KATA PENGANTAR
Sebelumnya saya ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas rahmat dan bimbingan-Nya saya dapat menyelesaikan referat ini dengan
baik dan lancar, walaupun berbagai halangan dan hambatan telah saya alami bahkan
terlalu banyak sehingga tidak dapat saya sebutkan satu persatu, tetapi yang terutama
adalah tugas pendidikan yang dibebankan kepada saya.
Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas pembelajaran saya dalam studi
kepaniteraan kedokteran yang saya jalankan saat ini.
Dalam referat ini berisikan mengenai tinjauan kepustakaan yang saya pelajari
mengenai penyakit sinusitis akibat infeksi jamur.
Hasil pembelajaran yang saya dapat dari peninjauan kepustakaan tersebut saya
tuangkan dalam referat ini.
Saya harap referat ini dapat memberi informasi yang berguna bagi para
pembacanya, baik bagi teman-teman sejawat saya, kalangan medis lain, maupun
kalangan awam yang sangat membutuhkan informasi mengenai penyakit ini.
Akhir kata, Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang ikut
berpartisipasi dalam pembuatan referat ini, terutama kepada dosen pembimbing saya,
Dokter Ivan Djajalaga, M. Kes, Sp. THT-KL serta teman-teman sejawat saya yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Saya juga mohon maaf jika terdapa kesalahan dalam referat ini baik kesalahan
dalam pemilihan kata-kata maupun penulisan. Saya menyadari bahwa referat ini
masih jauh dari sempurna, oleh karenanya saran dan kritik sangat saya harapkan dari
para pembaca.
Jakarta, Mei 2011
Penulis
ALVINA
1
2
3
4
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hidung Bagian Luar ................................................................................. 12
Gambar 2. Tulang Hidung Bagian Luar Tampak Anterolateral ................................. 13
Gambar 3. Tulang Hidung Bagian Luar Tampak Inferior .......................................... 14
Gambar 4. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung) ................................................ 14
Gambar 5. Kartilago septum nasi sisi lateral .............................................................. 15
Gambar 6. Concha Nasalis ......................................................................................... 16
Gambar 7. Innervasi Rongga Hidung Tampak Lateral .............................................. 18
Gambar 8. Anatomi Mikroskopis Mukosa Hidung ................................................... 18
Gambar 9. Sinus Paranasalis ..................................................................................... 22
Gambar 10. Dinding Hidung Lateral ......................................................................... 23
Gambar 11. Anatomi Sinus Paranasalis .................................................................... 24
Gambar 12. Potongan sagital sinus fontalis .............................................................. 31
Gambar 13. Potongan sagital sinus frontalis dan sinus sfenoid ............................... 33
Gambar 14. Mikroskopis Aspergillus fumigatus ....................................................... 39
Gambar 15. Mikroskopis Curvularia lunata .............................................................. 39
Gambar 16. Endoskopi pasien dengan Fungal ball ................................................... 43
6
Gambar 17. Fungal ball yang telah dikeluarkan ......................................................... 43
Gambar 18. Fungal ball Pada Sinus Maxillaris Kanan ................................................ 44
Gambar 19. CT Scan Potongan Sagital Sinus Mycetoma ............................................. 45
Gambar 20. CT Scan Potongan Axial dari sinus ethmoid. Menunjukan adanya
kekeruhan penuh dari sinus anterior dan posterior ethmoid kanan serta pada sinus
sfenoid kanan. Hiperdensitas jelas terlihat pada anterior dan posterior sinus
ethmoi
d ........................................................................................................................................ 45
Gambar 21. Mukus yang kental di Sinus Maxillaris ...................................................... 49
Gambar 22. CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Alergi Jamur yang
Unilateral menunjukan gambaran hiperdens dan inhomogenitas sinus; opaksifikasi:
terdapat musin alergi ........................................................................................................... 50
Gambar 23. Mikroskopis Elemen-elemen Jamur yang Menyebar ( hifa ) dengan
eosinofilik ( alergi ) mucin ( pewarnaan Gomori Methemine Silver Pembesaran 200x )
............................... .......................................... ................................................................. 51
Gambar 24. Invasif Fungal Sinusitis ............................................................................. 54
Gambar 25. Rigid Nasal Endoscopy (0o) menunjukan daerah nekrotik – muncul di
konka media kanan (MT) dan septum hidung (S). TI adalah konka inferior ............. 55
Gambar 26. Foto pasien 24 jam setelah presentasi. Adanya pengerasan kulit dan kulit
kehitaman dari philtrum, dorsum nasi, ala nasi kiri, dan ujung hidung yang jelas .... 56
7
Gambar 27. Penampilan setelah debridemen dari semua jaringan yang non viabel.
Hidung eksternal, septum anterior, philtrum, bagian tengah, pipi kiri dan kanan, kiri
dan kanan dari canthal daerah medial, serta glabella diperlukan debridement .......... 56
Gambar 28. CTScan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Jamur Invasif Akut
Pada Sinus Maxillaris Kanan dengan gambaran destruksi dinding Lateral Sinus
Maxillaris .......................................................................................................................... 57
Gambar 29. CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Jamur Invasif Kronik
Pada Sinus Maxillaris Kanan, Rongga Hidung Kanan, dan Sinus Sfenoid; erosi fossa
kranial anterior, dengan ekstensi intrakranial pada sisi kanan ...................................... 60
Gambar 30. Pasien dengan obstruksi nasi dan epistaksis; gambaran massa di sinus
maksilaris kanan dengan destruksi dinding medial, ekstensi ke rongga hidung;
diagnosis radiologi: sinusitis jamur, histopatologi: inverted papilloma ....................... 64
Gambar 31. Gambaran pasien dengan alergik fungal sinisitis, terjadi proptosis bagian
kanan, telekantus, pendataran malar, posisi mata asimetrisdan ala nasi bagian kanan
terdorong kebawah. ......................................................................................................................... 65
8
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sinus paranasalis, muara, inervasi, vaskularisasi dan limfatikusnya ........... 33
Tabel 2. Pembagian Klasifikasi Fungal Sinusitis ....................................................... 41
9
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung merupakan salah satu organ penting yang seharusnya mendapat
perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Dalam hidung manusia mempunyai
sekitar 12 rongga disepanjang atap dan bagian latral rongga udara hidung dengan
jumlah , bentuk, ukuran, dan simetri yang bervariasi. Sinus-sinus inilah yang
membentuk rongga didalam beberapa tulang wajah dan menjadi salah satu bagian dari
hidung yang sering kali menjadi permasalahan dikalangan masyarakat umum.1
Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinus atau sering
pula disebut dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat pada bagian
padat dari tulang tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk memperingan
tulang tenggkorak. Rongga ini berjumlah empat pasang kiri dan kanan. Sinus frontalis
terletak di bagian dahi, sedangkan sinus maksilaris terletak di belakang pipi.
Sementara itu, sinus sphenoid dan sinus ethmoid terletak agak lebih dalam di
belakang rongga mata dan di belakang sinus maksilaris. Dinding sinus terutama
dibentuk oleh sel sel penghasil cairan mukus. Udara masuk ke dalam sinus melalui
sebuah lubang kecil yang menghubungkan antara rongga sinus dengan rongga hidung
yang disebut dengan ostia. Jika oleh karena suatu sebab lubang ini buntu maka udara
tidak akan bisa keluar masuk dan cairan mukus yang diproduksi di dalam sinus tidak
akan bisa dikeluarkan.1, 2
Beberapa penyebab dapat menjadi pencetus terjadinya sinusitis, salah satunya
adalah jamur, selain ada pula penyebab lain seperti bakteri, ataupun virus. 1
Jamur adalah suatu organisme yang mirip seperti tumbuhan namun tidak
memiliki klorofil yang cukup oleh karena mereka tidak memiliki klorofil, jamur harus
menyerap makanan dari bahan-bahan organik yang telah mati. Dalam siklus hidupnya
jamur dan bakteri bekerjasama untuk memecah hamper semua substansi organik
kompleks (selulosa) dan juga mendaur ulang elemen-elemen lain, terutama elemen
10
karbon untuk tetap hidup. Pada dasarnya jamur hanya mengabsorpsi makanan dari
benda mati saja, namun terkadang jamur juga mengasorbsi makanan dari organism
yang masih hidup, dan salah satunya adalah tubuh kita. Dari sinilah awal mula
terjadinya infeksi jamur pada tubuh kita. Pada sinusitis jamur bagian yang terinfeksi
adalah rongga sinus pada hidung manusia.3
Infeksi jamur pada sinus paranasal jarang terjadi dan biasanya terjadi pada
individu dengan system imun tubuh yang kurang . Namun, baru-baru ini, terjadinya
sinusitis jamur telah meningkat pada populasi imunokompeten.1, 2, 3
Ketika system imun tubuh menurun, jamur memiliki kesempatan untuk masuk
dan berkembang dalam tubuh. Oleh karena organisme ini tidak membutuhkan
cahaya untuk memproduksi makanannya, maka Jamur dapat hidup dilingkungan yang
lembab dan gelap. Sinus paranasalis yang terdapat pada hidung menjadi suatu tempat
yang alami dan paling strategis dimana jamur dapat ditemukan. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya sinusitis jamur. Jenis patogen yang paling umum adalah
dari jenis Aspergillus sp dan Mucor sp.3
Infeksi sinus oleh jamur jarang terdiagnosis karena sering luput dari perhatian.
Penyakit ini mempunyai gejala yang mirip dengan sinusitis kronik yang
disebabkan oleh bakteri, adakalanya gejala yang timbul non-spesifik, bahkan tanpa
gejala, oleh karenanya pemahaman lebih mendalam terhadap infeksi ini akan sangat
membantu dalam menegakan diagnosis dan penentuan penatalaksanaan yang akan
dilakukan.1, 3
11
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada
garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas
tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bagian puncak hidung biasanya disebut
apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi),
yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut
kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan
terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir
atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan
dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah
kolumela adalah nares anterior atau nostril (Lubang hidung) kanan dan kiri, sebelah
latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.1, 2, 4-6
12
Gambar 1. Hidung Bagian Luar
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise. 1, 2, 4-6
Gambar 2. Tulang Hidung Bagian Luar Tampak Anterolateral
13
Gambar 3. Tulang Hidung Bagian Luar Tampak Inferior
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
Gambar 4. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)
14
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan
konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior,
sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter.4-6
Gambar 5. Kartilago septum nasi sisi lateral
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus
inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan
sebelah atas konkha media disebut meatus superior. Meatus medius merupakan salah
satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan
meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian
anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
15
sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.1, 2, 4-6
Gambar 6. Concha Nasalis
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus
paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apex prosesus zigomatikus os
maksilla (Akan dibahas lebih lanjut pada BAB II).1, 2, 4-6
2.2 Vaskularisasi Hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari tiga sumber utama, yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.4
16
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(epistaksis anterior).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.1, 2, 4-6
2.3 Innervasi Rongga Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut
sensorid dari nervus maksila. Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior
konkha media.
17
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1, 2, 4-6
Gambar 7. Innervasi Rongga Hidung Tampak Lateral
2.4 Struktur Histologi Rongga Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (respiratori) dan mukosa penghidu (olfaktori). Mukosa
pernafasan biasanya berwarna merah muda, sedangkan pada daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.1
Gambar 8. Anatomi Mikroskopis Mukosa Hidung18
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.2
Lamina propria dan kelenjar mukosa tipis pada daerah dimana aliran udara
lambat atau lemah. Jumlah kelenjar penghasil secret dan sel goblet, yaitu sumber dari
mucus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.
Silia memiliki struktur mirip rambut, panjangnya sekitar 5-7 mikron, terletak
pada permukaan epitel dan bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan,
kemudian membengkok dan kembali tegak secara lambat. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.. Dengan gerakan silia yang teratur,
palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian
mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada
fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara
yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Epitel
organ pernafasan yang biasa berupa toraks bersilia, bertingkat palsu, berbeda-beda
pada berbagai bagian hidung, bergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara,
demikian pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Mukoa pada ujung anterior konka
dan septum sedikit melampaui internum masih dilapisi oleh epitel berlapis torak tanpa
silia, lanjutan dari epitel kulit vestibulum. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel
menjadi toraks bersilia pendek dan agak ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior
yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang dan tersusun
rapi. 1, 2, 4-6
19
2.5 Fisiologi Hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara
ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara.
Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh
oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu.
Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lisosim.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
20
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.
Contohnya antara lain; adanya iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas. 1
21
BAB III
ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASALIS
Sinus paranasalis berjumlah empat pasang kiri dan kanan, dan diberi nama
sesuai: sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Sinus frontalis kanan
dan kiri, terletak di bagian dahi, sedangkan sinus maksilaris kanan dan kiri (antrium
highmore) terletak di belakang pipi. Sementara itu, sinus sphenoid kanan dan kiri,
serta sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior) terletak agak lebih dalam
di belakang rongga mata dan di belakang sinus maksilaris. Yang terakhir biasanya
berupa kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling
berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam rongga hidung
melalui ostium masing-masing. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan
yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus
frontalis karena belum terbentuk.
Sinus maksila dan etmoid telah ada sejak anak lahir,sedangkan sinus frontalis
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun. 1, 2, 4-7
Gambar 9. Sinus Paranasalis
22
3.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung
Dinding lateral nasal meliputi sebagian os ethmoidale, os maxilla, palatina,
lacrimale, dan lamina pterygoideus medialis os sphenoidale, os nasal dan concha
nasalis inferior. Tiga hingga empat concha terproyeksi dari dinding tersebut; concha
nasalis suprema, superior dan media terproyeksi dari os ethmoidale. Concha nasalis
inferior dianggap sebagai struktur mandiri. Setiap struktur ini melapisi ruangan udara
di bawahnya dan di sebelah lateralnya yang dikenal dengan nama meatus. Sepotong
kecil tulang yang terproyeksi dari os ethmoidale yang menutupi muara sinus
maxillaris yang terletak di lateral dan membentuk palung di posterior concha nasalis
media.Bagian tulang yang tipis disebut processus uncinatus. Dinding samping nasal
bagian superior terdiri atas cellula ethmoidalis yang membatasi epitel olfaktori dan
lamina cribosa di sebelah lateral. Di sebelah superior cellula ethmoidalis anterior
terdapat sinus frontalis yang bermuara diantara cellula. Bagian superoposterior
dinding nasus bagian lateral adalah dinding anterior sinus sphenoidalis yang berada di
inferior sella turcica dan sinus cavernosus. 1, 2
Gambar 10. Dinding Hidung Lateral
23
3.2 Anatomi Sinus Paranasalis
Gambar 11. Anatomi Sinus Paranasalis
3.2.1 Sinus Maxillaris
3.2.1.1 Perkembangan
Sinus maxillaris (antrum Highmori) adalah sinus yang pertama berkembang.
Struktur ini biasanya terisi cairan saat lahir. Pertumbuhan sinus ini terjadi dalam dua
fase sela pertumbuhan tahun 0-3 dan 7-12. Selama fase terakhir, pneumatisasi
menyebar lebih ke arah inferior ketika gigi permanen erupsi. Pneumatisasi dapat
sangat luas hingga akar gigi terlihat dan selapis tipis jaringan lunak menutupi mereka.
3.2.1.2 Struktur
Sinus maxillaris dewasa berbentuk piramida yang bervolume sekitar 15 ml
(34x33x23 mm). Basis sinus adalah dinding nasus dengan puncak menunjuk ke arah
processus zygomaticus.
Dinding anterior mempunyai foramen infraorbital yang terletak pada pars
midsuperior yang dilalui oleh nervus infraorbital pada atap sinus dan keluar melalui
foramen tersebut. Bagian tertipis dinding anterior terletak di superior gigi caninus
pada fossa canina. Atap dibentuk oleh lantai cavum orbita dan dipisahkan oleh
perjalanan nervus infraorbitalis. Dinding posterior tidak jelas. Di sebelah posterior 24
dinding ini terdapat fossa pterygomaxillaris yang dilewati arteri maxillaris interna,
ganglion sphenopalatina dan canalis Vidian yang dilewati nervus palatinus mayor dan
foramen rotundum. Lantai, seperti didiskusikan di atas, bervariasi ketinggiannya. Dari
lahir hingga usia 9 tahun, lantai sinus berada di atas cavitas nasalis. Pada usia 9 tahun,
lantai sinus biasanya berada sejajar dengan lantai nasus. Lantai biasanya terus
berkembang ke inferior seiring dengan pneumatisasi sinus maxillaris.
Karena hubungannya berdekatan dengan gigi geligi, penyakit gigi dapat
menyebabkan infeksi sinus maxillaris dan ekstraksi gigi dapat mengakibatkan fistula
oroantral.
3.2.1.3 Suplai Darah
Sinus maxillaris disuplai oleh arteri maxillaris interna. Arteri ini termasuk
mempercabangkan arteri infraorbitalis (berjalan bersama nervus infraorbitalis),
sphenopalatina rami lateralis, palatina mayor dan arteri alveolaris. Drainase vena
berjalan di sebelah anterior menuju vena facialis dan di sebelah posterior menuju vena
maxillaries dan jugularis terhadap sistem sinus dural.
3.2.1.4 Persyarafan
Sinus maxillaris dipersarafi oleh rami maxillaris. Secara rinci, nervus palatina
mayor dan nervus infraorbital.
3.2.1.5 Struktur yang Terkait
a. Ductus nasolacrimalis
Ductus nasolacrimalis merupakan drainase saccus lacrimalis dan berjalan dari
fossa lacrimalis pada cavum orbita, dan bermuara pada bagian anterior meatus nasalis
inferior. Ductus terletak sangat berdekatan dengan ostium maxillaris kira-kira 4-9 di
sebelah anterior ostium.
b. Ostium Natural
Ostium maxillaris terletak di bagian superior dinding medial sinus. Ostium ini
biasanya terletak setengah posterior infundibulum ethmoidalis atau di sebelah
posterior sepertiga inferior processus uncinatus. Tepi posterior ostia bersambungan
dengan lamina papyracea, sehingga menjadi patokan batas lateral diseksi bedah.
Ukuran ostium kira-kira 2,4 mm tetapi dapat bervariasi dari 1 – 17 mm. Delapan
25
puluh delapan persen ostium maxillaris tersembunyi di posterior processus uncinatus
dan dengan demikian tidak dapat terlihat dengan endoskopi.
c. Ostium accessoris/ Fontanella Anterior/ Posterior
Ostium ini non-fungsional dan berfungsi untuk drainase sinus jika ostium natural
tersumbat dan tekanan atau gravitasi intrasinus menggerakkan material keluar dari
ostium. Ostium accessoris biasanya ditemukan di fontanela posterior.
3.2.2 Sinus Ethmoidalis
3.2.2.1 Perkembangan
Sinus ethmoidalis terlihat jelas sebagai struktur yang berisi cairan pada bayi
yang baru lahir. Selama perkembangan fetus, cellula ethmoidalis anterior berkembang
terlebih dahulu, yang kemudian diikuti dengan cellula ethmoidalis posterior.
Cellula berkembang bertahap dan berukuran optimal pada usia 12 tahun.
Cellula biasanya tidak nampak pada radiografi hingga usia satu tahun. Septa bertahap
menipis dan berpneumatisasi ketika usia bertambah.
Cellula ethmoidalis adalah sinus yang paling bervariasi dan kadang ditemukan
di superior cavum orbita, lateral terhadap sinus sphenoidalis, ke arah atap sinus
maxillaris dan di sebelah superoanterior sinus frontalis. Cellula-cellula ini memiliki
nama. Cellula di sebelah superior cavum orbit disebut cellula supraorbital dan
ditemukan pada sekitar 15% pasien. Invasi cellula ethmoidalis hingga lantai sinus
frontalis disebut bulla frontalis. Perluasan hingga ke concha nasalis media disebut
concha bullosa. Cellula di atap sinus maxillaris (infraorbital) disebut “cellula Haller”,
dan ditemukan pada 10% populasi. Cellula ini dapat menyumbat ostium,
menyempitkan infundibulum dan mengakibatkan gangguan fungsi normal sinus.
Sedangkan cellula yang meluas secara anterolateral ke arah sinus sphenoidalis disebut
cellula Onodi (10%). Variabilitas umum cellula ini menjadikan pencitraan preoperatif
penting untuk assesment anatomi individu pasien.
3.2.2.2 Struktur
Cellula ethmoidalis posterior dan anterior bervolume 15 ml (3,3 x 2,7 x 1,4
cm). Cellula ethmoidalis berbentuk seperti piramida dan terbagi menjadi cellula kecil
jamak yang dipisahkan oleh septum tipis. Atap cellula ethmoidalis terdiri atas struktur
penting. Atap cellula ethmoidalis melandai ke posterior (15 derajat) dan medial. Dua-
pertiga anterior atap tebal dan kuat dan terdiri atas os frontal dan foveola ethmoidalis. 26
Sepertiga posterior lebih superior di sebelah lateral dan melandai ke inferior ke arah
lamina et foramina cribosa. Perbedaan ketinggian antara atap lateral dan medial
bervariasi, antara 15 – 17 mm. Bagian posterior cellula ethmoidalis berbatasan dengan
sinus sphenoidalis. Dinding lateral adalah lamina papyracea/ lamina orbitalis.
3.2.2.3 Suplai Darah
Sinus ethmoidalis disuplai dari arteri carotis interna dan externa. Arteri
sphenopalatina dan arteri opthalmicus (yang bercabang menjadi arteri ethmoidalis
anterior dan posterior) mensuplai sinus. Drainase vena mengikuti aliran arteri
sehingga dapat mengetahui infeksi yang terjadi intrakranial.
3.2.2.4 Persyarafan
Nervus maxillaris dan mandibularis menginervasi sinus ethmoidalis. Nervus
maxillaris menginervasi bagian superior sedangkan nervus mandibularis menginervasi
regio inferior. Inervasi parasimpatis melalui nervus Vidian. Inervasi simpatis melalui
ganglion simpatis cervicalis dan melalui arteri ke arah mukosa sinus.
3.2.2.5 Struktur yang Terkait
a. Lamella Basalis Concha Nasalis Media
Struktur ini memisahkan antara cellula ethmoidalis anterior dan posterior;
merupakan perlekatan concha nasalis media dan berjalan pada tiga bidang yang
berbeda dalam perjalanannya dari anterior dan posterior. Bagian paling anterior
terletak vertical dan terinsersi pada crista ethmoidalis dan basis cranii. Sepertiga
media berjalan oblik dan terinsersi pada lamina papyracea. Sepertiga posterior
berjalan horizontal dan berinsersi pada lamina papyracea. Ruang di sebelah inferior
concha nasalis media diistilahkan meatus nasi media, yang menjadi drainase sinus
maxxillaris, sinus frontalis dan sinus ethmoidalis. Kerusakan akibat bedah terhadap
bagian anterior atau posterior concha nasalis media dapat melabilkan struktur ini dan
di sebelah anterior berisiko merusak lamina et foramina cribosa.
b. Cellula Ethmoidalis Anterior dan Posterior
Cellula ethmoidalis anterior terletak anterior terhadap lamella basalis. Cellula
ethmoidalis anterior berdrainase ke meatus nasi media melalui infundibulum 27
ethmoidalis. Cellula ethmoidalis anterior termasuk agger nasi, bulla ethmoidalis dan
cellula ethmoidalis anterior lainnya. Cellula ethmodalis posterior berdrainase ke
meatus nasalis superior dan berbatasan dengan sinus sphenoidalis. Cellula ethmoidalis
anterior lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya daripada cellula
ethmoidalis anterior.
c. Cellula agger nasi
Cellula agger nasi terletak pada os lacrimalis di sebelah anterior dan superior
terhadap persimpangan antara concha nasalis media dengan dinding nasal (sering
dideskripsikan sebagai penonjolan pada dinding nasus lateral dimana concha nasalis
media melekat). Agger nasi tersembunyi di posterior bagian paling anterior processus
uncinatus dan berdrainase menuju hiatus semilunaris. Agger nasi adalah cellula yang
berpneumatisasi pada bayi yang baru lahir dan prominen selama masa kanak-kanak.
Jumlahnya dari satu hingga tiga. Dinding posterior cellula membentuk dinding
anterior recessus frontalis. Atap cellula ethmoidalis adalah dasar sinus frontalis, dan
dengan demikian menjadi patokan penting pembedahan sinus frontalis.
d. Bulla Ethmoidalis
Bulla ethmoidalis adalah patokan yang letaknya paling konstan untuk tindakan
bedah. Bulla ethmoidalis terletak di sebelah superior infundibulum ethmoidalis dan
tepi superior dan permukaan lateral/ inferior processus uncinatus membentuk hiatus
semilunaris. Bulla ethmoidalis biasanya paling besar diantara cellula ethmoidalis
anterior. Arteri ethmoidalis anterior biasanya berjalan melawati atap cellula ini.
Recessus suprabulla dan retrobulla dapat terbentuk ketika bulla ethmoidalis tidak
meluas hingga basis cranii. Recessus suprabulla terbentuk ketika terdapat celah
diantara atap bulla ethmoidalis dan fovea. Spasia retrobulla terbentuk ketika terdapat
celah antara lamella basalis dan bulla ethmoidalis. Spasia retrobulla terbuka menuju
struktur yang disebut hiatus semilunaris superior.
e. Infundibulum Ethmoidalis
Perkembangan infundibulum mendahului sinus. Recessus ini, dimana sinus
ethmoidalis, sinus maxillaris dan sinus frontalis berdrainase dibentuk oleh bermacam-
macam struktur. Dinding anterior terbentuk oleh processus uncinatus, dinding medial
adalah processus frontalis os maxilla dan lamina papyracea. Dinding anterior berjalan
ke anterior berkelanjutan dengan recessus frontalis hingga batas posterior dimana
28
processus uncinatus melekat ke lamina. Lubang di sebelah superior recessus disebut
hiatus semilunaris. Sinus maxillaris juga ditemukan pada daerah ini.
f. Arteri Ethmoidalis Posterior
Anterior Arteri ethmoidalis anterior dan posterior dipercabangkan dari arteri
opthalmicus di cavum orbita. Arteri anterior menembus musculus rectus medialis dan
berpenetrasi lamina papyracea. Arteri kemudian melintasi atap sinus ethmoidalis,
kadang mensuplai lamina et foramina cribosa dan septum anterior. Arteri ini biasanya
single dan besar dan dapat menutup ke inferior menuju cellula. Posisinya berdekatan
dengan struktur yang letaknya lebih medial, yaitu fovea ethmoidalis. Arteri
ethmoidalis posterior melewati musculus rectus medialis, menembus lamina
papyracea dan berjalan melalui cellula ethmoidalis posterior (biasanya berhubungan
dengan dinding anterior cellula ethmoidalis paling-posterior) hingga ke septum. Arteri
ini mensuplai sinus ethmoidalis posterior, bagian concha nasalis superior dan media
dan sebagian kecil septum posterior. Arteri ini biasanya lebih kecil dan bercabang.
Posisi arteri ethmoidalis posterior berhubungan dengan posisi nervus opticus yang
berdekatan dengan atap cavum orbita.
3.2.3 Sinus Frontalis
3.2.3.1 Perkembangan
Os frontal adalah tulang membranosa saat lahir sehingga jarang lebih dari satu
recessus hingga tulang mulai menulang sekitar usia dua tahun. Dengan demikian,
radiografi jarang menunjukkan struktur ini sebelum usia dua tahun. Pertumbuhan
sejati bermula pada usia lima tahun dan berlanjut hingga akhir usia belasan tahun.
3.2.3.2 Struktur
Volume sinus sekitar 6 – 7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus frontalis sangat
bervariasi, tetapi pada umumnya berbentuk corong dan mengarah ke superior.
Kedalaman sinus adalah dimensi yang paling signifikan secara bedah karena
menentukan limitasi pendekatan bedah. Kedua sinus frontalis mempunyai ostia di
sebelah posteromedial. Hal ini yang menyebabkan sinus ini jarang terlibat dalam
penyakit infeksi. Baik dinding anterior dan posterior sinus terdiri atas diploe. Meski
demikian, dinding posterior (memisahkan sinus frontalis dengan fossa cranii anterior)
jauh lebih tipis. Dasar sinus ikut membentuk atap cavum orbital.
29
3.2.3.3 Suplai Darah
Sinus frontal disuplai oleh arteri oftalmik melalui supraorbital dan supratroclear arteri.
Drainase vena melalui vena oftalmik lebih unggul dari gua sinus dan melalui venulae
kecil di dinding posterior yang mengalir ke sinus dural.
3.2.3.4 Persyarafan
Sinus frontal adalah diinervasi oleh cabang V1. Secara khusus, saraf ini
termasuk cabang supraorbital dan supratrochlear.
3.2.3.5 Struktur yang Terkait
a. Recessus Frontalis
Recessus frontalis adalah ruangan yang ada diantara sinus frontalis dengan hiatus
semilunaris. Batas anterior dengan cellula agger nasi dan di sebelah superior dengan
sinus frontalis, di sebelah medial dengan concha nasalis media dan di sebelah lateral
dengan lamina papyracea. Kavitas menyerupai dumbbel, sinus frontalis menyempit
pada ostium sinus dan kemudian terbuka lagi menuju recessus frontalis yang melebar.
Tergantung dari perluasan pneumatisasi sinus ethmoidalis, recessus ini dapat
berbentuk tubuler sehingga penyempitan dumbbell menjadi lebih panjang. Struktur
anomali seperti sinus lateralis (sebelah posterior recessus frontalis pada basis cranii)
dan bulla frontalis (sebelah anterior recessus pada dasar sinus frontalis) dapat
disalahartikan sebagai sinus frontalis selama pembedahan sinus.
Gambar 12. Potongan sagital sinus fontalis
30
3.2.4 Sinus Sphenoidalis
3.2.4.1 Perkembangan
Sinus sphenoidalis adalah sinus yang unik karena tidak berasal dari
outpouching cavum nasi. Sinus ini berasal dari kapsul nasalis embrio. Sinus
sphenoidalis tetap tidak berkembang sampai usia tiga tahun. Pada usia tujuh tahun,
pneumatisasi telah mencapai sella turcica. Pada usia 18 tahun, sinus telah mencapai
ukuran penuh.
3.2.4.2 Struktur
Pada akhir usia belasan tahun, sinus mencapai ukuran penuh dengan volume
7,5 ml (23x 20 x 17 mm). Pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangat
bervariasi. Umumnya, struktur bilateral ini terletak di bagian posterosuperior cavum
nasi. Pneumatisasi dapat meluas hingga clivus, ala sphenoidalis dan foramen
magnum. Dinding sinus sphenoidalis bervariasi dalam ketebalan dengan dinding
anterosuperior dan atap paling tipis (0,1 – 1,5 mm). Dinding lainnya lebih tebal.
Bagian paling tipis dinding anterior adalah 1 cm dari fovea ethmoidalis. Posisi sinus
dan hubungan anatomi tergantung pada perluasan pneumatisasi. Sinus dapat terletak
di sebelah anterior ataupun di sebelah inferior sella turcica (concha, presella, sella,
sella/ postsella). Posisi paling posterior dapat terletak berdekatan dengan struktur vital
seperti arteri carotis, nervus opticus, nervus maxillaris, nervus Vidian, pons, sella
turcica, dan sinus cavernosus. Struktur-struktur ini kadang diidentifikasi sebagai
lekukan pada atap dan dinding sinus. Pengambilan septa sinus harus berhati-hati
karena berlanjutan dengan canalis carotis dan canalis opticus dan dapat
mengakibatkan kematian dan kebutaan.5
Ostium sinus sphenoidalis bermuara ke recessus sphenoethmoidalis. Ostium sangat
kecil (0,5 – 4 mm) dan terletak sekitar 10 mm di atas dasar sinus. Tiga-puluh derajat
sudut yang digambar dari dasar cavum nasi anterior dapat digunakan sebagai
perkiraan lokasi ostium dinding nasal posterosuperior. Ostium biasanya terletak di
sebelah medial concha nasalis suprema/ superior, dan hanya beberapa milimeter dari
lamina et foramina cribosa.
3.2.4.3 Suplai Darah
31
Arteri ethmoidalis posterior mensuplai atap sinus sphenoidalis. Bagian sinus lainnya
disuplai oleh arteri sphenopalatina. Drainase vena melalui vena maxillaries menuju
pleksus jugularis dan pterygoideus.
3.2.4.4 Persyarafan
Sinus sphenoidalis dipersarafi oleh ramus nervus maxillaris dan mandibularis. Nervus
nasociliaris (cabang nervus maxillaris) berjalan menuju nervus ethmoidalis posterior
dan mensuplai atap sinus. Cabang nervus sphenopalatina (nervus maxillaris)
mensuplai dasar sinus.
3.2.4.5 Struktur yang Terkait
a. Recessus Sphenoethmoidalis
Recessus sphenoethmoidalis adalah ruang di sebelah posterior dan superior
concha nasalis superior. Batas ruangan ini dibentuk oleh banyak struktur. Dinding
anterior sinus sphenoidalis membentuk bagian posterior. Septum nasalis dan lamina et
foramina cribosa membentuk bagian medial dan superior. Perluasan di sebelah
anterolateral ditentukan melalui concha nasalis superior. Recessus terbuka ke cavum
nasi di sebelah inferior. Cellula ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis bermuara
menuju regio ini.
b. Rostrum sphenoidalis
Struktur ini adalah proyeksi pada midline dinding sinus sphenoidalis anterior.
Rostrum berartikulasi dengan lamina perpendicular dan vomer.
c. Cellula Onodi
Seperti yang telah didiskusikan di atas, cellula ini adalah cellula ethmoidalis yang
terletak di sebelah anterolateral sinus sphenoidalis. Struktur penting seperti arteri
carotis dan nervus opticus dapat melalui cellula ini. Diseksi yang teliti pada area ini
dan pemeriksaan radiografi preoperatif yang baik penting untuk menghindari hasil
yang tidak diinginkan.
32
Gambar 13. Potongan sagital sinus frontalis dan sinus sfenoid
Tabel 1. Sinus paranasalis, muara, inervasi, vaskularisasi dan limfatikusnya
3.3 Struktur Histologi Sinus Paranasalis
Sinus dilapisi oleh epitel kolumner pseudostratifikasi bersilia yang berlanjut
dengan mukosa cavum nasi. Epitel sinus lebih tipis dibandingkan dengan epitel nasus.
Ada empat tipe dasar tipe sel: sel epitel kolumner, sel kolumner non-siliaris, sel-sel
basal dan sel goblet. Sel-sel bersilia mempunyai 50 – 200 silia per sel dengan 9 – 11
mikrotubulus dan lengan dynein. Data eksperimental menunjukkan bahwa sel ini
berdenyut 700 – 800 kali per menit, menggerakkan dengan kecepatan 9 mm/ menit.
Sel- sel non-siliaris ditandai dengan adanya mikrofili yang menutupi bagian apikal sel
dan berfungsi untuk meningkatkan area permukaan (untuk memfasilitasi kelembaban
dan menghangatkan udara yang dihirup). Menarik untuk dicacat bahwa terdapat
peningkatan konsentrasi (lebih dari 50%) pada ostium sinus.
Fungsi sel-sel basal tidak diketahui. Sel- sel ini bervariasi dalam bentuk,
ukuran dan jumlah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa sel basal bertindak sebagai
sel induk yang dapat berdiferensiasi jika diperlukan. Sel goblet menghasilkan
glikoprotein yang berperan untuk viskositas dan elastisitas mukus. Sel-sel goblet
diinervasi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Dengan demikian, stimulasi 33
parasimpatis menginduksi mukus yang lebih tebal sedangkan stimulasi simpatis
menginduksi sekresi mukus yang lebih serus.
Lapisan epitel disokong dengan membran basalis, lamina propia dan
periosteum. Glandula serosa dan mukosa terdapat di lamina propia. Penelitian
anatomis menunjukkan bahwa sel-sel goblet dan glandula submukosa pada sinus lebih
sedikit dibandingkan pada mukosa nasus. Diantara semua sinus, sinus maxillaris
mempunyai kepadatan sel goblet tertinggi. Ostium sinus maxillaris, sphenoidalis dan
ethmoidalis anterior mempunyai peningkatan jumlah glandula submukosa serosa dan
mukosa.
3.4 Fisiologi Sinus
Secara fisiologis sinus paranasalis memiliki peran yang sangat penting bagi
manusia. Beberapa fungsi sinus paranasal, antara lain:
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus
2. Sebagai panahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan
fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini tidak dianggap bermakana.
4. Membantu resonansi udara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan
mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang
efektif.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
34
Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.
Penelitian paling mutakhir mengenai fungsi sinus berfokus pada molekul
Nitrous Oxide (NO). Penelitian menunjukkan bahwa produksi NO intranasal terutama
di dalam sinus. NO toksik terhadap bakteri, jamur dan virus pada tingkat 100 ppb.
Konsentrasi substansi NO dalam nasus dapat mencapai 30.000 ppb sehingga beberapa
peneliti mengusulkan sebagai mekanisme sterilisasi sinus. NO juga dapat
meningkatkan motilitas silia. Fisiologi dan fungsi sinus paranasalis adalah subjek
yang merefleksikan kompleksitas anatominya. Penelitian berkelanjutan akan dapat
mengungkapkan bahwa fungsi ini merupakan bagian dari gambaran yang lebih besar
dari yang nampak sekarang.
3.5 Clearance Mucocilliar
Sel-sel bersilia pada setiap sinus bergerak ke arah spesifik. Karena banyak
sinus yang berkembang dengan cara ke arah luar dan inferior, mukosa bersilia kadang
menggerakkan material melawan gravitasi menuju muara sinus. Hal ini berarti mucus
diproduksi berdekatan dengan muara sinus. Ini adalah salah satu alasan bahwa adanya
ostia accessoris pada tempat selain ostium fisiologis tidak berpengaruh signifikan
terhadap drainase sinus. Faktanya, mukus mengalir dari ostia memasuki sinus kembali
melalui ostia baru dan berputar melalui sinus lagi. Hilding adalah yang pertama
mendeskripsikan bahwa setiap aliran mukus sinus mengikuti pola tertentu, dan hasil
observasinya masih valid hingga sekarang. Peneliti selanjutnya mendeskripsikan
fenomena stagnasi yang terjadi ketika dua permukaan bersilia berkontak (terutama
pada kompleks osteomeatus). Hal ini dapat mengganggu klirens mukus dan dapat
mengakibatkan sinusitis. 1, 2, 4-7
35
BAB IV
FUNGAL SINUSITIS
[SINUSITIS JAMUR]
4.1 Sinusitis
36
Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Sebagian besar
kasus inflamasi sinus berasal dari hidung dan meluas ke rongga sinus, ataupun dapat
juga terjadi sebaliknya, inflamasi tersebut didahului di daerah sinus kemudian meluas
kerongga hidung. Beberapa ahli mengadopsi terminologi rhinosinusitis adalah
menggambarkan kondisi patologis pada hidung dan sinus karena sangat dekat
kaitannya. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut
pansinusitis. 1, 2
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rhinogen),
gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang.
Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau
menyelam. Selain itu beberapa faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya
sinusitis seperti kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis
alergi juga perlu diwaspadai.
Sinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa bentuk, yaitu
berdasarkan bagaimana proses infeksinya, lamanya proses, lokasi proses, dan
peranan mikrobiologi penyebabnya seperti virus, bakteri dan jamur. 1, 2, 4
4.2 Fungal Sinusitis / Sinusitis Jamur
Sinusitis adalah merupakan keadaan inflamasi pada sinus paransal yang
sebabkan oleh infeksi. Jamur adalah merupakan salah satu jenis mikroorganisme yang
dapat menyebabkan infeksi pada sinus paransal. Banyak hal yang dapat menimbulkan
infeksi jamur pada sinus paranasal diantaranya adalah pemakaian obat – obatan yang
tidak rasional seperti penggunaan antibiotika dan steriod yang berkepanjangan,
gangguan ventilasi sinus dan lingkungan yang lembab.8
Infeksi sinus yang disebabkan jamur jarang terdiagnosis oleh karena sering
luput dari perhatian. Penyakit ini mempunyai gejala mirip dengan rinosinusitis kronis
yang disebabkan oleh bakteri. Apabila kasus sinuisitis tidak mengalami perbaikan
dengan pengobatan antibiotika dan dekongestan, perlu dipikirkan kemungkinan
adanya infeksi jamur pada sinus. 8-10
Jenis jamur yang sering ditemukan sebagai penyebab infeksi pada sinus
paranasal ialah Aspergilus sp ( A. fumigatus, A. flavus, dan A.nigra). pada awalnya
infeksi jamur pada hidung dan sinus paransal disebut sebagai aspergilosis, tetapi
37
bersamaan dengan kemajuan di bidang mikologi diketahui infeksi jamur tidak hanya
disebabkan oleh aspergilus, tetapi dapat pula disebabkan dari jamur golongan lainnya
seperti : Candida, Mucorales ( Mucor, Rhizopus, Absidia), Dematiaceaous fungi yaitu
golongan jamur yang pada dinding selnya terdapat pigmen melanin seperti: Bipolaris
sp, Curvularia sp, Altenaria sp, Exserahillum sp, Cladosporium sp. 8-12
4.2.1 Epidemiologi
Telah menjadi suatu kesepakatan bahwa infeksi jamur pada hidung dan sinus
paranasal jarang, tapi dalam dua dekade terakhir ini hampir seluruh ahli setuju bahwa
telah terjadi peningkatan frekuensi rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi jamur.
Pada laporan terdahulu infeksi jamur diperkirakan terdapat pada 10% dari
keseluruhan pasien yang memerlukan pembedahan hidung dan sinus. Ponikau et al,
dalam penelitiannya menduga jamur ditemukan pada 96% pasien dengan sinusitis
kronis. 8, 14
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya penggunaan antibiotik,
kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi. Kondisi predisposisi pada pasien
dengan diabetes mellitus, neutropenia, penderita AIDS, dan pasien yang lama dirawat
di rumah sakit. Jenis jamur yang paling sering menyebabkan sinusitis jamur adalah
Aspergillus dan Candida. 7
4.2.2 Etiologi
Pada Sinusitis jamur non invasif ada dua bentuk yaitu allergic fungal sinusitis
dan sinus mycetoma/fungal ball. Kebanyakan penyebabnya adalah Curvularia lunata,
Aspergillus fumigatus, Bipolaris dan Drechslera. A. Fumigatus dan jamur
dematiaceous kebanyakan menyebabkan sinus mycetoma.
Pada sinusitis jamur invasif termasuk tipe akut fulminan, di mana mempunyai
angka mortalitas yang tinggi apabila tidak dikenali dengan cepat dan ditangani secara
agresif, dan tipe kronik dan granulomatosa.
Jamur saprofit selain Mucorales, termasuk Rhizopus, Rhizomucor, Absidia,
Mucor, Cunninghammela, Mortierella, Saksenaea, dan Apophysomyces sp,
menyebabkan sinusitis jamur invasif akut. A. Fumigatus satu-satunya jamur yang
dihubungkan dengan sinusitis jamur invasif kronik. Aspergillus flavus khusus
dihubungkan dengan sinusitis jamur invasif granulomatosa. 8-14
38
Gambar 14. Mikroskopis Aspergillus fumigatus
Gambar 15. Mikroskopis Curvularia lunata
4.2.3 Faktor predisposisi Fungal Sinusitis
Terdapat beberapa faktor penyebab meningkatnya insiden infeksi jamur pada
sinusitis kronis, yaitu : 8
39
1. Kemajuan di bidang mikologi, serologi, dan radiologi yang dapat membantu
dalam menegakkan infeksi jamur pada hidung dan sinus paranasal.
2. Terjadinya peningkatan pertumbuhan jamur pada hidung dan sinus paranasal
yang disebabkan tingginya penggunaan antibiotika spektrum luas dan obat
topikal hidung yang tidak proporsional.
3. Terjadinya peningkatan frekuensi infeksi jamur invasif yang berhubungan
dengan peningkatan jumlah penderita dengan sistem imun yang rendah,
termasuk penderita diabetes melitus, penurunan sistem imun karena
penggunaan radiasi atau kemoterapi, AIDS, penggunaan obat-obatan yang
dapat menurunkan daya tahan tubuh setelah transplantasi organ dan
penggunaan steroid yang berkepanjangan.
4.2.4 Karakteristik Fungal Sinusitis
Beberapa jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah
merupakan organisme safrofit normal tetapi menjadi patogen oleh karena suatu
keadaan yang tidak biasa. Netropil adalah merupakan faktor penting bagi pertahanan
tubuh untuk mencegah infeksi jamur, gangguan fungsi netropil dapat menjadi faktor
predisposisi infeksi jamur opurtunistik seperti yang terdapat pada penderita diabetes
melitus dan keganasan (Aspergillus fumigatus, Paelomyces, Aspergillus flavus,
Penicillium, Aspergillus niger, Pseudallescheria boydii, Altenaria, Rhizopus / Mucor,
Bipolaris, Scedosporium apiospermum, Candida, Scopulariopsis, Curvularia, Yeast
not Candida, Fusarium). 8
Pada beberapa penelitian dikemukakan bahwa jamur tersebut terdapat di
sekitar kita dan dapat teridentifikasi pada sampah, debu dan alat rumah tangga. Jamur
adalah merupakan organisme sederhana yang mudah beradaptasi pada lingkungan
yang berbeda.
Beberapa jamur mempunyai kemampuan merubah jalur enzim untuk tumbuh,
morfologi,dan reproduksi. Jamur ini memerlukan materi organik dan lingkungan
lembab, tidak mengherankan jamur tersebut dapat ditemukan pada hidung individu
normal.
Infeksi jamur harus menjadi pertimbangan diagnosis banding pada semua
penderita yang tidak diketahui penyebab infeksinya, penyakit berulang atau penyakit
yang agresif pada hidung dan sinus paranasal.
40
Secara luas sinusitis jamur didefenisikan sebagai kondisi patologi pada sinus
paranasal disertai inflamasi sinus yang disebabkan oleh infeksi jamur. Berdasarkan
gambaran klinis dan jaringan yang terinvasi, sinusitis jamur dikelompokkan menjadi
dua grup : Sinusitis jamur non invasif dan invasif . Pada grup non invasif terdiri dari 3
bentuk : Mikosis sinus superfisial (superficial sinosal mycosis), misetoma (Fungal
ball), sinusitis alergi jamur (allergic fungal sinusitis). Pada grup invasif terdapat dua
bentuk : Sinusitis jamur kronis invasif (indolen) dan sinusitis jamur akut invasif
(fulminan). Tergantung daya tahan tubuh penderita, infeksi jamur non invasif ini
dapat berkembang menjadi tipe invasif. Sinusitis jamur dapat juga dilihat sebagai
suatu rangkaian penyakit berkelanjutan, diawali dengan mikosis sinus superfisial dan
dapat berkembang menjadi bentuk ganas berupa sinusitis jamur akut invasif
(fulminan). Ukuran, virulensi, inokulasi dan tempat tumbuhnya jamur mempunyai
hubungan dengan perluasan infeksi jamur pada sinus paranasal. 8-14
4.2.5 Klasifikasi8-14
Tabel 2. Pembagian Klasifikasi Fungal Sinusitis
Sinusitis jamur ekstramukosa (non invasif)
Mikosis sinus superfisial
Misetoma (Fungal ball)
Sinusitis alergi jamur
Sinusitis jamur invasif
Sinusitis jamur kronis invasif (indolen)
Sinusitis jamur akut invasif (fulminan)
Sinusitis jamur invasif granulomatosus
4.2.5.1 Fungal Sinusitis Non Invasive / Sinusitis Jamur Non Invasif
Keadaan ini timbul pada saat infeksi jamur ekstramukosa yang menyebabkan
inflamasi pada sinus. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, faktor pejamu,
terutama pengaruh genetik yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) mediasi
alergi. 8
4.2.5.1.1 Superficial Sinosal Mycosis / Mikosis Sinus Superfisial
41
Mikosis sinus superfisial adalah merupakan suatu keadaan inflamasi mukosa
sinus paranasal yang disebabkan infeksi jamur ekstramukosal. Pemeriksaan kultur
sekret yang dicurigai dapat ditemukan adanya jamur. Keadaan ini jarang ditemukan
dalam keadaan yang berat oleh karena patogenisitasnya rendah. 8
i. Manifestasi Klinis
Tidak ada keluhan yang khas pada penderita. Penderita hanya melaporkan
adanya tercium bau tidak enak pada hidung yang disertai krusta atau debris.
Bentuk sinusitis jamur ini paling khas diidentifikasi pada saat nasoendoskopi,
tampak materi jamur yang tumbuh pada krusta hidung. Biasanya krusta
tersebut terdapat pada daerah hidung yang tinggi aliran udaranya seperti pada
bagian tepi anterior konka dan dapat juga pada rongga sinus yang luas. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi tampak pada bagian dibawah
krusta memperlihatkan mukosa yang eritem, edema dan disertai adanya pus.
Pemeriksaan Kultur pada krusta tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan
bakteri dan jamur. 8
ii. Patogenesis
Infeksi jamur tipe ini tidak akan menjadi infeksi yang berat. tetapi potensial
menjadi penyebab sinusitis kronis. Beberapa pendapat menyatakan bahwa
kondisi ini timbul oleh karena berkumpulnya spora jamur dengan konsentrasi
yang tinggi sehingga dapat mencetuskan sinusitis pada individu yang memiliki
kemungkinan untuk alergi terhadap jamur. 8
iii. Penatalaksanaan
Terapi meliputi pembersihan daerah yang terinfeksi dan meminimalkan
penggunaan antihistamin dan steroid topikal. Perlu dilakukan pemberian
antibiotika untuk bakteri yang mendasari infeksi jamur, hidung dilembabkan
dengan irigasi dan perlu diberikan mukolitik seperti guaifenesin. Anti jamur
sistemik tidak digunakan secara khusus pada kondisi ini. Karena mikosis
sinonasal superfisial cenderung timbul kembali maka endoskopi ulangan
diperlukan untuk memonitor hasil pengobatan. Pada kondisi yang berbeda
42
apabila infeksi jamur disebabkan oleh Candida Sp, maka perlu pertimbangan
untuk memberikan anti jamur sistemik atau topikal. 8-9
4.2.5.1.2 Sinus Mycetoma / Fungal Ball
Fungal Ball atau misetoma adalah merupakan kumpulan hifa jamur yang
berbentuk seperti bola atau massa tanpa disertai adanya invasi jamur ke jaringan dan
reaksi granulomatosa. Mackenzie pada tahun 1893 adalah yang pertama kali
mengumumkan kasus infeksi sinus yang disebabkan oleh fungal ball. Fungal ball ini
biasanya mengenai satu sisi sinus. Sinus maksila adalah lokasi yang paling sering
menjadi tempat infeksi jamur tipe ini. 8-14
Gambar 16. Endoskopi pasien dengan Fungal ball
Gambar 17. Fungal ball yang telah dikeluarkan
i. Manifestasi Klinis
43
Gejala klinik awal fungal ball umumnya tidak khas. Gejalanya mirip dengan
sinusitis kronik yang hanya mengenai satu sinus. Fungal ball biasanya tanpa
gejala sehingga sulit terdeteksi. Fungal ball ini dapat terjadi pada keseluruhan
sinus paranasal dan sinus maksila adalah yang paling sering. Rentang umur
penderita dengan fungal ball adalah 18 - 86 tahun dengan umur rata-rata 59,5
tahun. Sering di temukan pada wanita dengan rasio 2:1. Gejala yang tampak
dapat berupa gangguan penglihatan, kakosmia (selalu mencium bau busuk),
demam, batuk, hidung tersumbat, sekret hidung dan kadang – kadang disertai
nyeri pada wajah dan sakit kepala. Edema wajah unilateral yang disertai nyeri
pipi pada perabaan, atau kelainan pada mata dapat terlihat pada pemeriksaan.
Pada nasoendoskopi menunjukkan adanya sinusitis minimal yang disertai
dengan mukosa eritem, edema, disertai ada atau tidak adanya polip dan sekret
mukopurulen. 8
Gambar 18. Fungal ball Pada Sinus Maxillaris Kanan
ii. Pemeriksaan
1. Radiologi
Meskipun gambaran fungal ball tidak khas, pada radiografi polos
menunjukkan penebalan mukoperiosteal disertai opasifikasi sinus yang homogen.
CT scan adalah pemeriksaan radiologi paling baik, secara khas dapat
menunjukkan batas tipis antara jaringan lunak sepanjang dinding tulang sinus
44
yang terlibat dimana hampir keseluruhannya teropasifikasi. Tampak beberapa
fokus hiperdens jelas dapat terlihat dengan ukuran yang bervariasi. Jaringan tulang
sekitarnya tampak menebal karena respon peradangan dan efek tekanan karena
proses penyakit yang kronis. 13
Gambar 19. CT Scan Potongan Sagital Sinus Mycetoma
Gambar 20. CT Scan Potongan Axial dari sinus ethmoid. Menunjukan adanya kekeruhan penuh
dari sinus anterior dan posterior ethmoid kanan serta pada sinus sfenoid kanan. Hiperdensitas
jelas terlihat pada anterior dan posterior sinus ethmoid.
2. Histopatologi45
Secara makroskopis lesi pada fungal ball dapat berbentuk mulai dari debris
halus yang basah, berpasir atau bergumpal. Warna yang bervariasi dari putih
kekuningan, kehijauan, coklat hingga hitam. Diagnosis fungal ball ditegakkan
secara mikroskopis dengan tidak adanya infiltrasi sel radang yang nyata dan
banyaknya kumpulan hifa jamur. Mukosa di sekitarnya menunjukkan adanya
peradangan yang kronis dengan sel plasma ringan hingga menengah dan infiltrasi
sel limfosit. Neutrofil dan eosinofil dapat dijumpai dan kadang – kadang dapat di
jumpai kristal oksalat. 8
3. Mikrobiologi
Ferreiro et al melaporkan bahwa 17 dari 22 kultur yang dikirim ke
laboratorium untuk mikologi ternyata negatif. Organisme yang sering dijumpai
pada kultur adalah Aspergilus fumigatus atau Aspergilus flavus. Pseudallescheria
boydii pernah dilaporkan pada kasus fungal ball.. 8-10
iii. Patogenesis
Meskipun mekanisme terbentuknya fungall ball belum dapat diketahui secara
pasti, secara teori hal ini dapat timbul pada saat spora jamur terhirup, spora
tersebut masuk kedalam rongga sinus dan menjadi antigen yang dapat
menyebabkan iritasi dan proses inflamasi mukosa sinus sehingga pada
akhirnya terjadi obstruksi ostium sinus. Oleh karena sinus merupakan rongga
lembab yang cocok untuk perkembangan jamur maka terjadi pengumpulan
hifa jamur yang berbentuk seperti bola. Fungal ball di Eropa berhubungan erat
dengan penyakit akar gigi. Oksida seng dapat dijumpai pada gigi yang
menonjol pada sinus maksila dan diketahui zat tersebut dapat menghambat
tumbuhnya bakteri sehingga dapat menstimulasi tumbuhnya jamur secara in
vitro. Fungal ball ini dapat berkembang menjadi bentuk invasif apabila
terdapat penurunan status imun penderita. 8
iv. Penatalaksanaan
Penanganan utama fungal ball adalah memperbaiki ventilasi sinus yang
diduga terinfeksi. Drainase sinus yang adekuat dan pengembalian fungsi
bersihan mukosilia dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Perlu dilakukan
46
pelebaran atau pembukaan ostium sinus secara endoskopik agar dapat
mengembalikan fungsi sinus secara normal. Apabila sulit untuk melakukan
ekstraksi fungal ball secara utuh melalui ostium, maka dapat dilakukan insisi
eksterna pada ginggivobukal (Luc Operation). Irigasi sinus tekanan rendah
dapat dilakukan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi melalui struktur
vital penting disekelilingnya. Pembersihan antrum bukan merupakan terapi
yang adekuat untuk fungal ball karena metode ini tidak mampu
membersihkan keseluruhan debris jamur dan menjamin ventilasi sinus secara
adekuat. Ostium sinus harus cukup lebar untuk memungkinkan pengangkatan
keseluruhan elemen jamur dan memudahkan perawatan setelah operasi..
Terapi medis diperlukan untuk mengurangi edema mukosa, termasuk
pemberian mukolitik (guaifenesin), irigasi hidung dan steroid. penggunaan
antibiotik diberikan berdasarkan kultur. Hal ini dimaksudkan untuk
mengobati infeksi bakteri yang sering timbul bersamaan dengan fungal ball.
Terapi medis awal preoperatif dapat diberikan untuk mengurangi edema pada
rongga sinus dan memudahkan pengangkatan fungal ball pada saat
pembedahan. 8-14
v. Prognosis
Pada kelainan ini prognosis baik jika operasi debridement dan pengisian udara
di sinus adekuat. Follow-up sangat penting. Penggunaan topikal steroid jangka
panjang mengontrol kekambuhan. Sistemik steroid jangka pendek digunakan
bila kekambuhan terjadi. 11
4.2.5.1.3 Alergic Fungal Sinusitis / Sinusitis Jamur Alergi
Sinusitis jamur alergik ini merupakan keadaan kronik yang dikarakteristikkan
dengan 3 kondisi : (1) Adanya Jamur pada mucin alergik yang dapat diperiksa secara
mikologi atau histopatologi, (2) tidak adanya invasi jaringan subepitel oleh jamur
yang dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi (3) dijumpai alergi yang
diperantarai IgE terhadap jamur tertentu atau family-nya. 8-14
i. Sejarah
47
Miller et al pada 1981 yang pertama kali mengumumkan adanya hubungan
antara Aspergilosis alergik sinus dan Aspergilosis bronkopulmoner alergik
(APBA). Miller et al melaporkan 5 penderita dengan sinusitis kronik yang
disebabkan oleh Aspergilus fumigatus. Materi biopsi yang didapatkan dari
sinus pasien tersebut mempunyai persamaan dengan sputum yang didapat dari
pasien APBA. Keseluruhan reaksi kulit pasien tersebut bereaksi terhadap
Aspergilus. Katzentein dan rekannya, 2 tahun kemudian, mengusulkan teori
baru yang mereka sebut “Allergic Aspergillus sinusitis”.
Waxman et al, 1987, melaporkan 8 kondisi tambahan pasien dengan bukti
klinis dan histologik adanya sinusitis aspergilus alergik. Meskipun pada
awalnya kultur jamur negatif, aspergilus sp diyakini menjadi mikroorganisme
penyebab pada pemeriksaan histologi. Sejak penelitian menemukan bahwa
sinusitis alergi jamur tidak hanya disebabkan oleh aspergilus sp, jamur lain
seperti Alternaria, Exserohilum, Culvaria, Drehslera, dan Bipolaris, telah
dilaporkan menjadi penyebab sinusitis jamur alergik. Oleh karena itu, istilah
‘sinusitis jamur alergik’ sekarang lebih umum digunakan dari pada ‘sinusitis
Aspergilus alergik’. 8 , 12, 14
Kontroversi pada Patogenesis
Beberapa ahli mengatakan bahwa sinusitis alergi jamur adalah suatu keadaan
yang diperantarai oleh alergi, sedangkan ahli yang lain berpendapat keadaan
ini merupakan suatu infeksi dan sebagian ahli berperinsip bahwa keadaan ini
merupakan gabungan dari keduanya. Secara teori, sinusitis alergi jamur timbul
setelah terhirup dan terperangkapnya spora jamur yang memungkinkan
antigen jamur tersebut bereaksi dengan sel mast yang telah disensitisasi IgE.
Reaksi imunologik yang terjadi selanjutnya menyebabkan inflamasi yang
kronik dan diikuti dengan destruksi jaringan. Terjadinya penumpukan
eosinofil dan terperangkapnya hifa jamur pada sekret memungkinkan
terjadinya stimulasi antigen secara terus menerus. Pada saat terjadinya
degenerasi eosinofil, granul enzimatik yang kaya akan major basic protein
pun dilepaskan. Major basic protein adalah suatu mediator peradangan yang
toksik terhadap jaringan dan biasanya sering dijumpai pada penyakit kronis. 8
48
Ponikau et al menggunakan kultur jaringan pada pemeriksaan mikologi dan
pemeriksaan histopatologi untuk mengidentifikasi jamur dari sinus dan
hidung. Diyakini bahwa pemeriksaan alergi tidak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis sinusitis alergi jamur. Dalam penelitian tersebut hampir
seluruh sampel pemeriksaan yang berasal dari penderita rinosinusitis kronis
positif adanya jamur pada pemeriksaan kultur, sehingga seluruh penderita
dikatakan sebagai “rinosinusitis jamur eosinofilik”. Dalam percobaan tersebut
digunakan mikroskop elektron untuk memeriksa adanya eosinofil yang
terdapat pada lumen sinus yang terinfeksi jamur dan dapat dikatakan bahwa
sekret eosinofilik merupakan suatu respon tubuh terhadap infeksi jamur. 8 , 12, 14
ii. Manifestasi Klinis
Diagnosis sinusitis alergi jamur harus dicurigai pada penderita rinosinusitis
kronis yang tidak sembuh dengan terapi medikamentosa khususnya pada
pasien dengan riwayat polip nasi berulang dan telah dilakukan beberapa kali
pembedahan sebelumnya. Gambaran klinis sinusitis alergi jamur dapat mulai
dari gejala alergi ringan, polip dan mucin alergi yang disertai adanya hifa
hingga penyakit masif yang dapat meluas ke arah intrakranial dan orbita yang
disertai komplikasinya. Pada pemeriksaan fisik biasanya sinusitis alergi jamur
ini sama seperti sinusitis kronis, yaitu mukosa sinus yang edema, eritema dan
polipoid dan kadangkadang dapat disertai adanya polip. Pemeriksaan
endoskopi pada rongga sinus dapat terlihat sekret mucin alergi. Secara
makroskopis mucin alergi tersebut berupa sekret yang tebal, berwarna coklat
ke emasan dengan konsistensi lunak. 8 , 11, 12, 14
Gambar 21. Mukus yang kental di Sinus Maxillaris
49
iii. Pemeriksaan
Evaluasi alergi imunologi
Penderita sinusitis alergi jamur dapat mempunyai kriteria sebagai berikut,
antara lain:
(1) Adanya peningkatan eosinofil pada darah tepi,
(2) Adanya reaksi test kulit yang positif terhadap jamur penyebab,
(3) peningkatan kadar serum IgE total,
(4) adanya antibodi pencetus pada allergen penyebab, dan
(5) peningkatan IgE spesifik jamur.
Manning et al merekomendasikan pemeriksaan RAST sebagai test klinik rutin
untuk mendiagnosis sinusitis alergi jamur. 8 , 11, 12, 14
1. Radiologi
Foto polos sinus paranasal akan menunjukan opasifitas pada beberapa atau
seluruh inus paranasal yang terlibat. CT scan merupakan metode pencitraan yang
terpilih untuk keadaan ini. 13
Gambar 22. CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Alergi Jamur yang Unilateral
menunjukan gambaran hiperdens dan inhomogenitas sinus; opaksifikasi: terdapat musin alergi
50
2. Histopatologi
Secara histologi kondisi ini ditandai dengan adanya hifa jamur pada sekret
dengan disertai eosinofil yang sangat banyak dan adanya kristal Charcot-Leyden.
Sekret tersebut adalah merupakan “allergic mucin”. Allergic mucin ini
dikarakteristikan dengan kumpulan eosinofil yang nekrotik dan debris seluler
lainnya, granul eosinofil bebas dengan latar belakang pucat, dan sekret eosinofilik
hingga basofilik yang amorf. Keadaan ini dibedakan dari sekret inflamasi non
alergi yang banyak netrofil. Allergic mucin diidentifikasi dengan pewarnaan
standar hematoksilin-eosin. Kristal Charcot Leyden ini dapat dilihat dengan
pewarnaan hematoksilin-eosin atau Brown&Brenn. 8
Gambar 23. Mikroskopis Elemen-elemen Jamur yang Menyebar (hifa) dengan eosinofilik
(alergi) mucin (pewarnaanGomori Methemine Silver Pembesaran 200x)
3. Mikrobiologi
Spesies Aspergilus dan Dematiaceous merupakan organisme penyebab
terbanyak. Pada beberapa literatur menyatakan bahwa famili Dematiaceous
(pigmen gelap) merupakan organisme terbanyak dibandingkan Aspergilus. Famili
Dematiaceous merupakan jamur yang paling banyak dijumpai di tanah, debu dan
berbagai tumbuhan, termasuk Bipolaris, Curvularia, Alternaria, Exserohilum dan
Drechslera. Jamur Dematiaceous mengandung melanin pada dinding selnya
51
sehingga dapat menghasilkan warna gelap pada jaringan dan kultur. Hal ini yang
membedakannya dari Aspergilus. 8 , 12, 14
iv. Patogenesis
Karena secara histologi pada pemeriksaan sekret alergi yang mengandung
jamur hampir identik dengan yang di temukan pada paru, patogenesis sinusitis
alergi jamur diyakini hampir menyerupai Aspergilosis bronkopulmoner alergi.
Sinusitis alergi jamur yang tidak diterapi secara adekuat dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi serius sehingga dapat mengakibatkan erosi tulang dan
deformitas wajah, komplikasi orbita dan perluasan intrakranial. Apabila
penyakit meluas ke orbita, lemahnya otot ekstraokuler juga sering dijumpai
sedangkan keterlibatan n. optikus dan invasi sistem saraf pusat jarang
dijumpai. Hal ini menggambarkan bahwa rongga orbita terlibat secara
langsung pada perluasan infeksi. 8 , 11, 12, 14
v. Penatalaksanaan
Penanganan terbaik yang disertai resolusi sempurna pada sinusitis alergi
jamur belum diketahui secara pasti. Tetapi para ahli berpendapat bahwa
penatalaksanaan sinusitis alergi jamur terbaik adalah dengan kombinasi
medikamentosa dengan pembedahan. Diagnosis ditegakkan melalui gejala
klinis, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan alergi dan serologi. Drainase sinus
yang baik serta perbaikan fungsi ventilasi merupakan terapi utama. Tindakan
bedah saja tidaklah cukup untuk mengatasi keadaan ini. Pembedahan diyakini
dapat menurunkan jumlah antigen jamur dan secara teori dapat menurunkan
stimulus yang menyebabkan gejala alergi fase cepat dan lambat dan dapat
menurunkan kemotaksis eosinofil ke lumen sinus. Pembedahan juga dapat
menyebabkan kembali normalnya bersihan mukosiliar. Pendekatan bedah
harus dikerjakan dengan menggunakan tehnik bedah sinus endoskopi.
Terapi medikamentosa termasuk pemberian antibiotik yang berdasarkan
kultur, antihistamin, steroid sistemik, imunoterapi dan anti jamur. Karena
proses inflamasi berhubungan dengan manifestasi klinis, terapi multimodalitas
diperlukan untuk jangka panjang. Bakteri dapat terlibat secara langsung
sebagai pencetus timbulnya sinusitis alergi jamur dengan mempengaruhi
52
frekuensi gerakan silia. Data in vitro menunjukan Stafilokokus aureus,
Hemofilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang
dapat menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi gerakan silia.
Irigasi hidung juga diyakini dapat menurunkan stasis mukous dan
menurunkan konsentrasi bakteri dan jamur. Topikal steroid intranasal tidak
efektif bila digunakan sendiri tetapi dapat memberikan efek pencegahan
jangka panjang setelah pemberian steroid sistemik. Perlu diingat bahwa
pemberian steroid yang tidak rasional pada sinusitis alergi jamur dapat
menyebabkan penyakit yang berulang. 8 -14
vi. Prognosis
Keadaan ini memiliki prognosis yang sangat baik jika fungus ball dapat
diangkat dan pengisian udara yang adekuat pada sinus dapat dilakukan
kembali. Tidak dibutuhkan follow-up jangka panjang untuk sebagian besar
pasien. 12, 14
4.2.5.2 Fungal Sinusitis Invasive / Sinusitis Jamur Invasif
Kondisi ini terjadi pada saat terdapat invasi jamur ke jaringan sinus. Sinusitis
jamur kelompok ini dibagi menjadi dua bentuk : sinusitis jamur invasif kronik
(indolen) dan sinuistis jamur invasif akut (fulminan). Sinusitis jamur invasif kronik
banyak ditemukan pada penderita sinusitis yang imunokompeten, sedangkan pada
tipe fulminan sering ditemukan pada penderita dengan penurunan sistem imun
(imunokompromis). Sinusitis jamur invasif dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan
penderita yang berhubungan dengan faktor alergi. Bentuk campuran antara tipe
invasif dan non invasif dapat terjadi pada beberapa individu. Berdasarkan sifat jamur
yang dapat menginvasi daerah sekitarnya rinosinusitis jamur tipe invasif dapat
mematikan oleh karena itu klinisi harus dapat menegakkan diagnosa sedini mungkin.8
53
Gambar 24. Invasif Fungal Sinusitis
4.2.5.2.1 Acute Invasive Fungal Sinusitis ( Fulminant )
Sinusitis jamur invasif ini perjalanan penyakitnya sangat cepat, infeksi jamur
tipe ini banyak ditemukan pada individu dengan sistem imun yang menurun, seperti
pada pasien yang mendapatkan transplantasi organ, diabetes melitus dan pasien yang
sedang dilakukan kemoterapi. Perjalanan penyakitnya hanya memerlukan waktu
beberapa hari atau bulan saja Mucorales (Mucor, Rhizopus, Absidia) adalah
merupakan jamur yang sering ditemukan pada penderita diabetes melitus, sedangkan
Aspergilus sp, sering ditemukan pada pasien non-diabetes dengan penurunan sistem
imun (imunokompromis). Karena rendahnya imunitas tubuh penderita, dan sifat jamur
yang angioinvasif, perjalanan klinis biasanya sangat cepat meluas dan dapat
menghancurkan sinus yang terlibat kemudian dapat meluas ke daerah sekitarnya
seperti orbita, sinus kavernosus, parenkim otak sehingga dapat menyebabkan
kematian dalam beberapa jam apabila tidak dikenali dan dilakukan penanganan secara
cepat. 8 , 11
i. Manifestasi Klinis
Secara umum infeksi jamur tipe ini sering terdapat pada penderita diabetes
melitus yang tidak terkontrol, individu yang menerima transplantasi organ,
dan pada penderita yang sedang mendapatkan kemoterapi. Pada penderita
54
dengan penurunan daya tahan tubuh dengan gejala dan tanda rinosinusitis
harus kita curigai dengan infeksi jamur tipe ini. Gejala klinisnya diawali
dengan demam yang tidak respon dengan pemberian antibiotik, adanya
keluhan pembengkakan pada wajah dan orbita, nyeri atau kebas pada wajah
yang disetai kerusakan saraf kranial unilateral atau perubahan penglihatan
akut dengan gangguan pergerakan mata dan penurunan tajam penglihatan.Pada
pemeriksaan fisik ditemukan edema di daerah muka atau periorbita disertai
eritema, kemosis, proptosis, dan oftalmoplegia. Adanya gejala tersebut yang
disertai penurunan tajam penglihatan menandakan telah terjadi keterlibatan
orbita yang progresif. Pada pemeriksaan rongga mulut dapat ditemukan
eschar pada ginggiva dan palatum. Pemeriksaan endoskopik dapat ditemukan
edema mukosa hidung yang disertai sekret purulen, tetapi umunya secara khas
rongga hidung tampak kering disertai krusta darah. Adanya eschar pada
rongga hidung, merupakan tanda patognomonik dari rinosinusitis jamur
invasif akut. 11
Gambar 25. Rigid Nasal Endoscopy (0o) menunjukan daerah nekrotik – muncul di konka media
kanan (MT) dan septum hidung (S). TI adalah konka inferior.
55
Gambar 26. Foto pasien 24 jam setelah presentasi. Adanya pengerasan
kulit dan kulit kehitaman dari philthrum, dorsum nasi, ala nasi kiri,
dan ujung hidung yang jelas.
Gambar 27. Penampilan Setelah Debridemen dari Semua Jaringan
yang Nonviable. Hidung eksternal, septum anterior, philthrum, bagian tengah dan pipi kiri
dan kanan, kiri dan kanan canthal daerah medial, dan glabella diperlukan debridement.
56
ii. Pemeriksaan
1. Radiologi
CT scan merupakan pemeriksaan radiologi yang harus dilakukan segera,
diperlukan untuk mengetahui apakah sudah terjadi erosi tulang dan keterlibatan
jaringan lunak. Pemeriksaan radiologi sinus konvensional tidak dapat digunakan
karena tidak spesifik. Pada CT scan tampak penebalan jaringan yang berbentuk
nodular pada mukosa sinus dan disertai adanya destruksi dinding sinus. Perluasan
ke arah orbita dapat terjadi langsung melewati lapisan tipis lamina papirasea atau
melewati pembuluh darah etmoid. Destruksi tulang jarang ditemukan pada awal
infeksi dan dapat ditemukan apabila telah terjadi nekrosis jaringan lunak.
Penggunaan MRI digunakan untuk mengetahui apakah sudah terjadi
keterlibatan mata, khususnya untuk mengevaluasi keadaan orbita, sinus
kavernosus, dan otak. Temuan utama pada pemeriksaan dengan MRI termasuk
keterlibatan bagian dasar hemisfer otak, batang otak, dan daerah hipotalamus. 13
Gambar 28. CTScan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Jamur Invasif Akut Pada Sinus
Maxillaris Kanan dengan gambaran destruksi dinding Lateral Sinus Maxillaris
2. Mikrobiologi
Mucor sp dan Aspergilus sp adalah merupakan organsime yang sering
ditemukan pada infeksi jamur tipe ini, tetapi beberapa jenis jamur lainnya juga
dapat menyebabkan infeksi yang berhubungan dengan rinosinusitis jamur akut,
seperti Pseudallescheria boydii. 8 , 11
57
iii. Patogenesis
Pada pemeriksaan mikroskopi dari jaringan yang dicurigai dengan
mengunakan 2 atau 3 tetes larutan KOH 10% atau 20% dapat melihat adanya
jamur dalam beberapa menit setelah dilakukan prosedur biopsi. Apabila ada
infeksi disebabkan jamur golongan Mucor maka pada pemeriksaan
histopatologi didapati bentuk hifa yang besar, tidak beraturan, tidak bersepta
dan bercabang dengan arah sudut kekanan. Sedangkan apabila pada
Aspergilus, dapat dicurigai apabila di temukan hifa dengan ukuran yang lebih
kecil yaitu 2.5 sampai 5µm dibandingkan dengan ukuran hifa pada Mucor
yang berukuran 6 sampai 50 µm. Bentuk lainnya yang dapat membedakan
jenis jamur tersebut yaitu pada Aspergilus di temukan bentuk hifa yang
bersepta dan beraturan, dan pada bagian cabangnya membentuk sudut 45 0.
Temuan tersebut dapat di identifikasi dengan pewarnaan hematoxylin – Eosin
dan dapat lebih mudah dikenali dengan pewarnaan khusus, seperti periodic
acid-Schiff (PAS) dan pewarnaan methenamine silver. 8-14
iv. Penatalaksanaan
Terapi yang optimal termasuk (1) melakukan penatalaksanaan penyakit
metabolik atau imunologik yang mendasari, (2) penggunaan anti jamur
sistemis yang tepat, (3) pembedahan dengan debrideman luas pada
keseluruhan daerah yang terinfeksi, temasuk daerah mulut ,hidung, sinus
paranasal, dan jaringan orbita (4) mempertahankan drainase daerah hidung,
sinus paranasal dan orbita yang adekuat (5) secara terus menerus memonitor
agar tidak terjadi kekembuhan. Penatalaksanaan medis pada penyakit yang
mendasarinnya adalah merupakan faktor paling penting dalam meningkatkan
survival rate. 8 , 11
Terapi anti jamur
Amfoterisin masih merupakan obat pilihan untuk terapi sistemis pada hampir
kebanyakan rinosinusitis jamur akut, walaupun masalah toksisitas obat ini
tinggi, oleh kerena itu perlu dilakukan pemantauan yang baik. Pemberian
Amfoterisin B dapat menyebabkan efek samping yang akut seperti, demam,
58
mengigil, sakit kepala, tromboflebitis, mual, dan muntah. Walupun obat ini
tidak dieksresikan langsung oleh ginjal, obat ini sangat nefrotoksik dan dapat
menyebabkan (biasanya reversibel) asidosis tubuler. Reaksi lanjutannya
adalah termasuk hipokalemia, nefrotoksik, penekanan sumsum tulang, dan
ototoksik. Toksisitas Amfoterisin B ini sangat perlu dipertimbangkan pada
pasien dengan gangguan metabolik. Apabila serum kreatinin menjadi lebih
dari 3.0 mg/dl, pemberian obat ini ditunda sampai fungsi ginjal kembali stabil.
Dosis total yang optimum dan durasi dengan menggunakan amfoterisin ini
masih belum jelas, secara umum digunakan dosis tes 1 mg dalam dextrosa 5 %
pada hari pertama terapi, kemudian dilakukan peningkatan dosis 5 mg sampai
tercapai dosis 1 mg /kg berat badan. Pada pasien dengan infeksi yang lebih
berat dapat diberikan dosis tes 1 mg yang diberikan dalam beberapa jam
kemudian diikuti dosis ulangan tiap 12 jam yaitu 10 sampai 15 mg sampai
tercapai dosis 0,7 sampai 1 mg / kg berat badan. 8-11
v. Prognosis
Keadaan memiliki prognosis yang kurang baik. Angka mortalitas dilaporkan
50%, meskipun dengan operasi yang agresif dan pengobatan. Kekambuhan
sering terjadi. 11, 12
4.2.5.2.2 Chronic Invasive Fungal Sinusitis ( Indolen )
Sinusitis jamur invasif kronik (indolen) ini perjalanan penyakitnya bisa
membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai tahun, dan banyak terdapat pada
penderita dengan imunokompeten, tipe ini dihubungkan dengan gambaran
granulomatosa pada pemeriksaan histopatologi. Sinusitis jamur invasif kronik ini
adalah bentuk yang jarang ditemukan. Tanda khas dari infeksi jamur tipe ini adalah
adanya invasi jamur ke dalam jaringan mukosa sinus. Infeksi jamur tipe ini dapat
diawali oleh misetoma sinus (Fungal ball) kemudian menjadi invasif oleh karena
perubahan status imun penderita. Oleh karena prognosis yang buruk, tipe ini
disarankan dilakukan pentalaksanaan secara agresif. 8 -12, 14
59
i. Manifestasi Klinis
Gejala dari infeksi jamur tipe ini secara umum sama seperti rinosinusitis
kronis yaitu berupa sakit kepala dan sumbatan hidung. Pada keadaan tertentu
dapat ditemukan massa pada daerah sinus, massa tersebut dapat mengerosi
pembatas anatomi ke dalam pipi, orbita, palatum durum, otak ataupun kelenjar
pituitari. Keluhan pandangan ganda, termasuk proptosis sering ditemukan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan biopsi yang menggambarkan adanya invasi
jaringan oleh hifa jamur. Pada pemeriksaan fisik, terdapat deformitas wajah,
proptosis, dan disfungsi saraf kranialis. Pemeriksaan endoskopi hidung
tampak gambaran yang sangat mirip dengan fungal ball (misetoma). Tampak
inflamasi kronis pada sinus yang terinfeksi disertai jaringan granulasi yang
mudah berdarah.8-11
ii. Pemeriksaan
1. Radiologi
Pemeriksaan dengan CT scan dianjurkan, dan didapatkan gambaran penebalan
jaringan yang meluas ke bagian tulang. Pemeriksaan dengan MRI
direkomendasikan pada pasien dengan infeksi yang meluas ke rongga orbita dan
kompartemen intrakranial. 13
Gambar 29. CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Jamur Invasif Kronik Pada
Sinus Maxillaris Kanan, Rongga Hidung Kanan, dan Sinus Sfenoid; erosi fossa kranial anterior,
dengan ekstensi intrakranial pada sisi kanan
60
2. Mikrobiologi
Aspergilus adalah organisme yang paling sering ditemukan pada infeksi jamur
tipe ini. Hifa Aspergilus sedikit dan sulit dilihat dengan pemeriksaan yang
menggunakan pewarnaan rutin. Gambaran Aspergilus ini seperti lobang pada giant
cell yang dapat diidentifikasi dengan pewarnaan perak. Organisme ini berpendar
(berfluoresensi) pada pemeriksaan dengan lampu ultraviolet. 8
iii. Patogenesis
Terdapat invasi jaringan dibawah epitel termasuk tulang dan pembuluh darah.
Keterlibatan pembuluh darah tidak menyebabkan nekrosis jaringan akut
seperti pada sinusitis jamur akut invasif. Secara histologi, terdapat reaksi
inflamasi kronis dengan pembentukan giant sel dan granulasi pada jaringan.
Perbedaan antara rinosinusitis jamur kronis invasif dengan misetoma tidak
terlalu jelas. Hanya dapat dibedakan dengan cara memastikan adanya hifa
jamur pada jaringan sinus. 8 , 11
iv. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang paling baik adalah dikombinasikan dengan tindakan
bedah. Diagnosis dikonfirmasikan melalui pemeriksaan histopatologi
potongan beku dari jaringan yang dicurigai. Reseksi lokal yang luas
merupakan pilihan dan dikombinasikan dengan pemberian anti jamur sistemik.
Tergantung lokasi sinus yang terinfeksi dan pengalaman ahli bedah,
pembedahan dapat dilakukan dengan tehnik minimal invasif atau tehnik
operasi terbuka. Biasanya diperlukan tindakan biopsi ulang untuk mengetahui
apakah ada sisa jamur atau penyakit yang berulang. Penggunan anti jamur
dipilih berdasarkan jamur yang menginfeksi. Amfoterisin merupakan anti
jamur yang paling sering digunakan. Lamanya pengobatan tergantung dari sisa
infeksi jamur atau letak infeksi, kemungkinan penyakit berulang yang
dipengaruhi oleh penurunan daya tahan tubuh penderita dan respon
pengobatan. Kekambuhan sering terjadi, walaupun telah diberikan pemberian
anti jamur sistemis setelah pembedahan. Biasanya tidak perlu dilakukan
61
pembedahan ulang, dan pasien dapat terapi dengan pilihan anti jamur lainnya
seperti Itrakonazol. 7-14
v. Prognosis
Prognosis baik pada pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu
yang lama. Pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu singkat
sering kambuh, dengan demikian memerlukan terapi lebih lanjut. 11
4.2.5.2.3 Granulomatous Invasive Fungal Sinusitis
i. Manifestasi Klinis
Pasien penderita sinusitis jamur invasif granulomatosus datang dengan gejala
sinusitis kronik yang berhubungan dengan proptosis. Pada pemeriksaan hidung
dapat tidak tampak jelas, namun dengan pemeriksaan mata biasanya lebih jelas
mengungkapkan kesan. 11
ii. Pemeriksaan
1. Histopatologi
Ditemukannya granuloma dengan sel raksasa multinuklear dengan disertai
nekrosis akibat tekanan, dan erosi yang ditemukan dalam granulomatosa
sinusitis jamur invasif.11
iii. Patogenesis
Penyakit ini mulai sering dilaporkan terjadi pada individu imunokompeten dari
Afrika Utara. Penyakit granulomatosa sinusitis jamur invasif ini pada
umumnya dikaitkan dengan proptosis.10-11
iv. Penatalaksanaan
Debridemen bedah menjadi pilihan utama yang terbaik dalam pengobatan,
diikuti dengan pemberian pengobatan secara sistemik dengan obat antijamur.
Rekurensi kekambuhan dari penyakit ini jarang terjadi. Endoskopi dan
pendekatan eksternal dapat menjadi pertimbangan dalam penatalaksanaan
penderita granulomatosa sinusitis jamur invasif.9, 10, 11
62
v. Prognosis
Pengalaman mengenai penyakit ini sungguh jarang dan terbatas bahkan sedikit
sekali. Secara umum prognosisnya baik namun terdapat kecenderungan
terjadinya kekambuhan. 11
4.2.6 Diagnosis
Infeksi jamur pada sinus harus dipertimbangkan pada semua penderita
sinusitis kronis yang tidak respon terhadap pengobatan antibiotika dan pembedahan.
Sinusitis jamur invasif biasanya terdapat pada penderita dengan penurunan sistem
imun dengan disertai gejala akut seperti demam, batuk, ulserasi pada mukosa hidung,
epistaksis dan sakit kepala. Bentuk kronis invasif dapat timbul dengan gejala
proptosis atau sindroma apeks orbital.
Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sinusitis
jamur yaitu : gejala yang kompleks, perjalanan penyakit (hari, minggu, tahun),
keadaan sistem imun penderita, pemeriksaan fisik (endoskopi hidung), dan
pemeriksaan radiologi, patologi, dan mikologi. Semua faktor tersebut ada sangat
penting dalam menentukan penanganan penderita pada fase awal. Adanya invasi
jaringan dapat dicurigai pada pasien yang mempunyai resiko penurunan sistem imun
atau secara klinis jelas tampak adanya keterlibatan jaringan di sekitar sinus. Erosi
pada daerah sekitar harus dapat dibedakan dengan invasi jaringan. Bentuk noninvasif
dapat ditandai dengan proses erosi tanpa adanya invasi jaringan. Pemeriksaan
histopatologi selalu digunakan untuk membedakan suatu keadaan bentuk invasif atau
noninvasif. Infeksi jamur pada sinus mempunyai bentuk akut dan kronis. Status imun
penderita sangat mempengaruhi perkembangan penyakit. Misetoma dapat timbul
tanpa gejala dalam beberapa tahun atau hanya dengan gejala sumbatan hidung kronis
yang disertai sekret pada hidung, sedangkan bentuk akut invasif perkembangan
penyakitnya sangat cepat, dengan gejala nyeri, pembengkakan pada daerah wajah,
gangguan orbita dan gangguan saraf pusat yang disebabkan perluasan penyakit pada
daerah sekitarnya. Diagnosis awal sinusitis jamur fulminan sangatlah penting oleh
karena penyakit ini perjalanannya sangat singkat dan dapat terjadi kematian dalam
beberapa jam.8-11
63
4.2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding sinusitis jamur adalah neoplasma benigna maupun maligna.
Sinusitis jamur invasif dengan neoplasma maligna sulit dibedakan atau tidak dapat
dibedakan dari gambaran radiologi. Tetapi dapat dibedakan dari gambaran
histopatologi. Pada sinusitis jamur invasif ada tanda yang khas yaitu adanya invasi ke
jaringan mukosa. 11
Gambar 30. Pasien dengan obstruksi nasi dan epistaksis; gambaran massa di sinus maksilaris
kanan dengan destruksi dinding medial, ekstensi ke rongga hidung; diagnosis radiologi: sinusitis
jamur, histopatologi: inverted papilloma
4.2.8 Pembedahan / Surgical Therapy
Sebelum dilakukan tindakan bedah, ahli THT harus mempertimbangkan
prognosa pasien secara keseluruhan, termasuk penyakit yang mendasarinya. Perluasan
eksisi bedah harus dipertimbangkan dengan perluasan infeksi. Secara umum
dikatakan, bahwa debrideman semua daerah yang terinfeksi dan perbaikan fungsi
adalah merupakan tujuan utama pembedahan. Debrideman setelah operasi dan
pemantauan pasien sangat penting dan perlu dilakukan biopsi ulang pada dareah
operasi. Terapi medis terus diberikan sampai diyakini infeksi telah teratasi dan
keadaan status imun penderita telah stabil. CT scan ulang diperlukan untuk
memastikan tidak ada lagi perkembangan penyakit. Setelah pembedahan, irigasi pada
rongga hidung dapat dilakukan untuk mencegah adanya krusta dan invasi jamur.
Amfoterisin B ( 50 mg / liter air) irigasi ( 20 ml, empat kali sehari ) dapat diberikan
melalui selang kateter pada sinus yang terinfeksi. Debrideman ulang dilakukan,
apabila terdapat krusta yang menetap atau terjadi kekambuhan. 8, 11
64
4.2.9 Komplikasi
Pada alergic fungal sinusitis dapat terjadi erosi pada struktur yang di dekatnya
jika tidak diterapi. Erosi sering dapat terlihat pada pasien yang mengalami proptosis.
Pada mycetoma fungal sinusitis jika tidak diterapi dapat memperburuk gejala-gejala
sinusitis yang berpotensi untuk terjadi komplikasi ke orbita dan sistem saraf pusat.
Pada Acute Invasive Fungal Sinusitis dapat menginvasi struktur di dekatnya yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan nekrosis. Selain itu juga dapat terjadi trombosis
sinus kavernosus dan invasi ke susunan saraf pusat. Pada chronic Invasive Fungal
Sinusitis dan pada Chronic Granulomatous Fungal Sinusitis dapat menginvasi
jaringan sekitarnya sehingga terjadi erosi ke orbita atau susunan saraf pusat. 11, 12, 14
Gambar 31. Gambaran pasien dengan alergik fungal sinisitis, terjadi proptosis bagian
kanan, telekantus, pendataran malar, posisi mata asimetrisdan ala nasi bagian kanan
terdorong kebawah.
65
BAB V
PENUTUP
Sinusitis jamur merupakan salah satu penyakit hidung yang sebelumnya jarang
sekali menjadi topik bahasan kalangan pakar medis di bidang telinga, hidung dan
tenggorokan serta kepala leher. Namun semakin hari insiden terjadinya penyakit ini
semakin banyak ditemui dan di keluhkan oleh pasien. Hal ini membuat penyakit ini
menjadi salah satu pokok bahasan menarik di kalangan pakar medis bidang telinga,
hidung dan tenggorokan serta kepala leher. Penelitian-penelitian mengenai penyakit
ini pun semakin banyak dilakukan. Dengan demikian pemahaman kita tentang
berbagai hal mengenai penyakit ini pun terus berkembang seiringnya waktu.
Adanya tingkat kesadaran yang tinggi para dokter dan juga kemajuan
teknologi radiologi yang semakin canggih sekarang ini memberi kemudahan dalam
mendiagnosa penyakit ini.
Dokter harus memiliki perhatian khusus dan kecurigaan yang tinggi untuk
mendiagnosa penyait ini karena kenampakan gejala penyakit ini samar dan tidak
begitu berbeda secara umum dengan penyakit radang mukosa hidung lainnya.
Pendekatan yang menyeluruh dan anamnesa yang terarah serta pemeriksaan
fisik yang dikombinasikan dengan computed tomography serta endoskopi
hidung menjadi andalan dan sangat membantu dalam menegakan diagnosis sinusitis
setiap jenis jamur.
Seiring dengan kemajuan dalam bedah sinus endoskopi fungsional,
kemampuan kita untuk mengobati dan memberantas penyakit sinusitis jamur terus
meningkat dan membaik. Berbgai penelitian di masa depan harus mengarah
pada kemajuan lebih lanjut dalam pengobatan dan bedah sinusitis jamur.
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. In: Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala leher. Soepardi EA, Iskandar N, editors. Edisi
ke-5. FKUI. Jakarta; 2001.
2. Hilger PA. Hidung dan Sinus Paranasalis. Dalam Boies buku ajar penyakit THT.
Effendi H, Santoso K, editors. Edisi ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta; 1997.
3. Fungal Sinusitis. Diunduh dari
http//www.americanacademyofotolaryngologic.org/Fungal_sinusitis.html, 2008.
4. Graney DO, Rice DH. Anatomy. In: Otolaryngology-head and neck surgery.
Cummings CW, Frederickson JM, Harker LA, Krause CJ, Schuller DE, editors. 2nd
ed. Mc Graw Hill. New York; 1999.
5. Rita Anggraini D. Anantomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Jurnal Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, 2005.
6. Subarkah Asep. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis. Diunduh dari
http://www.klinikindonesia.com/tht-kl/anatomi-hidung-sinus-paranasalis.php, 16
Juni 2010.
7. Citardi MJ. Brief Overview of Sinus and Nasal Anatomy. Diunduh dari
http//www.american-rhinologic.org.html, 2011.
8. Tri Andhika Nasution M. Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yng
Disebabkan Infeksi Jamur. Jurnal Kedokteran Fakultas Kedokteran Unversitas
Sumatera Utara, 2007.
9. Fungal Sinus Infection. Diunduh dari http://www.sinusinfectionhelp.com/fungal-
sinus-infection.html, 2011.
10. Amin P. Fungal Sinusitis. Journal Physician and Intensivist, Bombay Hospital &
Medical Research Centre of Mumbai. Diunduh dari
http://www.bhj.org/journal/1999_4104_oct99/sp_677.html, 2011.
11. Ramadan H H, MD, MSc. Sinusitis, Fungal. Diunduh dari
http://emedecine.medscape.com/article/863062, 22 April 2009.
12. McClay JE. Allergic Fungal Sinusitis. Diunduh dari
http//www.emedicine.com/allergicfungalsinusitis/html, 17 November 2009.
67
13. Fungal Sinusitis. Diunduh dari
http//www.radiology.uthescsa.edu/CAR/ELTXT/FS/fungalsinusitis.html, 2008.
14. Ponikau JU, Sherris DA, Kern EB, Homburger HA, Frigas E, Gaffey TA, et all.
The Diagnosis and Incidence of Allergic Fungal Sinusitis. Diunduh dari
http//www.mayoclinic.com, 24 Januari 1999.
68
Top Related