Sap Psikotik

24
SATUAN ACARA PENYULUHAN EFEK OBAT ANTIPSIKOTIK Oleh : Kelompok Kenari Desty Titasari Sagitaria 08.321.0073 Kadek Nevi Lesmana 08.321.0073 I Dw AA Sri Ariesti 08.321.0127 Ketut Yastrini 08.321.0143 Ni Md Elsi Mariyani 08.321.0151 Rida Ari Anggraeni 08.321.0218 PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI 2012

Transcript of Sap Psikotik

Page 1: Sap Psikotik

SATUAN ACARA PENYULUHAN

EFEK OBAT ANTIPSIKOTIK

Oleh :

Kelompok Kenari

Desty Titasari Sagitaria 08.321.0073

Kadek Nevi Lesmana 08.321.0073

I Dw AA Sri Ariesti 08.321.0127

Ketut Yastrini 08.321.0143

Ni Md Elsi Mariyani 08.321.0151

Rida Ari Anggraeni 08.321.0218

PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA

PPNI BALI

2012

Page 2: Sap Psikotik

SATUAN ACARA PENYULUHAN

EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOTIK

Pokok bahasan : Efek samping obat antipsikotik

Sub pokok bahasan : Peran keluarga merawat pasien dengan efek samping obat antipsikotik

Sasaran : Keluarga Pasien di ruang Poliklinik Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

Hari/tanggal : Oktober 2012

Waktu : 07.30-08.00 WIB

Ruangan : Ruang tunggu pasien Poliklinik Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

I. LATAR BELAKANG

Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik

adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO,1966).

Antipsikotik atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis

akut maupunkronik.

Penggunaan dalam jangka panjang ataupun pendek antipsikotik dapat

menyebabkan efek samping yang meliputi sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan

otonomik, gangguan ekstrapiramidal, dan gangguan Endokrin, metabolik, hematologik,

Mengingat akibat yang ditimbulkan dapat membahayakan klien maka perlu

diberikan penyuluhan kepada keluarga klien agar dapat memberikan perawatan yang

sesuai akibat dari efek samping obat yang ditimbulkan.

II. TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti proses penyuluhan selama 30 menit diharapkan para keluarga

pasien yang berkunjung di Ruang Poliklinik Jiwa RSJ Menur Surabaya mempunyai

gambaran tentang cara merawat pasien dengan efek samping obat antipsikotik dan

mengetahui penanganan yang tepat.

III. TUJUAN KHUSUS

Page 3: Sap Psikotik

Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit mahasiswa Stikes Wira Medika PPNI

Bali :

1. Menjelaskan secara singkat pengertian antipsikotik

2. Menjelskan secara singkat indikasi pemberian antipsikotik

3. Menyebutkan klasifikasi antipsikotik

4. Menjelaskan efek samping pemberian antipsikotik

5. Menjelaskan secara singkat peran keluarga dalam merawat pasien dengan efek

samping antipsikotik

IV. METODE

Ceramah dan Tanya jawab.

V. MEDIA

a. alat

1. leaflet

2. flipchart

3. spidol

b. Daftar pustaka

a. Keliat, B.A. (1999). Seri Keperawatan Gangguan Konsep Diri, Cetakan II,

Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

b. Stuart, G.W & Sundeen, S.J, (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3,

EGC : Jakarta.

c. Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada

Keperawatan Psikitari. Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

c. Susunan panitia

Moderator : Ni Md Elsi Mariyani

Penyaji : Desty Titasari Sagitaria

Observer : I Dw AA Sri Ariesti

Fasilitator : Ketut Yastrini

Page 4: Sap Psikotik

Kadek Nevi Lesmana

Rida Ari Angrraeni

VI. ISI MATERI (materi lengkap terlampir)

1. Pengertian antipsikotik

2. Indikasi pemberian antipsikotik

3. Klasifikasi antipsikotik

4. Efek samping pemberian antipsikotik

5. Peran keluarga dalam merawat pasien dengan efek samping antipsikotik

VII. PROSES PELAKSANAAN

NO KEGIATAN RESPON PESERTA WAKTU

1 Pendahuluan

a.Menyampaikan salam

b.Menjelaskan Tujuan

c. Membagikan leaflet

Menjawab salam

Mendengarkan

Memperhatikan

5 menit

2 Isi

Penjelasan materi tentang :

1. Pengertian antipsikotik

2. Indikasi pemberian antipsikotik

3. Klasifikasi antipsikotik

4. Efek samping pemberian

antipsikotik

5. Peran keluarga dalam merawat

pasien dengan efek samping

antipsikotik

Memperhatikan

Memperhatikan

Memperhatikan

Memperhatikan

15 menit

3 Penutup

Page 5: Sap Psikotik

a. Kesimpulan

b. Evaluasi

c. Memberi salam penutup

Memperhatikan

Menjawab pertanyaan

Menjawab salam

10

11

VIII. SETTING TEMPAT

Setting / Tempat menyerupai huruf “U”

Keterangan :

4 O O 3 1. Flipchart

2 1 2. Penyaji

5 3. Moderator

4. Fasilitator

O O O O 5.Observer

O O O O 6. Peserta penyuluhan

6

IX. EVALUASI

1. Evaluasi kegiatan penyuluhan

Menilai langkah – langkah yang telah dijadwalkan dalam perencanaan

2. Evaluasi hasil kegiataan

Evaluasi perubahan pengetahuan yang dilakukan secara langsung setelah pemberian

penyuluhan, dengan memberikan pertanyaan sebagai berikut:

a. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat pengertian

antipsikotik?

b. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat indikasi pemberian

antipsikotik

c. Coba bapak-bapak/ibu-ibu sebutkan klasifikasi antipsikotik

d. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat efek samping

pemberian antipsikotik

Page 6: Sap Psikotik

e. Coba bapak-bapak/ibu-ibu jelaskan secara singkat peran keluarga dalam

merawat pasien dengan efek samping antipsikotik

Lampiran Materi

A. Pengertian Antipsikotik

Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah

obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO,1966). Antipsikotik

atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun

kronik. Antipsikotik bekerja dengan menduduki reseptor dopamin, serotonin dan beberapa

reseptor neurotransmiter lainnya.

B. Indikasi pemberian antipsikotik

Gejala sasaran (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS

Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis

Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality

testing ability), bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu,

daya nilai norma sosial ( judgment ) terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.

Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF

gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikaran yang tidak wajar (waham),gangguan

persepsi (halusinasi), gangguan perasaan

tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak dapat terkendali

(disorganized), dan gejala NEGATIF: gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi

minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis), gangguan

prossesberfikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang

stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri

(abulia).

Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam gejala:

tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan kegiatan rutin

C. Klasifikasi antipsikotik

Obat-Obatan Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.

Page 7: Sap Psikotik

1) Antipsikotik Tipikal

Penggunaan antipsikotik tipikal memberikan efek eleminasi gejala-gejala positif dan

gangguan organisasi isi pikir pasien pada 60-70% pasien skizofrenia maupun pasien psikotik

dengan gangguan afek. Efek antipsikotik ini terlihat beberapa hari hinga beberapa minggu

pemberian.

Metabolisme antispikotik tipikal umumnya berlangsung di sitokrom P450, yang berlangsung

di hepar melalui proses hidroksilasi dan demetilasi agar lebih larut dan mudah diekskresikan

melalui ginjal. Dikarenakan oleh banyaknya metabolit aktif pada antipsikotik tipikal maka sulit

untuk menemukan korelasi yang bermakna terhadap kadar metabolit dalam plasma dengan

respon klinis. Puncak komsentrasi didalam plasma umumnya 1-4 jam setelah dikonsumsi (obat

oral) atau sekitar 30-60 menit (secara parenteral). Antipsikotik yang memiliki potensial rendah

lebih memberikan efek sedatif, antikolinergik, dan lebih menyebabkan hipotensi postural.

Sedangkan antipsikotik potensial tinggi memiliki kecenderungan untuk memberikan gejala

ekstrapiramidal

Antipsikotik tipikal memiliki banyak pengaruh terhadap variabel fisiologis terkait dengan

mekanisme antagonis pada beberapa sistem neurotransmitter. Pengaruh antipsikotik pada

golongan tipikal ini terjadi melalui antagonisme di reseptor dopaminergik D-2 yang terdapat di

traktus dopaminergik di otak yang meliputi mesokortikal, mesolimbik, tuberoinfundibular dan

traktus nigrostriatal. Walaupun efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan

mesolimbik dipercaya sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab

utama timbulnya berbagai efek samping gangguan kognitif dan perilaku.

Antipsikotik tipikal terbagi menjadi 3 kelas yakni golongan phenotiazine, golongan

butyrophenone, dan golongan diphenyl buthyl piperidine.

Golongan phenotiazine terbagi menjadi tiga rantai yakni

- Rantai aliphatic contohnya Chlorpromazine dan levomepromazine

- Rantai piperazine contohnya Perphenazine, Trifluoperazine, dan Fluphenazine

- Rantai piperidin contohnya Thioridazine.

Golongan butyrophenone yakni Haloperidol

Golongan diphenyl buthyl piperidine yakni Pimozide.

Page 8: Sap Psikotik

Efek Antipsikotik Tipikal

a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)

Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang

ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik

golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping

gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine,

dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan

potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.1 Gejala

bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu

diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal)

Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia

akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson.

b. Reaksi distonia akut

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang

timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah,

leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara,

krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan

keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat menimbulkan nyeri

hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia

akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat

terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan

lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi tinggi, seperti haloperidol,

trifluoperazine dan flufenazine.

c. Akatisia

Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap

bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau

kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk.

Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak

nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari

akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.

d. Sindrom Parkinson

Page 9: Sap Psikotik

Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng,

jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan

kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada

bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku

dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas

normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat

diteukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan

langkah yang kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.

e. Tardive diskinesia

Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor

dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,

involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya berjalan,

berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi

dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau

jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya

waktu

f. Sindrom Neuropleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas, dan

disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari penggunaan obat

antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah observasi pasien yang

diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.

Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan dengan

sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor D-2 pada

hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya

peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.

Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik temperatur dan

gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di perifer

tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga

terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi dalam terjadinya

hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.

Page 10: Sap Psikotik

Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna baik

neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan penelitian SNM lebih

sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine.

Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan secara akurat sebagai

golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini. Contoh obat antipsikotik

atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna (SNM) seperti

olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan quetiapine.

Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan

antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,

penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,

kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga memiliki

resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.

Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian SNM yang

berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan terdapat insidens

0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di India terdapat

0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko kejadian

meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus terjadi pada

minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20% dan umumnya

resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel otot yang

menyebabkan rhabdomyolisis

Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :

- Disfagia

- Resting tremor

- Inkontinensia

- Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level

kesadaran yang fluktuatif)

- Tekanan darah yang labil/berubah-ubah

- Sesak nafas, takipnea

- Agitasi psikomotrik

- Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)

- Rigiditas

Page 11: Sap Psikotik

Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan SNM memperlihatkan peningkatan

Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-sel otot, peningkatan

aminotransferase (aminotransferasi aspartat/GOT dan aminotransferase

Page 12: Sap Psikotik

alanine/GPT), peningkatan Laktat dehidrogenase (LDH) yang juga menggambarkan

terjadinya nekrosis dan dapat dengan cepat berkembang menjadi rhabdomyolisis yang

memberikan hasil laboratorium hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia, dan

hipokalsemia. Selain itu bila terdapat peningkatan kadar myoglobin dalam darah atau

myoglobinuria merupakan tanda terjadinya kegagalan ginjal.

Sementara untuk pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis,

trombositosis, dan tanda-tanda dehidrasi.

g. Gangguan Fungsi Kognitif

Terdapat konsensus bahwa antipsikotik yang bersifat antimuskarinik kuat dapat

mengganggu fungsi memori. Gangguan untuk memusatkan perhatian, menyimpan

memori, dan memori semantik yang mungkin memang terdapat pada pasien skizofrenia

di episode awal penyakit dapat menjadi lebih berat. Selain itu kemampuan memecahkan

masalah sosial, keterampilan sosial juga memperlihatkan penurunan.

h. Efek Hormonal

Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat

menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita.

Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus dan

kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrine, yakni

peningkatan pelepasan hormone prolaktin.

Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi seksual pada wanita

maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai galaktorrhea, amenorrhea dan

poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme,

gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria.

i. Efek samping pada sistem lainnya

Efek lain antipsikotik tipikal seperti efek antikolinergik baik sentral maupun

perifer melalui blokade reseptor muskarinik. Gejala pada efek sentral seperti

agitasi yang berat, disorientasi waktu, tempat dan orang, halusinasi, dan dilatasi

pupil. Sedangkan efek perifer antikolinergik berupa mulut dan hidung yang kering

umumnya dilaporkan pada pasien dengan pengobatan antipsikotik tipikal potensi

Page 13: Sap Psikotik

rendah, contohnya chlorpromazine dan mesoridazine. Efek antikolinergik

autonomik lainnya seperti konstipasi.

Fotosensitivitas dapat terjadi pada pasien yang mengkonsumsi golongan potensi

rendah seperti chlorpromazine sehingga pasien perlu diinstruksikan untuk berhati-

hati ketika terpapar sinar matahari. Selain itu dermatitis alergi dapat terjadi di

awal pengobatan.

Efek sedasi terjadi akibat mekanisme hambatan reseptor histamine H1 yang

mungkin akan berpengaruh dalam pekerjaan bila pasien merupakan orang yang

masih aktif bekerja. Akibat inhibisi psikomotorik menjadikan aktivitas

psikomotorik menurun, kewaspadaan berkurang dan kemampuan kognitif

menurun.

Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh blokade

adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial rendah seperti

chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan obat tipikal potensial

rendah intramuscular memerlukan pemantauan tekanan darah (saat berbaring dan

berdiri) untuk mencegah pasien pingsan ataupun jatuh saat berdiri.

Gangguan irama jantung merupakan efek antipsikotik yang mengganggu

kontraktilitas jantung, menghancurkan enzim kontraktilitas sel-sel miokardium.

Antipsikotik tipikal mampu menurunkan ambang batas seseorang untuk

mengalami kejang. Chlorpromazine dan thioridazine diperkirakan bersifat lebih

epiloeptogenik sehingga resiko untuk kejang selama masa pengobatan perlu

dipertimbangkan dalam gangguan kejang atau lesi pada otak.

Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan berat badan

yang kebanyakan terdapat pada pasien yang mengkonsumsi chlorpromazine dan

thioridazine.

Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah putih 3.500

sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis yang mampu

mengancam kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000 pasien yang dirawat dengan

antipsikotik tipikal.

Page 14: Sap Psikotik

2) Antipsikotik Atipikal

Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik generasi kedua,

adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk mengobati kondisi jiwa. Beberapa

antipsikotik atipikal yan disetujui FDA untuk digunakan dalam pengobatan skizofrenia.

Beberapa disetujui FDA untuk indikasi mania akut, depresi bipolar, agitasi psikotik,

pemeliharaan bipolar, dan indikasi lainnya. Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir

reseptor dalam jalur dopamin otak, tetapi antipsikotik atypicals berbeda dari antipsikotik tipikal

karena cenderung dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang meliputi

penyakit gerakan Parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol. Gerakan-gerakan

tubuh yang abnormal bisa menjadi permanen obat bahkan setelah antipsikotik dihentikan.

Jenis-jenis obat atipikal

Berikut ini adalah antipsikotik atipikal disetujui dan dipasarkan di berbagai bagian dunia:

• Amisulpride (Solian)

• Aripiprazole (Abilify)

• Asenapine (Saphris)

• Blonanserin (Lonasen)

• Clotiapine (Entumine)

• Clozapine (Clozaril)

• Iloperidone (Fanapt)

• Mosapramine (Cremin)

• Olanzapine (Zyprexa)

• Paliperidone (Invega)

• Perospirone (Lullan)

• Quepin (Specifar)

• Quetiapine (Seroquel)

• Remoxipride (Roxiam)

• Risperidone (Risperdal)

• Sertindole (Serdolect)

• Sulpiride (Sulpirid, Eglonyl)

• Ziprasidone (Geodon, Zeldox)

• Zotepine (Nipolept)

Antipsikotik atipikal yang  saat ini sedang dikembangkan tetapi belum berlisensi:

• Bifeprunox (DU-127,090)

• Lurasidone (SM-13,496)

• Pimavanserin (ACP-103)

• Vabicaserin (SCA-136)

Page 15: Sap Psikotik

Farmakologi Antipsikotik Atipikal

Mekanisme kerja dari antipsikotik atipikal sangat berbeda tiap obatnya. Antipsikotik

mengikat reseptor secara bervariasi, sehingga antipsikotik hanya memiliki kesamaan efek anti-

psikotik, efek sampingnya sangat bervariasi. Tidak jelas mekanisme di belakang aksi antipsikotik

atipikal. Semua antipsikotik bekerja pada sistem dopamin tapi semua bervariasi dalam hal

afinitas ke reseptor dopamin.

Ada 5 jenis reseptor dopamin pada manusia. Kelompok "D1-like" contohnya tipe 1 dan 5,

mirip dalam struktur dan sensitivitas obat. Kelompok "D2-like" termasuk reseptor dopamin 2, 3

dan 4 dan memiliki struktur yang sangat serupa tetapi sensitivitas sangat berbeda. reseptor "D1-

like" telah ditemukan bahwa tidak secara klinis relevan dalam tindakan terapeutik.

Jika reseptor D1 merupakan komponen penting dari mekanisme AAP, memblokir

reseptor D1 hanya akan meningkatkan gejala psikiatri yang tampak. Jika reseptor D1 mengikat

komponen penting dari antipsikotik, reseptor D1 perlu ada dalam pemeliharaan dosis. Ini tidak

terlihat. D-1 tidak ada atau mungkin ada dalam jumlah rendah atau dapat diabaikan, bahkan tidak

mempertahankan penghapusan gejala yang terlihat.

Kelompok reseptor dopamin "D2-like" diklasifikasikan berdasarkan strukturnya, bukan

berdasarkan sensitivitas obat. Telah ditunjukkan bahwa blokade reseptor D2 diperlukan untuk

tindakan. Semua antipsikotik mengeblok reseptor D2 sampai taraf tertentu, tetapi afinitas

antipsikotik bervariasi antar obat. Afinitas yang bervariasi menyebabkan perubahan pada

efektivitas.

Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori "cepat-off". AAP memiliki

afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya mengikat pada reseptor secara longgar dan cepat

dilepaskan. AAP secara cepat mengikat dan memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk

memungkinkan transmisi dopamin normal. Mekanisme pengikat sementara ini membuat tingkat

prolaktin normal, kognisi tidak terpengaruh, dan menyingkirkan EPS (Höschl, C. 2006).

Dari sudut pandang historis telah ada penelitian terhadap peran serotonin dan pengobatan

dengan menggunakan antipsikotik. Pengalaman dengan LSD menunjukkan bahwa blokade

reseptor 5-HT2A mungkin merupakan cara yang menjanjikan untuk mengobati skizofrenia.Satu

masalah dengan hal ini adalah kenyataan bahwa gejala psikotik yang disebabkan oleh agonis

reseptor 5-HT2 berbeda secara substansial dari gejala-gejala psikosis skizofrenia. Salah satu

faktor yang menjanjikan ini adalah tempat reseptor 5-HT2A terletak di otak. Mereka terlokalisasi

Page 16: Sap Psikotik

pada sel-sel hipokampus dan korteks piramidal dan memiliki kepadatan yang tinggi di lapisan

neokorteks lima, tempat masukan dari berbagai daerah otak kortikal dan subkortikal terintegrasi.

Pemblokiran reseptor area ini menarik mengingat daerah-daerah di otak yang menarik

dalam pengembangan skizofrenia. Bukti menunjukkan fakta bahwa serotonin tidak cukup untuk

menghasilkan efek antipsikotik tetapi aktivitas serotonergik dalam kombinasinya dengan blokade

reseptor D2 mungkin untuk menghasilkan efek antipsikotik. Terlepas dari neurotransmiter, AAP

memiliki efek pada obat-obatan antipsikotik muncul untuk bekerja dengan menginduksi

restrukturisasi jaringan saraf. Mereka mampu mendorong perubahan-perubahan struktur.

Efek Samping Antipsikotik Atipikal

Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik atipikal bervariasi dan

spesifik pada masing-masing obat. Secara umum, antipsikotik atipikal diharapkan memiliki

kemungkinan lebih rendah untuk terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik

tipikal. Namun, tardive dyskinesia biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik jangka

panjang (mungkin beberapa dekade). Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal, yang telah

di gunakan untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden tardive dyskinesia yang lebih

rendah. 

Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada antipsikotik tipikal.

Walaupun banyak pasien akan membantah klaim ini. Pada tahun 2004, Komite untuk

Keselamatan Obat-obatan (CSM) di Inggris mengeluarkan peringatan bahwa olanzapine dan

risperidone tidak boleh diberikan kepada pasien lansia dengan demensia, karena peningkatan

risiko stroke. Kadang-kadang antipsikotik atipikal dapat menyebabkan perubahan abnormal pada

pola tidur, dan kelelahan ekstrim dan kelemahan.

Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel tentang efek obat

antipsikotik pada anak-anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal (Clozaril, Risperdal,

Zyprexa, Seroquel, Abilify, dan Geodon) telah disetujui untuk anak-anak, dan ada sedikit

penelitian tentang dampaknya pada anak-anak. Dari 2000-2004, ada 45 kematian dilaporkan, di

mana sebuah antipsikotik atipikal tercatat sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek

samping yang serius, dan kadang-kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk tardive

dyskinesia  dan distonia.

Page 17: Sap Psikotik

Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa antipsikotik atipikal

meningkatkan resiko penyakit jantung.Penelitian Kabinoff et al mengatakan peningkatan

penyakit kardiovaskular dilihat terlepas dari perlakuan yang mereka terima, melainkan

disebabkan oleh berbagai faktor seperti gaya hidup atau diet .Efek samping seksual juga telah

dilaporkan. Antipsikotik mengurangi gairah seksual laki-laki, merusak performa seksual dengan

kesulitan utama berupa kegagalan untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus haid normal

dan infertilitas. Pada laki-laki dan perempuan mungkin payudara membesar dan kadang-kadang

akan mengeluarkan cairan dari puting.

D. Peran keluarga dalam merawat pasien dengan efek samping antipsikotik