PROYEK AKHIR
PERAN GURU DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS
SISWA DI DALAM PENDIDIKAN KRISTEN
Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik
guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
NAMA : PRAMESTUTI PUSPITA DEWI
NPM : 00000028276
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2019
v
Tangerang, 14 November 2019
ABSTRAK
Pramestuti Puspita Dewi (00000028276)
PERAN GURU DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS SISWA
DI DALAM PENDIDIKAN KRISTEN
(viii + 24 halaman: 0 gambar; 0 tabel)
Dasar pendidikan Kristen adalah Alkitab, hal itulah yang membedakan antara
pendidikan Kristen dan pendidikan pada umumnya. Tujuan dari pendidikan Kristen
yaitu mengembalikan dan memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak
karena dosa. Oleh karena itu, melalui pendidikan Kristen yang holistik, tidak hanya
berfokus pada intelektual semata, tetapi juga membangun spiritualitas siswa. Oleh
sebab itu, siswa dididik untuk memiliki pikiran seperti Kristus dan memahami kisah
Allah dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, faktanya masih terdapat kesenjangan
antara intelektual dan spiritualitas siswa dalam pendidikan Kristen. Sehingga tidak
mengherankan dunia pendidikan diwarnai dengan tawuran antar pelajar. Oleh sebab
itu, keadaan ini mengingatkan keberadaan guru Kristen akan perannya dalam
pendidikan Kristen. Adapun tujuan penulisan proyek akhir ini adalah mengkaji
peran guru Kristen dalam membangun spiritualitas siswa di dalam pendidikan
Kristen melalui kajian literatur. Keberadaan guru yang menjalani perannya dapat
menyeimbangkan kesenjangan antara intelektual dan spiritualitas siswa, sehingga
mencapai tujuan dari pendidikan Kristen. Dengan demikian, dalam melaksanakan
perannya, guru Kristen harus memiliki kesadaran akan keberadannya dalam
menyeimbangkan intelektual dan spiritualitas siswa. Hasil penulisan ini
menyarankan bagi setiap guru untuk memiliki kesadaran akan perannya di dalam
pendidikan Kristen, khususnya dalam menyeimbangkan intelektualitas dan
spiritualitas siswa.
Kata Kunci: Pedidikan Kristen, intelektualitas, spiritualitas, keseimbangan,
guru Kristen
vi
Referensi: 44 (1993-2018)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya, sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.
Tugas Akhir dengan judul “PERAN GURU DALAM
MEMBANGUN SPIRITUALITAS SISWA DI DALAM
PENDIDIKAN KRISTEN ” ini ditujukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Fakultas Ilmu Pendidikan
Strata Satu Universitas Pelita Harapan, Tangerang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai
pihak, Tugas Akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan Tugas Akhir ini, yaitu kepada:
1. Connie Rasilim, S.S., B.Ed., M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan.
2. Juniriang Zendrato, M.Pd., M.Ed., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
3. Erni Bertha Nababan, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan banyak memberikan masukan kepada
penulis.
vii
4. Orang tua yang sangat luar biasa, Bapak Triyanto dan Ibu Gustina Warni
yang terus memberikan dukungan baik secara langsung maupun melalui
doa sekaligus menjadi penyemangaat yang memotivasi penulis selama
menjalani proses pendidikan dan mengerjakan tugas akhir.
5. Priambada Prayogi, S.Kep., dan Eunike, kakak yang selalu menyemangati
penulis dalam menyesaikan tugas akhir
6. Siswanti Rewai, S.Pd., yang telah mendengarkan dan banyak membantu
penulis, menjadi keluh kesah, berbagi cerita dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Semuan teman-teman 16ID1C, khususnya Renika Barutu, Ruth Sipahelut,
Puryanti Agustina, Rosta Tinambunan, Niken Pangajapsih, dan Riska
Seleng. Orang-orang luar biasa yang telah mewarnai kehidupan penulis
selama menjalani perkuliahan dan penulisan tugas akhir.
8. All of sister 722 yang telah mendukung lewat setiap dukungan doa,
semangat, dan pengertiannya selama penulis mengerjakan penulisa tugas
akhir.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
dalam Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat
bermanfaat bagi penulis. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.
Tangerang, November 2019
Penulis
viii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS AKHIR
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR
PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
LATAR BELAKANG ........................................................................................... 2
PENDIDIKAN ....................................................................................................... 4
KONSEP DASAR PENDIDIKAN KRISTEN .................................................... 6
KECERDASAN INTELEKTUAL ...................................................................... 8
SPIRITUALITAS ............................................................................................... 10
PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN ......................................................... 11
PEMBAHASAN .................................................................................................. 16
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21
1
PERAN GURU DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS SISWA DI
DALAM PENDIDIKAN KRISTEN
Pramestuti Puspita Dewi
Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
ABSTRAK
Dasar pendidikan Kristen adalah Alkitab, hal itulah yang membedakan antara pendidikan Kristen
dan pendidikan pada umumnya. Tujuan dari pendidikan Kristen yaitu mengembalikan dan
memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak karena dosa. Oleh karena itu, melalui
pendidikan Kristen yang holistik, tidak hanya berfokus pada intelektual semata, tetapi juga
membangun spiritualitas siswa. Oleh sebab itu, siswa dididik untuk memiliki pikiran seperti Kristus
dan memahami kisah Allah dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, faktanya masih terdapat
kesenjangan antara intelektual dan spiritualitas siswa dalam pendidikan Kristen. Sehingga tidak
mengherankan dunia pendidikan diwarnai dengan tawuran antar pelajar. Oleh sebab itu, keadaan ini
mengingatkan keberadaan guru Kristen akan perannya dalam pendidikan Kristen. Adapun tujuan
penulisan proyek akhir ini adalah mengkaji peran guru Kristen dalam membangun spiritualitas siswa
di dalam pendidikan Kristen melalui kajian literatur. Keberadaan guru yang menjalani perannya
dapat menyeimbangkan kesenjangan antara intelektual dan spiritualitas siswa, sehingga mencapai
tujuan dari pendidikan Kristen. Dengan demikian, dalam melaksanakan perannya, guru Kristen
harus memiliki kesadaran akan keberadannya dalam menyeimbangkan intelektual dan spiritualitas
siswa. Hasil penulisan ini menyarankan bagi setiap guru untuk memiliki kesadaran akan perannya
di dalam pendidikan Kristen, khususnya dalam menyeimbangkan intelektualitas dan spiritualitas
siswa.
Kata Kunci: Pedidikan Kristen, intelektualitas, spiritualitas, keseimbangan, guru Kristen
ABSTRACT
The basis of Christian education is the Bible, it is what distinguishes between Christian education
and general education. The purpose of Christian education is to restore and restore the image and
likeness of God that has been corrupted by sin. Therefore, through a holistic Christian education,
not only focuses on intellectuals alone, but also builds student spirituality. Therefore, students are
educated to have christlike thoughts and understand God's story in their lives. However, in fact there
is still a gap between student intellectuals and spirituality in Christian education. So no wonder the
education world is colored with the brawl between students. Therefore, this situation reminds the
existence of Christian teachers of his role in Christian education. As for the purpose of writing this
final project is to examine the role of Christian teachers in establishing student spirituality in
Christian education Through literature Studies. The existence of teachers who undergo their role can
balance the gap between student intellectuals and spirituality, Achieving the goal of Christian
education. Thus, in carrying out his role, Christian teachers should have an awareness of their own
realization in balancing the intellectual and spirituality of students. The results of this writing suggest
for each teacher to have a sense of its role in Christian education, Especially in balancing student
intellectuality and spirituality.
Keywords: Christian grievances, intellectuality, spirituality, balance, Christian teacher
2
LATAR BELAKANG
Manusia tidak bisa lepas dari pendidikan, karena pendidikan merupakan
pengalaman yang memberikan suatu pandangan (insight) seseorang dalam
menyesuaikan diri di kehidupan yang dijalani (Chomaidi & Salamah, 2018). Dalam
proses penyesuaian diri di dalam kehidupan, pendidikan merupakan bagian
terpenting untuk mendapatkan pengalaman serta pandangan dalam menyesuaikan
dirinya. Oleh sebab itu, banyak orang berusaha memperoleh pendidikan yang baik
bagi dirinya. Pendidikan merupakan cara untuk menolong seseorang dalam meraih
impian berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Ada juga yang memandang
pendidikan sebagai sebuah proses untuk mencapai tujuan yang diinginkan
(Alwasilah, Suryadi, & Karyono, 2009).
Berbeda dengan definisi pendidikan pada umumnya, pendidikan Kristen
dikenal sebagai pendidikan yang unik, karena dasarnya adalah Alkitab. Pendidikan
Kristen memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengembalikan dan memulihkan gambar
dan rupa Allah yang telah rusak karena dosa (Knight, 2009). Melalui pendidikan
Kristen yang holistik, siswa dididik untuk memiliki pikiran seperti Kristus dan
memahami kisah Allah di dalam kehidupan mereka.
Namun, tak jarang peristiwa-peristiwa yang sering mewarnai dunia
pendidikan didominasi dengan memprihatinnya kondisi moral siswa. Banyak
diantara penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli pendidikan untuk mengatasi
krisis karakter generasi muda sekarang ini. Seperti yang dilakukan oleh Siti Irene
Astuti (2010) dalam penelitiannya mengatasi krisis karakter yang terjadi di
Indonesia, serta penelitian yang dilakukan Mustofa Kamal (2016), yang ingin
merekontruksi pendidikan menuju bangsa yang berkarakter. Sudah banyak
3
penelitian yang ingin mengatasi krisis karakter yang dialami generasi muda,
menggunakan berbagai cara dan berbagai metode dengan harapan generasi muda
di Indonesia memiliki karakter diharapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, dari tahun ke tahun masalah yang selalu mewarnai dunia pendidikan
ini selalu terjadi, seperti tawuran antar pelajar, tindakkan kekerasan, pemerkosaan,
dan banyak lagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh generasi muda saat ini.
Kondisi yang memprihatikan tersebut juga dialami oleh sekolah-sekolah
Kristen. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan penulis, bukankah sekolah Kristen
dididik berdasarkan pendidikan Kristen yang berlandaskan pada kebenaran
Alkitab? Mengapa sekolah Kristen yang diketahui bersama lebih unggul dalam
spiritualitas daripada sekolah-sekolah lain bisa melakukan tindakan kriminal seperti
contoh yang dilakukan dua sekolah Kristen di Toraja. Penulis berpendapat bahwa
tawuran yang terjadi tidaklah seharusnya terjadi. Pelajar merupakan orang-orang
terdidik, khususnya sekolah Kristen yang merupakan tempat untuk dapat memiliki
karakter Kristus dan berpikir seperti Kristus. Berdasarkan survei yang dilakukan
Noprendi (2011), sekolah tersebut merupakan salah satu terfavorit dan unggul
dalam akademik di Tana Toraja.
Perilaku siswa tersebut tidak dapat dipisahkan dari kenyatan bahwa manusia
telah jatuh ke dalam dosa. Namun, sebagai institusi pendidikan, sekolah Kristen
seharusnya mampu menjadi garam dan terang bagi umat manusia, terkhususnya
bagi siswa. Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, penulis berasumsi bahwa
praktik pendidikan Kristen belum menyentuh secara keseluruhan, sehingga
pengembangan intelektual menjadi prioritas utama di dalam pendidikan Kristen.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan peristiwa yang terjadi di atas dapat terjadi
4
dikarenakan guru tidak menyadari akan keberadaan perannya di dalam pendidikan
Kristen. Peran yang dimaksud dalam penulisan ini adalah peran guru Kristen dalam
membangun spiritualitas siswa tanpa mengabaikan intelektualitas siswa. Hal ini
dikarenakan, tujuan dari pendidikan Kristen adalah mengembalikan gambar dan
rupa Allah dalam diri siswa serta merekonsiliasi hubungan antara murid dengan
Allah dan hubungan dengan sesama. Untuk mencapai tujuan tersebut, peran guru
sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan spiritualitas siswa. Oleh karena itu, melalui
proyek akhir ini, penulis ingin mengkaji peran guru Kristen dalam membangun
spiritualitas siswa di dalam pendidikan Kristen melalui kajian literatur.
PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk menciptakan
suasana belajar dan proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik
dapat secara aktif mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya untuk
memiliki kehidupan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, perilaku,
serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
(Syafril & Zen, 2017). Menurut Abdul Kadir, pendidikan memiliki arti luas dan
sempit. Secara luas pendidikan adalah pengalaman belajar yang terjadi di dalam
kehidupannya seseorang. Sedangkan secara sempit, pendidikan merupakan
sekolah, artinya pengajaran yang dilakukan sebagai lembaga pendidikan formal
(Kadir, 2012). Neolaka (2017) menjelaskan pendidikan merupakan kegiatan untuk
melatih peserta didik dalam memperoleh kompetensi di dalam diri peserta didik.
Berdasarkan dua pengertian di atas, pendidikan dilakukan oleh lembaga pendidikan
formal yaitu, sekolah untuk melatih peserta didik mengenal bahwa di dalam dirinya
5
memiliki potensi yang berguna di sepanjang hidupnya. Untuk memperoleh potensi
tersebut peserta didik dilatih secara terus-menerus untuk dapat mengenal potensi
yang ada di dalam dirinya. Latihan yang dilakukan akan menjadi pengalaman yang
berharga dan pastinya sangat berguna bagi kehidupan peserta didik.
UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 mencatat tujuan pendidikan di Indonesia, yang
berbunyi “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab” (Indonesia, 2003, hal. 6). Musfah (2012) berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional,
sosial, dan spiritual peserta didik. Syafril dan Zen (2017) mengatakan tujuan dari
pendidikan yaitu mendewasakan jasmani dan rohani siswa. Dewasa secara jasmani
artinya mengenal diri jasmaninya, menjaga kesehatan fisik, dan lain sebagainya.
Adapun dewasa dalam rohani adalah mengenal dirinya sendiri dan mengenal
Tuhan. Langeveld (dalam Darmadi, 2019) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
adalah upaya membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan.
Berdasarkan tujuan pendidikan yang telah dipaparkan, tujuan dari
pendidikan adalah membimbing dalam mengembangkan kecerdasan intelektual,
emosional, sosial, spiritual peserta didik dan mengembangkan potensi yang dimiliki
oleh peserta didik membimbing peserta didik sehingga menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab. Dengan bimbingan ini akan menuntun peserta
didik menjadi pribadi yang dewasa dalam setiap aspek kehidupannya. Tentunya hal
ini, dibimbing dari orang dewasa untuk mengembangkan potensi tersebut.
6
KONSEP DASAR PENDIDIKAN KRISTEN
Educates adalah kata latin dari pendidikan, dengan penjabaran educare dan
educere. Educare artinya “merawat, memperlengkapi” dan educere berarti
“membimbing keluar dari…” (Simanjuntak, 2013). Pada dasarnya, pendidikan
Kristen berbeda dengan pendidikan nasional. Berikut definisi pendidikan Kristen
menurut para ahli. Brummelen (2008) mengatakan pendidikan Kristiani adalah
usaha yang dilakukan secara sengaja untuk mengembangkan pemahaman, cara
pandangan, dan mengembangkan kemampuan siswa yang berdasarkan pada
Perintah Agung (Matius 22:37-40). Sedangkan Sidjabat (1996) menjelaskan
keunikkan dari pendidikan Kristen yaitu, menjadikan Alkitab sebagai dasar
pengetahuan. Sementara Knight (2009), menjelaskan pendidikan Kristen bukan
sekadar persekolahan Kristen. Pendidikan Kristen adalah sebuah usaha
pengembalian dan persatuan kembali gambar dan rupa Allah yang telah rusak
akibat dosa. Senada dengan Knight, Douglas Wilson dalam (Tung, 2013),
menjelaskan tujuan dari pendidikan Kristen adalah memulihkan gambar dan rupa
Allah akibat dari keberdosaan manusia menuju kedewasaan yang sejati, sehingga
para murid dapat memenuhi mandat penciptaan.
Pendapat para ahli mengenai pendidikan Kristen, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pendidikan Kristen adalah usaha yang dilakukan untuk mengembalikan
gambar dan rupa Allah dari keberdosaan manusia. Dengan bersumber pada Alkitab
sebagai dasar pengetahuan dan kebenaran yang mutlak, dengan tujuan untuk
membawa manusia kepada kedewasaan yang sejati serta menjalankan mandat
ciptaan yang telah Tuhan berikan. Alkitab memberitakan Kasih Allah yang
dinyatakan di dalam Kristus Yesus yang menjadi pusat dalam pemberitaan Injil.
7
Sebagaimana pusat dari pemberitaan Alkitab adalah Allah, maka pelaksanaan
pendidikan Kristen berpusat pada karya Allah melalui Yesus Kristus.
Dalam pendidikan Kristen, pendidik memiliki peran yang sangat khusus. Peran
pendidik tidak hanya sekadar membagikan pengetahuan intelektual kepada peserta
didik, akan tetapi menolong peserta didiknya untuk datang dan mengenal Kristus.
Serta membawa mereka hidup di dalam Dia, dan menolong mereka untuk mengerti
arti kekristenan dalam dunia ini.
Prinsip pendidikan Kristen menurut Wiraatmadja (2017) yang harus
ditekankan adalah sebagai berikut:
1. Allah adalah sumber segala sesuatu. Siswa harus memahami bahwa
segala apapun yang ia butuhkan dan yang ia miliki adalah berasal
dari Allah.
2. Manusia adalah segambar dengan Allah. Artinya guru memandang
siswa sebagai gambar Allah yang berharga. Meski dalam latar
belakang kehidupan yang berbeda, karakter yang mulai rusak, dari
situlah guru berperan sebagai rekan Allah yang telah ditebus dan
telah lahir baru untuk membantu siswa menemukan apa yang Tuhan
inginkan sebagai gambar Allah yang telah jatuh. Siswa menyadari
akan kasih Allah yang memulihkan kembali keadaan manusia yang
telah rusak oleh dosa.
3. Pendidik/ guru adalah roh, jiwa, dan tubuhnya. Hanya oleh Roh
Kudus, seorang guru dapat memancarkan cahaya Kristus pada setiap
muridnya.
8
4. Pendidikan Kristen tidak hanya menuju kepada pemulihan pribadi
manusia, tetapi juga kasih, keadilan, dan kesejahteraan seluruh umat
dan ciptaan lainnya.
Berdasarkan prinsip di atas mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu itu
semuanya berasal dari pada Allah dan menyadarkan umat manusia bahwa manusia
adalah gambar dan rupa Allah. Sehingga, jika diimplementasikan dalam konteks
pendidikan, Allah merupakan sumber dari ilmu pengetahuan, karena segala sesuatu
berasal dari pada Allah. Manusia merupakan gambar dan rupa Allah, tak terkecuali
guru dan siswa. Oleh sebab itu, guru harus memandang siswa sebagai gambar dan
rupa Allah tanpa membedan-bedakan kemapuan yang dimiliki oleh siswa.
berdasarkan prinsip dalam pendidikan Kristen tersebut, Weinata Sairin (2006)
mengatakan hal inilah yang menjadi ciri khas dari pendidikan Kristen, yaitu
memfasilitasi atau menyediakan wadah terhadap proses yang seimbang antara
perkembangan intektual dan perkembangan iman. Jadi tugas utama dari pendidikan
Kristen adalah menolong perkembangan anak supaya terjadinya keseimbangan
anatara perkembangan intelektual dan perkembangan iman. Itulah yang menjadi
ciri khas pendidikan Kristen.
KECERDASAN INTELEKTUAL
Manusia merupakan makhluk ciptaan yang paling cerdas dari ciptaan
lainnya. Berbicara mengenai kecerdasan manusia berarti berbicara mengenai otak
dan pikiran sebagai sumber atau penyebab (cause) dari tampilan perilaku manusia
(effect) (Bahaudin, 2007). Kecerdasan intelektual pertama kali diperkenalkan oleh
Alfred Binet yang merupakan ahli psikologi. Alfred (dalam Mataputun, 2018)
9
mengatakan kecerdasan intelektual adalah kecerdasan dari setiap individu yang
hanya bertautan dengan aspek kognitif untuk memecahkan masalah secara logis dan
akademik. Kecerdasan intelektual biasanya disebut dengan inteligensi, Marsuki
(2014) mengatakan inteligensi individu adalah kapasitas umum menghadapi
tuntutan dinamika kehidupan. Sedangkan Asteria (2014), mengemukakan bahwa
kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan otak, rasio, nalar-intelektual.
Kecerdasan intelektual tersebut tidak akan berubah ketika seseorang itu beranjak
dewasa, kecuali adanya kemunduran funsi otak seperti penuaan, kecelakaan dan
lain sebagainya. Berdasarkan dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan intelektual adalah kemampuan otak, rasio dan nalar-intelektual dalam
menghadapi tuntutan dinamika kehidupannya.
Dalam konteks pendidikan di skeolah, kecerdasan intelektual itu sangat
penting. Hal ini dikemukan Ngalim (2013) yang mengatakan kecerdasan intelektual
adalah kesanggupan seseorang menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, serta
berpikir sesuai dengan tujuan yang ingin diraih. Kemampuan yang harus dimiliki
siswa untuk dapat memikirkan tujuan yang ingin diraih dan kemampuan dalam
menyesuaikan diri. Wiramihardja (2013) mengemukakan adanya indikator dalam
kecerdasan intelektual, yaitu (1) kemampuan figur, artinya kemampuan dalam
memahami di bidang bentuk (2) kemampuan verbal, adalah kemampuan dalam
memahami nalarar dibidang bahasa dan (3) kemampuan numerik, adalah
kemmapuan dalam memahami yang berkaitan dengan angka dan logika.
10
SPIRITUALITAS
Spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti “roh”, “jiwa”, “sikap
batin”. Drewes & Mojau (2007) menggunakan “sikap batin” untuk
mendeskripsikan spiritualitas. Jadi, spiritualitas menurut Drewes & Moujau adalah
kehidupan yang mencerminkan pikiran, perkataan dan perbuatan sesuai dengan
Firman Tuhan yang hidup. Sedangkan menurut Heryatno (2008), spiritual adalah
hidup menurut bimbingan Roh atau hidup di dalam Roh. Senada dengan Heryatno,
Groenen (1993) juga mendeskripsikan spiritualitas sebagai hidup nyata orang
Kristen yang diurapi oleh Roh Kudus. Sedangkan menurut Rosito (2010), spiritual
adalah upaya memelihara sesuatu yang bermakna dalam kehidupannya. Sedangkan
Hawari (2002) menguraikan bahwa spiritualitas bersifat multidimensi, yaitu
dimensi eksistensi dan dimensi agama. Dimensi eksisitensi berhubungan dengan
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama adalah hubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa.
Berbeda dengan dua definisi mengenai spiritualitas di atas, sprititual
Kristiani menjelaskan adanya kehidupan rohani yang dipimpin oleh Roh. Thomas
(2010) mengatakan spiritualitas hidup Kristiani menunjukkan hidup rohani yang
dipimpin oleh Roh Kudus untuk semakin mengimani dan mencintai Tuhan Yesus
Kristus secara total. Nainggolan (2007) mendefinisikan spiritualitas merupakan
gaya hidup rohani seseorang tentang pemahamannya akan Allah. Sementara
spiritualitas menurut Victor (dalam Tanya, 1996) adalah sikap hidup yang
memberlakukan kebaikan Allah di kehidupannya. Dalam Galatia 5:22-23
mengatakan Buah Roh merupakan sikap hidup yang dimiliki oleh kekristenan
dalam kehidupannya. Berdasarkan pengertian di atas, spiritualitas adalah hubungan
11
pribadi seseorang dengan Allah yang dipimpin oleh Roh Kudus sehingga menjadi
gaya hidup di kehidupannya sehari-hari.
Dalam pendidikan Kristen, spiritualitas merupakan bagian yang perlu
diperhatikan dan perlu ditekankan. Penekanan spiritualitas ini adalah meneladani
Yesus Kristus. Hal ini merupakan perintah Yesus untuk meneladani-Nya yang
terdapat dalam Yohanes 13:15 Yesus berkata “sebab Aku telah memberikan suatu
teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat
kepadamu”. Kehidupan Yesus yang dapat kita teladani adalah, hidup di dalam Roh
Kudus, tekun di dalam doa serta hidup berdasarkan Firman Tuhan (Billy & Keating,
2009).
Berdasarkan pemaparan di atas, spiritualitas adalah kehidupan yang
mencerminkan pikiran, perkataan dan perbuatan yang sesuai dan sejalan dengan
Firman Tuhan. Kehidupan yang sesuai dan sejalan dengan Firman Tuhan dipimpin
oleh pimpinan Roh Kudus di dalam kehidupan orang percaya. Kehidupan
spiritualitas orang percaya akan menghasilkan Buah Roh di dalam kehidupan
sehari-hari melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya. Dalam pendidikan
Kristen, spiritualitas merupakan bagian yang perlu ditekankan.
PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN
Guru merupakan salah satu bagian dari komponen pendidikan yang dapat
berinteraksi dan dapat mempengaruhi komponen-komponen dari pendidikan
lainnya. Oleh karenanya, peran guru dalam pendidikan sangatlah penting, karena
memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan praktik pendidikan terhadap peserta
didik yang menjadi suatu tanggung jawab dalam mengembangkan semua potensi
12
yang telah dikaruniakan Allah kepada peserta didik secara optimal (Syafril & Zen,
2017). Oleh sebab itu, guru haruslah orang yang memiliki kompetensi khusus di
bidang pendidikan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun
2005 (UU RI No.14/2005), guru memiliki tugas untuk mendidik, mengajar,
membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Pepatah Jawa
mengatakan guru itu “digugu lan ditiru, digugu omongane lan ditiru kelakuannya”
artinya, seorang guru adalah sosok yang dapat dipercaya omongannya dan dapat
dicontoh tindakannya (Suprihatiningrum, 2014). Berdasarkan pepatah Jawa ini,
guru memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupannya, terlebih khusus bagi
peserta didik. Izzan (2012) mengemukakan peran penting seorang guru dalam
pendidikan, yaitu: 1) Sebagai demonstrator, guru harus terampil dalam memahami
kurikulum mampu menjabarkan tujuan pembelajarannya dengan jelas, dan dapat
menggunakan metode-metode pembelajaran secara optimal. Selain itu, guru harus
senantiasa meningkatkan kemampuannya supaya ia dapat menyampaikan
pengetahuannya kepada siswa dengan baik; 2) Sebagai pengelola kelas, mampu
menciptakan suasana kelas yang aman, hangat, kondusif dan menarik; 3) Sebagai
mediator dan fasilitator, kecakapan untuk mememilih, menyediakan, dan
menggunakan media pembelajaran bagi siswa. Fasilitator artinya memberikan
fasilitas belajar yang memadai bagi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran,
baik berupa buku, narasumber, buku bacaan, dan sumber-sumber lainnya; 4)
Sebagai evaluator, memiliki kewajiban untuk melakukan proses evaluasi
pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat ketercapaian tujuan
pembelajaran dan menilai hasil nelajar siswa.
13
Brummelen (2008) juga menuliskan metafora peran guru di dalam bukunya,
metafora-metafora tersebut diantara lain sebagai berikut:
a. Guru sebagai seniman
Sebagai seniman, seorang guru harus mampu mengajar dengan kreatif.
Guru tidak memperlakukan siswa sebagai objek namun membantu
mereka untuk memperoleh pemahaman pandangan dan hikmat Tuhan
dalam proses pembelajaran.
b. Guru sebagai teknisi
Sebagai teknisi, seorang guru akan melakukan proses pembelajaran
secara terstruktur dan spesifik untuk mencegah terjadinya masalah yang
akan terjadi di kelas.
c. Guru sebagai fasilitator
Menyediakan fasilitas belajar dan motivasi bagi siswanya supaya siswa
mampu menciptakan pemahaman dan tafsirannya masing-masing, guru
bukan hanya sekadar memberikan fasilitas kepada siswanya tetapi juga
membagikan wawasan dan memacu siswa untuk menggunakan
bakatnya.
d. Guru sebagai pembawa cerita
Seorang guru seharusnya merancang pembelajaran dan
membawakannya dalam sebuah “cerita” supaya suasana kelas tidak
tegang selama proses pembelajaran berlangsung.
14
e. Guru sebagai pengrajin
Melakukan kegiatan pembelajaran yang reflektif, tekun, dan terampil.
Dalam hal ini, guru bertanggung jawab untuk membantu menempa
kepribadian para siswa dan memengaruhi cara siswa memandang hidup.
f. Guru sebagai pelayan
Seorang guru adalah pelayan atas ilmu pengetahuan, karakteristik siswa,
lingkungan sekolah, dan penginstruksian. Dasar Alkitab yang
menggambarkan seorang pelayan tertulis dalam Matius 25:14-30
(perumpamaan tentang taleta). Berdasarkan ayat ini, guru bertanggung
jawab untuk mengembangkan talenta yang sudah Tuhan berikan
kepadanya untuk melayani para siswa.
g. Guru sebagai imam
Imam bertugas untuk memimpin, demikian juga halnya dengan gur.
Dengan bergantung pada Roh Kudus, guru bertugas untuk memimpin
siswa untuk hidup benar dan kudus di dalam Tuhan.
h. Guru sebagai penuntun
Seorang penuntun, guru bertanggung jawab menuntun para siswa untuk
hidup di jalan hikmat. Supaya dapat menuntun para siswa, seorang guru
perlu membuat struktur kelas untuk menanamkan kebenaran, keadilan,
kasih saying, dan rasa hormat kepada siswa. Dasar Alkitab yang
mengajarkan guru unuk menjadi penuntun tertulis dalam Amsal 4:11.
Seperti guru pada umumnya, seorang guru Kristen juga harus memiliki
karakteristik tertentu. Karakteristik guru Kristen berbeda dengan guru pada
umumnya. Syarat guru Kristen haruslah sudah lahir baru di dalam Kristus. Seorang
15
guru yang telah dilahirbarukan akan mampu mentransformasikan murid-muridnya
dengan pimpinan dari Roh Kudus. Hal ini dikarenakan seorang guru Kristen
memiliki tanggung jawab yang sangat penting, yaitu melaksankan Amanat Agung
(Matius 28:19-20).
Sebagai pribadi yang digugu dan ditiru, seorang guru juga berperan sebagai
role model yang nyata. Secara tidak lansung para murid akan meniru berbagai hal
yang dilakkan oleh gurunya. Oleh karena itu, teladan guu merupakan mata tombak
pendidikan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi modern apapun saat ini.
Meskipun teknologi semakin canggih, namun peran seorang guru sebagai pengajar
dan pendidik tidak bisa digantikan dengan teknologi (Dewi, 2017).
Guru Kristen adalah guru yang mengajarkan prinsip iman Kristen yang
berlandaskan dengan Alkitab. Mengaktualisasikan imannya dalam menjalani
kehidupan. Pada satu sisi, guru berperan membimbing siswa dalam meningkatkan
kemampuan akademik. Namun, di sisi lain guru berperan dalam pembentukan
kerohanian siswanya. Dalam melakukan dua hal tersebut, guru Kristen dapat
meneladani Yesus Kristu. Hal ini jelas terdapat dalam Markus 1:2, dalam ayat ini
dikatakan bahwa pengajaran Yesus berbeda dengan nabi-nabi lainnya. Tujuan
Yesus dalam mengajar adalah membentuk keyakinan yang teguh, memiliki
hubungan yang baik dengan Allah dan sesama. Oleh sebab itu, guru Kristen dalam
menjalankan tugasnya haruslah melihat teladan ideal dari Yesus Kristus (Utomo,
2017).
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa seorang guru bukan hanya sebagai
pengajar dan pendidik namun, seorang guru Kristen harus mampu memperkenalkan
Kristus kepada siswanya. Seorang guru Kristen harus mampu mengajar dengan
16
kasih dan sepenuh hati tanpa merasa terbebani atas setiap tugas yang harus
dikerjakan.
PEMBAHASAN
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26), yang
artinya memiliki sifat Allah yaitu, kasih dengan tujuan untuk memuliakan Allah.
Anthony (2008) mengatakan manusia merupakan pribadi yang harus
mencerminkan Allah dalam kehidupannya. Namun, akibat kajatuhan manusia ke
dalam dosa mengakibatkan, manusia memberontak kepada Allah (Erickson, 2003),
sehingga sifat kasih itu hilang dalam diri manusia. Sifat yang bertentangan dengan
sifat Allah pun menjadi sifat asli manusia, diantaranya adalah iri hati, dengki,
cemburu, kebencian dan sifat kedagingan lainnya. Sehingga tidak heran, manusia
dewasa ini tidak memiliki relasi yang baik dengan sesamanya. Hal ini dikarena sifat
kedagingan yang dimiliki oleh manusia, sifat iri hati, dengki dan cemburu terhadap
sesama, Sehingga menimbulkan tindakan-tindakan kriminal yang menyakati
sesama manusia.
Ketika manusia jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3), hubungan manusia
dengan Allah menjadi terpisah, Berkhof (2017) mengatakan akibat dari
keberdosaan manusia, seluruh natur yang ada pada diri manusia tidak ada yang
tidak tersentuh oleh dosa. Kondisi ini membuat manusia tidak bisa berbuat apa-apa,
sehingga Allah yang penuh kasih itu berinisiatif untuk menyelamatkan manusia dari
dosa. Dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus mati di kayu
salib untuk menebus dosa manusia. Melalui kematian-Nya manusia yang
terbelenggu oleh dosa diselamatkan dan membawa kita dalam kerajaan Allah
17
(Kolose 1:3). Sehingga melalui Karya Salib, sifat iri hati, dengki, kecemburuan
dan tindakan yang menyakiti sesama manusia dipulihkan melalui Karya Roh Kudus
di dalam hati manusia sehingga memiliki kasih Kristus di dalam kehidupan
manusia.
Melalui pendidikan menjadikan manusia menjadi yang lebih baik, karena
pendidikan ada untuk memanusiakan manusia (Prayitno, 2009). Dalam hal ini,
peran pendidikan Kristen sangat diperlukan dalam membawa peserta didik masuk
ke dalam kerajaan Allah. Tujuan dari pendidikan Kristen sendiri adalah
membimbing peserta didik untuk dapat kembali kepada Allah, mencerminkan
gambar dan rupa Allah dalam kehidupan mereka. Pendidikan Kristen memfasilitasi
kehidupan spiritualitas peserta didik dengan dibimbing secara terus-menerus untuk
memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak akibat dosa hingga menjadi
pribadi dewasa yang sejati.
Berbicara mengenai pendidikan, ada perbedaan yang mendasar antara
pendidikan nasional dan pendidikan Kristen. Pendidikan nasional berdasarkan pada
UUD 1945, sedangkan pendidikan Kristen berdasarkan pada Firman Tuhan yang
terdapat dalam Alkitab. Secara sekilas keduanya memiliki persamaan yaitu
membawa murid mengalami perubahan dalam berpikir dan bertindak. Akan tetapi,
jika diperhatikan, pendidikan Kristen memiliki tujuan yang jelas, yaitu
mengembalikan gambar dan rupa Allah yang telah rusak akibat dosa. Dosa
membawa manusia berpisah jauh dari Allah. Inilah yang menjadi tujuan dari
pendidikan Kristen yaitu membawa manusia yang terpisah karena dosa untuk
datang dan berkumpul bersama Allah.
18
Akan tetapi, ketidakpahaman guru-guru Kristen akan peran mereka dalam
pendidikan Kristen merupakan menjadi salah satu faktor utama mengapa
pendidikan Kristen seringkali gagal dalam mendidik siswanya memiliki karakter
yang serupa dengan Kristus. Meskipun tidak semuanya, namun cukup banyak
sekolah Kristen yang lebih mengutamakan pengembangan intelektual tanpa
memperhatikan pengembangan spiritualitas siswa di dalam proses pembelajaran.
Buku yang berjudul “Surat-surat untuk Lisa” (2013) mengatakan bahwa sekolah
yang mengagungkan keunggulan akademik sesungguhnya telah menyembah
kepada berhala, yaitu berhala intelektualitas. Intelektulitas mencoba meyakinkan
bahwa manusia harus memiliki pemikiran yang rasional. Namun, seharusnya guru
Kristen tidak boleh memiliki pemikiran seperti itu, karena tujuan dari pendidikan
Kristen adalah memperlengkapi peserta didik secara keseluruhan, khususnya di
kehidupan spiritualitas siswa dalam mengembalikan gambar dan rupa Allah yang
telah jatuh ke dalam dosa. Kurangnya kesadaran guru akan perannya dalam
pendidikan Kristen ini mengakibat peserta didik lupa akan keberadaan Allah
sehingga mengakibatkan mereka untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang
tidak mencerminkan karakter Allah di kehidupan mereka. Mengembangkan
intektual siswa penting demikian juga dengan mengembangkan spiritualitas siswa.
Akan lebih baik, jika kedua hal tersebut dapat dijalankan secara beriringan.
Zonar dan Marshall (2002) mendeskripsikan bahwa kecerdasan spiritulitas
memiliki peran utama dalam kehidupan. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan
hati nurani yang lebih bermakna dibandingkan dengan kecerdasan-kecerdasan yang
lain. Mengingat definisi dari pendidikan bahwa tugas guru adalah mengembangkan
potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Kecerdasan spiritual merupakan potensi
19
yang harus dimiliki peserta didik, karena pengaruh dari kecerdasan spiritual sangat
besar dalam kehidupan peserta didik. Oleh sebab itu, guru memiliki peran yang
sangat yang sangat besar dalam membangun spiritualitas siswa dan tanpa
mengabaikan mengembangkan intelektualitas siswa. demikian juga sebaliknya,
Dengan demikian maka tujuan dari pendidikan Kristen adalah sarana
memfasilitasikan atau membimbing peserta didik agar dapat mengenal Allah akan
tercapai dengan adanya kesadaran dari seorang guru Kristen. Membangun
spiritualitas siswa tidak kalah penting dari pengembangan intelektualitas siswa.
Oleh sebab itu, jangan jadikan intelektualitas sebagai berhala di dalam
pembelajaran yang dilakukan guru, akan sia-sia jika mendidik siswa menjadi pintar
akan tetapi tidak memiliki kehidupan spiritualitas.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Pendidikan adalah salah satu hal yang diperlukan dalam kehidupan
manusia. Terutama pendidikan Kristen yang menjadi sarana bagi peserta didik
untuk dapat mengembangkan kehidupan spiritualitasnya. Pendidikan tidak hanya
selalu berbicara mengenai intelektual tetapi pendidikan juga harus menyeluruh
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Dalam pendidikan Kristen, guru memiliki
peran yang sangat khusus. Peran guru Kristen tidak hanya membagikan
pengetahuan intelektual kepada peserta didik, akan tetapi menolong peserta
didiknya untuk datang dan mengenal Kristus, yaitu membangun spiritualitas siswa
dengan mengintegrasikan pembelajaran dalam wawasan Alkitabiah, sharing his life
atau dengan mengadakan devotion sebelum memulai pembelajaran. Oleh sebab itu,
20
guru memiliki peran dalam membangun spiritualitas siswa. Dengan demikian maka
tujuan dari pendidikan Kristen akan tercapai dengan adanya kesadaran dari seorang
guru Kristen. Oleh sebab itu, jangan jadikan intelektualitas sebagai berhala di dalam
pembelajaran yang dilakukan guru, akan sia-sia jika mendidik siswa menjadi pintar
akan tetapi tidak memiliki kehidupan spiritualitas.
SARAN
Tujuan Pendidikan Kristen berbeda dengan tujuan pendidikan nasioal,
karena tujuan pendidikan Kristen membimbing dan memfasilitasi kehidupan
spiritualitas peserta didik. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru memiliki peran
yang sangat besar. Adapun saran penulis adalah seorang guru harus menyadari
perannya di dalam pendidikan Kristen dan sebaiknya guru mengajarkan peserta
didik secara menyeluruh baik itu intelektulitas dan spiritualitas. Tidak hanya
memprioritaskan aspek intelektual, akan tetapi harus secara keseluruhan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., & Karyono, T. (2009). Etnopedagogi landasan
praktek pendidikan dan pendidikan guru. Bandung: PT Duna Pustaka
Jaya.
Asteria, P. V. (2014). Mengembangkan kecerdasan spiritual anak melalui
pembelajaran membaca sastra. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Astuti, S. I. (2010). Pendekatan holistik dan kontekstual dalam mengatasi krisis
karakter di indonesia. Caklawala pendidikan, jurnal ilmiah pendidikan,
41-58. doi:10.21831/cp.v1i3.234
Bahaudin, T. (2007). Brainware leadership mastery: Kepemimpinan abad otak
dan milenium pikiran. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Berkhof, L. (2017). Teologi sistematis volume 2: doktrin manusia. Surabaya:
Momentum.
Billy, D. J., & Keating, J. F. (2009). Suara hati dan doa belajar terbuka pada
kebenaran. Yogyakarta: Kanisius.
Chomaidi, & Salamah. (2018). Pendidikan dan pengajaran: Strategi
pembelajaran sekolah. Jakarta: PT Grasindo.
Darmadi, H. (2019). Pengantar pendidikan era globalisasi: Konsep dasar, teori,
strategi dan implementasi dalam pendidikan globalisasi. An1mage.
Dewi, A. A. (2017). Guru mata tombak pendidikan. Sukabumi, Jawa Barat: Jejak
Publiser.
Drewes, B. F., & Mojau, J. (2007). Apa itu teologi: pengantar ke dalam ilmu
teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Dyk, J. (2013). Surat-surat untuk Lisa: Percakapan dengan seorang guru Kristen.
Tangerang: UPH Press.
Erickson, M. J. (2003). Teologi Kristen volume 2. Malang: Gandum Mas.
22
Groenen, C. (1993). Perkawinan sakramental: Anthropologi dan sejarah teologi,
sistematik, spiritualitas, pastoral. Yogyakarta: Kanisius.
Hawari, D. (2002). Dimensi religi dalam paktek psikiatry dan psikologis. Jakarta:
FKUI.
Heryatno, W. (2008). Diktat pendidikan agama katolik sekolah. Yogyakarta.
Hoekema, A. A. (2008). Manusia: Ciptaan menurut gambar Allah. Surabaya:
Momentum.
Indonesia, P. R. (2003). Undang-undang republik indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang pendidikan nasional. Retrieved Juni 11, 2019, from
https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf:
https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf
Izzan, A. (2012). Membangun guru berkarakter. Bandung: Humaniora.
Kadir, A. (2012). Dasar-dasar pendidikan. Jakarta: Prenadamedia Group.
Kamal, M. (2016). Restrukturisasi pendidikan menuju bangsa berkarakter.
Madaniyah: Terciptanya insan akademis berkualitas & berakhlak mulia,
35-44. Retrieved Juli 4, 2019, from
https://doaj.org/search?source=%7B%22query%22%3A%7B%22query_st
ring%22%3A%7B%22query%22%3A%22restrukturisasi%20pendidikan
%20berkarakter%22%2C%22default_operator%22%3A%22AND%22%7
D%7D%2C%22from%22%3A0%2C%22size%22%3A10%7D
Knight, G. R. (2009). Filsafat & pendidikan: Sebuah pendahuluan dari perspektif
kristen. Jakarta: Universitas Pelita Harapan Press.
Marsuki. (2014). Kualitas kecerdasan intelektual generasi pembaru masa depan.
Malang: Universitas Brawijaya Press.
Mataputun, Y. (2018). Kepemimpinan kepala sekolah berbasis kecerdasan
intelektual, emosional, dan spiritual terhadap iklim sekolah. Ponorogo:
Uwais Inspirasi Indonesia.
23
Musfah, J. (2012). Membumikan pendidikan holistik. Jakarta: Kencana, Prenada
Media Group.
Nainggolan, J. M. (2007). Menjadi guru agama kristen. Bandung: Generasi Info
Media.
Neolaka, A., & Neolaka, G. A. (2017). Landasan pendidikan dasar pengenalan
diri sendiri menuju perubahan hidup. Depok: Kencana.
Noprendi. (2011, April 16). Sekolah unggulan dan terfavorit di tana toraja dan
toraja utara. Retrieved from torajastory.wordpress.com:
https://torajastory.wordpress.com/2011/04/16/sekolah-unggulan-dan-
terfavorit-di-tana-toraja-dan-toraja-utara/
Prayitno. (2009). Dasar teori dan praksis pendidikan. Grasindo.
Purwanto, N. (2013). Psikologi pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rosito, A. C. (2010). Spiritualitas dalam perspektif psikologi positif. Journal Visi
18 (1), 29-42.
Sairin, W. (2006). Identitas dan ciri khas pendidikan kristen di indonesia antara
konseptual dan operasional. Jakarta: Gunung Mulia.
Sidjabat, B. S. (1996). Strategi pendidikan kristen: Suatu tinjauan teologis-
filosofis. Yogyakarta: ANDI.
Simanjuntak, J. (2013). Filsafat pendidikan dan pendidikan kristen. Yogyakarta:
ANDI.
Suprihatiningrum, J. (2014). Pedoman kinerja, kualifikasi, dan kompetensi guru.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Syafril, & Zen, Z. (2017). Dasar-dasar ilmu pendidikan. Depok: Kencana.
Tanya, V. (1996). Spiritual, pluralitas dan pembangunan di indonesia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
24
Thomas, P. R. (2010). Katolisisme: Teologi bagi kaum awam. Yogyakarta:
Kanisius.
Trihandini, F. M. (2005, May 07). Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual,
Kecerdasan Emosi, dan Kecerdasaran Spiritual Terhadap Kinerja
Karyawan. Retrieved from RAFM Trihandini - 2005 - eprints.undip.ac.id:
http://eprints.undip.ac.id/10280/1/2005MM4261.pdf
Tung, K. Y. (2013). Filsafat pendidikan kristen: Meletakkan fondasi dan fIlosofi
pendidikan kristen di tengah tantangan filsafat dunia. Yogyakarta: ANDI.
Utomo, B. S. (2017). (R)evolusi guru pendidikan agama kristen dalam
mentransformasi kehidupan siswa. Vol. 1 DUNAMIS (Jurnal Teologi dan
Pendidikan Kristiani, 3-5.
Van Brummelen, H. (2008). Batu loncatan kurikulum. Jakarta: Universitas Pelita
Harapan.
Wiraatmadja, T. (2017). Prinsip-prinsip filsafat pendidikan kristen. Jurnal Teologi
Injili, 58-59.
Wiramihardja, S. A. (2013). Pengantar psikologi klinis. Jakarta: Gramedia.
Zonar, D., & Marshall, I. (2002). SQ: Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam
berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan. Bandung:
Mizan Media Utama.
Top Related