Multikulturalisme dalam film Entre les murs karya sutradara
Laurent Cantet1
Oleh Rozan Fauzan2
Latar belakang
Berkat keberhasilan Lumière bersaudara mengembangkan alat yang dapat merekam dan
memutar gambar sekaligus (cinématographe) dan juga inisiatif mereka untuk memutarkan
gambar-gambar bergerak tersebut kepada khalayak ramai. Mereka menciptakan publik dan
sistem dengan cara membayar sebelum menonton film, sehingga kini masyarakat dunia dapat
menikmatinya dan mengenal seni pertunjukan yang bernama sinema. Melalui keberhasilan
tersebut, Prancis menjadi negara tempat kelahiran sinema dan juga banyak berkontribusi pada
perkembangan sinema.
Film itu sendiri merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun dalam urutan waktu
tertentu membentuk suatu cerita, penceritaan yang disampaikan mengatur gerakan urutan
peristiwa dalam film (Maillot). Melalui film masyarakat diharapkan dapat menangkap apa yang
ingin disampaikan oleh pembuatnya, yaitu pesan baik tersurat atau tersirat.
Dalam perkembangannya film menjadi ajang kreatifitas dan penyaluran bakat bagi para
seniman. Film-film yang diciptakan membawa angin baru bagi masyarakat, sehingga membuat
mereka berbondong-bondong datang ke tempat dimana film ditayangkan untuk mencari hiburan.
Namun, kini film bukan hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga merupakan media
yang efektif dalam menyalurkan atau memprovokasi pemikiran (ideologi), penguatan terhadap
identitas suatu individu ataupun kelompok, kritik sosial dan juga representasi keragaman budaya.
Di Prancis, sekolah atau institusi pendidikan lainnya merupakan salah satu media
pertemuan keragaman budaya yang ada. Di sana tidak hanya penduduk lokal yang bisa
mengenyam bangku sekolah, tetapi senua orang termasuk juga penduduk keturunan dan imigran.
Sebelum merambah ka masyarakat yang lebih luas, sekolah merupakan tempat pertama mereka
1 Ditujukan untuk memenuhi Tugas Akhir Semester matakuliah Pengkajian Sinema Prancis dan Frankofon
2 Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sastra Prancis FIB UI angkatan 2008. NPM 0806355746.
untuk saling berinteraksi serta saling memelajari nilai, watak, adat, serta budaya bawaan mereka
masing-masing
Dalam film Entre Les Murs (dalam versi bahasa Inggris The Class) semua keragaman
yang ada di sekolah, khususnya di kelas, ditampilkan secara gamblang. Bagaimana interaksi
yang terjadi di antara mereka, bagaimana mereka menanggapi perbedaan yang ada, dan juga
pengelompokan yang terjadi diantara mereka. Semua itu ditampilkan dalam film ini, sehingga
film ini sarat akan unsur multikulturalisme.
Sinopsis
Pada awal tahun ajaran baru di suatu sekolah menengah pertama (collége) di Paris, para
guru berkumpul untuk berkenalan dan mempersiapkan materi ajar selama satu tahun serta
membahas beberapa siswa yang perlu mendapatkan pendekatan khusus. Diantara guru-guru
tersebut, ada seorang guru bahasa Prancis yang juga merupakan wali kelas 4eme/3 yang bernama
François Marin (yang diperankan oleh François Bégaudeau), ia menemukan banyak kesulitan
dalam menghadapi berbagai murid di kelasnya. Kelas tersebut memiliki berbagai siswa dengan
latar belakang yang berbeda, seperti suku, agama, dan ras.
François selalu memperlakukan murid-muridnya selayaknya teman diskusi, seakan
tidak ada jarak yang jauh antara guru dengan muridnya. Para siswa diberi kebebasan untuk
mengungkapkan pendapat atau gagasan mereka. Namun kebebasan tersebut justru menjadi
bumerang bagi dirinya, kebebasan tersebut memicu terjadinya perilaku yang di luar batas, seperti
pada saat salah satu muridnya, Souleyman, menanyakan orientasi seksualnya atau ketika terjadi
tindakan anarkis. Selain itu, kemajemukan latar belakang murid-murid di kelasnya, juga menjadi
salah satu faktor terjadinya hal tersebut. Ketika hal tersebut terjadi, François akan mencoba
menuntun siswanya kembali bertindak sesuai dengan aturan tanpa mendoktrin dan menghakimi
pola pikir mereka, tetapi mengarahkan perilaku murid-muridnya untuk dapat berpikir tenang dan
logis.
Lalu, untuk mengenal lebih dekat dengan murid-muridnya dan memberikan pandangan
tentang diri sendiri, François memberikan suatu tugas, yaitu menulis self-potraits yang
mendeskripsikan apa aspirasi mereka, personality mereka, apa saja yang mereka sukai dan tidak
sukai, apa yang membuat mereka malu, apa hobi mereka, dsb.
Kemudian sama halnya dengan sekolah lain, sekolah ini pun mengundang orang tua
murid pada waktu tertentu. Hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dengan orang tua
murid sangat diperlukan untuk menjaga kesinambungan dalam pengajaran maupun pembentukan
karakter anak. Kepedulian yang ditunjukkan oleh guru dalam film ini semakin terasa ketika salah
satu orang tua Wey, salah satu muridnya yang tergolong cerdas, terancam dideportasi, tanpa
segan para guru pun menggalang dana untuk orang tuanya.
Pada suatu ketika François, yang awalnya digambarkan sebagai sosok yang ideal, secara
tidak sengaja melakukan suatau tindakan yang salah dan berdampak sangat besar terhadap
dirinya. Ia menghina salah satu muridnya, Esmeralda, dengan kata « petasse » yang memiliki
makna prostitusi, namun hal itu terjadi karena tingkah laku muridnya yang sudah keteraluan dan
ia sebenarnya tidak bermaksud menghina muridnya, ia hanya ingin menjelaskan bahwa kelakuan
muridnya itu sudah keteraluan. Akibat dari tindakannya itu, terjadi keributan besar dan tindakan
anarkis dari Souleymane.yang menyebabkan Khumba terluka cukup parah.
Karena hal itu Souleymane harus berurusan dengan Kepala Sekolah dan terancam
dikeluarkan, sedangkan François, walaupun tidak mendapatkan tindakan yang serius dari Komite
Sekolah, harus menerima kenyataan bahwa kredibilitas dan wibawanya telah turun dimata anak
didiknya, meski hanya sementara waktu.
Di akhir tahun ajaran, François menanyakan apa yang mereka pelajari selama mereka
belajar di sekolah, pelajaran apa yang mereka sukai dan juga ia membagikan tugas self-potraits
yang dibuat oleh murid-muridnya. Hampir seluruh murid-muridnya merasa sangat antusias dan
mengungkapkan banyak hal akan apa yang mereka dapet di sekolah, tetapi ternyata ada seorang
muridnya, Henriette, yang merasa selama ini ia merasa bahwa sekolah menengah pertama
bukanlah pilihannya, ia baru menyadari bahwa ia tidak cocok dengan sekolah menengah pertama
dan ia merasa lebih tertarik ke sekolah kejuruan. François pun tidak memaksakan pilihan
muridnya itu akan tetapi ia tetap memberikan masukan terhadap muridnya.
Kemudian cerita ini diakhiri dengan berkumpulnya semua elemen sekolah di lapangan,
mulai dari murid-murid, guru-guru, sampai kepala sekolah. Mereka bermain bola bersama-sama
tanpa membeda-bedakan identitas mereka, baik guru, murid, kulit hitam, kulit putih, orang
Prancis asli, imigran, laki-laki, perempuan, semua bermain menjadi satu.
Analisis naratif dan sinematografis
Dalam film ini latar tempat dan latar sosial sangatlah terlihat jelas dari awal film sampai
film ini selesai. Film Entre les murs yang berlatar tahun 2008 (jika dilihat dari tahun
pembuatannya) memperlihatkan keadaan sosial Prancis yang kontemporer, hal tersebut
direpresentasikan melalui gaya berpakaian para murid dan guru. Gaya berpakaian guru-guru
terlihat lebih casual-formal memberikan kesan berwa muda, semangat, dan tetap berwibawa,
sedangkan murid-murid keturunan imigran terlihat lebih mencolok daripada mereka yang
keturunan Prancis asli, mereka mengenakan aksesoris yang cukup banyak dan warna baju yang
menyolok, salah satunya ada yang mengenakan sepatu Nike dunk (jenis sepatu dari merk Nike
dengan tipe dunk, biasa dipakai untuk olahraga tetapi kini lebih sering digunakan untuk bergaya).
Situasi kontemporer juga tercermin melalui penggunaaan teknologi yang modern
(komputer, telepon genggam, iPod) dan aksesoris perlengkapan lainnya. Selain dari gaya
berpakaian dan penggunaan teknologi yang modern, potongan rambut, terutama potongan
rambut para siswa (rambut dengan model ‘spike’ dan ‘emo’).
Gambar 1. Penggunaan telepon genggam Gambar 2. Gaya berpakaian yang modern
dan penggunaan iPod
Gambar 3. Penggunaan Nike dunk Gambar 4. Gaya berpakaian yang modern
dan gaya rambut ‘emo’
Sementara itu, latar tempat film ini adalah sebuah sekolah di pinggiran kota Paris di mana
banyak terdapat para warga keturunan imigran. Lebih spesifik lagi, latar yang sangat dominan
dan mengisi hampir keseluruhan film adalah sebuah ruang kelas yang tidak terlalu besar.
Ruang kelas menjadi latar utama film ini, terlihat dengan penggunaan ruang kelas sebagai
latar berulang-ulang kali, kurang lebih enam kali. Ruang kelas ini berada dilantai dua atau tiga
dan memiliki sebuah jendela besar yang menghadap ke lapangan (diperlihatkan melalui adegan
ketika kamera mengambil pandangan ke lapangan dari jendela saat murid-murid lain sedang
bermain bola dengan bird-eyes view).
Penggunaan warna turquoise pada dinding kelas dapat menyimbolkan kesejukan,
semangat, ketenangan dan kemudaan. Warna turquoise bukanlah warna yang monoton, warna
tersebut perpaduan antara hijau dan biru, warna biru dan hijau itu sendiri dapat memberikan
kesan kesejukan dan kedalaman. Penggunaan warna turquoise dalam kelas tersebut bertujuan
untuk memberikan kesan yang sejuk, tenang, muda, dan semangat, hal tersebut dikarenakan
kelas merupakan tempat dimana para murid saling berinteraksi, di dalam kelas itu mereka
berbaur dengan identitas diri mereka masing-masing, keceriaan dan semangat anak-anak jelas
terlihat dari tingkah laku mereka yang tercermin dalam warna turquoise tersebut.
Gambar 5. Warna turquoise pada dinding kelas dan
semangat para murid
Gambar 6. Pengambilan gambar lapangan
dengan bird-eyes view
Selain latar, hal yang menarik dalam film ini adalah penggunaan teknik kamera yang
close-up, bird-eyes view, panning dan still. Penggunaan close-up sering sekali digunakan, hal
tersebut bertujuan untuk memberikan fokus dan ekspesi tokoh. Seperti contoh ketika kamera
mengambil gambar close-up murid yang sedang belajar, hal tersebut ingin memberikan kesan
keseriusan dalam belajar. Lalu ketika François sedang mewawancarai orang tua Wey, close-up
pada ayah Wey memberikan kesan bahwa orang tuanya senang anaknya dapat mengikuti
pelajaran disekolah, walaupun sebenarnya ayah Wey tidak dapat menguasai bahasa prancis
dengan baik, tetapi ekspresi yang ditunjukan menandakan kepuasan dan kebanggaan terhadap
anaknya.
Kemudian juga foto-foto hasil jepretan Souleymane menggunakan telepon genggam, foto
ibunya yang tidak ingin di foto dengan muka yang datar memberikan kesan bahwa adanya
ketakutan ibu Souleymane terhadap sesuatu yang baru dan juga bisa diartikan ketakutanya akan
Prancis karena perbedaan yang ada, dari warna kulit yang berbeda, keyakinan yang berbeda,
dudaya yang berbeda, ras yang berbeda, dan bahasa yang digunakan pun juga berbeda, diketahui
pula bahwa ibu Souleymane tidak bisa berberbahasa Prancis. Ketakutan inilah yang juga
melanda para imigran disana, mereka mencoba peruntungan kehidupan di Prancis, bukannya
mendapatkan kehidupan yang lebih baik tetapi justru malah termarjinalkan.
Foto ia bersama dengan teman-temannya berbanding terbalik dengan ibu Souleymane, ia
bersama teman-temannya asik berfoto ria, diantara teman-temannya todak hanya teman-
temannya yang berkulit hitam, tetapi juga ada yang berkulit putih. Hal tersebut menandakan
adanya usaha untuk mengintregasikan perbedaan yang ada. Souleymane sebagai anak seorang
imigran dari Mali, tidak malu menunjukan identitasnya sebagai orang Islam dan berkulit hitam
terhadap teman-temanya.
Gambar 7. Close-up ayah Wey Gambar 8. Close-up murid yang sedang belajar
Gambar 9. Close-up teman-teman Souleymane Gambar 10. Close-up ibu Souleymane
Perbedaan ia dengan ibunya sangatlah jauh, Souleymane yang bisa berbahasa Prancis
mencoba mengalkuturasikan budaya prancis dengan budaya asalnya, hal tersebut terlihat dengan
pakaian yang ia pakai, pakian ia yang ia gunakan sangatlah kontemroper bila dandingkan dengan
ibunya. Kemudian juga penggunaan tato yang bertuliskan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an, hal
terseut menandakan bahwa ia masih memegang identitasnya sebagai orang Islam, budaya asli
yang ia bawa itu tidak malu-malu ia tunjukan terhadap teman-temannya.
Gambar 11. Perbedaaan gaya pakaian Souleymane
dengan Ibunya
Gambar 12. Close-up tato Souleymane
Penggunaan bird-eyes view memberikan kesan dalam dan lebih mendetail, dengan teknik
ini gambar dapat mencakup keseluruhan, selain itu juga menambah kesan lebih mendramatisir,
seperti contoh ketika para murid sedang bermain di lapangan, disitu terlihat keceriaan anak
dengan segala tingkag lakunya dan juga ketika Souleymane dengan orang tuanya pergi keluar
sekolah melewati lapangan, pengambilan bird-eyes view memberikan kesan ikut terhanyut dalam
kesedihan yang dialami Souleyman dan juga memberikan efek kedalaman akan hal yang terjadi
pada dirinya, mereka terlihat kecil ditengah-tengah bangunan sekolah yang besar.
Gambar 12. Anak-anak yang sedang bermain di
lapangan
Gambar 13. Bird-eyes view ketika Souleymane dan
Ibunya dikelilingi bangunan sekolah
Selain penggunaan teknik yang telah disebutkan, penggunaan teknik panning dan still
juga menjadi cirri khusus dalam film ini. Penggunaan teknik tersebut memberikan kesan semi-
dokumenter, gambar yang dihasilkan menjadi lebih natural dan lebih berasa nyata, sehingga
penonton juga ikut merasakan apa yang terjadi di dalam cerita film ini.
Penggunaan teknik still pada akhir film yang mengambil adegan ruangan kelas yang
kosong tanpa orang, memberikan kesan yang mendalam. Kelas yang biasa digunakan untuk
belajar menjadi sepi, kosong, dan tenang. Hal ini seperti roda yang berputar, ketika awalnya
kelas yang kosong di isi oleh anak-anak dengan segala keributannya, kembali menjadi sepi dan
nantinya akan diisi kembali oleh anak-anak baru dengan segala kegiatan yang baru pula.
Keceriaan dan semangat ruang kelas tidak akan ada matinya, walaupun untuk sesaat akan
kesepian, tetapi akan kembali ceria dengn hal hal yang baru.
Gambar 9. Still kelas kosong Gambar 10. Still kelas kosong
Multikulturalisme
Ruang kelas dalam film Entre les murs ini seakan-akan menjadi sebuah miniatur
masyarakat Prancis di mana di dalamnya terdapat banyak individu dengan latar belakang ras dan
budaya yang berbeda, namun tetap disatukan oleh bahasa yang sama, yaitu bahasa Prancis.
Dalam film ini terlihat bentuk konsep interaksi budaya yaitu Salad bowl. Berbagai
perbedaan budaya tetap ada, tetapi semuanya diletakkan dalam satu kerangka budaya nasional
yang dominan. Dalam film ini, berbagai macam karakter dan latar belakang yang berbeda dari
setiap murid-murid dapat diasosiasikan sebagai salad. Sedangkan kelas yang menampung siswa-
siswa tersebut dapat diasosiasikan sebagai bowl. Setiap siswa tetap membawa identitas masing-
masing, tetapi tetap berada di bawah satu budaya dominan yaitu, budaya Prancis.
Film ini menampilkan keadaan suatu sekolah, khususnya kelas 4eme/3, yang sangat
multikultural. Dalam kelas tersebut terdiri dari berbagaimacam etnis, yaitu Black, Blanc, Beurre.
Black untuk orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Afrika bagian selatan (baik imigran,
maupun keturunan), diwakili oleh tokoh Souleyman, Boubacar, Khoumba, dan Carl; Blanc untuk
para penduduk asli Prancis, diwakili oleh tokoh Lucie, Justine, dan Arthur; dan Beurre untuk
para imigran atau keturunan negara-negara Magribie atau Afrika bagian utara yang diwakili oleh
Rabah. Namun tidak hanya ketiga etnis tersebut yang ditampilkan, salah satu etnis lainnya yang
ada adalah Cina. Orang Cina dalam film ini digambarkan kurang dapat “bergabung” dengan
orang Prancis lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari pemosisian tempat duduk di kelas, Wey,
salah satu murid yang beretnis Cina, duduk sebangku dengan murid Cina lainnya. Tidak seperti
etnis-etnis lainnya yang cenderung bergabung dan tidak duduk berdampingan hanya dengan
rekannya yang berasal dari etnis yang sama, seperti Khoumba yang berasal dari Afrika Selatan
duduk berdampingan dengan Esmeralda yang berasal dari Tunisia.
Latar belakang budaya masing-masing murid sangat ditonjolkan dalam film ini,
contohnya ketika François memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk
mengungkapkan hal apa yang membuat mereka malu, Wey, murid beretnis Cina, mengatakan
bahwa para anak muda jaman sekarang tidak memiliki rasa enggan dan malu, yang ia maksud
adalah para murid yang ada di kelas tersebut, ia mengatakan hal tersebut dengan alasan bahwa
para murid lainnya saling mengolok, mengucapkan kata-kata kotor, berteriak dan lain
sebagainya, karena hal-hal tersebut tidak sama dengan keadaan di daerah asalnya yang penuh
sopan santun dan tata krama. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan adat dan budaya
yang ada di daerah-daerah asal masing-masing etnis.
Kemudian pada adegan lainnya, ketika François membuat suatu kalimat. Khoumba
mengkritik nama yang digunakan oleh guru tersebut. François menggunakan nama Bill dalam
kalimat tersebut. Khoumba mengkritik guru tersebut selalu menggunakan nama-nama “kulit
putih”. Ia mengusulkan nama-nama lain yang lebih “Noir”, seperti Fatou dan Aissata. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Khoumba ingin mengatakan bahwa, di Prancis tidak hanya ada
orang-orang berkulit putih tapi juga ada orang-orang beretnis lain, ini menunjukan bahwa adanya
keinginan untuk mengakui eksistensi etnis-etnis yang lain.
Selain itu, ketika François meminta kepada para muridnya untuk menceritakan tentang
diri mereka dan jawabannya pun kembali berbeda. Beberapa siswa menunjukkan rasa
nasionalismenya dengan menceritakan kebanggaannya terhadap klub sepak bola dari negara
asalnya. Nassim, yang berasal dari Maroko membanggakan klub sepak bola dari negara asalnya,
sedangkan Souleymane membanggakan klub sepak bola Mali. Perbedaan pendapat ini
menimbulkan gesekan diantara keduanya. Sering kali perbedaan yang ada menjadi suatu
pengganggu, seperti salah satu perkataan orang Prancis “Difference Dérange” (perbedaan
mengganggu). Perbedaan tersebut dapat memancing konflik sehingga hubungan terjalin diantara
mereka cenderung ke arah yang negatife.
Namun dalam film ini, selain kelas, sepak bola juga menjadi media pemersatu
keragaman yang ada di Prancis. Seperti pada saat malam kemenangan Prancis pada piala dunia,
semua orang dari etnis apapun tanpa pandang bulu, baik dia suka sepakbola atau tidak, semua
turun ke jalan Champs Elysée untuk merayakan kemenangan Prancis. Dan itu juga tercermin
dalam film ini, pertandingan sepakbola menjadi penutup cerita menjadi pemersatu
keberanekaragaman budaya yang ada. Dalam pertandingan tersebut yang bermain tidak hanya
golongan etnis tertentu, atau jenis kelamin tertentu, atau hanya golongan profesi tertentu. Baik
laki-laki maupun perempuan, guru ataupun murid, penduduk lokal atau imigran, semua ikut
bermain. Adegan tersebut seakan-akan merupakan simbolosasi dari keintergrasian perbedaan
yang ada di Prancis. Semua perbedaan dapat tertutup karena pada dasarnya kita semua ini sama.
Kesimpulan
Kesimpulan dalam analisis ini yaitu kemajemukkan di Prancis memang tidak dapat
dihilangkan, dan kadang dapat menyebabkan konflik karena perbedaan cara berpikir. Kemudian
demokrasi dan kebebasan sering kali disalah gunakan sehingga dapat menimbulkan perpecahan.
Namun diantara semua perbedaaan itu pasti tetap ada sesuatu persamaan, entah itu faham,
kesukaan, atau cara pandang, yang dapat menyatukan mereka dan membuat mereka menjadi
suatu kesatuan yang utuh, yaitu Prancis.
Konsep bentuk interaksi yang terjadi dalam film ini adalah salad bowl, yang mana kelas
dan sepak bola menjadi media pemersatu keberagaman yang ada. Untuk mendukung suatu
integrasi, dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati untuk dapat hidup
berdampingan.
II. Daftar Pustaka
http://movies.nytimes.com/2008/09/26/movies/26clas.htmlhttp://www.viewlondon.co.uk/films/the-class-film-review-22644.htmlhttp://www.variety.com/index.asp?layout=festivals&jump=review&id=2531&reviewid=VE1117937264
Lampiran
Top Related