Setiap 22 Desember Indonesia memperingati hari ibu dengan berbagai seremonial dan
kegiatan. Bagaimanakah kondisi kaum ibu di Indonesia? Sudahkah tercapai harapan ibu-ibu
pejuang dahulu; RA. Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan lainnya? Harapan akan
kesempatan, kesejahteraan untuk kaum ibu.
Walau banyak kemajuan yang telah dicapai kaum ibu dari sisi kesempatan pendidikan,
pekerjaan, berpolitik dan masih banyak lagi. Sejenak saja mari kita lihat lebih dalam, nyatakah
itu semua?
Dasar yang menjadi pondasi peningkatan kesejahteraan para ibu adalah kesehatan. Kemajuan
yang disebutkan tadi adalah bunganya saja, yang mengindikasikan kemajuan kaum ibu. Tetapi
apakah bunga itu berakar kuat pada tanah yang subur terawat? Itu yang harus dicermati.
Mengapa kesehatan disebut sebagai pondasi kemajuan kaum ibu? Karena kesehatan adalah
dasar, kebutuhan sangat dasar yang harus terpenuhi dengan baik. Bukan hanya cukup, tetapi
harus baik. Kesehatan ibu menentukan kualitas bangsa. Ibulah yang mengatur keluarga (dalam
skala kecil), berarti juga mengatur bangsa. Ibulah yang melahirkan dan membesarkan anak-
anaknya. Otomatis ia akan melahirkan dan membesarkan generasi penerus bangsa, yang
memegang masa depan Indonesia.
Siklus seorang ibu dimulai dari masa ia menjadi bayi, kemudian anak perempuan, remaja putri,
lalu wanita dewasa, ibu hamil, ibu, wanita menopause sampai wanita lanjut usia. Banyak
kondisi memprihatinkan yang terjadi pada fase-fase tersebut. Sebagian besar masalah
kesehatan yang dialami berhubungan dengan gizi. Tentu saja, karena gizi adalah inti dari
kesehatan. Gizi kurang mengakibatkan berbagai penyakit akibat defisiensi zat gizi makro dan
mikro. Gizi lebih mengakibatkan penyakit akibat penumpukan. Kondisi gizi seimbang mudah
untuk diucapkan tetapi rupanya sangat sulit untuk dicapai secara harfiah.
Gizi kurang
Dari astari’s ideas.blogspot.com ditulis tahun 2008 Page 1
Sejak awal kehidupan calon ibu sebagai seorang janin dalam kandungan, ancaman kekurangan
gizi sudah mengintai. Bila ibu hamil mengalami kekurangan gizi, konsekuensinya akan
melahirkan bayi-bayi dengan berat badan yang rendah (BBLR).
Bayi BBLR bukan berarti tanpa konsekuensi lanjutan. BBLR mengindikasikan kekurangan gizi
kronis yang terjadi pada sang ibu, baik sebelum dan selama kehamilan. Pertumbuhan janin
dalam kandungan membutuhkan banyak sekali zat-zat gizi. Bila ibu hamilnya saja sudah
kekurangan, apalagi janin yang dikandungnya. Ada 350 ribu bayi lahir dengan berat badan
rendah setiap tahunnya di Indonesia. Bayi-bayi ini sangat rentan terhadap kematian akibat
infeksi. Tidak heran angka kematian bayi kita masih tinggi, 35 perseribu kelahiran hidup.
Ibu Indonesia cenderung anemia, yang berarti kandungan hemoglobin dalam sel darah
merahnya berkurang. Sebagian besar akibat kekurangan zat besi. Padahal hemoglobin bagai
tukang pos yang mengantarkan paket-paket oksigen ke seluruh sel tubuh. Dalam kondisi
anemia, tukang pos hemoglobin hanya mampu membawa sangat sedikit paket oksigen.
Akibatnya terjadi mogok kerja, sel-sel tubuh yang merasa kebutuhannya tidak terpenuhi tidak
mau/tidak mampu melaksanakan fungsinya. Sampai akhirnya sel-sel tersebut rusak dan mati.
Anemia pada ibu hamil meningkatkan risiko kematian saat persalinan 3,6 kali lebih besar.
Akibat sel-sel otot dalam rahimnya sudah lama kekurangan oksigen, mereka mogok
berkontraksi post partum. Sehingga mudah terjadi perdarahan setelah melahirkan, yang
berujung pada kematian. Tidak perlu heran mengapa angka kematian ibu Indonesia tiga sampai
delapan kali lipat negara ASEAN lainnya. Lima puluh persen dari ibu hamil kita mengalami
anemia, beberapa propinsi bahkan mencapai 80 persen.
Tidak hanya mengancam ibu saja, janin yang dikandung ibu anemi cenderung mengalami
masalah serupa. Pak pos hemoglobin tidak mampu mengantar oksigen yang cukup. Padahal
Dari astari’s ideas.blogspot.com ditulis tahun 2008 Page 2
pembentukan otak dan anggota tubuh lainnya perlu oksigen banyak. Bisa kita perkirakan, efek
negatif yang ditimbulkan kepada kecerdasan dan kesehatan bayi yang dilahirkan.
Bayi dengan riwayat BBLR, bila ia berhasil hidup, akan menjadi balita yang rentan. Masa balita
adalah periode emas yang harusnya menjadi tempat investasi terbesar bangsa. Karena sampai
usia 3 tahun, balita akan berusaha mengkompensasi perkembangan dan pertumbuhan yang
kurang. Bila pada fase ini diberikan nutrisi yang baik dalam jumlah tepat, perkembangannya
akan optimal. Kecerdasan dan kesehatan fisik ditentukan pada fase ini. Nyatanya, prevalensi
balita dengan gizi kurang di Indonesia masih yang tertinggi di ASEAN. Sekitar 27 persen balita
Indonesia kekurangan gizi makro, satu diantara dua balita kekurangan gizi mikro vitamin A dan
zat besi. Efek jangka panjangnya akan sukar diperbaiki. Lagi-lagi kita tidak perlu heran
mengapa angka kematian balita 58 per seribu balita.
Balita dengan riwayat gizi kurang yang berhasil tumbuh ke usia sekolah akan menjadi anak-
anak yang pendek. Bukan karena pengaruh genetis, tetapi karena kurangnya protein untuk
pertumbuhan otot dan jaringan, kurangnya kalsium untuk pertumbuhan tulang dan kurangnya
zat besi untuk membantu pengiriman oksigen keseluruh tubuhnya. Selain fisik, kecerdasan juga
terganggu. IQ anak dengan riwayat kekurangan gizi 11 poin lebih rendah dibanding yang
kecukupan gizinya terjaga. Pada usia sekolah, efek buruk yang terjadi sudah permanen. Bisa
kita lihat dari jumlah anak yang harus mengulang sekolah dasar setiap tahun mencapai 900 ribu
lebih! Nyaris satu juta anak Indonesia tidak dapat lulus sekolah dasar karena kemampuan
berpikirnya kurang. Bila separuhnya adalah perempuan, ada lima ratus ribu calon ibu yang
kecerdasannya dibawah rata-rata setiap tahun.
Selanjutnya anak sekolah ini beranjak remaja. Umumnya remaja putri mengalami masalah
dalam pola makannya. Karena ia sudah bisa memilih sendiri, ditambah pengaruh dari teman,
bintang idolanya yang langsing-langsing, informasi setengah-setengah yang ia dapat disekolah
Dari astari’s ideas.blogspot.com ditulis tahun 2008 Page 3
mengenai gizi, dll. Remaja putri akan cenderung mengurangi asupan makannya dengan alasan
diet, takut gemuk. Padahal remaja yang sehat saja dilarang diet, apalagi yang masa balitanya
tergolong gizi kurang. Remaja putri sedang mengalami pertumbuhan besar-besaran
mempersiapkan dirinya menjadi seorang wanita. Diperlukan zat gizi yang lebih dari sebelumnya
untuk pertumbuhan tulang, rahim, payudara, metabolism hormonal dan sebagainya. Bila zat
gizinya tidak cukup, pertumbuhan ini akan mandek.
Remaja putri akan menjadi wanita dewasa yang pendek akibat kondisi tubuh kekurangan gizi
kronis, bukan genetis. Bila ia kemudian hamil, akan menjadi ibu hamil dengan defisiensi gizi
dan melahirkan bayi-bayi BBLR generasi berikutnya.
Bayangkan berapa banyak generasi yang hilang?
Gizi lebih
Gizi lebih rupanya mulai membayangi Indonesia. Pada berbagai survey diketahui, sekitar 10
persen wanita mengalami kelebihan berat badan dan 13 persen mengalami obesitas. Pada
remaja porporsi gizi lebih bervariasi antara 2-9 persen.
Yang sudah diketahui luas penyebab gizi lebih adalah mengenai pemilihan jenis makanan dan
aktivitas fisik ssehari-hari. Pemilihan makanan yang kaya lemak dan tinggi karbohidrat
sederhana/gula akan membuat penumpukan-penumpukan energi tidak terpakai sehingga
disimpan sebagai lemak bawah kulit. Seringnya mengkonsumsi makanan cepat saji, lebih suka
membeli jajanan rendah serat tinggi lemak daripada memasak sendiri, aneka cemilan kaya
garam disaat senggang hanyalah contoh kebiasaan yang mulai membudaya dikalangan ibu.
Aktivitas fisik yang kurang dan malas berolah raga otomatis akan mengurangi pembakaran
penumpukan lemak tadi. Jadilah kelebihan berat badan atau bahkan obesitas pada ibu-ibu
Indonesia.
Dari astari’s ideas.blogspot.com ditulis tahun 2008 Page 4
Sebab lain yang baru diketahui akhir-akhir ini bahwa ternyata obesitas berhubungan dengan
riwayat kekurangan gizi kronis pada fase kehidupan sebelumnya. Seorang balita dengan gizi
kurang lalu tumbuh menjadi remaja dan wanita dewasa. Disaat ia meningkatkan asupan gizinya
saat dewasa lebih mudah menjadi obes dibanding wanita yang tidak pernah mengalami
defisiensi gizi selama fase hidupnya.
Hal ini sangat masuk akal karena wanita dengan riwayat defisiensi gizi tentunya hidup dalam
lingkungan yang kurang memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi. Sehingga ketika ia
mampu untuk membiayai konsumsinya, pilihan-pilihan yang dibuat tidak bijaksana. Lebih
banyak memilih makanan instant, camilan tinggi gula tinggi garam, sumber protein bukan yang
segar tetapi olahan yang sudah ditambahi garam, pengawet, penguat rasa dan pewarna,
meninggalkan sayuran hijau dan buah-buahan segar.
Perilaku ini akan diberlakukan pula pada anak-anaknya nanti. Dari pada memasak dari bahan-
bahan segar, lebih sering memasak makanan olahan karena lebih mudah dan cepat. Bila
memasak pun malas, ibu hanya memberikan uang jajan kepada anaknya untuk kebutuhan
makanannya seharian. Terserah pada anaknya mau makan apa hari itu. Tentu saja pilihan
makanan oleh seorang anak tidak bijaksana. Ia akan memilih jajanan tidak sehat yang miskin
gizi. Sehingga sering kita lihat, ibu-ibu obesitas memiliki anak-anak yang kurus kurang gizi.
Fenomena ini lebih banyak terjadi justru pada masyarakat menengah kebawah.
Ibu yang obesitas akan rentan terhadap penyakit diabetes mellitus, darah tinggi, jantung dan
kanker. Penyakit ini bisa diturunkan kepada anak-anaknya. Belum lagi gangguan sendi akibat
tidak kuat menahan beban tubuhnya, sehingga ibu tidak bisa mendampingi aktivitas anaknya.
Kekurangan zat gizi mikro juga sering terjadi pada ibu yang obesitas. Anemia, kekurangan
iodium, kekurangan kalsium mengintai dibalik lipatan lemaknya.
Selamatkan ibu
Dari astari’s ideas.blogspot.com ditulis tahun 2008 Page 5
Ibu dengan gizi kurang ataupun gizi lebih akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang
kurang cerdas, banyak masalah kesehatan fisik dan akan menurunkan hal serupa ke keturunan
selanjutnya. Lingkaran setan ini yang harus dihentikan.
Banyak sekali upaya yang telah dilakukan untuk menangani masalah gizi kurang. Dari mulai
pemberian suplemen besi pada ibu hamil, makanan tambahan untuk balita, makanan
pendamping ASI untuk bayi dan balita, fortifikasi tepung terigu dengan vitamin dan mineral,
garam beriodium dan lain sebagainya.
Penanganan gizi lebih juga sudah banyak dilakukan, mulai dari penyuluhan, peningkatan
aktivitas fisik anak sekolah lewat pelajaran olah raga, kegiatan senam jantung di masyarakat
dan sebagainya.
Namun banyak dari upaya-upaya ini tidak difolow up secara terratur. Bagaimanakah efisiensi
dan efektivitasnya. Respon kelompok sasaran terhadap kebijakan suplemen besi dan MP ASI
tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang penting untuk ditindak lanjuti. Singkatnya,
kebijakan yang sudah dibuat belum menyentuh lingkungan strategisnya.
Sebagai contoh pertama, suplementasi besi dengan tablet merah Fe ternyata hanya bagus
secara konsep. Pada pelaksanaannya, ibu-ibu hamil jarang yang mau mengkonsumsinya.
Didaerah sering ditemukan bungkusan tablet Fe dibawah bantal, di kolong tempat tidur bahkan
ditenpat sampah.
Penampilan tablet Fe yang merah kurang disukai, karena ada kebudayaan yang tidak
membolehkan ibu hamil melihat warna merah karena akan mengancam bayinya. Belum lagi
bau besinya yang kuat, membuat malas untuk mengkonsumsi. Terkadang efek samping
meningkatkan rasa mual, timbul setelah tablet besi dikonsumsi. Untuk orang yang tidak hamil,
mungkin hal-hal diatas tidak terlalu mengganggu. Namun bagi ibu hamil yang cenderung
Dari astari’s ideas.blogspot.com ditulis tahun 2008 Page 6
pencemas akan keselamatan bayinya, lebih sensitive penciumannya dan lebih mudah mual
tentu sangat mengganggu.
Pemberian makanan tambahan balita berupa susu juga tidak selalu disambut dengan respon
positif. Lebih sering susu yang diberikan memiliki bau khas susu yang terlalu kuat, tanpa ada
variasi rasa. Masyarakat Indonesia, terutama didaerah, bukanlah pengkonsumsi susu seperti
layaknya orang Amerika. Konsumsi kita sehari-hari nasi dengan lauk pauk ditambah air teh atau
air putih. Sehingga toleransi terhadap susu kurang, baik secara budaya maupun secara
biologis.
Tidak terbiasa mengkonsumsi susu (selain ASI) membuat timbul diare akibat intoleransi laktosa
pada anak-anak. Hal ini tentu mengkhawatirkan ibunya. Sehingga banyak susu justru
dikonsumsi oleh ayahnya, sebagai campuran minum kopi atau malah dijual lagi. Lebih tepat
mungkin bila pemberian makanan tambahan tersebut disesuaikan dengan budaya dan
makanan khas masing-masing daerah yang digemari anak-anak.
Yang juga perlu didekati adalah pengusaha yang menjual jajanan anak sekolah. Upaya
memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mereka sudah pernah dilakukan memang.
Bagaimana memasak yang sehat, pemilihan bahan baku yang murah namun bergizi,
pengemasan yang menarik dan higienis. Tetapi lagi-lagi tidak ada follow up.
Peringatan hari ibu seharusnya tidak saja berupa riuh rendahnya berbagai persembahan acara
televisi, atau diskon dipusat perbelanjaan. Perhatian, komitmen dan konsistensi dalam upaya
penanganan berbagai masalah gizi harus menjadi prioritas. Kondisi gizi ibu mempengaruhi
kesehatannya yang akan mempengaruhi kualitas generasi penerus yang dilahirkannya.
Investasi besar jelas harus dialokasikan, sekarang juga. Bila tidak, apakah kita siap
menghadapi kekosongan sumber daya berkualitas selama beberapa generasi?
Dari astari’s ideas.blogspot.com ditulis tahun 2008 Page 7
Top Related