LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI STERIL
TETES MATA
TETES MATA CHLORAMPHENICOL
Disusun oleh :
Kelompok B 2
Nurhati ( 12010060 )
Pebri Adriansa ( 12010064 )
Prita Rahman Sari ( 12010065 )
Puspa Oktaviada S ( 12010066 )
Putut Prasetyana ( 12010067 )
Rahayu Damayanti ( 12010068 )
Lia Maryani Putri ( 13012095 )
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sediaan yang ditunjukan untuk mengobati penyakit mata telah ditemukan sejak dahulu.
Istilah “Collyria” diberikan oleh bangsa Yunani dan Romawi terhadap bahan-bahan yang
dapat larut dalam air, susu atau putih telur yang dapat digunakan sebagai tetes mata. Pada
abad pertengahan, tetes mata digunakan untuk memperbesar (dilatasi) pupil. Sebelum
perang dunia II, sediaan obat mata sangat sedikit tersedia di pasaran. Pada tahun 1950
hanya tiga sediaan obat mata yang masuk US Pharmacopoeia (USP) XIV.
Sediaan obat mata biasanya dibuat pada farmasi komunitas atau farmasi rumah sakit
dengan stabilitas yang terbatas hanya untuk beberapa hari saja. Pada tahun 1953,
U.S.Food Drug Administration (FDA) menemukan bahwa larutan obat malam non steril
telah dipalsukan. Produk-produk obat mata steril tersedia sebelum pertengahan tahun
1950-an, namun pentingnya sterilitas. Saat ini, jenis-jenis bentuk sediaan formulasi obat
mata adalah mulai dari larutan yang sederhana sampai dengan sistem penghantaran
kompleks. Pada tahun 1990-an produk-produk biologi dalam bentuk protein komplek
diharapkan berperan lebih besar dalam hal seperti faktor pertumbuhan. Imunomodulator
dan lain-lain. Masing-masing membutuhkan formulasi yang khusus.
1.2. Tujuan Praktikum
Mampu membuat dan memahami pembuatan sediaan steril bentuk sediaan obat tetes
mata.
Mampu memahami macam-macam teknik sterilisasi.
Mampu melakukan evaluasi sediaan obat tetes mata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Obat Mata
Sediaan obat mata adalah sediaan steril berupa salep, larutan atau suspensi, digunakan
pada mata dengan meneteskan, mengoleskan pada selaput lendir mata disekitar kelopak
mata dan bola mata. Berbeda dengan mukosa usus yang merupakan organ untuk proses
absorpsi, permukaan mata bukanlah suatu tempat yang baik untuk proses penyerapan
obat oleh mata. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran dan pengaliran air mata
bertentangan dengan arah penembusan obat serta struktur kornea mata yang khas. Oleh
sebab itu penelitian pada akhir-akhir ini ditujukan pada sifat fisika kimia dan stabilitas
bahan aktif serta bagaimana meminimalkan kontaminasi mikroba dan partikel asing baik
bahan kimia maupun bukan bahan kimia.
Larutan untuk mata adalah larutan steril yang dicampur dan dikemas untuk dimasukkan
ke dalam mata. Selain steril preparat tersebut memerlukan pertimbangan yang cermat
terhadap faktor-faktor farmasi seperti kebutuhan bahan antimikroba, isotonis, dapar,
viskositas dan pengemasan yang cocok. Semua larutan untuk mata harus dibuat steril jika
diberikan dan bila mungkin ditambahkan bahan pengawet yang cocok untuk menjamin
sterilitas selama pemakaian.
Meskipun larutan untuk mata disterilkan dengan uap air mengalir dalam autoklaf dalam
wadah akhirnya, metode yang digunakan tergantung pada sifat khusus dari sediaanya.
Obat-obat tertentu yang dalam media asam termostabil (tahan panas) dapat menjadi
termolabil (tidak tahan panas) ketika didapar mendekati kisaran pH fisiologi (kira-kira
7,4). Jika diinginkan pH yang lebih tinggi, larutan obat yang belum didapar dapat
dipanaskan dahulu dalam autoklaf dan larutan dapar steril ditambahkan kemudian secara
aseptis. Dengan pengecualian garam basa kuat dengan asam lemah seperti natrium
flourescein atau natrium sulfasetamid, larutan obat mata yang paling biasa yang
disiapkan dalam pembawa asam borat dapat disterilkan dengan aman ada 1210 C selama
15 menit.
Sediaan larutan mata adalah yang paling umum digunakan dan juga paling disukai
karena pemberiannya yang lebih mudah.
2.2. Kategori Farmakologi Produk Obat Mata
Pembahasan yang menyeluruh tentang bahan terapeutik dan farmakologi yang digunakan
di dalam opthalmologi akan bermanfaat untuk memahami pengembangan sediaan-
sediaan obat mata. Beberapa obat ini bekerja pada sistem syaraf otonom sehingga harus
ditangani dengan hati-hati. Sebagian besar produk obat mata adalah sebagai berikut :
1. Bahan untuk pengobatan Glaukoma
2. Midriatik dan siklolegik
3. Bahan anti mikroba dan anti inflamasi
4. Pengobatan “dry eye syndrome”
5. Produk intra okular
2.3. Absorpsi Obat Pada Mata
Absorpsi produk obat mata yang diberikan secara topikal dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu volume kapasitas mata yang terbatas untuk menahan bentuk sediaan yang
diberikan, laju sekresi dan laju aliran air mata, absorpsi oleh jaringan vaskular
konjungtiva, penetrasi obat-obat melintasi kornea dan sklera, laju kedipan dan refleks
tangisan yang disebabkan oleh pemberian obat. Cu-de-sac terendah mempunyai kapasitas
sekitar 7 µl. Mata manusia dapat menerima sampai 3 µl larutan jika tidak berkedip.
Beberapa obat tetes mata di pasaran dikemas dalam botol polietilen atau polipropilen
dengan lubang yang meneteskan 20-60 µl. Karena kapasitas Cul-de_sac terbatas, maka
sekitar 70-75% dari tetesan 50 µl akan terbuang karena luapan dan mengalir dari puncak
lakrimal ke dalam saluran naso lakrimal. Jika terjdi kedipan, dapat dihitung bahwa 90%
dari volume yang diberikan dari 2 tetesan akan terbuang karena volume sisa ditemukan
10 µl. Kelebihan cairan memasuki puncta lakrimal superior dan inferior turun melalui
kanalikuli dan kemudian masuk ke dalam lakrimal sac dan kemudian masuk ke dalam
saluran gastro intestinal. Efek samping sistemik yang signifikan telah dilaporkan
terhadap pengobatan obat mata keras tertentu dengan mekanisme seperti ini. Hal ini juga
merupakan mekanisme dimana pasien kadang-kadang dapat merasakan rasa pahit setelah
pemberian obat tetes mata tertentu. Absorpsi obat yang dangkal ke dalam konjungtiva
dengan pembuangan cepat dari jaringan okular oleh aliran darah perifer adalah
mekanisme lain yang menyaingi absorpsi obat ke dalam mata. Absorpsi obat trans
kornea adalah lintasan paling efektif untuk membawa obat ke bagian depan dari mata.
Selain faktor fisiologis yang telah diuraikan diatas, penetrasi obat ke dalam mata juga
dipengaruhi oleh krakteristik sifat fisiko kimia bahan aktif, formula dan teknik
pembuatan yang dapat mempengaruhi ketersediaan hayati bahan aktif. Dalam beberapa
literatur juga disebutkan bahwa tonisitas, peranan pH dan konsentrasi bahan aktif dalam
obat tetes mata juga mempengaruhi penetrasinya.
Tekanan osmotik air mata sama dengan tekanan 0,93% b/v NaCl dalam air. Larutan
NaCl tidak menyebabkan rasa sakit dan tidak mengiritasi mata, bila konsentrasi NaCl
terletak antara 0,7-1,4 % b/v. Telah terbukti bahwa larutan hipertonis lebih dapat dapat
diterima dibandingkan larutan hipotonis. Sehingga dalam kenyataan biasanya bahan aktif
dilarutkan dalam larutan NaCl 0,8-0,9% atau dalam pelarut lain dengan tonisitas yang
sama.
2.4. Komponen Non Terapeutik Dalam Produk-Produk Cair
a. Pengawet Anti Mikroba
Pengawet diperbolehkan untuk menjaga sterilitas produk setelah kemasan dibuka
dan selama penggunaan oleh pasien. Pemilihan zat pengawet juga dibatasi dalam hal
stabilitas fisika dan kimia, kompatibilitas dan masalah keamanannya.
1. Benzalkoinum klorida biasanya dikombinasi dengan EDTA
2. Timerosal
3. Klorbutanol
4. Metil dan propil paraben
5. Venil etil alkohol
6. Polikuat
b. Bahan Pembuffer
Stabilitas kimia dan kenyamanan mata untuk produk-produk obat mata cair
bergantung pada nilai pH produk secara umum.
c. Bahan peningkat viskositas
Beberapa produk obat mata topikal mengandung bahan peningkat viskositas untuk
meningkatkan waktu retensi, mengurangi laju pengeluaran dan meningkatkan
bioavaibilitas mata.
d. Bahan Pengatur Osmolaritas
Tonisitas (osmolaritas) penting pada produk obat mata cair untuk meminimalkan
potensi ketidaknyamanan selama penetesan ke dalam mata.
2.5. Sterilisasi Sediaan Tetes Mata
Sterilisasi B yaitu pemanasan dengan menggunakan bakterisida. Sediaan dibuat
dengan melarutkan atau mensuspensikan bahan obat dalam larutan klorkesol P 0,2%
b/v dalam air untuk injeksi atau dalam larutan bakterisida yang cocok dalam air
untuk injeksi. Isikan ke dalam wadah kemudian ditutup kedap. Jika volume dalam
tiap wadah tidak lebih dari 30 ml, panaskan pada suhu 980 sampai 10000 C selama
30 menit. Jika volume dalam tiap wadah berada pada suhu 980 sampai 10000 C
selama 30 menit. Jika dosis tunggal injeksi yang digunakan secara intravenus lebih
dari 15 ml, pembuatan tidak dilakukan dengan cara ini, injeksi yang digunakan
secara intrateka, intrasistema atau peridura tidak boleh dibuat dengan cara ini.
Sterilisasi C yaitu penyaringan. Larutan disaring melalui penyaring bakteri steril,
diisikan ke dalam wadah akhir yang steril, kemudian ditutup kedap menurut teknik
aseptis.
BAB III
PRA FORMULASI
1. Chloramphenicolum
Sinonim : Kloramfenikol
Rumus Molekul : C11H12Cl2N2O5
Bobot Molekul : 323,1
Kloramfenikol mengandung tidak kurang dari 97,0 % dan tidak lebih dari
103,0 % C11H12Cl2N2O5, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih
hingga putih kelabu atau putih kekuningan; tidak berbau; rasa
sangat pahit. Dalam larutan asam lemah, mantap. (FI Edisi III)
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol
(95 %) dan dalam 7 bagian propilenglikol; sukar larut dalam
kloroform dan dalam eter.
Sifat Kimia & Fisika :
pH : Antara 4,5 dan 7,5 (FI ed IV)
pH sediaan : Antara 7,0 dan 7,5; kecuali obat tetes mata tanpa larutan
dapar atau digunakan untuk hewan antara 3,0 dan 6,0. (FI ed IV)
Suhu lebur : 149° C - 153° C
Kestabilan : Terurai oleh cahaya (FI ed III)
Khasiat dan penggunaan : Antibiotikum.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
Penandaan Pada etiket harus juga tertera : Daluarsa.
Dosis : 0.5 % (larutan) dan 1 % (salep); tiap 10 ml mengandung 50 mg
kloramfenikol.
Cara penggunaan : Tetes pada mata.
Sterilisasi : Cara Sterilisasi B (Pemanasan dengan bakterisid) atau C (Filtrasi
membran).
( FI III Hal. 143 )
2. Acidum Boricum
Sinonim : Asam borat, Borofax, Boron trihydroxide, E284, Asam orthoboric,
trihydroxyborone.
Rumus Molekul : H3BO3
Bobot Molekul : 61,83
Asam borat mengandung tidak kurang dari 99,5 % H3BO3.
Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak berwarna,
kasar, tidak berbau, rasa agak asam dan pahit kemudian manis.
Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air, dalam 3 bagian air mendidih, dalam 16
bagian etanol (95 %) dan dalam 5 bagian gliserol
Sifat fisika dan kimia :
pH : 3.5–4.1 (5% b/v larutan cairan)
Titik didih : 170,9° C. Ketika dipanaskan perlahan sampai 181.0°C,
asam borak kehilangan air menjadi bentuk asam metaborik (HBO2);
pada 140°C, tetraboric acid (H2B4O7) terbentuk; dan pada temperatur
yang lebih tinggi, boron trioxide (B2O3) terbentuk.
Khasiat : Pengawet antimikroba, Antiseptikum eksternal.
( FI III Hal. 49 )
3. Natrii Tetraboras
Sinonim : Sodium borat, Borax, E285, Borax decahydrate, Sodium tetraboras
decahydrate.
Rumus Molekul : Na2B4O7.10H2O.
Bobot Molekul : 381,37
Natrium tetraborat mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari
105,0 % Na2B4O7.10H2O.
Pemerian : Serbuk hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih;
tidak berbau; rasa asin dan basa.Dalam udara kering merapuh.
Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air, dalam 0,6 bagian air mendidih dan
Dalam lebih kurang 1 bagian gliserol; praktis tidak larut dalam
etanol (95 %)
Sifat fisika dan kimia :
pH : 9.0–9.6 (4% w/v aqueous solution)
Titik didih : 75° C ketika dengan pemanasan cepat. Pada 100°C
kehilangan 5H2O; pada 150°C kehilangan 9H2O; dan pada 320°C
menjadi anhydrous. Sekitar 880°C zat melebur kedalam glassy state:
borax beads.
Khasiat dan penggunaan : Agen pengalkali, pengawet antimikroba, agen
buffer, desinfectant, agen pengemulsi, agen
penstabil. Antiseptikum eksternal.
( FI III Hal. 427 )
4. Phenylhidragiri Nitras
Sinonim : Fenilraksa (II) Nitras/ Fenilmerkuri Nitras
Rumus molekul : C12H11Hg2NO4
Berat Molekul : 634,45
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol dan dalam
gliserin, lebih mudah larut dalam dengan adanya asam nitrat atau
alkali hidroksida.
Fungsi : Preservatif pada sediaan mata
Persen konsentrasi : 0,002 %
5. Aqua Pro Injectio
Sinonim : Air untuk Injeksi
Air untuk injeksi adalah air suling segar yang disuling kembali, disterilkan
dengan Cara sterilisasi A atau C.
Pemerian : Cairan jernih / tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan pelarut polar dan elektrolit
OTT : Dalam sediaan farmasi, air dapat bereaksi dengan obat dan zat
tambahan lainnya yang mudah terhidrolisis (mudah terurai dengan
adanya air atau kelembab
Khasiat dan penggunaan : Untuk pembuatan injeksi.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap.
( FI III Hal. 97 )
BAB IV
FORMULASI
4.1. Formulasi
R/ Chloramphenicol 50 mg
Asam Borat 150 mg
Na. Tetraborat 30 mg
Phenylhidragiri Nitras 20 mg
WPI ad 10 ml
( Formularium Nasional Edisi Kedua Hal. 65 )
4.2. Alat dan Bahan
Alat – alat yang digunakan :
1. Timbangan Analitik
2. Labu Erlenmayer
3. Beaker Glass
4. Wadah
5. Batang Pengaduk
6. Gelas ukur
7. Spirtus
8. Kasa Bunsen
9. Kaki Tiga
10. Kertas Saring
Bahan-bahan yang digunakan
1. Chloramphenicol
2. Asam borat
3. Na. Tetraborat
4. Phenyl hidragiri nitras
5. WPI
4.3. Cara Kerja
1. Siapkan alat dan bahan
2. Timbang semua bahan
3. Chloramphenicol dilarutkan dalam Aqua Pro Injeksi
4. Ditambahkan asam borat, larutkan hingga homogen
5. Ditambahkan pengawet yaitu natrium tetra borat
6. Dan terakhir ditambahkan phenylhidragiri nitras sebagai pendapar untuk mengukur
pHnya
7. Setelah itu sediaan disaring dan di masukkan ke dalam wadah
8. Lakukan uji bebas partikel melayang.
4.4. Perhitungan
Sediaan dibuat 5x dari formulasi dan penambahan 10% pada tiap bahan
Chloramphenicol = 50 mg x 5
= 250 mg + 10%
= 275 mg
Asam Borat = 150 mg x 5
= 750 mg + 10%
= 825 mg
Natrium tetraborat = 30 mg x 5
= 150 mg + 10%
= 165 mg
Penylhidragiri Nitras = 20 mg x 5
= 100 mg + 10%
= 110 mg
WPI = 10 ml x 5
= 50 ml + 10%
= 55 ml
4.5. Hasil Pengamatan
Obat tetes mata yang dihasilkan adalah larutan jernih, sedikit terdapat partikel yang
melayang-layang.
pH 7,21
4.6. Pembahasan
Sediaan tetes mata adalah sediaan steril yang bebas dari partikel asing dan
mikroorganisme, dibuat dengan cara yang sesuai serta dikemas untuk digunakan pada
mata. Struktur penyusun organ mata bersifat sensitif sehingga mudah terluka dan
terinfeksi bila terkena partikel asing dan bakteri. Mata juga dilindungi oleh cairan-cairan
(mengandung enzim yang bersifat bakteriostatik) yang dihasilkan kelenjar air mata.
Cairan mata juga merupakan cairan steril yang secara terus menerus membilas mata dari
bakteri, debu dan lain-lain. Karena hal-hal tersebut, maka sediaan steril mata harus steril.
Bahan tambahan dan cara pembuatan obat tetes mata sangat tergantung dari sifat fisika
kimia bahan aktifnya. Pada sediaan parenteral, termasuk sediaan mata, bahan tambahan
yang digunakan tidak terlalu banyak karena mempertimbangkan stablitias dan tonisitas
sediaan. Penggunaan bahan tambahan bertujuan untuk menjaga stabilitas kimia,
memperbaiki efek klinis serta mengurani ketidaknyamanan.
Pada praktikum ini, bahan aktif yang digunakan adalah kloramfenikol. Kloramfenikol
tidak stabil terhadap cahaya dan suhu., oleh karena itu diperlukan perlakuan tertentu
untuk menjaga stabilitas, yaitu menggunakan wadah sediaan yang tidak tembus cahaya
serta menggunakan metode filtrasi untuk sterilisasi sediaan. Selain itu perlu ditambahkan
dapar untuk menjaga pH sediaan agar sesuai dengan pH stabilitas kloramfenikol (4,5-
7,5) dan diusahakan tidak terlalu jauh dari fisiologis mata (3,5-10,5) agar tidak
menimbulkan rasa sakit dan iritasi saat penggunaan. Pada praktikum ini kami tidak
menggunakan bahan penylhidragiri nitras dikarenakan bahan yang tidak memadai.
Sediaan obat tetes mata yang dibuat adalah multiple dose sehingga memungkinkan
terjadinya kontaminasi bakteri selama pemakaian dan penyimpanan sediaan. Untuk
mengantisipasi kontaminasi tersebut maka perlu ditambahkan bahan pengawet, yang
terpilih adalah Natrium Tetraborat.
Volume sediaan yang dibuat adalah 50 ml. Pada umumnya, volume sediaan tetes mata
tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan jaminan sterilitas sediaan tetes mata multiple
dose hanya sekitar satu bulan. Jika lebih lama dari itu, dikhawatirkan telah banyak
mikroorganisme yang mengkontaminasi sediaan akan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Disini kami membuat volume sediaan 50 ml karena untuk memudahkan kami
menimbang bahan.
Sterilisasi dilakukan dengan filtrasi aseptis, sehingga proses pembuatan sediaan ini
seharusnya dilakukan di dalam laminar air flow (LAF), tetapi pada saat praktikum kami
tidak melakukan sterilisasi terhadap sediaan yang dibuat dikarenakan waktu dan alat
yang kurang memadai. Setelah menimbang bahan, dapar dilarutkan dalam WFI steril dan
ditambahkan bahan aktif. Kemudian dimasukkan pengawet sambil dicek pHya.
Selanjutnya sediaan disaring sebanyak dua kali dengan menggunakan kertas saring.
Setelah di masukkan ke dalam wadah di uji bebas partikel melayang. Pada saat
praktikum masih terdapat partikel melayang itu disebabkan karena kurangnya alat untuk
melakukan filtrasi.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Obat tetes mata adalah obat tetes steril, umumnya isotonis dan isohidris, digunakan
dengan cara meneteskan ke dalam lekuk mata atau ke permukaan selaput bening
mata, umumnya mengandung pengawet yang cocok, disterilkan dengan cara A atau
C atau dibuat secara aseptis, atau larutan encer steril atau larutan minyak steril dari
senyawa alkaloid, antibiotika atau zat aktif lain yang digunakan dengan
meneteskannya pada mata, larutan sebaiknya dibuat isotoni.
Peranan kloramfenikol sebagai obat tetes mata adalah antibiotik yang mempunyai
aktifitas bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas
antibakterinya dengan menghambat sintesa protein dengan jalan mengikat ribosom
subunit 50S, yang merupakan langkah penting dalam pembentukan ikatan peptida.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Pramono, Apt. (2015). Penuntun Praktikum Teknologi Steril. Bogor : STTIF
Depkes RI. Formularium Nasional, Ed II. 1978.Jakarta.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi keempat. Jakarta : UI
Press.
Ganiswara, S. G. 1995 Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal. 657-659.
Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex. Principles and Practice of Pharmacutics.
Twelfth Edition. London : The Pharmaceutical Press. p.786-790.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Connors, K.A., 2000. Complex Formation, In: Alfonso R. Gennaro (Ed.), Remington: The
Science and Practice of Pharmacy, 20th ed., Philadelphia: Lippincott Williams and
Walkins. p. 1210.
Reynolds, 1992. Martindale, The Extra Pharmacopeia, 28th ed., London: The
Pharmaceutical Press. p. 1141.
Top Related