agonis
reseptor 5-HT2 berbeda secara substansial dari gejala-gejala psikosis skizofrenia. Salah satu
faktor yang menjanjikan ini adalah tempat reseptor 5-HT2A terletak di otak. Mereka terlokalisasi
pada sel-sel hipokampus dan korteks piramidal dan memiliki kepadatan yang tinggi di lapisan
neokorteks lima, tempat masukan dari berbagai daerah otak kortikal dan subkortikal terintegrasi.
Pemblokiran reseptor area ini menarik mengingat daerah-daerah di otak yang menarik
dalam pengembangan skizofrenia. Bukti menunjukkan fakta bahwa serotonin tidak cukup untuk
menghasilkan efek antipsikotik tetapi aktivitas serotonergik dalam kombinasinya dengan blokade
reseptor D2 mungkin untuk menghasilkan efek antipsikotik. Terlepas dari neurotransmiter, AAP
memiliki efek pada obat-obatan antipsikotik muncul untuk bekerja dengan menginduksi
restrukturisasi jaringan saraf. Mereka mampu mendorong perubahan-perubahan struktur.
Efek Samping Antipsikotik Atipikal
Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik atipikal bervariasi dan
spesifik pada masing-masing obat. Secara umum, antipsikotik atipikal diharapkan memiliki
kemungkinan lebih rendah untuk terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik
tipikal. Namun, tardive dyskinesia biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik jangka
panjang (mungkin beberapa dekade). Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal, yang telah
di gunakan untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden tardive dyskinesia yang lebih
rendah.
Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada antipsikotik tipikal.
Walaupun banyak pasien akan membantah klaim ini. Pada tahun 2004, Komite untuk
Keselamatan Obat-obatan (CSM) di Inggris mengeluarkan peringatan bahwa olanzapine dan
risperidone tidak boleh diberikan kepada pasien lansia dengan demensia, karena peningkatan
risiko stroke. Kadang-kadang antipsikotik atipikal dapat menyebabkan perubahan abnormal pada
pola tidur, dan kelelahan ekstrim dan kelemahan.
Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel tentang efek obat
antipsikotik pada anak-anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal (Clozaril, Risperdal,
Zyprexa, Seroquel, Abilify, dan Geodon) telah disetujui untuk anak-anak, dan ada sedikit
penelitian tentang dampaknya pada anak-anak. Dari 2000-2004, ada 45 kematian dilaporkan, di
mana sebuah antipsikotik atipikal tercatat sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek
samping yang serius, dan kadang-kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk tardive
dyskinesia dan distonia.
Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa antipsikotik atipikal
meningkatkan resiko penyakit jantung.Penelitian Kabinoff et al mengatakan peningkatan
penyakit kardiovaskular dilihat terlepas dari perlakuan yang mereka terima, melainkan
disebabkan oleh berbagai faktor seperti gaya hidup atau diet .Efek samping seksual juga telah
dilaporkan. Antipsikotik mengurangi gairah seksual laki-laki, merusak performa seksual dengan
kesulitan utama berupa kegagalan untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus haid normal
dan infertilitas. Pada laki-laki dan perempuan mungkin payudara membesar dan kadang-kadang
akan mengeluarkan cairan dari puting.
D. Peran keluarga dalam merawat pasien dengan efek samping antipsikotik