1
Proposal Penelitian
KAJIAN KETERKAITAN PRODUKSI, PERDAGANGAN DAN KONSUMSI UBI JALAR UNTUK MENINGKATKAN 30% PARTISIPASI KONSUMSI MENDUKUNG PROGRAM
PENGANEKARAGAMAN PANGAN DAN GIZI
Abstrak Peraturan Presiden No 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menekankan pentingnya pengembangan produk pangan yang lebih beranekaragam baik dari sisi produksi dan penyediaan maupun konsumsinya. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui program diversifikasi baik dari aspek produksi komoditas, pengembangan produk, konsumsi, dan kemampuannya dalam meningkatkan pendapatan petani. Ubi jalar merupakan salah satu bahan pangan lokal yang berpotensi untuk dikembangkan. Terkait hal tersebut, penelitian bertujuan untuk mengkaji keterkaitan produksi, perdagangan dan konsumsi untuk meningkatkan 30% partisipasi konsumsi ubi jalar di Indonesia. Secara rinci tujuan penelitian adalah untuk: (1) Menganalisis peta produksi ubi jalar di kawasan sentra produksi, (2) Menganalisis peta perdagangan ubi jalar antara wilayah sentra produksi dan konsumsi, (3) Menganalisis peta konsumsi komoditas ubi jalar berdasar karakteristik rumah tangga, (4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi paritisipasi konsumsi ubi jalar, dan (5) Merumuskan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan partisipasi konsumsi ubi jalar mendukung kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Metoda pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data sekunder, survei dan wawancara mendalam dengan informan kunci. Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik dengan menggunakan tabel analisis. Data yang digunakan meliputi data sekunder (tingkat nasional, provinsi dan kabupaten contoh) dan data primer (tingkat rumah tangga, kelompok, dan pelaku usaha). Analisis dilakukan dengan cakupan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten contoh dengan melakukan pendalaman di empat provinsi sentra produksi ubi jalar yaitu Papua, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali.
2
I. PENDAHULUAN Latar Belakang
Setelah berhasil dalam peningkatan produksi dan swasembada beras serta jagung,
pembangunan pertanian Indonesia di arahkan ke struktur produksi komoditas yang lebih
beragam. Melalui program diversifikasi dari aspek produksi komoditas, pengembangan produk,
dan diversifikasi konsumsi, serta kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah dan
pendapatan petani diharapkan peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional
dapat ditingkatkan.
Program diversifikasi pertanian sejatinya telah diluncurkan sejak dua dekade lalu,
namun dalam perkembangannya belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan. Dari sisi
konsumsi, diversifikasi atau penganekaragaman konsumsi belum menunjukkan kinerja yang
baik, khusus untuk kelompok pangan sumber karbohidrat, beras masih dominan dalam pola
konsumsi rata-rata rumah tangga di Indonesia. Dengan indikator Pola Pangan Harapan (PPH),
kontribusi energi dari padi-padian (beras termasuk di dalamnya) melebihi standar yang ideal,
sementara itu kontribusi energi dari umbi-umbian masih kurang dari rekomendasi ideal (Badan
Ketahanan Pangan, 2008). Oleh karenanya, pada tahun 2009 pemerintah mengeluarkan
instrumen kebijakan untuk mempercepat terlaksananya diversifikasi pertanian di Indonesia,
khususnya terkait dengan aspek konsumsi. Instrumen kebijakan tersebut tertuang dalam
Peraturan Presiden (Perpres) No 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Operasionalisasi dari
Perpres tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganeka-ragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal (Badan Ketahanan Pangan, 2009).
Dalam upaya mendukung program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumber daya lokal, pengembangan kelompok pangan sumber karbohidrat khususnya
umbi-umbian perlu mendapat perhatian. Di antara kelompok umbi-umbian, ubi jalar merupakan
salah satu bahan pangan lokal yang berpotensi untuk dikembangkan di masa mendatang. Hal
tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa ubi jalar: (1) merupakan sumber karbohidrat ke
empat setelah padi, jagung, dan ubikayu; (2) mempunyai potensi produktivitas yang tinggi; (3)
memiliki potensi diversifikasi produk yang cukup beragam; (4) memiliki kandungan zat gizi yang
beragam, dan (5) memiliki potensi permintaan pasar baik lokal, regional, maupun ekspor yang
terus meningkat.
Namun demikian, pemasaran ubi jalar di Indonesia masih menghadapi masalah yaitu
sistem pemasaran belum efisien dan harga produk lebih banyak ditentukan oleh pedagang
3
yang berakibat pada lemahnya posisi tawar (bargaining position) dan pendapatan petani.
Selain itu, masalah lain terkait dengan ubi jalar adalah produktivitas dan produksi belum
optimal, bersifat musiman, harga cenderung fluktuatif, dan rendahnya kualitas produk ubi jalar
dalam bentuk segar maupun olahan. Kegiatan pasca panen dan pengolahan hasil yang belum
optimal juga berakibat pada rendahnya kualitas produk, dan nilai tambah yang diterima petani
serta terbatasnya pilihan bentuk produk olahan sesuai preferensi konsumen. Performa tersebut
mengindikasikan belum terciptanya sinergi yang harmonis antar pelaku usaha dalam sistem
jaringan rantai pasok ubi jalar yang bermuara pada relatif rendahnya tingkat partisipasi dan
konsumsi ubi jalar di Indonesia. Oleh karena itu, upaya meningkatkan partisipasi konsumsi
pangan berbasis sumberdaya lokal khususnya ubi jalar terkait dengan program percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi penting untuk dikaji.
Perumusan masalah
Fakta yang ada menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dan konsumsi ubi jalar di
Indonesia masih rendah, padahal secara geografis dan agronomis Indonesia memiliki
kemampuan untuk menghasilkan ubi jalar. Bahkan semua wilayah provinsi di Indonesia
merupakan produsen ubi jalar. Dikaitkan dengan program percepatan penganeka-ragaman
konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, pengembangan kelompok pangan sumber
karbohidrat khususnya umbi-umbian perlu mendapat perhatian. Diantara kelompok umbi-
umbian, ubi jalar merupakan salah satu bahan pangan lokal yang berpotensi untuk
dikembangkan di masa mendatang.
Permasalahan pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah mengapa tingkat
partisipasi dan konsumsi ubi jalar di Indonesia masih rendah. Dalam rangka mendukung
program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, upaya-
upaya apa yang diperlukan untuk meningkatkan 30% partisipasi konsumsi ubi jalar di Indonesia.
Untuk menjawab permasalahan tersebut diperlukan kajian yang komprehensif dari aspek
produksi, penanganan panen dan pasca panen/pengolahan, dan perdagangan/pemasaran ubi
jalar yang ada selama ini dan bagaimana keterkaitan antar aspek tersebut dalam kerangka
jaringan rantai pasok. Selain itu juga perlu diidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi
tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar di Indonesia.
Permasalahan yang dihadapi di sisi produksi khususnya di sentra-sentra produksi ubi
jalar Indonesia terutama adalah belum terwujudnya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan,
dan kuantitas yang sesuai dengan permintaan pasar atau preferensi konsumen, terutama
apabila ditujukan untuk industri pengolahan atau pasar ekspor. Hal tersebut berkaitan dengan
4
beberapa permasalahan dan kendala pokok berikut : (1) Pola pemilikan lahan yang sempit dan
tersebar, tidak adanya sistem pewilayahan pengembangan, dan sistem usahatani yang bersifat
sporadis; (2) Lemahnya permodalan petani, meskipun usahatani ubi jalar bukan tergolong padat
modal; (3) Rendahnya penguasaan teknologi yang dikuasai petani baik dari aspek pembibitan,
budidaya, maupun kegiatan penanganan pasca panen menyebabkan produktivitas dan mutu
produk yang dihasilkan rendah; (4) Tidak adanya keseimbangan dan kesamaan standar
kualitas antara produksi ubi jalar di daerah sentra produksi dengan permintaan di pusat-pusat
konsumsi; (5) Harga produk umbi-umbian relatif berfluktuasi baik akibat panen yang bersifat
musiman, penanganan pasca panen yang belum prima, diversifikasi pengolahan hasil yang
masih terbatas, serta terbatasnya perluasan pasar; (6) Pemasaran produk yang belum efisien
dan bagian keuntungan yang diterima petani relatif rendah; dan (7) Kebijakan dan strategi
pemerintah yang kurang kondusif dan bias pada komoditas padi, dan palawija utama yaitu
jagung dan kedelai sehingga petani dan para pelaku tataniaga ubi jalar mengalami dis-insentif
dalam memproduksi, melakukan kegiatan pasca panen, pengolahan hasil, serta dalam kegiatan
distribusi dan perdagangan produk ubi jalar.
Justifikasi
Dalam kerangka pengembangan agribisnis suatu komoditas termasuk ubi jalar, setiap
kegiatan dimulai dari kegiatan pengadaan sarana produksi, kegiatan produksi, hingga kegiatan
pengolahan dan pemasaran hasil, serta kegiatan jasa penunjang umumnya dilakukan oleh
pelaku agribisnis yang berbeda. Simatupang (1995) mengemukakan bahwa struktur agribisnis
yang berkembang saat ini dapat digolongkan sebagai tipe dispersal atau tersekat-sekat.
Struktur agribisnis demikian menurut Simatupang (1995) kurang memiliki dayasaing, karena
tiga faktor utama: (1) tidak ada keterkaitan fungsional yang harmonis antara setiap kegiatan
agribisnis dengan kegiatan lainnya karena masing-masing pelaku agribisnis mengambil
keputusan sendiri-sendiri dalam menjalankan usahanya, konsekuensinya adalah dinamika
pasar tidak selalu dapat direspon secara efektif karena tidak adanya koordinasi; (2)
terbentuknya margin ganda sehingga ongkos produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil yang
harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal; dan (3) tidak adanya kesetaraan posisi tawar
antara petani dengan pelaku agribisnis lainnya, sehingga petani sulit mendapatkan harga pasar
yang wajar dan sebagian besar nilai tambah tidak dapat dinikmati oleh petani.
Apabila konsep agribisnis tersebut dikaitkan dengan keragaan pengembangan ubi jalar
di Indonesia, relatif rendahnya partisipasi konsumsi ubi jalar diduga terkait dengan kinerja dan
jejaring rantai pasok mulai dari sisi produksi, penanganan panen dan pasca panen/pengolahan
5
serta pemasaran/perdagangan ubi jalar. Oleh karena itu kajian tentang ”Keterkaitan Produksi,
Perdagangan dan Konsumsi Ubi jalar untuk Meningkatkan 30% Partisipasi Konsumsi
Mendukung Program Penganekaragaman Pangan dan Gizi”, sangat relevan untuk dilakukan.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk mengkaji keterkaitan produksi, perdagangan
dan konsumsi untuk meningkatkan 30% partisipasi konsumsi ubi jalar di Indonesia. Secara rinci
tujuan penelitian adalah untuk:
1. Menganalisis peta produksi ubi jalar di kawasan sentra produksi,
2. Menganalisis peta perdagangan ubi jalar antara wilayah sentra produksi dan konsumsi,
3. Menganalisis peta konsumsi komoditas ubi jalar berdasar karakteristik rumah tangga,
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi paritisipasi konsumsi ubi jalar, dan
5. Merumuskan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan partisipasi konsumsi ubi jalar
mendukung program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber
daya lokal.
Keluaran Penelitian 1. Hasil pemetaan wilayah produksi ubi jalar di kawasan sentra produksi,
2. Hasil pemetaan perdagangan ubi jalar antara wilayah sentra produksi dan konsumsi,
3. Hasil pemetaan konsumsi komoditas ubi jalar berdasar karakteristik rumah tangga,
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi konsumsi ubi jalar, dan
5. Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan partisipasi konsumsi ubi jalar mendukung
program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal.
II. TINJAUAN PUSTAKA Aspek Produksi
Dalam peta produksi ubi jalar dunia, Indonesia merupakan negara produsen ubi jalar ke
tiga di dunia setelah RRC dan Vietnam (Woolfe, 1992 dalam Van de Fliert, et. al., 2000).
Produksi ubi jalar Indonesia tersebar di seluruh provinsi dengan wilayah sentra produksi utama
adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, NTT, dan Papua
(BPS, 2008). Potensi pengembangan komoditas ubi jalar masih dapat ditingkatkan baik dari sisi
ketersediaan lahan maupun produktivitas. Dalam hal ini, ubi jalar dapat dibudidayakan pada
lahan sawah maupun lahan kering atau tegalan, di dataran tinggi maupun rendah dengan
6
pengembangan teknologi budidaya, pasca panen, dan pengolahannya (Rahayuningsih, et al.
2000; Rahayuningsih, et al. 1999).
Karakteristik sistem produksi ubi jalar di Indonesia saat ini dicirikan oleh: (1) Skala
usaha dan penggunaan modal kecil, (2) Penerapan teknologi usahatani belum optimal, (3) Sifat
usahatani bersifat sporadis dan cenderung ditempatkan sebagai tanaman sampingan atau
penyela, (4) Kurang tersedianya bibit bermutu menurut agroekosistem, sehingga
mempengaruhi mutu bahan baku dan produk olahan, dan (5) Belum adanya sistem
pewilayahan produksi komoditas ubi jalar.
Aspek Permintaan dan Konsumsi
Ditinjau dari sisi permintaan, permintaan ubi jalar di pasar domestik terus meningkat baik
dalam bentuk konsumsi segar maupun olahan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk
dan berkembangnya teknologi penanganan pasca panen dan pengolahan berbahan baku ubi
jalar. Di masa datang, permintaan industri pangan terhadap ubi jalar diperkirakan meningkat
seiring dengan upaya pengembangan pangan lokal. Dalam hal ini tepung serealia dan umbi-
umbian lokal dapat mensubstitusi terigu dan tepung beras sampai 20 – 50 persen untuk
pembuatan aneka kue, cake, mie dan roti tawar (Richana dan Damardjati dalam Widowati dan
Damardjati, 2001).
Sementara itu permintaan ubi jalar untuk pasar ekspor Malaysia meningkat dari 0.839
juta RM tahun 1997 meningkat menjadi 1.442 juta RM tahun 2000 (Wan Ibrahim Wan Daud,
2002). Sedangkan permintaan untuk pasar Singapura lebih besar lagi, dengan volume impor
gabungan kentang dan ubi jalar mencapai 16,34 ribu ton (Lee Siew Moi, 2002).
Terkait dengan pola konsumsi pangan sumber karbohidrat, Suryani dan Rachman
(2009) menunjukkan bahwa berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang umum dikonsumsi
rumah tangga di perdesaan adalah beras, jagung, terigu, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, dan
umbi-umbian lainnya. Di antara berbagai jenis pangan tersebut, partisipasi konsumsi yang
dominan adalah beras, jagung, terigu, dan ubi kayu. Sedangkan partisipasi konsumsi ubi jalar
di hampar semua provinsi di Indonesia relatif rendah (1.39% - 17.83%), kecuali di Papua Barat
sekitar 42% (BPS, Susenas 2007).
Hasil analisis Suryani dan Rachman (2008) menunjukkan bahwa dalam selang waktu
2002 – 2007 di Indonesia telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok rata-rata rumah
tangga di perdesaan yang mengarah pada pangan berbahan terigu (mie). Diversifikasi pola
konsumsi pangan pokok yang bertumpu pada pangan lokal (beras, jagung, ubi kayu, dan ubi
jalar) di perdesaan hanya terjadi pada kelompok pendapatan rendah dan sedang, sementara
7
kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi justru mengarah pada pola tunggal beras dan
atau beras+terigu. Hal ini perlu diwaspadai mengingat terigu berasal dari gandum yang tidak
diproduksi dalam negeri, ketergantungan pada pangan impor akan mempersulit upaya
mewujudkan kemandirian bahkan kedaulatan pangan nasional.
Penanganan Panen, Pasca Panen/Pengolahan dan Kandungan Nutrisi
Sebagai bahan pangan, ubi jalar dapat dikonsumsi secara langsung dalam bentuk
segar, diolah melalui perebusan/oven dan penggorengan atau diolah menjadi tepung kemudian
dijadikan bahan baku berbagai jenis pangan. peningkatan nilai tambah ubi jalar, antara lain
dapat dilakukan melalui pengolahan menjadi bentuk setengah jadi, seperti tepung ubi jalar yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan substitusi terigu (20 persen sampai 100 persen)
pada produk roti, kue, dan mi (Anonimous, 2008). Penduduk AS lazim membuat sajian
eksklusif dari ubi jalar karena khasiat dan rasanya. Sajian eksklusif tersebut berbentuk cake,
kue kering, pure pelengkap steak atau salad, es krim, puding, muffin, souffle, pancake, kroket,
sup krim, maupun sebagai taburan hidangan panggang.
Damardjati dan Widowati, (1994) menunjukkan bahwa keragaman produk ubi jalar
meliputi: menu produk segar (ubi jalar rebus, obi, timus), pembuatan produk setengah jadi siap
santap (produk ekstrusi, manisan, saus), dan produk olah setengah jadi siap masak (bihun,
snack food, makanan bayi). Bahkan di beberapa negara seperti Cina, Korea, Jepang, Taiwan,
dan Amerika Serikat ubi jalar dimanfaatkan untuk bahan baku industri pasta, produk kalengan,
dan makanan bentuk instan (Kumalaningsih, 1994).
Keunggulan ubi jalar adalah memiliki indeks glisemik 54 yang tergolong rendah yang
berarti karbohidratnya tidak mudah diubah menjadi gula sehingga sangat baik untuk dikonsumsi
penderita diabetes, tidak seperti beras atau jagung (Kunia, 2009). Selain itu pada ubi jalar
berwarna ungu mengandung antosianin yang tinggi bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena
dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, dan pencegah gangguan fungsi hati
(Anonimous 2008). Di Jepang, ubi jalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pawarna
alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan
lemak dalam darah. Pigmen antosianin pada ubi jalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih
stabil bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah.
Menurut Kunia (2009) ubi jalar berwarna merah (kuning) memiliki kandungan serat tinggi
dan sangat baik sebagai penangkal kanker. Kandungan serat oligosakarida yang bertipe larut
pada ubi merah berperan menyedot kolesterol “jahat” di dalam darah, mencegah sembelit,
memudahkan buang angin, menjaga keseimbangan flora usus dan prebiotik serta merangsang
8
pertumbuhan bakteri “baik” pada usus sehingga penyerapan zat gizi lebih efektif. Hanya pada
orang yang sangat sensitif oligosakarida, konsumsi ubi jalar dapat mengakibatkan kembung.
Kandungan betakaroten pada ubi jalar merah (kuning) jauh lebih tinggi (2900 mkg)
dibandingkan ubi jalar putih (260 mkg). Betakaroten pada ubi jalar merah berkhasiat sebagai
"obat mata", pengendali produksi hormon melatonin yang merupakan antioksidan bagi sel dan
sistem saraf otak. Kekurangan zat ini mengakibatkan gangguan tidur dan berkurangnya daya
ingat. Kombinasi betakaroten dan Vitamin E dalam ubi jalar dapat menghalau stroke dan
serangan jantung. Secara rinci, kandungan nutrisi ubi jalar segar dan olahan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Hal penting pada aspek pasca panen antara lain adalah seberapa besar kerusakan
khasiat zat yang terkandung dalam ubi jalar setelah mengalami proses pengolahan. Satu buah
ubi jalar merah mentah ukuran sedang sudah memenuhi 42 % anjuran kecukupan vitamin C
sehari. Dibanding dengan havermut (oatmeal), ubi jalar merah lebih kaya serat, khususnya
oligosakarida. Menyantap ubi jalar merah 2 - 3 kali seminggu membantu kecukupan serat.
Apabila dimakan bersama kulitnya menyumbang serat lebih banyak lagi. Ubi jalar rebus hanya
merusak 10% kadar betakaroten. Sedangkan penggorengan atau pemanggangan merusak
20% betakaroten. Penjemuran malah menghilangkan separuh kandungan betakaroten.
Tabel 1. Analisis Kandungan Nutrisi Ubi Jalar dan Tepung Ubi Jalar di China, 1995
Kandungan Nutrisi Ubi Jalar Segar Tepung Ubi Jalar Murni1)
Tepung Ubi Jalar Kompleks (tepung instan)2)
1. Gula Larut (%) 4,95 39,50 2. Air (%) 72,50 7,06 2,75 3. Protein (%) 1,50 5,56 13,40 4. Lemak (%) 0,17 0,85 8,87 5. Karbohidrat (%) 60,98 6. Serat Kasar 0,62 1,58 2,90 7. Abu (%) 0,62 1,94 3,62 8. Kalsium (%) 268,02 0,13 294,51 9. Pospor (%) 0,043 0,164 118,69 10. Besi (mg/kg) 17,98 74,5 11,66 11. Betacaroten (mg/kg) 14,74 27,58 0,093 12. Vitamin B1 (mg/100 g) 0,132 0,498 0,853 13. Vitamin B2 (mg/100 g) 0,027 0,164 0,32 14. Vitamin C (mg/100 g) 27,00 1,20 29,91 15. Vitamin B5 (mg/100 g) 15,00 20,00 16. Asam amino (%) 9,07
Keterangan 1) berasal dari ubi jalar yang sama; 2) berasal dari tepung dan tambahan beberapa material Sumber: Jiang, et al. 2001.
9
Pengolahan ubi jalar dapat dijadikan: (1) tepung ubi jalar yang mengandung Kadar Air 7
persen, protein 3 persen, lemak 0,54 persen, Serat Kasar 2 persen, abu 2 persen dan pati 60
persen dan (2) tepung instan ubi jalar dengan mutu bervariasi dipengaruhi oleh teknik
pengolahan dan jenis varitas ubi jalar yang digunakan (Suryana, 2006). Kualitas pati yang
dihasilkan dalam proses pembuatan tepung umbi-umbian termasuk ubi jalar dipengaruhi oleh
kegiatan pasca panen, yang meliputi kegiatan panen, penyimpanan, dan pengolahan menjadi
pati, hingga ke penangan pati dan penyimpanannya (Fuglie dan Oates, 2001).
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pasca panen dan pengolahan hasil produk
pertanian, termasuk ubi jalar adalah: (1) skala usaha pasca panen dan pengolahan kecil karena
terbatas modal dan lahan usahatani yang menyebar sehingga butuh biaya untuk
mengumpulkan produk berakibat pada in-efisiensi; (2) masih belum memenuhi standar Good
manufacturing Practices sehingga produk yang dihasilkan tidak mampu bersaing di pasar
domestik dan internasional; ( 3) teknologi pengolahan masih tradisional sehingga produk yang
dihasilkan belum memenuhi standar produk yang memiliki daya jual tinggi; (4) mutu produk
yang dihasilkan umumnya rendah dengan jumlah terbatas sehingga tidak mampu berproduksi
secara kontinu (Damardjati, 2006). Oleh karenanya, Budijanto (2009) menyarankan agar
kegiatan penelitian dan pengembangan menyangkut tepung dan pati berbahan baku lokal
termasuk ubi jalar perlu ditekankan pada upaya memperbaiki karakteristinya sehingga dapat
memperluas aplikasi penggunaannya.
Pengolahan ubi jalar dapat dijadikan keripik, chips, tepung, mie, permen, gula, bahan es
krim dan nasi. Pengembangan olahan nasi beras dilapisi (coating) dengan 30 persen ubi jalar
rasanya tidak berbeda nyata dengan 100 persen nasi beras (Damardjati, 2006). Di Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat sudah berkembang 36 industri kecil yang mengolah ubi jalar menjadi
tepung ubi jalar, chip ubi jalar, kue basah, kue kering, kremes, keripik, dan ice cream (Deperin,
2009).
Aspek Perdagangan/Pemasaran
Jaringan perdagangan komoditas antara lain dipengaruhi oleh sifat komoditas dan
kegunaannya. Makin cepat rusak/busuk suatu produk makin terbatas jaringan perdagangannya.
Demikian juga makin terbatas penggunaannya makin terbatas pula jaringan perdagangannya.
Sebagai komoditas pertanian, ubi jalar termasuk komoditas yang cepat rusak dibandingkan
komoditas secara umum, namun tidak demikian jika dibandingkan sesama komoditas pertanian.
Pada dasarnya ubi jalar dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti konsumsi
langsung, diolah sebagai makanan ringan, dan bahan baku pada berbagai industri. Di Indonesia
10
sekitar 86 persen ubi jalar digunakan untuk konsumsi sebagai pangan substitusi dan/atau
komplemen pangan pokok atau bahkan sebagai pangan pokok (Anonimous, 2008). Selama ini
pencitraan di masyarakat memperlihatkan bahwa ubi jalar merupakan produk inferior. Dengan
status sebagai produk inferior ubi jalar diproduksi hanya untuk kebutuhan subsisten sehingga
perdagangannya terbatas.
Di Papua, masyarakat kota sudah beranggapan bahwa ubi jalar merupakan bahan
pangan masyarakat desa dan ekonomi lemah, sebaliknya masyarakat desa beranggapan ubi
jalar merupakan bahan pangan bernilai sosial tingggi (Limbongan dan Soplanit, 2007).
Terbatasnya sarana transportasi dan industri pengolahan ubi jalar di Papua membatasi usaha
budidaya ubi jalar dan perdagangannnya. Hanya 25 persen dari hasil produksi yang dipasarkan,
75 persen untuk konsumsi manusia dan ternak. Hal yang sama masih berlaku pada
masyarakat di Magelang, namun persepsi tersebut dipengaruhi bentuk produk. Sekitar 40
persen responden di Magelang mengatakan bahwa ubi jalar merupakan makanan kelas dua
atau ekonomi lemah. Namun hanya 12,5 persen responden yang mengatakan tepung ubi jalar
merupakan makanan ekonomi lemah (Sasongko et al. Tanpa tahun). Dari kasus pada dua
lokasi tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa informasi dan sosialisasi tentang manfaat ubi jalar
masih belum optimal.
Di Papua, petani ubi jalar yang berusaha di sekitar kota langsung memasarkankan hasil
produksi ke konsumen di pasar kota, sedangkan petani di pedesaan memasarkan ke konsumen
dan pedagang pengumpul di pasar kecamatan. Pedagang pengumpul kemudian memasarkan
ke pedagang di pasar kota. Sementara itu di Magelang, Jawa Tengah, petani ubi jalar menjual
hasilnya langsung ke pedagang besar atau pengecer di sawah atau di rumah. Secara umum
pelaku pasar yang terlibat dalam tataniaga/ pemasaran ubi jalar terdiri dari petani, pedagang
besar, grosir, pengecer dan konsumen (Sasongko et al. Tanpa tahun).
Variasi penggunaan ubi jalar menjadi makanan ringan memperluas jaringan
perdagangannya. Paling tidak dari sentra produksi ke sentra industri makanan ringan. Namun
jika sudah menjadi makanan ringan hasil olahan, jaringan perdagangannya akan makin meluas
lagi. Berkembangnya pola makan yang mengedepankan faktor kesehatan, memberikan
prospek pada ubi jalar untuk diperdagangkan pada tingkat yang lebih luas hingga ke pasar
ekspor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ubi jalar mengandung zat antioksidan yang sangat
berguna bagi kesehatan. Hal tersebut dapat dijadikan instrumen untuk meningkatkan citra ubi
jalar dari status inferior menjadi komoditas yang superior.
Kasus di Kabupaten Kuningan, berbagai produk olahan ubi jalar sudah dipasarkan
hingga ke berbagai kota di Jawa Barat dan bahkan ke luar Provinsi Jawa Barat (Deperin, 2009).
11
Diharapkan ke depan pemasaran tepung ubi jalar Kuningan akan dikembangkan ke berbagai
lembaga seperti industri besar, catering, restoran dan hotel bahkan akan dijajaki pasar ekspor
untuk produk tepung dan pasta ubi jalar.
Tepung ubi jalar mengandung 60 persen pati. Pengolahan bahan baku umbi-umbian
seperti ubi jalar menjadi pati akan mengubah status dari barang inferior menjadi barang
superior. Menurut Fuglie dan Oates (2001), nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan
pati dari umbian dan butiran termasuk ubi jalar bernilai positif. Untuk negara berpendapatan
rendah seperti India dan Vietnam nilai elastisitasnya 4,0; untuk negara berpendapatan sedang
seperti seperti China dan Indonesia nilainya 1,5 dan 2,0; untuk negara industri baru seperti
Malaysia dan Thailand nilainya 1,2 dan 0,8; demikian juga untuk negara-negara maju seperti
Korea, Taiwan dan Jepang nilainya 0,8. Nilai elastisitas pendapatan tersebut diduga akan
semakin meningkat dengan makin diketahuinya manfaat zat-zat yang terkandung pada ubi jalar
dan manfaatnya bagi kesehatan.
Ubi jalar merupakan sumber pati penting bagi penduduk di negara China, Jepang dan
Korea (Fuglie dan Oates, 2001). Karena itu Indonesia banyak mengekspor ubi jalar ke negara
tersebut, khususnya Jepang dan Korea. Di negara Asia tropis seperti Indonesia, lebih banyak
digunakan pati ubi kayu karena harganya lebih murah. Untuk sebagian besar konsumen
Indonesia yang masih mengutamakan gengsi dalam mengkonsumsi pangan. ubi jalar dianggap
sebagai pangan orang desa dan orang miskin. Sikap tersebut merupakan tantangan untuk
mengatasinya agar permintaan terhadap ubi jalar dan produknya meningkat.
Menurut Winarto, et al. (1994), mengatasi sikap masyarakat yang menganggap ubi jalar
sebagai komoditas inferior dapat dilakukan dengan mengangkat citra ubi jalar. Hal itu dapat
dilakukan dengan cara mengolah ubi jalar menjadi bahan pangan dalam bentuk lain yang sudah
biasa di konsumsi masyarakat seperti roti, kue basah, kue kering, cake, bihun, mie dan nasi.
Untuk lebih meningkatkan citra, untuk ubi jalar putih dapat dilakukan dengan pewarnaan alami
dengan wortel, bayam dan tomat sehingga meningkatkan nilai gizi; melakukan pengemasan
dengan merek yang menarik sehingga menjadi lebih praktis, higienis dan mudah diingat; dan
mengganti nama bahan baku ubi jalar dengan nama “bija”.
III. METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Mengacu pada tujuan penelitian yaitu untuk mengkaji keterkaitan produksi, perdagangan
dan konsumsi untuk meningkatkan 30% partisipasi konsumsi ubi jalar mendukung program
percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (dan gizi); maka kerangka pikir yang
12
digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut. Hipotesis yang digunakan adalah
bahwa keragaan sistem produksi, perdagangan, dan konsumsi ubi jalar baik secara parsial
maupun bersama (keterkaitan) merupakan faktor penentu tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar.
Oleh karenanya, keragaan partisipasi konsumsi ubi jalar saat ini (data terakhir yang tersedia)
digunakan sebagai dasar pijakan penelitian ini.
Untuk meningkatkan 30% partisipasi konsumsi ubi jalar (dari kondisi saat ini) dilakukan
dengan mengkaji keterkaitan sisi produksi - perdagangan (termasuk didalamnya penanganan
panen, pasca penen dan pengolahan)–konsumsi, dengan pendekatan analisis rantai pasok
sistem komoditas ubi jalar. Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan terkait upaya
meningkatkan 30% partisipasi konsumsi ubi jalar, hasil telaahan terhadap jaringan rantai pasok
akan dilengkapi dengan telahaan terhadap sarana pendukung dan instrumen kebijakan yang
ada di sisi produksi, panen, pasca panen/pengolahan dan konsumsi.
Di sisi produksi akan dilakukan pemetaan wilayah produksi di daerah/provinsi sentra
produksi yang mencakup keragaan pola tanam, teknologi produksi, skala usaha, tingkat
produksi dan produktivitas. Selain itu juga akan diidentifikasi permasalahan dan kendala yang
dihadapi petani dan atau pemerintah daerah terkait dengan upaya untuk meningkatkan
kapasitas produksi ubi jalar di wilayah-wilayah sentra produksi.
Di sisi panen/pasca panen/pengolahan akan dilakukan penelaahan dan pemetaan
terhadap keragaan teknologi panen, pasca panen/pengolahan yang tersedia, teknologi yang
diadopsi petani/rumah tangga, keberadaan dan kinerja industri pengolahan di lokasi penelitian,
skala pengusahaan, sumber permodalan, bentuk produk yang dihasilkan dan permasalahan
serta kendala yang dihadapi. Untuk mencermati keterkaitan sisi produksi, penanganan panen,
dan pasca panen/pengolahan akan diidentifikasi kesesuaian dan kontinutas pasokan bahan
baku baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Dari aspek pemasaran dan perdagangan, akan dikaji keragaan rantai pemasaran, tujuan
pasar (lokal, antar pulau, ekspor), volume yang dipasarkan, jenis/bentuk produk yang
dipasarkan, biaya pemasaran dan permasalahan serta kendala yang dihadapi pelaku pasar
dalam pemasaran/perdagangan ubi jalar.
Pemetaan pola konsumsi ubi jalar dilakukan dengan menelaah tingkat dan partisipasi
konsumsi ubi jalar menurut karakteristik rumah tangga. Tingkat konsumsi diukur dalam satuan
kg/kapita/tahun dan Kkal/kapita/hari. Sedangkan tingkat partisipasi konsumsi dipetakan dalam
ukuran: (1) proporsi rumah tangga/individu yang mengkonsumsi terhadap total rumah
tangga/individu di wilayah tertentu; (2) proporsi energi yang bersumber dari konsumsi ubi jalar
13
terhadap total konsumsi energi rumah tangga/individu; dan (3) proporsi pengeluaran yang
digunakan untuk konsumsi ubi jalar terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga.
Pemetaan tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar juga akan dipetakan menurut: (1) bentuk
yang dikonsumsi (segar, olahan); (2) sumber perolehan (produksi sendiri, membeli, lainnya); (3)
pola pemanfaatan (pangan pokok, makanan selingan, frekuensi makan); dan (4) karakteristik
rumah tangga (kelas pendapatan, jumlah anggota rumah tangga). Sementara itu, faktor-faktor
yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar adalah tingkat pendapatan,
harga ubi jalar maupun harga-harga komoditas/produk substitusi maupun komplemen dari ubi
jalar, bentuk produk yang dikonsumsi, karakteristik rumah tangga, dan peubah sosial budaya
seperti kebiasaan makan, adat-istiadat, dll.
Selain keragaan rantai pasok yaitu keterkaitan produksi–penanganan panen/pasca
panen/pengolahan–perdagangan–konsumsi; telahaan terhadap sarana pendudkung/instrumen
kebijakan yang terkait dengan aspek produksi, industri/pasca panen, pasar dan perdagangan
serta infrastruktur juga akan dilakukan. Secara diagram, kerangka pikir yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Kerangka Analisis
Tujuan (1) Menganalisis peta produksi ubi jalar di kawasan sentra produksi
Pemetaan produksi di wilayah-wilayah sentra produksi ubi jalar dilakukan dengan
analisis deskriptif analitik mencakup keragaan pola tanam, teknologi produksi, skala usaha,
tingkat produksi dan produktivitas. Pemetaan menggunakan basis data sekunder yaitu luas
areal tanam, luas areal panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar menurut jenis pada masing-
masing wilayah. Dari data tingkat konsentrasi luas areal tanam, luas areal panen, dan produksi
bulanan dapat diketahui pola distribusi luas tanam, luas panen, dan jumlah produksi menurut
waktu dan jenis komoditas ubi jalar. Pola distribusi menurut waktu terhadap luas tanam, luas
panen, dan produksi dapat ditampilkan melalui grafik dan sebaran sentra produksi dengan
menggunakan peta. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran kapan saat produksi puncak,
sedang, dan kurang menurut jenis komoditas ubi jalar dan waktu. Alat analisis yang digunakan
adalah model Location Quotient (LQ).
Selain itu juga akan diidentifikasi permasalahan dan kendala yang dihadapi petani dan
atau pemerintah daerah terkait dengan upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi ubi jalar
di wilayah-wilayah sentra produksi.
1
Gambar 1. Kerangka Pikir Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan, dan Konsumsi Ubi Jalar Untuk Meningkatkan 30%
Partisipasi Konsumsi Mendukung Program Penganekaragaman Pangan dan Gizi
INSTRUMEN KEBIJAKAN (Sistem perbenihan, Penyediaan Teknologi Produksi, panen/pasca panen/pengolahan,
Fasilitas pemasaran, infrastruktur, permodalan)
PRODUKSI :
Skala Usaha Adopsi Teknologi Produksi Produktivitas
PENANGANAN PANEN/PASCA PANEN/PENGOLAHAN :
Skala Usaha Bentuk Produk Kesesuaian dan Kontinuitas Pasokan Ketersediaan dan Adopsi Teknologi
PEMASARAN/PERDA-GANGAN :
Rantai Pemasaran Tujuan dan Volume
Pasar Biaya Pemasaran
Bentuk Produk
BENTUK PRODUK
(Segar, Olahan)
SUMBER PEROLEHAN
(Sendiri, Beli ,Trans) Olahan)
PEMANFAATAN
(Pokok,
KARAKTER RT
(Income, Jml ART)
SOSIAL BUDAYA
(Kebiasaan,adat,dll)
PARTISIPASI KONSUMSI UBI JALAR SAAT INI (%tase konsumen yang mengkonsumsi, %tase kontribusi energi, %tase
pengeluaran)
PARTISIPASI KONSUMSI UBI JALAR MENINGKAT 30% (%tase konsumen yang mengkonsumsi, %tase kontribusi energi, %tase Pengeluaran)
PERPRES NO.22/2009
REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK
MENINGKATKAN PARTISIPASI KONSUMSI
1
Tujuan (2) Menganalisis peta perdagangan ubi jalar antara wilayah sentra produksi dan konsumsi
Pemetaan perdagangan ubi jalar diawali dengan menganalis secara deskriptif keragaan
teknologi panen, pasca panen/pengolahan yang tersedia, teknologi yang diadopsi petani/rumah
tangga, keberadaan dan kinerja industri pengolahan di lokasi penelitian, skala pengusahaan,
sumber permodalan, bentuk produk yang dihasilkan dan permasalahan serta kendala yang
dihadapi. Untuk mencermati keterkaitan sisi produksi dan penanganan panen, pasca
panen/pengolahan akan diidentifikasi kesesuaian dan kontinutas pasokan bahan baku baik dari
sisi kuantitas maupun kualitas. Selanjutnya pemetaan pemasaran dan perdagangan dilakukan
dengan mengkaji keragaan rantai pemasaran, tujuan pasar (lokal, antar pulau, ekspor), volume
yang dipasarkan, jenis/bentuk produk yang dipasarkan, biaya pemasaran dan permasalahan
serta kendala yang dihadapi pelaku pasar dalam pemasaran dan perdagangan ubi jalar.
Tujuan (3) Menganalisis peta konsumsi ubi jalar menurut karakteristik rumah tangga Pemetaan pola konsumsi ubi jalar dilakukan dengan menelaah tingkat dan partisipasi
konsumsi ubi jalar menurut karakteristik rumah tangga. Tingkat konsumsi diukur dalam satuan
kg/kapita/tahun dan Kkal/kapita/hari. Sedangkan tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar
dipetakan dalam ukuran: (1) proporsi rumah tangga/individu yang mengkonsumsi terhadap total
rumah tangga/individu di wilayah tertentu; (2) proporsi energi yang bersumber dari konsumsi ubi
jalar terhadap total konsumsi energi rumah tangga/individu; dan (3) proporsi pengeluaran yang
digunakan untuk konsumsi ubi jalar terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga. Untuk
kebutuhan tersebut data yang akan dianalsiis adalah data Susenas tahun 2002, 2005, 2007
(atau 2008 apabila data telah tersedia).
Tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar juga akan dipetakan menurut: (1) bentuk produk
yang dikonsumsi (segar, olahan); (2) sumber perolehan (produksi sendiri, membeli, lainnya); (3)
pola pemanfaatan (pangan pokok, makanan selingan, frekuensi makan); dan (4) karakteristik
rumah tangga (kelas pendapatan, jumlah anggota rumah tangga).
Tujuan (4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi paritisipasi konsumsi ubi jalar
Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi partisipasi konsumsi ubi jlar adalah tingkat
pendapatan, harga ubi jalar maupun harga-harga komoditas/produk substitusi maupun
komplemen dari ubi jalar, bentuk produk, karakteristik rumah tangga, dan sosial budaya seperti
kebiasaan makan serta adat istiadat setempat. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
2
mempengaruhi partisipasi konsumsi ubi jalar akan digunakan alat analisis statistik regresi
dengan bentuk fungsi logistik.
Tujuan (5) Merumuskan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan partisipasi konsumsi ubi jalar mendukung program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal
Rekomendasi kebijakan disusun setelah diperoleh data dan informasi tentang keragaan
rantai pasok yaitu keterkaitan produksi–penanganan panen/pasca panen/pengolahan –
perdagangan–konsumsi dipadukan dengan hasil telahaan terhadap sarana pendukung/
instrumen kebijakan yang terkait dengan aspek produksi, industri/pasca panen, pasar dan
perdagangan serta infrastruktur.
Perencanaan Sampling
Penelitian terutama diarahkan untuk menganalisis peta produksi, perdagangan, dan
peta konsumsi produk ubi jalar di kawasan daerah-daerah sentra produksi dan konsumsi,
sehingga lokasi contoh dipilih secara purposive pada daerah-daerah sentra produksi dengan
menggunakan pendekatan produksi/kapita ubi jalar, tingkat partisipasi konsumsi, keberadaan
industri pengolahan. Dengan pertimbangan tersebut terpilih provinsi Papua, Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Bali.
Cakupan penelitian adalah tingkat nasioanl dengan unit analisis seluruh provinsi dengan
pendalaman di beberapa provinsi terpilh. Di provinsi terpilih dilakukan survei di satu kabupaten,
dan dalam satu kabupaten dipilih dua kecamatan dan desa yang dianggap representatif.
Jumlah responden di setiap provinsi sebanyak 30 rumah tangga. Selain rumah tangga,
wawancara juga dilakukan terhadap pelaku tataniaga pemasaran ubi jalar, rumah tangga dan
atau industri pengolah, serta informan kunci di masing-masing lokasi penelitian. Sebaran
jumlah responden menurut kategori responden di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat
pada Tabel 2. Tabel 2. Cakupan dan Jumlah Responden Penelitian
Tingkat/Jenis Responden Papua Jabar Jatim Bali Pusat Total Tingkat Pusat - Instansi (aparat/informan) - - - -
5
5 Tingkat Provinsi/kabupaten - Instansi (aparat/informan) - Pedagang ubi jalar - Industri Pengolah ubi jalar - BPP/PPL - Kelompok tani
5 2 2 2 2
5 2 2 2 2
5 2 2 2 2
5 2 2 2 2
- - - - -
20 8 8 8 8
3
- Rumah tangga petani 30 30 30
30 - 120
Total 43 43 43 43 5 177 Jenis dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini mencakup data sekunder dan data primer.
Data sekunder bersumber dari dukumen, arsip, dan file dari instansi terkait utamanya dari BPS,
Kementrian Pertanian dan aparat di tingat pusat dan daerah, Kementrian Perindustrian,
Kementrian Perdagangan, Lembaga Penelitian, dan Pelaku Usaha. Sedangkan data primer
bersumber dari hasil wawancara dengan responden di lokasi penelitian.
Susunan Tim Pelaksana
No. N a m a Gol. Jabatan Fungsional/ Bidang Keahlian
Kedudukan dalam Tim
1. Dr. Handewi P. S. Rachman IV/d Peneliti Utama
/Ekonomi Pangan-Konsumsi
Penanggung Jawab/
Anggota 2. Prof. Dr, Pantjar Simatupang IV/e Peneliti Utama
/Ekonomi Pertanian Anggota
3. Dr. Ir. Nyak Ilham IV/a Peneliti Muda /Ekonomi Pertanian
Anggota
4. Ir. Supena Friyatno, MSi III/d Peneliti Muda /Ekonomi Pertanian
Anggota
5. Ir. Erma Suryani, MSi III/d Peneliti Pertama/ Ekonomi Pertanian
Anggota
6. Maulana, SP III/c Peneliti Muda /Ekonomi Pertanian
Anggota
JADWAL PELAKSANAAN
Penelitian direncanakan dapat dilaksanakan dalam 1 (satu) tahun atau 12 bulan, dengan
rincian kegiatan seperti dapat disimak pada Tabel 3.
Tabel 3. Rincian Jadwal Kegiatan Penelitian
B u l a n k e Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Persiapan : - Studi Pustaka - Penyempurnaan proposal - Penyusunan quesioner 2. Pengumpulan data 3. Pengolahan/Analisa data 4. Penulisan Laporan 5. Seminar 6. Perbaikan laporan
4
7. Laporan akhir 8. Penggandaan
5
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2008. Peluang Pasar dan Khasiat Ubi Jalar. http://fapertaumy.wordpress.com/ Badan Ketahanan Pangan. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. BKP, Jakarta
Badan Ketahanan Pangan. 2008. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Departemen
Pertanian. Jakarta . BPS. 2007. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Biro Pusat Statistik, Buku
I. Jakarta. BPS. 2008. Statistik Indonesia. Budijanto, S. 2009. Dukungan Iptek Bahan Pangan pada Pengembangan Tepung Lokal.
Majalah Pangan 54 (XVIII): 55-67. Bulog, Jakarta. Damardjati, D. S., dan S. Widowati.1994. Pemanfaatan Ubi jalar Dalam Program
Diversifikasi Guna Mensukseskan Swasembada Pangan. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi jalar Mendukung Agro-industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor.
Damardjati, D. S. 2006. Kebijakan dan Program nasional Pengembangan Agribisnis Palawija. CAPSA Monograph No 49, Pengembangan Agribisis Berbasis Palawija di Indonesia: Perannya dalam Peningkatan Ketahanan pangan dan Pengentasan kemiskinan. ESCAP, Bogor.
Deperin. 2009. Program dan Rencana Aksi Pengembangan IKM Pangan Pengolahan Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan melalui Pendekatan OVOP (One Village One Product). Direktorat Industri Pangan, Ditjen Industri Kecil Menengah, Departemen Perindustrian, Jakarta.
Fuglie, K.O. and C.G. Oates. 2001. Starch Markets in Asia. Sweet-potato Post-Harvest Research and Development in China. Edited by: K.O. Fuglie anf M. Hermann. Proceedings of an International Workshop, held in Chengdu, Sichuan-People’s Republic of China.
Jiang, X., H. Jianjun and W. Yi. 2001. Sweet-potato Processing and Product Research and Development at the Sichuan Academy of Agricultural Sciences. Edited by: K.O. Fuglie anf M. Hermann. Proceedings of an International Workshop, held in Chengdu, Sichuan-People’s Republic of China.
Kumalaningsih, S., 1994. Peluang Pengembangan Agroindustri Dari Bahan Baku Ubi jalar. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi jalar Menukung Agro-industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor.
Kunia, K. 2009. Yuk Makan Kudapan Sehat. Pusat Penelitian Bioteknologi Institut Teknologi Bandung, Bandung
Limbongan, J. dan A. Soplanit. 2007. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembangan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) di Papua. Jurnal Litbang Pertanian, 26c(4): 131-138.
Peraturan Presiden (Perpres) No 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
6
Rahayuningsih, Sutrisno, dan S.S. Antarlina. 1999. Klon Harapan Ubi jalar Terpilih Untuk
Dataran Tinggi Kawi dalam Rahmania, A.A. et al (Penyunting). Edisi Khusus Balitkabi No 15-1999. Pemberdayaan Tepung Ubi jalar Sebagai Substitusi Terigu dan Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Balitkabi. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian
Rahayuningsih, Y. Widodo, dan T.S. Wahyuni. 2000. Evaluasi Daya Hasil Klon Harapan Ubi
jalar Dalam Kondisi Terdera Kekeringan di Muneng dalam Soedarjo, M. Et al (penyunting) Edisi Khusus Balitkabi No 16-2000. Komponen Teknologi Untuk Meningkatkan Produktivitas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian
Sasongko, L. A., H. Purwanto, dan R. Subantoro. (Tanpa tahun). Penumbuhan Industri
Tepung Lokal melalui Pemberdayaan Kelompok Tani untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Jawa Tengah (Studi Kasus Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah). LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang, Semarang.
Siew Moi, Lee, 2002. Peluang Pasar Sayur Sumatera di Singapura. Dalam Prosiding
Pertemuan Regional Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Hal 27-32. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Dengan Dinas Pertanian Provinsi Riau.
Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribinis dan
Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Suryana, A. 2006. Strategi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Palawija. CAPSA
Monograph No 49, Pengembangan Agribisis Berbasis Palawija di Indonesia: Perannya dalam Peningkatan Ketahanan pangan dan Pengentasan kemiskinan. ESCAP, Bogor.
Suryani, E, dan Handewi P.S. Rachman. 2008. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Sumber
Karbohidrat di Perdesaan. Majalah Pangan 52(XVII): 13-25. Bulog, Jakarta. Wan Ibrahim Wan Daud, Dato’, 2002. Peluang Pasar Sayur Sumatera di Malaysia. Dalam
Prosiding Pertemuan Regional Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Hal 34-48. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Dengan Dinas Pertanian Provinsi Riau.
Widowati, S. dan D.S. Damardjati. 2001. Menggali Sumberdaya Pangan Lokal dan Peran
Teknologi Pangan Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Majalah Pangan 36 (X) : 3-11. Bulog. Jakarta.
Winarto, A., H. Subagio, dan K.H. Hendroatmodjo. 1994. Potensi dan Tantangan Usaha
Meningkatkan Permintaan Ubi Jalar: Tinjauan dari Kecenderungan Sikap dan Perilaku Konsumen. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi Jalar Mendukung Agroindustri. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tamaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Malang.
7
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal
Partisipasi Komsumsi Ubi Jalar Meningkat 30% (% tase konsumen yang mengonsumsi; %t ase kontribusi energi; % ase pengeluaran)
Partisipasi Komsumsi Ubi Jalar Saat ini (% tase konsumen yang mengonsumsi; % tase kontribusi energi; % tase pengeluaran)
Bentuk produk Sumber perolehan Pemanfaatan Karakteritik rumah tangga (segar, olahan) (produksi sendiri, pembelian, transfer) (pangan pokok, selingan) (tingkat pendapatan, Jml. ART) Produksi Penanganan panen/pasca panen/pengolahan Pemasaran/perdagangan - Skala usaha - Skala usaha - Rantai pemasaran - Adopsi teknologi - Bentuk produk - Tujuan pasar dan volume - Tingkat produksi - Kesesuaian dan kontinuitas pasokan - Biaya pemasaran - Produktivitas - Ketersediaan dan adopsi teknologi - Bentuk produk
Instrumen kebijakan (sistem perbenihan, penyediaan teknologi produksi, panen/pasca panen/pengolahan, fasilitasi pemasaran, infrstruktur, permodalan)
Gambar 1. Kerangka Pikir Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan dan Konsumsi Ubi Jalar untuk Meningkatkan 30%
Partisipasi Konsumsi Mendukung Program Penganekaragaman Pangan dan Gizi
8
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya
lokal
Partisipasi konsumsi meningkat 30%
Produksi
Skala usaha Adopsi teknologi
Penanganan panen/pasca panen/pengolahan
Pemasaran dan perdagangan
9
10
Top Related