PROYEK AKHIR PERAN GURU DALAM MEMBANGUN …repository.uph.edu/5916/5/Kajian Filosofis...

33
PROYEK AKHIR PERAN GURU DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS SISWA DI DALAM PENDIDIKAN KRISTEN Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Oleh: NAMA : PRAMESTUTI PUSPITA DEWI NPM : 00000028276 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS PENDIDIKAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN TANGERANG 2019

Transcript of PROYEK AKHIR PERAN GURU DALAM MEMBANGUN …repository.uph.edu/5916/5/Kajian Filosofis...

PROYEK AKHIR

PERAN GURU DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS

SISWA DI DALAM PENDIDIKAN KRISTEN

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik

guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

NAMA : PRAMESTUTI PUSPITA DEWI

NPM : 00000028276

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG

2019

v

Tangerang, 14 November 2019

ABSTRAK

Pramestuti Puspita Dewi (00000028276)

PERAN GURU DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS SISWA

DI DALAM PENDIDIKAN KRISTEN

(viii + 24 halaman: 0 gambar; 0 tabel)

Dasar pendidikan Kristen adalah Alkitab, hal itulah yang membedakan antara

pendidikan Kristen dan pendidikan pada umumnya. Tujuan dari pendidikan Kristen

yaitu mengembalikan dan memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak

karena dosa. Oleh karena itu, melalui pendidikan Kristen yang holistik, tidak hanya

berfokus pada intelektual semata, tetapi juga membangun spiritualitas siswa. Oleh

sebab itu, siswa dididik untuk memiliki pikiran seperti Kristus dan memahami kisah

Allah dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, faktanya masih terdapat kesenjangan

antara intelektual dan spiritualitas siswa dalam pendidikan Kristen. Sehingga tidak

mengherankan dunia pendidikan diwarnai dengan tawuran antar pelajar. Oleh sebab

itu, keadaan ini mengingatkan keberadaan guru Kristen akan perannya dalam

pendidikan Kristen. Adapun tujuan penulisan proyek akhir ini adalah mengkaji

peran guru Kristen dalam membangun spiritualitas siswa di dalam pendidikan

Kristen melalui kajian literatur. Keberadaan guru yang menjalani perannya dapat

menyeimbangkan kesenjangan antara intelektual dan spiritualitas siswa, sehingga

mencapai tujuan dari pendidikan Kristen. Dengan demikian, dalam melaksanakan

perannya, guru Kristen harus memiliki kesadaran akan keberadannya dalam

menyeimbangkan intelektual dan spiritualitas siswa. Hasil penulisan ini

menyarankan bagi setiap guru untuk memiliki kesadaran akan perannya di dalam

pendidikan Kristen, khususnya dalam menyeimbangkan intelektualitas dan

spiritualitas siswa.

Kata Kunci: Pedidikan Kristen, intelektualitas, spiritualitas, keseimbangan,

guru Kristen

vi

Referensi: 44 (1993-2018)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah

diberikan-Nya, sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

Tugas Akhir dengan judul “PERAN GURU DALAM

MEMBANGUN SPIRITUALITAS SISWA DI DALAM

PENDIDIKAN KRISTEN ” ini ditujukan untuk memenuhi sebagian

persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Fakultas Ilmu Pendidikan

Strata Satu Universitas Pelita Harapan, Tangerang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai

pihak, Tugas Akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan Tugas Akhir ini, yaitu kepada:

1. Connie Rasilim, S.S., B.Ed., M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Pendidikan.

2. Juniriang Zendrato, M.Pd., M.Ed., selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar

3. Erni Bertha Nababan, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan banyak memberikan masukan kepada

penulis.

vii

4. Orang tua yang sangat luar biasa, Bapak Triyanto dan Ibu Gustina Warni

yang terus memberikan dukungan baik secara langsung maupun melalui

doa sekaligus menjadi penyemangaat yang memotivasi penulis selama

menjalani proses pendidikan dan mengerjakan tugas akhir.

5. Priambada Prayogi, S.Kep., dan Eunike, kakak yang selalu menyemangati

penulis dalam menyesaikan tugas akhir

6. Siswanti Rewai, S.Pd., yang telah mendengarkan dan banyak membantu

penulis, menjadi keluh kesah, berbagi cerita dan memberikan semangat

untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Semuan teman-teman 16ID1C, khususnya Renika Barutu, Ruth Sipahelut,

Puryanti Agustina, Rosta Tinambunan, Niken Pangajapsih, dan Riska

Seleng. Orang-orang luar biasa yang telah mewarnai kehidupan penulis

selama menjalani perkuliahan dan penulisan tugas akhir.

8. All of sister 722 yang telah mendukung lewat setiap dukungan doa,

semangat, dan pengertiannya selama penulis mengerjakan penulisa tugas

akhir.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan

dalam Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat

bermanfaat bagi penulis. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak yang membacanya.

Tangerang, November 2019

Penulis

viii

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS AKHIR

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR

PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR

ABSTRAK ............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

LATAR BELAKANG ........................................................................................... 2

PENDIDIKAN ....................................................................................................... 4

KONSEP DASAR PENDIDIKAN KRISTEN .................................................... 6

KECERDASAN INTELEKTUAL ...................................................................... 8

SPIRITUALITAS ............................................................................................... 10

PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN ......................................................... 11

PEMBAHASAN .................................................................................................. 16

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

1

PERAN GURU DALAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS SISWA DI

DALAM PENDIDIKAN KRISTEN

Pramestuti Puspita Dewi

[email protected]

Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

ABSTRAK

Dasar pendidikan Kristen adalah Alkitab, hal itulah yang membedakan antara pendidikan Kristen

dan pendidikan pada umumnya. Tujuan dari pendidikan Kristen yaitu mengembalikan dan

memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak karena dosa. Oleh karena itu, melalui

pendidikan Kristen yang holistik, tidak hanya berfokus pada intelektual semata, tetapi juga

membangun spiritualitas siswa. Oleh sebab itu, siswa dididik untuk memiliki pikiran seperti Kristus

dan memahami kisah Allah dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, faktanya masih terdapat

kesenjangan antara intelektual dan spiritualitas siswa dalam pendidikan Kristen. Sehingga tidak

mengherankan dunia pendidikan diwarnai dengan tawuran antar pelajar. Oleh sebab itu, keadaan ini

mengingatkan keberadaan guru Kristen akan perannya dalam pendidikan Kristen. Adapun tujuan

penulisan proyek akhir ini adalah mengkaji peran guru Kristen dalam membangun spiritualitas siswa

di dalam pendidikan Kristen melalui kajian literatur. Keberadaan guru yang menjalani perannya

dapat menyeimbangkan kesenjangan antara intelektual dan spiritualitas siswa, sehingga mencapai

tujuan dari pendidikan Kristen. Dengan demikian, dalam melaksanakan perannya, guru Kristen

harus memiliki kesadaran akan keberadannya dalam menyeimbangkan intelektual dan spiritualitas

siswa. Hasil penulisan ini menyarankan bagi setiap guru untuk memiliki kesadaran akan perannya

di dalam pendidikan Kristen, khususnya dalam menyeimbangkan intelektualitas dan spiritualitas

siswa.

Kata Kunci: Pedidikan Kristen, intelektualitas, spiritualitas, keseimbangan, guru Kristen

ABSTRACT

The basis of Christian education is the Bible, it is what distinguishes between Christian education

and general education. The purpose of Christian education is to restore and restore the image and

likeness of God that has been corrupted by sin. Therefore, through a holistic Christian education,

not only focuses on intellectuals alone, but also builds student spirituality. Therefore, students are

educated to have christlike thoughts and understand God's story in their lives. However, in fact there

is still a gap between student intellectuals and spirituality in Christian education. So no wonder the

education world is colored with the brawl between students. Therefore, this situation reminds the

existence of Christian teachers of his role in Christian education. As for the purpose of writing this

final project is to examine the role of Christian teachers in establishing student spirituality in

Christian education Through literature Studies. The existence of teachers who undergo their role can

balance the gap between student intellectuals and spirituality, Achieving the goal of Christian

education. Thus, in carrying out his role, Christian teachers should have an awareness of their own

realization in balancing the intellectual and spirituality of students. The results of this writing suggest

for each teacher to have a sense of its role in Christian education, Especially in balancing student

intellectuality and spirituality.

Keywords: Christian grievances, intellectuality, spirituality, balance, Christian teacher

2

LATAR BELAKANG

Manusia tidak bisa lepas dari pendidikan, karena pendidikan merupakan

pengalaman yang memberikan suatu pandangan (insight) seseorang dalam

menyesuaikan diri di kehidupan yang dijalani (Chomaidi & Salamah, 2018). Dalam

proses penyesuaian diri di dalam kehidupan, pendidikan merupakan bagian

terpenting untuk mendapatkan pengalaman serta pandangan dalam menyesuaikan

dirinya. Oleh sebab itu, banyak orang berusaha memperoleh pendidikan yang baik

bagi dirinya. Pendidikan merupakan cara untuk menolong seseorang dalam meraih

impian berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Ada juga yang memandang

pendidikan sebagai sebuah proses untuk mencapai tujuan yang diinginkan

(Alwasilah, Suryadi, & Karyono, 2009).

Berbeda dengan definisi pendidikan pada umumnya, pendidikan Kristen

dikenal sebagai pendidikan yang unik, karena dasarnya adalah Alkitab. Pendidikan

Kristen memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengembalikan dan memulihkan gambar

dan rupa Allah yang telah rusak karena dosa (Knight, 2009). Melalui pendidikan

Kristen yang holistik, siswa dididik untuk memiliki pikiran seperti Kristus dan

memahami kisah Allah di dalam kehidupan mereka.

Namun, tak jarang peristiwa-peristiwa yang sering mewarnai dunia

pendidikan didominasi dengan memprihatinnya kondisi moral siswa. Banyak

diantara penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli pendidikan untuk mengatasi

krisis karakter generasi muda sekarang ini. Seperti yang dilakukan oleh Siti Irene

Astuti (2010) dalam penelitiannya mengatasi krisis karakter yang terjadi di

Indonesia, serta penelitian yang dilakukan Mustofa Kamal (2016), yang ingin

merekontruksi pendidikan menuju bangsa yang berkarakter. Sudah banyak

3

penelitian yang ingin mengatasi krisis karakter yang dialami generasi muda,

menggunakan berbagai cara dan berbagai metode dengan harapan generasi muda

di Indonesia memiliki karakter diharapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Akan tetapi, dari tahun ke tahun masalah yang selalu mewarnai dunia pendidikan

ini selalu terjadi, seperti tawuran antar pelajar, tindakkan kekerasan, pemerkosaan,

dan banyak lagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh generasi muda saat ini.

Kondisi yang memprihatikan tersebut juga dialami oleh sekolah-sekolah

Kristen. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan penulis, bukankah sekolah Kristen

dididik berdasarkan pendidikan Kristen yang berlandaskan pada kebenaran

Alkitab? Mengapa sekolah Kristen yang diketahui bersama lebih unggul dalam

spiritualitas daripada sekolah-sekolah lain bisa melakukan tindakan kriminal seperti

contoh yang dilakukan dua sekolah Kristen di Toraja. Penulis berpendapat bahwa

tawuran yang terjadi tidaklah seharusnya terjadi. Pelajar merupakan orang-orang

terdidik, khususnya sekolah Kristen yang merupakan tempat untuk dapat memiliki

karakter Kristus dan berpikir seperti Kristus. Berdasarkan survei yang dilakukan

Noprendi (2011), sekolah tersebut merupakan salah satu terfavorit dan unggul

dalam akademik di Tana Toraja.

Perilaku siswa tersebut tidak dapat dipisahkan dari kenyatan bahwa manusia

telah jatuh ke dalam dosa. Namun, sebagai institusi pendidikan, sekolah Kristen

seharusnya mampu menjadi garam dan terang bagi umat manusia, terkhususnya

bagi siswa. Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, penulis berasumsi bahwa

praktik pendidikan Kristen belum menyentuh secara keseluruhan, sehingga

pengembangan intelektual menjadi prioritas utama di dalam pendidikan Kristen.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan peristiwa yang terjadi di atas dapat terjadi

4

dikarenakan guru tidak menyadari akan keberadaan perannya di dalam pendidikan

Kristen. Peran yang dimaksud dalam penulisan ini adalah peran guru Kristen dalam

membangun spiritualitas siswa tanpa mengabaikan intelektualitas siswa. Hal ini

dikarenakan, tujuan dari pendidikan Kristen adalah mengembalikan gambar dan

rupa Allah dalam diri siswa serta merekonsiliasi hubungan antara murid dengan

Allah dan hubungan dengan sesama. Untuk mencapai tujuan tersebut, peran guru

sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan spiritualitas siswa. Oleh karena itu, melalui

proyek akhir ini, penulis ingin mengkaji peran guru Kristen dalam membangun

spiritualitas siswa di dalam pendidikan Kristen melalui kajian literatur.

PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk menciptakan

suasana belajar dan proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik

dapat secara aktif mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya untuk

memiliki kehidupan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, perilaku,

serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan negara

(Syafril & Zen, 2017). Menurut Abdul Kadir, pendidikan memiliki arti luas dan

sempit. Secara luas pendidikan adalah pengalaman belajar yang terjadi di dalam

kehidupannya seseorang. Sedangkan secara sempit, pendidikan merupakan

sekolah, artinya pengajaran yang dilakukan sebagai lembaga pendidikan formal

(Kadir, 2012). Neolaka (2017) menjelaskan pendidikan merupakan kegiatan untuk

melatih peserta didik dalam memperoleh kompetensi di dalam diri peserta didik.

Berdasarkan dua pengertian di atas, pendidikan dilakukan oleh lembaga pendidikan

formal yaitu, sekolah untuk melatih peserta didik mengenal bahwa di dalam dirinya

5

memiliki potensi yang berguna di sepanjang hidupnya. Untuk memperoleh potensi

tersebut peserta didik dilatih secara terus-menerus untuk dapat mengenal potensi

yang ada di dalam dirinya. Latihan yang dilakukan akan menjadi pengalaman yang

berharga dan pastinya sangat berguna bagi kehidupan peserta didik.

UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 mencatat tujuan pendidikan di Indonesia, yang

berbunyi “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab” (Indonesia, 2003, hal. 6). Musfah (2012) berpendapat bahwa

tujuan pendidikan adalah mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional,

sosial, dan spiritual peserta didik. Syafril dan Zen (2017) mengatakan tujuan dari

pendidikan yaitu mendewasakan jasmani dan rohani siswa. Dewasa secara jasmani

artinya mengenal diri jasmaninya, menjaga kesehatan fisik, dan lain sebagainya.

Adapun dewasa dalam rohani adalah mengenal dirinya sendiri dan mengenal

Tuhan. Langeveld (dalam Darmadi, 2019) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan

adalah upaya membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan.

Berdasarkan tujuan pendidikan yang telah dipaparkan, tujuan dari

pendidikan adalah membimbing dalam mengembangkan kecerdasan intelektual,

emosional, sosial, spiritual peserta didik dan mengembangkan potensi yang dimiliki

oleh peserta didik membimbing peserta didik sehingga menjadi warga negara yang

demokratis dan bertanggung jawab. Dengan bimbingan ini akan menuntun peserta

didik menjadi pribadi yang dewasa dalam setiap aspek kehidupannya. Tentunya hal

ini, dibimbing dari orang dewasa untuk mengembangkan potensi tersebut.

6

KONSEP DASAR PENDIDIKAN KRISTEN

Educates adalah kata latin dari pendidikan, dengan penjabaran educare dan

educere. Educare artinya “merawat, memperlengkapi” dan educere berarti

“membimbing keluar dari…” (Simanjuntak, 2013). Pada dasarnya, pendidikan

Kristen berbeda dengan pendidikan nasional. Berikut definisi pendidikan Kristen

menurut para ahli. Brummelen (2008) mengatakan pendidikan Kristiani adalah

usaha yang dilakukan secara sengaja untuk mengembangkan pemahaman, cara

pandangan, dan mengembangkan kemampuan siswa yang berdasarkan pada

Perintah Agung (Matius 22:37-40). Sedangkan Sidjabat (1996) menjelaskan

keunikkan dari pendidikan Kristen yaitu, menjadikan Alkitab sebagai dasar

pengetahuan. Sementara Knight (2009), menjelaskan pendidikan Kristen bukan

sekadar persekolahan Kristen. Pendidikan Kristen adalah sebuah usaha

pengembalian dan persatuan kembali gambar dan rupa Allah yang telah rusak

akibat dosa. Senada dengan Knight, Douglas Wilson dalam (Tung, 2013),

menjelaskan tujuan dari pendidikan Kristen adalah memulihkan gambar dan rupa

Allah akibat dari keberdosaan manusia menuju kedewasaan yang sejati, sehingga

para murid dapat memenuhi mandat penciptaan.

Pendapat para ahli mengenai pendidikan Kristen, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pendidikan Kristen adalah usaha yang dilakukan untuk mengembalikan

gambar dan rupa Allah dari keberdosaan manusia. Dengan bersumber pada Alkitab

sebagai dasar pengetahuan dan kebenaran yang mutlak, dengan tujuan untuk

membawa manusia kepada kedewasaan yang sejati serta menjalankan mandat

ciptaan yang telah Tuhan berikan. Alkitab memberitakan Kasih Allah yang

dinyatakan di dalam Kristus Yesus yang menjadi pusat dalam pemberitaan Injil.

7

Sebagaimana pusat dari pemberitaan Alkitab adalah Allah, maka pelaksanaan

pendidikan Kristen berpusat pada karya Allah melalui Yesus Kristus.

Dalam pendidikan Kristen, pendidik memiliki peran yang sangat khusus. Peran

pendidik tidak hanya sekadar membagikan pengetahuan intelektual kepada peserta

didik, akan tetapi menolong peserta didiknya untuk datang dan mengenal Kristus.

Serta membawa mereka hidup di dalam Dia, dan menolong mereka untuk mengerti

arti kekristenan dalam dunia ini.

Prinsip pendidikan Kristen menurut Wiraatmadja (2017) yang harus

ditekankan adalah sebagai berikut:

1. Allah adalah sumber segala sesuatu. Siswa harus memahami bahwa

segala apapun yang ia butuhkan dan yang ia miliki adalah berasal

dari Allah.

2. Manusia adalah segambar dengan Allah. Artinya guru memandang

siswa sebagai gambar Allah yang berharga. Meski dalam latar

belakang kehidupan yang berbeda, karakter yang mulai rusak, dari

situlah guru berperan sebagai rekan Allah yang telah ditebus dan

telah lahir baru untuk membantu siswa menemukan apa yang Tuhan

inginkan sebagai gambar Allah yang telah jatuh. Siswa menyadari

akan kasih Allah yang memulihkan kembali keadaan manusia yang

telah rusak oleh dosa.

3. Pendidik/ guru adalah roh, jiwa, dan tubuhnya. Hanya oleh Roh

Kudus, seorang guru dapat memancarkan cahaya Kristus pada setiap

muridnya.

8

4. Pendidikan Kristen tidak hanya menuju kepada pemulihan pribadi

manusia, tetapi juga kasih, keadilan, dan kesejahteraan seluruh umat

dan ciptaan lainnya.

Berdasarkan prinsip di atas mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu itu

semuanya berasal dari pada Allah dan menyadarkan umat manusia bahwa manusia

adalah gambar dan rupa Allah. Sehingga, jika diimplementasikan dalam konteks

pendidikan, Allah merupakan sumber dari ilmu pengetahuan, karena segala sesuatu

berasal dari pada Allah. Manusia merupakan gambar dan rupa Allah, tak terkecuali

guru dan siswa. Oleh sebab itu, guru harus memandang siswa sebagai gambar dan

rupa Allah tanpa membedan-bedakan kemapuan yang dimiliki oleh siswa.

berdasarkan prinsip dalam pendidikan Kristen tersebut, Weinata Sairin (2006)

mengatakan hal inilah yang menjadi ciri khas dari pendidikan Kristen, yaitu

memfasilitasi atau menyediakan wadah terhadap proses yang seimbang antara

perkembangan intektual dan perkembangan iman. Jadi tugas utama dari pendidikan

Kristen adalah menolong perkembangan anak supaya terjadinya keseimbangan

anatara perkembangan intelektual dan perkembangan iman. Itulah yang menjadi

ciri khas pendidikan Kristen.

KECERDASAN INTELEKTUAL

Manusia merupakan makhluk ciptaan yang paling cerdas dari ciptaan

lainnya. Berbicara mengenai kecerdasan manusia berarti berbicara mengenai otak

dan pikiran sebagai sumber atau penyebab (cause) dari tampilan perilaku manusia

(effect) (Bahaudin, 2007). Kecerdasan intelektual pertama kali diperkenalkan oleh

Alfred Binet yang merupakan ahli psikologi. Alfred (dalam Mataputun, 2018)

9

mengatakan kecerdasan intelektual adalah kecerdasan dari setiap individu yang

hanya bertautan dengan aspek kognitif untuk memecahkan masalah secara logis dan

akademik. Kecerdasan intelektual biasanya disebut dengan inteligensi, Marsuki

(2014) mengatakan inteligensi individu adalah kapasitas umum menghadapi

tuntutan dinamika kehidupan. Sedangkan Asteria (2014), mengemukakan bahwa

kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan otak, rasio, nalar-intelektual.

Kecerdasan intelektual tersebut tidak akan berubah ketika seseorang itu beranjak

dewasa, kecuali adanya kemunduran funsi otak seperti penuaan, kecelakaan dan

lain sebagainya. Berdasarkan dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan intelektual adalah kemampuan otak, rasio dan nalar-intelektual dalam

menghadapi tuntutan dinamika kehidupannya.

Dalam konteks pendidikan di skeolah, kecerdasan intelektual itu sangat

penting. Hal ini dikemukan Ngalim (2013) yang mengatakan kecerdasan intelektual

adalah kesanggupan seseorang menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, serta

berpikir sesuai dengan tujuan yang ingin diraih. Kemampuan yang harus dimiliki

siswa untuk dapat memikirkan tujuan yang ingin diraih dan kemampuan dalam

menyesuaikan diri. Wiramihardja (2013) mengemukakan adanya indikator dalam

kecerdasan intelektual, yaitu (1) kemampuan figur, artinya kemampuan dalam

memahami di bidang bentuk (2) kemampuan verbal, adalah kemampuan dalam

memahami nalarar dibidang bahasa dan (3) kemampuan numerik, adalah

kemmapuan dalam memahami yang berkaitan dengan angka dan logika.

10

SPIRITUALITAS

Spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti “roh”, “jiwa”, “sikap

batin”. Drewes & Mojau (2007) menggunakan “sikap batin” untuk

mendeskripsikan spiritualitas. Jadi, spiritualitas menurut Drewes & Moujau adalah

kehidupan yang mencerminkan pikiran, perkataan dan perbuatan sesuai dengan

Firman Tuhan yang hidup. Sedangkan menurut Heryatno (2008), spiritual adalah

hidup menurut bimbingan Roh atau hidup di dalam Roh. Senada dengan Heryatno,

Groenen (1993) juga mendeskripsikan spiritualitas sebagai hidup nyata orang

Kristen yang diurapi oleh Roh Kudus. Sedangkan menurut Rosito (2010), spiritual

adalah upaya memelihara sesuatu yang bermakna dalam kehidupannya. Sedangkan

Hawari (2002) menguraikan bahwa spiritualitas bersifat multidimensi, yaitu

dimensi eksistensi dan dimensi agama. Dimensi eksisitensi berhubungan dengan

tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama adalah hubungan dengan

Tuhan Yang Maha Esa.

Berbeda dengan dua definisi mengenai spiritualitas di atas, sprititual

Kristiani menjelaskan adanya kehidupan rohani yang dipimpin oleh Roh. Thomas

(2010) mengatakan spiritualitas hidup Kristiani menunjukkan hidup rohani yang

dipimpin oleh Roh Kudus untuk semakin mengimani dan mencintai Tuhan Yesus

Kristus secara total. Nainggolan (2007) mendefinisikan spiritualitas merupakan

gaya hidup rohani seseorang tentang pemahamannya akan Allah. Sementara

spiritualitas menurut Victor (dalam Tanya, 1996) adalah sikap hidup yang

memberlakukan kebaikan Allah di kehidupannya. Dalam Galatia 5:22-23

mengatakan Buah Roh merupakan sikap hidup yang dimiliki oleh kekristenan

dalam kehidupannya. Berdasarkan pengertian di atas, spiritualitas adalah hubungan

11

pribadi seseorang dengan Allah yang dipimpin oleh Roh Kudus sehingga menjadi

gaya hidup di kehidupannya sehari-hari.

Dalam pendidikan Kristen, spiritualitas merupakan bagian yang perlu

diperhatikan dan perlu ditekankan. Penekanan spiritualitas ini adalah meneladani

Yesus Kristus. Hal ini merupakan perintah Yesus untuk meneladani-Nya yang

terdapat dalam Yohanes 13:15 Yesus berkata “sebab Aku telah memberikan suatu

teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat

kepadamu”. Kehidupan Yesus yang dapat kita teladani adalah, hidup di dalam Roh

Kudus, tekun di dalam doa serta hidup berdasarkan Firman Tuhan (Billy & Keating,

2009).

Berdasarkan pemaparan di atas, spiritualitas adalah kehidupan yang

mencerminkan pikiran, perkataan dan perbuatan yang sesuai dan sejalan dengan

Firman Tuhan. Kehidupan yang sesuai dan sejalan dengan Firman Tuhan dipimpin

oleh pimpinan Roh Kudus di dalam kehidupan orang percaya. Kehidupan

spiritualitas orang percaya akan menghasilkan Buah Roh di dalam kehidupan

sehari-hari melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya. Dalam pendidikan

Kristen, spiritualitas merupakan bagian yang perlu ditekankan.

PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN

Guru merupakan salah satu bagian dari komponen pendidikan yang dapat

berinteraksi dan dapat mempengaruhi komponen-komponen dari pendidikan

lainnya. Oleh karenanya, peran guru dalam pendidikan sangatlah penting, karena

memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan praktik pendidikan terhadap peserta

didik yang menjadi suatu tanggung jawab dalam mengembangkan semua potensi

12

yang telah dikaruniakan Allah kepada peserta didik secara optimal (Syafril & Zen,

2017). Oleh sebab itu, guru haruslah orang yang memiliki kompetensi khusus di

bidang pendidikan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun

2005 (UU RI No.14/2005), guru memiliki tugas untuk mendidik, mengajar,

membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Pepatah Jawa

mengatakan guru itu “digugu lan ditiru, digugu omongane lan ditiru kelakuannya”

artinya, seorang guru adalah sosok yang dapat dipercaya omongannya dan dapat

dicontoh tindakannya (Suprihatiningrum, 2014). Berdasarkan pepatah Jawa ini,

guru memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupannya, terlebih khusus bagi

peserta didik. Izzan (2012) mengemukakan peran penting seorang guru dalam

pendidikan, yaitu: 1) Sebagai demonstrator, guru harus terampil dalam memahami

kurikulum mampu menjabarkan tujuan pembelajarannya dengan jelas, dan dapat

menggunakan metode-metode pembelajaran secara optimal. Selain itu, guru harus

senantiasa meningkatkan kemampuannya supaya ia dapat menyampaikan

pengetahuannya kepada siswa dengan baik; 2) Sebagai pengelola kelas, mampu

menciptakan suasana kelas yang aman, hangat, kondusif dan menarik; 3) Sebagai

mediator dan fasilitator, kecakapan untuk mememilih, menyediakan, dan

menggunakan media pembelajaran bagi siswa. Fasilitator artinya memberikan

fasilitas belajar yang memadai bagi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran,

baik berupa buku, narasumber, buku bacaan, dan sumber-sumber lainnya; 4)

Sebagai evaluator, memiliki kewajiban untuk melakukan proses evaluasi

pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat ketercapaian tujuan

pembelajaran dan menilai hasil nelajar siswa.

13

Brummelen (2008) juga menuliskan metafora peran guru di dalam bukunya,

metafora-metafora tersebut diantara lain sebagai berikut:

a. Guru sebagai seniman

Sebagai seniman, seorang guru harus mampu mengajar dengan kreatif.

Guru tidak memperlakukan siswa sebagai objek namun membantu

mereka untuk memperoleh pemahaman pandangan dan hikmat Tuhan

dalam proses pembelajaran.

b. Guru sebagai teknisi

Sebagai teknisi, seorang guru akan melakukan proses pembelajaran

secara terstruktur dan spesifik untuk mencegah terjadinya masalah yang

akan terjadi di kelas.

c. Guru sebagai fasilitator

Menyediakan fasilitas belajar dan motivasi bagi siswanya supaya siswa

mampu menciptakan pemahaman dan tafsirannya masing-masing, guru

bukan hanya sekadar memberikan fasilitas kepada siswanya tetapi juga

membagikan wawasan dan memacu siswa untuk menggunakan

bakatnya.

d. Guru sebagai pembawa cerita

Seorang guru seharusnya merancang pembelajaran dan

membawakannya dalam sebuah “cerita” supaya suasana kelas tidak

tegang selama proses pembelajaran berlangsung.

14

e. Guru sebagai pengrajin

Melakukan kegiatan pembelajaran yang reflektif, tekun, dan terampil.

Dalam hal ini, guru bertanggung jawab untuk membantu menempa

kepribadian para siswa dan memengaruhi cara siswa memandang hidup.

f. Guru sebagai pelayan

Seorang guru adalah pelayan atas ilmu pengetahuan, karakteristik siswa,

lingkungan sekolah, dan penginstruksian. Dasar Alkitab yang

menggambarkan seorang pelayan tertulis dalam Matius 25:14-30

(perumpamaan tentang taleta). Berdasarkan ayat ini, guru bertanggung

jawab untuk mengembangkan talenta yang sudah Tuhan berikan

kepadanya untuk melayani para siswa.

g. Guru sebagai imam

Imam bertugas untuk memimpin, demikian juga halnya dengan gur.

Dengan bergantung pada Roh Kudus, guru bertugas untuk memimpin

siswa untuk hidup benar dan kudus di dalam Tuhan.

h. Guru sebagai penuntun

Seorang penuntun, guru bertanggung jawab menuntun para siswa untuk

hidup di jalan hikmat. Supaya dapat menuntun para siswa, seorang guru

perlu membuat struktur kelas untuk menanamkan kebenaran, keadilan,

kasih saying, dan rasa hormat kepada siswa. Dasar Alkitab yang

mengajarkan guru unuk menjadi penuntun tertulis dalam Amsal 4:11.

Seperti guru pada umumnya, seorang guru Kristen juga harus memiliki

karakteristik tertentu. Karakteristik guru Kristen berbeda dengan guru pada

umumnya. Syarat guru Kristen haruslah sudah lahir baru di dalam Kristus. Seorang

15

guru yang telah dilahirbarukan akan mampu mentransformasikan murid-muridnya

dengan pimpinan dari Roh Kudus. Hal ini dikarenakan seorang guru Kristen

memiliki tanggung jawab yang sangat penting, yaitu melaksankan Amanat Agung

(Matius 28:19-20).

Sebagai pribadi yang digugu dan ditiru, seorang guru juga berperan sebagai

role model yang nyata. Secara tidak lansung para murid akan meniru berbagai hal

yang dilakkan oleh gurunya. Oleh karena itu, teladan guu merupakan mata tombak

pendidikan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi modern apapun saat ini.

Meskipun teknologi semakin canggih, namun peran seorang guru sebagai pengajar

dan pendidik tidak bisa digantikan dengan teknologi (Dewi, 2017).

Guru Kristen adalah guru yang mengajarkan prinsip iman Kristen yang

berlandaskan dengan Alkitab. Mengaktualisasikan imannya dalam menjalani

kehidupan. Pada satu sisi, guru berperan membimbing siswa dalam meningkatkan

kemampuan akademik. Namun, di sisi lain guru berperan dalam pembentukan

kerohanian siswanya. Dalam melakukan dua hal tersebut, guru Kristen dapat

meneladani Yesus Kristu. Hal ini jelas terdapat dalam Markus 1:2, dalam ayat ini

dikatakan bahwa pengajaran Yesus berbeda dengan nabi-nabi lainnya. Tujuan

Yesus dalam mengajar adalah membentuk keyakinan yang teguh, memiliki

hubungan yang baik dengan Allah dan sesama. Oleh sebab itu, guru Kristen dalam

menjalankan tugasnya haruslah melihat teladan ideal dari Yesus Kristus (Utomo,

2017).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa seorang guru bukan hanya sebagai

pengajar dan pendidik namun, seorang guru Kristen harus mampu memperkenalkan

Kristus kepada siswanya. Seorang guru Kristen harus mampu mengajar dengan

16

kasih dan sepenuh hati tanpa merasa terbebani atas setiap tugas yang harus

dikerjakan.

PEMBAHASAN

Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26), yang

artinya memiliki sifat Allah yaitu, kasih dengan tujuan untuk memuliakan Allah.

Anthony (2008) mengatakan manusia merupakan pribadi yang harus

mencerminkan Allah dalam kehidupannya. Namun, akibat kajatuhan manusia ke

dalam dosa mengakibatkan, manusia memberontak kepada Allah (Erickson, 2003),

sehingga sifat kasih itu hilang dalam diri manusia. Sifat yang bertentangan dengan

sifat Allah pun menjadi sifat asli manusia, diantaranya adalah iri hati, dengki,

cemburu, kebencian dan sifat kedagingan lainnya. Sehingga tidak heran, manusia

dewasa ini tidak memiliki relasi yang baik dengan sesamanya. Hal ini dikarena sifat

kedagingan yang dimiliki oleh manusia, sifat iri hati, dengki dan cemburu terhadap

sesama, Sehingga menimbulkan tindakan-tindakan kriminal yang menyakati

sesama manusia.

Ketika manusia jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3), hubungan manusia

dengan Allah menjadi terpisah, Berkhof (2017) mengatakan akibat dari

keberdosaan manusia, seluruh natur yang ada pada diri manusia tidak ada yang

tidak tersentuh oleh dosa. Kondisi ini membuat manusia tidak bisa berbuat apa-apa,

sehingga Allah yang penuh kasih itu berinisiatif untuk menyelamatkan manusia dari

dosa. Dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus mati di kayu

salib untuk menebus dosa manusia. Melalui kematian-Nya manusia yang

terbelenggu oleh dosa diselamatkan dan membawa kita dalam kerajaan Allah

17

(Kolose 1:3). Sehingga melalui Karya Salib, sifat iri hati, dengki, kecemburuan

dan tindakan yang menyakiti sesama manusia dipulihkan melalui Karya Roh Kudus

di dalam hati manusia sehingga memiliki kasih Kristus di dalam kehidupan

manusia.

Melalui pendidikan menjadikan manusia menjadi yang lebih baik, karena

pendidikan ada untuk memanusiakan manusia (Prayitno, 2009). Dalam hal ini,

peran pendidikan Kristen sangat diperlukan dalam membawa peserta didik masuk

ke dalam kerajaan Allah. Tujuan dari pendidikan Kristen sendiri adalah

membimbing peserta didik untuk dapat kembali kepada Allah, mencerminkan

gambar dan rupa Allah dalam kehidupan mereka. Pendidikan Kristen memfasilitasi

kehidupan spiritualitas peserta didik dengan dibimbing secara terus-menerus untuk

memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak akibat dosa hingga menjadi

pribadi dewasa yang sejati.

Berbicara mengenai pendidikan, ada perbedaan yang mendasar antara

pendidikan nasional dan pendidikan Kristen. Pendidikan nasional berdasarkan pada

UUD 1945, sedangkan pendidikan Kristen berdasarkan pada Firman Tuhan yang

terdapat dalam Alkitab. Secara sekilas keduanya memiliki persamaan yaitu

membawa murid mengalami perubahan dalam berpikir dan bertindak. Akan tetapi,

jika diperhatikan, pendidikan Kristen memiliki tujuan yang jelas, yaitu

mengembalikan gambar dan rupa Allah yang telah rusak akibat dosa. Dosa

membawa manusia berpisah jauh dari Allah. Inilah yang menjadi tujuan dari

pendidikan Kristen yaitu membawa manusia yang terpisah karena dosa untuk

datang dan berkumpul bersama Allah.

18

Akan tetapi, ketidakpahaman guru-guru Kristen akan peran mereka dalam

pendidikan Kristen merupakan menjadi salah satu faktor utama mengapa

pendidikan Kristen seringkali gagal dalam mendidik siswanya memiliki karakter

yang serupa dengan Kristus. Meskipun tidak semuanya, namun cukup banyak

sekolah Kristen yang lebih mengutamakan pengembangan intelektual tanpa

memperhatikan pengembangan spiritualitas siswa di dalam proses pembelajaran.

Buku yang berjudul “Surat-surat untuk Lisa” (2013) mengatakan bahwa sekolah

yang mengagungkan keunggulan akademik sesungguhnya telah menyembah

kepada berhala, yaitu berhala intelektualitas. Intelektulitas mencoba meyakinkan

bahwa manusia harus memiliki pemikiran yang rasional. Namun, seharusnya guru

Kristen tidak boleh memiliki pemikiran seperti itu, karena tujuan dari pendidikan

Kristen adalah memperlengkapi peserta didik secara keseluruhan, khususnya di

kehidupan spiritualitas siswa dalam mengembalikan gambar dan rupa Allah yang

telah jatuh ke dalam dosa. Kurangnya kesadaran guru akan perannya dalam

pendidikan Kristen ini mengakibat peserta didik lupa akan keberadaan Allah

sehingga mengakibatkan mereka untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang

tidak mencerminkan karakter Allah di kehidupan mereka. Mengembangkan

intektual siswa penting demikian juga dengan mengembangkan spiritualitas siswa.

Akan lebih baik, jika kedua hal tersebut dapat dijalankan secara beriringan.

Zonar dan Marshall (2002) mendeskripsikan bahwa kecerdasan spiritulitas

memiliki peran utama dalam kehidupan. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan

hati nurani yang lebih bermakna dibandingkan dengan kecerdasan-kecerdasan yang

lain. Mengingat definisi dari pendidikan bahwa tugas guru adalah mengembangkan

potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Kecerdasan spiritual merupakan potensi

19

yang harus dimiliki peserta didik, karena pengaruh dari kecerdasan spiritual sangat

besar dalam kehidupan peserta didik. Oleh sebab itu, guru memiliki peran yang

sangat yang sangat besar dalam membangun spiritualitas siswa dan tanpa

mengabaikan mengembangkan intelektualitas siswa. demikian juga sebaliknya,

Dengan demikian maka tujuan dari pendidikan Kristen adalah sarana

memfasilitasikan atau membimbing peserta didik agar dapat mengenal Allah akan

tercapai dengan adanya kesadaran dari seorang guru Kristen. Membangun

spiritualitas siswa tidak kalah penting dari pengembangan intelektualitas siswa.

Oleh sebab itu, jangan jadikan intelektualitas sebagai berhala di dalam

pembelajaran yang dilakukan guru, akan sia-sia jika mendidik siswa menjadi pintar

akan tetapi tidak memiliki kehidupan spiritualitas.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Pendidikan adalah salah satu hal yang diperlukan dalam kehidupan

manusia. Terutama pendidikan Kristen yang menjadi sarana bagi peserta didik

untuk dapat mengembangkan kehidupan spiritualitasnya. Pendidikan tidak hanya

selalu berbicara mengenai intelektual tetapi pendidikan juga harus menyeluruh

sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Dalam pendidikan Kristen, guru memiliki

peran yang sangat khusus. Peran guru Kristen tidak hanya membagikan

pengetahuan intelektual kepada peserta didik, akan tetapi menolong peserta

didiknya untuk datang dan mengenal Kristus, yaitu membangun spiritualitas siswa

dengan mengintegrasikan pembelajaran dalam wawasan Alkitabiah, sharing his life

atau dengan mengadakan devotion sebelum memulai pembelajaran. Oleh sebab itu,

20

guru memiliki peran dalam membangun spiritualitas siswa. Dengan demikian maka

tujuan dari pendidikan Kristen akan tercapai dengan adanya kesadaran dari seorang

guru Kristen. Oleh sebab itu, jangan jadikan intelektualitas sebagai berhala di dalam

pembelajaran yang dilakukan guru, akan sia-sia jika mendidik siswa menjadi pintar

akan tetapi tidak memiliki kehidupan spiritualitas.

SARAN

Tujuan Pendidikan Kristen berbeda dengan tujuan pendidikan nasioal,

karena tujuan pendidikan Kristen membimbing dan memfasilitasi kehidupan

spiritualitas peserta didik. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru memiliki peran

yang sangat besar. Adapun saran penulis adalah seorang guru harus menyadari

perannya di dalam pendidikan Kristen dan sebaiknya guru mengajarkan peserta

didik secara menyeluruh baik itu intelektulitas dan spiritualitas. Tidak hanya

memprioritaskan aspek intelektual, akan tetapi harus secara keseluruhan.

21

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. C., Suryadi, K., & Karyono, T. (2009). Etnopedagogi landasan

praktek pendidikan dan pendidikan guru. Bandung: PT Duna Pustaka

Jaya.

Asteria, P. V. (2014). Mengembangkan kecerdasan spiritual anak melalui

pembelajaran membaca sastra. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Astuti, S. I. (2010). Pendekatan holistik dan kontekstual dalam mengatasi krisis

karakter di indonesia. Caklawala pendidikan, jurnal ilmiah pendidikan,

41-58. doi:10.21831/cp.v1i3.234

Bahaudin, T. (2007). Brainware leadership mastery: Kepemimpinan abad otak

dan milenium pikiran. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Berkhof, L. (2017). Teologi sistematis volume 2: doktrin manusia. Surabaya:

Momentum.

Billy, D. J., & Keating, J. F. (2009). Suara hati dan doa belajar terbuka pada

kebenaran. Yogyakarta: Kanisius.

Chomaidi, & Salamah. (2018). Pendidikan dan pengajaran: Strategi

pembelajaran sekolah. Jakarta: PT Grasindo.

Darmadi, H. (2019). Pengantar pendidikan era globalisasi: Konsep dasar, teori,

strategi dan implementasi dalam pendidikan globalisasi. An1mage.

Dewi, A. A. (2017). Guru mata tombak pendidikan. Sukabumi, Jawa Barat: Jejak

Publiser.

Drewes, B. F., & Mojau, J. (2007). Apa itu teologi: pengantar ke dalam ilmu

teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Dyk, J. (2013). Surat-surat untuk Lisa: Percakapan dengan seorang guru Kristen.

Tangerang: UPH Press.

Erickson, M. J. (2003). Teologi Kristen volume 2. Malang: Gandum Mas.

22

Groenen, C. (1993). Perkawinan sakramental: Anthropologi dan sejarah teologi,

sistematik, spiritualitas, pastoral. Yogyakarta: Kanisius.

Hawari, D. (2002). Dimensi religi dalam paktek psikiatry dan psikologis. Jakarta:

FKUI.

Heryatno, W. (2008). Diktat pendidikan agama katolik sekolah. Yogyakarta.

Hoekema, A. A. (2008). Manusia: Ciptaan menurut gambar Allah. Surabaya:

Momentum.

Indonesia, P. R. (2003). Undang-undang republik indonesia nomor 20 tahun 2003

tentang pendidikan nasional. Retrieved Juni 11, 2019, from

https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-

content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf:

https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-

content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf

Izzan, A. (2012). Membangun guru berkarakter. Bandung: Humaniora.

Kadir, A. (2012). Dasar-dasar pendidikan. Jakarta: Prenadamedia Group.

Kamal, M. (2016). Restrukturisasi pendidikan menuju bangsa berkarakter.

Madaniyah: Terciptanya insan akademis berkualitas & berakhlak mulia,

35-44. Retrieved Juli 4, 2019, from

https://doaj.org/search?source=%7B%22query%22%3A%7B%22query_st

ring%22%3A%7B%22query%22%3A%22restrukturisasi%20pendidikan

%20berkarakter%22%2C%22default_operator%22%3A%22AND%22%7

D%7D%2C%22from%22%3A0%2C%22size%22%3A10%7D

Knight, G. R. (2009). Filsafat & pendidikan: Sebuah pendahuluan dari perspektif

kristen. Jakarta: Universitas Pelita Harapan Press.

Marsuki. (2014). Kualitas kecerdasan intelektual generasi pembaru masa depan.

Malang: Universitas Brawijaya Press.

Mataputun, Y. (2018). Kepemimpinan kepala sekolah berbasis kecerdasan

intelektual, emosional, dan spiritual terhadap iklim sekolah. Ponorogo:

Uwais Inspirasi Indonesia.

23

Musfah, J. (2012). Membumikan pendidikan holistik. Jakarta: Kencana, Prenada

Media Group.

Nainggolan, J. M. (2007). Menjadi guru agama kristen. Bandung: Generasi Info

Media.

Neolaka, A., & Neolaka, G. A. (2017). Landasan pendidikan dasar pengenalan

diri sendiri menuju perubahan hidup. Depok: Kencana.

Noprendi. (2011, April 16). Sekolah unggulan dan terfavorit di tana toraja dan

toraja utara. Retrieved from torajastory.wordpress.com:

https://torajastory.wordpress.com/2011/04/16/sekolah-unggulan-dan-

terfavorit-di-tana-toraja-dan-toraja-utara/

Prayitno. (2009). Dasar teori dan praksis pendidikan. Grasindo.

Purwanto, N. (2013). Psikologi pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rosito, A. C. (2010). Spiritualitas dalam perspektif psikologi positif. Journal Visi

18 (1), 29-42.

Sairin, W. (2006). Identitas dan ciri khas pendidikan kristen di indonesia antara

konseptual dan operasional. Jakarta: Gunung Mulia.

Sidjabat, B. S. (1996). Strategi pendidikan kristen: Suatu tinjauan teologis-

filosofis. Yogyakarta: ANDI.

Simanjuntak, J. (2013). Filsafat pendidikan dan pendidikan kristen. Yogyakarta:

ANDI.

Suprihatiningrum, J. (2014). Pedoman kinerja, kualifikasi, dan kompetensi guru.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Syafril, & Zen, Z. (2017). Dasar-dasar ilmu pendidikan. Depok: Kencana.

Tanya, V. (1996). Spiritual, pluralitas dan pembangunan di indonesia. Jakarta:

BPK Gunung Mulia.

24

Thomas, P. R. (2010). Katolisisme: Teologi bagi kaum awam. Yogyakarta:

Kanisius.

Trihandini, F. M. (2005, May 07). Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual,

Kecerdasan Emosi, dan Kecerdasaran Spiritual Terhadap Kinerja

Karyawan. Retrieved from RAFM Trihandini - 2005 - eprints.undip.ac.id:

http://eprints.undip.ac.id/10280/1/2005MM4261.pdf

Tung, K. Y. (2013). Filsafat pendidikan kristen: Meletakkan fondasi dan fIlosofi

pendidikan kristen di tengah tantangan filsafat dunia. Yogyakarta: ANDI.

Utomo, B. S. (2017). (R)evolusi guru pendidikan agama kristen dalam

mentransformasi kehidupan siswa. Vol. 1 DUNAMIS (Jurnal Teologi dan

Pendidikan Kristiani, 3-5.

Van Brummelen, H. (2008). Batu loncatan kurikulum. Jakarta: Universitas Pelita

Harapan.

Wiraatmadja, T. (2017). Prinsip-prinsip filsafat pendidikan kristen. Jurnal Teologi

Injili, 58-59.

Wiramihardja, S. A. (2013). Pengantar psikologi klinis. Jakarta: Gramedia.

Zonar, D., & Marshall, I. (2002). SQ: Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam

berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan. Bandung:

Mizan Media Utama.